Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 22 April 2022

Keberangkatan #1

Cerita bersambung
Oleh: Tuti Nonka

Syahbudin terkurung di kursinya dengan gelisah.
Makalah seminar berulang kali dibolak-baliknya.
Setiap kali dicobanya memusatkan perhatian pada tanya jawab yang sedang berlangsung, tapi setiap kali pula pikirannya kembali buyar.
Seperti dilanda mimpi-mimpi.
Begitu banyak mimpi melintas, tak putus-putus mengejutkannya, membuatnya letih dan ingin memejamkan mata untuk mengusir semuanya.
Tapi mimpi tetap datang walau matanya telah tertutup rapat.

Di baris pertama dari depan, di kursi paling ujung, Widati menyimak jalannya seminar dengan serius.
Masalah Intensitas Belajar dan Tanggung Jawab Ilmiah Mahasiswa menarik perhatiannya betul.
Sudah beberapa lama dia mengamati gejala ini.
Begitu banyak sarjana memperoleh ijazah tanpa sungguh-sungguh mendalami bidang studinya.
Begitu banyak sarjana tidak mampu berpikir secara ilmiah.
Begitu sering lulusan perguruan tinggi tidak siap pakai.
Tetapi memang tidak mudah menyusun metode perkuliahan yang mempu ‘memaksa’ mahasiswa benar-benar menghayati ilmu yang dipelajarinya.
Dan untuk apa susah-susah mempelajari literatur, kalau sesudah jadi pegawai segala teori bangku kuliah itu ditinggalkan.....?
Atau..., untuk apa bersusah payah meraih indeks prestasi tinggi, kalau jabatan dan posisi bisa diraih dengan uang, famili, koneksi, atau surat sakti....?

Mestinya..., setiap skripsi mahasiswa diajukan dulu sebagai bahan seminar terbuka yang diikuti oleh setiap mahasiswa dan dosen.
Dengan demikian mahasiswa diuji kemampuannya berbicara, menerangkan, dan mempertahankan apa yang sudah disusunnya dalam bentuk tulisan.
Itu yang dialaminya sewaktu menjadi mahasiswa di UGM.
Tapi tidak semua fakultas mampu melakukannya, apalagi semua universitas.
Jumlah mahasiswa yang banyak tidak memungkinkan sistem seminar dilaksanakan.
Mutu skripsi lalu hanya bergantung pada dosen pembimbing.
Tapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang dosen pembimbing kalau dia harus menangani 20-50 skripsi sekaligus...?
Sementara dia masih harus memberi kuliah di sana-sini, menghadiri seminar ini itu, terlibat kegiatan ilmiah yang tak pernah selesai.

Widati menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pendidikan sama sekali bukan urusan yang mudah.
Diambilnya kertas dan bolpoint, disusunnya beberapa hasil pikiran yang akan diajukannya pada termin berikut.

Syahbudin belum yakin wanita muda bergaun kuning itu memang Widati, Widatinya dulu.
Rambutnya tak lagi panjang, dan kacamata tidak membuat wajahnya kelihatan berbeda.
Tetapi tak mungkin ada orang begitu mirip dengan Widati kalau bukan saudara kembarnya.
Dan Widati tidak punya saudara kembar.

Kalau benar dia Widati... yah, aku mau apa....?
Syahbudin merenung-renung.
Memang tidak akan apa-apa.
Hanya..., sungguh tak terduga bertemu kembali dengan masa lalu setelah segalanya seolah-olah terkubur oleh waktu.

Waktu break tiba.
Pandangan Syahbudin terhalang oleh punggung orang-orang yang berdiri dari kursinya.
Seratus orang peserta seminar mengalir ke ruang sebelah, tempat soft drink dan snack menunggu di meja-meja panjang yang sudah diatur rapi.
Gaun kuning lenyap dari matanya.
Berpikir sejenak, Syahbudin pergi ke pintu masuk ruang seminar, langsung menuju meja penerima tamu.
Gadis bermata jeli yang duduk di belakang meja menyambutnya dengan senyum manis.

"Boleh saya melihat buku tamu sebentar dik...?"

Syahbudin membalas senyum gadis itu dengan sopan.

"Boleh saja. Silakan................., Pak."

Syahbudin menerima buku tamu yang disodorkan gadis itu, membukanya satu persatu.
Dibacanya nama demi nama dengan cermat.
Buku pertama habis tanpa ada nama Widati.
Dengan memupuk harapan baru Syahbudin membuka buku kedua.
Di halaman satu, baris keenam dari atas, matanya terhenti.
Dalam huruf kecil-kecil yang rapi, tertulis nama yang dicarinya: *Ir. Dra. Widati Maulana.*

Syahbudin menutup buku tamu dengan perlahan.
Dikembalikannya kepada gadis penerima tamu dengan mengucapkan terima kasih.
Sambil melangkah ke ruang istirahat, kepalanya disibuki sejumlah pertanyaan.
Apa yang akan dikatakannya pada Widati....?
Bagaimana keadaan Widati sekarang....?
Apa reaksi Widati melihatnya kembali...?

Widati berdiri di sebuah sudut, berbicara santai dengan seorang pria setengah umur.
Syahbudin berhenti beberapa langkah di depannya, menatap langsung ke mata Widati.

"Widati.........................?"

Sapanya dengan senyum sopan.
Widati memandang lelaki di depannya dengan tak berkedip.
Matanya memancarkan rasa kaget yang sangat.
Ekspresi antara kebahagiaan dan penolakan.
Mata bening itu untuk sejenak senyap.
Lalu perlahan-lahan hidup kembali bersama dengan senyum yang mengorak di bibir.

"Mas Bud.......................! Nggak nyangka akan bertemu di sini. Apa kabar......................?"

Syahbudin tersenyum, menjabat tangan Widati dengan erat.

"Baik.......... Kau, bagaimana............?"
"Baik juga. Oh ya....., kenalkan dulu. Ini Bapak Prof. Wiweko dari Ditjen Pendidikan Tinggi. Kenalkan Pak..., teman lama saya dari Yogya, mas Syahbudin doktorandus."

Kedua lelaki itu bertukar jabat.

"Ah...., anak buahnya Pak T. Jacob ya....? Saya dulu temannya main bola waktu masih sama-sama muda. Mari..................., silakan. Saya ada soal penting dengan Pak Setiabudi. Lagipula ketemu teman lama tentu lebih enak ngobrol berdua....,"

Sambil tertawa ramah sang profesor meninggalkan Widati berdua dengan Syahbudin.
Widati berdiam diri.
Pertemuan dengan Syahbudin begitu tiba-tiba dan tak disangka, membuatnya sejenak kehilangan keseimbangan diri.
Hanya karena usia yang telah matang saja maka dia tetap mampu menunjukkan sikap tenang.

"Aku sungguh tak menyangka akan ketemu mas Bud di sini...," Ulangnya, kali ini lebih perlahan.
"Aku memerlukan melihat daftar tamu lebih dulu sebelum berani menyapamu...," Sahut Syahbudin nada rendah.
"Apakah aku begitu banyak berubah.....?"
"Tidak. Kau hanya... kelihatan lebih matang."
"Oh......" Widati tertawa.
"Tidak ada orang yang selalu sama dari waktu ke waktu, bukan...? Aku mungkin termasuk orang yang paling larut dalam pusaran waktu. Em ., mas Budi dimana sekarang...?"
"Pertanyaanmu tidak definitif. Apanya yang di mana...? tempatku menginap, rumahku, kerjaku, atau apaku...?"

Widati mengangkat tangan dengan senyum kalah.
Diam-diam Syahbudin mengawasi gerak-geriknya yang kini tampak yakin dan luwes.
Ini lebih dari Widati yang dulu, pikirnya dengan kagum.

"Semuanya saja............," Sahut Widati, selalu dengan senyum tiap kali berbicara.
"Keinginan tahumu sudah beranak-cucu rupanya. Tapi baiklah. Aku masih di kota kita dulu."

Bulu mata Widati bergerak mendengar Syahhudin menyebut 'kota kita dulu'.
Tapi segera disamarkannya dengan langsung bertanya.

"Masih di Fakultas.....?"
"Tak ada tempat yang lebih menyenangkan aku selain di sana. Kau tahu sejak dulu aku selalu ingin menambah ilmu. Tapi sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktu di lembaga penelitian. Kau sendiri..................? Oh ya, aku baru tahu, gelarmu sudah bertambah panjang. Dari Psikologi..............?"
"Ya..............................."
"Tepat seperti cita-citamu dulu."

Widati berusaha tidak mendengar kalimat Syahbudin yang terakhir, sebagaimana dia selalu berusaha tidak mendengar pembicaraan yang berkaitan dengan 'dulu'.

"Aku mewakili Fakultas Psikologi di seminar ini. Kebetulan aku menjabat Pembantu Dekan I di sana."
Syahbudin mengangguk.

Tidak heran. Sejak dulu dia yakin Widati mampu memangku jabatan seperti itu.

"Aku khawatir kau cape berdiri terus. Sepatumu tinggi. Mau duduk di sana......?"

Syahbudin menoleh ke deretan kursi yang ada di sepanjang dinding.

"Oh...................., tentu." Widati tersenyum.

Sambil membawa cangkir kopi, mereka menuju ke kursi.

"Mutia baik-baik saja bukan....?" Widati bertanya sambil jalan.

Sejenak urat-urat tubuh Syahbudin menegang.
Dia tak sedikitpun berharap Widati menyebut-nyebut istrinya.
Tetapi Widati telah menyebutnya, dengan tenang dan enak.

"Baik.........."

Syahbudin menjawab pendek, seakan ingin lari dari pertanyaan itu.

"Anak kalian tentu sudah besar-besar."

Syahbudin sungguh tak mengerti mengapa Widati berkeras kepala menanyakan tentang rumah tangganya.
Kalau itu hanya untuk sopan santun Widati, lebih baik tak usah.
Ketentraman hati terlalu mahal dikorbankan hanya untuk sopan santun.
Tetapi Widati memandangnya dengan tenang, dengan wajah jernih yang tak mencerminkan penipuan hati.
Yang tampak dari wajah itu adalah kedalaman jiwa.
Kepasrahan batin.

"Begitulah. Yang besar sudah sembilan tahun. Adiknya enam tahun. Kuharap kaupun..........."

Syahbudin tidak tahu bagaimana sebaiknya mengakhiri kalimatnya yang terputus.
Widati tersenyum.
Menggeleng.

"Kau lihat namaku di buku tamu bukan....? Aku masih memakai nama ayahanda."

Pancaran wajah Syahbudin sukar ditebak. Yang jelas bukan gembira atau bahagia. Lebih dekat pada kebalikan dari itu.

"Maaf Wid...., aku tak tahu..."
"Mengapa orang selalu minta maaf kalau sudah terlanjur bertanya, lalu tahu aku belum menikah....? Maaf hanya kita minta kalau kita menyakiti hati orang lain atau membuatnya sedih, bukan....? Aku sama sekali tak merasa apa-apa."

Ini masih Widati yang dulu, pikir Syahbudin dengan kagum. Widati yang penuh harga diri, yang tak mau dikasihani.

"Setidak-tidaknya, itu kan kurang sopan."

Widati mengangkat tangan dengan senyum, meminta Syahbudin melupakan apa yang barusan mereka bicarakan.

"Oh......................... ya. Aku sedang sibuk mengumpulkan dana saat ini. Kalau mas Bud punya sisa uang kecil, tentu jadi amal kalau disumbangkan padaku."
"Dana apa..................?"
"Aku punya tanah di Jakarta Timur, tapi belum ada biaya untuk mendirikan rumah. Rumahku terlalu sempit untuk menampung anak-anak itu."
"Anak-anak.......... ........?"

Syahbudin tak mengerti.

"Oh..., jadi aku belum cerita.....? Begitulah..., sekalipun belum menikah, saat ini aku mengasuh lima belas orang anak. Yaah... mudah-mudahan jadi amal. Selain itu, aku memang mencintai mereka. Mereka membuat rumahku hidup dan semarak."

Syahbudin merenung.

"Maksudmu, kau mendirikan panti asuhan...?"
"Belum sebaik yang kuinginkan. Tapi untuk sementara, cukuplah."

Syahbudin berdiam diri.
Dia ingin marah. Ingin sekali marah.
Dan satu-satunya orang yang ingin dimarahinya adalah dirinya sendiri.

"Kau membuat aku malu....," Katanya dengan rendah.
"Semua rencanamu terwujud. Aku........, tak satu pun."
"Rencanaku berbeda dengan rencanamu, Mas Bud. Rencanamu besar dan menyangkut banyak pihak. Rencanaku lahir hanya dari ketakberdayaan."

Syahbudin tersenyum masam.

"Baru sekarang aku percaya, kata-kata hiburan memang bisa menghibur."
"Sejak dulu mas Bud begitu. Selalu menyalahkan diri sendiri."

Widati berkata perlahan.
Suara lembut gadis pembawa acara memberitahukan agar para peserta seminar segera kembali masuk ruang sidang. Waktu break sudah habis.
Widati melihat jam tangannya, cepat-cepat berdiri.

"Kurasa kita harus kembali ke ruang sidang, mas Bud."

Syahbudin mengikuti berdiri.

"Wid...............................,"

Ditatapnya Widati dalam-dalam.

"Bisakah kita bertemu sesudah seminar ini, nanti malam....?"

Sejenak Widati berpikir...., lalu dengan senyum penuh permintaan maaf digelengkannya kepalanya.

"Sayang sekali aku sudah terikat janji dengan beberapa orang. Maaf............., Mas Bud."
"Tak apa........................"

Syahbudin menggelengkan kepalanya, mengharap Widati tidak merisaukan permintaannya barusan.
Hampir semua peserta seminar sudah kembali ke ruang sidang.
Widati tergesa-gesa kembali ke kursinya.
Dihempaskannya nafasnya sepenuh dada.
Selama satu menit dia menatap lantai tanpa bergerak atau pun berkedip, mengosongkan segala pikiran tentang Syahbudin dari benaknya.
Lalu dengan memaksakan diri diangkatnya kepalanya, mencoba masuk pada suasana sidang.
Di belakang, Syahbudin duduk berdiam diri.

==========

Malam itu Widati hampir tidak tidur sepicingpun. 
Pulang dari seminar jam enam, Tiwi menyambut dengan laporan buruk. 
Menik yang sudah dua hari masuk angin hari itu makin parah. 
Setiap makanan yang masuk dimuntahkan kembali. 
Suhu tubuh melonjak di atas tiga puluh sembilan derajat. 
Tiwi memang bertanggung jawab mengurus anak, tapi untuk hal-hal yang gawat dia tidak berani mengambil keputusan sendiri. 
Tanpa memikirkan mandi lagi Widati langsung membawa Menik ke RSUP. 
Diagnosis belum pasti, tetapi Menik harus opname. 
Sesudah mondar-mandir mengurus administrasi, baru pada jam sembilan Widati sampai di rumah kembali. 

Selesai mandi dan menelan sedikit makanan, Widati melonjorkan diri di sofa. 
Anak-anak berkumpul di belakang, mempelajari bukunya masing-masing.
Yang masih agak kecil sudah sejak jam sembilan digiring Tiwi ke tempat tidur. 
Duduk sendirian..., pikiran Widati kembali dipenuhi kenangan pertemuannya dengan Syahbudin. 
Rasanya sudah sejak berabad-abad yang lalu dia berusaha melupakan lelaki itu, melupakan kurun waktu sekian tahun yang pernah mereka lewati bersama. 

Sepuluh tahun dia menyembuhkan lukanya, meletakkan hatinya pada suatu kedamaian dan kepasrahan. 
Dalam hiruk pikuk kehidupan Jakarta, di tengah kesibukan bekerja dan kuliah, Widati bertapa. 
Merenung, berdoa, mencari hakikat hidup dan ketenangan batin.
Dan dia berhasil. Dia sembuh. Lebih dari sembuh, dia menemukan satu kekuatan baru, kekuatan yang dulu tak pernah dimilikinya. 

Gelar sarjana teknik yang didapatnya dari kampus Bulaksumur digunakannya untuk mengajar di sebuah universitas swasta yang cukup besar dan terkenal mahal di Jakarta. 
Lalu Widati kuliah lagi di Fakultas Psikologi UI. 
Lulus dalam empat setengah tahun dengan predikat cum laude, dan diangkat jadi staf pengajar. 
Bersamaan dengan itu dirangkumnya satu demi satu anak-anak sengsara yang tak mampu memperjuangkan hidup sendirian. 
Dibiayainya, dididiknya, dikasihinya dan dibawanya tinggal serumah. 

Waktu terus berlalu, dan pijakan kaki Widati semakin kokoh. 
Ketika beberapa orang pria datang padanya dengan membawa segenggam keinginan untuk mengarungi hidup bersama-sama, Widati hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih dengan tulus. 
Hidupnya telah penuh dan damai dengan pengabdian kepada ilmu serta anak-anak yang semakin lama semakin banyak menyemarakkan rumahnya. 
Widati takut perkawinan akan menggoncangkan kemantapan hidup yang telah dicapainya. 
Dia khawatir perkawinan justru akan mengacaukan segala yang telah dirintisnya, sebab menikah berarti membagi hidup dengan orang lain yang belum tentu memiliki cita-cita dan keinginan yang sama dengan dirinya. 
Lebih dari itu, sebab Widati tak pernah lagi menemukan cinta sesudah Syahbudin. 

Lalu dengan begitu tiba-tiba, lelaki itu hadir di depannya. 
Bukan hanya mimpi, bukan hanya lewat cerita seorang teman atau kerabat, tapi betul-betul hadir dengan segenap jiwa raganya.
Memandang, berbicara, mengirimkan gerak dan aroma tubuh. 
Widati seperti dicerabut dari rumah lindungnya yang damai, disentakkan ke bawah terik matahari yang menyergapnya dengan ganas. 

Pada usianya yang empatpuluh, Syahbudin telah menjadi lelaki sempurna.
Kepribadiannya telah terbentuk dengan mantap. 
Sejalan dengan usia, kondisi fisiknya pun berubah. 
Syahbudin tak lagi seramping dulu, dan beberapa helai rambut perak agak terlalu cepat menghiasi keningnya. 
Tetapi justru itulah yang membuat setiap wanita berpaling memandangnya. 
Syahbudin tidak setampan Mel Gibson atau Richard Gere, tapi wajahnya memancarkan kebaikan hati. 
Orang cenderung merasa percaya, respek, sekaligus akrab dengannya, bahkan bagi mereka yang belum terlalu lama mengenalnya.

Widati memejamkan matanya.
Disandarkannya kepalanya ke kursi. 
Acara televisi tak sedikitpun menarik hatinya, tetapi toh tidak dimatikannya. 
Dia membutuhkan sesuatu, entah itu suara atau gerak, untuk menemaninya melintasi badai. 

Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. 
Mereka berjalan bersama-sama, tertawa, bertengkar, merenung, rindu... lalu saling mengulurkan tangan dengan menapak satu tingkat lebih dewasa. 
Kepribadian Syahbudin menetes ke dalam kepribadiannya. 
Warna dirinya mendewasakan Syahbudin menjadi seorang lelaki. 
Mereka matang dalam kebersamaan, saling memberi dan menerima kedalaman hati. 
Berdua mereka merasakan sakit yang sama, mereguk senang bersama, menjalin cita-cita bersama. 

Lalu semuanya buyar, berakhir dengan peluk dan air mata. 
Bukan dengan tiba-tiba, dan tidak dengan pengkhianatan. 
Ibu Syahbudin tidak menghendaki anaknya membangun hidup bersama Widati. 
Dia punya pilihan sendiri: 
Mutia, yang masih saudara, sesuku dan sedaerah asal. 

Widati menurunkan kopornya dari atas lemari, mengemasi semua pakaian, buku-buku dan surat-surat keterangan untuk bekal hidup. 
Dikumpulkannya retakan-retakan jiwanya, dibawanya semua ke Jakarta. 
Ibunya, wanita tua yang telah mengandung dan mengasuhnya selama duapuluh enam tahun tak bisa berkata apa-apa selain memberi doa dan dorongan semangat. 
Mereka tak pernah ketemu lagi, dan memang sengaja tak ingin bertemu. 

Widati berdiri dari sofa yang telah menjadi hangat oleh panas tubuhnya. 
Dimatikannya televisi yang telah usai menyiarkan acara. 
Seperti biasa, sebelum tidur ditengoknya satu per satu kamar anak-anaknya. 
Semua sudah lelap, hangat dalam pelukan selimutnya masing-masing. 

Widati tahu dia tak akan bisa tidur dengan keadaan pikiran semacam itu. 
Karena itu dia pergi ke kamar belajarnya, mengambil texbook dan menyalakan lampu baca. 
Pikirannya tak boleh dibiarkan berhenti dan dipenuhi masa lalu. 
Dia harus membaca, harus memusatkan pikiran pada sesuatu hal. 
Masa lalu sudah karatan dan terlambat untuk dikenang kembali. 
Widati tidak tahu kapan texbook "Principles of Geology" yang dibacanya berdebum ke lantai. 
Dia hanya ingat, masih mendengar suara kereta dorong penjual mie yang pulang ke rumah. 
Itu biasanya sekitar jam dua. 

Widati terbangun oleh suara orang-orang yang lari pagi di jalan depan rumah. 
Perlahan-lahan diluruskannya tubuhnya, dikejap-kejapkannya matanya yang terasa pedih. 
Bahkan kacamata masih tinggal di atas hidungnya semalaman. 
Tubuhnya sakit dan pegal-pegal di seluruh persendian. 
Alangkah senangnya kalau dia bisa melanjutkan tidur di atas kasur. 
Tapi dia tahu, dia harus berdiri dan menyambut hari baru yang telah datang. 
Tiwi memperhatikan wajah Widati yang letih dan pucat, menegurnya ketika mereka bersama-sama makan pagi. 

"Aku pikir mbak Wid harus istirahat hari ini. Mbak Wid kelihatan cape sekali."

Widati menggeleng. 

"Aku harus datang ke seminar. Ini hari terakhir. Banyak hal-hal penting diputuskan pada hari terakhir." 
"Sampai jam berapa....?" 
"Mungkin sampai sore." 
"Besok Mbak Wid tidak ada jadwal mengajar. Aku harap Mbak Wid mau libur. Wajahmu pucat sekali, Mbak...." 
"Akupun akan senang sekali kalau besok bisa tidur seharian. Tapi tugas akademis bukan hanya mengajar saja, Wi." 
"Ah........." Tiwi berdecak. 
"Jadi apa............ .........? Melalaikan kesehatan termasuk tugas akademik juga....?" 

Widati tersenyum. 
Ditelannya potongan terakhir dadar telurnya. 

"Apa wajahku kelihatan jelek betul sih....?" Tanyanya. 
"Jelek sih jelas tidak. Tapi lihat.......................!"
 
Tiwi memegang bahu Widati dan mendorongnya ke cermin hias yang tergantung di dinding. 

"Bengkuang dikupas belum sepucat pipi mbak Wid." 

Widati tertawa. 
Tapi memang benar. 
Pipinya pucat dan kelihatan tidak segar. 

"Baiklah. Besok akau mau tidur dari malam sampai malam lagi..." Katanya sambil berlalu. 
"Nah...................., begitu. Biasanya mbak Wid kerja dari pagi sampai pagi lagi. Aku khawatir lama-lama hari mbak Wid pagi terus." 

Widati tersenyum. 
Tiwi kadang-kadang memang kurang cekatan mengurus anak-anak, tapi gadis itu selalu mampu menghibur hatinya bila sedang letih. 

Widati menatap pentulan wajahnya di cemin kamar. 
Lalu dibayangkan wajahnya sepuluh tahun lalu, ketika pipi dan dagunya masih sering dibelai jari-jari Syahbudin. 
Rasanya tak banyak yang berubah. 
Alisnya tetap melengkung hitam di atas sepasang mata yang bening, bibirnya tetap kecil bagus. 
Hanya rambutnya memang telah berubah. 
Dulu rambutnya panjang sepunggung, hitam lebat.
 Bagian dari tubuhnya yang paling disukai Syahbudin, yang paling sering disentuh dan dibelai. 
Sekarang rambutnya tinggal sepundak, sedikit bergelombang hasil tangan ahli salon kecantikan. 
Widati merasa rambut panjang tak lagi sesuai dengan aktivitasnya yang padat dan terus menerus. 
Toh, rambut pendek itu tetap sesuai dengan wajah dan kepribadiannya. 
Dan kacamata tipis berbingkai warna emas membuat penampilannya sangat pas sebagai seorang yang bergerak di bidang keilmuan. 

Widati memerlukan waktu beberapa menit untuk memilih baju yang dikenakannya hari itu. 
Dia tahu, kulitnya paling cocok dipadu dengan warna biru tua. 
Karena itu diambilnya gaun berwarna biru tua bergaris-garis putih dengan krah dan pita leher yang juga putih. 
Dilengkapi dengan sepatu hitam bertumit tinggi yang manis, tak seorang pun akan menyangkal daya pesonanya. 

Setelah berpesan pada Tiwi agar menengok dan mengurus Menik di rumah sakit, jam setengah delapan tepat Widati mengemudikan Isuzu Panther Hi-Gradenya ke tengah kehidupan Jakarta. 
Mengemudikan mobil besar itu kadang-kadang meletihkannya, tetapi anaknya banyak, dan dia butuh alat pengangkut yang praktis. 

Hari itu Syahbudin mengenakan hem batik berwarna gelap dengan pantolan hitam. 
Rambutnya tersisir rapi. 
Bau harum menggelitik hidung Widati ketika angin berhembus dari arah Syahbudin. 
Mereka sempat berbicara sejenak sebelum seminar dimulai. 

"Kau di rumah besok sore, Wid...?" Syahbudin lebih dulu membuka pertanyaan. 

Widati tidak cepat menjawab. 

"Aku ingin datang. 
Kuharap kau tidak keberatan...," Sambung Syahbudin sebelum Widati menemukan alasan untuk menghindar.
"Baiklah.
Mudah-mudahan tidak kesulitan mencari rumahku. 
Aku tunggu besok sore...." 
 
Akhirnya Widati memutuskan. 
Syahbudin menghela nafas dengan lega. 

"Kalau kau punya kartu nama, akan lebih mudah bagiku."

Widati mengangguk, tersenyum manis. 
Diambilnya sebuah kartu nama berwarna biru muda dari dalam tasnya, diulurkan pada Syahbudin. 
Syahbudin mengamati kartu nama ditangannya, menimang-nimangnya. 
Lalu dipandangnya Widati dengan ragu-ragu. 

"Kalau kau juga butuh kartu namaku...." 
"Tentu saja....................," Sahut Widati cepat-cepat, merasa menyesal tidak bersopan santun meminta kartu nama Syahbudin.
"Tak sewibawa kartu namamu...," 
Kata Syahbudin sambil memberikan sebuah kartu kecil berwarna putih. 

"Ah...," Widati tersenyum. 
"Sejak kapan Mas Bud jadi rendah hati...?" 

Syahbudin ikut tersenyum. 

"Sejak aku terpaksa harus punya kartu nama." 
"Hanya sebuah kartu nama. 
Di sorga tak ada kartu nama...., Mas Bud." 

Di sorga tak ada kartu nama, di sorga tak ada kartu nama. 
Syahbudin merasa pernah mengenal kalimat itu. 
Dulu............., lama dulu. 
Yah..................................,
Kabut yang menutupi ingatannya menepi. 
Kalimat itu adalah kalimat pada salah satu novel Iwan Simatupang yang pernah mereka perdebatkan sampai berminggu-minggu. 
Dulu.., lebih sepuluh tahun yang lalu. 

Syahbudin menatap Widati, dan menemukan mata bening itu tengah memandangnya dengan jernih. 
Syahbudin tidak tahu apakah matanya jernih atau tidak, tetapi hatinya sungguh jernih ketika menatap Widati.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER