Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 23 April 2022

Keberangkatan #2

Cerita bersambung

Esok harinya Widati toh tetap tak berhasil tidur seharian seperti yang dijanjikannya pada Tiwi.
Dia masih memerlukan datang ke fakultas sebentar, lalu melihat keadaan Menik di rumah sakit.
Jam sebelas baru dia tiba kembali di rumah, membersihkan muka dan benar-benar tidur.
Widati ingin istirahat cukup agar wajahnya kembali segar dan bersinar.
Betapapun ingin dipungkirinya, hatinya tak bisa ditipu bahwa dia ingin berada dalam kondisi paling baik bila sore nanti Syahbudin benar-benar datang.
***
Dan Syahbudin benar-benar datang, ketika matahari sore tak lagi begitu panas.
Alam sore berwarna kuning, dan setiap helai daun dan bunga di halaman rumah Widati segar oleh siraman air.
Sore itu Widati mengenakan blus putih lembut dengan rok bawah hitam bergaris-garis kuning dan biru.
Rambutnya dijepit dengan sirkam perak di kedua sisi kepala.
Pada umurnya yang sudah tiga puluh enam tahun, Widati tak sedikitpun kehilangan pesona kewanitaannya.
Segala sesuatu pada dirinya selalu kelihatan rapi, teratur dan manis.
Widati menyadari betul hal ini.
Justru karena dia tidak menikah, maka dia harus kelihatan cantik agar tidak dikasihani orang.
 
Anak-anak sedang mengaji di ruang belakang.
Widati membawa Syahbudin berjalan-jalan, melihat kehidupan yang ada di dalam lingkungan rumahnya.
Kepada Tiwi diperkenalkannya Syahbudin sebagai teman lama waktu masih kuliah.
Sambil berbicara ke sana kemari, dari kejauhan mereka mengawasi anak-anak yang dengan tekun mendengarkan pelajaran guru agamanya.
Kemudian mereka menengok ke kamar anak-anak, empat buah kamar berukuran empat kali empat meter yang masing-masing diisi lima orang anak dalam tempat tidur susun.

"Kamar-kamar ini sudah tidak memenuhi syarat lagi sebetulnya. Apalagi dalam waktu dekat ini akan ada beberapa orang lagi yang masuk," Kata Widati.

Mereka berjalan di sepanjang koridor yang membatasi kamar anak-anak dengan halaman dalam.

"Darimana saja anak-anak itu datang, Wid.....?"
"Dari mana-mana. Ada tiga orang yang kubawa dari Yogya. Masih terhitung saudara. Ayahnya meninggal, saudaranya banyak dan ibunya tak mampu merawat dengan baik."

Widati diam sejenak.
Kabut tipis menutupi wajahnya yang semula cerah.

"Dua bulan yang lalu aku kehilangan seorang anak...," Katanya perlahan.
"Oya............................?"

Syahbudin memandang Widati yang berjalan disampingnya.

"Anakku yang paling baik. Datang ke sini waktu aku baru mengasuh lima orang anak. Namanya Denok. Aku berharap akan bisa menjadikannya seorang sarjana, agar kehidupan keluarganya yang tidak karuan bisa terangkat. Otaknya cerdas, dan dia rajin. Tapi begitulah, setelah tiga tahun di sini, tiba-tiba abangnya datang, menyuruh Denok pulang ke kampung. Ada duda kaya yang mau mengawininya. Mas Bud tahu berapa umur Denok waktu itu...? Enam belas tahun.........! Baru saja masuk SMA. Sudah tentu aku melarang Denok pergi. Bagaimanapun juga, tidak boleh. Tapi.............................."

Widati enggan meneruskan ceritanya.

"Tapi bagaimana.........?"

Syahbudin mendesak.
Widati menghela nafas.

"Dua hari kemudian abangnya datang lagi. Menunjukkan parang telanjang di depan mataku."

Syahbudin berdesah.

"Denok ketakutan, mohon agar diperbolehkan pergi. Katanya.., bukankah aku akan menyekolahkan dia tinggi-tinggi hanya agar bisa mencari uang banyak....? Sekarang ada lelaki kaya yang mau mengawininya, mau menanggung kehidupan keluarganya. Jadi untuk apa lagi dia susah payah sekolah, yang entah masih berapa lama lagi akan selesai...? Aku langsung lemas mendengar jawaban demikian. Kalau yang berkata itu abangnya, mungkin aku masih bisa maklum. Tapi Denok sendiri........! Aku begitu sedih dan kecewa sampai tidak bisa bicara apa-apa. Tiga tahun mengasuh dan mendidik rupanya aku belum mampu memotivasi anak itu untuk maju dari keterbelakangan lingkungan asalnya. Aku jadi ragu, apakah yang kulakukan ini memang sudah benar."

Syahbudin tertawa lunak.
Tawa yang selalu mampu menentramkan hati Widati.
Sejak dulu, dan sampai sekarang pun.

"Berapa anakmu sekarang...? Dan berapa yang memilih jalan akhir seperti Denok...? Aku tahu tak semudah itu patah semangat. Denok hanya satu. Masih ada lima belas yang lain, yang masa depannya ada di tanganmu."
"Ya..............................." Widati berdesah.

Lalu dipercepatnya langkahnya.

"Marilah.......................Mudah-mudahan Tiwi sudah menyiapkan minuman untuk kita."

Mereka duduk di ruang tamu yang sejuk oleh pohon palm besar di sudut.
Sebuah jendela lebar di sisi dinding memberi pemandangan nyaman ke taman yang terawat rapi.

"Kalau tak salah, kemarin kau mengatakan akan membangun rumah baru untuk anak-anakmu...," Syahbudin berkata.
 
"Oh..........................., ya." Widati tersenyum.
"Naga-naganya, mas Bud mau jadi malaikat penolong...?"

Syahbudin mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari dalam map yang juga dipunyai Widati, map kulit kenang-kenangan dari panitia seminar.
Diletakkannya bungkusan itu di atas meja, tepat di hadapan Widati.

"Tidak banyak Widati, tapi mudah-mudahan bisa sedikit membantu usahamu yang mulia."

Widati memandang bungkusan itu dengan tercengang.
Bungkusan kertas coklat berbentuk segi empat itu terlalu besar, terlalu tebal untuk berisi uang.
Dia mengira hanya akan menerima amplop, atau malah hanya beberapa lembar yang bisa diulurkan begitu saja.

"Itu semua... uang........?" Tanyanya masih tak percaya.
"Kau bisa membukanya. Tapi mungkin tak sebanyak yang kau duga....," Sahut Syahbudin rendah.

Dengan hati-hati Widati mengambil bungkusan itu, melepaskan perekat di sisi-sisinya.
Dan wajahnya memucat ketika melihat empat bundel mata uang sepuluh ribuan yang ada didalamnya.
Dia jarang memegang uang kontan dalam jumlah besar, tapi dia tahu bundel itu terlalu tebal untuk jumlah lima ratus ribu.
Lima ratus ribu hanya terdiri dari sepuluh lembar mata uang lima puluh ribuan, dan bendel itu kira-kira sepuluh kali lebih tebal.
Jadi lima juta.
Dua puluh juta semuanya.
Mata bening Widati menatap Syahbudin dengan panik.

"Tidak mungkin mas Bud. Sebanyak ini..................," Desisnya.
"Itulah semuanya...., Widati. Untuk rumah yatimmu."
"Tapi... ini uang siapa....?" Widati tetap ragu.
"Aku tak pernah melakukan pekerjaan haram untuk tujuan mulia, Widati."

Widati berdiam diri.
Dengan hati-hati dibungkusnya kembali uang itu, lalu dikembalikannya ke atas meja.
Dengan tenang dan sungguh ditatapnya Syahbudin.

"Tidak.........., mas Bud. Aku tak dapat menerima uang ini. Bukan karena aku sudah kaya, juga bukan karena aku tak mempercayai ketulusan hatimu, tapi aku tahu uang ini bukan hakku, bukan hak anak-anakku. Uang itu hak keluargamu, istrimu, anakmu, dan siapa saja yang hidup di bawah naunganmu."

Syahbudin terhenyak.
Dimajukannya duduknya, dan ditatapnya Widati lurus-lurus.

"Widati.., aku memang tidak kaya. Dan terus terang, jumlah itu bukan aku kumpulkan hanya dalam sehari dua, tetapi niatku sungguh-sungguh tulus. Aku minta..., terimalah Widati."

Widati tersenyum lembut.

"Aku mengerti..., mas Bud. Aku mengenalmu cukup lama. Aku tahu seberapa ketulusan hatimu, tapi masalahnya bukan tulus atau tidak. Masalahnya adalah hak. Uang ini, betapapun kau mencarinya dengan tenaga dan pikiranmu sendiri, adalah hak keluargamu. Hak Mutia dan kedua anak kalian. Ingat ajaran agama kita mas. Sejahterakanlah keluargamu, sesudah itu sejahterakanlah tetanggamu'. Aku tak ingin menggemukkan diriku dengan memakan hak orang lain."
"Seandainya keluargaku sudah sejahtera, bagaimana Wid....?"

Widati menghela nafas, tapi toh terpaksa tersenyum.
Sejak dulu belum pernah dia menang berdebat dengan Syahbudin.

"Aku ikut gembira........," sahutnya mengelak.
"Dan bersedia menerima uang ini...," Sambung Syahbudin.
"Sayang....., tetap tidak."

Syahbudin tertawa perlahan.

"Kau masih sama seperti dulu. Keras kepala. Tapi dulu kau selalu mau mengerti."
"Mas...........................," Widati berkata dengan sabar. "Apa yang harus kumengerti sekarang...?"
"Perasaanku......, Widati. Aku ingin sekali memberikanmu sesuatu untukmu. Jangan tanya mengapa."
"Sudah kukatakan, itu bukan hakku...."
"Aku bosan mendengar pembicaraan tentang hak atau bukan hak. Benar aku sudah kawin, tapi apakah dengan demikian aku lantas kehilangan hak atas hati nuraniku sendiri....? Apakah orang yang sudah kawin lantas sepenuh dirinya menjadi milik orang yang dikawininya....? Dan dia tidak boleh berbuat apa-apa lagi untuk dirinya secara pribadi....?"
"Bagi seorang wanita kemungkinan besar memang begitu, mas. Aku tak tahu dunia para suami."
"Kau salah kalau mengira aku merendahkan kedudukan seorang isteri, Widati. Aku setia dan bertanggung jawab pada keluargaku. Tetapi aku pun punya keinginan pribadi. Aku punya hati. Sekali waktu, aku ingin membahagiakan hatiku. Ini kali yang pertama."

Syahbudin mengambil bungkusan coklat di atas meja.
Diletakkannya di telapak tangan Widati.

"Ambillah Widati. Aku akan bahagia sekali...," Katanya perlahan.

Dirapatkannya jari-jemari Widati agar menggenggam tumpukan uang itu.
Widati tak bergerak.

"Jadi kau memberikannya untuk kebahagiaanmu sendiri...," Gumamnya dengan mata menerawang.
"Oh, Wid.........................!"

Syahbudin menggeleng-gelengkan kepalanya putus asa.

"Kukira aku sudah memilih kata-kata secermat mungkin agar kau tidak salah mengerti. Wid...., aku tak menyebut-nyebut kebahagiaanmu karena kupikir sudah dengan sendirinya kau berbahagia. Tidakkah kau mengerti perasaanku, Wid.....? Tidakkah hati kita sama....? Atau aku yang salah membaca hatimu. Ayo Widati......, katakan."

Widati mengangkat bahu.
Dipandangnya Syahbudin dengan tenang.

"Mas Bud tak pernah salah menduga hati seseorang."
 
Syahbudin menghela nafas lega.
Disandarkannya tubuhnya ke kursi.

"Kau memang keras kepala...," Gumamnya setengah menggerutu.
"Belum pernah aku harus bertengkar sebelum memberikan sesuatu kepada seseorang. Tapi inilah engkau, yang tak pernah kujumpai pada orang lain. Kalau kau jinak dan penurut seperti wanita lain, mungkin aku bahkan tak pernah berpikir untuk mencin...."
"Kopinya sudah hampir dingin, mas Bud...," Widati menghentikan kalimat Syahbudin dengan halus.

Syahbudin memutar kepalanya, memandang wajah mungil di depannya tanpa berbicara.
Widati tersenyum, mengeluarkan cangkir kopi yang dipegangnya.

"Kita sudah sama-sama tua bukan, Wid...?" Kata Syahbudin perlahan.

Widati tergagap.
Tua..............................?
Sungguhkah mereka sudah tua...?
Lelaki umur empat puluh, tidak terlalu pagikah disebut tua...?
Dan wanita umur tiga enam....?

"Yah................................" Widati mengangguk dengan lesu.
"Kita sudah sama-sama tua. Aku baru menyadarinya sekarang, ketika berhadapan denganmu."

Syahbudin memandang Widati dalam-dalam.

"Kau pikir..., adakah kita masih merasa bahagia dalam ketuaan ini...?"
Widati menunda cangkir kopinya.
"Ya................................." Sahutnya dengan perlahan namun penuh kepastian.

Syahbudin tersenyum.
Di latar belakang cangkir porselen, mata Widati melebar memandangnya.

==========

Mutia menyambut kepulangan Syahbudin dengan gembira.
Tapi segera disadarinya ada sesuatu yang kurang.
Syahbudin datang dengan tangan kosong, tidak membawa mobil yang sudah begitu ingin dilihatnya.

"Tidak jadi ambil mobilnya Pak Burhan, mas...?" Tanyanya dengan menahan rasa kecewa.
"Nanti aku ceritakan. Aku belum mandi.., Tia."
"Tapi urusannya kan sudah selesai, Mas...?" Mutia mengikuti Syahbudin ke kamar.
"Ceritanya panjang..., Tia. Nanti saja."

Mutia memandang Syahbudin melepaskan pakaian dengan diam.
Dengan wajah kesal ditinggalkannya Syahbudin sendirian.

Makan pagi mereka sudah agak kesiangan, dan Syahbudin tidak menyukai lauk yang ada.
Dia sudah makan di atas pesawat terbang yang membawanya dari Jakarta, dan perjalanan jauh membuatnya pagi itu tidak bernafsu makan.
Astari dan Lusia sudah diantar Pak Amat ke sekolah.
Mutia menemani Syahbudin di meja makan, tapi tidak ikut makan.
Dia sudah makan lebih dulu bersama anak-anak.

"Terbiasa hidup enak, kadang-kadang kita jadi lupa pada penderitaan orang lain...." Syahbudin memulai.

Mutia memandangnya tanpa bertanya.

"Di Jakarta kemarin, tiba-tiba aku melihat betapa banyak sebenarnya pihak-pihak yang membutuhkan bantuan dari kita. Sekaligus aku terharu melihat masih ada segelintir orang yang sempat memikirkan nasib orang lain di tengah kehidupan kota besar yang begitu materialistis. Aku mengunjungi sebuah panti asuhan yang dikelola secara pribadi oleh seorang nyonya. Ada lima belas anak yatim piatu dan anak-anak terlantar yang ditampung di rumahnya. Semua diurusnya sendiri, dibiayai dari dompetnya sendiri. Terharu aku melihatnya. Anak-anak seusia Astari dan Lusia, tidak punya orang tua, atau orang tuanya begitu miskin sehingga masa depannya semata-mata tergantung pada belas kasih orang lain."
"Dimana.......................?" Mutia bertanya.
 
Dicobanya menyembunyikan rasa cemburu mendengar Syahbudin memuji-muji seorang nyonya, yang tidak peduli tua atau muda, adalah seorang wanita.
Syahbudin menyebutkan alamat Widati.

"Kita harus bersyukur bisa hidup seperti ini. Ada rumah, ada mobil, tak pernah kekurangan makan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membagi rizki orang lain.Membantu mereka yang lemah."

Mutia mengangguk dengan tidak sabar.

"Mas Bud menyumbang untuk panti asuhan itu...?" Tanyanya.
"Ya..... Kita masih punya kesempatan luas untuk mencari uang lagi."
"Berapa yang mas sumbangkan....?" Desak Mutia.
"Semua yang kubawa."
"Mas.............................! Jangan main-main." Mutia hampir berteriak.

Dipandangnya Syahbudin dengan mata terbelalak.

"Ya Mutia..., semuanya, dua puluh juta," Sahut Syahbudin tegas dan jelas.
 
Mutia bersandar di kursinya dengan lemas.

"Ini sungguh terlalu.......!" Kemarahannya meledak.
"Tidak masuk akal..........! Amal ya amal, tapi... aah, bagaimana mungkin kau memberikan semuanya...? Dua puluh juta tidak sedikit mas....! Dan mobil itu sudah kita sepakati dengan Pak Burhan....!"

Syahbudin menatap Mutia dengan aneh.
Inikah istrinya, wanita yang sudah sepuluh tahun dinikahinya, ibu dari anak-anaknya.....?
Yang ada di kepala Mutia tak lain hanyalah mobil, uang, pakaian bagus, permata.
Tak pernah lebih dalam dari segala keduniawian itu.
Lalu begitu saja muncul bayangan Widati, pembicaraan mereka yang tak kunjung habis mengapa orang kaya makin kaya sementara si miskin tetap miskin.
Mengapa rakyat harus ikut membayar pajak untuk barang-barang mewah yang melihat saja mereka belum pernah.
Mengapa petani kecil yang membeli bibit padi dan pupuk dengan harga mahal harus menanggung resiko rugi karena hama, bencana banjir, kekeringan maupun fluktuasi harga beras pada waktu panen, sementara pemilik pabrik besar yang memproduksi pupuk dan insektisida terus mereguk untung berlipat ganda.
Mengapa rakyat harus menebang kayu untuk penyambung hidup disebut ‘penebang liar’, sementara pengusaha HPH dengan bebas menggunduli hutan seluas jutaan hektar.
Mengapa rakyat yang menambang emas hanya dengan nyiru dan ember dilarang, sementara konsesi tambang dengan deposit emas puluhan juta ons diberikan kepada segelintir orang atau perusahaan asing....?

Syahbudin merasa dadanya pepat.

"Mobil itu sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan, Tia. Kita sudah punya. Jangan sampai kita terjebak nafsu menjadi orang yang tamak harta," Katanya dengan lesu.
"Tapi tentu tidak lantas diberikan cuma-cuma begitu. Apalagi hanya untuk lima belas anak. Bukan panti asuhan yang besar. Dan kau sama sekali tidak minta persetujuanku. Kau pikir apa yang ada di dalam rumah ini milikmu sendiri....? Mentang-mentang mas yang cari uang...?"
"Tia...............................!" Syahbudin membentak.
 
Dihembuskannya nafasnya panjang-panjang.
 
"Jaga kata-katamu..., Tia. Aku tidak suka berlaku kasar pada wanita. Tapi kalau kau menyakiti hatiku...."

Syahbudin tidak menyelesaikan kalimatnya.
Didorongnya kursinya ke belakang dan pergi ke kamar kerjanya dengan langkah-langkah panjang.
Di belakang punggung, Mutia memandangnya dengan geram.
Sampai Syahbudin pergi ke fakultas, mereka tidak berbicara apa-apa lagi.
Mutia bahkan tidak mengantar suaminya sampai ke pintu seperti biasanya.
Dan Syahbudin tidak menoleh-noleh lagi begitu masuk ke mobil dan membanting pintu.
Syahbudin mengemudikan mobilnya dengan pikiran kalut.
Pertemuan yang mengejutkan dengan Widati, disusul pertengkaran dengan Mutia membuat otaknya terasa beku.

Di rumah....., Mutia mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Dia tahu Syahbudin memang dermawan, tapi tentu bukan tanpa alasan kalau sampai memberikan sumbangan sebesar itu.
Dua puluh juta................! Jumlah yang tidak main-main.
Mutia curiga...., tidak percaya sungguh sejumlah itu yang disumbangkan suaminya.
Tidak mustahil panti asuhan itu hanya dipakai untuk kedok saja, dan jumlah yang sebenarnya lari kepada orang lain.
Seorang wanita...............!
Bahkan tidak mustahil panti asuhan itu sama sekali tidak pernah ada.

Mutia memeriksa kopor pakaian Syahbudin, membuka setiap saku dan lipatan-lipatannya.
Tidak menemukan apa-apa, perhatiannya berpindah ke map kulit hasil seminar.
Syahbudin pergi dengan tas kerjanya yang biasa, dan map kulit itu ditinggal tergeletak di atas meja.
Mutia menumpuhkan isinya ke atas meja, meneliti, memasukkan jarinya ke segenap saku yang ada.
Di sebuah saku dalam, ditemukannya sebentuk kartu indah berwarna biru muda.
Mutia membacanya.
Dan lututnya mendadak lemas oleh keterkejutan dan kebencian yang menggigit sampai ke ujung rambut.
Kartu nama Widati.
Dan Mutia tak mungkin keliru, alamat yang ada disitu adalah alamat panti asuhan yang disebutkan Syahbudin.
Di kartu nama itu bahkan tidak ada keterangan sedikitpun tentang panti asuhan.
Jadi itulah semuanya.
Mutia berdiri mematung.
Urat-urat tangannya menegang, dan kartu nama Widati lumat dalam tangannya.
Mutia tahu siapa Widati, tahu semua yang pernah ada antara Widati dengan Syahbudin.
Sungguh bodoh bahwa dia tak pernah memikirkan kemungkinan seperti itu.

Dan panti asuhan itu, siapa berani menjamin benar-benar ada....?
Siapa berani menjamin baru sekali itu Syahbudin menghadiahi Widati...?
Mutia tahu..., Syahbudin sering pergi ke Jakarta untuk segala macam urusan.
Segala macam urusan...!
Ya memang, urusan dengan Widati.
Dengan tubuh dan hati sakit Mutia meninggalkan kamar kerja Syahbudin.
Tidak dipedulikannya kertas-kertas dan segala isi map yang masih berceceran di atas meja.

Seperti biasa bantal menjadi tumpahan air mata.
Mutia sakit hati bukan main.
Setelah sepuluh tahun, dia mengira telah berhasil memiliki cinta Syahbudin, mengusir kenangan Widati dari hati suaminya.
Syahbudin begitu baik menjadi suami dan ayah.
Suami yang baik......!
Ayah yang baik.........!
Omong kosong semua.

Tak ada yang menyambut ketika Syahbudin pulang jam dua.
Astari dan Lusia bermain ke rumah tetangga.
Mutia tidak kelihatan.
Dengan terkejut Syahbudin menemukan meja kerjanya berantakan.
Map seminar terbuka, isinya tersebar ke atas meja.
Kartu nama biru muda tercampak ke lantai.
Lusuh habis diremas-remas.

Hanya dengan beberapa langkah panjang Syahbudin sudah berada di samping tempat tidur.
Mutia masih menelungkup, tidak ambil pusing pada suara kedatangan Syahbudin.

"Enak nian, suami datang ditinggal tidur." Syahbudin mencoba menahan hati.
Mutia tak bergeming.

"Tia, bangun sebentar....!"

Mutia tidak bangun.

"Tia............................!" Syahbudin membentak dengan marah.
Mutia menggeliat, bangun dengan malas.

"Jadi begitu. Setelah ketahuan, lalu main bentak," Katanya sinis.
"Menyesal sekali aku terpaksa marah kau begitu lancang membuka-buka mapku.
Dengan cara begitu rupa...!"

Mutia menatap Syahbudin dengan sengit.

"Kau kira aku tidak marah kau perlakukan begini...? Aku sudah tahu semuanya, Mas....! Tidak ada gunanya kau bermacam-macam alasan. Aku tahu kemana larinya uang itu." Mutia terisak.
"Kau pembohong mas. Penipu.........................! Percuma kita mempertahankan rumah tangga ini kalau kau masih saja menyeleweng dengan...."
"Tia...............................!"
 
Syahbudin mencengkeram lengan Tia, mengguncangnya keras-keras.
Mutia meringis kesakitan, ngeri melihat mata Syahbudin yang menyala-nyala.

"Jaga kata-katamu..., Tia. Demi Tuhan aku tak pernah berbuat apa-apa dengan dia. Aku baru bertemu dengannya kemarin, di seminar. Aku memang mengunjungi rumahnya, tapi kami hanya berbicara biasa.
Dia terlalu mulia untuk berbuat seperti yang kau duga."

Mutia semakin panas mendengar Syahbudin malahan memuji-muji Widati.
Dengan keras dilepaskannya lengannya dari cengkeraman Syahbudin.

"Aku khawatir tak lagi mempercayai kata-katamu," Elaknya sambil berdiri menjauh.

Syahbudin termangu.
Lalu perlahan-lahan merah wajahnya menyurut.
Sesudah kemarahan melampaui puncaknya, dia justru menjadi tenang.

"Oh, jadi kau tak percaya padaku lagi...?" Tanyanya.
"Perbuatanmu sendiri yang memaksaku begitu...!"
"Baiklah. Lalu apa maumu sekarang...?"

Mutia tetap memunggungi Syahbudin.

"Aku mau pulang ke rumah ibu."
"Kapan......................?"

Sesak dada Mutia mendengar Syahbudin bukannya mencoba menghalangi, malahan bertanya kapan dia mau berangkat.

"Sekarang juga.............!" pekiknya dengan benci.

Syahbudin menghela nafas.

"Sesudah umurmu bertambah sepuluh tahun, kukira kau akan menjadi lebih dewasa, Tia. Tapi rupanya tetap saja begini. Baiklah ..., terserah kepadamu. Tapi maaf..., mungkin aku tidak bisa mengantar."
"Siapa butuh antaranmu....!"

Syahbudin mengatupkan bibirnya rapat-rapat, membalikkan tubuh dan pergi.
Dikuncinya kamar kerjanya dari dalam.
Lama dia merenung di depan meja kerjanya.
Diambilnya kartu nama Widati, dilicinkannya.
Inilah kelalaiannya yang menyebabkan keadaan menjadi kacau.
Dia lupa tidak menyimpan kartu nama Widati di tempat yang lebih baik.
Memang berbeda.
Widati berpendidikan tinggi, dan kepribadiannya matang dalam pengalaman batin yang beragam.
Sebaliknya.., Mutia hanya secara kebetulan lulus SLTA yang tak pernah benar-benar ditekuninya.
Pengalaman kesehariannya hanyalah membuka-buka buku mode, arisan dan bergunjing dengan nyonya-nyonya.
Syahbudin tak habis pikir bagaimana ibunya memilih gadis seperti itu untuk dirinya.
Hanya karena sesuku, sedaerah asal, dan masih terhitung sanak.
Syahbudin mendengar suara berdebugan di luar, suara Mutia memerintahkan ini itu kepada bi Inah.
Dihelanya nafasnya dengan berat.
Kalau saja..., kalau saja Mutia bisa bersikap lebih dewasa, lebih bijaksana, dan mau mengerti situasi dirinya, mungkin aku masih bisa menyayanginya, pikir Syahbudin dengan masgul.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER