Cerita bersambung
"Punya apa kamu berani melamar putriku!" Dadang menatap tajam pemuda tampan dihadapannya.
"Abah!" Siti Nurbaya menyela kalimat pedas abahnya.
"Siti itu sangat cantik, banyak pria kaya yang datang melamarnya!" Dadang tak mempedulikan ucapan putrinya.
"Maaf Abah, saya mungkin tak mampu menjanjikan harta, tapi Insya Allah akan berupaya menjadikan Siti bahagia," tutur Syamsudin setenang mungkin.
Dadang yang terkenal sebagai pemabuk dan penjudi itu tertawa keras. Bahunya ikut berguncang.
"Tanpa harta, mana mungkin anakku bisa kau bahagiakan, mikir atuh!" ejek Dadang
Harga diri Syam terlalu dalam tertikam. Namun, demi cinta sucinya, dia rela dihina dinakan begitu rupa.
"Begini saja, bawa mahar 100 juta, Siti saya kawinkan dengan kamu!"
Bagai disambar petir, dua insan yang di hatinya saling cinta, terhentak hebat. Bagaimana mungkin Syam bisa memenuhi. Pekerjaannya saja hanya guru honorer.
"Abah keterlaluan!" Siti menatap abahnya tajam. Airmata tak mampu lagi dibendungnya.
"Terserah, kalau mau sama Siti, bawa 100 juta titik!" Abah menghembuskan asap rokok kuat-kuat.
"Baik, saya akan membawa 100 juta untuk Siti, tapi ... beri saya waktu." Syamsudin menjawab tantangan Dadang.
"Kalau sampai setahun kamu tak datang, saya akan kawinkan Siti dengan orang lain!" ucap Dadang masih dengan nada tinggi dan melecehkan.
Syamsudin pulang dengan tubuh lunglai. Tak terbayang darimana dia bisa mendapatkan 100 juta itu. Gajinya sebagai guru honorer saja, hanya 500 ribu rupiah. Jika ditambah penghasilan dari mengajar ngaji dan les sana-sini, total terkumpul 1,5 juta rupiah. Semua itu habis terpakai keperluan hidup. Paling tersisa 200 ribu untuk tabungan pernikahan.
"Akang! " Siti berlari menghampiri Syamsudin yang tengah berjalan dalam kondisi menyedihkan.
"Maafkan abah, ya, Kang" Dengan airmata berderai, Siti berbicara pada Syam.
Syam terdiam, hatinya tak karuan saat ini. Sedih, marah, kecewa, dan benci pada diri sendiri. Mengapa harus miskin? Mengapa harus mencintai Siti?
"Astagfirullah," lirihnya, sesal sudah meratapi diri.
"Siti, tunggulah Akang." Syam menatap Siti, tak berani dia menyentuh sang pujaan hati.
"Akang pasti kembali untuk menikahi Siti." Ucapan itu diiringi seribu ragu.
"Waktunya hanya setahun Kang, kalau tidak ..." Siti menangis lagi. Dia tahu bagaimana perangai keras abahnya.
"Kalau kita berjodoh, pasti akan bersatu, iya, kan?" Syam berusaha menghibur Siti, juga diri sendiri.
Syam pergi meninggalkan gadis pujaannya. Bertahun menanti, inilah yang harus dia hadapi. Benteng diantara mereka terlalu menjulang tinggi. Akankah namanya tertulis disisi Siti?
Siti memandang kepergian pria yang dicintai lima tahun lamanya. Angin sejuk sore hari tak mampu menenangkan hatinya yang terlanjur gundah.
Selepas kepergian Syam, Siti kembali ke rumahnya. "Abah janji menunggu Kang Syamsudin setahun, kan?" Siti ingin memastikan bahwa abahnya tak berbohong.
"Iya, Abah janji, tapi setelah setahun dia tak datang, kamu harus mau Abah kawinkan dengan siapapun."
"Iya, tapi jangan pria beristri."
"Tak masalah."
"Sudah, sekarang sana bantu Ambu di dapur!"
Desa Suka hati yang asri, terasa gersang di sisi Siti hari ini. Harapannya terlalu jauh untuk direngkuh.
***
"Siapa gadis berkerudung itu? " Pria berusia 40 tahun itu menghembuskan asap rokok ke udara. Puas dengan kepulan bergelombang di depannya, dia beralih menyesap kopi luwak yang nikmat. Tiap tegukan mampu menghangatkan kerongkongannya.
"Siti Nurbaya, anak Pak Dadang, preman kampung ini juragan," sahut mang Anang, pengurus villa tuan Handy. Pria kurus itu setia mengabdi sudah sepuluh tahun lamanya.
"Atur pertemuanku dengan ayah gadis itu!"
Dia mengibaskan tangan ke samping, sebagai tanda perintahnya harus segera dilakukan.
"Baik juragan."
Pertemuan tak perlu menunggu lama. Sore itu juga, Dadang menemui Handy di villanya. Pria jangkung itu menyodorkan uang satu koper ke hadapan abah.
"Kurasa ini cukup untuk menjadikan aku menantumu."
Mata Dadang terbelalak menyaksikan lembaran merah tumpuk menumpuk di hadapannya. Seumur hidup tak pernah ia melihat uang sebanyak itu.
"Ini satu miliar sebagai tanda jadi, diluar pesta dan lain-lain, bagaimana cocok?"
"Waaaw, cocok sekali, hari ini juga saya bisa nikahkan anda dengan Siti!"
"Baguslah, jangan terburu-buru, minggu depan saja." Handy menyodorkan rokok pada calon mertuanya. Dia bertanya lebih jauh tentang Siti dan seluk beluk kehidupan kembang desa itu.
Dadang dengan wajah sumringah pulang ke rumah. Dia menenteng koper berisi tumpukan lembaran bergambar bapak proklamator. Sesampainya di bangunan sederhana itu, abah langsung menyimpan koper di bawah kasur kapuknya.
Dadang meminta Ambu memanggilkan Siti di majelis. Ada hal penting yang harus di bicarakan, katanya. Gadis itu duduk di bangku kayu berhadapan dengan abah. Wajahnya menampakkan penasaran tinggi.
"Hari Ini sudah setahun, kan?" tanya abah
"Iya," jawab Siti perlahan.
"Syamsudin belum kembali, berarti dia tak menepati janji."
"Abah!" Suara Siti tercekat.
"Kamu bilang kalau janji itu harus di tepati. Nah, sekarang Abah mau menagih janji sama Siti."
Air muka Siti berubah pucat. Dia memang berjanji pada abah, jika sampai setahun Syam tak kembali, dirinya bersedia dinikahkan dengan pilihan abahnya.
Abah pun menepati janji. Selama setahun ini,
dia menolak semua lamaran pria-pria yang memang berminat padanya. Dari perjaka, duda hingga pria beristri. Dari kuli hingga pejabat yang datang mengobral janji.
"Ada pria kaya melamarmu, namanya Handy, umur 40 tahun, duda beranak satu."
Siti tertunduk, dadanya terasa ngilu. Tetes bening jatuh menyentuh punggung tangan yang putih bagai porselen. Terbayang Syamsudin yang sekarang entah ada dimana.
Harapannya ingin mengikat tali suci dengan pemuda itu, seakan menemui jalan buntu. Pria yang dipuja sejak kelas dua SMP. Enam tahun bukanlah sebentar menanti pangeran pujaan.
Mengapa sesakit ini, mencintai tanpa bisa memiliki ....
"Pernikahannya minggu depan."
Siti mendongakkan kepala, tak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari mulut abah. Siti ternganga, menikah secepat itu, melihat orangnya saja belum pernah.
"Abah ... !"
"Siti gak mau ...! "
"Siti, tak menepati janji itu munafik, di neraka paling bawah, kata ustadz Hasyim begitu, kan?"
"Tapi ..."
"Besok, beli baju-baju bagus dengan Ambu!"
Siti berlari ke kamarnya, menghempaskan diri ke kasur kapuk yang sudah mengeras saking lama tak diganti. Ucapan abah tak mungkin ditarik balik. Menyesal tak berguna memberi janji padanya.
Tak terbayang menikah dengan pria selain Syamsudin. Sedangkan suami adalah orang yang paling berhak kelak pada dirinya. Bagaimana dia akan serumah, sekamar bahkan seranjang dengan pria yang tak dicintai.
Mengapa dia harus dinamakan Siti Nurbaya? Gadis yang jelas dalam cerita cintanya menderita. Kasihnya pada Syamsul Bahri tak sampai. Malah dinikahi kakek tua bernama datuk Maringgih.
Sekarang, itu pula yang terjadi padanya, dinikahkan dengan pria yang usianya berbeda 21 tahun, duda pula. Belum lagi perangainya, bagaimana kalau sejenis dengan abah? tak tahulah apa jadinya.
***
Pesta meriah berlangsung hingga tengah malam. Degung, wayang golek hingga jaipongan dipentaskan. Tak lupa dangdutan ditarik sepanjang malam. Goyangan biduan bagai rayuan liar menggoda pria-pria hidung belang naik menghambur saweran.
Dadang dengan pongah menobatkan diri sebagai juragan baru, bermenantukan pria kaya raya. Begitu jumawa dia berjalan, menghardik siapa saja yang dulu memandangnya sebelah mata. Ambu digandeng bak permaisuri tercantik hari ini. Riasan yang telah lama tak tersentuhkan pada wajah, kini melekat mengangkat tiap inchi kecantikannya. Perhiasan emas bertengger di telinga, leher, tangan dan jari jemari. Benda yang telah lama dibuang dari angannya dulu.
Siti bersanding dengan pria yang baru dia lihat saat akad nikah dilantunkan. Ternyata tak seseram bayangannya. Bahkan jauh melampaui perkiraan. Dipikir pria itu berewokan, berambut panjang dan bertubuh gempal. Ternyata, hmmm, dia tampan.
Meski demikian, hati Siti dingin, sedingin angin malam yang menerpa wajahnya di pelaminan. Kelelahan nampak jelas di wajah pengantin. Seharian melayani undangan dari empat arah penjuru mata angin.
Abah mengundang penduduk empat kelurahan. Sebagai preman yang malang melintang didunia liar, abah sangat disegani sekaligus digandrungi warga.
Begitu juga Ambu, mantan biduan yang berkelana dari panggung ke panggung. Memiliki teman sejawat yang tak kalah banyaknya. Dia undang semua sebagai bagian dari pamer kemegahan.
Selepas membersihkan diri dan sholat Isya, Siti duduk di tepi ranjang pengantin di villa suaminya. Meski acara pesta belum usai, Handy memboyong istri barunya ke villa yang jauh dari hingar bingar pesta.
Siti menatap kamar pengantin bertaburkan mawar merah yang menguarkan semerbak wangi menggoda. Ruangan yang ditata sangat romantis ini mengundang selera pengantin untuk menyempurnakan cintanya.
Tapi tidak dengan Siti. Tak ada ikhlas apalagi cinta di hatinya. Semua dilakukan karena sebuah janji yang terlanjur terucap. Seandainya Syam datang dan bersanding dengannya, tentu di malam pengantin ini dia akan sebahagia pasangan lainnya.
Pintu kamar dibuka, seseorang yang telah sah menjadi suaminya datang menghampiri. Tersungging sebuah senyuman indah dibibir merah itu. Pesona tingkat dewa terpampang di hadapannya.
Siti makin gugup ketika pria itu mendekat dan duduk disampingnya. Handy menatap lekat sang istri. Dadanya berdesir hebat. Meski gadis itu rapat menutup tubuhnya, keindahan yang tersembunyi itu makin menambah penasaran sang lelaki.
Siti tersentak saat tangan pria tampan itu menyentuh lembut tangannya. Hangat, seketika jantung berontak saat makin berani sang pria menyentuh dagu menghadapkan wajah ke arahnya
"Jangan takut." ucapnya lirih
Wajah pria itu makin mendekat. Siti mendelik saat bibirnya terkunci bibir sang suami. Handy menuntun istrinya mengarungi malam pertama mereka sebagai suami istri, lembut namun penuh gelora.
Siti mengerjapkan mata, mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi. Setetes air jatuh di pelupuk mata saat tersadar dirinya telah menjadi istri sempurna bagi pria yang sama sekali asing baginya.
Malam tadi, dengan mahir, Handy membawa istrinya ke alam kenikmatan dunia. Pria yang berpengalaman tingkat tinggi dalam bercinta itu, tahu bagaimana membuat wanitanya terbuai tak berdaya, termasuk Siti.
Artinya, mulai saat ini, Syam adalah bayangan, Handy lah kenyataan. Meski hati belum rela, tapi apalah daya semua telah digariskan.
"Aku mau sholat," Siti berbisik pada suami yang masih melingkarkan tangan ditubuhnya. Pria itu mengucek mata, memandang wanita barunya. Lama tanpa berkedip apalagi berkata.
Tanpa bicara pria itu menggendongnya ke kamar mandi. Lantas memandikan Siti bersamanya.
"Apa masih sakit? " Siti mengangguk mengerti arah pertanyaannya.
"Nanti juga tidak." Dengan nada biasa, pria itu menjelaskan seolah hal itu sangat difahami.
"Kalau sudah sarapan, kita jalan-jalan."
Pengantin baru itu berjalan menyusuri desa dipagi hari. Tampak berseri wajah sang pria, kaku sang wanita. Sepanjang jalan orang-orang mengangguk hormat saat menyadari siapa yang berjalan. Handy menuntun Siti menapaki pematang sawah, menghirup segar udara desa.
"Kau pernah ke kota?" tanya Handy
"Tidak," jawab Siti
"Disana tak enak, panas, makanya kalau sempat, aku sering ke vila"
"Iya."
"Hay, kau kaku sekali." Handy mencolek pipi istrinya.
"Belum pernah bersama pria, ya?"
Deg! Perkataan Handy mengingatkan pada Syam. Hati kembali nyeri mengingat pengkhianatan pada pemuda yang dicintai 6 tahun lamanya.
Handy membawa istrinya ke sebuah sungai yang jernih airnya. Mereka duduk di batu, mencelupkan kaki ke dalam air. Pria itu menarik tubuh Siti ke pelukannya. Dalam diam, mereka menikmati indah pemandangan hijau disertai gemericik merdu aliran sungai.
Perlahan-lahan hati Siti mencair terbawa suasana romansa yang diciptakan suaminya.
***
"Hay, Pah!" Remaja usia 17 tahun itu menghampiri Handy yang sedang menikmati rokok di teras villa.
"Habis uangmu? " Handy bicara tanpa melihat ke arah putranya. Hampir tiga bulan dia tak bertemu dengan anak pecinta alam itu
"Begitulah." Reno duduk di samping papanya, meraih rokok diatas meja, menyalakan dan menikmatinya.
"Ambillah, cepat pergi! " Handy mengeluarkan ATM dari dompetnya.
"Wow, dari dulu kek, gini! " Reno meraih ATM sebelum ayahnya berubah pikiran.
"Katanya Papa nikah lagi ya?"
"Bukan urusanmu!" Handy menoleh pada putranya.
"Berarti yang ke 9 dong, wow keren!"
"Untung ibuku sudah tiada, bisa stress mama lihat Papa kawin cerai mulu."
"Kira-kira, sama yang ini tahan berapa bulan Pah ... hahaha!"
Reno melangkah pergi meninggalkan Handy yang doyan gonta ganti istri. Awalnya dia merasa terpukul melihat kelakuan sang ayah. Tapi akhirnya tak peduli. Hubungan mereka pun tak seperti ayah anak yang harmoni, lebih kearah kebutuhan uang dan uang. Papanya terlalu sibuk dengan pekerjaan dan para wanita.
Handy tak mempedulikan ocehan putra dari Istri pertamanya. Dia sedang dimabuk cinta Siti, istri kesembilannya. Wanita termuda yang pernah dia nikahi. Gadis lugu, kembang desa Sukahati.
Memiliki wanita tak perlu waktu lama baginya. Sekali lihat, suka langsung lamar. Setelah bertemu yang baru, dia tawarkan pada istrinya mau dimadu atau cerai. Mayoritas minta cerai. Meski ada yang tetap bertahan, akhirnya pisah juga karena tak kuat menahan cemburu. Baginya, pernikahan bukanlah institusi sakral yang patut dipertahankan.
Tanpa disadari keduanya, percakapan ayah dan anak itu didengar oleh Siti. Mendapati kenyataan tersebut, hatinya mencelos. Pantas Handy begitu lihai memperlakukannya sebagai istri. Ternyata oh ternyata, dia pria pemain wanita.
Apakah nasibnya akan sama dengan mantan istri-istri suaminya? setelah bosan lantas diceraikan! Ah, mengapa nasib membawanya pada dunia begini rupa. Padahal, baru saja terbiasa dengan peluk mesra sang pria tampan.
Siti membalikkan badan untuk kembali ke kamar. Hatinya berubah tak karuan. Harapannya menjadi istri terbahagia musnah sudah. Pada akhirnya, dia hanya menunggu giliran dicampakkan. Inikah cinta Siti Nurbaya?
*****
Airmata Siti luruh membasahi pipi putihnya. Kepedihan menyelimuti hatinya kini. Harapan mewujudkan pernikahan sekali seumur hidup hanyalah angan saja. Hidup bersama dengan pria yang menjadikan pernikahan sebagai sarana kepuasan syahwat semata, sangatlah menyakitkan.
Sejak kecil Siti rajin belajar agama. Majelis ilmu tak pernah absen dia datangi. Pemahaman Islam yang didapat dari majelis ilmu tersebut sangat mempengaruhi cara berpikir dan cara bertingkah lakunya. Kerudung dan Jilbab tak lepas dari auratnya. Tak ada satu pria asing pun, pernah menyentuh tangan apalagi tubuhnya.
Bagi Siti, menikah bukanlah pemuasan syahwat semata. Melainkan suatu institusi sah untuk mewujudkan cinta dan membangun kehidupan baru. Perwujudan cinta selain pada pernikahan adalah haram dan palsu saja. Juga takkan menyampaikan pada tujuan diciptakannya naluri seksual yaitu melestarikan keturunan.
Pernikahan adalah langkah awal membangun sebuah keluarga. Dia merupakan ibadah terlama sepanjang sejarah hidup manusia. Dari pernikahan akan lahir generasi penerus umat manusia. Kehebatan generasi tersebut bergantung pada baik tidaknya sebuah keluarga.
Sudah seharusnya manusia menjadikan pernikahan itu suci dan layak dipertahankan. Bukan semata permainan ranjang yang setelah bosan, lantas dicampakkan.
Itulah, mengapa dulu dia berharap Syamsudin yang mengimami kehidupan barunya kelak. Pria sholeh yang bertanggungjawab itu akan mampu mewujudkan keluarga sakinah bersama dirinya. Namun, garis takdir mereka tak searah. Pria hebat itu bukan imam untuknya.
Kenyataan melemparkan Siti Nurbaya di sisi Handy Sanjaya, pria pemuja syahwat semata. Meski lembut dan mesra sikapnya, tapi itu bukan untuk selamanya. Entah di titik mana, dia akan terlempar laksana sepah yang habis manis lantas dibuang.
Pria setampan dan sekaya Handy pastilah mudah mengoleksi wanita secantik apapun. Ditambah sikap mesra dan lembutnya yang mampu membuat wanita terperosok dalam jeratan cinta. Siapa pula yang takkan terpikat oleh pesona tingkat dewa Handy Sanjaya.
Siti menghela nafas panjang. Membuangnya sehela demi sehela. Berharap sakit yang sedang dirasakan hati, sirna. Jari lentik pun sibuk menyeka airmata yang luruh tiada henti.
Saat masuk kamar, mata Handy membesar melihat wanitanya terisak. Posisi Siti duduk memeluk kedua kaki yang ditekuk hingga menyentuh dagu. Rambut hitamnya tergerai hingga menyentuh sprei berwarna merah.
Pria itu duduk disamping istrinya. Direngkuh tubuh Siti ke dalam pelukan. "Ada apa? " bisiknya lirih.
Dalam dekapan Handy, tangisan Siti makin besar. Bahunya berguncang keras menyimbolkan tekanan berat yang dialami. Dibiarkan sang istri melepas kesedihan yang dia sendiri tak mengerti apa penyebabnya. Setelah reda, pria itu melepas pelukannya.
"Lega?" Diusapnya sisa-sisa airmata di pipi putih itu. Siti tak menjawab, matanya menatap lekat Handy. Lagi, dia kalah oleh sorot mata pria di depannya.
"Melihatmu begini, aku sedih, Sayang."
"Kita suami istri, kan?" Handy membelai lembut pipi istrinya.
"Masalahmu adalah masalahku." Hati Siti luruh seketika, kelembutan itu telah membeli hatinya. Kebencian yang sempat hadir, menguap bersama tutur santun sang suami.
"Senyum, dong." Siti menarik garis bibir, seulas senyum nampak indah menghias wajahnya.
"Ayo kita makan." Handy menuntun istrinya menuju ruang makan.
Handy mendudukkan istrinya di pangkuan. Mereka makan saling menyuapi. Itulah salah satu kebiasaan dalam seminggu ini. Jika ada sisa makanan di sudut bibir Siti, pria itu akan membersihkan dengan lidahnya.
Selepas makan, mereka kembali masuk kamar. Handy mengajak istrinya main kartu. "Itu kan ...." Siti sedikit tercekat.
"Judi?" Handy tertawa.
"Kan, tak pakai taruhan, hanya main saja."
"Tapi ... Aku gak ngerti."
"Mudah kok, begini ...." Handy mengajarkan singkat. Siti manggut-manggut saja.
"Mulai, ya." Permainan kartu berjalan diselingi canda tawa keduanya. Kadang, Handy bermain curang dengan menyembunyikan kartu miliknya.
"Nah, ketahuan, ini apa, hayoo!" Siti berhasil menemukan kartu yang disembunyikan suaminya.
"Eits, dapat!" Handy sambil tertawa merebut kartu itu. Terang saja, Siti tak terima. Sekuat tenaga dia berusaha merebut, hingga tubuhnya berada di pangkuan sang suami dalam posisi berhadapan.
Dengan posisi seintim itu, degup jantung keduanya mengencang. Nafas mereka saling menyapu wajah pasangan, hangat, membangkitkan gairah.
Siti memberanikan diri mulai menyentuh bibir Handy. Ada getaran hebat menjalar ke seluruh tubuh saat suami membalas mesra ciumannya. Siang itu sepasang pengantin kembali memadu asmara yang telah menjadi candu bagi keduanya.
"Besok kita ke Jakarta." Mata Siti sedikit membesar disuguhi kalimat mengejutkan.
"Ke Jakarta?"
"Iya, di sana rumahku juga rumahmu," jawab Handy.
"Untuk berapa lama aku di sana?" Giliran Handy yang terkejut dengan pertanyaan istrinya.
"Kok, nanya gitu?"
Siti melepaskan pelukan suaminya. Bayangan pembicaraan Handy dan pemuda itu kembali di ingatan.
"Aku mau tidur." Siti membalikkan badan, memunggungi suaminya.
Handy menarik tubuh Siti ke hadapannya. Wajah mereka begitu dekat. Disentuh kembali bibir manis itu.
"Ada apa?" Handy menyelipkan anak rambut ke telinga wanitanya.
"Apa anda mencintai saya? " Handy tak menjawab, dia menatap lekat istrinya, mencoba masuk kedalam manik coklat kelam di depannya.
"Sangat," jawab Handy pasti.
"Selamanya? "
"Selamanya." Kali ini diiringi kecupan-kecupan hangat di seantero wajah.
"Benarkah?"
"It's true." Handy mengatupkan dua jari di depan wajah istrinya.
"Apa aku yang terakhir?"
Handy terdiam, dia mencoba memahami arah pembicaraan istrinya. Melihat suaminya diam, Siti membalikkan badan. Dia menggigit bibir, ngilu dadanya. Tak rela kelak akan ada wanita-wanita lain yang menggantikan posisinya. Mengapa begitu menyakitkan?
"Sayang." Handy memeluk Siti dari belakang. Mendapati ada tetesan air jatuh ke tangannya, dia membalikkan kembali badan sang istri.
"Ceritakan padaku ada apa?" Kali ini Handy mengusap lembut titik-titik air yang jatuh di kulit sebening porselen.
"Tuan Handy, sebenarnya kau itu siapa? Aku menikah dengan pria yang benar-benar asing, aku ...." Handy menghentikan ucapan Siti dengan menyimpan telunjuknya di bibir merah yang digilainya seminggu ini.
"Aku adalah suamimu, sekarang dan selamanya."
Keesokan harinya, mereka berpamitan pada orang tua Siti. Keduanya sedang sibuk merenovasi rumah menggunakan uang yang diberikan Handy.
Abah sudah berhenti mabuk dan judi sejak Siti menikah dengan Handy. Pria itu menepati janji pada putri yang mensyaratkan dirinya berhenti melakukan kemaksiatan itu setelah sang anak menikah dengan pria pilihannya.
Mereka berangkat ke Jakarta dengan mobil mewah. Sepanjang jalan, Siti terdiam. Kesedihan kembali hadir saat harus berpisah dengan tempat kelahiran, dengan abah dan ambu, juga dengan kenangan cinta pertamanya.
Kini, dia adalah istri seseorang yang harus diturut ke mana pun pergi. Surga seorang istri terletak pada keridoan suaminya. Suka duka haruslah di jalani bersama.
Setelah empat jam perjalanan, mereka tiba di sebuah rumah megah di kawasan elit Jakarta. Kembang desa itu ternganga saat masuk ke bangunan mewah tersebut. Layaknya gadis kampung masuk istana, dia terbengong-bengong.
Beberapa pelayan bergegas menyambut kedatangan mereka. "Nyonya baru lagi Tuan." Seorang pelayan berkata yang tak pantas di telinga Handy.
"Sopanlah!" Pelayan itu langsung tertunduk mendengar semprotan tuannya.
Ucapan pelayan tadi sukses mempengaruhi mood Siti. Seolah menyiratkan di rumah ini sering berganti nyonya. Dia jadi berpikir ulang untuk menata hati agar tak berangan terlalu tinggi.
Untuk kedua kalinya, Siti terpesona saat masuk ke kamar utama. Terpampang di sana peraduan ratu dan raja. Handy menggendongnya ke ranjang mereka. "Ini tempat kita memadu kasih," bisiknya lirih.
Siti memandang suaminya lekat. Ada cinta besar di sana, tetapi ragu itu selalu menyelusup, akankah selamanya, atau sementara saja? Mungkin, saat dirinya tak indah lagi, akan dibuang begitu saja. Wanita belia itu menggigit bibir merahnya, mengulum hingga basah.
"Aku mau tidur," bisiknya lirih.
Siti tertidur pulas karena kelelahan akibat perjalanan panjang, sementara Handy, membersihkan diri. Setelah berpakaian rapi, keluar kamar menuju ruang kerjanya.
Di sore hari, nyonya Handy Sanjaya membuka mata. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tak ditemui sosok suaminya di sini. Tak lama, Siti bergegas menuju toilet untuk membersihkan diri.
Selepas sholat Ashar, Siti keluar kamar, penasaran ingin melihat rumah baru, sekaligus mencari keberadaan Handy. Dia berjalan menuruni tangga menuju lantai pertama.
"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" Seorang wanita paruh baya menyapanya.
"Oh, saya mencari Tuan Handy."
"Mungkin di ruang kerjanya, mari saya antar!" Siti mengikuti wanita itu menuju ruang kerja Handy.
"Ini ruang kerja Tuan, sepertinya di dalam sedang ada tamu, Nyonya."
"Oh, iya, nanti sajalah aku kembali lagi."
Baru Siti akan membalikkan badan, seorang pemuda keluar dari ruangan. Keduanya terkesiap mendapati satu sama lain berdiri berhadapan dengan orang yang terasa asing.
"Nyonya, itu Tuan muda Reno, putra Tuan Handy."
"Den Reno, ini Nyonya baru."
"Haaaah!" Reno tak bisa menyembunyikan kekagetan melihat mama tiri barunya, sangat muda, mungkin seusianya.
"Ckckck, wow, Papa emang gila!" Reno memperhatikan Siti dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Hay, Mah, aku Reno." Siti merasa canggung dipanggil mama oleh pemuda seumurannya. Mendengar keributan di depan ruangan, Handy keluar.
"Eh, Sayang, kenapa gak masuk?" Handy langsung mendekati Siti dan merangkulnya. Melihat adegan itu, Reno memutarkan bola mata ke atas.
Siti ingat, pemuda itu yang berbicara pada Handy di teras villa. "Pah, Mamaku cantik banget, deh," Reno berseloroh. Terang saja, Handy melotot pada anak semata wayangnya. Pemuda itu nyengir kuda.
"Yang sopan kamu, dia itu mamamu!"
"Yee, siapa bilang pacarku ... hahaha! Yaelah Pah, abege juga diembat, inget umur napa!" Reno menggaruk kepalanya, berjalan meninggalkan mereka berdua.
Handy menuntun Siti ke ruang kerjanya. Pria itu mendudukkan istrinya di pangkuan. "Ada apa?"
"Tak apa, aku hanya lihat-lihat rumah." Siti melingkarkan tangan ke leher suaminya.
"Mau ditemani?"
"Tak usah, Anda kan sedang kerja."
"Tak apa, bisa ditunda." Handy mengelus pipi istrinya.
"Mengapa pakai kerudung, ini kan di rumah? "
"Takut ada pelayan lelaki, mereka bukan mahromku, jadi gak boleh lihat aurat."
"Okey, nanti, kubuat peraturan, mereka harus izin kalau masuk ruangan. Kalau Reno bagaimana?" tanya Handy
"Anak tiri itu selamanya mahrom setelah ibu tiri digauli ayahnya, jadi Reno boleh lihat auratku."
"Oh, tapi janganlah, dia itu nakal, tetap pakai saja di depannya."
"Iya."
"Mau jalan-jalan?" Siti mengangguk, Handy mencium pipi, lanjut bibirnya.
"Pah ... oh my God!" Reno masuk tanpa mengetuk pintu. Dia menutup mata melihat adegan panas di depannya.
"Ketuk pintu dulu kalau masuk!" Handy memarahi Reno, sementara wajah Siti merah menahan malu.
"Sorry, gak jadi deh, lanjutin aja, Pah!" Reno menutup pintu, dari luar terdengar gelak tawa pemuda itu.
Handy mengajak Siti berkeliling ibukota. Wanita muda itu terkesima melihat gedung pencakar langit dan kemegahan bangunan di hadapannya. Dia tak henti berdecak kagum.
"Itu tinggi sekali!" seru Siti. Handy hanya tersenyum melihat tingkah lugu istrinya.
Handy membawanya ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian dan semua keperluan istrinya. Siti berpegangan saat naik eskalator dan lift. Pria itu memahami istrinya baru menghadapi dunia seperti ini.
Di tengah asyiknya belanja, seorang wanita cantik nan seksi menghampiri mereka. "Hay, Sayang!" wanita itu cipka cipiki dengan Handy.
"Lady baru nih, Selamat, ya!"
"Hai, aku Lusia, mantan Nyonya Handy Sanjaya!" Wanita seksi itu mengulurkan tangan. Mendengar itu, ada letupan di dada Siti.
"Siti Nurbaya." Lusia hampir saja tertawa mendengar nama itu. Namun, ditahan demi menghormati mereka.
"Kapan nikahnya, Han?"
"Seminggu yang lalu."
"Wow, pengantin baru, hot banget pasti!" Lusia cekikikan. Siti tak nyaman dengan situasi ini. Melihat perubahan di wajah istrinya, Handy menggamit tangannya.
"Kami duluan, ya." Handy hendak menyudahi pertemuan ini.
"Okey, met honey moon, jangan terlalu ganas, Han!" Lusia mengedipkan mata. Sekali lagi dia mencium pipi mantan suaminya. Siti hanya terdiam dengan dada memanas.
Handy mengajak Siti makan di sebuah restoran. Selama makan, wajah istrinya nampak cemberut.
"Cemburu ya?"
"Tidak!"
"Iya."
"Tidaaak!" teriakan Siti mengundang perhatian pengunjung restoran. Dia menutup mulut menahan malu. Handy malah tertawa melihat istrinya yang makin lucu saat cemburu.
"Cemburu berarti cinta." Handy masih ingin menggoda istrinya.
"Mantan istrinya ada berapa?" Handy tak menjawab. Dia sibuk mengunyah makanannya.
"Bener mau tahu?" tanya Handy menggoda. Siti mengangguk perlahan.
Handy menceritakan kedelapan mantan istrinya. Dengan menahan api cemburu yang terus berkobar, Siti mendengarkan. Sesekali menyeka keringat yang mulai membanjiri wajahnya. Dinginnya ruang ber AC ini, terasa panas di sisi wanita itu.
"Kenapa cerai?"
"Tak cocok," jawab Handy tanpa beban.
"Bukan bosan?"
Handy menghentikan gerakan tangan mengambil makanan saat mendengar ucapan itu.
"Apa setelah bosan, anda ceraikan mereka?" Siti terus melakukan penekanan. Suasana mendadak diliputi ketegangan.
"Apa aku akan bernasib sama? Apa pernikahan kita pun akan berakhir juga?"
Handy memukul piring dengan sendok yang dia pegang. Air mukanya berubah menegang. Siti menundukkan kepala, sedih bercampur takut melihat perubahan wajah suaminya.
"Ayo pulang!"
Handy bangkit dan meraih tangan Siti. Mereka berjalan tanpa saling bicara. Sampai di rumah pun suasana tegang masih menyelimuti. Ucapan istrinya seolah belati yang menusuk harga diri.
Setelah membersihkan diri, Handy duduk bersender di ranjangnya. Siraman air di tubuh, membuat hati lebih tenang. Namun, dia masih enggan bicara.
Merasa suaminya sangat marah, Siti semakin gundah. "Apa anda sangat marah?" Dia beringsut ke pangkuan suaminya.
"Maaf ... aku ...." Siti meraih tangan suami dan menciumnya berulang-ulang. Hati Handy luluh melihat begitu mudah wanita itu menyingsingkan ego demi mencari keridoannya. Jauh berbeda dengan istri-istri yang dulu. Mereka memiliki ego sama tinggi dengan dirinya. Bahkan, tak segan membentak saat diliputi emosi.
Handy mendekap Siti erat. Rasa sayang pada wanita itu makin dalam. Baru kali ini, dia menjalani pernikahan yang mewujudkan cinta dan ketenangan di hati. Yang semua itu tak pernah dia dapatkan bersama kedelapan wanitanya
Bersambung#2
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel