Cerita bersambung
"Ibu.............?! Apa maksudnya.......?",
Fira terperanjat mendengar kalimat ibunya.
Sayup-sayup Fira mendengar bunyi isak tertahan dari ponselnya.
Menandakan di seberang sana ibunya pun tampak kalut memikirkan masalah yang dihadapi Fira.
"Iya, Ndhuk......! Ibu paham perasaanmu. Kamu bener-bener cinta to sama Nak Raffi...? Kalau kamu memang bener-bener mantep milih dia jadi imammu ya ibu nggak bisa apa-apa selain merestui kalian.."
"Bu.. Fira insya Alloh nanti sore pulang, habis ngurus Naysilla.. Kita ngobrol di rumah aja, nggih.."
Potong Fira cepat.
Ia tidak tega mendengarkan tangis ibunya lebih lama lagi.
"Udah ya, Bu......! Kalau Fira sudah sampai rumah kita omongin lagi. Assalamu'alaykum..",
Fira segera mengakhiri pembicaraan.
●●●
Seperti biasa, rutinitas Fira setiap hari adalah ke ruang perinatologi.
Entah mengapa ia selalu merasa ada yang kurang jika sehari saja tidak bertemu Naysilla.
Sengaja Fira datang pagi-pagi, saat jam memandikan.
Ia ingin lebih dekat dengan bayi yang mungkin akan berada dalam pengasuhannya kelak.
Fira usai memandikan dan mendandani Naysilla.
Ia bersiap KMC sambil memberi susu botol, lantas duduk santai di kursi berlengan yang disediakan khusus untuk ibu menyusui.
Ditatapnya bayi perempuan yang hampir sebulan usianya dengan penuh cinta.
Ia sedikit memijat pelan kaki dan tangan Naysilla berusaha membuat bayi itu nyaman.
Fira sedikit bahagia karena badan Naysilla sudah tampak berisi.
Jauh lebih baik saat awal-awal baru lahir yang seperti tulang berbalut kulit yang sedikit keriput.
"Eh kamu di sini, Fir....! Tuh dicari Gina di nurse station. Kayaknya mau ngomongin soal rencana pulang Naysilla", Suara Marti terdengar dari belakangnya.
Fira segera beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah yang disebut Marti.
Dilihatnya Gina tampak sibuk menulis status bayi-bayi yang jadi tanggung jawabnya.
"Mbak Gina.. Kata mbak Marti tadi njenengan cari saya. Ada apa......?" sapa Fira.
"Ooh iya. Duduk dulu, Fir....! Tak selesaiin dulu nulis-nulisnya", Jawab Gina.
Sementara tangannya sibuk menulis semua rekam medis yang bertumpuk di dekatnya.
"Jadi gini, Fir......", Gina buka suara sambil menatap Fira lekat.
"Advis dr. Tunjung tadi, Naysilla sudah bisa pulang minggu depan kalau hasil bilirubinnya bagus. Mungkin lab nya besok jadi. Kalau secara klinis sih bagus, nggak tampak kuning juga", Lanjut Gina.
"Alhamdulillah.. Makasih mbak Gina. Iya, dulu pas awal lahir sempat kuning sih. Dan difototerapi juga, bilirubinnya 15 e. Mungkin dehidrasi sih, minumnya kan belum begitu pinter dulu", Jawab Fira.
"Heeh.. Dan sekarang bagus banget lho perkembangannya. Berat badannya naik bagus, dah 2500 gram sekarang, padahal dulu lahir cuma 1200 gram. Bisa dipantau lewat kurva Fenton ya kenaikan berat badan, tinggi badan, juga lingkar kepalanya. Sampai 50 minggu usia kehamilan. Habis itu pakai kurva WHO atau CDC ya boleh. Tapi jangan lupa dihitung usia koreksinya. Naysilla kan lahir usia kehamilan 30 minggu ya. Kamu jelas ahli lah, Fir, soal ini. Ujian anakmu dapat A kan....? Dan kata gosip kamu top ten angkatan ya...?" Gina berkata panjang lebar, sengaja menggoda Fira.
"Halah, mbak Gina ini bisa aja...! Tetep butuh petuah mbak Gina dong sebagai residen anak paling kece", Fira balas membercandai Gina.
Gina tertawa renyah sebelum melanjutkan edukasinya,
"Soal memberi susu, Naysilla di rumah lanjut pakai sufor seperti jadwal di sini, jadi per 2 jam, atau maksmal per 3 jam lah. Usahakan sehari 8-12x minum susu. Kalau tidur ya dibangunin. Bisa diusap-usap telapak kakinya. Harus telaten lho, ya...! Soalnya bayi prematur jadi dia lebih cenderung susah dibangunin. Awas jangan sampai hipoglikemia. Karena dia sufor, jadi BAB usahakan tiap hari ya....!
Terus awasi juga tanda-tanda dehidrasi. Pipis minimal 6x/hari dan lihat juga warna pipisnya. Misal mau beli alat tes berat jenis urine ya boleh. Soal kebutuhan cairan per hari kamu jelas ahli banget lah ngetunge. Dan paling penting tetap rutin di KMC ya...! Kalau soal ROP nya bisa konsul spesialis mata.
Masalah yang paling serius pada Naysilla kan soal itu."
"Siap laksanakan, mbak...!" Ucap Fira.
"Hmm.. Udah kali ya pesenku. Oh iya, sudah ada bayangan soal siapa yang mau ngasuh Naysilla...? Harus yang bener-bener telaten lho...!"
Gina langsung terdiam begitu menyadari kesalahan bicaranya.
Sebenarnya itu hal rutin yang ditanyakan pada setiap orang tua bayi yang diizinkan pulang dari perinatologi.
Tapi pada kasus ini, jelas sangat sensitif.
Seantero rumah sakit jelas kenal siapa Fajar Hanafi, staf muda orthopedi yang rupawan dan menjadi idola kaum hawa.
Mungkin tak ada residen dan coass wanita yang tidak tahu siapa Fajar.
Dan sudah santer beredar gosip bahwa Fajar yang belum genap sebulan menduda itu akan mewujudkan wasiat almarhumah istrinya dengan menikahi Fira, sahabat baik istrinya.
Sekaligus fakta bahwa selama ini Fira lah yang mengurus bayi Naysilla.
"Engg.. Nggak tahu, mbak......! Coba nanti Fira bicarakan sama mas Fajar. Sekalian biar mas Fajar urus administrasinya",
Fira menutup percakapan sebelum berkembang jadi hal yang menjurus ke arah pribadi.
Bagaimanpun juga bergosip adalah salah satu hobi wanita.
●●●
Fira berjalan ke arah ruang jaga residen orthopedi.
Niatnya jelas mencari Fajar karena sedari tadi ia berusaha menelepon tapi tidak diangkat.
Pikirnya, di ruang jaga selalu ada residen.
Jadi dia bisa bertanya di mana posisi Fajar.
"Bang Tody......! Tahu mas Fajar di mana nggak...?" Tanya Fira pada salah satu residen ortho yang dikenalnya.
"Oh, Pak Fajar...... .? Dia di dalam kok....! Masuk aja..............!"
Tody segera menggeser posisinya dari depan pintu, memberi jalan masuk untuk Fira.
Fira segera masuk ke ruang jaga.
Tampak beberapa dipan susun yang menjadi tempat istirahat favorit para residen di tengah padatnya jadwal jaga, operasi, dan ilmiah.
Di salah satu sudut ruangan itu Fira melihat sosok Fajar yang tengah tertidur lelap dalam posisi setengah duduk dan masih memakai snelli nya.
"Eh, Fira.....! Mau ngobrol sama pak Fajar to..? Yaudah aku keluar dulu ya...! Aku nggak mau jadi setan diantara kalian berdua. Eh tapi jangan khilaf lho ya...! Eh aduh.. aduh ..!!"
Andy berteriak kesakitan karena Fira sudah memukulinya dengan papan untuk alas menulis yang tergeletak di atas meja.
Ia tidak sungkan pada Andy karena mereka berdua, seperti halnya Fajar, pernah sama-sama menjadi asisten dosen di bagian Anatomi.
"Ampun.... Ampun, Fir...! Eh tapi semalam kamu apain pak Fajar....? Gol berapa ronde....? Sampai kecapekan gitu...? Kemarin dia nggak jaga. Operasinya juga selesai cepat...! Tapi datang-datang udah kusut. Habis parade pagi malah dia tepar di sini",
Andy masih tidak jera menggoda Fira.
Fajar yang mendengar keributan di dekatnya segera membuka mata.
Ia mengucek sebentar matanya yang masih terasa berat.
Sedikit tidak percaya melihat sosok dihadapannya.
"Fira.........?!", Fajar masih sulit mempercayai penglihatannya.
"Eh pak Fajar sudah bangun", Andy yang menjawab.
Kemudian berkata lagi, "Yaudah saya keluar dulu, ya...! Daripada nanti melihat hal-hal yang seharusnya tidak boleh dilihat. Awas lho jangan bikin ronde tambahan di sini..!"
Andy segera melesat pergi usai menyelesaikan kalimatnya.
Fira tidak ambil pusing dengan gurauan Andy.
Dia sudah mafhum bahwa residen yang bersinggungan dengan kamar operasi hampir semuanya sering melontarkan candaan vulgar.
Mungkin sebagai hiburan di tengah penatnya operasi.
"Kenapa kamu sampai ke sini, Fir...? Kayak si cantik berkunjung ke sarang penyamun aja", Fajar berusaha mencairkan suasana.
"Lha.....! Mas Fajar ditelepon berkali-kali nggak diangkat...! Makanya Fira cari ke sini", Jawab Fira sengit.
"Oh.. Eh.. Maaf, Fir....! Aku ketiduran. Capek banget e. Sampai nggak denger ada telepon", Ucap Fajar.
Refleks ia meraih ponselnya dan memeriksa register panggilan.
Benar saja, di situ tertera 12 panggilan masuk dari Fira.
"Ada yang penting kah...?" Tanya Fajar kemudian.
"Soal Naysilla, Mas. Minggu depan sudah boleh pulang, kalau besok hasil lab bilirubinnya bagus. Tapi kemungkinan besar ya normal, sih. Soale klinisnya baik-baik aja. Masalah yang paling serius ya soal ROP nya. Kalau udah stabil, mungkin bisa dipertimbangkan konsul ke Prof. Was. Kalau memang perlu tindakan operasi",
Fira bercerita sambil mendudukkan diri di dipan yang terletak berhadapan dengan posisi Fajar.
"Administrasinya bisa mulai diurus, Mas. Ini berkas-berkas yang dibutuhkan buat klaim BPJS nya. Udah kucenthangin yang belum. Mas Fajar tinggal lengkapin aja. Dan kayaknya harus diurus di kantor BPJS nya. Soalnya kepesertaan Naysilla agak bermasalah tadi", Ucap Fira sambil menyerahkan map berisi dokumen.
Alur BPJS memang sedikit menjengkelkan.
Harus fotokopi beberapa dokumen.
Apalagi untuk bayi yang baru lahir, harus didaftarkan dulu saat masih di dalam kandungan.
Karena kalau didaftarkan setelah lahir, kepesertaannya baru aktif terhitung 14 hari setelah didaftarkan.
"Ok!", Jawab Fajar pendek.
Ia membolak-balik tumpukan kertas dalam map yang tadi diserahkan Fira.
"Oh iya, Mas. Hari ini saya mau pulang ke Sragen. Jadi nggak bisa nengok Naysilla nanti siang. Besok sore mungkin baru sampai Jogja.." Kalimat Fira sedikit mengambang.
Ia paham, Fajar jelas menangkap maksud kalimatnya.
"Maaf, Fir.."
"Nggak perlu minta maaf, Mas. Fira tahu benar, Mas Fajar menginginkan pernikahan wasiat ini.
Karena kalau Mas Fajar menolak dari awal, Fira juga tidak perlu kalang kabut begini..", Ucap Fira lirih.
Fajar tersentak.
Kalimat yang terlontar dari mulut Fira sama persis dengan perkataan Raffi padanya semalam.
Jujur, dari lubuk hati terdalam, Fajar merasa sangat bersalah.
Tapi demi mengusahakan yang terbaik untuk Naysilla, ia tak segan melakukan apapun sepanjang tidak melanggar syariah.
"Dan kamu juga mempertimbangkan untuk menerimanya kan, Fir...? Karena kalau kamu langsung menolak dengan penuh keyakinan, kamu nggak perlu galau sampai harus shalat istikhoroh", Jawab Fajar telak, membalas argumen Fira.
"Mas.. Mas sudah mempertimbangkan siapa yang akan mengasuh Naysilla..?"
Fira mengalihkan topik pembicaraan.
Fajar menggeleng lemah.
Kemudian ujarnya, "Belum, Fir.. Ya mungkin sementara biar sama ibuku aja. Mbak ku yang bidan mungkin dipanggil pulang dari Kalimantan, biar bantu ngurus."
Kedua insan itu sama-sama terdiam.
Sebelum Fajar berucap memecah kesunyian, "Fir.. soal itu..",
Fajar kembali bungkam, ragu menyelesaikan kalimatnya.
"Iya, Mas.. Fira paham kok...! Masih tiga hari lagi kan, seminggunya.. Fira pasti akan memberikan jawabannya.. Dan apapun keputusan Fira, pasti sudah Fira bicarakan dengan bapak ibu. Karena Fira nggak mau menikah tanpa restu orang tua..",
Sekuat hati Fira mengucapkan kalimatnya.
Butiran bening mulai menitis di sudut matanya.
Fira mendongak, ia menatap Fajar penuh selidik.
Merasa ada yang janggal dengan penampilan Fajar yang tampak kuyu, mata bengkak seperti kurang tidur, dan berantakan.
Tak seperti Fajar yang biasa dikenalnya, selalu rapi.
Mau tak mau Fira kembali melontarkan pertanyaan demi menjawab rasa penasarannya.
"Mas Fajar.. Setahu Fira kemarin njenengan selesai operasi cepet. Terus nggak jaga juga. Kok sekarang kucel dan kayaknya ngantuk capek banget gitu. Njenengan nggak macem-macem kan gara-gara depresi...?" Tanya Fira penuh selidik.
Sontak Fajar terbahak-bahak mendengar pertanyaan Fira.
Tapi terbersit sedikit kekaguman pada gadis itu.
Sengaja ia jawab pertanyaan Fira dengan sedikit bercanda.
Karena tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya.
"Wooww.........! Kamu dimanapun dan kapanpun tetep critical thinker ya. Wah harus hati-hati nanti yang jadi suamimu. Bisa ketahuan semua kalau coba-coba membohongimu",
Fajar tersenyum simpul sambil menatap tepat ke arah mata Fira.
Demi mendengar kata 'suami'...,
Fira jadi jengah.
Segera ia akhiri pembicaraannya dengan Fajar.
"Yaudah, Mas. Fira pulang dulu, takut kemalaman sampai rumah."
"Mau kuantar sampai stasiun Tugu, Fir...? Aku bawa mobil, kok", Tawar Fajar.
Sengaja ia menekankan kata mobil, mengingat Fira yang segan dibonceng motor oleh lelaki bukan mahrom.
"Nggak usah repot-repot, Mas. Fira pulang naik mobil, kok.. Assalamu'alaykum",
Fira segera bangkit dan beranjak pergi.
"Ati-ati nyetirnya.. Wa'alaykumussalam.." Jawab Fajar.
Ia memandang punggung Fira hingga gadis itu lenyap di balik pintu.
Fajar kembali menghempaskan tubuhnya di atas dipan.
Tak dipungkiri, ia sangat mengharapkan Fira menerima pinangannya.
Dan semoga jawaban Fira kelak sesuai harapannya.
==========
Menjelang senja Fira sampai di rumahnya.
Usai memasukkan mobilnya ke garasi, ia segera mandi dan berganti baju.
Kemudian ia berjalan ke arah ruang keluarga untuk menemui ibunya.
"Ibu.. Ibu kenapa kok tadi nangis? Fira jadi sedih kalau ibu kepikiran soal ini. Bukankah ibu harusnya senang...? Kan sebentar lagi Fira insya Allah mau nikah..", Fira berkata sambil memeluk bahu ibunya.
Bu Rindi balas membelai rambut putri semata wayangnya.
Dengan penuh kelembutan beliau berkata, "Ndhuk......... Gimana ibu nggak mikir. Dua lelaki yang memintamu jadi istri sama-sama menawarkan konsekuensi yang nggak ringan untuk dijalani selepas menikah.."
Bu Rindi terdiam agak lama.
Hanya tangannya yang masih bergerak, mengelus puncak kepala putri kesayangannya yang sedang menggelendot manja dalam pelukannya.
Sesekali diciumnya aroma rambut gadis itu, mengingatkan bu Rindi pada masa kecil Fira.
"Ndhuk.. Kalau kamu milih Raffi jelas kamu akan berkorban sangat besar. Hanya jadi ibu rumah tangga, sekolah doktermu sia-sia. Juga kamu tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikan spesialis. Dan kamu juga akan tinggal jauh dari bapak ibu.
Sementara Fajar...... Memang dia tampan, calon spesialis orthopedi dan dosen muda. Dari keluarga terpandang juga. Tapi..........., Yah dia duda beranak satu. Kamu sangat cantik Fira...! Kamu dokter dan bapak ibumu ini juga terpandang. Kamu jelas bisa dapat jejaka yang berkualitas..",
Bu Rindi menumpahkan semua yang memberatkan pikirannya.
"Apa harus kamu memilih satu diantara mereka...? Maksud Ibu, kamu masih muda. Jelas ada kesempatanmu bertemu lelaki lain yang mungkin tidak membuatmu serba salah begini. Pikirkan lagi, Nak.....!"
Bu Rindi mencoba memberi argumen.
Fira tersenyum.
Ia paham benar akan kekhawatiran ibunya.
Tapi keyakinannya sudah bulat untuk memilih satu diantara Fajar atau Raffi.
Ia punya alasan yang kuat tentang keputusan itu.
"Bu.. Fira paham kekhawatiran Ibu. Fira juga tahu, Ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk Fira. Hanya saja mungkin Ibu lupa bahwa ada satu hadits riwayat At Tirmidzi yang menyebutkan bahwa jika datang lelaki yang baik akhlaknya untuk meminang, hendaknya diterima. Jika tidak, maka akan menjadi fitnah. Fira yakin baik mas Fajar ataupun mas Raffi sama-sama memiliki akhlak yang baik. Hanya Fira harus memutuskan mana yang lebih cocok menjadi imam Fira. Dan tentunya mendapat restu Bapak dan Ibu.." Lembut nada bicara Fira, berusaha menenangkan ibunya.
Bu Rindi menatap putrinya dengan penuh kasih sayang.
Tak dipungkiri saat ini gadis kecilnya sudah tumbuh dewasa dan mungkin sebentar lagi akan mengarungi hidup baru.
Dikecupnya kening Fira dengan penuh perasaan.
"Ndhuk.. Ibu percaya, pilihanmu yang terbaik.."
Ibu dan anak itu menutup obrolan mereka tatkala terdengar suara adzan maghrib berkumandang.
Mereka segera berwudhu untuk segera menunaikan ibadah berjamaah.
Pembicaraan tentang nasib jodoh Fira jelas akan berlanjut setelah dokter Kusuma, ayah Fira pulang dari praktik sorenya.
●●●
Raffi berjalan seorang diri menyusuri senja pantai Depok.
Usai bertemu dengan klien nya, ia segera memacu mobil sewaannya ke tempat yang penuh kenangan itu.
Jelaslah, pantai Depok dengan kekhasan kuliner lautnya menjadi tempat favoritnya dan Fira menikmati kebersamaan mereka.
Tentu saja bersama Fajar dan Ifah.
Yah dua pasang kekasih yang masing-masing bersahabat itu memang sering menghabiskan waktu rame-rame.
Tapi kini Raffi duduk sendirian, termenung memandang matahari yang mulai tenggelam, pertanda senja yang segera akan berganti malam.
Kalut rasa hatinya jelas terasa.
Lelaki mana yang sanggup merelakan wanitanya pada lelaki lain setelah sepuluh tahun kebersamaan dan pengorbanan besar.
Titis bening mulai turun dari sudut mata Raffi.
Perih sekali jika ia harus mengenang usahanya yang luar biasa, dari pekerjaan awalnya menjadi sales farmasi, hingga ia memberanikan diri membuka apotik dengan modal seadanya.
Dan kini sudah beberapa cabang apotik dimilikinya.
Semua itu jelas demi memantaskan diri untuk bersanding dengan Fira.
Setidaknya keluarga Fira yang kaya dan terpandang tidak memandangnya sebelah mata dan berprasangka buruk padanya yang hanya pemuda miskin yang berniat menumpang hidup.
Raffi sama sekali tidak menyesali semua usaha yang telah dilakukannya.
Fira jelas bukan gadis biasa.
Parasnya elok rupawan dengan kulit halus seputih pualam, hidung mancung dan bibir yang merekah bak delima.
Tatapan mata elangnya semakin membuat gadis itu tampak menawan dengan segenap kecerdasan yang terpancar.
Yah, Fira hampir sempurna sebagai seorang wanita, akhlaknya pun baik, nasabnya juga baik.
Dari keluarga terpandang, bahkan ayah Fira sering diundang untuk memberikan ceramah keaagamaan, meskipun jelas profesi utama beliau adalah dokter spesialis penyakit dalam.
Raffi sendiri sangat mantap untuk menjadikan Fira sebagai perhiasan terindahnya.
Tapi tiada manusia yang sempurna.
Di balik semua kelebihan yang dimiliki Fira, ada satu kekurangannya yang cukup mengganjal hati Raffi.
Seperti tipikal wanita cerdas, Fira yang dididik dengan tegas dan mandiri oleh orang tuanya jelas bukan wanita yang patuh mutlak.
Beberapa kali mereka sering berbeda pendapat, dan Fira tetap keras dengan pendiriannya.
Raffi lah yang lebih banyak mengalah.
Syarat yang Raffi ajukan pada Fira jika ingin menjadi istrinya bukannya tanpa alasan.
Raffi jelas paham bahwa dalam satu rumah tangga, suami lah yang memimpin dan memegang kendali.
Dan Raffi seorang pengusaha yang mempelajari ilmu psikologi dalam merekrut karyawannya.
Jelas ia tahu bahwa tipikal wanita macam Fira akan susah patuh pada suami, kecuali suaminya memiliki posisi atau daya tawar yang lebih tinggi.
Raffi takut, jika ia membebaskan Fira menggapai kariernya, tentu dengan segenap potensi yang dimilikinya, Fira akan memiliki karier yang cemerlang.
Dan bisa jadi akan semakin sulit patuh pada suami, apalagi jika dirasa status sosial suaminya lebih rendah.
Mungkin akan banyak orang yang mencibir Raffi dengan sebutan pengecut, terutama kaum feminis.
Tapi Raffi punya alasan kuat untuk itu.
Ia ingin menutup semua celah yang akan meciptakan dosa yang lebih besar yaitu istri yang durhaka pada suami, dan suami yang dayuts, tidak berdaya menghalangi istri dari berbuat dosa.
Lagipula semua syaratnya tidak melanggar syariah.
Raffi jelas mencintai Fira, bahkan bisa dibilang hanya Fira lah gadis yang berhasil mengisi relung hatinya.
Tapi ia tidak mau terjebak nafsu, menikah hanya memandang hal duniawi.
Karena baginya pernikahan adalah ibadah seumur hidup.
Dan satu hal lagi yang paling ditakutkannya adalah, ia lebih memilih berkubang dosa dengan menjadi suami dayuts karena cintanya pada Fira mengalahkan cintanya pada sang Pencipta.
Cukup lama Raffi diliputi kegalauan akan masa depan hubungannya dengan Fira.
Niat untuk mengikat miitsaqan ghaliza bersama Fira jelas tidak diragukan lagi.
Hanya saja Raffi belum sepenuhnya yakin untuk mampu membimbing Fira menjadi istri shalihah.
Dan itu sangat membebani pikiran Raffi, karena jika gagal mendidik istri, bukan tak mungkin rumah tangga yang mereka bina justru jadi sumber dosa.
Untuk itulah ia melakukan shalat istikhoroh, berharap petunjuk yang terbaik dari Allah.
Jauh di lubuk hati yang terdalam, jelas Raffi menginginkan Fira.
Tapi jawaban istikhorohnya justru berlawanan dengan harapannya.
Dan kini di saat titik terang tentang kelanjutan hubungannya dengan Fira jelas di depan mata, Raffi justru gamang untuk mengambil keputusan.
Merelakan kekasih hati untuk sahabat memang bukan hal yang mudah.
Tapi Raffi akan berusaha mengikhlaskannya jika itu memang jalan yang terbaik.
Bagaimanapun Fajar yang juga seorang dokter dengan karier yang sangat mapan jelas akan lebih mudah membuat Fira patuh.
Lagipula ada wasiat dari almarhumah Ifah dan tentu saja Naysilla, bayi mungil itu jelas membutuhkan kasih sayang Fira.
Raffi menyedot batang rokoknya yang keenam.
Mencoba menatap kenyataan yang jelas tidak berpihak padanya.
Masih ada harapan memang.
Jika Fira mau menerima syaratnya dengan penuh kerelaan dan mengantongi restu dari kedua orangtuanya, Raffi jelas akan segera meminang Fira.
Tapi sepertinya itu hal yang mendekati mustahil mengingat perangai Fira yang keras.
Jadi pilihan untuk berhenti berjuang dan mengikhlaskan adalah yang terbaik.
Bukankah pernah disebutkan bahwa jika seorang pemuda tertarik pada seorang wanita tapi ia belum mampu untuk menikahinya maka yang terbaik adalah tidak mengikat sang gadis dalam hubungan yang tidak pasti.
Merelakan gadisnya untuk orang lain yang lebih pantas adalah bukti cinta tertinggi.
Dan kali ini Raffi tengah memantapkan hati untuk melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel