Oleh : Safarina N. Ente
SURAT PELIPUR LARA
“Ayah sedang apa?” tegurku, ketika melihat beliau duduk bersimpuh di sudut ruangan, sambil memegang sebuah kotak biru usang.
“Ayah hanya tiba-tiba teringat kenangan lama, sayang. Maaf jika sudah membangunkanmu.” jawab Ayah sambil mengumpulkan amplop yang berserakan.
“Tidak apa-apa, Ayah. Aku cuma kaget saja mendengar suara benda jatuh. Aku pikir itu Ayah.” balasku sambil membantunya mengumpulkan amplop.
Sempat terbaca olehku alamat yang tertera di sampulnya. Asing. Bahkan sangat jauh dari sini.
Kenangan apa sebenarnya yang di ingat Ayah?
Mengapa surat-surat ini disimpan sangat rapi oleh Ayah?
Dan siapa sebenarnya orang yang mengirimkan surat-surat ini?
“Ayah sedang apa?” tegurku, ketika melihat beliau duduk bersimpuh di sudut ruangan, sambil memegang sebuah kotak biru usang.
“Ayah hanya tiba-tiba teringat kenangan lama, sayang. Maaf jika sudah membangunkanmu.” jawab Ayah sambil mengumpulkan amplop yang berserakan.
“Tidak apa-apa, Ayah. Aku cuma kaget saja mendengar suara benda jatuh. Aku pikir itu Ayah.” balasku sambil membantunya mengumpulkan amplop.
Sempat terbaca olehku alamat yang tertera di sampulnya. Asing. Bahkan sangat jauh dari sini.
Kenangan apa sebenarnya yang di ingat Ayah?
Mengapa surat-surat ini disimpan sangat rapi oleh Ayah?
Dan siapa sebenarnya orang yang mengirimkan surat-surat ini?
Sejak memutuskan untuk tinggal bersama Ayah, banyak hal baru yang kuketahui tentangnya.
Alasan dia memutuskan untuk hidup jauh dari kami, putri-putrinya, bahkan tentang pengkhianatan yang ternyata dilakukan oleh istri dan kakak iparnya sendiri.
Pengkhianatan yang membuatnya harus mengorbankan kehidupan cintanya demi memberikan kenyamanan untuk kami, putri kecilnya.
Pengkhianatan yang mengharuskan Ayah tetap bertahan dalam ikatan meski tak ada lagi hasrat dan cinta di dalamnya.
Hari ini, kutemukan lagi hal baru darinya. Selama tinggal di sini, baru sekarang aku melihat kotak biru itu. Kotak usang yang berisi ratusan amplop di dalamnya.
Amplop tua namun terlihat masih terjaga.
Apa gerangan isi di dalamnya sampai membuat Ayah rela memanjat rak buku itu?
Aku penasaran. Bahkan ingin tahu siapa pengirimnya. Bisa saja dia orang yang sangat berarti bagi Ayah.
Karena baru sekarang aku melihat senyum kerinduan tersungging di bibirnya, ketika membuka satu per satu surat itu.
Ada secercah cinta terpancar dari binar matanya.
Setelah bertahun-tahun hidup menyendiri, terpisah jauh dari keluarga, baru kali ini aku melihat semua itu di wajah beliau.
Seharusnya aku tidak suka karena dia masih terikat dengan ibuku. Namun jika hubungan yang dia jalani justru hanya membawa penderitaan untuknya, buat apa bertahan?
Jika memang dirinya tidak bisa lagi percaya dengan istrinya, ibu dari putri-putrinya, kenapa tidak berpisah saja?
Sebagai putri tertua, tentu saja aku sedih melihat keadaan Ayah seperti ini. Ingin bahagia namun tak bisa lagi dia dapatkan dari pasangannya. Ingin mencinta, namun keterikatan itu melarangnya.
“Ayah… Itu surat dari siapa? Sepertinya Ayah sangat senang membacanya berulangkali.”
“Bukan dari siapa-siapa, nak. Hanya dari seorang sahabat lama yang sangat berarti untuk Ayah.”
“Apa aku boleh ikut membacanya?”
“Boleh saja, nak. Sini duduk di samping Ayah.”
(“Assalamu’alaikum habibi… Aku tidak tahu apakah surat ini akan sampai di Jeddah pada waktu pagi, atau petang, jadi rasanya mengucapkan salam ini lebih pantas. Apa kabarmu di sana? Bagaimana pekerjaanmu di sekolah? Apakah masih banyak murid-murid yang “mengganggumu” di klinik? Aku harap semua berjalan dengan baik untukmu di sana. Hari ini aku akan pergi berkunjung ke rumah nenek yang merayakan Natal dan Tahun Baru. Kamu pasti suka, karena aku tahu di sana tidak ada perayaan seperti ini. Nanti aku akan kirimkan kamu foto saat kami berkumpul bersama keluarga. Jujur, aku sangat berharap kamu ada di sini, supaya kita bisa merayakannya bersama keluargaku. Tapi aku sadar akan posisiku yang tidak bisa meminta lebih. Kita hanya bisa menikmati setiap detik dari momen yang telah diiizinkan oleh takdir. Berharap semua kebahagiaan yang kita rajut ini bisa bertahan selamanya dan mengarahkan kita untuk bisa bersama. Titip salam buat sahabat-sahabat 1 flatmu di sana. Sampaikan terima kasih karena sedikit demi sedikit sudah mau mengajarkanku bahasa asal negara kalian.)
Surat pertama yang kubaca sangat menyentuh hati.
Siapa gerangan wanita ini?
Apa dia yang telah mengisi tahun-tahun kesepian Ayah?
Lantas di mana dia sekarang?
Kenapa Ayah tidak menjalani hidup bersamanya?
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam diriku. Ingin sekali kulontarkan kepadanya, namun urung kulakukan saat melihat senyum di wajahnya.
Aku kembali meraih surat lain dari kotak itu.
(“Assalamu’alaikum bhe… Apa kabar Jeddah bulan ini? Apakah cuaca di sana mulai dingin, atau tetap panas seperti biasanya? Kuharap kamu senantisa sehat wal’afiat dalam kondisi cuaca apapun. Bhe… Aku sudah mempersiapkan diri untuk perjalanan kita nanti. Aku tidak tahu bagaimana cuaca di sana, jadi aku bawa saja semua baju untuk berbagai musim. Semoga timbangan bagasiku tidak over, jadi aku masih bisa menghemat uang buat jalan-jalan nanti. Apa kamu sudah menghubungi sahabatmu untuk booking tiketnya? Aku tidak ingin kita ketinggalan promo. Karena kota tempat kita berlibur nanti itu selalu menjadi pilihan liburan hampir sejuta umat di dunia. Aku sudah tidak sabar untuk bisa bertemu secara langsung denganmu, setelah selama ini kita hanya bisa berkomunikasi lewat surat dan sesekali lewat video call. Semoga semua bisa berjalan dengan lancar sampai dengan hari H-nya, karena aku sangat ingin bertemu denganmu, orang yang telah memberikan warna dalam hidupku. Mahal kita, bhe… (P.S : Aku kirimkan foto-foto waktu silaturahmi ke rumah nenek bersama surat ini. Aku tahu kamu sudah melihatnya lewat WA, tapi rasanya akan lebih berkesan jika aku bisa mengirimkan fisik dari foto-foto itu”)
Mereka sudah pernah bertemu dan wanita itu bahkan mau belajar bahasa negara Ayah, Tagalog.
Tapi mengapa Ayah masih memutuskan untuk sendiri?
Apakah mereka kemudian bertengkar setelah perjalanan itu?
Atau apakah karena Ibuku, hingga Ayah memutuskan untuk meninggalkan orang yang justru telah membawa kebahagiaan padanya?
Rasanya aku ingin menangis. Airmataku menggenang di pelupuk mata. Tak dapat kubayangkan bagaimana tersiksanya batin Ayah di saat harus kembali mengorbankan cintanya demi kami, putri-putrinya.
Aku tak pernah tahu bahwa kemesraan yang selama ini Ayah tunjukkan kepada Ibu, itu semua semata-mata hanya supaya kami tidak tahu konflik di antara mereka.
Aku merasa bersalah karena pernah memaksa beliau untuk memeluk Ibu bahkan menciumnya di hadapan kami, padahal hatinya telah mati.
“Ayah… Siapa gerangan wanita dalam surat ini?” tanyaku dengan suara serak, tak mampu lagi diri ini melanjutkan membaca semua surat-surat yang ada.
"Dia adalah orang yang telah membawa pelangi di tengah badai dalam kehidupan Ayahmu ini, sayang. Dia lah alasan mengapa Ayah masih kuat untuk bertahan dalam ikatan bersama Ibu kalian, meskipun hati Ayah telah lama mati.” jawabnya.
Dapat kulihat ada airmata yang menggenang di pelupuk matanya.
“Apakah Ayah mencintai dia?”, tanyaku, sambil menatap lurus ke dalam matanya.
“Kamu pasti sudah bisa melihat jawabannya dari mata Ayah, nak. Sebagaimana pengorbanan yang Ayah lakukan selama ini, seperti itulah besarnya rasa cinta Ayah untuk dia. Surat-surat ini Ayah simpan, sebagai bukti bahwa Ayah masih dan tetap mencintai dia sampai sekarang.”
“Lantas dia dimana sekarang? Kenapa Ayah tidak menjalani hidup bersamanya? Aku masih bisa melihat cinta itu di mata Ayah. Bahkan setiap kali membaca surat ini, Ayah selalu tersenyum.”
“Ayah tidak tahu di mana dia sekarang, karena sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak berkomunikasi. Kamu harus tahu, nak, kenapa Ayahmu ini tetap memilih untuk hidup sendiri di sini dan hanya sesekali pulang ke kampung halaman. Itu semua demi memberikan keluarga yang stabil untuk kalian, putri-putri Ayah yang cantik. Meskipun itu berarti Ayah harus mengorbankan kehidupan cinta Ayah.”
Airmataku jatuh menetes membasahi pipi. Sudah kuduga, pasti itu penyebabnya kenapa Ayah tetap bertahan seperti ini.
Tak kusangka begitu besar pengorbanan yang harus Ayah lakukan hanya demi memberikan kenyamanan kepada kami. Ingin rasanya aku membalas semua pengorbanan itu.
Apa yang harus kulakukan?
Haruskah aku membantu Ayah untuk kembali bertemu dengan cinta terakhirnya?
Tapi bagaimana caranya?
Aku bahkan tidak tahu kemana harus memulai, apalagi mencari keberadaan wanita itu.
Bisa jadi dia sudah tidak tinggal lagi di alamat yang tertera pada surat itu.
“Ayah… Aku boleh minta izin untuk membuat lukisan dari cerita Ayah ini? Jujur, aku sebenarnya lagi kehabisan ide saat ini. Setelah membaca surat-surat milik Ayah dan mendengarkan kisah dibaliknya, aku jadi terinspirasi.” tanyaku tiba-tiba.
Untuk saat ini hanya itu jalan keluar yang dapat kupikirkan, sambil aku berusaha mencari cara agar bisa menemukan kembali wanita yang telah membawa kebahagiaan bagi Ayah.
“Boleh saja, nak. Merupakan suatu kehormatan bagi Ayah ketika kamu menjadikan kisah ini sebagai inspirasi bagi lukisanmu.” jawabnya sambil tersenyum.
“Terima kasih, Ayah…” balasku sambil merangkulnya. Tak ingin dia melihat jejak airmata di pipiku.
Yah, aku harus bisa menemukan cara untuk mempertemukan mereka kembali.
Sudah cukup selama ini Ayah harus bertahan bersama kenangan dari sekotak surat tua.
Sesulit apapun itu, aku pasti bisa melakukannya. Karena aku ingin sekali melihat kebahagiaan di wajah Ayah.
Aku ingin dia hidup bersama dengan orang yang dicintainya dan juga yang mencintainya dengan sepenuh hati.
==========
Alasan dia memutuskan untuk hidup jauh dari kami, putri-putrinya, bahkan tentang pengkhianatan yang ternyata dilakukan oleh istri dan kakak iparnya sendiri.
Pengkhianatan yang membuatnya harus mengorbankan kehidupan cintanya demi memberikan kenyamanan untuk kami, putri kecilnya.
Pengkhianatan yang mengharuskan Ayah tetap bertahan dalam ikatan meski tak ada lagi hasrat dan cinta di dalamnya.
Hari ini, kutemukan lagi hal baru darinya. Selama tinggal di sini, baru sekarang aku melihat kotak biru itu. Kotak usang yang berisi ratusan amplop di dalamnya.
Amplop tua namun terlihat masih terjaga.
Apa gerangan isi di dalamnya sampai membuat Ayah rela memanjat rak buku itu?
Aku penasaran. Bahkan ingin tahu siapa pengirimnya. Bisa saja dia orang yang sangat berarti bagi Ayah.
Karena baru sekarang aku melihat senyum kerinduan tersungging di bibirnya, ketika membuka satu per satu surat itu.
Ada secercah cinta terpancar dari binar matanya.
Setelah bertahun-tahun hidup menyendiri, terpisah jauh dari keluarga, baru kali ini aku melihat semua itu di wajah beliau.
Seharusnya aku tidak suka karena dia masih terikat dengan ibuku. Namun jika hubungan yang dia jalani justru hanya membawa penderitaan untuknya, buat apa bertahan?
Jika memang dirinya tidak bisa lagi percaya dengan istrinya, ibu dari putri-putrinya, kenapa tidak berpisah saja?
Sebagai putri tertua, tentu saja aku sedih melihat keadaan Ayah seperti ini. Ingin bahagia namun tak bisa lagi dia dapatkan dari pasangannya. Ingin mencinta, namun keterikatan itu melarangnya.
“Ayah… Itu surat dari siapa? Sepertinya Ayah sangat senang membacanya berulangkali.”
“Bukan dari siapa-siapa, nak. Hanya dari seorang sahabat lama yang sangat berarti untuk Ayah.”
“Apa aku boleh ikut membacanya?”
“Boleh saja, nak. Sini duduk di samping Ayah.”
(“Assalamu’alaikum habibi… Aku tidak tahu apakah surat ini akan sampai di Jeddah pada waktu pagi, atau petang, jadi rasanya mengucapkan salam ini lebih pantas. Apa kabarmu di sana? Bagaimana pekerjaanmu di sekolah? Apakah masih banyak murid-murid yang “mengganggumu” di klinik? Aku harap semua berjalan dengan baik untukmu di sana. Hari ini aku akan pergi berkunjung ke rumah nenek yang merayakan Natal dan Tahun Baru. Kamu pasti suka, karena aku tahu di sana tidak ada perayaan seperti ini. Nanti aku akan kirimkan kamu foto saat kami berkumpul bersama keluarga. Jujur, aku sangat berharap kamu ada di sini, supaya kita bisa merayakannya bersama keluargaku. Tapi aku sadar akan posisiku yang tidak bisa meminta lebih. Kita hanya bisa menikmati setiap detik dari momen yang telah diiizinkan oleh takdir. Berharap semua kebahagiaan yang kita rajut ini bisa bertahan selamanya dan mengarahkan kita untuk bisa bersama. Titip salam buat sahabat-sahabat 1 flatmu di sana. Sampaikan terima kasih karena sedikit demi sedikit sudah mau mengajarkanku bahasa asal negara kalian.)
Surat pertama yang kubaca sangat menyentuh hati.
Siapa gerangan wanita ini?
Apa dia yang telah mengisi tahun-tahun kesepian Ayah?
Lantas di mana dia sekarang?
Kenapa Ayah tidak menjalani hidup bersamanya?
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam diriku. Ingin sekali kulontarkan kepadanya, namun urung kulakukan saat melihat senyum di wajahnya.
Aku kembali meraih surat lain dari kotak itu.
(“Assalamu’alaikum bhe… Apa kabar Jeddah bulan ini? Apakah cuaca di sana mulai dingin, atau tetap panas seperti biasanya? Kuharap kamu senantisa sehat wal’afiat dalam kondisi cuaca apapun. Bhe… Aku sudah mempersiapkan diri untuk perjalanan kita nanti. Aku tidak tahu bagaimana cuaca di sana, jadi aku bawa saja semua baju untuk berbagai musim. Semoga timbangan bagasiku tidak over, jadi aku masih bisa menghemat uang buat jalan-jalan nanti. Apa kamu sudah menghubungi sahabatmu untuk booking tiketnya? Aku tidak ingin kita ketinggalan promo. Karena kota tempat kita berlibur nanti itu selalu menjadi pilihan liburan hampir sejuta umat di dunia. Aku sudah tidak sabar untuk bisa bertemu secara langsung denganmu, setelah selama ini kita hanya bisa berkomunikasi lewat surat dan sesekali lewat video call. Semoga semua bisa berjalan dengan lancar sampai dengan hari H-nya, karena aku sangat ingin bertemu denganmu, orang yang telah memberikan warna dalam hidupku. Mahal kita, bhe… (P.S : Aku kirimkan foto-foto waktu silaturahmi ke rumah nenek bersama surat ini. Aku tahu kamu sudah melihatnya lewat WA, tapi rasanya akan lebih berkesan jika aku bisa mengirimkan fisik dari foto-foto itu”)
Mereka sudah pernah bertemu dan wanita itu bahkan mau belajar bahasa negara Ayah, Tagalog.
Tapi mengapa Ayah masih memutuskan untuk sendiri?
Apakah mereka kemudian bertengkar setelah perjalanan itu?
Atau apakah karena Ibuku, hingga Ayah memutuskan untuk meninggalkan orang yang justru telah membawa kebahagiaan padanya?
Rasanya aku ingin menangis. Airmataku menggenang di pelupuk mata. Tak dapat kubayangkan bagaimana tersiksanya batin Ayah di saat harus kembali mengorbankan cintanya demi kami, putri-putrinya.
Aku tak pernah tahu bahwa kemesraan yang selama ini Ayah tunjukkan kepada Ibu, itu semua semata-mata hanya supaya kami tidak tahu konflik di antara mereka.
Aku merasa bersalah karena pernah memaksa beliau untuk memeluk Ibu bahkan menciumnya di hadapan kami, padahal hatinya telah mati.
“Ayah… Siapa gerangan wanita dalam surat ini?” tanyaku dengan suara serak, tak mampu lagi diri ini melanjutkan membaca semua surat-surat yang ada.
"Dia adalah orang yang telah membawa pelangi di tengah badai dalam kehidupan Ayahmu ini, sayang. Dia lah alasan mengapa Ayah masih kuat untuk bertahan dalam ikatan bersama Ibu kalian, meskipun hati Ayah telah lama mati.” jawabnya.
Dapat kulihat ada airmata yang menggenang di pelupuk matanya.
“Apakah Ayah mencintai dia?”, tanyaku, sambil menatap lurus ke dalam matanya.
“Kamu pasti sudah bisa melihat jawabannya dari mata Ayah, nak. Sebagaimana pengorbanan yang Ayah lakukan selama ini, seperti itulah besarnya rasa cinta Ayah untuk dia. Surat-surat ini Ayah simpan, sebagai bukti bahwa Ayah masih dan tetap mencintai dia sampai sekarang.”
“Lantas dia dimana sekarang? Kenapa Ayah tidak menjalani hidup bersamanya? Aku masih bisa melihat cinta itu di mata Ayah. Bahkan setiap kali membaca surat ini, Ayah selalu tersenyum.”
“Ayah tidak tahu di mana dia sekarang, karena sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak berkomunikasi. Kamu harus tahu, nak, kenapa Ayahmu ini tetap memilih untuk hidup sendiri di sini dan hanya sesekali pulang ke kampung halaman. Itu semua demi memberikan keluarga yang stabil untuk kalian, putri-putri Ayah yang cantik. Meskipun itu berarti Ayah harus mengorbankan kehidupan cinta Ayah.”
Airmataku jatuh menetes membasahi pipi. Sudah kuduga, pasti itu penyebabnya kenapa Ayah tetap bertahan seperti ini.
Tak kusangka begitu besar pengorbanan yang harus Ayah lakukan hanya demi memberikan kenyamanan kepada kami. Ingin rasanya aku membalas semua pengorbanan itu.
Apa yang harus kulakukan?
Haruskah aku membantu Ayah untuk kembali bertemu dengan cinta terakhirnya?
Tapi bagaimana caranya?
Aku bahkan tidak tahu kemana harus memulai, apalagi mencari keberadaan wanita itu.
Bisa jadi dia sudah tidak tinggal lagi di alamat yang tertera pada surat itu.
“Ayah… Aku boleh minta izin untuk membuat lukisan dari cerita Ayah ini? Jujur, aku sebenarnya lagi kehabisan ide saat ini. Setelah membaca surat-surat milik Ayah dan mendengarkan kisah dibaliknya, aku jadi terinspirasi.” tanyaku tiba-tiba.
Untuk saat ini hanya itu jalan keluar yang dapat kupikirkan, sambil aku berusaha mencari cara agar bisa menemukan kembali wanita yang telah membawa kebahagiaan bagi Ayah.
“Boleh saja, nak. Merupakan suatu kehormatan bagi Ayah ketika kamu menjadikan kisah ini sebagai inspirasi bagi lukisanmu.” jawabnya sambil tersenyum.
“Terima kasih, Ayah…” balasku sambil merangkulnya. Tak ingin dia melihat jejak airmata di pipiku.
Yah, aku harus bisa menemukan cara untuk mempertemukan mereka kembali.
Sudah cukup selama ini Ayah harus bertahan bersama kenangan dari sekotak surat tua.
Sesulit apapun itu, aku pasti bisa melakukannya. Karena aku ingin sekali melihat kebahagiaan di wajah Ayah.
Aku ingin dia hidup bersama dengan orang yang dicintainya dan juga yang mencintainya dengan sepenuh hati.
==========
LANGKAH AWAL
Sudah 1 bulan berlalu sejak obrolan terakhirku dengan Ayah. Sampai hari ini pun aku masih belum bisa menemukan keberadaan wanita itu.
Pernah sekali secara sembunyi-sembunyi aku mencoba membongkar isi handphone milik Ayah, berharap beliau masih menyimpan nomor telepon miliknya, tapi nihil.
Entah karena Ayah yang sudah menghapusnya atau memang sengaja menyembunyikannya dari kami.
Ingin sekali diri ini bertanya, tapi aku yakin Ayah pasti tidak ingin membahasnya.
Jalan satu-satunya adalah mencoba membongkar kembali surat-surat dalam kotak itu. Tapi bagaimana caranya?
Sejak hari itu, Ayah memilih untuk memindahkan tempat penyimpanan kotak tersebut.
Feelingku mengatakan jika kotak itu disimpan dalam brankas di kamarnya.
Itu artinya aku harus menunggu waktu yang tepat untuk membukanya.
Yah, waktu dimana Ayah tidak berada di rumah.
“Micha, hari ini Ayah mungkin pulang terlambat. Soalnya ada perayaan di sekolah tempat Ayah bekerja. Kamu tidak perlu menunggu, karena Ayah sudah bawa kunci rumah sendiri,” sebuah suara bass yang lembut membuyarkan anganku.
“Ehh… I-iya Ayah. Micha juga nanti ada urusan di galeri, mungkin malam baru selesai. Ayah silahkan bersenang-senang dengan rekan-rekan kerja, yah. Gak usah khawatirin Micha di sini,” jawabku sedikit tergagap, namun tak dapat menyembunyikan senyum.
Yes… Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu tiba. Aku bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk membongkar semua surat itu.
Beberapa menit setelah bus yang membawa Ayah pergi berlalu, aku pun mengendap-ngendap masuk ke dalam kamarnya.
Ayah memang tidak pernah mengunci kamar ini, karena percaya aku tidak akan berbuat macam-macam.
Tapi kali ini, aku harus melanggar privasi miliknya. Jika bukan demi kebahagiaannya, aku sudah pasti tidak ingin melakukan hal ini.
Sambil berusaha menajamkan telingaku supaya tetap waspada, aku berjalan mendekati tempat brankas diletakkan.
Tidak besar memang, tapi sudah pasti tingkat keamanannya sangat tinggi. Aku harus bisa menebak-nebak password yang Ayah gunakan.
Tanggal lahirku sudah dipastikan gagal. Tanggal lahir Athene, adikku juga sama, nihil.
Lantas tanggal apa sebenarnya yang Ayah gunakan?
Aku berusaha untuk mengingat-ngingat. Sampai akhirnya ingatanku tertumbuk pada sebuah tanggal yang pernah kubaca dalam surat itu.
Yah, mungkin itu tanggalnya. Aku mencoba memeras ingatanku dan kemudian mencoba memasukkan tanggal itu.
Yes, berhasil. Ternyata Ayah menggunakan tanggal pertemuan mereka sebagai password.
Perlahan tapi pasti kubuka pintu brankas ini. Cukup berat juga ternyata. Isinya pun bukan hanya barang berharga atau uang saja, tapi surat-surat berharga pun ada di sini.
Termasuk kotak biru usang itu.
Bingo. Akhirnya yang kucari-cari selama ini ketemu juga.
Tanpa berpikir lama kutarik kotak itu dari persembunyiannya. Kemudian melanjutkan membongkar isi di dalamnya.
Berusaha mencari petunjuk apapun yang dapat memudahkan pencarianku terhadap wanita itu.
Alamat pengirim sudah kucatat dengan lengkap. Beberapa lembar foto yang masih tersimpan rapi dalam amplop sudah kufoto juga dengan kamera handphoneku. Tapi rasanya masih ada yang kurang.
Menit demi menit berlalu tanpa terasa. Mungkin sudah 2 jam berlalu, tapi aku masih terperangkap di antara surat-surat ini.
Jumlahnya yang begitu banyak membuatku harus berhati-hati saat mengecek isinya.
Apalagi Ayah ternyata sudah menyusunnya sesuai dengan tanggal surat itu dikirim, jadi aku tidak boleh sampai mengubah apapun jika tidak ingin Ayah tahu perbuatanku.
Ketika diri ini sudah nyaris putus asa melakukan pencarian, mataku tertumbuk pada sederet nomor yang tertera pada lembar surat terakhir.
Apa mungkin ini nomor telepon wanita itu?
Sebaiknya kucatat saja. Setidaknya sudah ada nomor telepon yang diperoleh untuk memudahkan penyelidikanku nanti.
Akhirnya semua data yang diperlukan terkumpul. Aku pun mengembalikan kembali kotak itu ke tempatnya semula.
Aku juga tidak lupa untuk mengecek jika ada sesuatu yang tertinggal di luar brankas atau mungkin tidak sengaja kupindahkan.
Setelah yakin semua sudah aman, kututup kembali brankas ini sebelum Ayah tiba-tiba pulang.
Di ruang tamu, aku kembali mengecek semua data-data yang telah berhasil kukumpulkan. Rasanya cukup.
Aku pun kemudian menghubungi sahabatku yang ahli dalam penyelidikan orang hilang. Berharap dia dapat membantuku mencari keberadaan wanita dalam foto-foto ini.
“Eric, apa kamu lagi sibuk?” sapaku ketika mendengarkan suara di seberang.
“Aku lagi santai kok, Micha. Ada apa?” tanya suara itu.
“Aku mau minta tolong sama kamu untuk carikan tanteku yang hilang.” jawabku, sedikit berbohong.
“Lho, tantemu yang mana? Kok bisa hilang?”
“Ceritanya panjang, Eric. Nanti aja aku jelaskan. Sekarang aku mau kirim ke kamu foto-foto dari tanteku itu. Nomor WA kamu masih sama kan?”
“Iya masih sama. Yaudah, kirim aja. Biar bisa cepat diproses.”
“Oke. Terima kasih yah. Maaf mendadak ngerepotin.”
“Sama-sama Micha. Tenang aja, aku gak merasa direpotin kok.”
Setelah yakin semua foto yang tadi kukumpulkan telah terkirim dan diterima Eric, aku kemudian beralih mengecek sederet angka yang kini tersimpan rapi dalam kontak handphoneku.
Nomor ini sengaja tidak kuberikan kepada Eric, karena aku ingin menghubunginya sendiri.
Sebab jika memang betul nomornya masih aktif dan memang milik dari wanita itu, aku ingin menjadi orang pertama yang berbicara dengannya.
Aku ingin menyampaikan langsung kepadanya bagaimana kabar Ayah selama dia menghilang.
“Assalamu’alaikum… Maaf ini siapa yah?” sapa sebuah suara yang lembut di seberang. Yah, suara seorang wanita yang begitu halus dan merdu.
“Wa-Wa’alaikumsalam… A-apa benar ini dengan tante Salsa?” tanyaku balik dengan tergagap.
Tak kusangka yang menjawab telepon ini adalah seorang wanita.
Detak jantungku berdebar tak karuan. Tanganku bahkan terasa dingin.
Besar harapanku jika yang menjawab telepon ini adalah orang yang kucari.
Bersambung #2
Aku berusaha untuk mengingat-ngingat. Sampai akhirnya ingatanku tertumbuk pada sebuah tanggal yang pernah kubaca dalam surat itu.
Yah, mungkin itu tanggalnya. Aku mencoba memeras ingatanku dan kemudian mencoba memasukkan tanggal itu.
Yes, berhasil. Ternyata Ayah menggunakan tanggal pertemuan mereka sebagai password.
Perlahan tapi pasti kubuka pintu brankas ini. Cukup berat juga ternyata. Isinya pun bukan hanya barang berharga atau uang saja, tapi surat-surat berharga pun ada di sini.
Termasuk kotak biru usang itu.
Bingo. Akhirnya yang kucari-cari selama ini ketemu juga.
Tanpa berpikir lama kutarik kotak itu dari persembunyiannya. Kemudian melanjutkan membongkar isi di dalamnya.
Berusaha mencari petunjuk apapun yang dapat memudahkan pencarianku terhadap wanita itu.
Alamat pengirim sudah kucatat dengan lengkap. Beberapa lembar foto yang masih tersimpan rapi dalam amplop sudah kufoto juga dengan kamera handphoneku. Tapi rasanya masih ada yang kurang.
Menit demi menit berlalu tanpa terasa. Mungkin sudah 2 jam berlalu, tapi aku masih terperangkap di antara surat-surat ini.
Jumlahnya yang begitu banyak membuatku harus berhati-hati saat mengecek isinya.
Apalagi Ayah ternyata sudah menyusunnya sesuai dengan tanggal surat itu dikirim, jadi aku tidak boleh sampai mengubah apapun jika tidak ingin Ayah tahu perbuatanku.
Ketika diri ini sudah nyaris putus asa melakukan pencarian, mataku tertumbuk pada sederet nomor yang tertera pada lembar surat terakhir.
Apa mungkin ini nomor telepon wanita itu?
Sebaiknya kucatat saja. Setidaknya sudah ada nomor telepon yang diperoleh untuk memudahkan penyelidikanku nanti.
Akhirnya semua data yang diperlukan terkumpul. Aku pun mengembalikan kembali kotak itu ke tempatnya semula.
Aku juga tidak lupa untuk mengecek jika ada sesuatu yang tertinggal di luar brankas atau mungkin tidak sengaja kupindahkan.
Setelah yakin semua sudah aman, kututup kembali brankas ini sebelum Ayah tiba-tiba pulang.
Di ruang tamu, aku kembali mengecek semua data-data yang telah berhasil kukumpulkan. Rasanya cukup.
Aku pun kemudian menghubungi sahabatku yang ahli dalam penyelidikan orang hilang. Berharap dia dapat membantuku mencari keberadaan wanita dalam foto-foto ini.
“Eric, apa kamu lagi sibuk?” sapaku ketika mendengarkan suara di seberang.
“Aku lagi santai kok, Micha. Ada apa?” tanya suara itu.
“Aku mau minta tolong sama kamu untuk carikan tanteku yang hilang.” jawabku, sedikit berbohong.
“Lho, tantemu yang mana? Kok bisa hilang?”
“Ceritanya panjang, Eric. Nanti aja aku jelaskan. Sekarang aku mau kirim ke kamu foto-foto dari tanteku itu. Nomor WA kamu masih sama kan?”
“Iya masih sama. Yaudah, kirim aja. Biar bisa cepat diproses.”
“Oke. Terima kasih yah. Maaf mendadak ngerepotin.”
“Sama-sama Micha. Tenang aja, aku gak merasa direpotin kok.”
Setelah yakin semua foto yang tadi kukumpulkan telah terkirim dan diterima Eric, aku kemudian beralih mengecek sederet angka yang kini tersimpan rapi dalam kontak handphoneku.
Nomor ini sengaja tidak kuberikan kepada Eric, karena aku ingin menghubunginya sendiri.
Sebab jika memang betul nomornya masih aktif dan memang milik dari wanita itu, aku ingin menjadi orang pertama yang berbicara dengannya.
Aku ingin menyampaikan langsung kepadanya bagaimana kabar Ayah selama dia menghilang.
“Assalamu’alaikum… Maaf ini siapa yah?” sapa sebuah suara yang lembut di seberang. Yah, suara seorang wanita yang begitu halus dan merdu.
“Wa-Wa’alaikumsalam… A-apa benar ini dengan tante Salsa?” tanyaku balik dengan tergagap.
Tak kusangka yang menjawab telepon ini adalah seorang wanita.
Detak jantungku berdebar tak karuan. Tanganku bahkan terasa dingin.
Besar harapanku jika yang menjawab telepon ini adalah orang yang kucari.
Bersambung #2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel