Cerita bersambung
Syamsudin tersenyum melihat saldo rekening saat ini,150 juta rupiah. Tak sia-sia bekerja siang malam, tercapai juga impiannya.
“Siti, akhirnya Akang bisa melamarmu?” gumam Syam. Selarik senyum bahagia menghiasi bibirnya.
“Syam, kok, senyum sendiri?” Ayla, Janda cantik nan kaya raya itu sudah berada di samping Syam.
“Oh, eh, ibu, maaf.” Syamsudin gugup ketahuan senyum sendiri.
“Kenapa? Inget pacar, ya?” Ayla mengubah posisi berdiri, kini berhadapan dengan Syam. Dalam posisi begitu dekat, pemuda itu gelagapan.
“Saya gak punya pacar, Bu,” ungkap Syam jujur.
“Masa sih, orang seganteng dan sebaik kamu gak punya cewek.” Alis Bos barunya itu terangkat ke atas.
Syam baru bekerja tiga bulan pada Ayla, janda cantik yang ditinggal mati suaminya setahun lalu. Sebelumnya, dia bekerja pada Steven, sepupu Ayla.
Syam bekerja sebagai pelayan restoran milik pria itu. Seiring waktu, karir melesat. Kejujuran, keuletan dan kemampuan berdiplomasi menjadikannya naik sebagai kepercayaan bos.
Beberapa kali, pemuda itu mampu menyelesaikan masalah restoran tempat dia bekerja. Steven menyerahkan pengelolaan tiga restoran kepadanya, dengan bayaran dan fasilitas menggiurkan.
Setelah Steven pindah ke Jerman, seluruh restoran miliknya, dibeli Ayla. Diam-diam janda cantik itu menaruh hati pada Syam. Namun, karena sikap sang pemuda yang terlalu menjaga jarak, dia pun sungkan. Terlebih, agama mereka berbeda.
“Saya tidak pacaran karena itu gak dibolehkan dalam agama.” Syam sedikit menggeser posisi berdirinya. Memberi jarak lebih pada mereka.
“Oooh, tapi banyak, aah, orang Islam pacaran,” tukas Ayla.
“Mungkin mereka tidak tahu hukumnya, Bu” tutur Syam lembut.
“Kalau tidak pacaran, trus gimana bisa kenal pasangan?“ Lagi, Alya keheranan.
“Dalam syariat kami, proses menuju pernikahan ada tahapannya, pertama,
taaruf atau kenalan, kalau cocok, lanjut khitbah, biasa disebut lamaran, baru akad nikah.”
Alya membulatkan mulutnya sambil mangut-manggut.
“Dalam masa taaruf dan khitbah, tetap ada batasan yang harus dijaga. Seperti tak boleh gandengan, pelukan, ciuman, dan perbuatan bebas lainnya.” Syam menjelaskan dengan lembut tapi jelas.
“Pak Syaaam ….!” Obrolan mereka dihentikan oleh teriakan Tanti, salah satu karyawan restoran. Gadis itu berlari tergopoh.
“Ada apa, Tan?” tanya Syam.
“Ada pelanggan marah-marah, pake mukul segala,“ Tanti bicara sambil sibuk mengatur nafas.
“Emang kenapa?” tanya Alya.
“Andi gak sengaja menumpahkan minuman, trus kena kemeja orang itu.” Tanti menjelaskan masih dengan nafas tersengal.
Syam dan Alya bergegas menghampiri pelanggan tersebut. “Kami mohon maaf atas keteledoran karyawan,” tutur Syam lembut.
“Maaf, maaf, enak saja!” Mata pria itu menyalang pada Syam.
“Kami akan mengganti semua kerugian yang menimpa Bapak.” Syam menahan diri dari sulutan emosi.
“Fiuhh, aku gak butuh!“ Pria itu berkacak pinggang.
“Kalau begitu, apa yang bisa membuat bapak memaafkan kami?“
“Hmmm, suruh dia berlutut padaku!” Semua yang menyaksikan, sontak terkesiap. Syam terdiam, dia melihat orang ini arogan.
“Maaf, kami tidak bisa memenuhi permintaan itu,” ucap Syam bijaksana.
“Okey, lihat saja hari ini juga nama restoran kalian akan hancur!” Wajah Alya seketika memucat.
“Maaf, di sini ada CCTV, Pak. Mari kita saksikan apakah karyawan kami menyengaja atau tidak?”
“Jika anda menyebarkan berita hoax, kami akan menuntut balik atas nama pencemaran nama baik,” timpal Alya. Pria itu ternganga mendengar ancaman balik.
“Kau mengancamku! Tak tahu siapa aku!”
“Maaf kami tak bermaksud mengancam siapapun, hanya mendudukkan masalah pada tempatnya.”
“Awas kau, masalah ini belum selesai!” Pria itu menendang kursi dan berlalu dengan amarah kentara di wajahnya.
Alya bisa bernafas lega. “Wow, good job!”
Syam menepuk bahu Andi dan menyuruhnya membersihkan meja yang sudah tak beraturan.
“Syam, ada pesta para pengusaha, temani aku, ya.” Setelah masalah dengan pelanggan selesai, Alya meminta Syam masuk ke ruangannya untuk membicarakan beberapa urusan restoran.
“Maaf, bu, saya tidak bisa.”
“Kenapa? Takut disangka macam-macam?” Alya tertawa hingga deretan gigi putihnya nampak jelas. Garis matanya makin menghilang.
“Bukan begitu, saya ….”
“Tenang, aku gak akan menggandeng kamu, apalagi peluk, trus kita juga gak semobil, kok.” Alya tersenyum nakal pada Syam. Hatinya makin tertawan saja pada pemuda yang terpaut tiga tahun itu.
“Mau, ya, Syam, please.” Alya menangkupkan kedua tangan di dada. Sorot matanya meredup, ada pengharapan disana.
“Insya Alloh, Bu, saya upayakan.” Melihat Ayla menghiba, hatinya luluh juga.
“Thanks, ya, nanti bajunya aku kirim ke rumahmu!“ Tangan Alya urung menyentuh lengan Syam, mengingat reaksi pemuda itu yang terlihat jengah.
“Satu lagi, disana jangan panggil Ibu, Alya aja, ya.” Alya tersenyum manis pada pemuda itu. Syam memalingkan pandangan ke sudut ruangan. Selalu, ditepis segala hal yang mengganggu kesetiaannya pada Siti.
***
“Kena!” Handy berhasil menemukan tempat persembunyian istrinya.
“Waaa!” Siti terkejut saat tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari belakang.
“Curang, ya, pasti tadi ngeliat,” ucap Siti manja.
“Dikit,” ungkap Handy sambil tersenyum nakal.
“Gak jadi, ah, balikan lagi.” Siti memonyongkan bibirnya.
“Gak dong, kan udah dapet, aku mau minta hadiahnya.” Tanpa menunggu Siti bicara, Handy sudah menggendong istrinya menuju kamar. Beberapa pelayan tersenyum melihat tingkah majikannya. Rumah kembali ramai setelah beberapa hari sepi akibat perang dingin diantara keduanya.
Seharian ini, Handy tak pergi ke kantor. Mereka menghabiskan waktu melepas rindu. Main petak umpet, kejar-kejaran sampai main catur dilakoni.
“Curang, harusnya benteng gak boleh jalan gitu, kan.” Siti tak terima kecurangan suaminya.
“Eiits, kalah, ya kalah, dong.” Handy makin senang melihat istrinya sewot, lucu.
“Gak mau, pokoknya balikan lagi!”
“Yey, ngambek ni, ye.” Handy mencolek hidung istrinya gemas.
Selepas bermain seharian keduanya beristirahat di peraduan.
“Besok malam ada pesta para pengusaha, kita akan kesana,” ucap Handy. Siti yang sedang bermanja di dada suaminya, mendongakkan kepala.
“Aku harus ikut juga?” tanyanya sedikit risau. Terbayang teman-teman Handy saat di pesta pernikahan mereka. Kelas atas semua. Banyak orang luar negeri pula. Rasa tak percaya diri kembali meliputinya.
“Masa aku datang sama istri orang.” godanya. Siti mengerucutkan bibir. Handy menyentuhnya gemas.
“Tapi … aku tak lancar bahasa Inggris, aku juga gak ngerti dunia kalian,” ungkap Siti. Sorot matanya menyiratkan kegalauan.
“Jangan takut, hadapi saja, mereka itu manusia biasa, sama seperti kita.” Handy mengerti keminderan istrinya. Bagaimanapun juga, Siti harus ada di ritme hidup yang sama.
“Nanti aku panggil guru privat untuk memperlancar bahasa Inggrismu.” Mata Siti berbinar mendengarnya. Sudah lama dia ingin memperlancar bahasa Inggris. Tapi belum ada kesempatan. Dulu, untuk ikut les, biayanya mahal.
“Mau kuliah?” tanya Handy.
“Mau, tapi ....”
“Kalau aku hamil bagaimana?”
Handy tertegun mendengar ucapan Siti barusan. Seolah tersadarkan bahwa saat ini, dia sedang menjalani rumah tangga sebenarnya, membentuk sebuah keluarga. Pernikahan kali ini bukan untuk buaian peraduan belaka.
“Hamil saat kuliah itu tak masalah, kan ada papanya.” Semburat merah mendominasi wajah Siti saat ini.
“Mau lagi, ya?” bisik Handy diiringi tawa perlahan.
“Ish, apa sih.” Siti mendorong tubuh suaminya manja.
“Mau, ya?“ Handy terus menggodanya.
“Gaaak!”
***
Syamsudin dan Ayla memasuki pesta megah berselera raja. Digelar di sebuah ballroom hotel bintang lima kota Jakarta. Hanya pemilik perusahaan ternama yang bisa masuk ke dalamnya.
Alya sebagai janda muda pewaris seluruh harta suaminya, merupakan salah satu pengusaha wanita yang patut diperhitungkan. Restoran yang dikelola Syam hanya sebagian usahanya.
“Nyonya Alya, selalu cantik mempesona, anda adalah bintang malam ini,” sapa Reynaldi, duda kaya, yang gemar bermain wanita. Pria setengah baya itu mencium tangan Alya. Sudah lama hatinya tertawan wanita cantik yang baru berusia tigapuluh tahun.
“Tuan Rey terlalu menyanjung.” Alya terlihat risih dengan sikap genit pria itu.
“Oh, ya, perkenalkan ini Syam, pasangan saya,” Sekilas, Alya menangkap ketidakenakan di wajah Syam saat menyebutnya sebagai pasangan.
“Owh, aku patah hati lagi,” Duda perlente itu terkekeh. Dia mengulurkan tangan pada Syam. Dengan ramah, pemuda bermata teduh itu menyambutnya.
Keduanya berbaur dengan para tamu. Meski jengah, Syam berusaha tetap tenang dan menunjukkan wibawanya. Alya memperkenalkan pemuda itu sebagai patner bisnis sekaligus calon pasangan hidup. Awalnya pria itu kesal, namun melihat hal itu bisa melindungi bos cantiknya dari godaan lelaki jalang, Syam membiarkan saja.
“Selamat datang kami ucapkan, kepada Tuan dan Nyonya Handy Sanjaya.”
Suara Host pesta terdengar membahana memenuhi ruangan. Mayoritas tamu mencari arah kedatangan mereka. Handy adalah sosok fenomenal yang digandrungi para wanita. Hoby gonta ganti istri sudah melekat di dirinya. Meski begitu, para sosialita haus belaian, tak jera memburunya.
“Tuan Handy semakin tampan saja.” Robin sebagai penyelenggara pesta menyambut keduanya.
“Anda terlalu memuji.” Mereka berjabat tangan hangat.
“Nyonya Handy, anda adalah purnama diantara gemintang.”
“Anda berlebihan, saya sangat tersanjung.” tutur Siti. Selarik senyum mempesona menghias bibirnya.
Dua hari ini, Siti belajar pada Handy tata krama pesta orang kaya dan seluk beluknya. Semua dia lakukan agar tak mempermalukan suami. Wanita itu pun banyak membaca berbagai hal mengenai dunia sosialita untuk bekal malam ini. Secara kilat, suaminya juga mengajarkan percakapan bahasa Inggris.
Siti membuat syarat pada suaminya. Selama pesta tidak boleh berpelukan dan cium pipi dengan para wanita. Dia menjelaskan tanpa nada menggurui perihal alasan kenapa tak boleh seperti itu. Meski belum menerima utuh penjelasannya, Handy berjanji akan berupaya lebih menjaga diri dari serbuan para wanita.
Siti mulai belajar menerima Handy atas segala kelebihan dan kekurangan. Ketidak pahaman suami pada agama bukan alasan baginya tak ikhlas menerima garis takdir. Dia bertekad untuk menuntun pria pemilik hatinya itu ke jalan yang benar. Meski itu tak mudah, bukan berarti tak mungkin.
Masa lalu Handy yang beraroma wanita pun, sudah mulai dia terima. Seindah apapun, itu hanyalah kenangan. Dialah kenyataan dan masa depan pria itu. Tugasnyalah mempertahankan pernikahan ini hingga menua. Menjadikan tak tergantikan oleh siapa pun jua.
Perlahan, nama Syamsudin menghilang dari hati. Meski pria itu sempurna, dia bukan untuknya. Cinta yang begitu dalam, kini hilang tanpa jejak. Menguap bersama angin yang membawa cinta pertamanya pergi tanpa kembali.
Syamsudin baru saja keluar dari toilet. Setelah merapikan ulang dandanannya, dia kembali ke ruang pesta. Dicarinya Alya, wanita berdarah tionghoa yang sudah begitu baik. Tak sungkan bos barunya itu memberi berbagai bonus atas pekerjaan. Bahkan, terlalu berlebihan menurutnya.
Syam hanya tersenyum menghadapi candaan karyawan terkait perhatian nyonya Alya padanya. Malah, ada yang terang-terangan menyatakan bahwa mereka pasangan serasi. Ditepisnya semua ucapan itu. Tak ingin dia mengkhianati Siti yang tengah setia menanti.
Besok dia berencana minta izin pulang kampung. Hati sudah tak sabar untuk melamar gadis yang dirindui pagi dan petang. Seulas senyum menghias bibir, membayangkan betapa bahagia Siti menyambut lamarannya. Cincin bertahta berlian sudah dipersiapkan. Rumah dengan segala isinya siap ditempati.
Syam melangkah gagah ke ruang pesta. Matanya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ballroom. Yang dicari tak kunjung nampak. Tak putus asa, dia mengelilingi area pesta. Senyum manis terkembang di bibir, angguk santun tak lupa di lakukannya.
Di detik yang telah digariskan, netranya menangkap sosok sangat dikenal. Gadis yang diperjuangkan siang dan malam. Namanya tertoreh di sanubari terdalam.
Siti ...!
Lonceng dihatinya berdentang, menggetarkan seluruh ruang raga. Dia yang terpuja ada disana, hanya beberapa puluh langkah saja. Ini nyata. Tak sabar kaki melangkah menuju ke arahnya.
Tapi … langkahnya terhenti demi melihat Siti tak sendiri. Seorang pria bergaya khas pengusaha kaya menghampiri dan merangkulnya mesra. Nampak rona bahagia di wajah keduanya.
Craass! Sekerat hatinya pecah, berdarah. Kepingannya terserak dan menyerpih.
Binar bahagia itu musnah. Tubuhnya terhempas jauh ke samudera nestapa. Keramaian pesta mendadak hening di sisinya. Setetes bening pun lolos dari netranya.
Inikah balasan pengorbanan cinta?
*****
“Aduh Syam, ada disini rupanya.” Alya menghampiri Syam yang tengah berdiri mematung. Sorot matanya tajam menguarkan aura menegangkan. Tanpa sadar kedua tangan pemuda itu terkepal.
Melihat kondisi Syam sedemikian rupa, Alya mengurungkan niat berbicara lebih lanjut. Matanya mengikuti pandangan pemuda itu. Dia keheranan mendapati pria yang dicintainya ini menatap tajam pada Handy dan istri.
“Kamu kenal mereka?” Rasa penasaran tak bisa dibendung Alya. Syam tetap membisu. Hatinya kian bergejolak melihat pemandangan memuakkan terpampang di sana, pengkhianatan!
Tanpa bicara, Syam membalikkan badan dan berlalu menuju pintu ruangan. Alya yang diliputi seribu tanya berupaya mensejajari langkahnya.
“Syam, tunggu!” teriak Alya. Pakaian ketat dan heels yang dipakai, membuatnya tertinggal jauh dari Syam.
Teriakan Alya yang cukup keras, sampai ke telinga Siti. Mendengar nama itu, dia mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Terlihat di depan sana seorang wanita mengejar pria muda yang seolah dikenalnya.
Tanpa sadar, Siti berjalan ke arah wanita dan pria yang dipanggilnya.
Demi mengejar Syam, Alya mempercepat langkah. Karena tak hati-hati, kakinya terantuk lantai, Brukk! Tak seimbangnya kaki, membuat tubuh limbung dan terjatuh.
Syam menghentikan langkah dan membalikkan badan mendengar suara seseorang terjatuh. Di detik itu, pandangannya tertuju pada Siti yang tengah menolong Alya.
“Kang Syamsudin ...!”
Mata Siti membesar melihat seseorang yang pernah menambatkan perahu cinta di dermaga hatinya ada di hadapan. Degup jantung mengencang, menghentak seluruh raga. Tubuh seolah mati rasa mendapati pertemuan dalam kondisi yang tak diinginkan.
Mendengar Siti menyebut nama Syamsudin, Alya tak kalah kaget. Di pandangnya kedua orang yang kini berhadapan, secara bergantian. Dia mampu merasakan ada sesuatu yang besar diantara mereka di masa lalu.
Kini, sepasang manusia yang pernah memiliki asa yang sama, berdiri berhadapan. Keduanya terdiam, berkecamuk rasa dalam pergolakan batin masing-masing.
Keduanya terluka dalam makna yang berbeda. Syam dan Siti bahagia sekaligus berduka diberi kesempatan bersua. Tak ada kata yang mampu melukiskannya.
“Sayang, ada apa?” Bisikan dan sentuhan Handy mengembalikan kesadaran Siti yang sempat hilang entah kemana. Pria itu menangkap keganjilan akan sikap istrinya di hadapan pemuda yang berdiri tak jauh dari mereka.
Handy dapat merasakan getaran tubuh istrinya. Dengan lembut disandarkan Siti pada badannya.
“Ada yang sakit?” Handy melingkarkan tangan di pinggang Siti. Dia mampu mendeteksi ada sesuatu antara pemuda itu dengan istrinya.
Melihat pamer kemesraan di hadapan, Syam makin meradang. Secepat kilat memutar badan dan berlalu diringi Alya yang terseok di belakang.
“Maaf, aku pulang duluan.” Syam berbicara tanpa melihat pada Alya. Dia tak mau siapapun tahu matanya sudah basah kini.
“Iya, hati-hati nyetirnya, jangan ngebut!” Suara Alya tertelan deruman mobil Syam.
Syam menelungkupkan wajahnya di atas kemudi. Saat ini, dia hanya ingin menangisi nasib cintanya. Betapa selama ini hanya mengejar bayangan. Kesetiaan dan pengorbanan itu sia-sia belaka.
Siti …!
Semudah itukah cintamu berubah. Bukankah kita ingin tua bersama, bercengkrama sepanjang usia.
Mengapa Siti …?
Kau memintaku kembali untuk menyaksikanmu pergi.
Di dalam mobil yang berbeda, Siti meremas gaun. Jika tak takut dicurigai Handy, sudah ingin menangis sejadi-jadinya.
“Kalau menangis membuatmu lega, lakukan saja!”
Handy berbicara di belakang kemudi tanpa menoleh pada istrinya. Sekuat mungkin dia menahan diri dari percikan panas yang memenuhi hati. Meski Siti tak mengatakan apapun, naluri bicara bahwa pemuda itu adalah masa lalu wanita di sampingnya
Tak tahan, Siti menangis jua. Airmata berderai membasahi pipi. Tangannya sibuk menyeka tetesan air yang tak henti membanjiri. Rasa bersalah begitu menusuknya saat ini. Menghadirkan sesak dan perih di dalam hati.
Melihat wanitanya menangis pilu untuk pria lain, hati Handy makin cemburu. Dalam emosi yang meluap dia mengemudikan mobil sangat kencang hingga ….
Ciiiit! Hampir saja menabrak seorang penyeberang jalan.
“Shit!”
Handy memukul kemudi. Tangan satu lagi mengusap wajahnya kasar. Melihat itu Siti menghentikan tangis. Mereka pun larut dalam keheningan.
“Abah meminta pada Kang Syamsudin 100 juta sebagai mahar.” Siti berusaha tegar menceritakan kisah dengan Syam setahun yang lalu. Dia tak mau ada salah paham dengan suaminya.
“Abah memberi waktu satu tahun,” lanjut Siti.
“Dengan penghasilan kecil, tak mungkin dia memenuhi permintaan itu. Maka pergilah merantau ke Jakarta. Setelah itu, tak ada kabar, hingga setahun berlalu.”
“Datanglah anda meminang saya. Karena masa perjanjian sudah lewat, saya tak bisa menolak keinginan abah.” Sampai disini, Siti tak mampu lagi bicara. Airmata menahan lidahnya untuk mengeluarkan kata.
“Apa kau menyesal menikah denganku?” Handy berusaha tetap tenang meski hatinya ingin meledak.
“Apa kau ingin kembali padanya?” Ada yang teriris saat melemparkan kata itu.
“Cinta saya padanya sudah hilang. Satu-satunya yang ada hanya rasa bersalah telah membuat dia terus berharap” Siti memeluk suaminya yang sedari tadi bersikap dingin. Tangisan tak mampu dibendung lagi. Yang dia takutkan saat ini justru kemarahan Handy.
“Maaf,” ucap Siti lirih.
Kemarahan itu perlahan hilang di sisi Handy. Didekap erat tubuh sang istri. Ketakutan akan kehilangan semakin kuat mengikat hatinya.
***
“Pak Syam, ada yang mencari anda! “ Seruan Salah satu karyawan restoran membuyarkan lamunannya.
“Siapa?” tanya Syam.
“Saya kurang tahu, Pak,” jawab karyawan itu sopan.
Syam bergegas menemui orang yang mencari. Setiap karyawan yang berpapasan dengannya akan mengangguk hormat. Pemuda itu akan membalas dengan senyuman hangat.
Syam pemimpin yang disukai karyawan. Kelembutan dan keramahan mampu memikat siapapun yang bersamanya. Beberapa pelayan gadis menyimpan rasa pada pemuda tampan itu. Namun, mereka hanya menyimpan dihati saja.
Syam berjalan menghampiri meja di sudut kanan restoran. Di sana duduk seseorang membelakanginya
“Maaf, andakah yang mencari saya?” Syam tercekat saat orang itu menoleh padanya. Dia adalah pria yang merangkul Siti dengan mesra di pesta itu.
“Benar, maaf, jika saya mengganggu waktu anda.” Handy bangkit dan mengulurkan tangannya.
“Handy Sanjaya,” ucapnya tegas dan berwibawa.
“Syamsudin.” Syam menyambut uluran tangan pria yang telah mengambil Siti dari sisinya.
Untuk sejenak keduanya terdiam dalam tatap yang sulit diartikan. Saling menerka sifat dan kehidupan lawan di hadapannya.
***
Sehari setelah pesta, Handy menghubungi Alya untuk mencari tahu keberadaan Syam. Wanita itu adalah mantan istri rekan bisnisnya. Mereka saling kenal dan memiliki kontak masing-masing. Dia ingin memastikan bahwa mantan pujaan istrinya takkan mengusik ketenangan mereka.
“Saya dan Siti Nurbaya pernah saling mencintai bertahun lamanya,” tutur Syam dengan suara tertahan. Handy setengah mati menahan api cemburu mendapati kenyataan begitu dalam perasaan mereka.
“Perasaan saya bukanlah dusta atau permainan nafsu belaka.” Syam menatap Handy lekat.
“Tapi … Alloh tak menggariskan kami bersama.” Denyutan di dada terasa menekan dan menyesakkan.
“Saya berjuang siang malam untuk mendapatkan uang yang disyaratkan abah … tapi … setelah uang itu terkumpul, Siti sudah dimiliki orang lain.” Penuturan Syam kali ini lebih terasa ratapan.
“Tenanglah, saya takkan mengusik rumahtangga anda dan Siti … biarlah cinta itu menjadi kenangan saja.”
“Andalah yang dipilih Alloh mengarungi hidup bersamanya, bukan saya.”
“Tapi … jika boleh, izinkan saya bicara pada Siti untuk terakhir kali, setelah itu saya akan pergi, saya mohon.” Tatapan Syam kian meredup. Sakit yang terlalu dalam nampak nyata disana.
Handy menghela nafas panjang. Menghembuskannya perlahan. Berharap sesak di dada berkurang. Mempertemukan mereka mengharuskan dirinya kuat menahan api cemburu. Dia tak yakin itu.
Pembawaan tenangnya saat ini berbanding terbalik dengan kondisi hati yang kian bergemuruh. Mendapati betapa sempurna pria di hadapannya membawa pada kesimpulan wajar Siti pernah menyimpan asa yang dalam.
“Akan kupertimbangkan,” ucap Handy datar.
“Terimakasih atas waktunya, saya permisi dulu.” Mereka berjabat tangan. Kali ini Handy merasakan tangan Syam begitu dingin.
Syam terpaku memandang kepergian pria pemilik Siti. Tetesan bening yang sedari tadi tertahan, luruh juga. Satu kenyataan yang harus kembali dia terima, pria itu sempurna.
***
“Kita mau kemana?” tanya Siti perlahan.
“Restoran,” jawab Handy
Mereka tiba di restoran tempat Syam bekerja. Handy memenuhi permintaan pemuda itu untuk bicara dengan Siti. Keduanya tiba di ruang ekslusif. Tempat ini jauh dari keramaian pengunjung.
Ruang ini lebih kecil dari tempat utama. Di langit-langit terdapat lampu hias mewah. Penerangannya tak menyilaukan juga tak redup. Kursi dan meja tertata begitu elegan di sana.
Siti terkesiap saat melihat seseorang menghampiri mereka. Handy memegang tangannya. Degup jantung mengencang saat pria itu kian mendekat.
“Kalian harus menyelesaikan urusan, agar tak ada sengketa di kemudian hari,” bisik Handy. Siti menatapnya ragu. Pria itu menganggukkan kepala untuk menguatkan.
“Tuan Handy, terimakasih atas kebaikan anda,” ucap Syam sopan. Handy mengangguk saja.
“Aku duduk di sebelah sana, kalau sudah beres kita pulang,” bisik Handy kembali. Siti menahan tangannya agar tak pergi.
“Tak apa.” Handy mencium kening istrinya dan pindah ke meja yang sudah ada Alya disana.
Syam dan Siti duduk di hadapan. Mereka terdiam cukup lama, hanya degup jantung yang terus mendentum. Kecanggungan meliputi keduanya. Takkan begini jadinya jika pertemuan ini berlangsung dua bulan lalu saat Handy belum datang.
Namun jodoh tak selamanya sesuai ingin manusia. Ada Yang berkuasa menggariskan. Sebesar apapun upaya mengejar, jika tak tertulis tetap takkan tercapai tangan.
“Akang berjuang siang malam untuk memenuhi janji mengikat tali suci,” tutur Syam memecah keheningan. Siti menautkan jari jemari di atas meja. Tubuhnya gemetar menahan gejolak rasa
“Sekarang uang 100 juta itu sudah ada.” Getaran suara Syam mulai terasa.
“Akang berencana membawanya pada abah agar bisa meminang Siti, tapi ….”
Sudut mata Syam mulai menghangat.
“Alloh tak menetapkan kita bersama ….“
Syam mengusap mata yang sudah mulai basah.
“Siti bukan untuk akang ….” Kali ini Syam menangkupkan satu tangan di wajah. Dia terisak, hatinya bagai dikerat sembilu, sakit, perih.
Siti tertunduk, dibiarkan airmata membanjiri kedua punggung tangannya. Rasa salah itu bermetamorfosa menjadi nestapa, meratapi kisah mereka yang begitu lara.
“Untuk melindungi janji kita, Siti memberi syarat pada abah agar tak menerima lelaki manapun sebelum setahun,” tutur Siti lirih.
“Siti menunggu Akang siang dan malam, menahan rindu dengan keyakinan Akang akan pulang, menjadikan cinta kita terwujud dalam pernikahan.”
“Tapi ….” Siti tak sanggup meneruskan ucapan. Keduanya menangisi kisah yang berujung duka.
Handy menatap keduanya dengan menahan segala gejolak yang siap meledak. Menyaksikan mereka menangis bersama serasa dicabik belati tak nampak.
Alya tahu Handy tak konsentrasi dalam pembicaraan bisnis yang coba mereka bahas. Begitu juga dirinya. Ada sakit melihat cinta Syam begitu mendalam pada wanita lain. Menyelusup putus asa bisa memenangkan hati pemuda itu.
“Maafkan saya sudah mengkhianati Akang. Mengkhianati kesetiaan dan pengorbanan Akang. Akang boleh marah pada saya, benci saja, selamanya pun tak apa, saya pantas mendapatkannya.”
“Tak ada yang salah, kita hanya tidak berjodoh, akang akan mengikhlaskan segalanya.” Suara Syam terdengar parau.
“Tolong jawab dengan jujur. Apa Siti bahagia? Apa Siti mencintai tuan Handy?”
Siti mendongakkan kepala, memberanikan diri menatap Syam. Dia harus mengakhiri kisah ini dengan kepastian.
“Saya mencintai tuan Handy, Siti bahagia, Kang.”
Crasss! Kali kedua, hatinya terbelah, berdarah kembali.
Cukuplah itu sebagai petunjuk bahwa dia harus mengikhlaskan segalanya. Kisah ini sudah berakhir pasti. Cinta itu tinggal kenangan yang akan tersimpan rapi di satu sudut hati.
Siti, semoga sakinah, mawaddah, warohmah ….
Bersambung#4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel