Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 27 April 2022

Ayna #1

Cerita bersambung
Karya : Tien Kumalasari

Bagai kelinci cantik Ayna berlarian diantara kebunnya yang penuh bunga. Ia juga seperti kupu-kupu yang sesekali meraih kembang dan mencium aromanya.
Ayna memang cantik. Kulitnya putih bersih, hidungnya kecil mancung, matanya bak sepasang bintang, bening dan teduh, dinaungi oleh bulu mata lentik. Bibirnya tipis, kalau tersenyum manis sekali. Anugerah yang tiada taranya itu tak membuat Ayna menjadi angkuh. Ia berhati lembut, dan mengasihi sesama. Begitu dalam pesan ibunya tertanam dihati Ayna, dan ia melakukannya.

Ini hari Minggu, berarti ia tidak harus bekerja. Selepas SMA ia bekerja disebuah toko, karena ingin membantu orang tuanya. Keinginan kuliah kandas, karena tak adanya biaya.
Tapi Ayna tidak kecewa. Ia tidak menyesal dilahirkan menjadi anak dari keluarga yang tidak berlimpah harta. Ia bahagia memiliki ibu yang cantik dan penuh kasih sayang, dan bapak yang penuh perhatian, meskipun hanya seorang bapak tiri.


Ayahnya sendiri meninggal ketika Ayna masih berumur kira-kira lima tahun. Yang menurut ibunya karena penyakit radang paru-paru yang dideritanya sejak masih muda. Ia bahkan sudah lupa bagaimana wajahnya. Ketika ia menyadari semuanya, ia sudah hidup bersama ibu dan ayah tirinya, yang hanya mampu menyekolahkannya sampai lulus SMA.

“Aynaaaa...” teriakan serombongan anak muda yang lewat didepan rumahnya terdengar seperti alunan lagu dalam sebuah koor.
“Haiii...” Ayna melambaikan tangannya dengan senyuman manisnya.

Nama Ayna terkenal di kampungnya, karena dia bukan hanya cantik wajahnya tapi juga hatinya. Anak-anak muda berebut mendekatinya, tapi Ayna membalasnya dengan senyum persahabatan.
Ayna masuk kedalam rumah ketika ibunya memanggilnya. Digenggamnya beberapa macam bunga yang dipetiknya dari halaman, yang akan diletakkannya kedalam vas bunga yang semula sudah disiapkannya.

“Dapat bunga-bunga cantik?”
“Iya bu, kebetulan mekar bersama.”
“Makan pagi dulu, kamu kalau sudah di kebun lalu lupa makan. Itu bapak sudah menunggu.”
“Iya bu, Ayn menata kembangnya ini dulu ya.”
“Ya, ibu tunggu ya.”

Ayn menata bunga mawar dan aster yang baru dipetiknya, lalu diletakkannya diruang tengah. Lalu ia beranjak kebelakang.

“Ayn,,,!!”
“Cuci tangan dulu ibu..”

Pak Sarjono, ayah tiri Ayn saling pandang dengan isterinya.

“Dia itu sangat suka bunga,” kata bu Sarjono sambil mengambilkan nasi untuk suaminya.”
“Dia cantik seperti bunga.”
“Mungkin karena dia suka bunga.”
“Karena dia anakmu, jadi cantik seperti kamu,” puji Sarjono sambil meraih sepotong tempe goreng.
“Ah, mas selalu begitu..”
“Hayo.. ngomongin Ayn kan?” tanya Ayna sambil duduk didepan bapak ibunya.
“Iya Ayn, bapak bilang kamu cntik seperti ibu.”
“Terimakasih bapak..” kata Ayn sambil tersenyum.

Keluarga sederhana itu tampak bahagia. Pak Sarjono juga tak mempermasalahkan isterinya yang tidak bisa mengandung lagi setelah menikah dengannya. Ia cukup bahagia memiliki Ayn yang disayanginya seperti darah dagingnya sendiri.
***

Pagi itu Ayna pergi ketempat kerja bareng sama bapaknya yang menjadi administrasi disebuah sekolah swasta. Pak Sajono menurunkan Ayna persis didepan toko dimana dia bekerja. Sambil melambai setelah turun, Ayn melangkah kearah toko yang belum buka pagi itu. Kaki jenjangnya tampak lincah seperti kijang ketika menaiki tangga sebelum masuk kedalam toko yang baru buka sebagian.

“Selamat pagi pak Yoga,” sapanya kepada pemilik toko yang sudah setengah tua.
“Pagi, Ayn.. baru kamu yang datang.”
“Iya pak, biar saya buka dulu, setelah itu menata barang-barang.”

Toko pak Yoga menjual barang-barang kebutuhan rumah tangga yang sangat lengkap. Dari beras sampai pakaian juga ada. Ada beberapa pekerja menemani Ayn, dua laki-laki dan tiga perempuan.

“Ayn, ini gaji kamu,” kata pak Yoga sambil mengulurkan amplop kepada Ayna.
“Kok sudah gajian pak?”
“Aku sama ibu mau keluar kota, baru pulang besok sore, jadi gaji aku bayarkan sekarang, Bukankah harusnya besok?”
“Oh, iya, terimakasih pak,” kata Ayna sambil menerima amplop lalu memasukkannya kedalam dompet.
"Ya sudah, lanjutkan menata barang, tampaknya teman-teman kamu sudah pada datang tuh.”
“Ya pak.”
“Oh ya, nanti kunci toko serahkan saja pada Bimo ya, pasti sore hari dia sudah pulang.”
“Baiklah.”
***

Tapi rupanya setelah jam empat lebih Bimo baru pulang, sementara Ayna yang seharusnya pulang jam tiga tadi harus menunggu.
Toko pak Yoga buka pada jam delapan dan tutup jam tiga sore.

“Ayna, kok belum pulang?”
“Ini, saya bawa kunci toko, kata bapak, saya disuruh menyerahkan pada mas Bimo.”
“Oke terimakasih Ayn, ma’af agak terlambat karena tadi ada meeting setelah bubaran kantor.”
“Tidak apa-apa. Ini kuncinya mas.”
“Terimakasih Ayn. Kamu pulang sama siapa?”
“Ya sendiri lah mas, biasanya juga sendiri.”
“Siapa tahu dijemput pacar..” goda Bimo.
“Aah.. mas Bimo..” Ayna tersenyum, membuat Bimo terpesona.
“Saya pulang dulu mas,” kata Ayna sambil beranjak pergi.
“Tunggu Ayna, aku antar.”
“Tidak mas, rumah saya kan dekat.”
“Tidak apa-apa, aku juga sekalian mau ada perlu.”
“Nggak mas, saya lebih suka jalan kaki saja,” kata Ayna sambil menjauh.

Bimo geleng-geleng kepala.

“Gadis itu seperti kijang, lincah, susah ditangkap tangan, harusnya ditembak dengan peluru tajam,” gumam Bimo sambil tersenyum.
***

Ayna melangkah pulang dengan langkah ringan. Ketika melihat penjual gorengan, ia berhenti. Ia melihat ada pisang goreng kesukaan bapak ibunya, dan bolang baling kesukaannya sendiri.

“Mas, saya mau pisangnya lima ribu boleh?”
“Oh, boleh dik, masih panas nih.”
“Sama bolang baling lima ribu ya mas.”
“Siap dik, tunggu sebentar.”

Ayna merogoh dompet untuk membayar gorengan itu, tapi tiba-tiba seseorang lebih dulu mengulurkan uang.

“Tambah lagi dua kali seperti yang dia beli mas.”

Ayna terkejut, Bimo sudah ada disampingnya dan membayar gorengan duapuluh ribu rupiah.

“Lho, mas Bimo kok kemari?”
“Aku juga ingin makan gorengan.”
“Tapi biarkan saya membayarnya sendiri. Ini mas, uangku sepuluh ribu.”
“Tidak, ambil saja uangmu, ini kan masih sisa. Sudah mas, ini bayarnya untuk kami berdua.”

Tukang gorengan tersenyum senang, lalu mengembalikan uang Ayna yang sepuluh ribu.
Ayna sedikit kesal, tapi tak berani marah, Bimo kan juga bos nya?

“Ya sudah mas, terimakasih,” kata Ayna sambil berlalu.
“Tunggu Ayna.” Bimo mengejarnya.
“Ya mas?”
“Sapu tanganmu jatuh,” kata Bimo sambil mengacungkan sapu tangan Ayna yang memang terjatuh. Rupanya Ayna tak sadar telah menjatuhkan sapu tangannya ketika mengambil uang.

“Oh iya mas, terimakasih ya mas,” kata Ayna terus melangkah. Lincah seperti kijang.

Bimo hanya bisa mengagumi Ayna karena Ayna memang mempesona. Sayang dia sudah bertunangan dengan pilihan ayah ibunya. Ketika melangkah pulang, terbawa terus senyuman manis ketika Ayna berpamit pulang.
***

“Ibu.. aku membawa oleh-oleh untuk ibu..” teriak Ayna riang ketika menaiki tangga teras rumahnya.

Tapi rumah tampak sepi. Dilihatnya bapaknya keluar dari kamar, dan Ayna mencium aroma minyak kayu putih.

“Hm.. bau minyak kayu putih?” tanya Ayna.

Pak Sarjono berhenti melangkah ketika melihat Ayna.

“Oh, kamu baru pulang Ayn?”
“Iya bapak, pak Yoga pergi dan saya harus menunggu mas Bimo pulang dari kantor untuk menyerahkan kunci.”
“Oh, ya sudah, ibumu sakit perut, barusan aku menggosoknya dengan minyak kayu putih.”
“Ibu sakit?” kata Ayna yang kemudian menghambur kekamar dan melihat ibunya terbaring pucat.
“Ibu...”
“Ayn, jangan khawatir, hanya mulas biasa. Kamu bilang membawa oleh-oleh untuk ibu?” kata ibunya sambil bangkit.
“Kalau sakit jangan bangun dulu, ibu.”
“Sudah mendingan, bapak sudah menggosoknya dengan minyak kayu putih. Mungkin ibu hanya masuk angin.”
“Ibu tiduran saja dulu.”
“Iya bu, tiduran dulu, kok malah bangun. Ini bapak bawakan teh panas, minumlah, supaya perut terasa lebih enak," kata pak Sarjono sambil membawa segelas teh panas
“Terimakasih mas, tapi ini sudah mendingan kok.”
“Ini bu, diminum dulu.”
“Terimakasih mas. Mana oleh-oleh untuk ibu Ayn? ”
“Ayn membeli pisang goreng untuk ibu sama bapak.”
“Wah, itu ibu suka, ayo kita makan bersama diluar saja, kalau dikamar kok seperti ibu ini sakit beneran.”
“Kamu memang sakit kan. Ketika aku pulang kantor kamu sudah mengeluh sakit perut.”
“Tapi sekarang sudah mendingan kok. Ayo kita keluar saja. Ibu mencium harum pisang goreng, jadi kepengin segera makan.”

Ayna sudah meletakkan gorengan yang dibelinya di atas piring, membiarkan bapak dan ibunya menikmati oleh-olehnya, lalu dia pergi kebelakang untuk mandi.
***

Tapi malam hari itu Ayna mendengar ibunya kembali mengeluh perutnya sakit.
Ayna yang kamarnya bersebelahan mendengar rintihan ibunya, dan pak Sarjono terdengar bangun lalu sepertinya kembali menggosok perut ibunya dengan minyak kayu putih. Aroma minyak itu merebak sampai kekamarnya.
Ayna keluar dari kamar, melihat kamar ibunya sedikit terbuka, ia mengetuknya perlahan lalu masuk. Dilihatnya pak Sarjono memijit-mijit kaki ibunya.

“Ibu sakit lagi?”
“Nggak Ayn, cuma sedikit mulas lagi, ini sudah mendingan, kata ibunya.
“Ibu, kalau memang ibu sakit, besok pagi kita pergi periksa ke dokter,” kata Ayna sambil mendekat lalu memegang kening ibunya.
“Agak panas.”
“Tidak, bapakmu sudah memberi Parasetamol.. ini sudah reda.”
“Apa kita ke dokter sekarang?”
“Ini sudah malam,” kata ibunya.
“Bapak, besok Ayn akan mengantar ibu kerumah sakit saja,” kata Ayna tanpa mempedulikan alasan ibunya.
“Tapi besok itu bapak nggak bisa ijin karena sekolah akan ada tamu dari Dinas..”
“Tidak apa-apa, nanti Ayna yang ijin sama pak Yoga.”
“Mengapa repot sih Ayn, ibu cuma masuk angin.”
“Ibu jangan bandel, besok pagi-pagi Ayna antar ke rumah sakit.”
“Iya bu, kalau Ayna bisa mengantarkan, ibu kerumah sakit saja. Kalau perlu naik taksi Ayn.”
“Iya bapak, besok Ayna akan mengantarkan.”
“Sekarang kamu tidurlah, ibumu sudah lebih tenang,” kata pak Sarjono.

Ayna melangkah keluar kamar, sambil sesekali menoleh kearah ibunya. Rasa khawatir memenuhi benaknya.
Ayna membaringkan tubuhnya, sambil berharap pagi segera datang.
***

“Mengapa Ayna belum datang ya?” tanya Bimo kepada salah seorang karyawannya.
“Nggak tahu tuh mas, dia tidak bilang apa-apa kemarin.”
“Barangkali dia sakit,” kata yang lainnya.

Kata ‘sakit’ itu membuat Bimo khawatir. Ia segera menelpon Ayna.

“Ya mas, aduh saya minta ma’af sampai belum bilang sama mas Bimo,” kata Ayna yang sedang bersiap mengantar ibunya.
“Memangnya ada apa?”
“Saya mau kerumah sakit mas.”
“Kamu sakit? Sakit apa?”
“Bukan saya mas, tapi ibu saya. Kemarin mengeluh perutnya sakit, jadi pagi ini saya harus membawanya ke dokter. Ma’af ya mas, saya mohon ijin untuk hari ini.”
“Kamu tunggu saja dirumah, aku akan menjemput kamu.”
“Tidak mas, jangan. Saya sudah memanggil taksi.”
“Kan bisa dibatalkan? Biar saya antar."
“Tidak bisa mas, kasihan kalau dibatalkan. Itu, taksinya sudah datang. Ma’af ya mas.”

Bimo menutup ponselnya dengan kecewa. Sungguh ia ingin berbuat baik untuk Ayna, entah mengapa. Lalu dia bergegas masuk kedalam rumah lalu bersiap masuk ke kantor.
Tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Dari bapaknya.

“Ya bapak.”
“Kamu masih di toko?”
“Iya, ada apa pak, ini sudah mau berangkat ke kantor.”
“Nggak apa-apa, cuma mau berpesan sama kamu, tolong bilang Ayna, bahwa catatan barang yang habis ada dimeja bapak.”
“Oh, tapi hari ini Ayna tidak masuk bapak.”
“Tidak masuk? Ada apa? Sakit? Dia kalau tidak sakit tak pernah meminta ijin.”
“Bukan Ayna yang sakit, tapi ibunya.”
“Oh, sudah dibawa kerumah sakit atau ke dokter langsung?”
“Sudah, mungkin ini dalam perjalanan. Tadi Bimo mau mengantarkan, tapi dia menolak.”
“Ya sudah tidak apa-apa, semoga ibunya cepat sembuh. Tapi kalau nanti dia masuk, katakan saja pesan bapak, hanya Ayna yang mengerti kemana mengambil barang-barang habis itu.”
“Baik bapak.”
***

Ayna menuntun ibunya yang berjalan pelan kearah taksi yang menunggunya. Tampaknya ia memang benar-benar kesakitan.

“Ayna, bagaimana kalau nanti obatnya mahal? Mungkin ibu cukup minum Parasetamol saja. Kemarin setelah minum terasa agak enteng,” kata bu Sarjono yang ragu masuk kedalam taksi.
“Mengapa ibu ini, parasetamol kan hanya untuk pereda sakit saja, tapi penyakit ibu siapa yang tahu?” kata Ayna yang memaksa ibunya masuk setelah tukang taksi membukakan pintunya.
“Nanti kalau obatnya mahal bagaimana?”
“Yang penting ibu sehat. “
“Ibu tidak punya tabungan. “
“Ibu, Ayna punya uang.”
“Kamu kan belum gajian?”
“Sudah ibu, pokoknya ibu jangan khawatir.”
***

Bu Sarjono sudah diperiksa di klinik umum, tapi dokter menyarankan agar Ayna membawanya ke dokter ahli penyakit dalam.
Ayna merasa was-was, apakah penyakit ibunya berbahaya?
Mereka sudah duduk diruang tunggu. Keduanya saling diam, walau tangan mereka bertautan. Bu Sarjono memikirkan beaya yang pastinya mahal, tapi Ayna menghawatirkan penyakit ibunya.
Ketika pembantu dokter memanggil nama ibunya, Ayna membantu ibunya berdiri, lalu melangkah keruang dokter.

“Ayna, ibu takut.”
“Ibu, ayolah,” kata Ayna yang terus menggandeng lengan ibunya untuk masuk. Dipintu itu Ayna membaca nama dokter praktek.
Dr. Bintang ahli penyakit dalam.

==========

Memasuki ruang dokter yang berbau khas ruangan di rumah sakit, sedikit ada aroma harum, dan perabot serta peralatan berkilat, hati Ayna terasa menciut.. Keduanya duduk dihadapan dokter yang masih muda, dan bukan main gantengnya, dengan mata teduh yang tiba-tiba membuat Ayna berdebar.

“Ada apa ini, siapa yang sakit? Oh, ibu Saryati Sarjono. Benar?” kata dokter Bintang yang bukannya menatap bu Sarjono tapi justru menatap Ayna, yang kemudian menganggukkan kepalanya.
“Dokter, sebenarnya saya sakit perut biasa saja, sepertinya hanya masuk angin, tapi anak saya ini memaksa saya pergi periksa ke dokter,” kata bu Sarjono.
“Oh ya? Masa sih, masuk angin?”
“Iya dokter, cuma masuk angin,” sambungnya lagi.

Sang dokter menatap Ayna.
Ayna menggeleng-geleng, dan dokter muda itu tersenyum.

“Sudah ada catatan dari dokter yang memeriksa ibu sebelumnya, dan saya ingin ibu diperiksa lebih lanjut.”
“Apa itu?” kali ini Ayna yang bertanya.
“Saya buatkan pengantar untuk ke laborat. Ibu harus diperiksa darah, USG, semuanya akan saya tulis disini.”

Ayna berdebar. Parahkah sakit ibunya?

“Dokter,” kata Ayna agak gemetar. Sang dokter mengangkat wajahnya, menatap Ayna yang tampak cemas.
“Ya?”
“Apa.. itu.. penyakit berbahaya?”
“Penyakit akan menjadi berbahaya kalau tidak mendapat penanganan yang tepat.”

Ayna tahu, dokter menyembunyikan sesuatu pada jawabannya itu. Kalau saja dokternya menjawab ‘tidak’, barangkali Ayna akan merasa lebih tenang. Gemetar tangannya ketika menerima pengantar dari dokter untuk ke laborat.

“Saya buatkan resepnya, hanya untuk mengatasi rasa sakitnya, dan suplemen untuk daya tahan tubuh.”

Ayna menelan ludahnya. Sekarang ia bukan hanya menghawatirkan kesehatan ibunya, tapi juga memikirkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkannya.

“Tapi apapun yang terjadi aku harus melakukan semuanya untuk kesehatan ibu,” bisik batinnya.

Ketika ia berdiri dan menuntun ibunya keluar dari ruangan, dokter ganteng itu menatap Ayna dengan iba.
***

“Ayna, ayo kita pulang saja.”
“Ibu bagaimana, dokter menyuruh ibu periksa ke laborat.”
“Periksa laborat itu tidak murah. Ibu tahu karena pernah mengalami ketika ayah kandung kamu sakit. Kamu masih kecil waktu itu.”
“Ibu jangan memikirkan apapun. Yang penting ibu sehat.”
“Uang gaji kamu akan habis nanti nduk.”
“Tidak apa-apa ibu, ayolah ke laborat dulu, nanti sementara menunggu ibu, Ayna akan ke apotik mengambil obatnya.”
“Hm, ibu ini sakit apa sih nduk, cuma mulas saja kok sampai harus periksa laborat, USG segala macam..”
“Ibu duduk dulu, Ayna harus daftar dulu disana.”

Bu Sarjono duduk dengan lemas. Bukan hanya menahan sakit perutnya, tapi merasa kasihan kalau Ayna harus mengeluarkan biaya banyak untuk penyakitnya.

“Ya Alloh, sembuhkanlah hambamu ini,” bisiknya berkali-kali.

Ternyata Ayna tak tega meninggalkan ibunya diperiksa di laborat sendirian. Diambil darahnya, di USG, ia harus menungguinya, agar ibunya merasa lebih tenang.

“Berapa bayarnya?” kata bu Sarjono setelah selesai.
“Tidak banyak,” kata Ayna singkat.
“Tidak banyak? Bohong kamu.”
“Ayo kita ke apotik sebentar. Ibu lelah ya? Atau kita langsung pulang saja, biar nanti saya sendiri yang beli obatnya. Di apotik luar juga boleh kok.”
“Ya, terserah kamu saja,” kata ibunya lemah, karena memang ia merasa sangat letih.
“Baiklah, kita pulang. Ibu langsung tidur dan jangan melakukan apa-apa ya, biar nanti Ayna beli obat sambil beli lauk untuk kita.”

Bu Sarjono mengangguk.
***

Apotiknya tidak begitu jauh dari rumah. Ayna naik ojol sendirian setelah meminta ibunya agar beristirahat.

“Aduuh, mengapa apotiknya ramai sekali?” gumam Ayna ketika memasuki apotik dan melihat kursi tunggu hampir penuh.

Ia menumpuk resepnya dan menoleh kekiri kanan barangkali menemukan tempat kosong untuk dia duduk.

“Silahkan mbak,” tiba-tiba seseorang mempersilahkannya duduk, setelah dia bergeser.
“Terimakasih, “ jawab Ayna sambil duduk disampingnya.
“Siapa yang sakit?” Ayna menoleh kesamping untuk meyakinkan bahwa laki-laki muda disampingnya memang bertanya kepadanya.
“mBak yang sakit?”
“Oh, ibu saya.”
“Sakit apa?”
“Perut.”
“Ooh..”

Tiba-tiba seorang petugas apotik memanggil sebuah nama.

“Tuan Nanda Priyambodo?”
“Ya.” Laki-laki ganteng disampingnya segera berdiri dan menghampiri petugas itu. Ia tampak mendengarkan keterangan petugas, sambil mengangguk-angguk, kemudian berlalu.

“mBak, saya duluan. Eh, boleh tahu namanya?”
“Ayna,” jawab Ayna singkat sambil tersenyum.

Kalau tidak karena hatinya sedang galau pasti Ayna senang bertemu pemuda ganteng yang sangat ramah ini.

“Ibu Sarjono..” tiba-tiba petugas apotik memanggil.

Ayna berdiri dan mendekat.

“mBak, semuanya duaratus limabelas ribu rupiah. Mau diambil semua?”
“Ya mbak.” Kata Ayna sambil membuka dompetnya. Ia mengambil duaratusan ribu dan tak ada lagi sisanya didompet itu. Uang yang tadi dibawanya habis setelah membayar laborat.

“Kurang limabelas ribu ya mbak,” kata petugas apotik.
“Ya.. ya, saya nitip dulu yang duaratus, saya mau mengambil dulu kurangannya.”
“Baiklah mbak.”

Ayna keluar dari apotik dengan hati gundah. Benar kata ibunya, periksa laborat bayarnya mahal. Ayna hampir menghabiskan gajinya yang tidak seberapa.

“Tidak apa-apa, asalkan ibuku sehat.”

Ayna mencari ATM sebuah bank. Ia harus mengambilnya sebagian dari tabungannya yang tak banyak untuk membayar kekurangan harga obat dan untuk persediaan barangkali ibunya butuh sesuatu.
Memasuki ATM itu Ayna hampir bertabrakan dengan mas ganteng ramah yang tadi ketemu di apotik. Ayna hampir terjatuh, tapi mas ganteng yang tadi dipanggil Nanda Priyambodo itu menangkap lengannya.

“Ma’af.. ma’af.” Kata Ayna tersipu.
“Saya yang harus minta ma’af Ayna.”

Ayna menatap laki-laki itu. Ia lupa bahwa tadi telah memperkenalkan namanya.

“Ayna kan? Tadi sudah memperkenalkan nama lho.”
“Oh.. ya.”
“Saya Nanda..”
“Ya, ma’af saya terburu-buru, harus mengambil uang dan kembali ke apotik.”
“Baiklah.”

Ayna mengambil duaratus ribu dari tabungannya, lalu bergegas keluar. Tapi tanpa dinyana, mas Nanda yang ganteng masih berdiri didekat mobilnya.

“Ayo sekalian,” ajaknya.
“Saya harus kembali ke apotik.”
“Iya, saya juga, tadi ada yang ketinggalan.”
“Tapi..”
“Ayolah..” dan Nanda langsung membukakan pintu mobilnya.
“Saya merepotkan..” kata Ayna setelah duduk.
“Tidak, kan sekalian jalan.”
“Mengapa kembali ke apotik ?”
“Ada yang terlupa.”
“Mas yang sakit?”
“Iya, tapi tinggal pemulihan, tiga hari saya tepar karena flu berat.”
“Ooh..”
“Kelihatannya Ayna lagi sangat sedih.”
“Ya, pastilah, ibu saya sakit.”
“Beratkah sakitnya?”
“Tadi baru periksa ke laborat.”
“Mudah-mudahan segera sembuh.”
“Aamiin, terimakasih ..”

Ketika sampai di apotik Ayna kembali duduk, menunggu obatnya selesai dikerjakan.

“Mau saya antar?” Nanda menawarkan tumpangan.
“Oh, tidak, sungguh, obat saya masih lama. Silahkan duluan. Saja juga masih harus mampir-mampir.”
“Baiklah..”

Ayna membiarkan Nanda berlalu, lalu duduk bersandar sambil menunggu.
***

Pak Sarjono memasuki rumahnya yang sepi. Ia tahu isterinya ada dirumah karena pintu depan tidak terkunci.

“Bu..”
“Oh, sudah pulang mas?”
“Sudah, aku ijin pulang begitu selesai tugasku. Tadi jadi ke rumah sakit?”
“Jadi mas, harus periksa laborat segala,” keluh bu Sarjono yang kemudian menceritakan apa saja yang dikatakan dokter ketika memeriksa.
“Aku sudah melarangnya, aku ini seperti sakit berat saja, periksa ini.. itu.. Kasihan, kan menghabiskan uang banyak?”
“Ya tidak apa-apa bu, yang penting kamu sehat.”
“Kasihan Ayna, pasti tadi mengeluarkan uang banyak.”
“Ayna kembali bekerja?”
“Tidak mas, ke apotik sama membeli obat. Pastinya mampir beli makanan karena dia melarang aku memasak.”
“Itu benar, jangan buru-buru mengerjakan pekerjaan rumah dulu kalau ibu belum sehat benar.”
“Iya.”
“Ibu kok masih lemes begitu? Sudah makan?”
“Tadi pagi sudah. Ini kan Ayna sudah beli makan.”
“Oh, itu sepertinya dia datang. Bapak mau cuci kaki tangan dulu dan ganti baju.”
“Ya mas..”

Keluar dari kamar, pak Sarjono berpapasan dengan Ayna.

“Sudah dapat obatnya?”
"Sudah bapak, kebetulan bapak sudah pulang, Ayn bawakan untuk makan siang, karena Ayn melarang ibu untuk memasak."
“Habis berapa tadi ? Nanti bapak ganti.”
“Sudah bapak, tidak usah..”
“Tidak usah bagaimana, ini kan kewajiban bapak juga. Ya sudah, temui ibumu, bapak mau ganti baju dulu.”
“Ya bapak.”
“Ibu, ayo makan dulu... Ayna ambilkan ya bu, setelah itu minum obatnya.”
“Ibu mau bangun saja, makan bareng bapak dimeja makan.”
“Nggak apa-apa ibu jalan ke ruang makan?”
“Ya enggak lah. Ayn.. ibu ini kan sebenarnya nggak sakit apa-apa.”

Walau begitu Ayna terpaksa menuntun ibunya karena tampak bahwa ibunya menahan sakit.
***

Pagi itu Ayna bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Dia sudah membuat minum dan memasak sayur untuk sarapan dan makan siang. Tak enak kalau harus minta ijin lagi sementara pak Yoga sedang tidak ada dirumah.

“Kamu bener, mau masuk kerja Ayna?” tanya bapaknya.
“Iya bapak, tapi nanti ketika istirahat saya mau ijin pulang sebentar untuk melayani ibu makan dan minum obat. Nggak enak kalau mau nggak masuk lagi bapak, pak Yoga sedang pergi so’alnya.”
“Tidak apa-apa, ibumu tampak lebih baik, tidak sepucat kemarin. Mungkin pengaruh obat yang diberikan dokter.”
“Iya bapak, semoga cocok untuk ibu.”
“Nanti bapak juga mau pulang sa’at istirahat makan siang.”
“Bagus bapak, lebih baik bapak makan dirumah saja, kan Ayna sudah masak pagi tadi.”
“Anak baik, anak pintar, anak cantik,” puji pak Sarjono sambil mengelus kepala Ayna, membuat Ayna tersenyum senang.
“Bapak memperlakukan Ayna seperti anak kecil saja. Anak baik, anak pintar, anak cantik, jangan nakal, jangan rewel ya?” kata Ayna menirukan seorang ibu ketika membesarkan hati anaknya. Pak Sarjono tertawa.
“Kamu memang anak pintar dan cantik Ayna.”
“Ayo bapak, kita berangkat, pamit sama ibu dulu. Oh ya, hampir lupa, nanti Ayna harus mengambil hasil dari lab, lalu menyerahkannya pada dokter.”
“Biar bapak saja yang mengambil, nanti ketika pulang bapak sudah membawa hasil lab itu.”
“Baiklah bapak, nanti bapak bawa surat pengambilan hasil lab itu.”

Keduanya masuk kekamar, dilihatnya bu Sarjono sudah duduk ditepi pembaringan.

“Lho, ibu kok duduk, tiduran saja lah bu, sampai ibu benar-benar sehat,” kata suaminya.
“Aku sungguh merasa segar kok mas. Tadi juga sudah sarapan di ruang makan, tidak apa-apa. Kalau tiduran terus nanti malah pusing.”
“Ya sudah, tapi nanti kalau ibu merasa letih, tiduran ya, nanti siang bapak mau pulang untuk makan siang dirumah,” kata Ayna sambil mencium tangan ibunya.
“Iya, baiklah, hati-hati kalian,” kata bu Sarjono sambil berdiri lalu mencium tangan suaminya.
***

Ketika Ayna turun dari boncengan bapaknya, dilihatnya toko sudah terbuka lebar. Ayna setengah berlari menaiki tangga dan dilihatnya Bimo sedang memberi istruksi kepada salah seorang kawannya. Pastinya, karena pak Yoga sedang tidak ada dirumah.

“Hai.. Ayna, kamu sudah masuk ?”
“Sudah mas.”
“Bagaimana keadaan ibu?”
“Tadi sudah kelihatan lebih segar. Tapi kemarin harus periksa laborat juga.”
“Memangnya kenapa?””
“Belum tahu mas, baru nanti hasil lab nya bagaimana,” jawab Ayna yang kemudian membantu temannya menata dagangan.
“Oh iya Ayna, kemarin bapak telpon, ada catatan barang habis dimeja bapak, kata bapak hanya kamu yang tahu kemana harus mengambil barang-barang itu.”
“Oh, iya mas, baiklah, nanti saya periksa kembali. Tapi nanti siang saya minta ijin pulang sebentar ya mas. So’alnya saya harus menemani ibu makan dan menyiapkan obatnya, takutnya ibu tidak meminumnya.”
“Ya Ayn, tidak apa-apa.”
“Terimakasih mas.”
“Saya mau berangkat ke kantor dulu.”
“Ya mas,” kata Ayna sambil meneruskan pekerjaannya.

Setelah selesai membantu temannya manata barang-barang, Ayna segera masuk kekamar kerja pak Yoga untuk mengambil catatan seperti yang dikatakan Bimo. Ia berdiri disamping meja dan membaca catatan itu. Tiba-tiba seseorang masuk, Seorang gadis cantik berambut ikal dan berpakaian sangat modis.

“Ayna, bagaimana kamu berani masuk kedalam kamar bapak sementara bapak tidak ada dirumah?” tegur gadis cantik itu sambil menatap Ayna tak senang.

Ayna terkejut, segera melangkah keluar sambil membawa catatan itu. Tapi gadis itu dengan kasar merebut catatan yang dibawanya, sebelum Ayna menerangkan mengapa ia berada diruangan pak Yoga.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER