Cerita ini hanyalah fiksi belaka ! jika ada kesamaan nama maupun tempat harap diabaikan karena tidak ada keterkaitan dengan kenyataan. Bacaan ini sekedar untuk hiburan.
_________________________
#by : Isrina Sumia#
Suara langkah itu makin jelas, kemudian tanpa ada yang mengetuk pintu gagang pintu itu pun berputar, Halimah benar-benar merasakan ketakutan yang amat mendalam,
“Astagfirullah…Astagfirullah.. Allahuma ya Allah lindungi aku” Ia terus menerus berdzikir, wajahnya semakin panik ketakutan, bibirnya biru, tubuhnya pun menjadi dingin, ia mengamati pintu itu tanpa berkedip, dan terbuka.
Laki-laki itu berdiri didepan pintunya, ia sungguh menakutkan, sinar diwajahnya sama sekali tidak Nampak, rambutnya yang panjang juga janggut dipipi yang memenuhi isi wajahnya.
“Mau apa kamu?” Jawab Halimah gusar, “Jangan mendekat!” Lanjutnya lagi sambil berteriak seraya mengambil benda keras disebelahnya untuk ia gunakan sebagai senjata.
“Aku ini suamimu, Hak aku untuk masuk kekamarmu!”
Jawabnya tegas, laki-laki itu kemudian membanting pintunya.
“Aku mohon jangan..aku mohon!” pinta Halimah ia menangis ketakutan, ia berteriak namun tak mampu membangunkan setiap jiwa yang ada disekelilingnya ruangan itu begitu rapat dan jauh dari warga.
"Aku mohoon jangan...!" jiwanya sudah kaku ia terjebak, ia sudah tak mampu melawan.
“Bukankah ajaranmu itu yang selalu menyuruh istrinya untuk Taat pada suami?” jawabnya seraya menangkap tangan wanita yang sudah tak berdaya itu.
“Lepaskan benda itu.!” Pintanya sambil melotot
“Aku mohon… jangan lakukan ini.. aku mohon..!” Jawab Halimah memohon tangisannya pecah, laki-laki itu menciumi wajahnya dengan penuh nafsu dan kegilaan layaknya setan yang haus darah.
“Tolong . Tolong aku,,,!” Ia menangis sesegukan.
“Non… Non… bangun Non..!” Suara itu terdengar ditelinganya dengan jelas.
“Hah…!” Halimah terbangun , seluruh tubuhnya basah karena keringat, “Astagfirullah..Astagfirullah..Astagfirullah..” setelah itu ia meludah kekiri, “Alhamdulillah ya Allah ini hanya mimpi, terimakasih ya Mbok sum sudah membangunkan saya.”
“Ya Non, Non.. Aden sudah manggil Non dari tadi.”
“Oh iya Mbok, saya segera keluar.”
Setelah ia bisa mengontrol emosi juga rasa takutnya, Halimah keluar, ia menuju kearah meja makan, saat itu sudah pukul delapan malam, Rumah itu bagaikan istana baginya, sungguh besar untuk menuju ke setiap ruangan ia perlu berjalan antara 10 hingga 15 meter. Ia pun berhenti diruang makan, laki-laki itu yang bahkan baru ia kenal sehari ini sudah duduk dikursi meja makan, ia duduk paling depan menghadap kearahnya,
“Baru sebentar aja udah males-malesan.” Jawab laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu.
“Maaf saya sangat lelah, tadi saya ketiduran.” Jawab Halimah mendekatinya.
“Duduk!” perintahnya. Halimah pun menarik kursi yang ada dihadapannya, dan duduk.
“Siapa yang suruh kamu duduk disitu?” Halimah sangat kaget mendengarnya, buru-buru ia berdiri.
“Duduk disini!” perintahnya seraya menunjuk kearah lantai persis disebelahnya.
Halimah duduk dan mengikuti perintahnya, ia pikir tak mengapa asalkan ia tak disentuhnya.
“Mbok sum!”
“Ya den,”
“Pekerjaan apa yang belum beres?”
“eeh,, ehh,, apa ya den, sudah beres semua den, Cuma.."
“Cuma apa?”
“Ruang kerja den aja yang berantakan, tadi mbok mau bereskan Aden masih sibuk kerja”
“Hei denger, kamu bersihkan ruangan itu sampai rapih."
"Iya." Halimah mengangguk ketakutan.
"Terus satu lagi, bukan berarti menikah dengan saya, bisa menjadikan kamu nyonya dirumah ini!, kamu harus masak, ngepel, beresin rumah, semua yang ada dirumah ini harus kamu bersihkan, ngerti?"
Halimah merinding ketakutan “Ya, ,insya Alloh akan saya kerjakan semua,”
“Jangan bawa nama Tuhan disini!” teriaknya seraya menghentakkan sendok makannya.
Halimah mundur dari tempat ia duduk, tangannya mengepal ia sangat ketakutan, Laki-laki itu pun berdiri lalu meninggalkannya. Tak lama Mbok sum membantunya bangun dari tempat ia duduk, ia masih gugup ketakutan, bibirnya bergetar, tubuhnya dingin seperti es.
“Non..Non makan dulu ya,,”
“Ngga Mbok.. saya ingin pulang Mbok.” Jawabnya menangis.
“Jangaan Non, nanti si Aden semakin marah.” Mbok sum mengambilkan air putih dan memberikan padanya, Halimah meneguk air itu hingga habis tangannya masih gemetar saat memegang gelas, ia sangat kehausan. Ia pun mencoba untuk tenang, ia hapus air matanya dan mencoba untuk kuat.
“Non yang sabar ya..”
“Ya Mbok.”
“Non, Mbok Cuma mau kasih tau beberapa hal disini yang perlu Non tau, pertama saat malam Non ngga perlu nyalain lampu, lampu hanya boleh menyala dikamar si Aden saja saat malam, kedua si Aden ngga suka kalo ia denger nama Tuhan dirumah ini, jadi Non harus membiasakan diri ya.”
“Nama Tuhan maksudnya Mbok?”
“Yah kan kayak Non barusan bilang InsyaAlloh, Aden ngga suka itu.”
“MasyaAllah.. kalo nama Allah tidak boleh diperdengarkan lantas bagaimana saya bisa beribadah Mbok? Ngga bisa Mbok itu sangat bertentangan bagi saya.
“Sudahlan Non, ikutin aja, Non kalo mau sholat pintu kamar tutup yang rapat.”
Halimah diam, ia tidak mengiyakan permintaan terakhir Mbok sum barusan, Baginya menyebut nama Alloh adalah sebuah keharusan, lidahnya sudah terbiasa mengucap nama Tuhannya, hanya Setan saja yang tak sanggup mendengar nama tuhannya.
Malam itu Halimah semakin yakin, ia menikah dengan setan seperti yang sudah banyak dibicarakan warga kampung, bahwa laki-laki yang tinggal dirumah angker ini adalah Jelmaan jin.
“Ya Alloh cobaan apa ini, cobaan apa yang kau berikan padaku, lindungi aku ya Alloh..Lindungi,” Jeritnya dalam hati.
*****
SATU BULAN SEBELUMNYA
Alunan ayat suci sendu terdengar di tengah keheningan malam. Gelapnya malam tak terlalu tampak dengan tertutupnya jendela dengan kain tipis berwarna putih dikaCimarnya. Cahaya lampu menjadi begitu mempesona ketika malam tanpa mentari dan hanya rembulan yang datang dengan sinar tanpa silau.
Mulut Halimah semangat melantunkan ayat-ayat Tuhan, tak sedikit yang mengatakan suaranya terdengar amat merdu, ia terkenal didesanya sebagai guru ngaji di surau masjid Pendopo desa, 5 kali dalam seminggu ia mengajar setiap harinya, dan ia harus mengayuh sepeda menuju surau yang kurang lebih 10 kilometer dari rumahnya, melewati lembah perbukitan lalu turun mengikuti arus sungai mengalir.
Desanya memang sangat terpencil, setiap warga pasti memiliki kendaraan roda dua tak bermesin, hanya orang-orang mampu dan sugih(kaya) saja yang mampu membeli kendaraan bermesin.
Desa kecil di kaki gunung lawu ini adalah desa terakhir dari semua desa yang menuju kekota, udaranya sangat dingin kadang kabut datang lebih awal dari semestinya, pukul delapan malam kabut-kabut itu akan berkumpul membuyarkan pandangan, tak satupun warga desa yang berani keluar dari rumah, mereka sibuk bershalawat, bertasbih, dan ada pula yang bersemedi, mandi kembang dan banyak lagi ritual lainnya yang dilakukan saat malam sudah menjemput.
Halimah konsisten, sehabis Isya ia habiskan waktunya untuk menderes bacaan quraannya dirumah bersama dua adik laki-lakinya dan ibunya yang renta. Malam itu langit cerah bintang tersenyum menyambut alunan suaranya yang merdu, bulanpun meruncingkan sabitnya dan membentuk sebuah lengkungan indah untuk menunjukkan indahnya kebesaran Tuhan.
““shadaqallahul Adzim” (Maha benar Allah Yang Maha Agung ...) Ucapnya terakhir seraya mencium mushaf bersampul emas yang ada digenggamannya.
“Nduk.., kenapa kamu berhenti nduk… ?” teriak ibunya dari ruang tengah, ia sedang sibuk menjahit dan kedua adiknya sedang sibuk belajar. Tak ada TV dirumahnya yang bisa membantu hari-hari mereka ceria. Hanya ada beberapa tumpuk buku peninggalan ayahnya, mesin jahit tua milik ibunya dan dua buah sepeda ontel satu miliknya, dan yang satu milik mendiang Ayahnya yang sekarang dipakai Sur dan Dwi kedua adiknya.
“Sebentar lagi Ustad Haikal mau datang bue” Jawabnya girang.
“Loh ada apa Ustad Haikal datang malam-malam nduk?”
“Ada yang mau dibicarakan katanya bue, sama bue dan aku.”
“Wah serius banget toh?, kamu sms dia nduk jangan malam-malam tidak enak dengan tetangga.”
“Nggih bue.”
Tak lama suara motor terdengar tiba di pekarangan mereka, kebanyakan orang kampung masih mengendarai RX King, suaranya memang kurang enak terdengar namun tarikannya untuk melewati perbukitan perlu diberikan bintang. Ustad Haikal turun dari motor, ia bersama ustad Sholih pengurus surau tempat Halimah mengajar., lalu kemudian Faisal sahabatnya menyusul dari belakang.
“Assalamualaikum..” Suaranya yang tebal itu terdengar, menggetarkan hati Halimah yang sedang bersiap memilih kerudung terbaik.
“Waalaikumsalam.”jawab bu Nun, menyambut mereka dengan senyuman yang hangat. Suasana malam itu begitu syahdu.
“Nduk, ada tamu..”
“Nggih bue." Halimah keluar dengan membawakan dua buah cangkir teh hangat dan menyajikannya diatas meja, Halimah mengenakan kerudung berwarna putih, wajahnya terlihat begitu ayu, bulu matanya yang lentik, juga bibirnya yang mungil mampu membuat aliran darah laki-laki menjadi panas melihatnya.
Haikal memandanginya sejak ia masuk dari ruang tengah menuju ruang depan, ia sungguh terkesima dengan kecantikan Halimah yang sebelumnya tidak pernah bersolek, jangankan gincu bedakpun barang kali tak pernah ia pakai.
“Diminum mas.” Ucapnya suaranya terdengar bening.
“Oh iya.. “ Haikal gugup mengambil cangkir yang sudah ia bawa.
Haikal adalah Putra dari Pak Anggoro Saputra keluarga ningrat didesa mereka, ia sudah menaruh hati sejak lama oleh Halimah, setiap hari ia datang mengunjungi Halimah ke Surau bersama sahabatnya Faisal, pertama kali ia mengenalnya saat Halimah mengajukan diri untuk mengajar disurau tempat ia bekerja. Saat itu ia baru menyelesaikan studinya di Mesir, satu-satunya putra desa terbaik yang mendapat gelar Lc.
“Langsung saja bu Dasinun, kedatangan saya kemari bermaksud baik, ingin bermaksud menyempurnakan agama Allah, saya membawa Ustad Sholih juga sahabat saya untuk bisa menyaksikan, bahwa saya Haikal Saputra bermaksud ingin melamar putri ibu, ingin menjadikan ia istri saya, ingin bermaksud memindahkan semua beban dipundaknya ke pundak saya, ingin bermaksud berbagi keceriaan juga kesedihan bersamanya“ Jelasnya menunduk malu, sesekali ia memandang wajah Halimah dari cermin kaca meja yang memantul karena cahaya lampu malam yang menderang.
Mata Dasinun berkaca-kaca, wanita yang tak lagi muda itu sangat terharu mendengar perkataannya, ia tak menyangka putrinya yang hanya seorang guru ngaji dan putri dari seorang tukang jahit bisa dilamar oleh putra ningrat lulusan Mesir pula. Dasinun menatap kedua mata putrinya itu, Halimah menangis
“Semua tergantung kamu, kamu menerima?” tanyanya terisak.
“InsyaAllah.. Halimah terima bue..”
“Alhamdulillah..!” Semua mengucap syukur pada keagungan Alloh, Haru juga senang bercampur aduk menjadi satu.
Sesekali mata mereka bertemu, dan aliran darah pun langsung panas, hati berdesir parah, sepasang manusia itu sudah tak sabar ingin memadu kasih.
“Lalu kapan, Mas Haikal mau membawa keluarga kesini?”
“Rencananya tidak usah lama-lama, bue. Semua keluarga saya sudah setuju dengan Halimah, insyaAllah jika Halimah mau bulan depan kami sudah bisa melangsungkan akad nikah, bue tidak perlu memikirkan biayanya, semua biaya keluarga kami yang akan menanggungnya.” Terangnya kembali membuat hati Halimah semakin berbunga-bunga.
“MasyaAlloh..!” Dasinun mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, pipinya basah mendengar rencana yang diutarakan laki-laki bertubuh tegap itu.
“Kalo gitu, Bue ikut saja. Bue doakan semoga lancar hingga hari pernikahan.”
Pertemuan sakral itu pun berakhir, Halimah mengantar Haikal kedepan rumah. Wajahnya masih menunduk malu, ia tak sanggup melihat wajah Haikal yang sejak tadi serius mengamatinya.
“Dek.. insyaAlloh besok mas akan pergi untuk menjemput Bue mas di Jakarta, tidak lama dari itu kita akan segera menikah.” Ucapnya yakin.
“Nggih mas.” Jawabnya lembut, mendengarnya jantung Haikal berdegup kencang, bisikan setan mengalir dialiran darahnya memaksanya untuk segera memeluk tubuh mungil itu.
“Astagfirullah”Batinnya berbisik
“Mas pulang dulu ya.., Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”
***
Hujan mengguyur pagi hari yang elok. membuat hari semakin dingin. begitu dingin sekali. Halimah terbangun ia menyiapkan sarapan sebelum adzan subuh berkumandang, setelah itu adik-adiknya ia bangunkan begitupun ibunya yang selalu terlihat lelap dalam tidurnya, dan sesekali ia membersihkan kotoran - kotoran yang menyelip di sebuah indra pengeliatan Dasinun ibunya.
Adzan shubuh berkumandang, mereka sholat berjamaah setelahnya mereka berdzikir, bershalawat memohon pertolongan juga rahmat pada sang pemilik bumi. Tak lama Matahari menebarkan cahayanya, rumput-rumput merekah, pepohonan mulai menampakkan siluet indahnya melalui bayangan yang tergambar ditanah, dingin itu rindu akan hangat, mereka rindu kehadiran matahari menghangatkan setiap tubuh mereka yang menggigil semalaman.
“Alhamdulillahirobbilalamin..” Bisik Halimah dalam hati. Ia pun mulai melanjutkan aktivitasnya, ia mengayuh sepedanya dengan penuh semangat, jalan-jalan itu sudah dipenuhi dengan petani yang berjalan menuju ladang mereka masing-masing.
“Assalamualaikum bu guru..!” Sapa mereka dari jauh.
“Waalaikumsalam, ..” jawabnya dengan senyum yang merekah.
Ini adalah aktivitas hari-harinya, setiap hari ia harus melewati jalan-jalan perbukitan, untuk bisa sampai di Surau tempatnya mengajar, dua kilometer dari rumahnya ia pasti akan bertemu dengan anak –anak nakal yang bergerombol memanjat sebuah rumah tua persis diujung jalan mereka hanya memanjat lalu berteriak dengan kencang “Woi .. Setan Metuu (keluar)..!”
“Wusss,,,turun,,,!” Halimah berteriak , ia turun dari sepedanya dan mengusir mereka. Rumah itu sangat besar dan berada persis diatas perbukitan, sehingga Nampak seperti istana jika dilihat dari jauh, Halimah tau rumah ini ada penghuninya, pernah sekali ia merasa melihat seorang laki-laki berdiri di kaca jendela kamar lantai dua. Warga desa menyebutnya penampakan.
Menurut informasi yang ia dapat dari warga desa, laki-laki yang tinggal didalam gedong tua itu adalah jelmaan jin, yang akan keluar setiap jam delapan malam, jam dimana semua warga desa sudah masuk rumah, orang yang berjumpa dengannya pasti akan sial, hidupnya akan sengsara dijauhi banyak orang dan akan mati secara menyedihkan. Halimah adalah satu-satunya dari warga desa yang tak mempercai hal tersebut, baginya desanya sudah tercemar dengan banyaknya ajaran-ajaran perdukunan. Sehingga argument-argument tentang gembala jin, mandi kembang, babi ngepet sudah sering ia dengar.
“Haduuh…” Seperti biasa, ia mengangkut bebatuan yang berada persis di muka gerbang rumah tua itu, batu-batuan yang setiap hari anak-anak nakal itu lemparkan. Bulu kuduknya merinding, jantungnya berdegup kencang , lagi-lagi ia merasa ia sedang diperhatikan dari arah jendela kamar lantai dua.
“Assalamualaikum Halimah..” Sapa seseorang memegang pundaknya,
“Hah!” spontan ia teriak ketakutan “Faisal.?” Jawabnya seraya memegang pundaknya yang baru saja ia sentuh.
“Oh maaf Halimah, saya lupa kalo kita bukan mahrom, maafkan saya sudah terbiasa menyapa teman-teman saya di Jakarta seperti itu.”
“Iya tidak apa-apa.”
“Halimah.” Sapanya kembali,
“Ada apa?”tubuhnya mendekat, batinnya berbisik apa yang hendak ia lakukan.
“Ngga apa-apa, kamu sangat cantik, Haikal dan kamu sangat cocok.”
Halimah tersenyum tipis, “terimakasih, Saya pamit ya mas faisal” wanita itu kembali mengayuh sepedanya, dan meninggalkan Faisal juga gedong tua yang penuh dengan misteri.
Hampir setiap hari saat Halimah melewati Gedong tua itu ada perasaan takut yang amat mendalam, ia merasa seseorang sedang memperhatikannya, laki-laki bertubuh besar itu seperti sedang menatapnya dari jauh, ia hanya berharap jika mitos itu benar, semoga kebaikannya setiap hari untuk membersihkan bebatuan di depan gerbang rumahnya bisa menjauhkannya dari kesialan.
Halimah terburu-buru, ia mengayuh dengan cepat dan benar apa yang ia rasakan laki-laki yang orang bilang jelmaan jin itu sejak tadi berdiri memperhatikannya dari jauh, pandanngannya kosong dan ada kebencian diwajahnya, kegelapan menyelimuti wajahnya.
Bersambung #2
Laki-laki itu berdiri didepan pintunya, ia sungguh menakutkan, sinar diwajahnya sama sekali tidak Nampak, rambutnya yang panjang juga janggut dipipi yang memenuhi isi wajahnya.
“Mau apa kamu?” Jawab Halimah gusar, “Jangan mendekat!” Lanjutnya lagi sambil berteriak seraya mengambil benda keras disebelahnya untuk ia gunakan sebagai senjata.
“Aku ini suamimu, Hak aku untuk masuk kekamarmu!”
Jawabnya tegas, laki-laki itu kemudian membanting pintunya.
“Aku mohon jangan..aku mohon!” pinta Halimah ia menangis ketakutan, ia berteriak namun tak mampu membangunkan setiap jiwa yang ada disekelilingnya ruangan itu begitu rapat dan jauh dari warga.
"Aku mohoon jangan...!" jiwanya sudah kaku ia terjebak, ia sudah tak mampu melawan.
“Bukankah ajaranmu itu yang selalu menyuruh istrinya untuk Taat pada suami?” jawabnya seraya menangkap tangan wanita yang sudah tak berdaya itu.
“Lepaskan benda itu.!” Pintanya sambil melotot
“Aku mohon… jangan lakukan ini.. aku mohon..!” Jawab Halimah memohon tangisannya pecah, laki-laki itu menciumi wajahnya dengan penuh nafsu dan kegilaan layaknya setan yang haus darah.
“Tolong . Tolong aku,,,!” Ia menangis sesegukan.
“Non… Non… bangun Non..!” Suara itu terdengar ditelinganya dengan jelas.
“Hah…!” Halimah terbangun , seluruh tubuhnya basah karena keringat, “Astagfirullah..Astagfirullah..Astagfirullah..” setelah itu ia meludah kekiri, “Alhamdulillah ya Allah ini hanya mimpi, terimakasih ya Mbok sum sudah membangunkan saya.”
“Ya Non, Non.. Aden sudah manggil Non dari tadi.”
“Oh iya Mbok, saya segera keluar.”
Setelah ia bisa mengontrol emosi juga rasa takutnya, Halimah keluar, ia menuju kearah meja makan, saat itu sudah pukul delapan malam, Rumah itu bagaikan istana baginya, sungguh besar untuk menuju ke setiap ruangan ia perlu berjalan antara 10 hingga 15 meter. Ia pun berhenti diruang makan, laki-laki itu yang bahkan baru ia kenal sehari ini sudah duduk dikursi meja makan, ia duduk paling depan menghadap kearahnya,
“Baru sebentar aja udah males-malesan.” Jawab laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu.
“Maaf saya sangat lelah, tadi saya ketiduran.” Jawab Halimah mendekatinya.
“Duduk!” perintahnya. Halimah pun menarik kursi yang ada dihadapannya, dan duduk.
“Siapa yang suruh kamu duduk disitu?” Halimah sangat kaget mendengarnya, buru-buru ia berdiri.
“Duduk disini!” perintahnya seraya menunjuk kearah lantai persis disebelahnya.
Halimah duduk dan mengikuti perintahnya, ia pikir tak mengapa asalkan ia tak disentuhnya.
“Mbok sum!”
“Ya den,”
“Pekerjaan apa yang belum beres?”
“eeh,, ehh,, apa ya den, sudah beres semua den, Cuma.."
“Cuma apa?”
“Ruang kerja den aja yang berantakan, tadi mbok mau bereskan Aden masih sibuk kerja”
“Hei denger, kamu bersihkan ruangan itu sampai rapih."
"Iya." Halimah mengangguk ketakutan.
"Terus satu lagi, bukan berarti menikah dengan saya, bisa menjadikan kamu nyonya dirumah ini!, kamu harus masak, ngepel, beresin rumah, semua yang ada dirumah ini harus kamu bersihkan, ngerti?"
Halimah merinding ketakutan “Ya, ,insya Alloh akan saya kerjakan semua,”
“Jangan bawa nama Tuhan disini!” teriaknya seraya menghentakkan sendok makannya.
Halimah mundur dari tempat ia duduk, tangannya mengepal ia sangat ketakutan, Laki-laki itu pun berdiri lalu meninggalkannya. Tak lama Mbok sum membantunya bangun dari tempat ia duduk, ia masih gugup ketakutan, bibirnya bergetar, tubuhnya dingin seperti es.
“Non..Non makan dulu ya,,”
“Ngga Mbok.. saya ingin pulang Mbok.” Jawabnya menangis.
“Jangaan Non, nanti si Aden semakin marah.” Mbok sum mengambilkan air putih dan memberikan padanya, Halimah meneguk air itu hingga habis tangannya masih gemetar saat memegang gelas, ia sangat kehausan. Ia pun mencoba untuk tenang, ia hapus air matanya dan mencoba untuk kuat.
“Non yang sabar ya..”
“Ya Mbok.”
“Non, Mbok Cuma mau kasih tau beberapa hal disini yang perlu Non tau, pertama saat malam Non ngga perlu nyalain lampu, lampu hanya boleh menyala dikamar si Aden saja saat malam, kedua si Aden ngga suka kalo ia denger nama Tuhan dirumah ini, jadi Non harus membiasakan diri ya.”
“Nama Tuhan maksudnya Mbok?”
“Yah kan kayak Non barusan bilang InsyaAlloh, Aden ngga suka itu.”
“MasyaAllah.. kalo nama Allah tidak boleh diperdengarkan lantas bagaimana saya bisa beribadah Mbok? Ngga bisa Mbok itu sangat bertentangan bagi saya.
“Sudahlan Non, ikutin aja, Non kalo mau sholat pintu kamar tutup yang rapat.”
Halimah diam, ia tidak mengiyakan permintaan terakhir Mbok sum barusan, Baginya menyebut nama Alloh adalah sebuah keharusan, lidahnya sudah terbiasa mengucap nama Tuhannya, hanya Setan saja yang tak sanggup mendengar nama tuhannya.
Malam itu Halimah semakin yakin, ia menikah dengan setan seperti yang sudah banyak dibicarakan warga kampung, bahwa laki-laki yang tinggal dirumah angker ini adalah Jelmaan jin.
“Ya Alloh cobaan apa ini, cobaan apa yang kau berikan padaku, lindungi aku ya Alloh..Lindungi,” Jeritnya dalam hati.
*****
SATU BULAN SEBELUMNYA
Mulut Halimah semangat melantunkan ayat-ayat Tuhan, tak sedikit yang mengatakan suaranya terdengar amat merdu, ia terkenal didesanya sebagai guru ngaji di surau masjid Pendopo desa, 5 kali dalam seminggu ia mengajar setiap harinya, dan ia harus mengayuh sepeda menuju surau yang kurang lebih 10 kilometer dari rumahnya, melewati lembah perbukitan lalu turun mengikuti arus sungai mengalir.
Desanya memang sangat terpencil, setiap warga pasti memiliki kendaraan roda dua tak bermesin, hanya orang-orang mampu dan sugih(kaya) saja yang mampu membeli kendaraan bermesin.
Desa kecil di kaki gunung lawu ini adalah desa terakhir dari semua desa yang menuju kekota, udaranya sangat dingin kadang kabut datang lebih awal dari semestinya, pukul delapan malam kabut-kabut itu akan berkumpul membuyarkan pandangan, tak satupun warga desa yang berani keluar dari rumah, mereka sibuk bershalawat, bertasbih, dan ada pula yang bersemedi, mandi kembang dan banyak lagi ritual lainnya yang dilakukan saat malam sudah menjemput.
Halimah konsisten, sehabis Isya ia habiskan waktunya untuk menderes bacaan quraannya dirumah bersama dua adik laki-lakinya dan ibunya yang renta. Malam itu langit cerah bintang tersenyum menyambut alunan suaranya yang merdu, bulanpun meruncingkan sabitnya dan membentuk sebuah lengkungan indah untuk menunjukkan indahnya kebesaran Tuhan.
““shadaqallahul Adzim” (Maha benar Allah Yang Maha Agung ...) Ucapnya terakhir seraya mencium mushaf bersampul emas yang ada digenggamannya.
“Nduk.., kenapa kamu berhenti nduk… ?” teriak ibunya dari ruang tengah, ia sedang sibuk menjahit dan kedua adiknya sedang sibuk belajar. Tak ada TV dirumahnya yang bisa membantu hari-hari mereka ceria. Hanya ada beberapa tumpuk buku peninggalan ayahnya, mesin jahit tua milik ibunya dan dua buah sepeda ontel satu miliknya, dan yang satu milik mendiang Ayahnya yang sekarang dipakai Sur dan Dwi kedua adiknya.
“Sebentar lagi Ustad Haikal mau datang bue” Jawabnya girang.
“Loh ada apa Ustad Haikal datang malam-malam nduk?”
“Ada yang mau dibicarakan katanya bue, sama bue dan aku.”
“Wah serius banget toh?, kamu sms dia nduk jangan malam-malam tidak enak dengan tetangga.”
“Nggih bue.”
Tak lama suara motor terdengar tiba di pekarangan mereka, kebanyakan orang kampung masih mengendarai RX King, suaranya memang kurang enak terdengar namun tarikannya untuk melewati perbukitan perlu diberikan bintang. Ustad Haikal turun dari motor, ia bersama ustad Sholih pengurus surau tempat Halimah mengajar., lalu kemudian Faisal sahabatnya menyusul dari belakang.
“Assalamualaikum..” Suaranya yang tebal itu terdengar, menggetarkan hati Halimah yang sedang bersiap memilih kerudung terbaik.
“Waalaikumsalam.”jawab bu Nun, menyambut mereka dengan senyuman yang hangat. Suasana malam itu begitu syahdu.
“Nduk, ada tamu..”
“Nggih bue." Halimah keluar dengan membawakan dua buah cangkir teh hangat dan menyajikannya diatas meja, Halimah mengenakan kerudung berwarna putih, wajahnya terlihat begitu ayu, bulu matanya yang lentik, juga bibirnya yang mungil mampu membuat aliran darah laki-laki menjadi panas melihatnya.
Haikal memandanginya sejak ia masuk dari ruang tengah menuju ruang depan, ia sungguh terkesima dengan kecantikan Halimah yang sebelumnya tidak pernah bersolek, jangankan gincu bedakpun barang kali tak pernah ia pakai.
“Diminum mas.” Ucapnya suaranya terdengar bening.
“Oh iya.. “ Haikal gugup mengambil cangkir yang sudah ia bawa.
Haikal adalah Putra dari Pak Anggoro Saputra keluarga ningrat didesa mereka, ia sudah menaruh hati sejak lama oleh Halimah, setiap hari ia datang mengunjungi Halimah ke Surau bersama sahabatnya Faisal, pertama kali ia mengenalnya saat Halimah mengajukan diri untuk mengajar disurau tempat ia bekerja. Saat itu ia baru menyelesaikan studinya di Mesir, satu-satunya putra desa terbaik yang mendapat gelar Lc.
“Langsung saja bu Dasinun, kedatangan saya kemari bermaksud baik, ingin bermaksud menyempurnakan agama Allah, saya membawa Ustad Sholih juga sahabat saya untuk bisa menyaksikan, bahwa saya Haikal Saputra bermaksud ingin melamar putri ibu, ingin menjadikan ia istri saya, ingin bermaksud memindahkan semua beban dipundaknya ke pundak saya, ingin bermaksud berbagi keceriaan juga kesedihan bersamanya“ Jelasnya menunduk malu, sesekali ia memandang wajah Halimah dari cermin kaca meja yang memantul karena cahaya lampu malam yang menderang.
Mata Dasinun berkaca-kaca, wanita yang tak lagi muda itu sangat terharu mendengar perkataannya, ia tak menyangka putrinya yang hanya seorang guru ngaji dan putri dari seorang tukang jahit bisa dilamar oleh putra ningrat lulusan Mesir pula. Dasinun menatap kedua mata putrinya itu, Halimah menangis
“Semua tergantung kamu, kamu menerima?” tanyanya terisak.
“InsyaAllah.. Halimah terima bue..”
“Alhamdulillah..!” Semua mengucap syukur pada keagungan Alloh, Haru juga senang bercampur aduk menjadi satu.
Sesekali mata mereka bertemu, dan aliran darah pun langsung panas, hati berdesir parah, sepasang manusia itu sudah tak sabar ingin memadu kasih.
“Lalu kapan, Mas Haikal mau membawa keluarga kesini?”
“Rencananya tidak usah lama-lama, bue. Semua keluarga saya sudah setuju dengan Halimah, insyaAllah jika Halimah mau bulan depan kami sudah bisa melangsungkan akad nikah, bue tidak perlu memikirkan biayanya, semua biaya keluarga kami yang akan menanggungnya.” Terangnya kembali membuat hati Halimah semakin berbunga-bunga.
“MasyaAlloh..!” Dasinun mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, pipinya basah mendengar rencana yang diutarakan laki-laki bertubuh tegap itu.
“Kalo gitu, Bue ikut saja. Bue doakan semoga lancar hingga hari pernikahan.”
Pertemuan sakral itu pun berakhir, Halimah mengantar Haikal kedepan rumah. Wajahnya masih menunduk malu, ia tak sanggup melihat wajah Haikal yang sejak tadi serius mengamatinya.
“Dek.. insyaAlloh besok mas akan pergi untuk menjemput Bue mas di Jakarta, tidak lama dari itu kita akan segera menikah.” Ucapnya yakin.
“Nggih mas.” Jawabnya lembut, mendengarnya jantung Haikal berdegup kencang, bisikan setan mengalir dialiran darahnya memaksanya untuk segera memeluk tubuh mungil itu.
“Astagfirullah”Batinnya berbisik
“Mas pulang dulu ya.., Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”
***
Hujan mengguyur pagi hari yang elok. membuat hari semakin dingin. begitu dingin sekali. Halimah terbangun ia menyiapkan sarapan sebelum adzan subuh berkumandang, setelah itu adik-adiknya ia bangunkan begitupun ibunya yang selalu terlihat lelap dalam tidurnya, dan sesekali ia membersihkan kotoran - kotoran yang menyelip di sebuah indra pengeliatan Dasinun ibunya.
Adzan shubuh berkumandang, mereka sholat berjamaah setelahnya mereka berdzikir, bershalawat memohon pertolongan juga rahmat pada sang pemilik bumi. Tak lama Matahari menebarkan cahayanya, rumput-rumput merekah, pepohonan mulai menampakkan siluet indahnya melalui bayangan yang tergambar ditanah, dingin itu rindu akan hangat, mereka rindu kehadiran matahari menghangatkan setiap tubuh mereka yang menggigil semalaman.
“Alhamdulillahirobbilalamin..” Bisik Halimah dalam hati. Ia pun mulai melanjutkan aktivitasnya, ia mengayuh sepedanya dengan penuh semangat, jalan-jalan itu sudah dipenuhi dengan petani yang berjalan menuju ladang mereka masing-masing.
“Assalamualaikum bu guru..!” Sapa mereka dari jauh.
“Waalaikumsalam, ..” jawabnya dengan senyum yang merekah.
Ini adalah aktivitas hari-harinya, setiap hari ia harus melewati jalan-jalan perbukitan, untuk bisa sampai di Surau tempatnya mengajar, dua kilometer dari rumahnya ia pasti akan bertemu dengan anak –anak nakal yang bergerombol memanjat sebuah rumah tua persis diujung jalan mereka hanya memanjat lalu berteriak dengan kencang “Woi .. Setan Metuu (keluar)..!”
“Wusss,,,turun,,,!” Halimah berteriak , ia turun dari sepedanya dan mengusir mereka. Rumah itu sangat besar dan berada persis diatas perbukitan, sehingga Nampak seperti istana jika dilihat dari jauh, Halimah tau rumah ini ada penghuninya, pernah sekali ia merasa melihat seorang laki-laki berdiri di kaca jendela kamar lantai dua. Warga desa menyebutnya penampakan.
Menurut informasi yang ia dapat dari warga desa, laki-laki yang tinggal didalam gedong tua itu adalah jelmaan jin, yang akan keluar setiap jam delapan malam, jam dimana semua warga desa sudah masuk rumah, orang yang berjumpa dengannya pasti akan sial, hidupnya akan sengsara dijauhi banyak orang dan akan mati secara menyedihkan. Halimah adalah satu-satunya dari warga desa yang tak mempercai hal tersebut, baginya desanya sudah tercemar dengan banyaknya ajaran-ajaran perdukunan. Sehingga argument-argument tentang gembala jin, mandi kembang, babi ngepet sudah sering ia dengar.
“Haduuh…” Seperti biasa, ia mengangkut bebatuan yang berada persis di muka gerbang rumah tua itu, batu-batuan yang setiap hari anak-anak nakal itu lemparkan. Bulu kuduknya merinding, jantungnya berdegup kencang , lagi-lagi ia merasa ia sedang diperhatikan dari arah jendela kamar lantai dua.
“Assalamualaikum Halimah..” Sapa seseorang memegang pundaknya,
“Hah!” spontan ia teriak ketakutan “Faisal.?” Jawabnya seraya memegang pundaknya yang baru saja ia sentuh.
“Oh maaf Halimah, saya lupa kalo kita bukan mahrom, maafkan saya sudah terbiasa menyapa teman-teman saya di Jakarta seperti itu.”
“Iya tidak apa-apa.”
“Halimah.” Sapanya kembali,
“Ada apa?”tubuhnya mendekat, batinnya berbisik apa yang hendak ia lakukan.
“Ngga apa-apa, kamu sangat cantik, Haikal dan kamu sangat cocok.”
Halimah tersenyum tipis, “terimakasih, Saya pamit ya mas faisal” wanita itu kembali mengayuh sepedanya, dan meninggalkan Faisal juga gedong tua yang penuh dengan misteri.
Hampir setiap hari saat Halimah melewati Gedong tua itu ada perasaan takut yang amat mendalam, ia merasa seseorang sedang memperhatikannya, laki-laki bertubuh besar itu seperti sedang menatapnya dari jauh, ia hanya berharap jika mitos itu benar, semoga kebaikannya setiap hari untuk membersihkan bebatuan di depan gerbang rumahnya bisa menjauhkannya dari kesialan.
Halimah terburu-buru, ia mengayuh dengan cepat dan benar apa yang ia rasakan laki-laki yang orang bilang jelmaan jin itu sejak tadi berdiri memperhatikannya dari jauh, pandanngannya kosong dan ada kebencian diwajahnya, kegelapan menyelimuti wajahnya.
Bersambung #2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel