Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 09 Januari 2020

Cinta Siti Nurbaya #5

Cerita bersambung

“Masih lama, kah?” Alya merangkul Syam dari belakang kursi. Kepala diletakkan di bahu suaminya. Wangi rambut dan tubuh menggelitik pria itu.

“Sedikit lagi, sayang,” tutur Syam lembut.
“Aku gak bisa tidur,” bisik Alya.
“Kau menggodaku?” Syam menarik Alya dan mendudukkan di pangkuan. Disesapnya bibir wanita itu mesra.

“Tidurlah,” bisiknya. Dia melanjutkan tugasnya dalam posisi memangku Alya.
“Jangan nakal, ya,” goda Syam. Alya mengerucutkan bibir. Dia begitu nyaman dalam dekapan suami tercinta. Beberapa saat kemudian, napas wanita itu sudah terdengar teratur.

Alya tak biasa tidur tanpa pelukan suaminya. Dia rela menunggu Syam hingga larut demi bisa tidur bersama. Pria itu bagai candu yang membuatnya terbuai.
Setelah selesai, Syam mengendong tubuh Alya dan membaringkannya di atas kasur. Pria itu merebahkan diri di samping istrinya. Matanya belum dapat terpejam.
Syam merasa beruntung menikah dengan Alya. Selain cantik, wanita itu mudah menerima kebenaran. Apapun bimbingan agama yang dia berikan, tak sulit dilaksanakan.
Alya juga antusias untuk mempelajari ajaran Islam lebih jauh. Setahun ini,  dia sudah banyak memahami ajaran agamanya.
Besok mereka akan pergi ke Jerman untuk menghadiri pernikahan adik Alya. Rasa enggan menyelimuti hatinya. Syam sudah dapat membayangkan penghinaan yang akan dilakukan mami dan saudara-saudara istrinya.
Meski saat ini dia yang mengendalikan perusahaan milik Alya, tetap saja anggapan rendah itu disematkan padanya. Pria matre, benalu dan berbagai stigma buruk lain kerap mengoyak harga diri.
Alya sering menangis akibat perlakuan mami dan keluarga pada Syam. Tak jarang mereka adu mulut. Kalau sudah begitu, pria itu akan membawa istrinya menjauh.
Berbeda dengan papi. Pria itu justru merangkul Syam. Memberi kepercayaan dan membimbing terkait pengurusan perusahaan. Bahkan pada pertemuan terakhir tiga bulan lalu, dia mulai membuka ruang diskusi terkait Islam.

“Alam raya ini hanya sekumpulan benda yang saling terikat dengan sendirinya. Jadi tak perlu Tuhan untuk mereka ada dan teratur.” ucap Roger.
“Betul, kumpulan benda yang saling terikat akan membentuk aturan tersendiri diantara mereka. Sehingga bisa berjalan semestinya. Namun ada hal lain diluar benda ini yang membuat benda itu begitu.”
“Maksudnya?”
“Air sudah alaminya bisa mendidih jika bertemu benda yang bisa mendidihkan.  Bisa membeku jika bertemu benda yang bisa membekukan.”
“Nah, itu yang saya maksud benda itu hanya butuh benda untuk hidup.” tukas Roger.
“Tapi, untuk menjadi didih, air perlu titik didih yang dia tak bisa melampauinya, tak bisa mengurangi dan tak bisa menambahkan. Siapa yang menentukan titik didih air itu 100 derajat celcius?  Apakah air? Tentu bukan, sebab air sendiri mutlak menerima ketentuan titik didih itu. Air tak bisa menjadikannya 120 derajat dan 80 derajat. Kesimpulannya ada sesuatu diluar materi air yang menentukan titik didih. Dialah Tuhan Pencipta air.”
“Okey, tapi kenapa Tuhan tak bisa dilihat. Tak mungkin saya bisa meyakini sesuatu yang tak nampak,  tak terdengar.”
“Keberadaan sesuatu yang zatnya tak terjangkau oleh indera manusia belum tentu tak ada.  Keberadaannya bisa kita yakini dari jejak yang bisa diindera. Seperti ketika kita berjalan di tanah. Lantas ada tapak ban mobil. Akal sehat akan mengatakan bahwa ada mobil yang pernah melintas di tanah itu,  sebab ada jejak bannya. Jadi asal ada jejak,  bisalah kita menyakini keberadaan sesuatu yang tak terindera.”
“Alam ini adalah jejak keberadaan Pencipta. Jadi adanya alam menunjukkan adanya Pencipta alam. Terlebih, kalau kita mau jujur memperhatikan alam, akan ditemui berbagai kelemahan yang melingkupinya. Sesuatu yang lemah tentulah butuh kepada yang lain,  siapa lagi kalau bukan Pencipta alam.”

Sejak itu Roger sering bertanya pada Syam terkait Islam. Baik darat maupun online. Pemuda itu menyerahkan semua kepada Alloh, manusia hanya bisa menyampaikan bukan membalikkan hati.
***

“Selamat berbahagia Merin, Alex,” ucap Syam dan Alya.
“Makasih, ya, Kak Alya, Kak Syam.” sahut kedua pengantin.

Pesta pernikahan dua anak dari konglomerat ternama ini digelar spektakuler. Tamu undangan hadir dari berbagai kalangan papan atas. Pejabat, pengusaha juga selebritis berseliweran di gedung nan megah.
Pakaian tertutup Alya cukup mengundang perhatian. Tatapan kaget, aneh, risih hingga sinis bak laser menyorot ke arahnya. Sedetik pun Syam tak melepaskan genggaman, menguatkan jiwa istrinya. Menyampaikan tersirat bahwa kita akan menjalani bersama.

“Alya,  sepertinya kamu memang sudah di sihir oleh Syam. Segitu tunduknya. Harta,  jiwa, raga kamu serahkan semua. Cih, benar-benar buta kamu!” Mami menghampiri keduanya hanya untuk menghardik.
“Mami udah deh, bentar kami juga pergi!” ucap Alya dengan emosi. Syam menguatkan pegangannya. Berusaha menenangkan.

“Baguslah, mami juga malu jadi cibiran gara-gara kamu pake baju teroris gitu!”
“Maaf, Mami boleh menghina kami. Tapi tolong jangan menghina ajaran kami. Pakaian Alya adalah salah satu syariat Islam bukan teroris.” Syam yang sedari tadi diam, angkat bicara saat pakaian Alya dihina.

Seorang muslim akan meradang jika syariat Islam dihina. Itulah tanda cinta pada Islam. Sedangkan muslim yang diam akan penghinaan Islam. Sepertinya patut dipertanyakan kadar keimanannya.
Para penghina Islam dari kalangan muslim sendiri bisa jadi dia bodoh pada agamanya. Orang seperti ini harus disuruh memperdalam Islam agar tidak terus jahil. Sedangkan mereka yang mengaku paham Islam tapi menghina agamanya sendiri, bisa jadi mereka itu fasik dan munafik. Orang model begini harus disadarkan sampai bangun dari kefasikan dan kemunafikannya. Tentu, tanpa menghindari hukuman setimpal atas mereka.
Sedangkan penghina dari kalangan non muslim. Mereka harus dipahamkan bahwa Islam itu agama toleransi tingkat tinggi. Selama mereka tak macam-macam akan dihormati, dijaga, tak diusik. Tapi kalau berbuat ulah, kaum muslimin siap mati demi membela agamanya.

Mami menghentakkan kaki meninggalkan mereka. Syam mengelus dada menetralisir emosi. Baru kali ini tersulut oleh mami. Dia menggamit tangan Alya untuk mengajaknya pulang.

“Hay,  sudah mau pulang, nantilah.” Roger menepuk bahu menantunya. Pria itu sudah tertawan oleh pesona sang pemuda. Kejujuran, kesantunan dan keprofesionalan Syam membuatnya kian cinta.
Roger melihat betapa hidup Alya jauh lebih bahagia dibandingkan bersama Simon. Tak pernah terdengar keluhan dari mulut putrinya. Berbeda dengan kehidupan rumah tangga kakak dan adiknya yang senantiasa diliputi percekcokan, perselingkuhan bahkan kekerasan.

“Kami masih di hotel, belum ke Jakarta, Pih.” ucap Syam sopan.
“Owh, okey,  nanti Papi ke hotel kalian. Pengen ngobrol lagi nih sama menantu yang pinter banget.” Roger terkekeh.

Syam memeluk papi erat.  Lalu berpamitan pada mami dengan sopan meski diabaikan.
***

“Adelaaa, baaak!” Siti seharian bermain bersama Adela. Meski sudah dua tahun menikah, belum ada tanda kehamilan. Sebagai wanita dia rindu hadirnya seorang anak. Keberadaan putri kecil itu sangat menghibur.
Sudah seminggu Adela di rumah. Tak ada kabar dari Ivone terkait keberadaannya. Entah, apakah tak bilang juga pada Handy.

“Ayo, satu, dua!“ Siti sedang membimbing Adela berjalan.

Hup! Siti merengkuh tubuh Adela yang akan jatuh. Dia menciuminya dan tertawa bahagia.
Tawanya terhenti saat melihat dua orang menghampiri. Handy mencium Siti dan Adela. Sementara Ivone meraih putrinya.

“Mama kangen sayang,” ucap Ivone. Dia tak henti menciumi Adela.
“Makasih, ya, mama Siti.” Adela menoleh pada Siti yang diam terpaku.
“Maaf, ya merepotkan,” tambahnya.
“Gak, kok!”

Melihat kedatangan Handy yang bersamaan dengan Ivone, hati Siti terusik. Rasa panas menyelusup tiba-tiba.

“Oh, ya, kamarku di mana, Han. Pengen mandi dan ganti baju dulu,” ucap Ivone sambil menyerahkan Adela pada Handy.
“Di kamar tamu kanan ujung, tahu kan?”
“Of course!” Adela segera melangkah menuju kamar tamu yang tentu saja dia hapal. Setahun menjadi nyonya di sini cukuplah untuk mengenal seluruh ruangan secara detil.

Tanpa kata, Siti pergi meninggalkan Handy yang sedang asyik mencandai Adela. Dia pergi dengan hati dongkol setengah mati. Bagaimana bisa mereka datang bersama? Bagaimana mungkin Ivone akan menginap di rumah mantannya?
Melihat sikap istrinya, Handy terdiam. Ada rasa bersalah tiba-tiba menjalari hati. Bagaimana mungkin dia tak memberitahu Siti perihal ini? Bagaimana mungkin dia mengabaikan perasaan istrinya?
Handy bergegas mengikuti langkah Siti. Tak sulit untuk menyejajari langkah. Diraih tangan istrinya cepat.

“Sayang, marah ya?”
“Maaf, ya,” rayu Handy. Siti bergeming hingga masuk ke dalam kamar.
“Adela bilangin, Papa minta maaf gitu?”
“Mama, Papa minta maaf.” Handy mencemprengkan nada suaranya. Meniru suara bayi.
“Adela, mama masih ngambek. Kita sun, yuk.”

Handy mendekati Siti. Memeluk dan menciumnya. Wanita itu melotot dan mengibaskan pelukan. Lantas merebahkan tubuh di kasur.

“Yah, gak mempan, Del. Kita pijitin kaki mama. Cape, ya, Mah?”
“Mah, udahan dong marahnya.” rajuk Handy sambil satu tangannya mengusap-usap kaki Siti.

Merasa usahanya tak berhasil, Handy keluar untuk menyerahkan Adela pada baby sitter. Tak lama dia kembali ke kamar untuk merayu istrinya habis-habisan.
Handy melihat Siti sedang menangis. Melihat itu, hatinya makin merasa bersalah. Diraih tubuh istrinya, didekap erat.

“Maaf,” bisik Handy. Tangisan Siti makin besar. Kali ini, dia benar-benar kesal. Harga dirinya terinjak. Seolah pembantu yang sedang menjaga anak majikannya.
Meski tangisan reda, Siti tak juga bicara. Dia mematung walau suaminya terus mengibarkan bendera perdamaian.

“Kita makan, yuk!” digamitnya tangan Siti menuju meja makan.

Siti dan Handy makan dalam kebisuan. Sesekali terdengar denting sendok beradu dengan piring.

“Boleh gabung?” Ivone dengan dress merah yang mengekspos lekuk tubuh duduk di samping Handy.
“Silahkan,” jawab Handy.
“Sepertinya Adela lengket sama mama Siti, ya.” ucapan Ivone memecahkan keheningan.
“Iya, Papanya aja kalah,” ucap Handy mencoba memecahkan kekakuan. Siti tersenyum sekilas dan kembali asyik menyuap makanan yang terasa pahit di lidahnya.

“Aku sudah beres, duluan ya, mau ngerjain tugas kuliah!” tanpa menunggu lama, Siti bangkit segera pergi dari ruang makan.

Handy bermaksud mengejar. Namun, langkahnya tertahan saat Nia pengasuh Adela datang.
Putri kecil itu menangis tak berhenti. Nia tak bisa menghentikannya. Diserahkan Adela pada Ivone.

“Maaf, Nyonya, saya sudah coba mendiamkan tapi makin kencang, saya jadi takut!”
“Ya sudah, kamu kembali ke kamar!” perintah Handy.

Handy dan Ivone mencoba menenangkan Adela. Mereka bergantian memangku. Di satu sudut Siti memperhatikan. Sesak makin menggila di dadanya.

Mendengar tangisan Adela yang cukup kencang, Siti memutarkan badan, bermaksud mencari suara itu. Tak disangka dia malah menyaksikan pemandangan mengiris hati di depan sana.
Handy dan Ivone duduk tanpa jarak mencandai anak mereka. Mata Siti basah menatap ayah, ibu dan anak yang tengah bahagia.
Apakah ini saatnya dia keluar dari kehidupan Handy? Inilah titik akhir perjalanan itu. Ini baru Ivone, bagaimana dengan yang lain? Dia seolah menunggu kematian saja.

“Mah, lagi apa?” Suara Reno mengagetkan semua orang yang ada di ruangan itu.

Handy kaget setengah mati menyadari Siti memperhatikan mereka. Reno tak kalah terkejut melihat adegan di depannya.

“Mama Ivone, lama tak jumpa!” Reno mencoba mencairkan ketegangan yang terjadi.
Siti memutarkan badan dan meninggalkan ruangan, disusul Handy. Reno menahan Ivone dan Adela.
“Aku mau pulang!” Siti membuka lemari dan mengambil beberapa pakaian.
“Pulang kemana? Ini rumahmu, sayang.” Handy berusaha bicara setenang mungkin.
Dia memegang tangan Siti yang sedang mengemasi baju.

“Lepas!” Siti mengibaskan tangan Handy. Tapi percuma karena cengkraman begitu kuat.
“Jangan salah paham. Tadi Adela menangis histeris. Aku dan Ivone berusaha menenangkan,” jelas Handy.
“Jangan salah paham? Lucu!” Siti bicara sinis.
“Sayang, aku harus bagaimana supaya kau mengerti?”
“Tuan Handy, izinkan aku pulang!”
“Tidak boleh!”
“Aku tidak mau mengganggu kebahagiaan ayah, ibu dan anak yang baru bertemu! Mungkin waktuku memang sudah habis. Aku harus tahu diri. Sebelum dibuang, baiknya mundur saja!”
“Kau bicara apa!” Kali ini Handy tak bisa menahan emosi. Siti terkesiap mendengar suara tinggi suaminya.
“Serendah itukah kau menilaiku, nona! Kau pikir aku hanya menjadikanmu pemuas nafsu! Tak bisakah kau melihat bahwa aku tulus mencintaimu! Nona, aku menutup mata pada semua wanita sejak menikah denganmu! Tak cukupkah itu!”

Amarah Handy sudah pada puncaknya. Dia tak menyangka, Siti masih berfikir begitu. Padahal pernikahan mereka sudah berjalan dua tahun.

Siti bergetar melihat amarah suaminya. Badan luruh ke lantai. Sakit, kesal, sesal berpadu mencabik hati. Bulir-bulir bening berlomba menerjang pertahanan. Cemburu telah membutakan rasio. Hawa nafsu menguasai diri.

“Kalau kau mau pulang, aku izinkan. Kita mungkin harus merenung, membeningkan hati masing-masing.”

Derap langkah kaki Handy makin menjauh. Seiring derai air mata yang luruh tiada henti. Hening, hampa itu menjelma, mencipta kekosongan raga.
Memperturutkan emosi kadang membutakan akal dan hati. Karenanya keburukan satu kali mampu menghempaskan kebaikan segunung himalaya. Tetaplah menjernihkan akal, membeningkan hati. Pandang suatu masalah dari semua sisi, bukan hanya yang terlihat saja. Siapa tahu ada yang tak utuh di sana.

*****

“Berhentilah jadi model. Aku akan tanggung hidupmu dan Adela. Berapapun kau mau!” Handy menyulut rokok, menghisapnya dalam dan menghembuskan kuat-kuat. Kepulan asap bergelombang memenuhi kafe tempat mereka bertemu.

“Hhhhh!” Ivone menatap Handy lekat. Kalimat itu paling dia benci sedari dulu.
“Kamu ngajak balikan?”
“Tidak!” jawab Handy tegas. Ivone tertawa keras.
“Kau banyak berubah sayang.” Ivone mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
“Lantas, buat apa aku ikuti saranmu?” Ivone menghisap rokok dalam-dalam. Lalu menghembuskan asap kuat-kuat.
“Aku tak mau Adela seperti orang tuanya. Didiklah dia dengan baik. Kebutuhan kalian aku yang penuhi,“ ucap Handy. Sorot matanya penuh asa.
“Aku akan tinggal di Paris, John melamarku. Aku akan serahkan Adela padamu. Siti lah yang mampu menjadikan putri kita baik .” Ivone menyesap Caffucino yang masih mengepulkan asap beraroma menggoda.

Handy menghela nafas dalam mendapati sifat keras mantan istrinya. Semudah itu dia serahkan putri yang dilahirkan dengan pertaruhan nyawa.

"Aku harus pergi, Adela sebulan ini bersamaku. Setelah jelas kapan kepindahan, baru kuserahkan!" Ivone bangkit.
“Oh ya, sepertinya bukan Siti yang akan mati kalau kalian pisah. Tapi kamu, Han! Ego gak akan menyelesaikan masalah. Bawa dia pulang!” Sebelum melangkah Ivone masih sempat mengucapkan kalimat yang menohok jantung Handy.

Handy membenarkan perkataan wanita itu. Seminggu berpisah dari Siti, hidupnya kacau  Dia hampir gila digulung rindu.
***

“Papi masuk rumah sakit!” Alya terlihat cemas saat menyampaikan kabar pada Syam.

Keduanya segera terbang ke Jerman untuk melihat keadaan papi. Tiba di rumah sakit, langsung menuju ruang rawat. Mami membesarkan mata saat melihat kedatangan anak dan menantu yang tempat tinggalnya paling jauh dari mereka. Sementara yang lain belum datang.

“Papi, Al,” ucap mami lirih dalam pelukan Alya.

Syam mendekati papi. Mencium punggung tangannya. Melafalkan sebait doa. Meski demikian, mami masih enggan menyapa dan bersikap dingin.

“Kamu dan mami istirahat saja. Biar aku yang nungguin papi,” ucap Syam lembut pada kedua wanita itu.
“Tapi …!”
“Sayang, kamu lagi hamil muda. Jangan terlalu cape,” tutur Syam. Dia mengecup kening istrinya. Mami sedikit tersentak mengetahui putrinya sedang mengandung.

“Iya Alya, kalau hamil muda gak boleh lelah. Ayo!“ Mami menggamit tangan Alya menuju tempat istirahat.

Setelah kepergian Alya dan mami. Syam membuka laptopnya. Dia bersegera larut dalam file-file perusahaan yang harus dituntaskan.

Keesokan harinya, papi belum juga sadar. Syam dan Alya masih setia menunggui. Ketiga anaknya yang lain baru bisa menjenguk siang ini.

“Sayang, makan dulu. Aku suapin, ya.” Sambil menunggui papi, Syam berjibaku dengan laptop di pagi hari. Alya menyuapi, sesekali menggoda. Dia menarik sendok yang sudah menempel di mulut suaminya.
Syam menoleh dan menjawil hidung istrinya. “Nakal, ya,” ucapnya gemas. Keduanya tertawa perlahan.

Dari kejauhan, mami memperhatikan canda tawa sepasang suami istri itu. Hatinya perlahan mencair menyaksikan kebaikan sang menantu pada putrinya, pada papi, juga dirinya. Tak pernah sekalipun Syam berkata dan bersikap kasar pada mereka, meski selalu direndahkan.

Satu persatu anak-anak papi datang ke rumah sakit. Mereka menyampaikan ribuan alasan akan keterlambatan datang. Malamnya langsung pamit karena besok harus bergelut kembali dengan padatnya agenda hidup.
Mami tertegun melihat kepergian putra-putrinya. Anak-anak yang diperjuangkan dari hamil sampai seberhasil itu, sungguh tak mampu memberi sedikit waktu untuk papi yang entah apakah bisa sadar kembali atau tidak. Tanpa terasa, air matanya meluruh sebagai simbol duka yang mendalam.

“Mi, istirahat saja. Biar aku yang di sini,” ucap Syam hati-hati. Dia tahu wanita itu belum berdamai dengan dirinya.
“Kenapa justru kamu yang begitu baik pada kami.” Mami bicara disela isak tangisnya.

Syam menatap mami lembut.
“Mami dan papi adalah orangtuaku. Sudah seharusnya seorang anak mencintai orang tuanya.” Mami menatap Syam lekat. Ada ketulusan di manik coklat itu.

“Maafin mami, Syam,” ucap Mami lirih.
“Mami ….” Syam tak percaya dengan apa yang didengar barusan. Mami memeluknya. Mereka menangis haru. Saling melapangkan hati, membesarkan jiwa. Alya menghampiri keduanya. Bergabung dalam pelukan hangat dua orang yang dicintai.

Kesabaranlah yang akan menang. Meski pahit di awal namun indah di akhirnya. Apalah arti sebuah derita jika bahagia telah menghapusnya.
***

“Pulanglah, tak baik istri meninggalkan suaminya lama-lama,” Abah menghisap rokok favoritnya dalam. Siti menatap lurus ke jalanan. Keinginannya pulang amatlah besar. Namun, ketakutan senantiasa menghantui. Apakah pria itu masih bersedia menerimanya? Apakah kehidupan mereka akan seindah sebelumnya?
Bayangan Ivone dan Adela selalu mengalahkan keinginannya berjumpa sang suami. Apakah mereka sudah berbahagia di sana? Melupakannya!
Kalau memang Handy masih ingin mempertahankan, mengapa belum kunjung datang? Atau, apakah sudah tak peduli lagi?
Siti menangis pilu di sisi Abah. Batinnya remuk mengingat prahara pernikahan yang selalu berkutat pada wanita di lingkaran hidup suaminya. Dari awal merenda hari, mentalnya sudah di uji. Hingga cinta tertancap begitu dalam, senja itu kembali mengganggu.

"Masalah suami istri itu biasa. Selesaikan saja. Bereskan!" abah memeluk putri semata wayangnya. Meski tak pernah terekspresikan, cintanya begitu dalam. Alasan dulu dia menikahkan Siti dengan Handy,  selain karena kaya juga melihat sorot kebaikan pada pria itu. Menurutnya, Handy lah yang akan mengangkat kebahagiaan putri cantiknya.

“Siti!” panggil Ambu dari arah dapur.
“Iya Ambu, sebentar!” Siti melepaskan pelukan abah dan membersihkan sisa -sisa airmata..
“Kasihin ke mak Ocah, nih.” Ambu menyodorkan sepiring ayam goreng dan semangkuk besar nasi.

Siti bergegas mengantar masakan buatan ambu ke rumah mak Ocah, janda tua renta yang hidup sebatangkara. Kedua orang tuanya menanggung kehidupan wanita tua itu. Abah dan ambu berulang kali meminta mak Ocah tinggal bersama, tapi, selalu ditolak. Alasannya tak mau merepotkan.

Setelah selesai, Siti tak langsung pulang. Dia berjalan menyusuri desa yang masih terlihat asri. Semilir angin menerpa wajah cantik yang terlihat makin tirus. Beban batin yang ditanggungnya sanggup melenyapkan binar bahagia yang biasa menghiasi hari-hari.

Kerinduan menggila pada sosok yang siang malam selalu di sisi, membuatnya jatuh dalam jurang nestapa. Sudah satu minggu, sejak kepulangannya ke rumah abah, hidup terasa hampa. Tak ada lagi canda tawa, rayu mesra, peluk cium sang raja.

Siti mengusap sudut mata yang selalu basah di pagi dan petang. Sakit itu senantiasa bertandang, meninggalkan lara tak berkesudahan.
Menyapa malam tanpa pujaan hanya menggulirkan penderitaan. Terjaga di pagi hari tanpanya di sisi, hanya menyesakkan hati. Merana sudah hidupnya saat ini.
***

Handy membuka pintu kamar. Menatap kosong penuh kehampaan. Tak ada senyum indah, canda tawa, peluk mesra sang bidadari. Hanya derap langkahnya yang terdengar nyaring di keheningan.

Sudah satu minggu wanitanya pergi. Meninggalkan bayangan di setiap inchi hati. Handy melemparkan pakaian kerja ke sembarang tempat. Membiarkan terserak seperti kepingan hatinya kini.
Berpisah membuatnya semakin mengerti, betapa indah saat bersama. Betapa tak berharga hidup tanpa tatapannya. Betapa remuk mendapati pujaan hati meninggalkan dalam kesendirian.

“Hai curang, balikan lagi!”
“Gak bisa. Kalah, ya, kalah!”

Bayangan kebahagiaan selalu menjajah ruang akalnya. Tak secuil pun kenangan dapat terlupa. Handy membuka kartu yang biasa mereka mainkan di waktu senggang. Dia mengocok dan membagikan untuknya dan untuk bayangan Siti.

“Mulai, ya!” Dia mengambil kartu miliknya lalu melempar satu kartu.
“Sekarang kamu!” Handy mengambil kartu di depannya,  lalu memainkan. Begitu seterusnya. Sampai bosan lantas melemparkan semua.

Handy menyambar kunci mobil dan bergegas keluar kamar menuju mobil yang belum dimasukkan garasi.
Mobil meluncur dengan kecepatan tinggi menembus, menyalip puluhan kendaraan. Pekat malam tak menyurutkan terjangan deru mesin lamborghini miliknya. Berkali-kali hampir menabrak mobil yang disalip.
Tujuannya hanya satu menjemput kekasih hati. Buncahan rindu tak mampu lagi dibendung. Gejolaknya semakin dahsyat. Tak bisa menunggu lagi.

Hingga, takdir pun bicara
Brakk! Prakkk!

Sirene meraung menghalau barisan kendaraan yang hendak melintas. Meminta toleransi untuk mendahului. Ada nyawa yang harus diselamatkan saat ini.

Reno berlarian menyusuri koridor rumah sakit. Nafasnya beradu cepat dengan hentakan detak jantung.

“Bagaimana keadaan papa saya!” Reno menghambur ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD.

Dokter menepuk bahunya, menyorotkan tatapan ….

“Ma … Papa ….!” Suara Reno tercekat saat menginformasikan perihal Handy.

Siti terseok berlari di koridor rumah sakit. Kelelahan perjalanan tak seberapa dibanding kecamuk rasa yang mencabik dada.
Handy tertegun melihat sosok yang dirinduinya siang malam berdiri di ujung pandangan.

“Tak rindu padaku?” Handy mengembangkan senyuman, merentangkan tangan menyambut permaisuri.
Siti melangkah dengan deru nafas memburu. Tak tahan, dia menghambur ke pelukan kekasih hati. Rengkuhannya mengguncang tiang infusan. Menyimbolkan, betapa dahsyat kerinduan.
Dalam dekapan suami tercinta, Siti berderai airmata. Entah bagaimana melukiskan suasana hati keduanya.

“Jangan pergi lagi, aku menderita,” bisik Handy. Bahu Siti berguncang menandakan besarnya luapan emosi yang terjadi.
“Maaf, maaf, maaf,” ucap Siti terbata.
“Aku yang harus minta maaf, sayang.” Handy membelai lembut punggung istrinya, mengecup berulang puncak kepala.

Keduanya bertangisan haru. Melepas letupan rindu. Melapangkan hati, meyakinkan diri bahwa tak mungkin mengakhiri cinta yang telah jauh terpatri.

“Aaaa!” Siti dengan telaten menyuapi suaminya. Hari ini dia sangat memanjakan pria yang masih harus menjalani perawatan. Semua obat tak boleh ada yang terlewat. Dia paham betul, suaminya punya banyak jurus untuk menolak menelan pil-pil pahit itu. Tapi,  bukan Siti kalau tak mahir merayu handy.

Selesai ritual makan dan minum obat, Siti duduk di samping suaminya. Handy tak mengizinkan untuk sekedar melangkah keluar kamar. Takut pergi lagi katanya.

“Ivone akan menikah dan tinggal di Paris.” Handy bicara hati-hati pada Siti. Dia tak mau memantik kembali konflik diantara mereka.

“Aku tak mau Adela hidup diasuh oleh ibu yang lebih mementingkan kebahagaiannya sendiri. Terlebih di negeri super liberal,” tambahnya.
“Aku meminta kesediaanmu merawat dan mendidik Adela agar sholehah seperti dirimu.” Ada harapan mendalam di sorot lembut Handy. Siti tersenyum dan mencium bibir suaminya.

“Adela putriku, tentu harus kurawat dan kudidik hingga kita bisa bersama di surga nanti,” tutur Siti. Lolos juga setitik air di sudut mata suaminya.
“Kamu bidadari yang terlempar ke dunia untuk menyempurnakan kebahagiaanku.” Handy mendekap erat bidadarinya. Takkan dia menukar dengan apapun.
***

“Adel, maen sama Papa. Mama lagi gendong adek.“ Handy merengkuh putri cantiknya.
“Gak mau. Pengen Mama!” rajuk Adela.
“Iya, nanti main lagi sama Mama, kalau adek bayi udah bobo,” rayu Handy.
“Gak mau. Mama gak sayang Adel lagi!” Adela berlari keluar kamar sambil menangis.
“Gendongin dulu, biar aku yang kejar,” ucap Siti. Dia menyodorkan bayi yang lima bulan lalu di lahirkannya.

“Jangan kaku begitu,” ucap Siti.
“Bagaimana dong?” Siti tertawa geli melihat ekspresi tegang suaminya saat menggendong bayi mereka. Setelah memastikan gendongan nyaman, dia bergegas mencari Adela.
Tak sulit baginya menemukan putri kecil itu. “Naaah, kenaa!” Siti merengkuh tubuh mungil Adela.

“Mamaaa!” Adela memeluk Siti seakan takut lepas lagi.
“Kita boboin dedek, yuk,” ajak Siti.
“Mama jangan gendong dedek,” rajuk Adela.
“Dedek kan belum bisa jalan, jadi harus digendong. Kalau Kakak Adela udah pinter, jadi gak usah digendong lagi.“ Siti menyadari kecemburuan Adela pada adik barunya. Selama ini hanya dia yang dimanjakan. Sedangkan sekarang, ada yang lain.

“Kalau dedek udah jalan, Gak digendong lagi?” tanya Adela polos. Siti mengangguk dan mencium pipi cuby putrinya.
Handy datang dengan wajah kacau karena putra kecilnya menangis tak henti.

“Mama gendong dede dulu, ya,” rayu Siti. Adel mengangguk.
“Hay Adel, hay Fatih. Wow! akhirnya aku punya banyak adik. Mah, bikin lagi, ya. Seru!” Handy menoyor kepala Reno. Pemuda itu tergelak.

Hups! Reno menggendong Adela. “Ikut Kak Reno maen, yuk!” Adela mencium pipi kakaknya.
“Jangan pulang malam, Ren!” Siti masih sempat menyeru Reno sebelum pergi ke kamar untuk memberi ASI pada Fatih. Handy mengekori istrinya ke kamar.

Handy tak henti mencandai putranya yang sedang menikmati ASI. "Ish, nanti Fatih gak bisa tidur, Pah!” Siti menepis tangan Handy dari wajah Fatih.
“Memang, kalau Fatih tidur kenapa?” Handy mencium tangan Siti mesra. Lantas menuju pipi dan bibirnya.
"Makin cantik," bisiknya dengan suara berat. Meski Handy sering merayu dan memuji, tetap saja debar indah itu selalu menggema.

"Fatih cepet bobo, ya," ucap Handy. Tangannya sibuk membelai mata Fatih agar cepat terlelap.

Tujuh tahun bersama semakin dalam cinta keduanya. Meski hidup tak lekang dari rintangan, tetaplah bahagia akan menjadi keakhiran. Jika bersedia bersama dalam kelebihan dan kekurangan. Kalau sudi saling maaf dan memaafkan. Andai berjuang untuk saling membahagiakan.
Alloh Sang Pemilik kehidupan terkadang memberi kebahagiaan bukan dari apa yang kita dambakan di awal,  tapi menganugerahkan melampaui yang kita bayangkan. Bahkan sampai tak mampu terucap selain kalimat inilah yang terbaik itu.
Pernikahan adalah mitsaqon gholizon (ikatan yang kokoh). Bukan permainan peraduan belaka, apalagi pemuas syahwat saja.

Pernikahan yang sukses ditandai dengan adanya sakinah (ketenangan)  di sana. Ada mawaddah (cinta) menghiasinya. Ada rahmah (rahmat keberkahan) menyelimuti. Darinya akan lahir generasi hebat yang mampu membawa peradaban manusia pada kejayaannya.

***END***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER