Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 06 Januari 2020

Cinta Siti Nurbaya #2

Cerita bersambung

Handy menatap Siti yang tengah tidur di sampingnya. Kecantikan alami terpancar begitu mempesona. Membuat siapapun akan tunduk tak berdaya, seperti dirinya. Hanya sekali lihat, langsung terpikat.

Wanita yang baru dinikahi dua minggu lalu ini, seakan membuatnya enggan memalingkan pandangan.

Ingin terus dan terus menikmati keindahan terbaik yang pernah ia miliki. Bersamanya, teralirkan ketenangan pada ruang-ruang kerontang. Perlahan, kebuasan itu memudar. Berganti rasa sayang yang tak terselam kedalamannya.

Kelembutan, keluguan dan kepatuhan Siti telah membeli hati. Bukan hanya gejolak syahwat yang bermain di benak saat ini. Cinta dan sayang mulai memainkan peranan dalam pernikahan kesembilannya.

Namun,  pertanyaan Siti di restoran cukup menghantam ego. Handy merasa hal itu terlalu berani bagi orang selugu istrinya. Dia tak pernah berniat mengakhiri pernikahan ini. Namun, wanita itu telah jauh memikirkan.

Hati Handy terusik akan tuduhan bahwa dirinya suka mencampakkan wanita setelah bosan pada mereka. Toh, perceraian itu terjadi atas dasar kerelaan. Dia tak pernah memaksa para wanita itu bercerai. Bahkan, setelah berpisah, dia akan berikan harta yang bisa menghibur hati mantan-mantannya.

Jika sudah tak cocok, mengapa pula harus bersama?  Bukankah akan saling menyakiti saja? Lantas,  dimana salahnya? Handy tak mau pusing memikirkan.

Handy membelai wajah Siti, mengecupnya mesra. Wanita itu hanya menggeliat saja. Dia pun, ikut merebahkan diri, memeluk dan tidur di samping sang istri.
***

“Bisa renang?” tanya Handy. Siti menggeleng.
“Ayo, ku ajari?“ Handy menarik tangan Siti menuju kolam renang di lantai dua, tak jauh dari kamar mereka.
“Tidak, saya lihat saja.” Mereka berdiri di tepi kolam yang luasnya, setengah kali kolam di lantai pertama.
“Jangan takut, ayo!” Handy mencoba mengajak istrinya masuk kolam.
“Tidak mau!”
“Aaaaw!”
Byur!

Siti tak menyangka akan ditarik masuk kolam. Dia sangat takut tenggelam, tangannya bergerak tanpa arah, berusaha mengimbangi tubuh yang hampir melorot.

“Tenang sayang, tak apa.” Handy merangkul tubuhnya
“Saya ….” Siti sedikit tenang ada yang memegangnya.

Handy merangkul pinggang Siti dan membawanya berenang mengitari kolam.

“Seru, kan? “ Siti mengangguk.
“Tapi … Jangan lepaskan saya!” Matanya sedikit meredup.
“Aku takkan melepasmu, sekarang maupun nanti,” bisik Handy.
“Sayang ….“
“Aku cinta kamu.” Kali ini bibir Handy sudah mendarat di bibir istrinya. Lembut dan menyejukkan. Siti membalas sentuhan mesra suaminya.

“Nah, seperti itu, tubuhmu akan mengambang dengan sendirinya!“ Handy dengan sabar mengajari Siti teknik berenang juga pernapasan.

Awalnya, tangan Siti memegangi tepian kolam,  badan diambangkan seiring kaki di gerakkan. Perlahan, pegangan dilepaskan, kedua tangan mulai digerakkan menyibak air kolam.

“Susah.” Siti merajuk manja.
“Menciumku saja tak susah … Haha!”
“Itu beda! “ tukas Siti. Handy tertawa kembali melihat ekspresi lucu istrinya.
“Ayo, coba lagi! “
“Iya.” Siti berjuang mati-matian untuk bisa menyeimbangkan tubuhnya dengan air.
“Nah, itu sudah bagus!“ Siti tersenyum dengan keberhasilannya. Dia mampu mengambang tanpa pegangan. Kaki dan tangan pun, sudah mulai beradaptasi.

“Pak gurunya kasih hadiah, dong.” Handy menyodorkan bibirnya.
“Nih!” Siti mencipratkan air ke wajah Handy.
“Nakal, ya!” Handy membalas cipratan berulang-ulang. Keduanya terlibat permainan air makin seru, diiringi gelak tawa.
“Sayang, jangan takut mencoba sesuatu yang belum tentu kita tak mampu.” Setelah puas bermain air,  Handy dan Siti duduk di tepi kolam. Memainkan air dengan kaki.

“Hidup itu keras, kita harus berjuang kalau ingin menang.” Handy menyelipkan rambut istrinya ke telinga.
“Apa anda mau memperjuangkan pernikahan ini sampai mati?“ Handy tertegun dengan pertanyaan Siti.
“Apa kau tak percaya padaku?” Dia balik bertanya
“Apa anda bisa berjanji menjadikan saya yang terakhir?” Siti meneruskan pertanyaannya.
“Apa boleh, saya saja yang ada disini?“ Siti menyentuhkan tangannya pada dada Handy.
“Jika tidak, berarti saya memang bukan siapa-siapa, selain teman tidur anda saja.”

Siti menatap suaminya dengan sorot yang tak bisa tergambarkan. Handy bergetar menahan perasaan yang entah itu apa namanya.

Diraihnya tangan Siti, dikecup mesra. “Kita nikmati saja kebahagiaan saat ini, jangan berpikir rumit tentang masa depan. Yang pasti, aku sangat, sangat mencintaimu saat ini, kau harus belajar percaya padaku. Selamanya, kau akan meragukan jika tak pernah belajar percaya padaku. Beri kesempatan pada dirimu sendiri untuk meyakini bahwa aku mencintaimu.“

Siti terdiam. Dia membenarkan perkataan pria itu. Satu hal yang selalu membuatnya ragu adalah tidak belajar percaya pada suaminya. Sekarang, rasa bersalah menyeruak di dadanya. Selama ini, dialah yang terlalu berprasangka. Dia pula yang menciptakan penjara bahwa pernikahan ini takkan lama.
***

“Kenapa harus pesta lagi,kan sudah?”  tanya Siti keheranan. Suaminya mengatakan bahwa dua minggu lagi akan diselenggarakan pesta pernikahan di Jakarta.

“Disini, kan belum,” jawab Handy ringan. Dia menyesap kopi hangat yang disodorkan istrinya. Terlihat kepulan uap menguatkan aroma menggoda selera.

“Tak sayang uang?“ Dengan wajah polos Siti bertanya lagi. Handy mencolek hidung istrinya gemas. Baru kali ini ada wanita yang memperhitungkan pengeluaran. Wanita-wanita terdahulunya, malah meminta pesta termewah yang menghamburkan miliaran.

“Abah dan ambu, apa boleh datang?” Ragu dia mengajukan pertanyaan, khawatir keinginannya tak dikabulkan.
“Mereka yang akan menemani kita di pelaminan, masa tak datang?” Wajah Siti berbinar, diciumnya tangan Handy.
“Apa saudaraku juga boleh hadir?”  Handy menarik tubuh Siti dari kursi di sebelahnya. Lalu, mendudukkan di pangkuan. “Siapapun boleh kau undang,” bisiknya.
“Benarkah?” Matanya mengerjap lucu.
“Benar sayaaang.”

Tiga hari menjelang pesta, abah dan ambu dijemput dari desa oleh supir pribadi Handy.
“Abah!  Ambu!” Siti menghambur ke pelukan mereka.
“Siti rinduuu!” Dicium bergantian kedua orang tuanya.

Abah dan ambu terbengong-bengong melihat rumah yang baru saja mereka masuki. Baru kali ini menginjakkan kaki di sebuah bangunan yang lebih layak disebut istana.

“Siti, gede pisan rumah kamu, teh,” ucap ambu dengan tatap yang diwarnai kekaguman.
“Bagus pisan, itu?” Ambu mulai melihat satu demi satu benda yang tertata rapi di ruangan. Gorden berharga puluhan juta, guci klasik cina, permadani indah india. lukisan seniman ternama, sofa modern klasik semodel singgasana. Semua menampilkan selera pemiliknya.

“Abah itu tingal!” Ambu menunjuk lampu hias yang tergantung cantik di langit-langit. Benda itu merupakan hadiah spesial dari konglomerat Dubai pada pesta pernikahan ketiga Handy. Terbuat dari kristal berkilauan. Dilapisi emas di tiap tungkainya.
Mereka berdua dipersilahkan istirahat setelah lelah di perjalanan. Para pelayan menahan senyum melihat tingkah konyol orangtua nyonya barunya.

“Aku ingin membawa ambu dan abah jalan-jalan, apa boleh?” Siti bertanya pelan pada suaminya.
“Boleh dong, sayang.” Handy merebahkan kepalanya di pangkuan Siti.
“Tak apa aku gunakan uang di sini? Kalau habis, bagaimana?” Siti memperlihatkan ATM yang diberikan suaminya.

Handy makin gemas melihat keluguan Siti. “Kalau habis, nanti, ku transfer lagi,” ucapnya sambil mencolek hidung wanita itu.

“Tapi aku tak bisa antar,  banyak kerjaan, sama pak Iwan saja, ya.” Saking bahagia, Siti mencium suaminya.
“Yah, kok cuma sekali. Lagi dong.”
“Gak, ah.”
“Lagi.”
“Gaaak, aaaaw, geliii!“ Handy bangun dan menggelitik pinggang Siti. Mereka berkejaran di dalam kamar. Tawa riuh terdengar hingga keluar. Beberapa pelayan yang melintasi ruangan itu tersenyum geli atas tingkah majikannya. Rumah ini jadi ramai sejak kehadiran nyonya baru.

Pasangan nyentrik itu sering melakukan tingkah konyol. Berlarian atau main petak umpet di dalam rumah. Awalnya mereka keheranan dengan sikap Handy yang berubah drastis. Sebelumnya, tuan itu sangat jaim dan menjaga wibawa, begitu juga nyonya-nyonyanya. Tapi sekarang selayaknya abege jatuh cinta, bahagia sekali nampaknya.
***

“Siti, kumaha naek na?” Ambu gemetar saat diajak naik eskalator. Siti memegang tangan ambu dan menuntunnya naik. Meski abah pun gemetar, demi wibawa tak diperlihatkan.

“Aduh, meni bagus!” ambu tak henti memuja muji apa saja yang dilihatnya. Abah lebih bisa menahan diri dari tingkah aneh.
“Abah, sae teu?” Ambu berlenggak-lenggok dihadapan abah saat memperlihatkan baju barunya.
“Hebring pisan.” jawab abah santai.

Setelah puas belanja, mereka makan di restoran. Pelayan hampir saja tertawa melihat celoteh lugu keduanya. Sepanjang makan, tak henti abah dan ambu bicara. Siti sesekali tertawa. Mereka terlihat begitu bahagia.

Tiga hari kemudian, pesta pernikahan spektakuler pun digelar. Aneka masakan tersaji di sana. Mulai dari menu nusantara hingga Eropa. Dekorasi gedung terlihat wah dengan selera istana. Di pelaminan berdiri pria tampan rupawan dan wanita cantik muda belia menyambut riang para tamu dari ibukota hingga mancanegara. Ambu dan abah tak kalah mempesona, dihias sedemikian rupa untuk mengangkat kasta.

“Selamat, ya.”
“Congrats.”
“Happy wedding.”

Namun, kemeriahan pesta tak lama membuat Siti bahagia. Terpukul hatinya melihat peluk cium para sosialita dengan Handy tercinta. Para gadis, janda hingga wanita berpria, seolah biasa berpeluk mesra atas nama kolega. Sebebas itukah hidup suaminya? Jauh sekali dari tuntunan agama. Lalu, dia dianggap apa?

Bukankah bersentuhan wanita dengan pria, yang bukan mahrom adalah dosa? Apalagi sampai peluk cium segala. Siti terbiasa hidup dengan tuntunan agama. Baginya, pergaulan lawan jenis itu ada batasnya. Tak bebas seenaknya. Asal suka, labrak saja. Mau dikemanakan aturan dari Pencipta?

Belum lagi perbedaan kasta yang nampak kentara. Handy sangat mahir berkomunikasi dengan berbagai bahasa. Dia, hanya bengong karena tak mengerti apa-apa. Pergaulan suaminya pun,bukanlah tandingan. Pengusaha,  selebritis hingga pejabat, berbaur biasa dengannya. Sedangkan Siti, hanya terpaku tak tahu harus berbuat apa. Saat ini, dia merasa menjadi wanita terbodoh di dunia.

Sedih, kecewa, cemburu, minder, bersatu padu di dalam dada. Rasa hati ingin pergi dan menangis sejadi-jadinya. Siapa pula yang akan peduli padanya. Gadis desa yang jauh dari gemerlap dunia para raja.

“Mah, lagi apa?” Reno tiba-tiba berdiri di samping Siti.
“Eh, habis dari toilet.” Setengah mati Siti kaget mendapati Reno berdiri di sisinya. Dia memalingkan muka, buru-buru menyeka airmata, takut ketahuan sedang berurai airmata.

“Mama, sakit?” Reno terlihat cemas mendapati Siti menangis.
“Gak, kok.” Siti mencoba tersenyum,  meski hambar.
“Papa, nyariin.”
“Iya, sebentar aku kesana.”

Siti dan Reno berjalan beriringan. Keduanya saling diam. Pemuda itu tahu, mama sedang tak nyaman.

Dari awal pesta, Reno terus memperhatikan tingkah laku Siti. Tertangkap olehnya kegelisahan pada diri wanita itu. Apalagi saat para sosialita menguasai papa. Binar wajahnya seolah sirna.

Saat berbelok, langkah mereka terhenti demi melihat pemandangan di depannya . Sepasang manusia sedang berciuman. Posisi pria menempel ke tembok. Satu kaki wanita itu terangkat hingga belahan bawah gaun, tersingkap. Paha putih itu mengunci tubuh mangsanya.

Mendapati ada yang melihat adegan panas itu, keduanya terkesiap. Aksi liar itupun terhenti seketika.

Siti terhenyak menyaksikan pemandangan busuk di depan mata. Dadanya bagai ditusuk belati tak terlihat. Ada darah di sana, mengalir, membasahi tiap inchi rongga.
Sesaat, waktu terhenti. Memberi kesempatan diri untuk tak terjerembab dalam lautan emosi. Sakit itu pasti. Perih apalagi.

Siti mengibaskan tangan Handy yang mencoba meraihnya. Berlari, satu-satunya jalan untuk pergi dari kenyataan. Pahit nian nasib ini. Padahal, baru saja belajar mempercayai, baru mulai mencintai, baru akan mengikhlaskan hati menjalani garis yang ditakdirkan.

Lantas … apakah arti puja puji? Apa pula makna untaian cinta? Dusta belaka ternyata!  Disanjung setinggi angkasa,  lalu, dihempas ke dasar samudera.

*****

“Sayang, itu gak seperti yang kamu lihat.” Handy mengurung tubuh Siti dengan menempelkan kedua tangan ke dinding. Suaranya di tahan sepelan mungkin agar tak menyakiti istrinya lebih jauh.

“Dia menyerang tiba-tiba, dan ….”
“Dan anda menikmatinya, begitu!“
“Aku … Aaargh ...!” Handy frustasi. Tak tahu harus bagaimana menjelaskan kejadian brengsek itu. Siti masih menutup wajah, derai airmata sudah tak terkira derasnya. Tubuh wanita cantik itu perlahan melorot, terduduk di atas lantai. Gaun pengantinnya dibiarkan tergerai menutupi lantai.

“Sayang ….” Handy jongkok, mencoba membuka tangan Siti yang menutupi wajahnya.
“Padahal, saya baru saja belajar percaya pada anda …. Saya … saya … mulai belajar mencintai anda ... tapi ….” Tangisan Siti makin menjadi. Sorot matanya menampilkan kenelangsaan hati.

Mendengar penuturan jujur Siti, hati Handy makin diselimuti penyesalan. Mengapa dia tak memberontak saja dari serangan gadis binal itu? Mengapa dia sulit mengendalikan nafsu? Brengsek! Bodoh!

“Pah!” Panggilan Reno mengejutkannya.
“Om Henry datang!” Mendengar nama kakaknya, Handy bangkit, memutar badan hingga berhadapan dengan Reno.

“Damm!“ Handy mengacak kembali rambutnya yang memang sudah tak berbentuk.
“Mah, perangnya lanjutin nanti aja di kamar, papa emang harus dipentung, sekarang tamu mencari kalian.” Reno berjongkok di depan Siti. Melihat anaknya berjarak sedekat itu dengan istrinya,  Handy meradang.

“Panggil perias kesini, cepat!” Handy menarik tangan Reno dan mendorong tubuh anaknya.
“Santai, Pa, aku gak bakal nyonto yang buruk!” Reno mendengus kesal.

Setelah perias memoles ulang wajah Siti, menghilangkan jejak-jejak tangisan di area mata dan pipi, mereka kembali ke pelaminan. Keduanya sepakat untuk bersikap baik-baik saja di depan umum. Siti paham, masalah rumah tangga bukanlah konsumsi publik. Tak layak siapapun menikmati konflik mereka, sebab itu sama saja menelanjangi diri sendiri.

“Han, selamat, ya, cantik, muda lagi, udah yang terakhir aja, ya,” bisik Veronika, istri Henry. Handy tertawa renyah.
“Selamat, ya, tante,” ucap Angela, putri Henry. Siti kembali canggung dipanggil tante oleh gadis seusianya.

Pesta tetap berjalan sangat meriah. Lagu-lagu cinta melantun tiada jeda. Puja puji memburai tanpa henti. Canda tawa, ucap bahagia membahana. Namun, dibalik gemerlap pesta, ada hati yang terluka. Kemegahan hidup yang diberikan suaminya, tak sebanding dengan kesakitan yang harus dia tanggung. Entah sampai kapan sanggup bertahan.

Selepas pesta, keduanya kembali ke rumah. Sementara, abah dan ambu diantar kembali ke kampung. Bulan madu belum bisa dilaksanakan karena terhalang pekerjaan Handy yang menumpuk. Setelah membersihkan diri, Siti langsung merebahkan tubuh di ranjang. Lantas, menarik selimut sampai menutup leher. Hatinya masih kacau. Ingin rasanya pergi, tapi dia tahu posisi, tak halal seorang istri meninggalkan suami tanpa izinnya.

Melihat Siti terbalut selimut begitu rapat,  Handy mengerti, bendera perang masih dikibarkan. Tak ingin suasana makin runyam, pria itu tak mengusik. Jujur, hatinya saat ini ciut. Meski lembut, wanita yang satu ini sulit diluluhkan. Dia memang tak melawan, apalagi menyerang, hanya diam. Tapi, itu menakutkan.

Setelah kejadian itu, sepanjang pesta, Siti tak bicara sepatah kata pun padanya. Meski dia coba bermanis ria, percuma saja. Handy menyerah, diikuti maunya. Mereka pun tak saling bicara. Terlihat bahagia namun sebenarnya nelangsa.

Keesokan harinya, Siti masih diam. Bangun tidur, sampai tidur lagi, dia masih tak dihiraukan. Handy mulai meradang.

“Jangan diam, aku tersiksa. Marahlah, teriak juga tak apa.” Handy memegang bahu Siti.
“Pukul juga boleh, ayo lakukan!”  Siti hanya menatap Handy dengan sorot menyedihkan. Menguarkan ketidaknyamanan pada siapa saja yang melihatnya

“Aaarg, kau ini!” Handy mengacak rambutnya. Entah harus bagaimana lagi membuat Siti memaafkannya.
“Kalau kau tak mau memaafkan, aku pergi saja!” Handy menyambar kunci mobil. Dia pergi meninggalkan Siti yang sedikit terperangah saat suaminya benar-benar berlalu.

Sampai pukul 12 malam, Handy belum pulang juga. Siti mulai gelisah. Rasa bersalah mulai menerpanya. Apakah dia keterlaluan? Mengapa tak coba memaafkan? Sedikit berkorban untuk kelanggengan, tak masalah bukan?

Saat terjaga dari mimpi, yang dinanti belum juga kembali. Pikiran Siti meracau kemana-mana. Rasa takut mulai menyelimuti. Jantungnya berdegup tak beraturan. Mau bertanya pada siapa? Menghubungi kemana?

Hatinya mulai rindu. Amarah itu hilang entah kemana. Bayang Handy ada di pelupuknya. Tutur mesra, ucap cinta, peluk manja seakan berputar bergantian memenuhi ruang angan. Bagaimana mungkin bisa berpisah selamanya? Sehari saja membuatnya setengah gila.
***

“Pah!” Wajah Reno berona kejut melihat papa berdiri di depan pintu apartemen. Tanpa menunggu izin, Handy masuk ke tempat anaknya itu.

“Perang seru kayaknya!” Reno tertawa puas. Dia menyodorkan rokok ke depan papanya. Handy menyulut rokok dan menghisap dalam-dalam. Terlihat kepulan asap bergelombang saat dihembuskan.

Reno beranjak ke dapur untuk membuat kopi. Tak lama, kembali membawa dua cangkir kopi susu hangat. Cukup menggoda para penikmatnya.

“Macan dilawan!“ Kembali Reno meledek papa. Baru kali ini, Handy datang ke apartemennya. Dia menerka kemarahan mama cukup besar. Sampai pria itu harus mengungsi kesini.
“Dulu, kupikir Papa bodoh, ternyata aku salah, Papa gak bodoh tapi … sangat bodoh.” Handy tak terusik dengan sindiran anaknya. Pikiran sibuk melamunkan masalah yang tengah dihadapi.
“Kurasa, gak sulit buat mama nemu ganti, kalau Papa membuangnya. Aku aja mau … Tapi, sayangnya gak boleh. Sial!“

Kali ini Handy merespon ucapan Reno. Matanya menatap tajam pada pemuda itu. Putra tunggalnya hanya menjengkitkan bahu.

Kali ini, Handy membenarkan ucapan Reno. Sepanjang pesta dia bisa melihat tatapan jalang para koleganya pada Siti. Dari perjaka, duda hingga bandot tua seakan tak rela melepas pemandangan indah di depan mata. Untung saja istrinya tak mau bersentuhan tangan dengan alasan bukan mahrom. Wanitanya sangat menjaga kehormatan ditengah kebebasan yang dipertontonkan.

“Aku cowok normal, Pah, taulah mana barang bagus.”  Handy melempar kepala anaknya dengan bantal sofa dan berjalan menuju kamar.

Reno sama saja dengan dirinya. Hidup dalam didikan kebebasan tanpa batas. Ibunya wafat saat dia berusia lima tahun,  diasuh oleh kakek nenek yang terlalu memanjakan. Tumbuh menjadi pemuda urakan.

Meski tak pernah anak itu membawa seorang gadis ke hadapannya. Entah tak punya atau takut ditikung dirinya. Tapi, dia yakin, Reno itu player juga. Untuk itulah dia sangat menjaga agar Siti tak dekat dengan pemuda itu.

“Hay, aku tak mau sekamar!” Reno cepat menghalangi ayahnya masuk kamar utama. Handy mendorong tubuh pemuda itu dan segera masuk kamar.
“Aku tidur disini, kau yang disana!” Di bantingnya pintu kamar. Reno hanya menggaruk kepala, pasrah berjalan menuju ruang sebelah.

Mencoba memejamkan mata, percuma saja. Tidur berteman guling itu menyiksa. Dia tak biasa tidur tanpa peluk mesra istri tercinta. Dua hari ini bagai neraka. Diacuhkan, dianggap tak ada. Aargh!  Handy menutup kepalanya dengan bantal,  mencoba mengusir senyuman yang terus mencengkram. Semua yang ada pada Siti itu mengesankan. Tutur, senyum, tatap bahkan desah terasa menjerat tanpa mampu dilepaskan.

Di malam gulita, dia terjaga, tak ada siapapun di sampingnya. Hati kembali nelangsa. Siti, oh Siti, kembalilah bersikap manja.
***

“Bawangnya jangan diiris!” teriak Handy. Dia melongok ke dapur,  melihat putranya sedang menyiapkan sarapan.
“Halah, cerewet kali!“

Handy tak bisa makan dengan irisan bawang yang nampak di masakan. Apalagi kalau tergigit, bisa langsung menghilangkan selera detik itu juga.

“Mau nginep berapa lama? Emang kuat?” Reno tersenyum mengejek. Handy membuang pandangan, tak mau tertangkap keresahan di wajahnya.
“Nyerah aja, Pah.”
“Diamlah, aku pusing!”
“Pah, inget umur, udah saatnya menetap di satu hati, nyesel nanti.” Reno tak peduli dengan hardikan ayahnya. Sudah lama dia ingin mengungkapkan. Inilah momen yang tepat menurutnya. Bosan melihat kelakuan buruk Handy.

“Tau apa kau!”
“Tau lah, Papa cinta mati sama Siti Nurbaya … hahaha!” Handy menjitak kepala anaknya.
“Awww, sakit tau!”
“Ren, mulai sekarang, bantu Papa ngurus perusahaan, jangan maen mulu.”
“Ogah!”
“Kalau gitu, gak ada transfer mulai sekarang.”
“Hay, mau bikin aku mati!”
“Terserah, kerja atau tak dapat uang.” Reno memutarkan bola mata. Menyebalkan sekali papanya ini.
“Okey, but ….“
“What?“
“Aku gak mau mama baru lagi, cukup delapan aja, kebanyakan, bikin repot aja.”
“Kenapa kamu yang repot?”
“Repotlah, aku jadi sering dicium wanita cantik … Hahaha!”
“Kecuali ….” Reno mengedipkan mata.
“Awas kalau berani!“
“Satu lagi!”
“Apa?”
“Bikinin adek perempuan yang cantik kayak mama Siti.” Kali ini, Handy tersenyum.
***

Sore itu, Siti berdiri di teras. Berharap pria pujaan, pulang. Sudah dua hari tuan pemilik hatinya menghilang. Sedangkan rindu, sudah tak tertahankan. Dia tak biasa hidup tanpa belaian, tanpa canda tawa, tanpa tutur mesra. Sikap manis dan lembut suaminya mampu mematahkan logika. Perasaan itu tanpa sadar telah berselancar terlalu dalam. Hingga tak mampu lagi keluar dari area yang bernama cinta.

Cahaya kekuningan menerpa daun-daun yang tertata di sepanjang halaman. Hembusan angin menggoyangkan ranting-ranting. Tak lupa, aneka bunga warna-warni ikut menari memperlihatkan keelokannya.

Ada kolam kecil di dua sisi halaman depan rumahnya. Di keduanya, terdapat air mancur setinggi lelaki dewasa. Batu-batu alam menghiasi sisi-sisi kolam.

Sudah satu jam Siti berdiri menanti yang dirindui. Desah kecewa keluar dari bibir sensualnya saat mendapati yang ditunggu tak jua datang. Sebelum azan magrib berkumandang, dia pun masuk untuk bersiap menunaikan kewajiban.

Tangisnya tumpah di atas sajadah. Memohon ampun atas keegoisan memperturutkan amarah. Takkan bertahan lama suatu hubungan, jika keduanya tak mau merendahkan emosi, enggan mengoreksi diri dan tak bersedia melapangkan hati memaafkan kesalahan yang terlanjur dilakukan.

Ceklek! Pintu kamar dibuka perlahan. Seseorang masuk dengan menahan derap kaki agar tak terdengar oleh yang sedang khusyu bermunajat. Perlahan berjalan menghampiri, lantas, mendekapnya dari belakang.

“Aku rindu, sangat rindu,” bisik Handy. Dia mampu merasakan getaran tubuh wanita dalam dekapannya.

Handy membalikkan Siti perlahan. Menatapnya dalam. Mencoba masuk menyalurkan ketenangan.

“Maafkan aku ….” Diusapnya pipi yang sudah basah di aliri bening kristal di setiap lekuknya.
“Jangan marah lagi ….” Handy membenamkan wajah Siti di dadanya. Memeluk erat. Dalam dekapan pria pujaan, tangisan itupun meledak.
“Kenapa baru pulang.” Ucapan Siti berlomba dengan airmata.
“Jangan pergi lagi.” Siti mengeratkan pelukannya, seolah menahan agar tak lepas lagi.
“Aku juga minta maaf.” Siti melepaskan pelukan, meraih kedua tangan Handy dan menciumnya berulang.

Handy mendudukkan Siti di pangkuan. “Kamu tidak salah, sayang. Aku yang tak bisa mengendalikan diri, maafkan aku, ya,” bisik Handy. Selarik senyum menghiasi bibir keduanya. Ketenangan kembali hadir di hati mereka.

Perjalanan rumah tangga tidaklah mulus. Akan terhampar kerikil di sepanjangnya. Akan ada badai yang siap menerjang. Untuk itu, bukan sebesar apa masalah yang menghadang, namun, lebih bagaimana mendudukkan persoalan lantas mencari penyelesaian.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER