Cerita bersambung
Bu Sarjono membuka sedikit pintu agar Ayna bisa mengulurkan baju ganti untuk dirinya.
“Perlu dibantu, ibu?”
“Tidak nak,” katanya sambil menutupkan kembali pintunya.
Sambil berganti pakaian itu bu Sarjono masih memikirkan perutnya yang agak membesar dan terasa keras ketika diraba.
“Aku yakin bahwa penyakitku ini tak akan bisa disembuhkan. Rasanya kalau terus berobat hanya akan membuang-buang uang. Kasihan mas Sarjono dan Ayna. Lebih baik aku diam dan merasa lebih sehat sehingga mereka tak akan memaksa aku melanjutkan pengobatan ini,” gumam bu Sarjono.
Ia keluar dari kamar mandi, dan tubuhnya terasa lemas. Rasa mual dan sesak di ulu hati terus menyiksanya. Katika Ayna masuk kekamar, dilihatnya ibunya sudah berbaring diranjang dengan mata terpejam. Rupanya tidak mudah berpura-pura sehat sementara rasa sakit begitu menyiksanya.
“Ibu makan dulu ya?”
Bu Sarjono membuka matanya.
“Nanti saja nak, perut ibu mual.”
“Minum obatnya dulu ya bu, kan kalau mual bisa diminum sebelum makan?”
“Terserah kamu saja.”
Ayna mengambilkan obat mual, lalu membantu ibuny minum obatnya. Ayna merasa khawatir melihat wajah ibunya pucat. Ada obat-obat yang harus diminum ibunya yang dia tidak tahu namanya.
“Ibu mau makan dikamar saja?” kata pak Sarjono yang sudah rapi dan siap masuk ke kantor.
“Nanti saja. Bapak sama Ayna sarapan dulu, lalu berangkatlah kerja. Nanti kalau perutku terasa enak, aku ambil sendiri makanannya.”
Sebenarnya Ayna tak tega meninggalkan ibunya. Tapi kalau dia tidak bekerja, bagaimana ia bisa membantu pengobatan ibunya? Karenanya setelah sarapan sekadarnya, Ayna menyiapkan makan untuk ibunya dikamar.
“Apa aku tidak usah masuk kerja saja hari ini?” kata pak Sarjono ketika memasuki kamar isterinya sebelum berangkat.
”Jangan pak, bapak masuk kerja saja. Demikian juga Ayna. Ibu tidak apa-apa. Ayna sudah menyiapkan semuanya disini. Makan dan obat-obat yang harus aku minum.”
“Bagaimana rasanya badan ibu?”
“Tidak apa-apa, hanya mual, tapi Ayna sudah memberi aku minum obat mual. Nanti pasti reda, lalu aku makan.”
“Sebenarnya nggak tega meninggalkan ibu sendirian dalam keadaan sakit begini,” kata Ayna.
Bu Sarjono mencoba tersenyum. Diraihnya lengan Ayna yang berdiri disamping ranjangnya.
“Jangan khawatirkan ibumu nak. Ibu hanya tak ingin kamu sedih dan menderita. Ibu akan baik-baik saja.”
“Baiklah ibu. Tapi kalau ibu menginginkan sesuatu, ibu telpon Ayna ya,” kata Ayna sambil mencium tangan ibunya agak lama.
“Nanti sa’at istirahat makan siang bapak juga akan pulang.”
“Ya mas..”
***
Ayna sedang membantu menata barang yang baru datang ketika ponselnya berdering.
“Ayna,” sapa dari seberang.
“Dokter Bintang ?”
“Ya Ayna, bisakah kamu datang kerumah sakit?”
“Sekarang dokter ?”
“Kamu istirahat jam berapa?”
“Jam duabelas dokter.”
“Baiklah, nanti jam duabelas temui aku dirumah sakit ya.”
“Memangnya ada apa dok ?”
“Kita akan bicara tentang pengobatan untuk ibu.”
“Baiklah, saya akan minta ijin nanti.”
Ketika meletakkan ponselnya , hati Ayna berdebar-debar.
“Apa ya, yang akan dikatakan dokter Bintang nanti?” tanyanya dalam hati. Ayna lalu melangkah keruang pak Yoga.
Tapi sebelum masuk ia berpapasan dengan Deva. Aduuh, heran juga Ayna, akhir-akhir ini sering sekali Deva datang kerumah pak Yoga, dan pasti juga melongok-longok ke toko, membuatnya risih, seakan sedang diawasi.
“Ayna ?”
“Ya mbak Deva.”
“Mau ngapain kamu?”
“Saya mau keruang pak Yoga.”
“Ngapain keruang bapak?”
“Mau.. minta ijin sebentar.”
“Hmh, enak ya.. waktunya kerja pakai ijin segala,” kata Deva sengit.
“Saya ada perlu mbak, “ kata Ayna yang langsung mengetuk pintu ruang pak Yoga.
“Masuk...” suara pak Yoga dari dalam.
Tapi Deva langsung menerobos masuk mendahului Ayna.
“Deva? Tumben pakai ketuk pintu segala, biasanya kamu nyelonong saja kalau mau ketemu bapak.”
“Saya yang mengetuk pintu, bapak,” kata Ayna yang masih berdiri didepan pintu, membiarkan Deva duduk didepan pak Yoga.
“Ayna ? Ada apa ?”
Ayna menarik kursi yang ada disamping Deva, agak mundur, baru kemudian dia duduk.
“Bapak, kalau boleh nanti ketika sa’at istirahat saya mohon ijin sebentar.”
“Mau kemana Ayna ?”
“Baru saja dokter yang menangani ibu saya menelpon, saya ditunggu di rumah sakit siang ini.”
“Oh, baiklah Ayna, kalau perlu sekarang saja temuilah dokternya.”
“Tidak bapak, nanti saja jam duabelas, seperti janji saya kepada dokter itu.”
“Baiklah, tidak apa-apa. Dan saya ingatkan, katakan kalau kamu perlu bantuan.”
“Baik bapak, terimakasih banyak. Saya permisi,” kata Ayna sambil berdiri lalu keluar dari ruang pak Yoga.
Pak Yoga tampak menghela nafas.
“Kasihan anak itu,” gumam pak Yoga pelan.
“Memangnya ibunya sakit apa ?”
“Kanker..”
“Kanker? Aduh, itu penyakit yang berat.”
“Dan tampaknya sudah stadium lanjut. Itu sebabnya bapak sangat kasihan melihatnya.”
“Iya.”
“Kamu tampak tidak suka sama Ayna? Bapak beri tahu kamu ya, kekhawatiran kamu tidak beralasan. Mereka juga jarang ketemu. Bimo pulang dari kantor ketika semua karyawan sudah pulang.”
Deva hanya mengangguk. Cerita tentang ibunya Ayna membuat rasa cemburu nya sedikit luntur.
***
Jam duabelas kurang lima menit, Ayna membereskan pekerjaannya. Sebentar lagi dia bersiap pergi ke rumah sakit. Ia sudah bilang kepada teman-temannya, dan sudah minta ijin kepada pak Yoga.
“Selamat siang,” Ayna menoleh kearah datangnya suara.
“Ya bapak, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mencari mbak Ayna,” kata laki-laki setengah baya itu.
“Saya Ayna, ada apa bapak ?” tanya Ayna berdebar.
“Saya menjemput mbak Ayna, atas pesan dari dokter Bintang.”
Ayna terkejut.
“Dari dokter Bintang?” tanya Ayna tak percaya.
“Ya mbak, saya sopir rumah sakit yang melayani dokter Bintang. Dan sekarang mendapat tugas dari dokter Bintang untuk menjemput mbak Ayna.”
“Oh.. eh.. baiklah, sebentar..”
Lalu Ayna menelpon dokter Bintang.
“Benar Ayna, aku menyuruh sopir untuk menjemput kamu, supaya kamu bisa segera sampai dirumah sakit.”
“Oh, baiklah dokter, terimakasih banyak.”
Ayna segera mengemasi barang-barang yang akan ditinggalkannya, kemudian berpamit kepada teman-temannya.
Begitu Ayna naik keatas mobil, Deva yang kebetulan mau keluar melalui toko melihatnya.
“Siapa itu yang menjemput Ayna?” tanyanya kepada teman-teman Ayna.
“Kalau tidak salah dengar, dia sopir rumah sakit, disuruh dokter Bintang menjemput Ayna,” jawab salah seorang diantara mereka.
“Dokter Bintang?”
“Iya mbak.”
“Jadi yang menangani ibunya Ayna itu mas Bintang?” gumam Deva sambil keluar dari toko.
***
“Ternyata sudah tidak bisa dioperasi?” tanya Ayna cemas.
“Harus dilakukan kemo dulu, minimal enam kali, lalu kami akan melihatnya lagi,” kata dokter Bintang.
“Adakah harapan untuk ibu saya sembuh, dokter?”
“Harapan itu harus selalu ada Ayna, jangan pernah putus harapan. Apapun bisa terjadi, dan berharaplah agar yang terjadi adalah yang terbaik."
Ayna diam. Lagi-lagi apa yang dikatakan dokter Bintang tak sepenuhnya membuatnya lega.
“Ayna gadis yang kuat,” kata dokter Bintang menyemangati.
Ayna tak menjawab. Dan Bintang menatap sepasang mata bening yang tampak kuyu dan lelah. Ingin rasanya tangannya menggapai wajah pucat itu, dan mengusap pipinya yang basah oleh air mata.
“Ayna, katakan apabila ibu sudah siap, aku akan meminta kepada dokter yang menanganinya agar membuatkan jadualnya."
Ayna hanya mengangguk.
“Dokter, bolehkah saya tahu berapa besar biayanya? Supaya saya dan bapak bisa mempersiapkannya,” katanya lirih.
“Itu bisa difikirkan nanti, jangan mencemaskan so’al biaya.”
“Apa.. maksud dokter?”
“Aku kan sudah berjanji akan mencarikan keringanan biaya untuk ibu? Jadi kamu jangan memikirkan masalah itu lagi.”
Ayna tak menjawab. Ia tak sepenuhnya mengerti apa arti keringanan biaya itu. Barangkali dokter Bintang akan mencarikan surat tidak mampu, atau entahlah. Pikiran Ayna hanya kepada penyakit ibunya.
“Kamu akan langsung pulang atau kembali ke pekerjaan kamu?”
“Saya.. saya ingin kembali dulu ke toko, tadi saya hanya ijin sebentar.”
“Baiklah, sopir yang tadi sudah menunggu kamu.”
“Aap..apa..? Mengapa saya harus...”
“Tidak apa-apa, itu sopir pribadi aku. “
Ayna berdiri, lalu melangkah ke arah pintu. Sebelum membuka pintu ia menoleh kearah dokter Bintang dan membisikkan sebuah kata terimakasih.
“Terimakasih, dokter.”
Dokter Bintang mengangguk sambil tersenyum. Seandainya hati Ayna tidak sedang gelisah, pasti ia akan mengatakan, betapa gantengnya dokter yang baik hati ini.
***
“Tidak Ayna, aku tidak bersiap untuk itu,” kata bu Sarjono ketika Ayna mengatakan apa yang dikatakan dokter Bintang.
“Ibu, apapun yang terjadi, kita harus tetap berusaha. Semangatlah bu, ibu pasti akan sembuh dan pulih,” kata Ayna sambil memeluk ibunya yang masih terbaring lemah.
“Ya, nanti aku pikirkan,” kata bu Sarjono sambil balas memeluk anaknya.
“Ibu tadi sudah makan? Kok makanannya masih utuh begini? “ tegur Ayna ketika melihat kearah meja dimana ia menyiapkan makan dan obat-obatan untuk ibunya.
“Sudah, tadi makan sama bapak.”
“Hanya berkurang sedikit.”
“Ibu sudah kenyang.”
“Ini masih ada obat yang belum ibu minum. Apakah ibu masih mual?”
“Tidaaak, sudah.. jangan banyak bertanya dan berkata-kata pada ibu, ibu lagi segan berbicara,” kata bu Sarjono lalu membalikkan tubuhnya, memunggungi Ayna.
“Baiklah ibu, ibu istirahat saja dulu, Ayna keluar ya.”
Ayna melangkah keluar dengan sedih. Dilihatnya bapaknya sedang duduk sambil menatap langit-langit. Ayna yakin bahwa bapaknya tak berbeda dengan dirinya, sedih dan bingung.
Ayna mendekat dan duduk didepan bapaknya.
“Tadi dokter Bintang memanggil saya pak.”
“Iya, pasti hasil pemeriksaan lanjutan itu sudah diketahui.”
“Menurut dokter, ibu harus menjalani kemoterapi dulu, paling tidak enam kali.”
“Berapa biayanya nduk?”
“Dokter Bintang tidak menjawab ketika saya bertanya. Katanya dia akan mencarikan keringanan untuk pengobatan ibu.”
“Keringanan bagaimana? Aku sudah meminjam uang kantor, tapi hanya mendapat lima juta. Dan aku berkewajiban mencicilnya setiap bulan. Kira-kira cukup nggak ya ?”
“Sebenarnya pak Yoga juga menawarkan bantuan, tapi saya belum bilang apa-apa.”
“Baiklah, memang kita kan tidak punya banyak harta. Bisanya meminjam, jadi mau bagaimana lagi? Kalau perlu sepeda motor bapak akan bapak jual saja.”
Ayna merasa miris. Banyak yang harus dilakukan demi kesembuhan ibunya. Tapi ibunya tampak tak bersemangat.
“Kamu sudah bulang ibumu tentang apa yang disarankan dokter ?”
“Sudah.”
“Ibu bilang apa?”
“Ibu tampak segan bicara, katanya mau difikirkan dulu.”
“Pasti ibumu memikirkan uang untuk biayanya.”
“Bapak harusnya bilang sama ibu bahwa bapak sudah memegang uangnya.”
“Sudah.”
“Ya sudah, nanti kita bicara lagi sama ibu. Sekarang biarkan dia istirahat. Tapi bagusnya nanti sore kamu serahkan uang yang sudah bapak pegang itu kepada dokter Bintang. Katakan bapak nitip dulu, nanti kalau kurang akan dicarikan.”
“Baiklah.”
***
“Maaas, dengar, aku punya cerita bagus nih,” kata Deva sambil menarik tangan kakaknya dan diajaknya duduk didekatnya.
“Ada apa sih, hm.. aku tahu, kalau bermanis-manis begini ini pasti ada maunya. Ya kan?”
“Bukan, ih.. ini tentang Ayna.”
“Ayna ?” Nanda langsung bersemangat begitu mendengar nama Ayna disebut adiknya.
“Aku tadi kerumah bapak Yoga.”
“Kenapa sih kamu akhir akhir ini sering banget kerumah pak Yoga?”
“Sudah, nggak usah nanya yang macam-macam, mau dengar cerita tentang Ayna tidak?”
“Oke, baiklah, ada apa dengan dia?”
“Aku tadi ketemu dia ditokonya pak Yoga.”
“Lha iya, kan dia bekerja disana?”
“Siang hari ketika istirahat, dia pamit sama pak Yoga, katanya mau kerumah sakit menemui dokter yang menangani ibunya. Tahu nggak mas, tadi tuh mas Bintang menyuruh sopirnya untuk menjemput Ayna ditoko.”
“Masa?”
“Iya. Heran aku, mengapa ya mas Bintang begitu besar perhatiannya sama Ayna.”
“Iya, lebih banyak kesempatan dia untuk bertemu Ayna daripada aku nih.”
“O, jadi kalian ini sedang memperebutkan Ayna?”
“Sore ini aku mau ketemu Bintang.”
“Mau ngapain? Mau marah sama mas Bintang gara-gara penuh perhatian sama Ayna?”
“Bukan, mau .. ini.. dititipin uang sama ibu.. katanya untuk membantu Ayna.”
“Wauuww.. banyak perhatian untuk Ayna rupanya..”
“Kamu jangan sinis begitu, dia memang sedang membutuhkan bantuan. Tapi karena nggak yakin dia akan mau menerimanya, maka aku akan menyerahkannya pada Bintang.”
***
Sore itu Bintang tidak praktek, karena memang dia tidak praktek setiap hari Sabtu.
“Hei, untuk apa amplop ini?” seru Bintang ketika Nanda menyerahkan amplop berisi uang.
“Ini, aku sama ibu sama bapak ngumpulin uang untuk membantu Ayna.”
“Benarkah? Kalau begitu nanti kamu serahkan saja pada Ayna, karena dia bilang akan datang sore ini.”
“Benarkah?” kata Nanda dengan gembira.
“Benar, katanya mau bicara sesuatu.”
“Tapi lebih baik kamu saja nanti yang menyerahkan, aku tak yakin dia mau menerima kalau aku yang menyerahkan.”
Ketika dering ponsel Bintang terdengar, Ia menerimanya dengan segera. Dari Ayna.
“Ayna?” yang terdengar adalah tangis Ayna.
==========
“Ayna... ada apa? Tenang dulu dan baru bicara..” kata Bintang lembut.
“Dokter, ibu saya.. tiba-tiba tak sadarkan diri..”
“Oh ya? Baiklah, aku akan segera kesana,” kata Bintang yang kemudian meletakkan ponselnya.
“Ada apa?” tanya Nanda.
“Aku mau ke rumah Ayna, ibunya pingsan. Barangkali harus segera dibawa kerumah sakit,” kata Bintang yang kemudian berdiri dan mengambil kunci mobilnya.
“Aku ikut,” Nanda mengikutinya.
“Heeiii.. pada mau kemana? Dibuatkan minuman malah kabur,” kata Bulan yang keluar sambil membawa nampan berisi minuman.
Tapi Bintang hanya berteriak sambil masuk kedalam mobilnya.
“Sebentar ! Ada pasien gawat.”
Lalu Bintang dan Nanda sudah masuk kedalam mobil dan keluar dari halaman.
“Aneh .. ada pasien gawat, tapi mas Nanda ikutan heboh.. sejak kapan dia jadi asistennya mas Bintang?”
Lalu Bulan meletakkan nampan itu keatas meja, dan meminum salah satu minuman yang sudah dibuatnya.
“Oh ya, tadi mas Bintang bilang pasien, lalu mas Nanda ikut bersama mas Bintang. Apakah itu ada hubungannya dengan Ayna? Jadi pengin lihat aku, seperti apa sih gadis bernama Ayna itu. Sampai-sampai kakakku yang biasanya tak peduli gadis cantik bisa begitu perhatian sama dia?” gumam Bulan.
***
“Ayna, tenanglah..” kata Nanda yang duduk diruang tunggu disamping Ayna. Trenyuh hati Nanda melihat air mata Ayna yang bercucuran.
Bintang langsung membawanya kerumah sakit dan memasukkannya kedalam ruang IGD.
Pak Sarjono tampak bersedakap dan menatap kearah pintu ruang itu dengan gelisah. Tak ada yang dikatakannya, bahkan sepatah katapun untuk menghibur Ayna juga tidak. Keduanya sama-sama tenggelam dalam kegelisahan dan ketakutan.
Nanda mengulurkan sehelai sapu tangan dari dalam sakunya kepada Ayna.
Ayna menerimanya dan mengelap wajahnya dengan saputangan itu, namun air mata itu tak hendak berhenti mengalir. Nanda meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
“Ayna harus kuat ya. Ibu sedang ditangani. “
Ketika Bintang keluar dari ruang itu, Ayna memburunya.
“Dokter.. bagaimana ibu? Tolong selamatkan dia.”
“Tenanglah Ayn, aku sedang menghubungi dokter yang menanganinya. Kamu harus kuat ya,” kata Bintang sambil menepuk bahu Ayna.
“Bagaimana keadaannya?”
“Dokter, selamatkan isteri saya,” tiba-tiba pak Sarjono sudah mendekati mereka, lalu mengulurkan sebuah amplop.
“Saya punya uang, katakanlah kalau kurang, yang penting isteri saya selamat.”
“Bapak, tolong disimpan dulu uangnya. Biarkan kami menanganinya ya. Kami akan berusaha, tapi kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Bapak dan Ayna harus kuat.”
“Dokter...” , dan tubuh Ayna tiba-tiba limbung. Kata-kata dokter Bintang menyiratkan bahwa kemungkinan ibunya tak akan tertolong.
Nanda yang sudah berada didekatnya segera menangkap tubuh Ayna agar tidak terjatuh, lalu mengangkatnya dan membawanya masuk kedalam ruang IGD atas permintaan Bintang, tak sempat mengambil brankar yang ada tak jauh dari tempat itu.
“Ma’af Ayna..” kata Bintang lirih.
“Ayna... Ayna...”Nanda memanggil-manggil namanya.
Bintang mengangkat kaki Ayna .. mengganjalnya dengan sebuah bantal.
“Ayna.. sadar Ayna... “ Nanda memegangi tangannya dan terus memanggil namanya.
“Bagaimana keadaan ibunya?” tanya Nanda, yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Bintang.
“Sekarang ada diruang ICU,” akhirnya jawab Bintang.
Lalu tiba-tiba Ayna bergerak, lalu membuka matanya.
“Ibu... mana ibuku.. mana ibuku..?” rintihnya lemah.
“Ibu masih ditangani, kamu harus kuat Ayna.”
Ayna bangkit, lalu memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit.
“Aku mau ketemu ibu...”
“Ibu ada diruang ICU, baru saja dipindahkan kesana, menunggu penanganan lebih lanjut.”
“Aku mau ketemu ibu.”
“Baiklah, Nanda, tolong temani Ayna, bapaknya sudah ada disana, aku mau bicara sama dokternya."
***
Hanya dua orang yang boleh memasuki ruangan itu. Ketika Ayna masuk, pak Sarjono sudah ada disana, berdiri disamping isterinya yang terbujur lemah dengan beberapa selang tersambung ketubuhnya. Entah itu apa, tapi bu Sarjono tampak tersadar.
“Ibu...” Ayna langsung menubruk ibunya.
“Jangan menangis Ayn, ibu tidak apa-apa.”
“Bagaimana rasanya bu?”
“Tidak apa-apa.”
“Ibu jangan sakit ya, Ayna tidak mau ibu meninggalkan Ayna.”
Bu Sarjono menampakkan senyuman dibibirnya yang pucat.
“Kamu anak ibu yang kuat. Jangan pernah menangisi apapun. Ibu akan tetap bersama kamu nak.”
Lalu Ayna membetulkan selimut ibunya, dan tiba-tiba Ayna merasa bahwa perut ibunya membesar.
“Mengapa perut ibu ini?”
“Tidak apa-apa, mungkin karena begah, mual..”
“Tidak.. ini tidak biasa.”
Ayna dan pak Srjono dipersilahkan keluar ketika Bintang dengan salah seorang dokter lainnya masuk untuk memeriksa keadaan bu Sarjono.
Ayna terduduk lesu disamping bapaknya. Nanda yang semula berdiri kemudian duduk disamping Ayna.
“Ayna.. berdo’a untuk ibu ya,” bisik Nanda.
***
Beberapa hari berikutnya bu Sarjono masih berada diruang ICU. Ia akan menjalani kemoterapi kalau kondisi fisiknya kuat. Tapi bu Sarjono tampak tidak bersemangat. Ia menjadi semakin lemah dan itu membuat pak Sarjono dan Ayna semakin cemas.
Pemeriksaan jantung, tekanan darah dan semuanya tidak ada yang bisa menunjang kekuatannya apabila tetap dilakukan kemoterapi.
***
“Ayna, bagaimana keadaan ibu?” tanya pak Yoga ketika Ayna masuk kerja setelah empat hari absen karena karus menunggui ibunya.
“Mohon do’anya, bapak,” kata Ayna lirih, sedih.
“Ayna, kamu harus kuat, dan jangan putus selalu berdo’a untuk ibu. Memohonlah yang terbaik untuk ibu kamu.”
“Ya, bapak..”
“Ini, ada sedikit untuk keperluan ibu, “ kata pak Yoga sambil memberikan sebuah amplop yang pastinya berisi uang.
“Ini.. “
“Ini bawa saja, barangkali kamu membutuhkan sesuatu untuk ibu. Orang sakit pasti banyak keperluannya. Ini hanya sekedar membantu. Terimalah Ayna.”
“Terimakasih bapak.”
“Sebenarnya kamu tidak usah masuk dulu juga tidak apa-apa, ibu kamu kan membutuhkan banyak perhatian.”
“Bapak mengambil cuti seminggu untuk menunggui ibu.”
“Oh, syukurlah. Semoga ibumu cepat sembuh ya Ayn.”
“Terimakasih bapak.”
Ayna memegangi amplop itu. Beberapa hari yang lalu Nanda juga memberikan amplop berisi uang. Lumayan banyak, tapi uang itu tidak bisa menghiburnya. Sejauh ini bapaknya hanya membayar obat-obat yang diperlukan, yang sebagian besar berujud infus atau obat untuk disuntikkan.
“Ya Tuhan, janganlah Kau ambil ibuku...” lalu dengan linangan air mata dimasukkannya amplop itu kedalam tasnya.
Teman-temannya tak ada yang merasa kesal walau Ayna sedikit sekali bekerja. Mereka maklum atas derita yang disandang teman kerjanya, dan berkali-kali mengatakan ikut prihatin atas sakit ibunya.
***
Sepuluh hari lebih bu Sarjono berada diruang ICU, dan belum menampakkan tanda-tanda perbaikan. Ia justru selalu merengek minta pulang.
“Mas, aku tidak betah lagi berada disini..” keluhnya lemah kepada suaminya.
“Ibu sabar ya..”
“Lebih baik aku pulang saja. Aku kangen rumahku, mas.”
“Ya, nanti kalau ibu sudah merasa sehat, pasti boleh pulang.”
“Sudah lama aku disini dan belum juga sembuh, mas sudah menghabiskan uang berapa saja untuk aku mas?”
“Mengapa ibu berkata begitu? Jangan memikirkan uang, semangat ya bu.”
Bu Sarjono diam. Ia merasa letih untuk bicara.
“Sabar ya bu.. dan kuat. Ingatlah Ayna, ia sangat ingin segera bisa membawa ibu pulang, lalu kita bisa menikmati masakan ibu. Aku kangen ibu masak terancam, ikan goreng, lalu...”
Tapi bu Sarjono menutup matanya.
Pak Sarjono menggoyangkan tubuhnya pelan.
“Bu.. ibu..”
“Mas sayang sama ibu ini?” katanya sambil membuka kembali matanya.
“Mengapa ibu bertanya begitu? Tentu saja mas sangat sayang sama ibu.”
“Ibu berharap, mas juga menyayangi Ayna..”
“Ibu, sejak Ayna masih kecil, ia sudah menjadi anakku. Apa ibu lupa?”
Bu Sarjono mengangguk lemah, lalu kembali memejamkan matanya.
***
Malam itu Ayna menjaga ibunya diruang tunggu, karena tidak boleh tidur didalam ruang ICU. Ada Bintang dan Nanda yang setiap sa’at menemaninya, dan menguatkan hatinya.
Ayna sangat berterimakasih karena banyak yang mendukung ketika ia bertahan melawan duka yang menyesak dadanya.
Malam itu Ayna tertidur dikursi tunggu. Nanda menyelimuti tubuhnya dengan jacket yang dibawanya.
“Kamu tidak ingin pulang dulu?” tanya Bintang.
“Sebentar lagi. Ini masih sore,” kata Nanda.
“Jam sepuluh malam Nan,” Bintang mengingatkan.
“Kamu sendiri tidak mau pulang?”
“Sebentar lagi, menunggu pak Sarjono yang tadi pamit kebelakang.
Ayna mengubah posisi tidurnya. Pasti ia sangat letih.
Tiba-tiba Ayna melihat ibunya berdiri didepan pintu berpakaian serba putih. Ayna berfikir perawat telah menggantikan bajunya.
“Ibu.. mengapa ibu berdiri disitu?”
“Ayna, ibu sangat letih. Ibu mau pulang.”
“Jangan bu, tunggu kalau ibu sudah sehat..”
“Ibu lelah Ayn.. biarkan ibu pulang saja...”
“Ibu...”
Dan Ayna melihat ibunya melangkah pergi. Ayna terkejut..
“Ibuuu... tunggu dulu ibuuu... ibu..”
Ayna ingin bangkit, tapi Bintang dan Nanda memegangi tangannya.
“Ibu... mau kemana ibu ?”
Ayna membuka matanya, ternyata ia hanya bermimpi. Ia menghela nafas lega. Tapi tiba-tiba dilihatnya dokter yang menangani sakit ibunya tampak terburu memasuki ruang itu. Bintang memburunya. Perasaan Ayna sungguh tak enak.
“Ada apa?”
“Tenanglah Ayna, tidak apa-apa, kamu tadi mimpi buruk ya?"
Lalu dilihatnya pak Sarjono mendekat dan duduk disamping Ayna.
“Ada apa?”
Ayna mengangkat bahunya tanda tak mengerti. Ia terus memandangi pintu ruang itu. Lalu dilihatnya Bintang dan salah seorang dokter keluar. Pak Sarjono dan Ayna memburunya.
“Ayna.. kamu harus kuat. Ibu sudah pergi dengan tenang,” bisik Bintang bergetar, lalu memeluk Ayna erat, yang terkulai dipundak Bintang.
Akhirnya penantian itu sampai diujungnya. Tak lagi ada tanya, karena Allah telah menjawabnya. Ada tempat terbaik bagi bu Sarjono, dan Ayna serta pak Sarjono harus mengikhlaskannya.
***
Air mata Ayna telah habis terkuras. Hari-hari yang menggulung menyisakan duka yang tak akan pernah lenyap dari sanubarinya. Gundukan tanah bertabur kembang itu ditatapnya tanpa berkedip. Ada orang terkasih terbaring disana, karena lelah oleh sakit yang dideritanya.
“Semoga tenang disisiNya, ibu, Ayna ikhlas. Ayna tak akan menangis lagi , agar ibu tak menyesali perjalanan panjang yang akan ibu tempuh.”
Tak lelah berjabat tangan, Ayna menyadari betapa banyak orang yang membantunya, ikut menopang duka yang bergayut, dan Ayna sadar bawa ia harus melanjutkan hidupnya.
“Ayna, aku ikut berduka ya,” sebuah bisikan terdengar dari mulut seorang gadis cantik yang sebelumnya sering manyakitinya. Deva, yang berada diantara keluarga Yoga, termasuk Bimo, tunangan Deva.
“Terima kasih mbak Deva, terimakasih mas Bimo, bapak Yoga, ibu, semuanya..” kata Ayna lirih.
“Tabah dan kuat Ayna,” kata Nanda sambil memeluk Ayna.
“Ayna, aku akan selalu ada untuk kamu,” bisik Bintang yang juga merengkuh Ayna kedalam pelukannya.
***
Hari terus berjalan, dan sudah setengah tahun bu Sarjono pergi meninggalkan suami dan anaknya. Ayna berusaha tegar, karena apapun yang terjadi sudah menjadi kehendakNya. Ia melakukan tugas dirumah seperti biasa, melayani bapaknya, dan tetap bekerja ditoko pak Yoga.
Sore hari itu, ketika Ayna pulang dari bekerja, dirasanya rumah sangat sepi. Biasanya pak Sarjono pulang lebih dulu, lalu membantu membersihkan rumah, supaya kalau pagi tidak harus terburu-buru sebelum masuk ke kantor. Tapi Ayna tak melihat bapaknya. Ia terus berjalan ke belakang, sepi, lalu Ayna menjenguk kearah kamar bapaknya yang sedikit terbuka. Dilihatnya pak Sarjono terbaring, dan berselimut tebal. Ayna mendekat.
“Bapak sakit ?”
“Iya Ayn, agak meriang.”
“Sudah minum obat?”
“Sudah.”
“Ayna akan buatkan teh panas buat bapak,” kata Ayna yang langsung pergi ke belakang, lalu kembali setelah membawakan segelas teh panas.
“Minumlah pak, apakah bapak bisa bangun?”
Pak Sarjono berusaha bangun, tapi kemudian ia merebahkan kembali tubuhnya. Ayna membantu mengangkat kepala bapaknya, agar bisa minum dengan mudah.
“Bapak beristirahat saja dulu, nanti kalau panasnya belum reda, lebih baik ke dokter ya pak.”
“Ya, tapi ini sudah lebih mendingan.”
Ayna mengangguk, lalu keluar dari kamar. Ia mandi, kemudian melihat apakah makanan yang ada masih cukup untuk malam nanti.
“Syukurlah, masih ada sayur dan lauk. Untunglah bapak selalu makan seadanya, dan tidak pernah menuntut yang lain walau barangkali masakanku tidak berkenan.”
Ayna hanya cukup menghangatkan saja untuk makan malam nanti.
Ayna menjenguk ke arah kamar bapaknya, dan melihat bapaknya masih tertidur. Lalu Ayna mengambil sapu untuk bersih-bersih rumah karena bapaknya tidak bisa melakukannya.
Tiba-tiba ponsel Ayna berdering. Ayna tersenyum, dering telponnya selalu kalau tidak dari Nanda pastilah dari Bintang.
“Ya mas Bintang,” kata Ayna menjawab sapaan Bintang di telpon. Bintang selalu melarang Ayna memanggil dokter Bintang seperti yang sudah-sudah.
“Nanti malam aku samperin ya.”
“Kemana?”
“Jalan-jalan saja.”
“Tapi bapak sedang sakit, bagaimana kalau dirumah saja?”
“Baiklah, yang penting kan ketemu kamu.”
Ayna tersenyum ketika menutup kembali ponselnya.
Setelah menata meja makan, Ayna masuk ke kamar bapaknya. Ayna lega ketika melihat bapaknya duduk ditepi pembaringan.
“Syukurlah kalau bapak sudah sehat.”
“Ayna..”
“Ya pak..”
“Kemarilah sebentar, tolong gosok punggung bapak ini dengan minyak gosok.”
Ayna mendekat. Bagaimanapun pak Sarjono sudah dianggap seperti bapaknya sendiri. Ia meraih minyak gosok diatas meja, lalu ia membalikkan tubuhnya, tapi Ayna terkejut bukan alang kepalang ketika pak Sarjono memeluknya.
Ayna meronta, karena merasa itu tidak pantas. Dan Ayna merasa ngeri metihat tatapan mata pak Sarjono yang tampak aneh.
“Bapak ! Apa yang bapak lakukan?!” Ayna berteriak marah sambil mundur kearah pintu. Tapi pak Sarjono memburunya.
Rasa sepi kehilangan isteri membuat pak Sarjono lupa diri. Sosok Ayna yang cantik dianggapnya bisa menjadi pengganti.
“Kamu seperti ibumu..”
Ayna semakin mundur mendekati pintu, namun ketika tangannya hampir berhasil meraih gagang pintu, pak Sarjono menyergapnya.
Bersambung #5
“Perlu dibantu, ibu?”
“Tidak nak,” katanya sambil menutupkan kembali pintunya.
Sambil berganti pakaian itu bu Sarjono masih memikirkan perutnya yang agak membesar dan terasa keras ketika diraba.
“Aku yakin bahwa penyakitku ini tak akan bisa disembuhkan. Rasanya kalau terus berobat hanya akan membuang-buang uang. Kasihan mas Sarjono dan Ayna. Lebih baik aku diam dan merasa lebih sehat sehingga mereka tak akan memaksa aku melanjutkan pengobatan ini,” gumam bu Sarjono.
Ia keluar dari kamar mandi, dan tubuhnya terasa lemas. Rasa mual dan sesak di ulu hati terus menyiksanya. Katika Ayna masuk kekamar, dilihatnya ibunya sudah berbaring diranjang dengan mata terpejam. Rupanya tidak mudah berpura-pura sehat sementara rasa sakit begitu menyiksanya.
“Ibu makan dulu ya?”
Bu Sarjono membuka matanya.
“Nanti saja nak, perut ibu mual.”
“Minum obatnya dulu ya bu, kan kalau mual bisa diminum sebelum makan?”
“Terserah kamu saja.”
Ayna mengambilkan obat mual, lalu membantu ibuny minum obatnya. Ayna merasa khawatir melihat wajah ibunya pucat. Ada obat-obat yang harus diminum ibunya yang dia tidak tahu namanya.
“Ibu mau makan dikamar saja?” kata pak Sarjono yang sudah rapi dan siap masuk ke kantor.
“Nanti saja. Bapak sama Ayna sarapan dulu, lalu berangkatlah kerja. Nanti kalau perutku terasa enak, aku ambil sendiri makanannya.”
Sebenarnya Ayna tak tega meninggalkan ibunya. Tapi kalau dia tidak bekerja, bagaimana ia bisa membantu pengobatan ibunya? Karenanya setelah sarapan sekadarnya, Ayna menyiapkan makan untuk ibunya dikamar.
“Apa aku tidak usah masuk kerja saja hari ini?” kata pak Sarjono ketika memasuki kamar isterinya sebelum berangkat.
”Jangan pak, bapak masuk kerja saja. Demikian juga Ayna. Ibu tidak apa-apa. Ayna sudah menyiapkan semuanya disini. Makan dan obat-obat yang harus aku minum.”
“Bagaimana rasanya badan ibu?”
“Tidak apa-apa, hanya mual, tapi Ayna sudah memberi aku minum obat mual. Nanti pasti reda, lalu aku makan.”
“Sebenarnya nggak tega meninggalkan ibu sendirian dalam keadaan sakit begini,” kata Ayna.
Bu Sarjono mencoba tersenyum. Diraihnya lengan Ayna yang berdiri disamping ranjangnya.
“Jangan khawatirkan ibumu nak. Ibu hanya tak ingin kamu sedih dan menderita. Ibu akan baik-baik saja.”
“Baiklah ibu. Tapi kalau ibu menginginkan sesuatu, ibu telpon Ayna ya,” kata Ayna sambil mencium tangan ibunya agak lama.
“Nanti sa’at istirahat makan siang bapak juga akan pulang.”
“Ya mas..”
***
Ayna sedang membantu menata barang yang baru datang ketika ponselnya berdering.
“Ayna,” sapa dari seberang.
“Dokter Bintang ?”
“Ya Ayna, bisakah kamu datang kerumah sakit?”
“Sekarang dokter ?”
“Kamu istirahat jam berapa?”
“Jam duabelas dokter.”
“Baiklah, nanti jam duabelas temui aku dirumah sakit ya.”
“Memangnya ada apa dok ?”
“Kita akan bicara tentang pengobatan untuk ibu.”
“Baiklah, saya akan minta ijin nanti.”
Ketika meletakkan ponselnya , hati Ayna berdebar-debar.
“Apa ya, yang akan dikatakan dokter Bintang nanti?” tanyanya dalam hati. Ayna lalu melangkah keruang pak Yoga.
Tapi sebelum masuk ia berpapasan dengan Deva. Aduuh, heran juga Ayna, akhir-akhir ini sering sekali Deva datang kerumah pak Yoga, dan pasti juga melongok-longok ke toko, membuatnya risih, seakan sedang diawasi.
“Ayna ?”
“Ya mbak Deva.”
“Mau ngapain kamu?”
“Saya mau keruang pak Yoga.”
“Ngapain keruang bapak?”
“Mau.. minta ijin sebentar.”
“Hmh, enak ya.. waktunya kerja pakai ijin segala,” kata Deva sengit.
“Saya ada perlu mbak, “ kata Ayna yang langsung mengetuk pintu ruang pak Yoga.
“Masuk...” suara pak Yoga dari dalam.
Tapi Deva langsung menerobos masuk mendahului Ayna.
“Deva? Tumben pakai ketuk pintu segala, biasanya kamu nyelonong saja kalau mau ketemu bapak.”
“Saya yang mengetuk pintu, bapak,” kata Ayna yang masih berdiri didepan pintu, membiarkan Deva duduk didepan pak Yoga.
“Ayna ? Ada apa ?”
Ayna menarik kursi yang ada disamping Deva, agak mundur, baru kemudian dia duduk.
“Bapak, kalau boleh nanti ketika sa’at istirahat saya mohon ijin sebentar.”
“Mau kemana Ayna ?”
“Baru saja dokter yang menangani ibu saya menelpon, saya ditunggu di rumah sakit siang ini.”
“Oh, baiklah Ayna, kalau perlu sekarang saja temuilah dokternya.”
“Tidak bapak, nanti saja jam duabelas, seperti janji saya kepada dokter itu.”
“Baiklah, tidak apa-apa. Dan saya ingatkan, katakan kalau kamu perlu bantuan.”
“Baik bapak, terimakasih banyak. Saya permisi,” kata Ayna sambil berdiri lalu keluar dari ruang pak Yoga.
Pak Yoga tampak menghela nafas.
“Kasihan anak itu,” gumam pak Yoga pelan.
“Memangnya ibunya sakit apa ?”
“Kanker..”
“Kanker? Aduh, itu penyakit yang berat.”
“Dan tampaknya sudah stadium lanjut. Itu sebabnya bapak sangat kasihan melihatnya.”
“Iya.”
“Kamu tampak tidak suka sama Ayna? Bapak beri tahu kamu ya, kekhawatiran kamu tidak beralasan. Mereka juga jarang ketemu. Bimo pulang dari kantor ketika semua karyawan sudah pulang.”
Deva hanya mengangguk. Cerita tentang ibunya Ayna membuat rasa cemburu nya sedikit luntur.
***
Jam duabelas kurang lima menit, Ayna membereskan pekerjaannya. Sebentar lagi dia bersiap pergi ke rumah sakit. Ia sudah bilang kepada teman-temannya, dan sudah minta ijin kepada pak Yoga.
“Selamat siang,” Ayna menoleh kearah datangnya suara.
“Ya bapak, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mencari mbak Ayna,” kata laki-laki setengah baya itu.
“Saya Ayna, ada apa bapak ?” tanya Ayna berdebar.
“Saya menjemput mbak Ayna, atas pesan dari dokter Bintang.”
Ayna terkejut.
“Dari dokter Bintang?” tanya Ayna tak percaya.
“Ya mbak, saya sopir rumah sakit yang melayani dokter Bintang. Dan sekarang mendapat tugas dari dokter Bintang untuk menjemput mbak Ayna.”
“Oh.. eh.. baiklah, sebentar..”
Lalu Ayna menelpon dokter Bintang.
“Benar Ayna, aku menyuruh sopir untuk menjemput kamu, supaya kamu bisa segera sampai dirumah sakit.”
“Oh, baiklah dokter, terimakasih banyak.”
Ayna segera mengemasi barang-barang yang akan ditinggalkannya, kemudian berpamit kepada teman-temannya.
Begitu Ayna naik keatas mobil, Deva yang kebetulan mau keluar melalui toko melihatnya.
“Siapa itu yang menjemput Ayna?” tanyanya kepada teman-teman Ayna.
“Kalau tidak salah dengar, dia sopir rumah sakit, disuruh dokter Bintang menjemput Ayna,” jawab salah seorang diantara mereka.
“Dokter Bintang?”
“Iya mbak.”
“Jadi yang menangani ibunya Ayna itu mas Bintang?” gumam Deva sambil keluar dari toko.
***
“Ternyata sudah tidak bisa dioperasi?” tanya Ayna cemas.
“Harus dilakukan kemo dulu, minimal enam kali, lalu kami akan melihatnya lagi,” kata dokter Bintang.
“Adakah harapan untuk ibu saya sembuh, dokter?”
“Harapan itu harus selalu ada Ayna, jangan pernah putus harapan. Apapun bisa terjadi, dan berharaplah agar yang terjadi adalah yang terbaik."
Ayna diam. Lagi-lagi apa yang dikatakan dokter Bintang tak sepenuhnya membuatnya lega.
“Ayna gadis yang kuat,” kata dokter Bintang menyemangati.
Ayna tak menjawab. Dan Bintang menatap sepasang mata bening yang tampak kuyu dan lelah. Ingin rasanya tangannya menggapai wajah pucat itu, dan mengusap pipinya yang basah oleh air mata.
“Ayna, katakan apabila ibu sudah siap, aku akan meminta kepada dokter yang menanganinya agar membuatkan jadualnya."
Ayna hanya mengangguk.
“Dokter, bolehkah saya tahu berapa besar biayanya? Supaya saya dan bapak bisa mempersiapkannya,” katanya lirih.
“Itu bisa difikirkan nanti, jangan mencemaskan so’al biaya.”
“Apa.. maksud dokter?”
“Aku kan sudah berjanji akan mencarikan keringanan biaya untuk ibu? Jadi kamu jangan memikirkan masalah itu lagi.”
Ayna tak menjawab. Ia tak sepenuhnya mengerti apa arti keringanan biaya itu. Barangkali dokter Bintang akan mencarikan surat tidak mampu, atau entahlah. Pikiran Ayna hanya kepada penyakit ibunya.
“Kamu akan langsung pulang atau kembali ke pekerjaan kamu?”
“Saya.. saya ingin kembali dulu ke toko, tadi saya hanya ijin sebentar.”
“Baiklah, sopir yang tadi sudah menunggu kamu.”
“Aap..apa..? Mengapa saya harus...”
“Tidak apa-apa, itu sopir pribadi aku. “
Ayna berdiri, lalu melangkah ke arah pintu. Sebelum membuka pintu ia menoleh kearah dokter Bintang dan membisikkan sebuah kata terimakasih.
“Terimakasih, dokter.”
Dokter Bintang mengangguk sambil tersenyum. Seandainya hati Ayna tidak sedang gelisah, pasti ia akan mengatakan, betapa gantengnya dokter yang baik hati ini.
***
“Tidak Ayna, aku tidak bersiap untuk itu,” kata bu Sarjono ketika Ayna mengatakan apa yang dikatakan dokter Bintang.
“Ibu, apapun yang terjadi, kita harus tetap berusaha. Semangatlah bu, ibu pasti akan sembuh dan pulih,” kata Ayna sambil memeluk ibunya yang masih terbaring lemah.
“Ya, nanti aku pikirkan,” kata bu Sarjono sambil balas memeluk anaknya.
“Ibu tadi sudah makan? Kok makanannya masih utuh begini? “ tegur Ayna ketika melihat kearah meja dimana ia menyiapkan makan dan obat-obatan untuk ibunya.
“Sudah, tadi makan sama bapak.”
“Hanya berkurang sedikit.”
“Ibu sudah kenyang.”
“Ini masih ada obat yang belum ibu minum. Apakah ibu masih mual?”
“Tidaaak, sudah.. jangan banyak bertanya dan berkata-kata pada ibu, ibu lagi segan berbicara,” kata bu Sarjono lalu membalikkan tubuhnya, memunggungi Ayna.
“Baiklah ibu, ibu istirahat saja dulu, Ayna keluar ya.”
Ayna melangkah keluar dengan sedih. Dilihatnya bapaknya sedang duduk sambil menatap langit-langit. Ayna yakin bahwa bapaknya tak berbeda dengan dirinya, sedih dan bingung.
Ayna mendekat dan duduk didepan bapaknya.
“Tadi dokter Bintang memanggil saya pak.”
“Iya, pasti hasil pemeriksaan lanjutan itu sudah diketahui.”
“Menurut dokter, ibu harus menjalani kemoterapi dulu, paling tidak enam kali.”
“Berapa biayanya nduk?”
“Dokter Bintang tidak menjawab ketika saya bertanya. Katanya dia akan mencarikan keringanan untuk pengobatan ibu.”
“Keringanan bagaimana? Aku sudah meminjam uang kantor, tapi hanya mendapat lima juta. Dan aku berkewajiban mencicilnya setiap bulan. Kira-kira cukup nggak ya ?”
“Sebenarnya pak Yoga juga menawarkan bantuan, tapi saya belum bilang apa-apa.”
“Baiklah, memang kita kan tidak punya banyak harta. Bisanya meminjam, jadi mau bagaimana lagi? Kalau perlu sepeda motor bapak akan bapak jual saja.”
Ayna merasa miris. Banyak yang harus dilakukan demi kesembuhan ibunya. Tapi ibunya tampak tak bersemangat.
“Kamu sudah bulang ibumu tentang apa yang disarankan dokter ?”
“Sudah.”
“Ibu bilang apa?”
“Ibu tampak segan bicara, katanya mau difikirkan dulu.”
“Pasti ibumu memikirkan uang untuk biayanya.”
“Bapak harusnya bilang sama ibu bahwa bapak sudah memegang uangnya.”
“Sudah.”
“Ya sudah, nanti kita bicara lagi sama ibu. Sekarang biarkan dia istirahat. Tapi bagusnya nanti sore kamu serahkan uang yang sudah bapak pegang itu kepada dokter Bintang. Katakan bapak nitip dulu, nanti kalau kurang akan dicarikan.”
“Baiklah.”
***
“Maaas, dengar, aku punya cerita bagus nih,” kata Deva sambil menarik tangan kakaknya dan diajaknya duduk didekatnya.
“Ada apa sih, hm.. aku tahu, kalau bermanis-manis begini ini pasti ada maunya. Ya kan?”
“Bukan, ih.. ini tentang Ayna.”
“Ayna ?” Nanda langsung bersemangat begitu mendengar nama Ayna disebut adiknya.
“Aku tadi kerumah bapak Yoga.”
“Kenapa sih kamu akhir akhir ini sering banget kerumah pak Yoga?”
“Sudah, nggak usah nanya yang macam-macam, mau dengar cerita tentang Ayna tidak?”
“Oke, baiklah, ada apa dengan dia?”
“Aku tadi ketemu dia ditokonya pak Yoga.”
“Lha iya, kan dia bekerja disana?”
“Siang hari ketika istirahat, dia pamit sama pak Yoga, katanya mau kerumah sakit menemui dokter yang menangani ibunya. Tahu nggak mas, tadi tuh mas Bintang menyuruh sopirnya untuk menjemput Ayna ditoko.”
“Masa?”
“Iya. Heran aku, mengapa ya mas Bintang begitu besar perhatiannya sama Ayna.”
“Iya, lebih banyak kesempatan dia untuk bertemu Ayna daripada aku nih.”
“O, jadi kalian ini sedang memperebutkan Ayna?”
“Sore ini aku mau ketemu Bintang.”
“Mau ngapain? Mau marah sama mas Bintang gara-gara penuh perhatian sama Ayna?”
“Bukan, mau .. ini.. dititipin uang sama ibu.. katanya untuk membantu Ayna.”
“Wauuww.. banyak perhatian untuk Ayna rupanya..”
“Kamu jangan sinis begitu, dia memang sedang membutuhkan bantuan. Tapi karena nggak yakin dia akan mau menerimanya, maka aku akan menyerahkannya pada Bintang.”
***
Sore itu Bintang tidak praktek, karena memang dia tidak praktek setiap hari Sabtu.
“Hei, untuk apa amplop ini?” seru Bintang ketika Nanda menyerahkan amplop berisi uang.
“Ini, aku sama ibu sama bapak ngumpulin uang untuk membantu Ayna.”
“Benarkah? Kalau begitu nanti kamu serahkan saja pada Ayna, karena dia bilang akan datang sore ini.”
“Benarkah?” kata Nanda dengan gembira.
“Benar, katanya mau bicara sesuatu.”
“Tapi lebih baik kamu saja nanti yang menyerahkan, aku tak yakin dia mau menerima kalau aku yang menyerahkan.”
Ketika dering ponsel Bintang terdengar, Ia menerimanya dengan segera. Dari Ayna.
“Ayna?” yang terdengar adalah tangis Ayna.
==========
“Ayna... ada apa? Tenang dulu dan baru bicara..” kata Bintang lembut.
“Dokter, ibu saya.. tiba-tiba tak sadarkan diri..”
“Oh ya? Baiklah, aku akan segera kesana,” kata Bintang yang kemudian meletakkan ponselnya.
“Ada apa?” tanya Nanda.
“Aku mau ke rumah Ayna, ibunya pingsan. Barangkali harus segera dibawa kerumah sakit,” kata Bintang yang kemudian berdiri dan mengambil kunci mobilnya.
“Aku ikut,” Nanda mengikutinya.
“Heeiii.. pada mau kemana? Dibuatkan minuman malah kabur,” kata Bulan yang keluar sambil membawa nampan berisi minuman.
Tapi Bintang hanya berteriak sambil masuk kedalam mobilnya.
“Sebentar ! Ada pasien gawat.”
Lalu Bintang dan Nanda sudah masuk kedalam mobil dan keluar dari halaman.
“Aneh .. ada pasien gawat, tapi mas Nanda ikutan heboh.. sejak kapan dia jadi asistennya mas Bintang?”
Lalu Bulan meletakkan nampan itu keatas meja, dan meminum salah satu minuman yang sudah dibuatnya.
“Oh ya, tadi mas Bintang bilang pasien, lalu mas Nanda ikut bersama mas Bintang. Apakah itu ada hubungannya dengan Ayna? Jadi pengin lihat aku, seperti apa sih gadis bernama Ayna itu. Sampai-sampai kakakku yang biasanya tak peduli gadis cantik bisa begitu perhatian sama dia?” gumam Bulan.
***
“Ayna, tenanglah..” kata Nanda yang duduk diruang tunggu disamping Ayna. Trenyuh hati Nanda melihat air mata Ayna yang bercucuran.
Bintang langsung membawanya kerumah sakit dan memasukkannya kedalam ruang IGD.
Pak Sarjono tampak bersedakap dan menatap kearah pintu ruang itu dengan gelisah. Tak ada yang dikatakannya, bahkan sepatah katapun untuk menghibur Ayna juga tidak. Keduanya sama-sama tenggelam dalam kegelisahan dan ketakutan.
Nanda mengulurkan sehelai sapu tangan dari dalam sakunya kepada Ayna.
Ayna menerimanya dan mengelap wajahnya dengan saputangan itu, namun air mata itu tak hendak berhenti mengalir. Nanda meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
“Ayna harus kuat ya. Ibu sedang ditangani. “
Ketika Bintang keluar dari ruang itu, Ayna memburunya.
“Dokter.. bagaimana ibu? Tolong selamatkan dia.”
“Tenanglah Ayn, aku sedang menghubungi dokter yang menanganinya. Kamu harus kuat ya,” kata Bintang sambil menepuk bahu Ayna.
“Bagaimana keadaannya?”
“Dokter, selamatkan isteri saya,” tiba-tiba pak Sarjono sudah mendekati mereka, lalu mengulurkan sebuah amplop.
“Saya punya uang, katakanlah kalau kurang, yang penting isteri saya selamat.”
“Bapak, tolong disimpan dulu uangnya. Biarkan kami menanganinya ya. Kami akan berusaha, tapi kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Bapak dan Ayna harus kuat.”
“Dokter...” , dan tubuh Ayna tiba-tiba limbung. Kata-kata dokter Bintang menyiratkan bahwa kemungkinan ibunya tak akan tertolong.
Nanda yang sudah berada didekatnya segera menangkap tubuh Ayna agar tidak terjatuh, lalu mengangkatnya dan membawanya masuk kedalam ruang IGD atas permintaan Bintang, tak sempat mengambil brankar yang ada tak jauh dari tempat itu.
“Ma’af Ayna..” kata Bintang lirih.
“Ayna... Ayna...”Nanda memanggil-manggil namanya.
Bintang mengangkat kaki Ayna .. mengganjalnya dengan sebuah bantal.
“Ayna.. sadar Ayna... “ Nanda memegangi tangannya dan terus memanggil namanya.
“Bagaimana keadaan ibunya?” tanya Nanda, yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Bintang.
“Sekarang ada diruang ICU,” akhirnya jawab Bintang.
Lalu tiba-tiba Ayna bergerak, lalu membuka matanya.
“Ibu... mana ibuku.. mana ibuku..?” rintihnya lemah.
“Ibu masih ditangani, kamu harus kuat Ayna.”
Ayna bangkit, lalu memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit.
“Aku mau ketemu ibu...”
“Ibu ada diruang ICU, baru saja dipindahkan kesana, menunggu penanganan lebih lanjut.”
“Aku mau ketemu ibu.”
“Baiklah, Nanda, tolong temani Ayna, bapaknya sudah ada disana, aku mau bicara sama dokternya."
***
Hanya dua orang yang boleh memasuki ruangan itu. Ketika Ayna masuk, pak Sarjono sudah ada disana, berdiri disamping isterinya yang terbujur lemah dengan beberapa selang tersambung ketubuhnya. Entah itu apa, tapi bu Sarjono tampak tersadar.
“Ibu...” Ayna langsung menubruk ibunya.
“Jangan menangis Ayn, ibu tidak apa-apa.”
“Bagaimana rasanya bu?”
“Tidak apa-apa.”
“Ibu jangan sakit ya, Ayna tidak mau ibu meninggalkan Ayna.”
Bu Sarjono menampakkan senyuman dibibirnya yang pucat.
“Kamu anak ibu yang kuat. Jangan pernah menangisi apapun. Ibu akan tetap bersama kamu nak.”
Lalu Ayna membetulkan selimut ibunya, dan tiba-tiba Ayna merasa bahwa perut ibunya membesar.
“Mengapa perut ibu ini?”
“Tidak apa-apa, mungkin karena begah, mual..”
“Tidak.. ini tidak biasa.”
Ayna dan pak Srjono dipersilahkan keluar ketika Bintang dengan salah seorang dokter lainnya masuk untuk memeriksa keadaan bu Sarjono.
Ayna terduduk lesu disamping bapaknya. Nanda yang semula berdiri kemudian duduk disamping Ayna.
“Ayna.. berdo’a untuk ibu ya,” bisik Nanda.
***
Beberapa hari berikutnya bu Sarjono masih berada diruang ICU. Ia akan menjalani kemoterapi kalau kondisi fisiknya kuat. Tapi bu Sarjono tampak tidak bersemangat. Ia menjadi semakin lemah dan itu membuat pak Sarjono dan Ayna semakin cemas.
Pemeriksaan jantung, tekanan darah dan semuanya tidak ada yang bisa menunjang kekuatannya apabila tetap dilakukan kemoterapi.
***
“Ayna, bagaimana keadaan ibu?” tanya pak Yoga ketika Ayna masuk kerja setelah empat hari absen karena karus menunggui ibunya.
“Mohon do’anya, bapak,” kata Ayna lirih, sedih.
“Ayna, kamu harus kuat, dan jangan putus selalu berdo’a untuk ibu. Memohonlah yang terbaik untuk ibu kamu.”
“Ya, bapak..”
“Ini, ada sedikit untuk keperluan ibu, “ kata pak Yoga sambil memberikan sebuah amplop yang pastinya berisi uang.
“Ini.. “
“Ini bawa saja, barangkali kamu membutuhkan sesuatu untuk ibu. Orang sakit pasti banyak keperluannya. Ini hanya sekedar membantu. Terimalah Ayna.”
“Terimakasih bapak.”
“Sebenarnya kamu tidak usah masuk dulu juga tidak apa-apa, ibu kamu kan membutuhkan banyak perhatian.”
“Bapak mengambil cuti seminggu untuk menunggui ibu.”
“Oh, syukurlah. Semoga ibumu cepat sembuh ya Ayn.”
“Terimakasih bapak.”
Ayna memegangi amplop itu. Beberapa hari yang lalu Nanda juga memberikan amplop berisi uang. Lumayan banyak, tapi uang itu tidak bisa menghiburnya. Sejauh ini bapaknya hanya membayar obat-obat yang diperlukan, yang sebagian besar berujud infus atau obat untuk disuntikkan.
“Ya Tuhan, janganlah Kau ambil ibuku...” lalu dengan linangan air mata dimasukkannya amplop itu kedalam tasnya.
Teman-temannya tak ada yang merasa kesal walau Ayna sedikit sekali bekerja. Mereka maklum atas derita yang disandang teman kerjanya, dan berkali-kali mengatakan ikut prihatin atas sakit ibunya.
***
Sepuluh hari lebih bu Sarjono berada diruang ICU, dan belum menampakkan tanda-tanda perbaikan. Ia justru selalu merengek minta pulang.
“Mas, aku tidak betah lagi berada disini..” keluhnya lemah kepada suaminya.
“Ibu sabar ya..”
“Lebih baik aku pulang saja. Aku kangen rumahku, mas.”
“Ya, nanti kalau ibu sudah merasa sehat, pasti boleh pulang.”
“Sudah lama aku disini dan belum juga sembuh, mas sudah menghabiskan uang berapa saja untuk aku mas?”
“Mengapa ibu berkata begitu? Jangan memikirkan uang, semangat ya bu.”
Bu Sarjono diam. Ia merasa letih untuk bicara.
“Sabar ya bu.. dan kuat. Ingatlah Ayna, ia sangat ingin segera bisa membawa ibu pulang, lalu kita bisa menikmati masakan ibu. Aku kangen ibu masak terancam, ikan goreng, lalu...”
Tapi bu Sarjono menutup matanya.
Pak Sarjono menggoyangkan tubuhnya pelan.
“Bu.. ibu..”
“Mas sayang sama ibu ini?” katanya sambil membuka kembali matanya.
“Mengapa ibu bertanya begitu? Tentu saja mas sangat sayang sama ibu.”
“Ibu berharap, mas juga menyayangi Ayna..”
“Ibu, sejak Ayna masih kecil, ia sudah menjadi anakku. Apa ibu lupa?”
Bu Sarjono mengangguk lemah, lalu kembali memejamkan matanya.
***
Malam itu Ayna menjaga ibunya diruang tunggu, karena tidak boleh tidur didalam ruang ICU. Ada Bintang dan Nanda yang setiap sa’at menemaninya, dan menguatkan hatinya.
Ayna sangat berterimakasih karena banyak yang mendukung ketika ia bertahan melawan duka yang menyesak dadanya.
Malam itu Ayna tertidur dikursi tunggu. Nanda menyelimuti tubuhnya dengan jacket yang dibawanya.
“Kamu tidak ingin pulang dulu?” tanya Bintang.
“Sebentar lagi. Ini masih sore,” kata Nanda.
“Jam sepuluh malam Nan,” Bintang mengingatkan.
“Kamu sendiri tidak mau pulang?”
“Sebentar lagi, menunggu pak Sarjono yang tadi pamit kebelakang.
Ayna mengubah posisi tidurnya. Pasti ia sangat letih.
Tiba-tiba Ayna melihat ibunya berdiri didepan pintu berpakaian serba putih. Ayna berfikir perawat telah menggantikan bajunya.
“Ibu.. mengapa ibu berdiri disitu?”
“Ayna, ibu sangat letih. Ibu mau pulang.”
“Jangan bu, tunggu kalau ibu sudah sehat..”
“Ibu lelah Ayn.. biarkan ibu pulang saja...”
“Ibu...”
Dan Ayna melihat ibunya melangkah pergi. Ayna terkejut..
“Ibuuu... tunggu dulu ibuuu... ibu..”
Ayna ingin bangkit, tapi Bintang dan Nanda memegangi tangannya.
“Ibu... mau kemana ibu ?”
Ayna membuka matanya, ternyata ia hanya bermimpi. Ia menghela nafas lega. Tapi tiba-tiba dilihatnya dokter yang menangani sakit ibunya tampak terburu memasuki ruang itu. Bintang memburunya. Perasaan Ayna sungguh tak enak.
“Ada apa?”
“Tenanglah Ayna, tidak apa-apa, kamu tadi mimpi buruk ya?"
Lalu dilihatnya pak Sarjono mendekat dan duduk disamping Ayna.
“Ada apa?”
Ayna mengangkat bahunya tanda tak mengerti. Ia terus memandangi pintu ruang itu. Lalu dilihatnya Bintang dan salah seorang dokter keluar. Pak Sarjono dan Ayna memburunya.
“Ayna.. kamu harus kuat. Ibu sudah pergi dengan tenang,” bisik Bintang bergetar, lalu memeluk Ayna erat, yang terkulai dipundak Bintang.
Akhirnya penantian itu sampai diujungnya. Tak lagi ada tanya, karena Allah telah menjawabnya. Ada tempat terbaik bagi bu Sarjono, dan Ayna serta pak Sarjono harus mengikhlaskannya.
***
Air mata Ayna telah habis terkuras. Hari-hari yang menggulung menyisakan duka yang tak akan pernah lenyap dari sanubarinya. Gundukan tanah bertabur kembang itu ditatapnya tanpa berkedip. Ada orang terkasih terbaring disana, karena lelah oleh sakit yang dideritanya.
“Semoga tenang disisiNya, ibu, Ayna ikhlas. Ayna tak akan menangis lagi , agar ibu tak menyesali perjalanan panjang yang akan ibu tempuh.”
Tak lelah berjabat tangan, Ayna menyadari betapa banyak orang yang membantunya, ikut menopang duka yang bergayut, dan Ayna sadar bawa ia harus melanjutkan hidupnya.
“Ayna, aku ikut berduka ya,” sebuah bisikan terdengar dari mulut seorang gadis cantik yang sebelumnya sering manyakitinya. Deva, yang berada diantara keluarga Yoga, termasuk Bimo, tunangan Deva.
“Terima kasih mbak Deva, terimakasih mas Bimo, bapak Yoga, ibu, semuanya..” kata Ayna lirih.
“Tabah dan kuat Ayna,” kata Nanda sambil memeluk Ayna.
“Ayna, aku akan selalu ada untuk kamu,” bisik Bintang yang juga merengkuh Ayna kedalam pelukannya.
***
Hari terus berjalan, dan sudah setengah tahun bu Sarjono pergi meninggalkan suami dan anaknya. Ayna berusaha tegar, karena apapun yang terjadi sudah menjadi kehendakNya. Ia melakukan tugas dirumah seperti biasa, melayani bapaknya, dan tetap bekerja ditoko pak Yoga.
Sore hari itu, ketika Ayna pulang dari bekerja, dirasanya rumah sangat sepi. Biasanya pak Sarjono pulang lebih dulu, lalu membantu membersihkan rumah, supaya kalau pagi tidak harus terburu-buru sebelum masuk ke kantor. Tapi Ayna tak melihat bapaknya. Ia terus berjalan ke belakang, sepi, lalu Ayna menjenguk kearah kamar bapaknya yang sedikit terbuka. Dilihatnya pak Sarjono terbaring, dan berselimut tebal. Ayna mendekat.
“Bapak sakit ?”
“Iya Ayn, agak meriang.”
“Sudah minum obat?”
“Sudah.”
“Ayna akan buatkan teh panas buat bapak,” kata Ayna yang langsung pergi ke belakang, lalu kembali setelah membawakan segelas teh panas.
“Minumlah pak, apakah bapak bisa bangun?”
Pak Sarjono berusaha bangun, tapi kemudian ia merebahkan kembali tubuhnya. Ayna membantu mengangkat kepala bapaknya, agar bisa minum dengan mudah.
“Bapak beristirahat saja dulu, nanti kalau panasnya belum reda, lebih baik ke dokter ya pak.”
“Ya, tapi ini sudah lebih mendingan.”
Ayna mengangguk, lalu keluar dari kamar. Ia mandi, kemudian melihat apakah makanan yang ada masih cukup untuk malam nanti.
“Syukurlah, masih ada sayur dan lauk. Untunglah bapak selalu makan seadanya, dan tidak pernah menuntut yang lain walau barangkali masakanku tidak berkenan.”
Ayna hanya cukup menghangatkan saja untuk makan malam nanti.
Ayna menjenguk ke arah kamar bapaknya, dan melihat bapaknya masih tertidur. Lalu Ayna mengambil sapu untuk bersih-bersih rumah karena bapaknya tidak bisa melakukannya.
Tiba-tiba ponsel Ayna berdering. Ayna tersenyum, dering telponnya selalu kalau tidak dari Nanda pastilah dari Bintang.
“Ya mas Bintang,” kata Ayna menjawab sapaan Bintang di telpon. Bintang selalu melarang Ayna memanggil dokter Bintang seperti yang sudah-sudah.
“Nanti malam aku samperin ya.”
“Kemana?”
“Jalan-jalan saja.”
“Tapi bapak sedang sakit, bagaimana kalau dirumah saja?”
“Baiklah, yang penting kan ketemu kamu.”
Ayna tersenyum ketika menutup kembali ponselnya.
Setelah menata meja makan, Ayna masuk ke kamar bapaknya. Ayna lega ketika melihat bapaknya duduk ditepi pembaringan.
“Syukurlah kalau bapak sudah sehat.”
“Ayna..”
“Ya pak..”
“Kemarilah sebentar, tolong gosok punggung bapak ini dengan minyak gosok.”
Ayna mendekat. Bagaimanapun pak Sarjono sudah dianggap seperti bapaknya sendiri. Ia meraih minyak gosok diatas meja, lalu ia membalikkan tubuhnya, tapi Ayna terkejut bukan alang kepalang ketika pak Sarjono memeluknya.
Ayna meronta, karena merasa itu tidak pantas. Dan Ayna merasa ngeri metihat tatapan mata pak Sarjono yang tampak aneh.
“Bapak ! Apa yang bapak lakukan?!” Ayna berteriak marah sambil mundur kearah pintu. Tapi pak Sarjono memburunya.
Rasa sepi kehilangan isteri membuat pak Sarjono lupa diri. Sosok Ayna yang cantik dianggapnya bisa menjadi pengganti.
“Kamu seperti ibumu..”
Ayna semakin mundur mendekati pintu, namun ketika tangannya hampir berhasil meraih gagang pintu, pak Sarjono menyergapnya.
Bersambung #5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel