Cerita bersambung
“Eh.. apa ini?”
“mBak Deva, ma’af.. itu catatan barang habis yang ditinggalkan bapak dimejanya.”
“Mengapa kamu lancang masuk keruang bapak ?”
“Bukan lancang mbak, tadi mas Bimo yang menyuruh saya mengambil di meja bapak.”
“Mas Bimo.. mas Bimo...” omel Deva sambil menjauh, setelah mengembalikan catatan itu dengan wajah masam.
Ayna mengelus dadanya.
“Sabaar, sabaar...” gumamnya sambil menuju kearah toko. Ia membaca catatan itu, memilah-milahnya agar mudah harus memesan kemana, lalu menelpon ke sales atau distributor yang menjual barang yang dibutuhkannya.
Deva menuju kearah rumah, hanya menemukan pembantu yang sedang bersih-bersih.
“Mas Bimo mana?”
“Sudah berangkat ke kantor, mbak Deva.”
“Pagi sekali dia berangkat?”
“Justru tadi berangkat agak siang mbak, jam delapan lebih, biasanya setengah delapan sudah berangkat.”
Deva melihat ke arah arloji tangannya dan baru sadar bahwa memang ini sudah siang. Ia hanya ingin memarahi Bimo tunangannya, karena kemarin sore janji mau datang tapi ternyata tidak datang.
“Ya, Deva, ada apa?” suara Bimo dari seberang ketika Deva menelponnya.
“Mas sudah sampai di kantor?”
“Sudah. Kenapa?”
“Aku kesal sama mas. Kemarin sore janji mau datang, tapi tidak datang. Aku telpon mas tapi ponsel mas dimatikan.”
“Oh, iya.. ma’af, tadi malam banyak pekerjaan. Bapak pergi dan mungkin baru sore nanti kembali. Aku memeriksa laporan anak-anak toko, karena kemarin Ayna tidak masuk kerja.”
“Mengapa ponsel dimatikan?”
“Aku selalu mematikan ponsel setiap mengecasnya. Ma’af. Ini kamu dimana ?”
“Dirumah mas, hanya ketemu Ayna yang seenaknya masuk keruang kerja bapak.”
“Oh, dia pasti lagi mengambil catatan barang habis yang sudah diperiksa bapak. Memang bapak menaruh dimeja, lalu menyuruh Ayna mengambilnya. So’alnya hanya Ayna yang dipercaya bapak untuk memesan barang-barang.”
“Hmh, rupanya Ayna menjadi kesayangan dirumah ini.”
“Bukan dirumah, di toko, dia cerdas dan bisa mengerti kemauan bapak. Itu sebabnya bapak sangat mempercayainya.”
“Oh ya, bukankah dia juga cantik? Bahkan cantik sekali seperti boneka.”
“Deva, mengapa kamu berkata begitu? Dia kan tidak salah apa-apa sama kamu? Kamu kok kelihatannya nggak suka sama dia.”
“Terus terang mas, aku takut kalau kamu tertarik sama dia.”
“Ya ampun, Deva, aku sedang di tempat kerja. Biarkan aku melakukan tugasku, nanti kita bicara lagi.”
“Kerumah ya.”
Dan tanpa menjawab Bimo sudah menutup ponselnya. Tunangannya memang sangat manja, dan dia enggan meladeninya karena sedang berada ditempat kerja.
***
Sore hari itu Ayna pergi ke tempat prakter dokter Bintang. Ia tak ingin kerumah sakit karena pasti antreannya panjang, dan ia tak bisa berlama-lama meninggalkan pekerjaannya. Bukan apa-apa, toh seandainya minta ijin pasti juga diijinkan, tapi kebaikan pak Yoga dan keluarga justru membuatnya sungkan.
“Selamat sore dok," sapa Ayna ketika memasuki ruang praktek dokter ganteng itu.
“Sor..re...” kata Bintang terkejut. Tak mengira pasien yang kemarin memeriksakan ibunya kerumah sakit, tapi sore ini muncul ditempat prakteknya yang ada di rumah.
“Ma’af saya kemari, karena tidak punya banyak waktu untuk kontrol kerumah sakit.
“Ayna ini.. nama mbak?”
“Ya, dokter,” jawab Ayna tersipu karena dokter yang sangat ganteng itu menatapnya tajam sambil mengulaskan senyum yang sangat simpatik.
“Ooh... saya kira pasien lain. Kemarin mengantar ibu kan?”
“Ya.. Ini hasil lab nya dok.” Kata Ayna sambil mengulurkan amplop yang diambil bapaknya siang tadi dari laborat.
Dokter Bintang membuka amplopnya, sementara Ayna menatapnya dengan perasaan was-was. Agak lama dokter Bintang mengamati satu demi satu laporan yang berderet dari atas kebawah, bahkan sampai ke lembar berikutnya.
Tangan Ayna terasa sangat dingin, karena melihat dokter Bintang mengerutkan keningnya. Ia terus menatap dokter ganteng itu dengan perasaan tak sabar menunggu.
Lalu Ayna terkesiap ketika dokter Bintang melipat kembali lembaran-lembaran itu.
“Ayna, eh.. mbak Ayna..”
Ayna terus menatap dokternya, bukan mengagumi wajah gantengnya, tapi menunggu apa yang akan diucapkannya.
“Ini tidak bagus..” ucapan yang keluar dari bibir tipis itu mengejutkannya.
“Ap..pa?”
“Bu Saryati Sarjono mengidap kanker ovarium..”
“Kan..ker..?” terbata Ayna menjawabnya.
Dokter Bintang menatap sepasang mata indah itu yang tampak meredup, kemudian tampak cairan bening memenuhi rongganya. Ada rasa trenyuh seperti meremas dadanya melihat wajah sendu itu. Tapi Bintang seorang dokter. Ia harus tega mengatakannya.
“Dan sudah menyebar..”
“Oh..!” lalu Ayna terisak, tak bisa menyembunyikan tangisnya. Kanker yang sudah menyebar hanya memiliki sedikit kesempatan untuk hidup. Ayna terkulai dan menjatuhkan kepalanya dimeja sang dokter.
“Ayna..”
“Ibuku tak bisa disembuhkan ?”
“Kita akan berusaha. Dokter bukan penentu umur seseorang. Jangan sedih, marilah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang.”
“Ibu tak pernah mengeluhkan apapun. Kalau tidak sangat kesakitan saya tak pernah mendengar ibu mengeluh.”
“Seorang ibu akan selalu begitu. Ia tak ingin anaknya sedih, apalagi menderita.”
“Apa yang harus saya lakukan? Tolong, sembuhkanlah ibu.” Ayna mengangkat wajahnya yang tampak pucat dan basah oleh air mata. Dokter Bintang mengambil beberapa lembar tissue, diulurkannya kepada Ayna.
“Apa yang harus saya lakukan?”
“Saya akan berkonsultasi dengan dokter onkologi.”
“Apakah ibu bisa sembuh?”
“Ayna, kita akan selalu berusaha. Jangan khawatir, saya akan membantu.”
“Apa ibu harus dioperasi?”
“Mungkin operasi, atau kemo.”
“Itu menyembuhkan ?”
“Berserahlah kepada Nya, Ayna. Dia adalah Maha Penyembuh.”
Air mata Ayna berderai. Dokter ganteng itu tidak sepenuhnya memberi harapan. Membuat hatinya semakin miris. Ia masih muda, masih butuh kasih sayang ibu, masih butuh dibelai, masih butuh semuanya.
Ayna mengusap air matanya yang kembali mengalir deras.
“Ayna, kita akan berusaha, okey? Bisakah besok membawa ibu kerumah sakit? Barangkali kami akan memeriksa lagi kondisi penyakitnya lebih detail.”
“Saya tidak berjanji, tapi ibu susah diajak ke dokter. Apalagi kalau menyangkut biaya. Saya sudah jelaskan jangan memikirkan apapun, pokoknya bisa sembuh, tapi ibu selalu mempermasalahkan yang satu itu.”
“Jadi Ayna tidak yakin bahwa ibu akan mau?”
“Iya dokter.”
“Baiklah, besok pagi-pagi sebelum dinas saya akan mampir kerumah untuk membujuk ibu.”
Ayna mengangkat wajahnya, menatap dokter ganteng dan menemukan sorot mata yang tampak bersungguh-sungguh.
“Benarkah?”
“Benar Ayna.”
"Tapi saya mohon jangan mengatakan kepada ibu tentang penyakit yang dideritanya."
"Iya, aku tahu."
“Terimakasih dokter, berapa saya harus bayar?”
“Bayar ?”
“Berapa dok?”
“Tidak, ini tidak usah bayar.”
“Tapi..”
“Kan hanya menunjukkan hasil lab?”
“Terimakasih banyak dokter.”
Ayna berdiri, lalu melangkah keluar dengan lemas. Hanya sedikit harapan yang bisa digenggamnya. Selebihnya adalah... ia akan ditinggalkan ibunya?
“Tidaaak...” Ayna merintih pilu. Beruntung dia pasien terakhir dan tak ada yang melihatnya. Tapi perawat yang membantu dokter menatapnya iba.
“Kasihan..” gumamnya sambil membersihkan ruang praktek dokter.
Bintang berdiri, dengan cepat keluar dari ruang prakteknya. Ia memburu Ayna, tapi dilihatnya Ayna sudah menghilang dibalik gerbang. Bintang mencoba berjalan kearah jalan dengan cepat. Entah mengapa ia ingin sekali menghibur Ayna, anak pasien yang baru kemarin dikenalnya, begitu mempesona kecantikannya, tapi begitu membuatnya trenyuh melihat air matanya.
Bintang sudah sampai dijalan, menoleh kekiri dan kekanan, tapi Ayna sudah tak kelihatan. Barangkali sudah naik ojol, atau becak yang kebetulan melintas.
“Maaas...” sebuah teriakan membuatnya menoleh. Dilihatnya Bulan, adiknya berdiri diteras.
Bintang melangkah keteras.
“Ada apa?”
“Kata suster, mas mengejar pasien, ada apa?”
Bintang tersenyum.
“Mas cuma kasihan sama pasien itu, Bulan.”
“Memamgnya kenapa?”
“Ibunya sakit parah. Dia tampak sedih sekali.”
“Banyak pasien sakit parah, apa mas selalu bersikap begitu?”
“Kadang-kadang ada suara hati yang lain..”
“O.. aku tahu, pasien itu cantik bukan?”
“Aah.. Bulan, kamu masih kecil.. belum tahu apa-apa.”
“Enak saja. Bulan sudah mahasiswa, kok masih dianggap kecil?”
Bintang tertawa. Ayo kita makan, bapak sama ibu sudah menunggu kan?” kata Bintang sambil merangkul pundak adiknya.
***
Ayna memasuki halaman rumahnya dengan tubuh lemas. Tapi kemudian dia berfikir, bahwa ibunya tak boleh tahu bahwa dia sangat bersedih.
“Pasti terlihat wajahku sembab, aku menangis sejak dari ruang dokter sampai dalam perjalanan pulang. Pasti nanti ibu curiga,” gumam Ayna yang kemudian menghentikan langkahnya, lalu membalikkan tubuhnya keluar lagi kejalan.
Air mata Ayna meleleh lagi. Bayangan wajah ibunya yang lembut, penuh kasih sayang, mengusik batinnya. Bagaimana kalau wanita mulia itu tiba-tiba meninggalkannya?
Ayna terus melangkah tak tentu arah, ia tak peduli ramainya jalanan yang mulai remang. Ia harus bisa menenangkan batinnya, menghentikan tangisnya sehingga ibunya tak akan mencurigainya. Tadi ibunya sudah tahu bahwa dia akan menemui dokter Bintang untuk menyerahkan hasil lab itu. Nanti ibunya pasti bertanya apa kata dokter, bagaimana penyakitnya, dan sebagainya. Ayna tak akan kuat menahan tangisnya.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat disampingnya.
“Ayna ?”
Ayna berhenti melangkah. Seseorang yang dikenalnya turun dari dalam mobil dan menghampirinya.
“Mau kemana ?”
“Oh, mas Bimo..? Mau kemana mas?”
“Gimana sih, aku baru bertanya belum dijawab, malah ganti bertanya, dengan pertanyaan yang sama pula.”
“Saya cuma mau beli sesuatu, kesitu,” jawab Ayna sekenanya.
“Ayo bareng, kan tujuan kita kearah yang sama? Nanti aku turunkan kamu dimana kamu mau.”
“Mas Bimo mau kemana?”
“Kerumah Deva. Searah kan?”
“Oh, nggak usah mas, nanti mas Bimo kelamaan sampai dirumah mbak Deva, mbak Deva marah.”
“Nggak, kan cuma bareng sebentar.”
Mengingat bagaimana kacau pikirannya, dan berharap dengan pergi ketempat ramai bisa mengendapkan kesedihannya, Ayna menurut. Ia naik keatas mobil disamping kemudi. Lalu Bimo menjalankannya pelan.
“Kamu lagi sedih ya Ayn?”
“Enggak, biasa saja kok.”
“Tapi aku melihat bekas air mata diwajah kamu.”
Ayna mencoba tersenyum, tapi kepedihannya memang belum sirna.
“Apa karena penyakit ibu kamu?”
Ayna menghela nafas panjang, berat.
“Hasil lab sudah jadi?”
Ayna mengangguk.
“Hasilnya buruk?”
Ayna kembali mengangguk. Kali ini dengan air mata yang kembali mengambang. Bimo merasa trenyuh.
“Kalau sudah ditangani dokter, kamu jangan lagi bersedih Ayn. Pasti dokter sudah tahu akan apa yang harus dilakukannya. Mereka akan berusaha menyembuhkan penyakit apapun dan siapapun.”
“Kanker ovarium, sudah menyebar,” kata Ayna lirih. Bimo lah orang pertama yang Ayna beri tahu tentang penyakit ibunya.
Bimo tercengang. Pasti itu bukan penyakit yang ringan. Ia menoleh sekilas kearah Ayna, dan melihat air mata gadis itu meleleh membasahi pipinya.
Sebelah tangannya meraih tissue yang siap didepannya lalu diulungkannya kepada Ayna.
“Kamu jangan putus asa Ayna, teruslah berusaha dan berdo’a. “
“Saya takut kehilangan ibu saya..”
“Tidak, bukan dokter yang bisa menentukan umur seseorang. Teruslah berharap dan memohon kepadaNya.”
Tiba-tiba Bimo menghentikan mobilnya disebuah warung bakso.
“Saya turun disini saja mas.”
“Tidak, aku mengajak kamu masuk kewarung itu, makan dan minum yang hangat-hangat agar hati kamu merasa tenang."
Ayna turun, menurut apa yang dikatakan Bimo. Ia memang harus menenangkan hatinya sebelum sampai dirumah.
Ayna makan perlahan, ditemani Bimo.
“Ada yang bisa menenangkan hati kamu, yaitu ketika kamu dekat kepada Pemilik Semesta Ini. Pemilik segala kehidupan. Dan Dia itu Maha Pengasih.”
Ayna mengangkat wajahnya. Bedug maghrib bertalu beberapa sa’at lalu, ia hampir melalaikannya.
“Saya mau shalat, pasti ada mushola disini.”
“Ada, mari aku temani, semoga kamu merasa lebih tenang,” kata Bimo yang kemudian menuntun Ayna kearah belakang, dimana ada mushola diwarung itu.
Ayna tak sadar, bahwa telah menyita waktu Bimo yang ingin mengunjungi tunangannya, dan pasti kedatangannya nanti akan sangat terlambat.
***
Ayna sudah membasuh mukanya ketika berwudhu, dan berharap wajah pucat dan sembab yang terlukis tak lagi tampak.
Begitu menaiki teras, dilihatnya bapaknya berdiri didepan pintu.
“Dokternya ramai? Banyak pasien sehingga kamu baru pulang?”
“Iya bapak,” jawab Ayna sambil duduk di kursi teras. Pak Sarjono heran karena biasanya sepulang dari manapun Ayna pasti langsung pergi kebelakang untuk mencuci kaki tangannya.
“Kamu sudah bertemu dokter?”
“Sudah.”
Pak Sarjono ikut duduk didepan Ayna.
“Ibu dimana? " tanya Ayna
“Sudah tidur. Tampaknya ia merasa lebih enak.”
“Syukurlah.”
“Apa kata dokter ?”
Lalu dengan terbata Ayna mengatakan semuanya, yang didengar oleh pak Sarjono dengan perasaan tak menentu. Ayna kembali meneteskan air matanya.
“Kita akan berusaha mengobati ibu kamu sampai sembuh, bapak yang akan menanggung semua beayanya. Apapun caranya. Jadi jangan sedih, ibu kamu akan sembuh,” kata pak Sarjono dengan suara tersendat.
Keduanya tak sadar, bahwa bu Sarjono berdiri dibalik pintu, mendengarkan semuanya dengan jelas.
==========
Ayna mengusap air matanya.
“Ayna, sudahlah, jangan menangis lagi. Nanti kalau ibu mendengar bisa jadi malah bertambah sakit.”
“Iya bapak, saya akan bersikap biasa saja, supaya ibu tidak kecil hatinya.”
“Ya sudah, kita turuti saja apa kata dokter, demi kesembuhan ibu.”
“Iya bapak.”
“Masuk dan beristirahatlah. Nanti kalau ibu bangun kita ajak makan, supaya segera minum obatnya lagi.”
“Ayna cuci muka dulu, bapak.”
“Hatimu harus tenang, dan kuat ya nduk. Jangan sampai ibumu melihat kesedihan dimatamu.”
“Baiklah bapak.”
Ayna berdiri lalu melangkah kebelakang. Dilihatnya kamar ibnya masih tertutup. Ayna menjenguknya, dia melihat ibunya masih berbaring dengan mata terpejam, Ayna merasa lega. Sekarang ia harus mandi, dan membasuh wajahnya berkali-kali, berharap wajah sembabnya tak lagi tampak.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Ayna menata meja makan, dan menyiapkan obat yang harus diminum ibunya.
“Ayna, tampaknya ibumu sudah terbangun, sebaiknya segera ajak dia makan,” kata pak Sarjono yang baru saja keluar dari dalam kamar.
“Ya bapak, akan Ayna tanyakan, apakah ibu mau makan disini, atau dibawakan kekamar,” jawab Ayna.
“Aku makan disini saja.”
Ayna terkejut, tiba-tiba ibunya sudah muncul didepan ruang makan.
“Ibu sudah bangun? Mau makan disini saja?” tanya Ayna yang sudah selesai menata meja.
“Aku kan sudah disini, berarti aku makan disini saja.”
“Bagus ibu, Ayna senang, ibu tampak segar,” kata Ayna yang membuat wajahnya tampak sangat sumringah.
“Ibu memang tidak sakit apa-apa.”
“Iya bu, tentu saja,” sambung pak Sarjono yang kemudian menarik kursi agar isterinya duduk.
Ayna melayani bapak dan ibunya, sebelum dia sendiri duduk diantara mereka.
“Masakan Ayna juga enak seperti masakan ibu,” kata pak Sarjono.
“Iya bapak, kan Ayna juga belajar dari ibu ?” kata Ayna yang tak pernah melepaskan senyumnya, agar tampak tak terjadi apa-apa.
“Bagaimana hasil lab ibu?” tiba-tiba bu Sarjono bertanya.
Ayna hampir tersedak. Ia meraih gelasnya dan minum beberapa teguk air.
“Iya bu, bagus kok.”
“Bagus ?”
“Iya, tapi besok ibu kerumah sakit lagi ya?”
“Kalau sudah bagus, mengapa harus kerumah sakit lagi?”
“Itu bu..mm.. bukankah ibu baru mendapat obat pereda nyeri? Besok dokter akan memberikan obat yang sesuai dengan hasil lab ibu.”
“Berarti ada apa-apa dong.”
“Tidak, ibu jangan khawatir.”
“Ibu tidak mau.”
“Tidak mau apa bu?” tanya suaminya.
“Tidak mau balik kerumah sakit.”
“Lhoo.. ibu jangan begitu. Bukankah orang yang lagi sakit harus menurut apa kata dokter?”
“Aku tidak sakit apa-apa, lihat, aku bisa bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke ruang makan dengan tanpa butuh dituntun. Sehat kan?”
“Tapi bu, pemeriksaan kemarin itu belum tuntas.”
“Apa maksudnya belum tuntas? Sudah ada pemeriksaan dengan biaya yang pasti jutaan, masih belum juga tuntas? Jangan main-main sama penyakit ibu. Ibu tidak merasa sakit. Hanya mulas. Mengapa dipermasalahkan sampai begitu heboh?”
Pak Sarjono mengelus pundak isterinya.
“Itu karena kami ingin ibu benar-benar sehat,” katanya lembut.
“Baiklah, dan aku bilang bahwa aku sudah sehat. Jadi jangan lagi membawa aku kerumah sakit.”
Pak Sarjono diam. Ayna ingin menjerit sekeras-kerasnya, tapi ditahannya. Lagi-lagi ia meneguk minumannya.
“Aku mau nambah nasinya. Makan malam ini terasa sangat enak,” kata bu Sarjono sambil menambahkan lagi nasi keatas piringnya. Ayna yang mau membantu mengambilkan ditolaknya.
“Biar ibu sendiri Ayn.”
“Sayurnya ibu..”
“Iya, sayurnya enak.”
Dan bu Sarjono menghabiskan semua makanan yang dipindahkan ke piringnya. Tapi baik pak Sarjono maupun Ayna merasa, bahwa bu Sarjono seperti sengaja memperlihatkan bahwa dirinya betul-betul sehat.
Selesai makan, Ayna mengambilkan obat yang harus diminum ibunya. Kemudian mereka duduk bertiga diruang tengah.
Tapi tiba-tiba bu Sarjono bangkit, dan setengah berlari pergi kebelakang. Ayna dan bapaknya memburunya.
“Ibu...”
Bu Sarjono masuk kekamar mandi, dan memuntahkan semua yang ada diperutnya.
“Ibu.. bagaimana rasanya?”
“Entahlah, tiba-tiba merasa mual. Tidak apa-apa, jangan khawatir,” katanya lemas sambil keluar dari kamar mandi.
Sementara pak Sarjono menuntun isterinya kekamar, Ayna membersihkan kamar mandi sambil menahan tangisnya.
***
“Deva.. kamu tidak mau makan dulu ?” tanya ibu Mirah karena anak gadisnya tidak mau makan bersama dirumah.
Deva adalah anak Priyambodo dan Mirah setelah mereka menikah. Hidup mereka tampak sangat bahagia dengan dua orang anak, yaitu Nanda dan Deva. Mirah yang selalu ingin menyibukkan diri memiliki usaha catering yang lumayan laris. Nanda sudah memiliki usaha sendiri setelah lulus dan menjadi Sarjana Ekonomi. Tapi Deva masih kuliah. Gadis cantik yang merasa terlalu dimanja sejak kecil itu tumbuh menjadi gadis yang terkadang tak terkendali, dan sedikit galak. Ia ingin apa yang diingininya bisa terlaksana. Kalau tidak maka dia pasti akan sangat marah. Pak Pri sesungguhnya menyesal telah terlalu memanjakan Deva. Bukan hanya bapaknya yang memanjakannya, tapi juga ibunya dan juga kakaknya Deva, Nanda.
“Nanti bu, mas Bimo mau kemari, aku mau makan malam diluar.”
“Ini sudah jam berapa, kemarin kamu juga nungguin kan, nyatanya apa? Dia nggak datang, ya kan?” kata Nanda.
“Tapi dia bilang mau datang malam ini.”
“Ini sudah jam delapan. Mas Bimo kamu sudah dapat gadis lain, yang tidak kolokan .. manja seperti kamu.”
“Mas Nanda nih..”
“Nanda, jangan begitu dong sama adiknya.”
“Bapak tuh, terlalu memanjakan Deva, jadi dia kolokan, tambah lagi satu julukan untuk dia, galak !!” kata Nanda sambil tersenyum mengejek kepada adiknya.
“Bapaak, mas Nanda selalu jahat sama Deva.”
“Tidak Deva, mas Nanda itu sayang sama Deva. Karena sayangnya dia jadi suka menggoda. Diamin saja, ayo makan sekalian. Sedikit saja juga nggak apa-apa, jadi nanti kalau mas Bimo ngajakin makan, kamu masih bisa menerima, dan kalau tidak, perutmu sudah terisi.”
“Iya. Makan saja, emangnya kenapa kalau nanti makan lagi? Takut gemuk? Iih.. mendingan gemuk dari pada ceking kayak wayang kulit,” kata Nanda sambil menyendok makanannya.
“Yeee... masa aku kayak wayang kulit bapak, bukankan bagus seorang gadis tubuhnya langsing seperti Deva?”
“Iya Deva. Kamu tidak usah mendengarkan kakak kamu, biarin saja dia mengoceh sesuka hatinya. Kalau kamu tanggapin, dia makin menjadi,” kata pak Pri
“Ayolah Deva, sini makan dulu.” Bu Mirah menarik tangan Deva lalu mengajaknya duduk.
“O, minta disuapin ‘kali bu.”
“Mas Nanda !!” kata bu Mirah sambil memelototi Nanda yang usil dan cerewet.
“Sedikit ya bu.”
Bu Mirah membalikkan piring didepan Deva, lalu menyendokkan nasi untuknya.
“Sedikit bu, dibilang sedikit kok ibu ngambilnya banyak sih.”
“Ibu, dia itu kan kucing, segitu kebanyakan bu.” Nanda masih terus mengejek, dan Deva semakin cemberut.
“Sudah, nggak boleh protes.”
“Sebenarnya aku kesal sama mas Bimo,” gerutu Deva sambi menyendok makanannya.
“Memangnya kenapa?” tanya pak Pri.
“Menurut Deva, dia itu lama-lama nggak perhatian sama Deva.”
“Masa sih?”
“Iya bapak, itu gara-gara sudah setahun ini ditokonya pak Yoga ada karyawan yang sangat cantik.”
“Haa, benarkah? Kalau begitu kenalin mas Nanda dong,” goda Nanda.
“Nggak usah. Dia itu sok cantik, merasa disayang sama pak Yoga. Dia juga dipercaya.”
“Berarti dia pintar dong.”
“Aku takut mas Bimo tertarik sama Ayna.”
“Apa? Siapa namanya?” Nanda terkejut mendengar nama itu. Nama gadis cantik yang membuatnya sangat terkesan dan sulit melupakannya.
“Iya, namanya Ayna. Emang sih dia cantik, tapi Deva khawatir mas Bimo berpaling gara-gara dia.”
“O, cemburu?” tanya bu Mirah.
“Bukan cemburu , pokoknya nggak suka,” kata Deva sengit.
“Tapi benar ada gadis bernama Ayna disana? Mas kenal sama dia. Memang cantik, dan benar, tunangan kamu bisa berpaling dari kamu.”
“Mas Nandaaa!” Deva berteriak marah.
“Dengar Deva. Kebanyakan laki-laki tidak suka terhadap gadis manja. Mereka suka yang tenang, keibuan, lembut, tak pernah marah.. Lha kamu, sedikit-sedikit marah, lalu merengek-rengek.. bisa saja tunangan kamu berpaling, apalagi kalau yang namanya Ayna itu benar-benar cantik dan lembut, keibuan.. Tapi tidak, Ayna buat mas saja. Okey?” lalu Nanda menyelesaikan makannya dan meneguk minumannya.
“Tiba-tiba aku kenyang. Semoga Ayna yang kamu cemburuin itu memang benar Aynaku.”
Bel tamu berdering, Deva langsung berdiri, tapi tangan ibunya menahan lengannya.
“Selesaikan dulu makannya, kalau mau mas Bima sekalian diajak makan.”
“Aah, nggak dong bu, Deva pengin jalan sama mas Bimo, nanti Deva ajak dia makan.”
“Tapi nggak bagus menyisakan makanan dipiring.”
“Selesaikan makan, biar aku temui Bimo,” kata Nanda yang kemudian berdiri dan beranjak kedepan.
“Bimo, lagi pada makan tuh, ayuk sekalian makan,” kata Nanda menyambut calon iparnya.
“Nggak mas, Deva mengajak makan diluar.”
“Tapi dia makan duluan tuh, dipaksa-paksa sama ibu."
“Oh ya?”
“Eh, sini.. duduk dulu sini, aku mau nanya nih.”
“Apa mas, kelihatannya serius.”
“Serius Bim, apa benar ada karryawan pak Yoga bernama Ayna?”
“Ya, sudah setahun ini.”
“Dia cantik kan? Eh, apa dia seperti ini? Aku sempat memotret dia ketika sedang sama-sama membeli obat di apotik.”
Nanda mengeluarkan ponselnya, lalu memperlihatkan sesosok wajah yang hanya tampak dari samping.
“Iya, kok mas bisa punya fotonya Ayna?”
“Dapat dari nyuri , jangan bilang sama dia. Kami bertemu ketika sama-sama membeli obat di apotik.”
“Oh iya, kasihan dia itu mas, ibunya sakit parah, barusan saya ketemu, dia menangis sepanjang jalan.”
“Memangnya ibunya sakit apa?”
“Katanya kanker ovarium, dan sudah menyebar.”
“Aduuh, kasihan bener. Bimo tolong dong aku minta nomor kontaknya.”
“Serius nih?”
“Iya, sangat serius.”
“Nih, aku kirim ke nomor mas Nanda ya.”
“Terimakasih Bim.”
“Maaas, kok datangnya lama banget..” tiba-tiba Deva muncul dan langsung menarik tangan Bimo.
“Tuh kaaan, manjanya udah nggak ketulungan dia Bim, yang sabar aja kamu ngadepin dia,” kata Nanda sambil memasukkan nomor kontak Ayna ke ponselnya.
“Iya tuh, harus panjang ususnya mas..”
“Iih, udah ayo, jangan dengerin mas Nanda, jahat dia tuh kalau sama adiknya.”
“Iya, aku pamit dulu dong sama bapak sama ibu."
“Pada mau kemana nih?” kata pak Pri dan isterinya yang sudah muncul di teras.
“Ini, Deva mengajak jalan jalan,” kata Bimo sambil mencium kedua tangan kedua orang tua Deva.
“Ya sudah sana, hati-hati ya nak.”
“Ayo mas, aku pergi dulu.”
“Ya, ingat pesan aku.. sabaaar ya Bim,” teriak Nanda yang disambut tawa oleh Bimo.
“Mas Nanda jangan gangguin adiknya terus ah, dari kecil sampai sudah dewasa masih saja,” omel bu Mirah.
“Tapi bener bu, Deva itu kelewat manja. Nanti kalau Bimo kesel bisa diputusin tuh anak.”
“Eh, jangan ngomong sembarangan. Sudah tunangan dan berembug matang di antara kedua orang tua, masa begitu gampang mutusin.”
“Ibu tuh bagaimana, orang yang sudah menikah saja bisa bercerai, lha itu baru tunangan.”
“Nanda, kamu sebagai kakaknya harus bisa menuntun adik kamu supaya melakukan hal-hal baik. Jangan mengomelinya saja.”
“Kalau Nanda yang ngomong, bapak tahu sendiri dia galaknya minta ampun.”
“Ibu, tolong ibu pelan-pelan kasih tau Deva, agar bisa merubah sifatnya. Itu juga dulu kesalahan kita karena terlalu memanjakannya. Bahkan Nanda sendiri juga begitu sama adiknya, minta apa saja diturutin.”
“Iya nanti pelan-pelan ibu kasih tahu mas. Oh ya mas, besok ibu mau ke rumah pak Handoko boleh kan?”
“O, kangen sama anak ibu yang disana kan ?” ledek Nanda.
“Iya mas, kan sudah lama tidak main kesana.”
“Iya bu, besok biar Nanda yang mengantar.”
“Siap, bapak, aku juga sudah lama tidak berantem sama Bintang,” canda Nanda yang disambut tawa oleh bapak ibunya.
***
“Selamat pagi..” sebuah suara mengejutkan pak Sarjono yang baru selesai makan dan Ayna yang melayani ibunya minum obat. Ayna segera teringat bahwa dokter Bintang akan datang kerumah pagi itu untuk membujuk ibunya.
“Selamat pagi, “ suara itu terdengar lagi, lalu Ayna setengah berlari melangkah ke arah depan.
“Dokter..?”
“Ayna, selamat pagi.”
“Pagi dokter, silahkan masuk. Saya tidak mengira dokter benar-benar datang.”
“Saya kan sudah janji? Tapi biarkan saya duduk diteras saja. Boleh kan?”
“Silahkan dokter..” lalu Ayna menemani dokter Bintang duduk.
"Ayna mau kemana ?"
"Saya bekerja disebuah toko dokter."
"Tampaknya sudah siap mau berangkat?"
"Nanti saya bareng bapak yang juga mau berangkat kerja."
“Bagaimana ibu?”
“Sejak minum obat dari dokter itu tidak ada keluhan, justru bilang badannya terasa lebih enak.”
“Ya, karena memang itu obat pereda nyeri. Tapi bukan mengobati penyakitnya.”
“Iya dok, saya tahu. Tapi semalam saya sudah membujuk ibu untuk kembali ke rumah sakit, ibu tidak mau. Ibu selalu bilang bahwa tidak sakit apa-apa. Saya bingung dok.”
“Bolehkah saya ketemu ibu?”
“Akan saya panggilkan dokter, baru saja ibu makan pagi dan minum obatnya.”
“Baiklah.”
Ayna bergegas kebelakang. Agak lama Bintang menunggu, barangkali agak susah Ayna membujuknya.
Tapi kemudian bu Sarjono muncul, diiringi suaminya.
“Selamat pagi ibu, bapak..” sapa Bintang ramah.
“Selamat pagi,.. ooh, ini yang namanya dokter Bintang? Masih muda dan ganteng,” pak Sarjono yang menyapa duluan. Bintang tersenyum mengangguk.
“Terimakasih bapak.”
Pak Sarjono mengajak isterinya duduk.
“Ma’af saya mengganggu, sepertinya bapak sedang bersiap akan ke kantor?”
“Iya, tidak apa-apa saya terlambat sebentar.”
“Dokter menemui saya karena apa?” tiba-tiba bu Sarjono menyela, sambil menatap Bintang dengan wajah muram.
“Ibu, saya hanya ingin memeriksa kembali kesehatan ibu lebih lanjut, agar supaya saya bisa memberikan obat dan perawatan yang pas untuk ibu.”
“Tidak dokter, saya tidak mau kembali kerumah sakit,” kata bu Sarjono tandas.
“Ibu, saya tidak ingin pemeriksaan berhenti sampai disini. Saya ingin ibu benar-benar kembali sehat.”
“Dokter, saya sudah mengatakan apa yang saya inginkan. Sekali lagi saya bilang, saya tidak ingin kembali ke rumah sakit.”
“Ibu..” tegur suaminya.
“Saya sudah tahu apa yang akan terjadi. Saya ikhlas menjalani. Jadi jangan lakukan usaha yang nantinya hanya akan sia-sia.”
Dokter Bintang menatap Ayna, yang sangat terkejut mendengar jawaban ibunya.
Bersambung #3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel