Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 10 Januari 2020

Aku Bukan Wanita Bodoh #1

Cerita bersambung

Orang biasa memanggilku Bu Amin, karena begitulah biasanya di lingkungan asrama militer seorang ibu persit biasa di panggil sesuai nama sang suami.
Aku dengan senang hati membiarkan ijasah sarjanaku hanya menjadi penghuni lemari demi mengurus kedua buah hatiku Aliya yang baru duduk di kelas tiga SD dan Radit si bungsu yang baru memasuki PAUD. Ku curahkan segenap hidupku untuk mengurus keluarga kecilku tanpa sedikitpun mengeluh.

Sebagai seorang ibu rumahtangga sebisa mungkin aku harus pandai mengatur setiap rupiah yang di berikan suami.
Aku dan suami hanya terpaut tiga tahun. Usiaku 36 tahun tiga tahun lebih muda di bawah usia suami.
Suamiku adalah seorang anggota TNI AD bertugas di salah satu satuan di timur Indonesia.

Sejak menikah tak.sekalipun aku meninggalkan suamiku saat bertugas. Ke manapun suamiku pergi aku selalu ikut mendampingi. Meski berasal dari kota besar dan dari keluarga berada tapi sebisa.mungkin aku beradaptasi dengan lingkungan tempat tugas suami di manapun itu.

Makan seadanya saat bahan makanan habis, bukan karena tidak punya uang tapi situasi dan lokasi tempat tugas suami yang sangat terpencil dan jauh dari kota sehingga untuk membeli beraspun butuh waktu berhari hari. Di saat seperti itu singkong dan pisang rebus atau pisang mentah yang di parut akan jadi makanan paling nikmat bagi kami. Tak sekalipun aku mengeluh. Bagiku berkumpul dengan suami dan anak anak adalah nikmat yang tiada duanya. Bersama melewati suka duka susah senang dengan selalu bersyukur.

Hingga suatu hari kabar gembira itu datang. Suamiku dimutasikan ke daerah Jawa Barat. Tentu saja aku sangat gembira mendengar berita ini. Itu artinya kami akan segera berkumpul lagi dengan keluarga besar yang ada di Jawa Barat. Dengan sukacita kami segera berkemas mengurus segala keperluan untuk kepindahan nanti. Bayangan masa depan yang bahagia terbayang di pelupuk mata. Aku tak akan capek lagi memarut singkong atau pisang setiap hari hanya untuk mengganjal perut. Aku tak perlu capek berjalan berkilo-kilo hanya untuk menemukan signal agar bisa menelpon keluarga. Ah yang terbayang hanyalah keindahan hidup kembali di kota besar. Takkan ada kesulitan lagi.

"Kamu bahagia ya Bun sebentar lagi kita tinggalkan tempat ini." Suamiku menggodaku sambil mengelus lembut kepalaku. Aku hanya tersenyum bahagia menatapnya. Laki-laki sempurna yang diberikan Tuhan untukku. Sangat menyayangi keluarga, semoga seterusnya seperti itu. Doaku dalam hati.

Di iringi tangis haru dari masyarakat setempat kami pergi meninggalkan desa tempat suami mengabdi sekian lama. Meski berat tapi aku bahagia. Saatnya kesusahan itu terlewati.
Dan di sinilah kami di tanah Pasundan kembali aku mengabdikan diri mendampingi Mas Amin bertugas.

Perlahan kami membangun rumah. Tabungan kami selama bertugas di luar Jawa cukup untuk membangun rumah dan membeli kendaraan roda empat. Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Hanya bedanya di sini semua di jalani dengan segala kemudahan. Aku bisa mengantar anak ke sekolah dengan kendaraan tanpa harus capek berjalan kaki di bawah terik matahari ataupun derasnya hujan. Semua itu aku jalani dengan rasa syukur.

Tapi ternyata kebahagiaanku hanya sementara. Cinta dan kesetiaan yang kami bangun bertahun tahun harus tergores dengan yang namanya penghianatan. Ya suamiku tergoda wanita lain. Dan yang lebih menyakitkan lagi wanita itu adalah tetangga depan rumah kami. Berawal dari sebuah chat yang membuka semua tabir perselingkuhan mereka.

Aku menangis sejadi-jadinya saat tau harga diriku jatuh cuma karena janda depan rumah. Aku akui secara fisik aku jauh lebih cantik. Badanku langsing meski sudah beranak dua. Meski hidup bukan bergelimang harta tapi untuk merawat  wajah dan badan sudah jadi rutinitas setiap hari tentu saja setelah urusan sebagai ibu rumah tangga selesai ku tunaikan.

Kepalaku pening memikirkan tingkah Mas Amin. Sebagai istri aku merasa sudah sempurna apalagi sebagai ibu, untuk urusan wajah dan body aku masih menang telak atas janda depan rumah itu. Apa yang membuat cinta suamiku harus berpaling aku tak habis pikir.

Sebagai manusia biasa wajar aku sakit hati. Ingin rasanya ku datangi wanita itu menjambaknya sepuas hati memakinya atau meracuninya dengan sianida. Tapi itu terlalu bodoh dan hanya merugikan saja, pikirku.
"Tidak Merry, yang kamu pikirkan itu bodoh. Masih ada cara cantik yang bisa kamu lakukan untuk si Karin sang pelakor."

Puas menangis aku bangkit dari tempat tidur. Untung anakku masih di sekolah dan si bungsu lagi tidur jadi tidak perlu mereka tahu apa yang terjadi dengan ibunya.
"Sudahlah Bun kamu terima saja si Karin. Aku terlanjur mencintainya. Kalaupun aku tak bisa menikahinya secara sah aku akan tetap menikahinya walau hanya nikah siri." Lupa dia sebagai apa dia, lupa dia kalau karir dan jabatannya jadi taruhan.

Ucapan suamiku tadi begitu sakit menusuk hatiku. Serasa lemas persendian. Berasa mimpi. Laki-laki yang kupuja selama ini dengan enteng memintaku berbagi cinta dengan selingkuhannya. Ingin ku maki sepuas hati atau ku cakar saja wajah Mas Amin tapi urung ku lakukan.
Percuma marah kepada orang yang lagi di mabuk asmara.

Aku berdiri di atas balkon rumah dan menatap rumah di depan milik si Karin wanita penggoda suamiku. Wanita dengan tinggi kuperkirakan 150 cm dengan berat badan 60 kilogram ya aku ingat beratnya segitu saat terakhir menimbang berat badan waktu aerobik bulan kemarin.

Kalau tak mau di sebut buntelan yah gajah duduk, rutukku dalam hati gemes membayangkan tingkah dua orang yang lagi jatuh cinta seakan lupa akan usia. Usianya juga jauh di atasku tapi bisa membuat suamiku lupa jalan pulang.

Ku edarkan pandanganku ke sekeliling rumah wanita itu. Mobil mewah dua unit berjejer manis di depan rumahnya.
Toko bangunan di sebelahnya cukup ramai oleh pembeli. Ya itu toko milik si Karin. Pundi pundi uangnya pasti mengalir dari situ. Belum dengan penghasilan sawahnya yang luas. Kelihatan dari perhiasannya yang di pakai setiap hari menunjukan kalau wanita penggoda itu memang kaya raya meski terkesan norak karena gelondongan emas yang melingkar dari leher sampai kaki. Apa itu yang membuat suamiku kepincut? Harta wanita itukah?

Oalah...seandainya Mas Amin jatuh cinta cuma karena wanita itu kaya raya, betapa elfeelnya aku. Seorang Mas Amin bisa berpaling ke wanita lain hanya karena harta? Aku ingat dua minggu lalu Mas Amin pulang membawa sebuah mobil mewah keluaran terbaru, katanya dipinjemin teman karena hujan. Tapi anehnya mobil itu tak pernah dibalikkan ke yang punya. Masa iya ada yang mau pinjemin mobil selama itu.

Tiba tiba aku ingat sesuatu. Aku berlari ke lemari Mas Amin. Tergesa aku membuka laci penyimpanan. Dan benar saja ada bukti pembelian mobil atas nama suamiku. Tak mungkin kalau itu pakai uang suamiku. Selama ini aku yang pegang uang. Sudah pasti suamiku tak memiliki uang sebanyak itu.

Aku terhenyak. Dalam hati aku mengumpat. Sangat geram aku di buatnya. Apalagi tak ada penyesalan atau rasa bersalah sedikitpun. Tunggu ya Mas, kamu pikir aku wanita bodoh??.

Dalam hati aku bersyukur juga menjadi istri dari seorang anggota TNI. Bukan hal yang mudah bagi seorang anggota TNI untuk selingkuh seenak dengkul. Ada aturan dan kamu tunggu aja Mas. Aku tak akan mengemis cintamu tapi akan ku buat kamu dan selingkuhan itu menyesal seumur hidup. Aku tak bisa memilikimu lagi tapi aku akan jadi bayangan yang kelak menghantui hidupmu selamanya.

*****

Menangis dan meratapi nasib hanya sebuah kesia-siaan.

Aku harus kuat demi kedua buah hatiku. Aku akui cintaku untuk suamiku tak bisa diungkapkan lagi. Sekian lama aku mendampinginya melewati kesulitan hidup, dan saat senangpun aku ingin tetap bersama. Tapi apa mau di kata, cinta buta sudah menutup mata hati Mas Amin. Di hatinya sekarang lagi bersemi bunga asmara, bisa jadi Mas Amin sedang mengalami puber kedua atau apalah itu, yang jelas cinta terlarangnya sudah menutup akal dan logika Mas Amin.

Ku pandang wajah teduh kedua anakku yang lagi terlelap di buai mimpi. Dalam hati aku bimbang, apa jadinya mereka kalau sampai kedua orang tuanya bercerai. Aku sadar aku tak punya penghasilan sendiri, selama ini aku bergantung pada penghasilan suami. Andai aku dan Mas Amin cerai bagaimana nasib kedua anakku nanti. Antara bimbang dan ragu aku mulai memutar otak. Untuk balik lagi berdampingan seperti dulu rasanya tak mungkin. Terlalu banyak luka yang menganga akibat ulah Mas Amin dan pelakor itu. Apalagi saat mengingat ucapan Mas Amin agar aku mau menerima Karin sebagai maduku. Bukan rasa penyesalan dan permintaan maaf yang ku dengar saat tau perselingkuhannya terbongkar, malah sebaliknya Mas Amin meminta hal yang tak mungkin bisa aku penuhi.

Tak terasa air mataku menetes. Periiih...sakit. Itu yang ku rasa. Dalam relung hati yang paling dalam sejujurnya aku menginginkan kehadiran Mas Amin. Aku ingin menumpahkan semua kesedihan dan luka ini di pelukannya. Aku mendamba belaian lembut suamiku saat tahu aku marah. Memeluk, mengecupku mesra dan menghujaniku dengan sejuta kata maaf, dan berbisik penuh harap memintaku tetap bersamanya, melupakan semua yang terjadi, dan berjanji tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tapi apa yang terjadi, Mas Amin malah meninggalkan aku dengan setumpuk amarah yang terpendam, emosi yang meluap-luap tanpa mau memberiku kesempatan mengeluarkan semua sesak yang ada.

Aku menghapus air mataku dengan gusar. Aku tak boleh begini terus. Bagaimanapun aku istri sahnya Mas Amin. Penuh perjuangan aku lalui untuk bisa masuk menjadi bagian dari keluarga besar Persit. Teringat masa-masa sulit saat pengajuan nikah militer. Capek dan sangat melelahkan. Di mulai dari menghadap ke senior sampai ke komandan, tidaklah mudah. Butuh mental baja untuk mau di tempa sebagai istri seorang prajurit. Sempat aku menyerah dan berniat mengundurkan diri. Tapi Mas Amin selalu menguatkanku.
"Bertahanlah, sedikit lagi semua selesai dan kamu akan segera menyandang gelar nyonya Amin." Sambil tertawa Mas Amin menggodaku, berharap aku terhibur dan tetap semangat menjalani semua aturan dan tradisi pengajuan bagi calon istri prajurit.

Sekarang semua perjuangan itu meluap begitu saja. Gara-gara pelakor jahanam semua impian yang sudah ku rajut harus terurai lagi.

Aku berniat menelpon Mas Amin ketika terdengar pintu gerbang rumah Karin terbuka. Iseng aku melongok. Dadaku bergemuruh, pemandangan depan rumah itu sungguh membuatku murka.
Tanpa sungkan lagi Mas Amin dan pelakor itu berpelukan tanpa takut kepergok. Emosiku membuncah. Tanpa pikir panjang aku melangkah menuju rumah janda gatal itu.

Plaakkk... plaakk
Tamparan keras mendarat di pipi Mas Amin dan Karin. Entah kekuatan darimana tanpa sadar aku menampar kedua manusia tak tau diri itu.

"Keterlaluan kamu Mas, gak punya malu udah tua tingkahnya kayak abege lagi kasmaran. Kamu juga perempuan gak tau malu Karin, kamu tahu Mas Amin suamiku tapi tega kamu mau merebutnya dariku." Sungguh aku tak tahan lagi menahan gejolak amarah.
"Beraninya kamu Bun kamu gak menghargai aku sebagai suami,"
Mas Amin malah nyolot. Dielus pipinya sambil meringis sama seperti Karin. Mukanya merah menahan tangis. Aku menatapnya tajam. Mas Amin malah balik melotot marah ke arahku.

Aku tak peduli. Saat melihatnya berpelukan tadi luruh sudah rasa hormatku pada laki-laki yang masih bergelar suamiku itu.

"Kamu yang sudah menjatuhkan harga dirimu Mas. Ingat ya Mas aku akan melaporkanmu ke komandan." Aku masih berapi-api, sesak rasanya dada ini.
"Kamu berani?" suamiku makin melotot.
"Kamu mau laporan aku trus anak-anakmu sanggup kamu kasih makan? Kalau aku di pecat aku masih punya Karin tapi kamu? Anak-anak?."

Ya Tuhan, benar-benar laki-laki tak tahu malu dan tak punya harga diri. Dalam situasi seperti ini dia malah memanfaatkan kelemahanku. Dalam hati aku membenarkan ucapannya. Kalau dia di pecat trus anak-anak gimana. Tapi kalau terus bertahan lalu aku? Gimana perasaanku. Apa aku kuat hidup selamanya dengan situasi seperti ini.

Aku bingung. Dengan gontai aku melangkah pulang ke rumah kami. Kejadian barusan benar benar sudah menghapus separuh hatiku untuk Mas Amin. Rasanya tak ada gunanya lagi kalau aku memaksanya terus bersama apalagi kembali mencintaiku seperti dulu. Ibarat benang yang putus meski bisa di sambung lagi tapi akan menyisakan bekas yang tak sempurna lagi.

Baiklah Mas aku akan membiarkanmu terus terbang bersama janda gatal itu tanpa harus melepasmu. Aku akan melepasmu saat waktunya tiba. Jangan pikir aku bodoh dan pasrah menerima nasib.

Bersambung #2

1 komentar:

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER