"Mas Fajar......! Kenapa buru-buru.....?"
Fira memecah keheningan diantara mereka.
Fajar hanya mematung, tak tahu harus menjawab apa.
Fira melanjutkan kalimatnya sambil menimang Naysilla,
"Sayang itu ada ayah.. Naysilla gendong ayah ya. Ayah pasti juga pengen gendong Naysilla."
"Mas Fajar mau nyoba KMC Naysilla..? Belum pernah kan...?"
Fira menoleh ke arah Fajar.
"Ii.. Iiya.. Tapi gimana caranya...? Fira mau ngajarin saya..?"
Tak dipungkiri rasa gugup mulai menjalari Fajar.
"Mau lah, Mas. Sik bentar, saya copot dulu gendongane di ruang ganti", Ujar Fira.
Ia segera beranjak pergi ke ruangan tempat ibu-ibu mengganti kostum untuk KMC.
Beberapa saat kemudian Fira sudah kembali dengan membawa kimono dan gendongan KMC, sementara tangan yang satunya menggendong Naysilla yang masih lelap.
Ia menyodorkan gendongan itu pada Fajar.
"Ini gimana pakainya...?" Tanya Fajar kebingungan.
"Oh iya, Mas. Ini perlu diikat ke pinggang gini", Fira memberi contoh.
"Eh tapi mas Fajar ganti kimono dulu ya..! Bajunya dibuka, biar nanti bisa skin to skin.
Pinjam aja ruang ganti residen, soale di tempat ganti adanya ibu-ibu biasanya. Nanti Fira gendongin Naysilla dan bantu iketin talinya", Jelas Fira lagi.
Fajar kembali lagi dengan busana kimono khusus.
Tapi dari kejauhan ia melihat Fira tampak sibuk mengambil tisue dan air.
Segera ia menghampiri Fira dan bertanya,
"Ada apa, Fir...? Ada yang bisa dibantu..?"
"Nggak kok, Mas. Tadi Naysilla pup, tapi Fira sudah bersihkan dan ganti pospaknya", Jawab Fira.
"Sekarang Nay udah wangi, gendong Ayah ya",
Fira kembali mengajak Naysilla berinteraksi.
"Hasil USG kepalanya tadi bagus, Mas. Mungkin minggu depan sudah boleh pulang",
Fira menyodorkan bayi Naysilla ke dalam pelukan Fajar.
Naysilla nyaman dalam pelukan ayahnya.
Fajar yang belum pernah KMC sebelumnya jadi agak kagok.
Apalagi menampakkan tubuh bagian atasnya di depan Fira.
Meskipun di atas pusar bukan merupakan aurat, tapi tetap saja ada rasa canggung.
Fira juga sedikit berdesir melihat dada bidang dan perut six pack atletis milik Fajar.
Sebisa mungkin ia tidak menyentuh kulit Fajar.
Walaupun beberapa kali ia tak sengaja juga menyentuhnya saat membetulkan posisi Naysilla agar nyaman dalam gendongan KMC.
"Oh iya, Mas. Saatnya minum susu. Fira buatin susunya dulu ya. Alhamdulillah lho Naysilla nggak alergi susu sapi. Pup nya bagus, tiap hari juga. Coba kalau alergi, repot lah kita. Harus pakai susu hidrolisis total macam Pregestimil atau Nutramigen yang rasanya weekk nggak enak blas. Baunya juga agak langu. Apalagi kalau ternyata karena prematur jadi susu hidrolisis total aja belum bisa mencerna, harus pakai yang isi asam amino macam Neocate, waduh yang bikinin susunya aja nggak tahan baunya.
Sementara kalau pakai soya kan asam amino esensial nya nggak terpenuhi. Risiko malnutrisi nanti",
Fira berceloteh panjang lebar sambil tangannya sibuk menyiapkan susu.
Fajar hanya memperhatikan Fira yang sedari tadi bermonolog.
Gadis berkulit seputih pualam dan berhidung mancung itu memiliki wajah yang tanpa cela.
Ditambah naluri keibuannya yang tinggi saat merawat Naysilla, munafik jika Fajar mengatakan ia sama sekali tidak tertarik pada Fira.
Bahkan di lubuk hati terdalamnya ia berharap Fira bersedia menjadi ibu sambung Naysilla.
"Ini, Mas", Fira menyodorkan botol susu pada Fajar.
"Gimana caranya, Fir...?"
Fajar tampak seperti orang bodoh.
Maklum saja ia tak pernah mengurus bayi sebelumnya.
Fira menahan tawa.
Akhirnya ia juga yang meminumkan susu itu pada Naysilla.
"Mas.. Minggu depan Naysilla sudah boleh pulang. Mas sudah memikirkan siapa yang akan mengasuh Naysilla nanti...?" Tanya Fira.
Melihat gelagat Fajar yang sama sekali tidak bisa mengasuh bayi tentu membuatnya sangsi.
Takutnya Naysilla jadi tidak terurus.
"Belum, Fir. Saya juga bingung. Bayi prematur seperti Naysilla tentu butuh ketelatenan ekstra.
Babysitter biasa belum tentu mampu. Ya mungkin kutitipkan ke ibu atau mamahnya Ifah dulu",
jawab Fajar.
"Mas..",
Fira agak ragu melanjutkan kalimatnya.
"Ya......?" Fajar memandang Fira lekat.
"Maaf, Mas kalau Fira lancang. Tapi bolehkah kalau Naysilla sudah pulang dari rumah sakit nanti, biar Fira yang ngrawat...? Kasihan kalau merepotkan Mamah atau ibunya mas Fajar. Beliau semua sudah sepuh. Yah, setidaknya sampai mas Fajar menemukan istri shalihah yang akan mengurus Naysilla dengan penuh kasih sayang. Tentang orang tua saya, mas Fajar nggak perlu khawatir, toh selama saya mengurus Naysilla beliau berdua juga tidak melarang. Justru sering menanyakan kabar Naysilla."
Fajar terperanjat mendengar kalimat Fira.
Ia mencerna makna yang tersembunyi di dalamnya.
Hatinya bagai teriris sembilu saat memahami bahwa makna yang tersirat adalah penolakan Fira untuk menjadi ibu sambung Naysilla.
Tak ada kata yang terucap dari bibir Fajar.
Hanya anggukan lemah ia berikan sebagai tanda persetujuan.
Ponsel Fajar mendadak bergetar.
Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, ia terperanjat.
Tak mungkin ia mengangkat telepon itu di hadapan Fira.
Segera di reject nya panggilan itu.
Tapi si penelepon tampak tidak menyerah.
Ia terus mencoba menghubungi Fajar berkali-kali.
"Kalau ada operasi atau konsulan penting, nggak apa-apa, Mas. Ditinggal aja....!" Kata Fira heran karena sedari tadi Fajar membiarkan ponselnya terus bergetar.
"Nggak kok. Bukan hal penting. Sudah selesai semua kok follow up ku. Dan hari ini aku memang ingin khusus menghabiskan waktu bersama Naysilla", Jawab Fajar, berusaha bersikap tenang.
"Oh ya sudah kalau gitu. Fira pamit ya, Mas...! Sayang tante pamit dulu ya, cantik. Baik-baik sama ayah. Assalamu'alaykum..", Ucap Fira sambil mengecup puncak ubun-ubun Naysilla.
"Wa'alaykumussalam.. Ehm Fira..",
Fajar ragu-ragu untuk melanjutkan bertanya.
Fira berbalik dan menatap Fajar,
"Ya, Mas. Ada apa......?"
Tapi demi melihat si penanya hanya diam seribu bahasa, Fira mampu menebak apa kiranya yang akan diucapkan Fajar.
"Soal wasiat itu....? Maafkan Fira, Mas.. Fira belum mampu memberi jawaban sekarang. Fira masih dalam tahap istikhoroh.Bagaimanapun juga Fira hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Ada beberapa hal yang masih Fira pertimbangkan. Dan juga Fira masih harus berbicara dengan mas Raffi", air mata Fira otomatis meleleh saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Maafkan aku Fira.. Aku.."
Fajar sungguh merasa bersalah.
Fira mencoba tersenyum, meski tampak terpaksa.
Ucapnya lagi,
"Sudahlah, Mas......! Nggak ada yang perlu dimaafkan, kok. Sudah takdirnya begini. Dan Fira..
Fira berusaha menjalani dengan ikhlas apapun keputusan Fira nanti. Mas jangan khawatir....! Sebelum batas waktu yang kita sepakati habis, insya Alloh Fira sudah ada jawaban untuk Mas. Sudah ya, Mas, Fira pamit. Assalamu'alaykum.."
"Wa'alaykumussalam warohmatullah.."
Fajar menatap kepergian Fira dengan pandangan nanar.
Tapi segera tersadar, masih ada urusan lain yang harus diselesaikan.
Ia merogoh sakunya dan membuka pesan whatsapp.
"Jar...........! Kok nggak diangkat teleponku...? Sibuk operasi po.....? Yaudah kalau hari ini kamu udah nggak sibuk, aku minta waktu ketemu ya....! Ada yang mau kuomongin sama kamu. Penting.......!
Please.. Aku nginap di Inna Garuda, kalau sampai lobi kabarin aja...! Oh iya, jangan bilang Fira kalau aku ke Jogja...! Ada waktunya nanti aku ngomong sama Fira."
Fajar menghela nafas.
Jelas ia bisa menebak apa yang akan dibicarakan sahabatnya itu.
Semuanya jadi tampak begitu rumit.
"Fi, aku udah di bawah", Fajar menelepon sahabatnya. Sambil menunggu Raffi turun, Fajar duduk di sofa lobi yang tentu saja sepi saat malam begini.
"Hoi, Bro.....!Ya Alloh sibuk banget kamu ya...? Sampai mau ketemu aja harus malam gulita gini",
"Waduh, maafkan saya pak bos apotik...! Maklum jongos rumah sakit, jadi kerjanya ya nggak tahu waktu. Ini saya bawakan bakmi Kadin buat upeti ke pak Bos", Fajar sengaja membercandai Raffi.
Kedua sahabat itu masuk ke kamar Raffi.
"Mau minum apa, Jar...? Buat nemenin ngobrol malam ini..?" Tawar Raffi.
Fajar keluar kamar mandi, badannya terasa segar setelah seharian bergelut dengan pasien di rumah sakit.
"Fi........! Sejak kapan kamu ngrokok...?" Tanya Fajar penuh keheranan.
Lama sekali Fajar tidak menjawab pertanyaan Raffi.
"Kenapa cuma diam, Jar..? Jawablah jujur...........! Kita bertahun-tahun berteman...! Tapi kenapa hal sepenting ini aku justru tahu dari orang lain...?!", Raffi setengah berteriak.
Penuh rasa masygul, Fajar menjawab,
Fajar mengetap bibir, sekuat mungkin menahan air matanya.
"Maafkan aku, Jar.....! Aku tadi diselimuti emosi. Harusnya aku paham. Kamu tidak salah.." Ucap Raffi lirih.
Raffi mengacak rambutnya kasar, tampak frustasi.
Raffi menghembuskan nafas kasar, sebelum akhirnya ia bercerita,
Fajar menatap sendu pada sahabatnya yang tampak sangat kacau.
Raffi menyesap kopi hitamnya.
"Kamu tahu, Jar....? Aku dan Fira sepakat istikhoroh beberapa bulan terakhir ini. Pandangan hidup dan cita-cita masa depan kami tak sejalan. Ditambah tiada restu. Sulit rasanya mewujudkan hubungan kami sampai tahap pernikahan..",
"Jangan....! Jangan pernah menyuruhku melunakkan prinsip...! Itu tidak ada dalam kamusku...!"
Fajar yang tadi hendak buka suara, kembali diam mendengar pernyataan Raffi barusan.
"Maaf.........! Maafkan aku, Fi...! Aku nggak ada pilihan lain. Hanya Fira yang sanggup mengasuh anakku yang tuna netra.." Ucap Fajar setelah agak lama terdiam.
Raffi menatap tajam ke arah mata Fajar, berusaha mencari celah kebohongan yang mungkin disembunyikan Fajar.
"Yakin cuma karena anakmu...? Fira gadis yang cantik, bahkan sangat cantik. Lelaki normal manapun pasti tertarik padanya...? Tak adakah getar dalam hatimu jika melihatnya...?"
"Nggak......! Hanya karena Naysilla...! Bukan yang lain......!" Jawab Fajar cepat, meskipun hati kecilnya mengamini perkataan Raffi barusan.
Raffi menerawang jauh ke arah kegelapan malam.
"Jar.......! Jika ini jawaban dari istikhorohku, aku ikhlas, Jar....! Ikhtiar adalah kewajiban manusia, begitu juga tawakal. Soal hasil adalah hak Alloh. Aku cukupkan ikhtiarku dan kini saatnya aku tawakal.
"Fi......! Maaf......... !" Cuma itu yang keluar dari mulut Fajar.
Sementara Fajar masih termenung di balkon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel