Cerita bersambung
“Sebulan setelah suami meninggal, aku pernah nyoba bunuh diri,” tutur Alya. Matanya menerawang menembus riak awan yang kian menggelap. Perlahan, rinai hujan luruh menyentuh bumi. Sendunya cuaca selaras dengan rona muram di wajah oriental itu.
“Jiwaku begitu rapuh, separuhnya hilang bersama kepergian Simon.” Jari lentiknya menyeka sudut kanan netra. Syam memalingkan pandangan ke tepi taman yang bersih dan rapi. Helaan nafas mulai terhempas suara hujan yang mulai menderas.
“Luka itu terlalu dalam, hingga, aku tak yakin akan sembuh.” Alya menoleh pada Syam.
“Sama seperti kamu saat ini, tak yakin bahwa hati mampu menerima selain Siti,” ucap Alya lirih.
“Namun, penjara asumsiku runtuh, luka itu ternyata bisa sembuh, dan rasa bisa berubah,” ucapnya kembali.
“Sama seperti Siti saat ini, mungkin dulu dia terluka begitu dalam. Handy datang membawa cinta yang mampu menyembuhkan lara, rasa itu pun berubah.” Denyut nyeri itu kembali hadir di dada Syam. Sesak menyergapnya lagi.
“Seperti itu juga aku, karena terbiasa denganmu, dengan senyummu, dengan kelembutanmu. Perlahan tapi pasti, lubang di hatiku mulai tertutup.” Suara Alya tergetar.
Kali ini Syam terhentak. Ditatapnya wanita keturunan tionghoa itu dengan sorot tak percaya. Alya tersenyum dan mengangguk perlahan.
“Well, aku akan nunggu kamu siap mengubah hati, Syam.”
“Bahkan, aku rela jika harus mengikuti keyakinanmu.” Alya bangkit dan pergi meninggalkan Syam dalam kekagetannya. Detak heels wanita itu semakin mengecil, lantas menghilang.
Syam bangkit, berjalan menyongsong hujan deras yang tak henti menyirami perdu-perdu di taman. Dia membiarkan derai air menyapu rata tubuhnya. Pemuda itu memejamkan mata, meresapi dinginnya hujan di bulan desember. Berharap rahmat yang terkandung dalam tiap tetesnya mampu menenangkan hati.
“Ya, Alloh, bantulah hamba menyembuhkan luka …,” desisnya lirih.
***
Syam masih larut dengan keyboard yang sudah setahun setengah menemaninya mencari nafkah. Barisan angka-angka yang sedari pagi menuntut perhatian lebih, mulai memudar dalam penglihatan. Dia mengucek mata berkali-kali, ada kabut yang menghalangi pandangan, muncul akibat kelelahan.
“Hai makan dulu, drop nanti.”
Syam sedikit kaget saat menyadari keberadaan Alya di sampingnya. Bos cantik itu menundukkan kepala untuk melihat layar laptop hingga seuntai rambut menyentuh tangan sang pemuda. Degup jantung Syam mulai beritme beda.
“Ini salah kayaknya.” Wajah putih Alya hampir sejajar dengan wajah Syam. Tangan putih wanita itu menunjuk layar laptop hingga menutupi pandangannya. Wangi parfum sang wanita seketika menguar, mengguncangkan naluri sang pemuda.
Astagfirullah ...! Syam memalingkan pandangan ke sudut ruangan.
“Maaf, Bu,” ucap Syam dengan nada serak.
“Oh, eh, sorry.” Alya tak kalah gugup menyadari posisinya hampir menempel ke tubuh Syam. Semburat merah menguasai wajah putih itu. Sejenak keduanya terdiam. Menetralisir debar-debar halus yang muncul begitu saja.
“Makan, yuk!” Alya berusaha mencairkan suasana ganjil di antara mereka. Syam tak menjawab, khawatir terdengar getaran di sana.
Alya berjalan mendahului dengan harapan pemuda itu mengikuti. Syam tak mampu beranjak dari kursi. Peristiwa barusan cukup membuat daya topang tubuhnya meluruh.
“Astagfirullah ….” Untuk kesekian kali, Syam melapalkan kalimat tersebut.
***
“Masuk!” Handy mempersilahkan tam masuk ke ruangan. Dia masih berkutat dengan tumpukan berkas dan deretan file di laptop kerjanya.
Ruang kerjanya terbilang luas, tertata elegan dengan desain aristokratis. Terdapat kursi dan meja kebesaran pemilik ruangan. Ada set sofa di arah kanan. Dua lemari terpajang di belakang kursi utama. Pencahayaan siang hari mengandalkan sinar alami yang menembus ruang-ruang kaca.
Setelah pintu terbuka, seorang wanita berkulit putih, tinggi semampai, dengan pakaian super seksi, masuk dan melenggok menghampiri meja kerjanya.
“Silahkan duduk, nona …!“ Dengan tatapan dingin, Handy mempersilahkan wanita itu duduk di kursi tepat di hadapannya.
“Laura Arvaro,” ucap gadis itu dengan suara mendesah. Laura menjabat tangan Handy tanpa melepaskan tatapan pada wajah mempesona di hadapan. Pria itu sedikit jengah melihat sorot binal di depannya.
“Ini proposal kerjasama yang kami tawarkan.“ Laura duduk dengan menyilangkan kaki. Posisi tersebut membuat gaun mininya makin terangkat ke atas.
Laura menyodorkan map yang berisi proposal. Dia mencondongkan tubuh hingga belahan dada seksinya terpampang di hadapan Handy. Sesaat pria itu tertegun menyaksikan suguhan menantang di depannya.
Handy mengambil proposal dan membaca dengan teliti. “Hmmm,” gumamnya.
“Saya ingin bertemu langsung dengan tuan Arvaro,” ucap Handy tenang.
“Papa sedang sakit, jadi saya yang menggantikannya menemui anda, silahkan jika ada pertanyaan,” ucap Laura masih dengan suara yang dibuat seseksi mungkin. Handy menatapnya tajam. Dia nampak kesal saat menyadari Arvaro mengumpankan gadis seksi itu untuk menggolkan kerjasama.
Melihat mangsanya sudah terpesona, Laura bangkit dan berjalan mendekati Handy. Berdiri tepat di samping kursinya. Mencondongkan tubuh hingga wajah mereka berjarak sejengkal saja.
“Katanya, anda hebat di ranjang,” bisik Laura dengan desahan terseksi yang dia mampu. Handy tergetar menghadapi rayuan setan di depannya.
Sesaat, sebelum bibir merah itu menyentuhnya, bayangan Siti berkelebat di benak. Seketika kesadaran Handy kembali. Ditepisnya wajah gadis binal itu.
“Shit! what ...!” Merasa ditolak, mata gadis itu membelalak. Wajahnya sudah semerah tomat saat ini.
“Pintu keluar ada disana!” Handy menunjuk ke arah pintu ruangan.
“Sampaikan pada tuan Avaro, saya tak berminat dengan kerjasama ini!” Handy melemparkan proposal yang dibawa Laura.
Dengan perasaan marah campur malu, Laura menyambar proposal, menghentakkan kaki dan keluar dari ruangan.
Handy mendaratkan tubuh di atas kursi kebesaran. Terdengar hempasan napas kasar dari mulutnya. Dia mengusap wajah berulang kali.
“Sial!”
Melepaskan diri dari lingkaran nafsu tak semudah membalikkan tangan. Dunia syahwat yang kadung melekat, menjadikan siapapun bebas memandang serendah itu padanya.
Gratifikasi sex dalam dunia bisnis bukan hal tabu saat ini. Untuk menggolkan tender, mengumpankan wanita adalah hal biasa.
Sistem ekonomi dan sosial liberal yang mendominasi dunia, telah menempatkan wanita sebagai alat pendongkrak ekonomi. Bukan hanya karya tangan dan pikiran para wanita yang dihargai saat ini, eksploitasi tubuh dan kehormatan pun menjadi niscaya.
***
“Siti!” Pak Radit, dosen ekonomi dasar, setengah berlari menghampiri Siti yang sedang berjalan menuju gerbang kampus.
“Iya, ada apa, Pak?” tanya Siti dengan rona kaget di wajahnya.
“Langsung pulang?” Bukannya menjawab, dosen muda yang berstatus high kualitas jomblo itu malah bertanya balik. Nafasnya nampak tersengal.
“Iya,” jawab Siti singkat.
“Kita searah, kan. Mau bareng?” tanya Radit. Dosen yang terkenal ramah ini sibuk mengatur nafas agar kembali normal.
“Makasih, Pak. Tapi saya dijemput suami.” Siti berterus terang pada dosen yang akhir-akhir ini bersikap beda padanya. Terang saja, mengundang candaan di kalangan teman-teman yang mengetahui hal itu.
Nampak jelas keterkejutan di wajah Radit. Untuk selanjutnya, sorot mata itu meredup. “Siti sudah menikah?” tanya dosen itu dengan nada sedikit berat. Siti mengangguk pasti. Pria itu mengusap kepala dan tertawa perlahan. Menertawakan kekonyolannya sendiri.
“Sepertinya suami saya sudah datang, saya permisi,” ucap Siti.
Handy turun dari lamborghini merah. Dengan kacamata hitam, penampilannya terlihat lebih cool. Hari ini, pertama kalinya menjemput Siti di kampus. Kesibukan menghalangi untuk mengantar jemput sang istri.
“Sayang, maaf nunggu lama,” ucap Handy lembut. Diraihnya tangan Siti.
“Gak, kok, baru aja.” Siti mencium tangan suaminya.
“Oh, ya, Pak, perkenalkan ini suami saya. Sayang, ini dosen ekdasku,” tutur Siti pada kedua pria yang berdiri di kanan kirinya.
“Handy.” Handy mengulurkan tangan pada dosen Siti.
“Radit.” Sang dosen menyambutnya.
“Kami permisi dulu, Pak.”
“Oh, eh, Iya.” Radit menghela nafas panjang, mencoba menetralisir perasaan yang bercampur aduk di hatinya.
“Dosennya, ganteng, ya.” Handy melirik Siti di balik kacamata hitamnya.
“Biasa aja, gantengan juga yang lagi nyetir,” goda Siti.
“Pasti dong,” ucap Handy dengan senyum nakalnya.
“Kita mau kemana?” tanya Siti.
“Maunya kemana?“
“Ke rumah Abah, boleh?“
“Okey, pulang dulu berarti, ya, siapin baju, kita nginep,” ujar Handy. Terang saja Siti kegirangan. Refleks dicium pipi suaminya.
“Kok cuman disitu, yang ini belum.” Handy mengerucutkan bibirnya.
“Maunya.”
“Ayo dong!”
“Gak, ah!”
***
“Syam, papi minta aku tinggal di Jerman,” ucap Alya di penghujung bulan Januari. Hujan masih tampak deras mengguyur bumi. Cuaca hari ini tak menampakkan tanda-tanda cerah sedikit pun. Genangan air tampak terlihat di sepanjang halaman restoran.
“Aku diminta membantu mengembangkan bisnis keluarga kami disana,“ lanjutnya. Wajah seputih porselen itu nampak tak memiliki binar bahagia. Dia menoleh mencoba menatap Syam. Namun, seperti biasa, pemuda itu selalu memalingkan pandangan. Hanya, terdengar nafas kasar sesekali dihempaskan
“Tentang restoran, aku percayakan padamu.” Syam mencondongkan badan. Kedua tangan bertumpu pada lututnya. Telapak tangan yang mulai kedinginan, di gosok-gosokkan, berharap mendapat kehangatan.
“Minggu depan aku berangkat,“ ucap Alya lirih. Kali ini, Syam menoleh, menatap Alya dengan sorot ketidakpercayaan. Seperti ada yang hilang di dadanya, kosong. Tiba-tiba ketakutan kehilangan wanita itu menyergapnya.
“Syam … aku tak punya alasan untuk tetap tinggal disini.“ Setetes bening luruh dari netranya.
“Kecuali … kamu memintaku untuk tinggal.”
Keduanya larut dalan hening. Ada sesuatu yang terkerat di salah satu sudut rongga hati.
***
“Abah! “ seru Syamsudin saat berpapasan dengan Dadang di pemakaman umum.
“Syamsudin, nya?” tanya abah.
“Muhun.” Syam mencium tangan abah. Pria tua itu menepuk bahunya.
Keduanya duduk di kedai kopi yang tak jauh dari pekuburan. Meski awalnya canggung, Syam berusaha untuk mencairkan suasana.
“Syam, abah minta hampura, nya. Karena abah, kalian tidak bisa nikah.” Syam tertegun mendengar permintaan maaf orang yang dulu sangat membenci dan menghinakannya.
“Sanes jodoh, bah. Syam Insya Alloh, tos ikhlas.” Syam berusaha setenang mungkin menata kata. Tak dipungkiri, masih ada nyeri di hatinya. Abah merangkul pemuda itu. Penyesalan akan perlakuan buruknya, begitu dalam.
“Abah, menta hampura pisan, Syam.”
Keduanya menangis saling melapangkan. Mak Onah yang tak sengaja mendengar percakapan keduanya, turut menitikkan airmata. Kisah cinta yang lara antara Siti dan Syam sudah menjadi rahasia umum di desa Sukahati ini.
***
Handy dan Siti tiba di rumah abah. Keduanya disambut penuh sukacita oleh pria dan wanita setengah baya itu. Mereka menangis haru melepas rindu. Sudah lima bulan tak bertemu.
“Kirain teh udah lupa sama ambu,” goda Ambu.
“Gak atuh, Ambu.” Siti bergelayut manja di pelukan ambu.
“Udah isi belum,” Wajah Siti memerah ditanya begitu. Dia menggeleng
“Gak apa-apa, masih muda ini, bobogohan dulu aja.” Ambu terkekeh.
Ambu dan bi Ucum, asisten rumah mereka, menyiapkan berbagai hidangan menggugah selera untuk menjamu putri dan menantunya. Meski dilarang, Siti tetap berpartisipasi di dapur. Sementara abah ngobrol dengan Handy. Kepiawaian abah melucu, membuat menantunya tak kuat menahan tawa.
Esok paginya, sepasang suami istri yang berbeda selisih usia cukup jauh ini berjalan kaki menyusuri desa. Tak ada perubahan signifikan di kampung ini. Petak-petak sawah masih terhampar di kiri kanan jalan. Mendekati musim panen, padi mulai menguning.
Handy menuntun Siti menyusuri pematang sawah, sesekali menyentuh padi-padi yang melambai diterpa angin pagi.
“Air terjun di balik bukit itu, gak jauh sih, tapi jalannya susah!”
“Tak masalah, ayo!“ Handy mengenggam tangan Siti untuk menaklukan bukit terjal menuju air terjun di baliknya. Jalan cukup licin dan menanjak. Dengan nafas tersengal keduanya hampir sampai.
“Huh, cape banget, istirahat dulu, ya, aku gak kuat.” Siti menyelonjorkan kakinya di antara bebatuan.
“Ayo, sebentar lagi sampai, suaranya udah kedengeran, kan.” Sebelum istrinya bicara, Handy sudah menggendongnya. Siti melingkarkan tangan di leher suaminya. Dia tak menolak sebab sudah tak sanggup lagi jalan.
“Waaa, indahnya!” Siti berteriak saat menyaksikan pemandangan menakjubkan di tempat itu. Air terjun setinggi 70 meter jatuh kecekungan kolam penampungan dibawahnya. Dua tebing berundak-undak mengapit. Bebatuan alam tersebar di sepanjang cekungan. Pepohonan hijau beragam ketinggian memenuhi area ini.
“Ayo!” Setelah meletakkan ransel, Handy menarik tangan Siti menuju cekungan tempat jatuhnya air terjun.
Keduanya mencelupkan kaki dan tangan sambil duduk di bebatuan sisi kolam. Lelah dan panas yang mendera, hilang seketika. Handy menikmati resapan tiap tetes air di wajahnya. Lalu … mencipratkan air ke wajah Siti.
“Aaaa, nakal!” Siti tak mau kalah. Tak tanggung menggunakan dua telapak tangan air dicipratkan pada Handy. Permainan cipratan air berlanjut hingga ….
Byurr! Handy menarik siti masuk ke kolam.
“Sayaaaang, apaan siiiih, dingin tauuu!” Siti berteriak kesal pada suaminya. Handy tertawa dan merangkulnya.
Dari kejauhan seseorang menyaksikan kebahagiaan membuncah dari sepasang manusia di depan sana. Syam terpaku, sorot matanya meredup. Diraupnya udara sebanyak yang dia mampu. Dihembuskan sehela demi sehela.
Seketika Ingatan Syam kembali ke masa lalu. Dia pernah mengajak Siti saat berusia 8 tahun sedang dirinya 16 tahun.
“Kita nanti kesini lagi, ya, Kang,” ucap Siti kecil.
“Kalau sudah besar, akang gak boleh bawa Siti ke sini, kan bukan mahrom, kecuali, kita menikah, kalau Siti sudah besar, mau gak nikah sama akang?” Siti mengangguk tanpa tahu apa maksudnya.
“Berarti kita bisa kesini lagi?” Syam menggangguk. Siti kecil tertawa riang dalam gendongannya.
Hari ini, Syam dan Siti memang ke tempat ini, tapi tidak bersama, tidak sebagai suami istri. Di sana, wanita terpujanya tengah mengecap bahagia bersama suami tercinta, sedangkan ia hanya berdiri memandangnya.
Syam menyeka sudut mata yang telah basah. Pemuda itu berlalu meninggalkan segala kenangan yang tak boleh terus digenggam.
Menyaksikan realita ini, Syam memutuskan akan terbang ke Jerman menuju seseorang yang mungkin bisa menyembuhkan lukanya, Alya ….
Kadang manusia merutuki takdir saat tak sesuai inginnya. Padahal mungkin, dikemudian hari, dia berbahagia akan garis yang tertulis untuknya.
Jangan berprasangka terhadap derita yang menimpa. Bisa jadi dia adalah gerbang bahagia yang di damba. Saat manusia meminta pada Sang Pengabul Doa, mintalah juga untuk sanggup meniti rute pengabulan doanya.
*****
“Siapa tuh?” Clara duduk di samping putrinya. Sekilas melihat foto laki-laki di ponsel Alya.
“Boleh lihat,” pintanya. Alya menyerahkan gawai. Clara menaikkan alis melihat foto tersebut.
“Ini bukannya pegawai kamu?” Clara menatap Alya mencari kepastian.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Jangan bilang kamu ….” Clara terlihat tak suka dengan tebakannya.
Alya tak menjawab. Dia sudah menyangka reaksi mami akan begitu.
“Ada apa?” Papi menghampiri keduanya. Langsung duduk di dekat Clara. Wanita itu menyerahkan ponsel putri mereka.
“Ganteng, keliatannya baik, penyayang,”
Papi tersenyum ke arah Alya.
“Pih, dia itu pegawainya Alya, kalau gak salah dia juga beda agama, kan?”
“Mereka bisa kerjasama ngurus perusahaan kita, agama itu soal keyakinan masing-masing, gak masalah kan?” sela papi.
“Papi! Apaan sih, pokoknya mami gak setuju!” Mami bangkit dan pergi meninggalkan mereka. Alya bergeming melihat reaksi mami. Dulu pun pernikahannya dengan Simon tak direstui. Dia tak habis pikir, kenapa setiap pilihannya selalu ditentang.
“Apapun pilihanmu, papi dukung,” ucap papi lembut. Roger senang Alya menemukan penyembuh luka. Dia tahu betul bagaimana putrinya menderita saat Simon meninggal.
“Kalau aku pindah keyakinan, bagaimana?”
“It’s your choice.” Alya memeluk papi yang sangat mengerti dirinya. Meski demikian tetap dia bersedih mengingat mami pasti akan menentang habis-habisan.
Roger sendiri seorang atheis. Dia tak peduli terhadap agama. Baginya itu candu. Tapi, pria itu pun tak melarang anggota keluarganya menganut agama manapun, selama tak mengusik dirinya.
Mayoritas keluarga Alya tinggal di Jerman. Mereka membangun usaha, bekerjasama dengan para pengusaha Jerman. Sebagai negara industri besar, gairah produksi negeri ini sangat kuat. Hanya saja, negeri ini kekurangan tenaga kerja. Rendahnya laju pertumbuhan penduduk, membuat minim generasi penerus.
Kebebasan sex tanpa batas di negeri ini telah membuat sepinya peminat pernikahan. Bagi mereka, mendapatkan kepuasan sex bisa dengan siapa saja, dengan apa saja dan dimana saja. Hal itu berefek pada minimnya kelahiran. Sementara tingkat kematian rendah.
Alya bergegas keluar dari kantor, hari ini sangat melelahkan. Tumpukan berkas di meja kerja, sukses membuat mata dan tubuhnya kehilangan vitalitas.
Langkah kakinya terhenti saat melihat sosok yang tak asing. Seseorang yang namanya tersimpan rapi di sudut hati. Pemuda itu tersenyum di ujung lobi. Menatapnya lembut, memancarkan kharisma tersendiri.
Syam …!
Pria dengan tinggi 180 sentimeter itu menghampiri wanita yang terpaku di seratus langkahnya. Syal yang tergantung di leher menyangatkan pesona sang pemuda.
Kini mereka hanya berjarak lima langkah saja. Hanya dengan saling tatap seolah semua telah terungkap. Perasaan yang terhalang kenangan mulai memancarkan sinarnya. Cahaya itu mampu meredupkan bayang yang selaku mencengkram.
“Stay with me,” ucap Syam dengan suara berat.
“Bantu aku menyembuhkan luka.” Syam mengeluarkan kotak beludru merah dari saku jas panjangnya.
“Willst du mich heiraten?” (Maukah menikah denganku?)
Alya sibuk menyeka airmata yang mengalir tanpa henti. Wanita kuat dan mandiri itu menjadi lemah di hadapan sosok pujaannya. Apa yang sangat didamba siang dan malam, kini nyata. Syam mempersuntingnya. Meminta menjadi pendamping hidup. Pemuda itu membawa separuh jiwa kembali.
“Ja.” Hanya itu yang sanggup keluar dari mulutnya. Terlukis senyum secerah mentari pagi di sudut bibir Syam.
“Aku mau bertemu orangtuamu sekarang,” tuturnya lembut. Alya menatap Syam dengan binar bahagia. Keduanya tersenyum dengan arti yang sama.
Alya membawa Syam menemui papi di ruangannya. Terletak di lantai 18 gedung pencakar langit di distrik Mitte, Berlin, Jerman.
Papi menyambut ramah kehadiran keduanya. Setelah berbasa-basi, Syam mengungkapkan maksud kedatangannya.
“Saya meminta izin untuk menikahi putri anda,” pinta Syam sopan. Sekuat mungkin dia menahan suara agar tak nyata getaran. Nyalinya ciut juga menghadapi calon mertua sekelas Roger Kim. Alya pun tak kalah tegang. Jari jemarinya tertaut di atas rok hitam selutut yang dikenakan.
“Kapan rencana pernikahannya?” Roger bertanya balik.
“Besok,” Ayah dan anak itu terbelalak mendengar jawaban Syam.
“Alya bisa diwalikan oleh salah satu staf kedubes RI yang muslim, kami menikah secara agama saja dulu, legalisasi negara akan diurus setelahnya.”
Papi manggut-manggut. Alya semakin gemetar dibuatnya. Dia tak menyangka akan secepat ini. Airmata kembali luruh membasahi pipi.
Keesokan hari, Alya bersyahadat di hadapan mami dan papinya. Meski tak rela, Clara tak bisa mencegah keputusan putrinya.
Syam mengucapkan akad nikah dengan salah satu staf kedubes RI sebagai wali hakim bagi Alya. Akad yang berlangsung sederhana itu mengharu biru. Peluk mesra, tangis haru memenuhi ruangan akad.
Syam mencium dan memeluk Alya untuk pertama kali. Hatinya telah ikhlas menerima garis takdir Pemilik Kehidupan. Perlahan nama Siti memudar. Untuk kelak menghilang tanpa jejak. Istrinyalah yang akan melukis hari-hari ke depan. Bersama merenda bahagia.
***
Alya menggeliat saat sentuhan lembut menerpa pipi. Matanya mengerjap mencari pemilik kelembutan itu. Pertemuan Pandangan membuatnya merona malu.
“Shalat dulu, yuk,” bisik Syam lembut.
“Nanti boleh tidur lagi kalau masih lelah,” godanya.
“Aku gak lelah,” kilah Alya. Mukanya makin memanas.
“Berarti ….” Syam mengedip nakal. Alya mengerucutkan bibir sambil mendorong tubuh suaminya manja. Pria itu tertawa perlahan. Tanpa lama, digendong istrinya menuju kamar mandi.
Alya dan Syam bergandengan tangan menyusuri taman kota Grunewald yang sangat hijau dan asri di Berlin. Taman ini dibangun di atas area seluas 3000 hektare. Terletak di sisi barat Berlin, tepatnya di tepi sungai Havel. Terdapat danau dan kolam di dalamnya.
Alya bersandar di bahu Syam menikmati keindahan pepohonan hijau nan rimbun yang terbentang sepanjang sungai. Keduanya menikmati kebersamaan yang tertunda. Melupakan segala kesedihan di masa lalu, menyongsong kebahagian yang dianugerahkan Sang Pemilik Ketentuan.
***
“Jadi beneran lo udah nikah?” Lea menatap Siti mencari kepastian.
“Iya,” jawab Siti singkat.
“Sama Reno?” Siti menggeleng.
“Sama papanya Reno.”
“Haaah, whaaat, Oh My God!“ teriak Vivi.
“Jadi, Reno anak tiri, lo?" Sesil memastikan ulang. Siti mengangguk.
Ketiga temannya terbengong-bengong mendapati kenyataan di luar dugaan. Berbagai tanya dan sangka bergelayutan di otak masing-masing.
Bagaimana mungkin Siti yang cantik jelita menikah dengan om-om. Apakah dia matre? Sepertinya tidak juga, temannya itu berperangai mulia. Lalu, apa dong? Cinta? Atau kawim paksa seperti di cerita novel Siti Nurbaya? Mereka pun pusing memikirkannya.
Di tengah berkecamuknya seribu tanya, sebuah lamborghini merah berhenti tepat di depan Siti dan temannya. Handy turun dan menghampiri istrinya.
“Sayang, dah lama nunggu?” Handy meraih tangan Siti mesra. Sekali lagi tiga mahasiswi itu ternganga melihat pandangan indah di depannya.
Om gini mah, gua juga mauuuuu …!
Jerit hati ketiganya.
***
“Huss, huss, belum beres nih!” Siti mendorong tubuh suaminya yang terus mengganggu.
“Aku kalah sama laptop, menyedihkan,” ungkapnya dengan raut dibuat sesedih mungkin.
Siti tertawa geli. “Besok harus dikumpulkan, dikit lagi, kok,” rayunya.
“Lima menit lagi, ya,” rajuk Handy.
“Mana bisa, haduh, satu halaman lagi.” Siti mendelik. “Makanya jangan ganggu, supaya cepet selesai,” ucapnya.
Siti kembali berkutat dengan tugas kuliah. Sementara Handy tetap duduk di samping memilin rambut istrinya. Bosan didiamkan, tangannya beraksi.
“Awww!” pekik Siti. Handy tertawa lepas.
“Berhenti mengganggu atau tak ada jatah!” Akhirnya ultimatum itu harus dikeluarkan untuk menghentikan kejahilan suaminya.
“Ampun Nyonya, aku berhenti deeeh, muach!“ Sebelum istrinya makin ngamuk, dia kabur. Siti menggelengkan kepala dan kembali mengerjakan tugas.
“Alhamdulillah selesai juga,” lirih Siti. Setelah merapikan peralatan, dia segera keluar ruangan mencari suaminya.
Siti mencari di berbagai ruangan yang biasa ada Handy. Setengah jam memutari, hasilnya nihil.
“Rindu yaaa,” bisik Handy yang tiba-tiba merangkul dari belakang.
“Ish, darimana sih, capek nih,” rajuk Siti. Tanpa lama badannya sudah berada di gendongan Handy.
“Pijitin,” rajuk Siti manja.
“Siap cantik!“ Handy memijat tubuh istrinya perlahan. Sesekali sikap isengnya muncul, lalu mereka berderai tawa.
Selama dua tahun pernikahan, hari-hari mereka lalui penuh kemesraan dan canda tawa. Meski demikian, kehidupan tidaklah semulus jalan tol. Masalah akan selalu datang silih berganti.
Hari minggu ini, Saat Handy dan Siti bersantai di rumah, datang tamu dari masa lalu.
“Hay sayang, lama tak jumpa!“ Seorang wanita cantik menggendong bayi berusia satu tahunan berdiri di hadapan keduanya.
Dari tampilan terlihat dia seseorang yang sangat memperhatikan style. Dress ketat dipadu heels senada, menampilkan setiap lekuk tubuhnya. Cantik dan menggoda.
“Sayang, itu papa kamu,” ucap wanita itu pada putri kecilnya. Dia berjalan menghampiri Handy. Wangi parfum khas sosialita menyeruak menggoda indera penciuman.
“Apa maksudmu, Ivone?” Wajah Handy terlihat tegang. Siti tak kalah terkejut mendengar ucapan wanita itu.
“Sorry Han, waktu kita cerai, aku lagi hamil anak kamu, karena takut diambil, aku gak bilang,” terang Ivone. Ada ketakutan di rona wajahnya.
“Ivone!” Mata Handy menyalang, dengus kesal keluar dari mulutnya.
“Kalau kamu gak percaya, tes DNA aja,” tukas Ivone. Wanita itu mengulurkan Adela pada Handy. Sekilas anak itu memang mirip dengannya.
“Aku mau nerusin karir modeling, gak bisa rawat dia, please tolong jaga Adela Sanjaya,” ujar Ivone.
“Aku juga gak bisa kasih ke papi dan mami, kamu taulah,” lanjutnya.
Handy mengambil Adela dari pangkuan Ivone. Tangan bergetar saat menggendong putri kecilnya. Dia menciumi dan memeluk erat. Siti terpaku, perasaannya campur aduk. Tubuh pun mendadak lemas.
“Aku bakal rutin jengukin dia, kok,” lanjut wanita itu
Deg! Siti menegang mendengar pernyataan tersebut. Artinya, Handy akan sering bertemu dengan wanita itu. Mereka akan sering bersama ….
Bagaimana kalau mereka kembali cinta …?
“Bolehkan Nyonya Handy?” pertanyaan yang serupa penekanan itu menyadarkan Siti dari lamunannya.
“Eh, tentu saja.” Siti tergagap menjawab pertanyaan Ivone.
“Thanks, ya. Aku permisi dulu, mau persiapan pemotretan.” Ivone mencium putrinya. Dia melenggang pergi tanpa beban. Anak itu merengek saat melepas ibunya. Namun, Handy berhasil menenangkan.
Siti bermaksud pergi ke kamar, hatinya tak karuan, bukan karena Adela. Tapi lebih sebab ketakutan akan kehadiran Ivone. Namun, langkahnya ditahan genggaman Handy.
“Mah, kita maen, yuk!” Handy menggamit tangan Siti menuju taman.
Sesaat Siti lupa pada Ivone, terlarut dalam canda tawa bersama Handy dan Adela. Bayi kecil yang lucu memberi warna baru bagi keduanya.
“Kita bikinin adek buat Adela, yuk.”
“Ssst, nanti Adela denger.” Siti menyimpan telunjuknya di bibir Handy. Pria itu tertawa.
“Dia itu bayi sayang, mana ngerti.” Siti menepuk jidat, menyadari kekonyolannya.
“Mama Adela cantik, ya,” sindir Siti.
“Cemburu, ya?” Handy malah menggodanya.
“Siapa yang cemburu, weee!” Siti meleletkan lidah.
“Mata kamu bilang gitu.” Handy mendekatkan wajahnya hingga napas menyapu bibir Siti. Sesaat mereka larut dalam sentuhan memabukkan.
“Love you,” bisik Handy mesra.
Bersambung #5
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel