Cerita bersambung
Ayna beralih menatap ibunya. Heran mengapa ibunya tiba-tiba berkata begitu.
“Ibu...”
“Jangan katakan apa-apa Ayn, hentikan semua ini.”
“Ibu.. “ rintih Ayna.
“Ibu sudah mendengar semuanya. Mendengar ketika kamu bicara sama bapak malam tadi.”
Ayna berpandangan dengan bapaknya. Tak menyangka pembicaraan itu didengar oleh ibunya. Dokter Bintang mengangguk-angguk, jadi tak ada gunanya menutupi semuanya.
“Ibu, mengapa berkata begitu ?” tanya Bintang sambil tersenyum teduh.“Tidak apa-apa dokter, kalaupun Alloh memanggil saya setiap waktu karena penyakit ini, saya ikhlas menerimanya. Bukankah mati dan hidup itu sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa? Lari kemanapun kalau sudah sa’atnya kita kembali, maka kita harus kembali.” Kata bu Sarjono sambil menerawang ke langit-langit.
“Pasrah itu bagus, tapi manusia punya kewajiban untuk berusaha, berupaya, agar bisa menghindari hal yang tidak baik bagi hidupnya.”
“Apakah kematian itu tidak baik untuk hidup seseorang?”
“Kalau ibu ikhlas dan menyerah, berarti ibu sudah tega untuk meninggalkan puteri ibu yang cantik ini. Iya bu?”
Mendengar kata Bintang yang terakhir ini, bu Sarjono menoleh kearah Ayna yang terpaku dengan mata berkaca-kaca. Luluh hatinya melihat wajah yang tampak kuyup oleh duka karena derita ibunya. Sungguh bu Sarjono ingin hidup lebih lama. Tapi apakah dayanya kalau kesembuhan itu harus memakan beaya yang tidak sedikit? Apakah suaminya mampu? Apalagi Ayna yang masih sangat muda dan harus mencari rupiah demi rupiah dengan keringat bercucuran karena melihat kehidupan orang tuanya yang pas-pasan.
“Dokter,” gemetar ketika bu Sarjono mengucapkannya.
“Ya ibu..”
“Apakah dokter tahu, seperti apa kehidupan kami? Untuk mempertahankan agar nyawa saya tetap masih menempati raga tua saya yang sudah diambang senja, suami dan anak saya harus berbuat yang diluar kemampuannya. Kalau saya harus bertahan, lalu melihat mereka mengais rupiah demi rupiah dengan keringat dan darah, apakah saya tega?”
Lalu isak Ayna terdengar, menyayat membelah sepi ketika semuanya terdiam.
Bintang menatap gadis cantik yang dalam dua hari ini merebut hatinya, dengan iba yang tak tertahankan. Memang benar, bahwa nyawa tak bisa dikejar ketika sa’atnya manusia menghadapNya, tapi membiarkan seseorang menungu maut dalam sakit yang menyiksa, lalu tanpa berupaya, alangkah tidak manusiawinya. Bintang juga tahu, bahwa penyakit yang diderita bu Sarjono cukup serius. Bisa bertahan untuk lima tahun kedepan saja sudah sangat bagus. ia ingin agar keluarganya berupaya. Mujizat Alloh itu ada, ia sungguh mempercayainya, dan ia berharap untuk itu.
“Ibu, apapun yang terjadi, mari kita berusaha,” bujuk Bintang lagi.”
“Dokter, kami keluarga tidak mampu..” dan isak Ayna semakin keras. Pak Sarjono menepuk bahu Ayna untuk menenangkannya.
“Saya akan membantu sebisa saya, agar semuanya menjadi ringan.”
“Apa maksud dokter?”
“Ada cara untuk memperingan beban pasien, saya akan membantunya ibu, yang penting ibu mau berusaha. Marilah bersama saya kerumah sakit, tidak apa-apa.”
“Bu Sarjono terdiam, tapi suaminya mengelus punggungnya lembut.
“Bersedialah bu, kami semua punya harapan.” Kata pak Sarjono.
Isak Ayna masih terdengar, hati bu Sarjono seperti disayat-sayat. Separuh hatinya ingin tetap menunggui anak semata wayangnya, tapi yang separuh lagi merasa tak sampai hati membebaninya dengan begitu berat.
“Ibu, menurutlah apa kata dokter.. kami semua berharap untuk kebaikan ibu..”
“Baiklah, aku mau melanjutkan pemeriksaan itu,” kata bu Sarjono pelan, dengan air mata mengambang. Ayna berdiri dan memeluk ibunya erat.
“Biarlah kali ini aku yang mengantar ibumu kerumah sakit Ayna, kamu bisa masuk kerja,” kata pak Sarjono.
“Sekalian bareng saya saja , nanti Ayna saya turunkan ditempat kerjanya.”
“Tapi.. dokter, bukankah dokter sudah kesiangan datang kerumah sakit?”
“Tidak, saya mulai praktek jam sembilan. Ini baru jam delapan lebih sedikit, saya tunggu ibu bersiap ya.”
***
“Widiii... aku kangen sama kamu,” teriak Tanti ketika mengunjungi sahabatnya.
“Tanti? Lama sekali kamu nggak main kemari? Apa kabar?”
“Yah, begini inilah Wid, aku sehat, bahagia. Aku kangen sama Arsi. Mana dia?
“Belum pulang lah Tan, dia kuliah.. kalau kamu mau menunggu, pasti ketemu, cuma mungkin hari ini dia pulang agak sorean.”
“Ya nggak bisa kalau sampai sore, aku kan harus masak, nanti kalau mas Danang pulang belum ada makanan kan kasihan?”
“Iya sih, makanya datanglah setelah makan siang, jadi bisa lebih santai.”
“Tapi kan kamu pastinya lagi istirahat, masa aku mengganggu.”
“Ya ampun Tanti, kan sejak masih remaja kita ini selalu saling mengganggu? Kamu tidur aku ikut nyungsep di ranjang kamu, aku tidur kamu datang lalu gangguin aku.”
Lalu kedua sahabat itu tertawa. Mereka sahabatan sejak masih remaja dan kuliah bersama, sampai setengah tuapun mereka tetap bersahabat, walau Tanti kurang beruntung karena tidak dikaruniai seorang anak pun.
“Iya benar. Gampang lah kalau aku memang boleh mengganggu kamu.”
“Tapi kalau kamu benar-benar kangen sama Arsi nanti aku suruh dia kerumah kamu.”
“Bener ya?”
“Iya, dia juga sering nanyain kamu, kok lama nggak kesini.”
“Baiklah.”
“Tidak terasa, tiba-tiba kita sudah jadi tua ya Tan?”
“Iya lah, memangnya ular, bisa berganti kulit lalu bisa kembali muda?”
“Hiih, jangan ngomongin ular, aku kan takut dan ngeri, melihat gambarnya saja aku nggak sanggup.”
“Iya aku ingat, kamu paling takut sama ular.”
“Udah, berhenti menyebut nama itu. Nanti aku bisa kebayang bentuknya lagi. Hiih.. “
“Iya, ampun.. aku lupa kalau kamu takut sama itu. Tapi ini aku mau langsung pulang ya.”
“Kok buru-buru?”
“Kan aku sudah bilang bahwa aku mau masak, ini tadi aku belanja sayur segala, habis itu masak. Nanti mas Danang kalau pulang belum matang bagaimana.”
“Iya, aku tahu. Hati-hati dijalan ya.”
“Aku juga masih harus mampir beli beras nih, kehabisan .. kemarin pas belanja sama mas Danang lupa beli.”
“Waduh.. mau bawa dari sini apa?”
“Ya enggak lah, mau sekalian beli buat sebulan. Nanti kamu ganti yang kelaparan.”
Mereka berpisah masih dengan tawa riang mereka.
***
“mBak, beras yang biasanya ada kan?” ujar Tanti ketika sampai di toko pak Yoga, langganannya.
“mBak.. mau berasnya mbak..” ulang Tanti karena si penjual tampak melamun.
“mBak cantik.. ngelamunin pacar ya?” Tanti bicara agak keras, dan membuat Ayna terkejut. Memang benar dia melamun, memikirkan ibunya yang ke rumah sakit diantar bapaknya.
“Ma’af bu.. aduuh..”
“Ngelamunin pacar?” goda Tanti.
“Enggak bu.. “ jawabnya sambil tersenyum.
“Kok jaga sendirian ?”
“Lagi pada membantu di gudang, menerima barang-barang. Teman saya ada satu, lagi kebelakang. Ada yang bisa saya bantu bu?” kata Ayna ramah, berusaha menghilangkan wajah muram yang melingkupinya.
“Beras mbak, yang seperti biasa.”
“Oh, ini ya bu, ini yang paling bagus, yang biasa ibu beli.”
"Ya.. itu mbak."
“Iya, baiklah, berapa kilo?”
“Saya mau yang sekarung itu sekalian, tapi ada nggak ya yang bisa menolong membawakan ke mobil saya?”
“Bisa bu, nanti pasti ada, teman saya baru kebelakang sebentar.”
“Baiklah.”
“Lalu apa lagi ibu?”
“Cukup itu dulu mbak, ini uangnya.”
“Terimakasih ibu.”
“Kalau jualan jangan sambil mikirin pacar, “ goda Tanti lagi. Ia sangat suka dilayani Ayna yang cantik dan selalu ramah kepada pembeli.
“Ibu bisa aja, saya belum punya pacar.”
“Masa sih, gadis secantik kamu belum punya pacar?”
“Belum ingin punya pacar.”
“Nah, tapi pasti banyak yang naksir kan?”
Ayna tersenyum, sambil mengulurkan uang kembalian.
“Mas, tolong berasnya ibu diangkat ke mobil ya,” teriak Ayna kepada temannya yang sudah muncul.
Tanti masuk ke mobilnya sambil menoleh kearah Ayna yang menatapnya dari dalam toko.
“Teman kamu itu cantik sekali ya mas?” kata Tanti kepada pelayan toko yang membantu mengangkat berasnya.
“Iya bu, namanya Ayna, tapi dia sedang bersedih.”
“Kenapa? Patah hati?”
“Bukan, ibunya sedang sakit.”
“Oh, kasihan, semoga cepat sembuh, sampaikan do’a untuk ibunya dari saya ya mas.”
“Iya bu, nanti saya sampaikan.”
“Nama yang cantik,” gumam Tanti sambil berlalu.
***
“Apa kata dokter tadi mas?” tanya bu Sarjono ketika sudah sampai dirumah.
“Masih menunggu hasil pemeriksaan, mungkin besok baru ada keterangannya.”
Bu Sarjono menghela nafas panjang. Tampak lelah.
“Ibu sebaiknya tiduran saja, pasti capek menjalani serangkaian pemeriksaan tadi."
“Memang melelahkan.”
“Iya, yang penting kan akan ada jalan untuk kesembuhan.”
“Berapa tadi mas harus bayar ?”
“Aku belum tahu, tadi dokter Bintang juga tidak mengatakan apa-apa. Mas sudah menunggu dan bertanya harus bayar berapa, dokter Bintang bilang suruh menunggu saja, aku jadi bingung.”
“Ibu jadi khawatir. Kalau biaya sangat banyak, lalu bagaimana ?”
“Ibu jangan memikirkan itu terus, nanti sakit ibu bertambah parah karena kepikiran.”
“Bagaimana aku tidak kepikiran mas, karena aku , Ayna dan mas jadi susah.”
“Tidak bu, mas tidak susah, demikian juga Ayna. Yang membuat mas dan Ayna susah, kalau ibu tidak menurut, dan seperti tidak bersemangat untuk bertahan.”
“Perut ibu ini rasanya nggak enak sekali. Rasanya lapar, tapi mual. Kalau ibu nekat pasti muntah.”
“Ibu harus makan biarpun hanya sedikit. Kalau masih lapar sedikit lagi saja.”
“Ini tadi sudah minum obat, tapi rasanya kok masih mual ya?”
“Kan obatnya belum lama masuk. Sekarang ibu tidur saja dulu.”
“Apa mas mau kembali ke kantor?”
“Tidak, aku sudah minta ijin sehari ini.”
“Oh..”
“Ya sudah, mas mau keluar dulu supaya ibu bisa tidur. Ya.”
Bu Sarjono hanya mengangguk, lalu berusaha memejamkan matanya.
Pak Sarjono duduk diruang tengah. Banyak yang dipikirkannya. Apa yang dikatakan dokter Bintang ketika mengajaknya bicara hanya berdua, membuatnya nyaris tak punya harapan.
“Bapak harus percaya, bahwa mujizat Allah itu ada.”
Itu kata dokter Bintang sebelum dia kembali menemui isterinya di ruang tunggu. Dan seakan kata-kata itu menyiratkan bahwa dia tak akan bisa melakukan apa-apa atas penyakit isterinya. Ia harus memohon mujizat itu diturunkan.
Pak Sarjono menghela nafas sedih. Ia bangkit ketika ponselnya berdering. Dari Ayna.
“Ya, Ayna..”
“Bapak sama ibu sudah ada dirumah?”
“Sudah. Dokter Bintang menyerahkannya kepada temannya, seorang ankolog. Tapi dia menemani terus, untuk membesarkan hati ibu kamu.”
“Apa kata dokternya?”
“Yah, masih seperti kemarin nak. Tadi ada pemeriksaan lagi, dan kemungkinan ibumu akan dioperasi. Tapi itupun menunggu hasil pemeriksaan tadi.”
“Ya Tuhan..”
“Bapak akan meminjam uang dari kantor, agar biaya untuk ibumu teratasi. Kamu jangan khawatir.”
“Apakah sudah pasti harus operasi?”
“Kemungkinannya ya, tapi mungkin akan di kemo dulu, entahlah, bapak tidak sepenuhnya bisa menangkap kata-kata dokternya, so’alnya bapak juga sedih dan bingung.”
“Nanti sore Ayna akan ketemu dokter Bintang lagi.”
“Ya, itu lebih baik Ayn.”
“Berapa bapak harus bayar untuk semua pemeriksaan ibu?”
“Tadi bapak belum bayar apa-apa, dokter Bintang yang mengurus semuanya, lalu mengatakan nanti saja, gampang, gitu nak.”
“Tapi nanti pasti harus membayar juga. Baiklah, nanti Ayna akan menemui dokter Bintang.”
“Ya nduk.”
***
Selesai menelpon bapaknya, Ayna tampak termenung. Beberapa hari ini Ayna tidak seriang biasanya. Sering melamun, dan banyak pekerjaan terbengkalai.
“Ayna..” suara pak Yoga mengejutkannya. Ayna segera bangkit dan melangkah keruangan pak Yoga. Ia mengetuk pintu kemudian masuk, dengan hati berdebar. Beberapa hari ini ia sering membuat kesalahan. Baik ketika mencatat uang yang keluar masuk, juga catatan barang habis tidak dilaporkan.
“Duduklah Ayna,” kata pak Yoga. Ayna melihat alis pak Yoga berkerut. Ia siap menerima teguran lagi. Satu do’a dilantunkannya dalam hati, semoga dia tidak dipecat.
“Ayna..”
“Ya, bapak.”
“Apa yang terjadi sama kamu? Kamu tidak seperti biasanya.”
Ayna diam. Ia ingin menyembunyikan beban yang disandangnya, tapi pak Yoga tak akan percaya kalau dia bilang ‘tidak apa-apa’.
“Ada apa? Mau berbagi sama bapak?” tiba-tiba suara pak Yoga melembut. Barangkali ada setitik air bening mulai menggenangi pelupuk matanya sehingga membuat pak Yoga merasa iba.
“Ma’af kalau saya banyak berbuat kesalahan.”
“Ya, bapak tahu, tapi bolehkah bapak tahu penyebabnya?”
“Ibu saya sakit.”
“Oh, ya? Sakit apa? Parah?”
“Lumayan parah pak, kanker indung telur.”
“Ayna... benarkah?” tanya pak Yoga terkejut.
Ayna mengangguk.
“Biasanya kanker itu baru disadari ketika sudah sangat parah,” lanjut pak Yoga prihatin.
Ayna mengangguk, dan butiran bening dimatanya mulai bergulir perlahan dipipinya.
“Aku ikut prihatin.”
“Terimakasih bapak.”
“Adakah yang bisa aku bantu ?”
“Mohon do’a bapak ya, agar ibu bisa diselamatkan,” bisik Ayna bergetar, sambil mengusap air matanya.
Pak Yoga meraih tissue dan dilurkannya kepada Ayna.
“Manusia hidup itu punya banyak permasalahan. Seperti orang berjalan kadangkala juga harus jatuh lalu terluka. Tapi yang penting kita harus kuat menerimanya, dan selalu memohon pertolonganNya.”
Ayna mengangguk lagi.
“Baiklah, kalau kamu butuh bantuan, katakan saja. Aku tahu orang berobat akan memerlukan banyak biaya.”
“Terimakasih banyak, bapak,” isak Ayna yang sibuk mengusap air matanya.
“Kamu harus kuat. Jangan perlihatkan kesedihan kamu dihadapan ibu kamu agar ibu kamu tidak menambah beban kesedihannya.”
Lagi-lagi Ayna hanya mampu mengangguk.
***
“Bu Miraaaaah..” Bulan berteriak riang melihat bu Mirah dan Nanda datang
“mBak Bulan bertambah cantik saja,” sapa bu Mirah sambil memeluk Bulan.
“Bu Mirah bisa saja. Ayo masuk, ibu sama bapak sedang keluar, tapi mas Bintang ada, dia pasti senang melihat bu Mirah datang.”
“Bu Mirah kangen sekali sama mas Bintang.”
“Biar saya panggilkan, mas Bintang ada diruang praktek, kebetulan belum ada pasien sore ini."
“Kok aku tidak disapa sih?” tegur Nanda sambil tersenyum.
Bulan tertawa, menampakkan sebaris giginya yang berderet rapi. Senyuman itu indah sekali diresapi. Nanda sudah lama tidak ketamu Bulan, dan hari ini Bulan tampak lebih menawan.
“Hai, mas Nanda, apa kabar? Manja ih, kan sudah Bulan kasih senyuman.”
“Iya baiklah.”
“Bu Mirah dan mas Nanda duduk dulu, biar aku panggilkan mas Bintang.
“Jangan, biar aku saja keruang prakteknya,” kata Nanda yang langsung berdiri dan pergi kesamping rumah dimana Bintang berpraktek.
Bintang terkejut melihat Nanda, tapi keduanya berpelukan lama lalu saling mengadu kepalan mereka dengan riang.
“Kangen juga sama kamu,” kata Bintang sambil tertawa.
“”Sama, aku juga kangen, kangen berantem.”
Lalu keduanya tertawa lepas.
Tiba-tiba perawat pembantu dokter masuk setelah mengetuk pintu.
“Dokter, ada pasien apakah disuruh menunggu?”
“Ya, sebentar. Eh, siapa pasiennya?”
“Ayna dokter.”
Nanda terkejut mendengarnya.
==========
“Ayna?” Bintang dan Nanda menyebut nama itu hampir bersamaan.
“Ya, dokter, masih ada pasien tiga lagi tapi belum datang.”
“Baiklah, suruh tunggu sebentar, aku masih ada tamu.”
“Tidak Bintang, aku keluar saja dulu. Tapi rasanya aku mengenal nama itu.”
“Oh ya? Kalau begitu persilahkan dia masuk suster..”
“Baik, dokter.”
Ketika Ayna memasuki ruangan dokter Bintang, ia terperanjat melihat ada seseorang disana, dan ia seperti pernah mengenalnya.
“Oh, ma’af, masih ada pasien ?” Ayna terpaku didepan pintu dan ingin membalikkan tubuhnya.
“Ayna, ini bukan pasien, masuk saja. Kamu mengenalnya ?”
“Kami sudah sangat kenal.. ya kan Ayna?” kata Nanda nekat.
“Oh ya?”
“Kami baru sekali bertemu,” kata Ayna sambil tersenyum.
“Haa.. baru sekali dan aku sudah berkali-kali,” kata Bintang tak mau kalah. Bertemu dengan gadis yang menawan, kemudian terasa bahwa keduanya seakan bersaing.
“Ooh, ya.. dalam satu hari tapi bertemu berapa kali ya, di apotik ketika duduk disamping aku, lalu ketika mengambil uang di ATM, lalu bersama satu mobil kembali ke apotik. Nilaiku tidak sedikit." kata Nanda.
Tapi kedua pemuda ganteng itu kemudian tertawa geli. Ayna hanya tersenyum mendengar celoteh kedua laki-laki ganteng itu.
“Baiklah Ayna, duduklah. Atau aku harus mengusir pesaingku ini terlebih dulu?” canda Bintang sambil menunjuk kearah Nanda.
"Eit, jangan, biarlah aku keluar dulu. Tapi aku lupa memberi tahu, ibu Mirah ada disini,” kata Nanda sambil berdiri.
“Benarkah? Baiklah, minta agar ibu Mirah menunggu, setelah praktek aku akan segera menemuinya.”
Nanda menatap Ayna yang duduk sambil menundukkan muka, lalu melangkah keluar dan menutupkan pintunya.
Tapi Nanda tidak langsung kerumah. Ia menemui suster pembantu Bintang.
“Suster..”
“Ya bapak?”
“Apakah Ayna sudah sering kemari?”
“Tidak, baru dua kali ini.”
“Baru dua kali? Memangnya dia sakit apa?”
“Sepertinya bukan dia yang sakit, tapi ibunya.”
“Oh, iya..” lalu Nanda teringat ketika bertemu di apotik, dan Ayna mengatakan bahwa dia sedang beli obat untuk ibunya.
“Ibunya sakit apa?”
“Saya tidak tahu bapak.. ma’af.”
“Baiklah..”
Lalu Nanda duduk disebuah kursi tunggu, agak kepinggir, dekat dengan pintu keluar. Ada beberapa pasien yang menunggu. Dan Nanda menunggu Ayna keluar dari ruang periksa.
Agak lama, Nanda mulai bertanya-tanya.
“Kenapa ya Ayna lama sekali? Banyakkah yang dikeluhkannya tentang penyakit ibunya?” kata batin Nanda.
Ketika akhirnya Ayna keluar, Nanda berdiri dan memapakinya.
“Sudah selesai?”
“Sudah.”
“Mau pulang?”
“Ya," kata Ayna sambil terus melangkah dan Nanda terus mengikutinya.
“Mau saya antar pulang?”
“Tidak, terimakasih.”
“Saya sekalian jalan, nggak apa-apa kan?”
“Tidak, terimakasih.”
“Ayna..”
Ayna terus berlalu, tanpa menoleh kearah Nanda. Pertemuannya dengan Bintang tidak bisa menenangkan batinnya, justru membuatnya semakin sedih.
Nanda menghela nafas. Ia harus bertanya kepada Bintang, apa yang terjadi dengan gadis itu.
***
Bintang benar-benar kangen sama ibu Mirah. Ia terus duduk disampingnya sambil merangkul pundaknya. Nanda hanya tersenyum menatapnya.
“Puas-puasin memeluk ibu aku, karena sebentar lagi mau aku bawa pulang,” kata Nanda bercanda.
“Ini ibu aku. Dulu aku tidak bisa tidur kalau tidak dikelonin ibu Mirah. Ya kan ?”
“Tapi setelah itu ibu Mirah hanya jadi ibu aku. Ya kan?”
Bu Mirah tertawa senang. Dua-duanya adalah anak yang bukan terlahir dari rahimnya, tapi sangat disayangi dan menyayanginya.
“Mas Bintang itu sama mas Nanda sama-sama bu Mirah sayangi. Dulu suka berantem, berebut mobil-mobilan, berebut ibu Palupi, sekarang sudah dewasa, jangan suka berebut lagi ya.”
“Rasanya kita masih akan berebut bu..” kata Nanda.
“Lhoh, berebut apa lagi?”
“Ayna...” kata keduanya lalu tertawa terbahak.
“Siapa Ayna?” tiba-tiba Bulan muncul dengan membawa minuman dan setoples makanan.
“Waaah, ini yang aku tunggu, haus tahu,” canda Nanda sambil meraih segelas jus yang disuguhkan.
“Siapa Ayna ? Kelihatannya heboh..”
“Gadis cantik.”
“Bukannya itu pasien mas Bintang yang kemarin itu ? Yang dikejar-kejar mas Bintang sampai kejalan?”
“Tahu aja kamu,” tegur Bintang.
“Aku tahu namanya dari suster. Bener kan namanya Ayna?”
“Iya. Memangnya kenapa?”
“Nggak apa-apa.. mas Bintang sama mas Nanda kok seperti sudah mengenal gadis itu”
“Nanti aku akan mengenalnya lebih dekat. Karena ibunya adalah pasienku,” kata Bintang sambil tersenyum.
“Tapi susah kelihatannya mendekati dia. Tadi aku menawarkan untuk mengantar dia, tapi dia menolak.”
“Iya lah.. takut.. kamu kelihatan nafsu banget gitu.”
“Hahaa.. nggak ya.. biasa saja.”
“Ini sebenarnya lagi ngomongin apa sih, nggak ngerti aku,” kata bu Mirah.
“Biasa bu, kalau cowok melihat cewek cantik.. langsung seperti kucing melihat ikan asin.”
“Enak aja, masa kita dianggap kucing Bin?”
“Iya, tuh, cemburu sih dia.”
“Enak aja, siapa cemburu?”
“Sudah.. sudah.. kalau sudah ketemu ramainya bukan main.”
“Bu Mirah, mengapa Deva tidak ikut?” tanya Bulan.
“Dia sibuk pacaran,” kata Nanda.
“Oh iya, Deva kan sudah tunangan. Kapan mau dinikahkan bu?” tanya Bulan kepada bu Mirah.
“Belum dalam waktu dekat ini, Deva kan masih kuliah, mungkin tahun depan.”
“Wah, ikut berbahagia ya bu Mirah?”
“mBak Bulan sudah punya pacar?”
“Ah, belum mikirin itu bu, kuliah masih agak lama selesainya.”
“Nggak ada yang berani mendekati dia bu, dia kan galak,” timpal Bintang.
“Galak kalau sama mas Bintang, so’alnya mas Bintang tuh nakal bu.”
“Hm, disini disana sama saja. Mas Nanda itu juga begitu, selalu nggodain adiknya.”
“Berarti semua kakak itu nakal ya bu.”
“Dan semua adik itu manja tapi galak,” kata Bintang.
“Tapi Bin, ngomong-ngomong, pengin tahu nih, sebenarnya sakitnya ibunya Ayna itu apa sih? Dia kelihatan sangat sedih begitu.”
“Yah, memang agak berat sakitnya. Kasihan aku sama dia. Aku ingin membantu tapi kekuatan dokter itu kan terbatas. “
“Apa artinya tidak akan tertolong?”
“Entahlah, kami para dokter akan berusaha semampu kami. Dan tampaknya keluarganya juga bukan orang berada.”
“Padahal pengobatannya membutuhkan biaya banyak ya mas?” tanya Bulan.
“Ya pastinya, tapi aku akan membebaskan beaya dokternya.”
“Aku ingin membantu. Tapi bagaimana caranya Bin?” kata Nanda.
“Bantu do’a saja,” kata Bintang.
***
Tapi diam-diam Nanda terus memikirkan Ayna, dan juga merasa kasihan mendengar apa yang dideritanya.
“Ayna itu gadis yang sangat cantik bu,” kata Nanda dalam perjalanan pulang.
“Iya, ibu tahu karena kalian begitu heboh membicarakannya. Apa mas Nanda suka sama dia?”
“Siapa sih yang tidak suka pada gadis cantik? Ya suka lah bu, tapi tampaknya Nanda harus bersaing dengan Bintang. Aku merasa Bintang juga suka sama dia.”
“Baru ketemu sesekali saja sudah bilang suka.”
“Senyumnya manis sekali bu, tapi tidak tersenyumpun dia juga cantik.”
“Jadi pengin tahu seperti apa sih gadis itu.”
“Nanti sampai dirumah Nanda tunjukkan fotonya pada ibu.”
“Kok bisa punya fotonya segala?”
“Nanda mencuri-curi ketika dia sedang duduk di apotik. Itu ketika pertama kali Nanda ketemu dia.”
“Oo, gitu ya? Bener nih, ibu jadi penasaran.”
“Maukah ibu membantu seandainya dia butuh bantuan?”
“Membantu bagaimana maksudnya?”
“Mungkin dia butuh biaya banyak untuk ibunya.”
“Oh, itu, nggak apa-apa, nanti bilang saja sama ibu sama bapak. Kita kan diajarkan untuk saling berbagi. Jadi bukan hanya karena Ayna itu cantik, membantu siapapun itu perbuatan yang sangat mulia. Ya kan?”
“Iya bu. Ibu tahu nggak, dia itu bekerja di tokonya pak Yoga.”
“Benarkah ?”
“Benar, tanya saja sama Deva. Tapi Deva sepertinya nggak suka sama Ayna.”
“Memangnya kenapa?”
“Dia takut Bimo suka sama Ayna.”
“Aduuh, semakin penasaran ibu nih. Bimo juga terlibat dalam persaingan tentang merebut hati Ayna?”
“Tidak, Bimo tampaknya tidak begitu, Deva saja yang cemburu.”
“Ooh, ibu ingat nama itu. Deva pernah menyebutkannya waktu makan malam kemarin kan?”
“Iya, betul, ibu lupa ya?"
***
“Selamat siang bapak...” tiba-tiba sebuah sapaan mengejutkan pak Yoga yang sedang berada diruang kerjanya.
“Deva ?”
“Iya bapak.”
Deva mendekat dan mencium tangan calon mertuanya.
“Kamu sudah ketemu ibu dibelakang?”
“Sudah.”
“Darimana kamu, siang-siang sudah sampai kemari?”
“Dari kuliah, kangen sama bapak sama ibu.”
Pak Yoga tertawa.
“Bapak, tadi kan Deva masuk dari depan toko, mengapa sih pegawai bapak yang bernama Ayna itu begitu malas dan bapak menyukainya?”
“Malas? Mengapa kamu bilang dia malas?”
“Bapak tahu nggak, ketika teman-temannya menata barang, dia hanya bengong sambil duduk santai.”
“Oh, tidak, sebenarnya dia baik, rajin, pintar, dan bisa dipercaya.”
“Dia? Lalu karena dipercaya kemudian dia enak-enak saja ditoko dan tidak membantu temannya bekerja?”
“Sebenarnya dia lagi sedih.”
“Sedih ?”
“Dia patut dikasihani. Ibunya sakit berat, dan pastilah dia selalu memikirkannya.”
“Oh..”
“Dia sungguh anak baik.”
“Dan sangat cantik. Kalau saja dia itu anak orang berada, pasti dengan pakaian bagus, dandanan yang apik, dia akan tampak semakin cantik.”
“Iya, itu benar.”
“Bapak, Deva minta tolong ya, awasi mas Bimo, jangan sampai terlalu dekat sama Ayna.”
Pak Yoga menatap calon menantunya, lalu tertawa gelak-gelak.
“Deva, jadi kamu cemburu sama Ayna?”
“Bukan cemburu, Deva cuma khawatir.”
“Kamu tidak perlu khawatir. Cinta itu tidak dijaga dengan mata, tapi dengan rasa dan perhatian. Kalau kamu melakukan sesuatu yang baik, yang tidak mengecewakan, bersikap manis kepada calon suami kamu, maka cintanya tidak akan terlepas dari kamu. Tak ada gunanya kamu mengawasi terus, tapi sikap kamu membuat dia kecewa.”
Deva menatap pak Yoga tanpa berkedip, mencoba memahami apa yang dikatakannya.
“Cinta tidak dijaga dengan mata?” gumamnya lirih.
“Benar, kamu mengerti maksud bapak kan? Biar kamu mengawasi dia terus, kalau sikap kamu membuat dia kecewa maka dia akan meninggalkan kamu. Bukan karena ada gadis lain lho. Camkan itu.”
***
Pagi hari itu Ayna sudah menyelesaikan semua pekerjaan dapur. Membuat minuman memasak nasi dan sayur untuk sarapan pagi dan makan siang nanti. Sementara pak Sarjono membantu membersihkan rumah.
Selama sakit mereka melarang bu Sarjono melakukan apapun.
“Ibu harus beristirahat dan semuanya biar Ayna dan bapak yang menyelesaikannya,” kata Ayna.
Bu Sarjono hanya mengangguk. Pagi hari itu ia merasa perutnya terasa tak enak. Ada yang menyesak di ulu hatinya.
“Ibu, kalau ibu ingin mandi, Ayna sudah menyiapkan air hangat didalam ember,” kata Ayna setelah menyelesaikan semuanya.
“Ibu akan cuci muka saja Ayn, nggak tahu kenapa, rasanya malas sekali.”
“Kalau begitu ayo Ayna bantu ke kamar mandi bu."
“Tidak Ayna, ibu sendiri saja.”
“Baiklah, Ayna akan menyiapkan baju ganti untuk ibu.”
Bu Sarjono turun dari pembaringan, menolak ketika Ayna membantunya berjalan ke kamar mandi.
Bu Sarjono merasa sangat mual. Ingin muntah tapi tak ada yang bisa dikeluarkannya. Lalu ia hanya membasuh wajahnya dan kaki tangannya dengan air hangat. Ketika ia melepas bajunya, ia merasa ada yang aneh pada perutnya.
“Apakah perutku ini bertambah besar?”
"Ibu.. Ayna masukkan ganti buat ibu ya?"
"Ya Tuhan... jangan sampai Ayna tahu tentang perutku ini," gumam bu Sarjono yang kemudian menutupi tubuhnya dengan handuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel