Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 23 Januari 2020

Menikah Dengan Setan #2

Cerita bersambung

Tiga malam berlalu, Halimah berdiri didepan rumah, ia memandangi bulan. Rasanya ia ingin sekali berteriak pada bulan untuk menyampaikan rindunya yang teramat dalam pada laki-laki pujaan hatinya, kadang ia diam, kadang ia berpuisi, kadang ia tersenyum, kadang ia menangis. Halimah Gadis desa itu sedang dimabuk cinta, ia sangat begitu mengharapkan kehadiran Haikal dihadapannya.

“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam Ayu!” Sahabat dekatnya itu datang mengunjunginya, Ayu adalah putri dari Kepala Desa, ia sahabat dekatnya sejak SMP.

“ya Alloh, kamu tau saja sahabatmu ini lagi pusing.”
“Hmm..”Jawabnya dengan bibir menyungging satu keatas.
“Kamu kenapa yu? Malam-malam begini.”
“Halimah, aku sudah tahu kedekatanmu dengan Haikal. Baiknya kamu tinggalkan Haikal.”
“Loh kenapa yu? Mas Haikal sudah melamarku yu, insyaAlloh bulan depan kami menikah!” tegasnya.
“Aku hanya khawatir terjadi sesuatu denganmu mah.”
“Kenapa?”
“Baiknya kamu tinggalkan saja dia.”
“Ngga yu, ngga akan.”
“Kalau begitu kamu hati-hati ya.” Jawabnya memperingati seraya meninggalkan Halimah didalam keheningan malam.
Halimah sedikit khawatir dengan ucapan Ayu barusan, hanya saja ia meyakini barang kali Ayu hanya ingin menyampaikan pesan, bahwa keluarganya dengan keluarga Haikal tak semapan, atau mungkin Ayu cemburu.
"Bismillah.” Gusar Halimah dalam hati.

Halimah tak bisa tidur memikirkan sikap Ayu padanya semalam, kenapa wanita itu menyuruh untuk berhati-hati, apa yang akan terjadi jika ia tetap menikah dengan Haikal. Halimah bangun dari tidurnya ia berdoa di sepertiga malam memohon keselamatan baginya juga laki-laki yang hendak akan menikahinya.

Pagi hari, aktivitasnya berjalan seperti biasa ia membuat sarapan, membereskan rumah, sholat subuh, lalu berangkat kerja, saat matahari sudah menunjukkan keperkasaannya, ia kembali mengayuh sepeda. Hari itu sinar matahari tidak begitu terang, cahayanya tertutupi oleh gumpalan awan Yang terbentui sangat Indah. Mendung , namun tak Ada tanda-tanda lain Akan turunnya hujan, Halimah terus mengayuh sepeda Tak lupa ia melemparkan senyum pada setiap warga Yang melintas dihadapannya, dan kemudian  seperti biasa  ia akan berjumpa dengan beberapa anak yang bermain di Gedong tua sambil berteriak-teriak
“Setaan..metuu, Setan metuu”(setan keluar, setan keluar).

Seperti biasa ia pun mengusir kerusuhan mereka, ia memandang keatas, melihat gedong tua yang nampak memang tak berpenghuni, rumah itu sangat besar pantas disebut gedong warna putih pada cat dindingnya sudah berubah gelap kecoklatan, pepohonan disekitar rimbun bagaikan hutan yang tak terjamah, dedaunan kering dan sudah  dua musim berlalu menumpuk membuat rumah itu semakin angker dan menakutkan, jika senja tiba kabut akan berkumpul menyelimuti rumah itu dan tak ada satupun yang berani melewati rumahnya, hanya mereka yang menggunakan kendaraan beroda empat saja yang berani melintas didepannya.

Halimah terperangah, ada tirai  yang bergerak disalah satu jendela atas lantai dua, ia sangat kaget dan takut, ia kayuh kembali sepedanya  dan  lanjutkan perjalanannya. Tak jauh dari sana rantai sepeda ontel miliknya terlepas, ia tak bisa melanjutkan perjalanan.
“Innalillahi.. ada ada saja.”

Tak ada siapa-siapa di jalan perbukitan itu hanya Halimah dan suara-suara burung yang sibuk menyambut pagi. Ia sibuk membenarkan rantai sepedanya, pelan bulu kuduknya berdiri, keringatnya mengucur suara langkah kaki itu berada persis dibelakangnya. Halimah pun berdiri dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil menggandeng sepedanya disisi kanan, ia berjalan cepat dan semakin cepat, ia merasa ada yang mengikuti dari belakang. Tak lama sebuah jeep terlihat dari jauh, mobil jeep yang ia ketahui sering dikendarai oleh calon suaminya Haikal.
“Halimah,,, hai Halimah..”
“Alhamdulillah..” ia bernafas lega.
“Sepeda kamu kenapa mah?” tanya Faisal yang baru saja turun dari mobil, ia mengenakan celana jeans, jake jeans juga kaca mata hitam. Tiga hari ini Faisal menunjukkan sikap aneh padanya, sejujurnya Halimah merasa sangat terusik dengannya.

“Ayo saya antar..”
“Ngga terimakasih, saya jalan saja.”
“Jauh loh mah, 8 km lagi.. kasian murid-murid kamu nanti.”
Halimah berfikir ada benarnya, lagian tidak ada salahnya ia menolak bantuan Faisal sahabat Haikal. Faisal menaikkan sepedanya keatas jeep, lalu ia membukakan pintu mobil untuknya, Faisal berusaha bersikap mesra padanya.
Tubuhnya sedikit condong kedepan.
“Nanti pulangnya saya jemput lagi saja ya Halimah.”
“Tidak perlu mas, dekat pendopo ada bengkel, nanti saya benarkan disana saja.” Jawab Halimah ketus, Faisal pun berlalu meninggalkannya di Surau.

Matahari berdiri sejajar persis diatasnya hari sudah siang, saatnya ia pulang. Kemalangan satu lagi menimpanya, bengkel langganan tutup, namun tak jauh dari sana ia melihat mobil jeep yang dikendarai Faisal tadi pagi masih menunggunya, rasa sungkan juga risih menghampiri dirinya, laki-laki itu pasti akan keluar dan menawarkan bantuan, Halimah tidak bisa berbuat apa-apa  pelan ia melangkahkan kakinya menuju rumah.

“Halimah.!” teriak Faisal. Benar dugaannya laki-laki itu memanggilnya,
“Ayoo saya antar pulang.” . Halimah menarik nafas dan dengan segala kertepaksaan yang ada ia pun menerima tawarannya. Dijalan arah pulang, Halimah terus berdoa. Mulut laki-laki itu terus mengoceh mengajaknya berbicara, ia hanya diam dan mengangguk menjawab pertanyaannya.

Sore hari selepas Ashar, Dasinun pergi mengantarkan jahitan dan dua adik laki-lakinya belum kembali dari aktivitasnya di sekolah, Halimah sendiri ia sibukkan diri dengan membereskan rumah juga mencuci pakaian di belakang. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dari arah depan, Halimah sedikit terperangah, ia bangun dari tempat ia mencuci. “Bue…Sur….Dwi.” tak ada suara yang menyaut, ia berjalan perlahan pintu depannya tertutup, padahal baru saja ia merasakan ada orang yang masuk kedalam rumahnya.

“Halimah..” suara laki-laki datang dari arah yang tak diduga-duga.  Halimah terkejut ia sangat kaget,
“FAISAL!””” Ucap dia geram, ia menarik tirai yang memisahkan dua ruang itu untuk menutupi pakaiannya yang melekat karena basah, kepala masih tertutup rapi dengan hijabnya.

“TIDAK SOPAN KAMU FAISAL, KELUAR KAMU!!” jawab Halimah Murka.
“Relax..Halimah, tidak ada yang tau aku disini, tidak ada yang melihat kita, jadi kita bebas sayang..” Faisal membuka kancing bajunya satu persatu, dan perlahan mendekat ke arahnya, wajahnya menunjukkan haus yang begitu mendalam.

“BIADAB KAMU..,!” Ia melemparkan beberapa barang ke arahnya, dan berlari kearah keluar untuk meminta pertolongan, ia lihat pintunya tak terkunci ia bisa bebas dari mangsa Setan berwujud manusia itu, Halimah berlari, Faisal menarik tubuhnya yang mungil itu ketubuhnya spontan tangisannya pecah karena takut “TOLONG!!”

Tak lama terdengar suara puluhan warga desa yang menghampiri rumahnya, mereka datang dengan kebencian diwajah mereka.

“HALIMAH…KELUAR KAMU!”, mendengarnya spontan Halimah berlari keluar “TOLONG!!” teriaknya, puluhan warga sudah menunggu didepan rumah, beberapa diantaranya ada yang memegang obor, wanita, laki-laki semua berkumpul disana.

“TOLONG., LAKI-LAKI ITU BERUSAHA INGIN MENODAI SAYA PAK.!” teriak Halimah menjerit ketakutan dan menangis. Faisal keluar dengan keadaan pakaian yang terbuka, dengan santainya ia berbicara

“BOHONG!!, kami melakukannya karena kami saling menyukai, Halimah terus menggoda saya, hingga saya khilaf”
“BOHONG! KEJI KAMU FAISAL!” teriaknya memperjelas. Warga terdiam mempertanyakan kebenaran apa yang baru saja mereka lihat, sebelumnya warga desa digegerkan dengan berita, bahwa Halimah sedang melakukan perzinahan dengan Laki-laki kota dirumahnya, entah dari mana kabar angin tersebut, namun kabarnya sangat membuat murka warga, mereka berduyun-duyun datang kerumahnya untuk memberikan sanksi akan perbuatannya. Seperti yang mereka lakukan sebelum sebelumnya, setiap orang yang ketauan melakukan perzinahan, mereka akan menghukum secara adat warga.

“Jelaskan pada kami Halimah!” teriak suara kepala desa yang baru saja datang bersama ibu.
Halimah berlari ketakutan kearahnya
“Tolong saya pak, saya berbicara jujur laki-laki itu berusaha ingin menodai saya!” ucap Halimah, matanya berkaca-kaca ia memohon.
“Ayu… kamu sahabatku kan.. katakan pada mereka, kalau aku tidak berbohong, yu..” Ayu yang berdiri sejajar dengan Ayahnya itu memalingkan wajah, ia merogoh tas dan mengeluarkan setumpuk foto lalu memberikannya pada Kepala Desa. Halimah memperhatikan Ayu, wajahnya membiru Pak Kades bersama warga yang berdiri persis dibelakangnya melihat dengan sungguh-sungguh foto yang diberikan Ayu.

“Pembohong kamu Halimah..!”
“Tidaaak saya tidak berbohong..!” Teriaknya menjerit.
“Lalu ini apa Halimah?” Jawab Pak Kades memberikan setumpuk foto-foto antara dia dengan Faisal.
“Ini Fitnah..Ini Fitnah,… ini tidak benar..!”

Warga yang melihat foto-foto itu naik pitam foto itu adalah foto Halimah bersama Faisal, entah siapa yang mengambil gambar mereka namun yang jelas ini seperti jebakan. Warga murka, wajah mereka terlihat sangar tidak ada kedamaian diwajah mereka hanya kebencian juga kekerasan,

Mereka menarik tirai yang ia pakai untuk menutupi bajunya yang basah, menampar wajahnya, menjambak hijabnya dan mempermalukan Halimah dihadapan warga, dan Faisal sekejap menghilang, ia tak lagi berada dikerumunan warga.

“Tidaak..tidaak.. saya mohon..!” teriaknya menjerit pedih ia menangis terisak-isak berharap ada satu diatara warganya yang iba padanya, Halimah kacau ia payah hanya Allah saat itu yang sanggup menolongnya.

Warga murka mereka menarik tangannya dan menyeretnya ke jalan, Halimah menjerit-jerit kesakitan.
“Halimaaaah…!” teriak Dasinun yang baru saja kembali mengantarkan jahitan dari desa sebelah.
“Ada apa ini bapak-bapak?” jawab Dasinun melindungi putrinya yang lemah tak berdaya.
“Buee..eeee!” tangisan Halimah pecah dipelukannya, ia sulit bernafas.
“HEI DASINUN!! PUTRIMU TELAH MENCORENG NAMA BAIK KAMPUNG KAMI, IA PANTAS DIHUKUM!!”
“Tenang bapak-bapak apa yang telah Halimah lakukan hingga ia harus diperlakukan seperti ini?”
“PUTRIMU ITU PENZINAH, DASINUN!””
“Nggak..itu nggak benar, putri saya putri baik-baik ia tak mungkin melakukan hal serendah itu.!”
“Kami menyaksikan sendiri Dasinun ia ada didalam bersama laki-laki berselimutkan tirai!”
Dasinun menatap wajah anaknya “Katakan itu tidak benar, nak…katakan pada mereka.”

Halimah menggelengkan kepala, ia menangis sejadi-jadinya, darah di dahinya akibat hantaman keras dari warga mengucur menjadi air mata.

“SAYA SANGAT YAKIN PUTRI SAYA TIDAK MELANGGAR NORMA TUHAN!”
“BAKAR SAJA MEREKA!!””
“BAKAR!”
“TIDAK TOLONG SAYA MOHON..!” Wajah Dasinun memelas ia memohon pengampunan untuk putrinya.
“AHH..!” Bongkahan batu terbang ke arahnya, ia melindungi putrinya, “TIDAAK SAYA MOHON JANGAN..!”” Halimah berteriak, semangatnya mendadak bangkit ia melihat wajah ibunya yang sudah dilumuri darah, ia menangis terisak-isak, semua warga yang mengepungnya melempari mereka dengan batu.

“BERHENTII!!!”” Dua laki-laki itu datang, Dwi juga Sur mereka masih sangat muda, namun dengan sekuat tenaga mereka melawan warga yang berusaha menyakiti ibu dan kakak perempuannya, “HENTIKAN!” teriak mereka, warga melakukan perlawanan begitupun mereka, suasana menjadi semakin mengerikan saat seseorang berteriak

“BAKAR RUMAH MEREKA, BAKAR TEMPAT YANG SUDAH DIJADIKAN SARANG DOSA!”  BAKAAAAR!” teriak mereka, dan beberapa dari mereka melemparkan obor ke arah rumah Halimah,
“TIDAAAK..” Halimah menjerit.. Mereka tak berdaya, mereka terdiam saat melihat rumahnya habis dilahap api, kenangan akan Ayahnya dilahap abis oleh api entah kemalangan apa ini, Halimah menangis sesegukan, Dasinun memeluk ketiga anaknya seraya menangis menguatkan mereka, warga meninggalkan mereka dalam kondisi yang mengenaskan.

Senjapun datang, perlahan Matahari meninggalkan sarangnya, kegelapan mulai menyelimuti mereka, mereka berteduh direruntuhan rumah yang separuhnya sudah habis terbakar. Halimah masih menangis meratapi nasibnya, tak lama Dasinun ambruk, pandangannya gelap, ia tak bisa melihat apapun ia pingsan, ada pembengkakkan di perut Dasinun akibat benturan batu yang menghujam mereka.

“Kakak Buee!” teriak kedua adiknya. Halimah menghampiri wanita yang tak berdaya itu, “Buee bangun bue.. Bueee..!”

Halimah dan Sur berlari keluar mereka meminta pertolongan pada setiap warga mereka pergi kedua arah yang berbeda, mereka mengetuk setiap pintu untuk meminta bantuan, “Tolong bantu saya..ibu saya sekarat.. Tolong..!” tak satupun diantara mereka yang membukakan pintu untuknya, tolong bantu saya.. “TOLOONG..!” Ia menjerit di heningnya malam.
Seketika kemurkaan menyelimuti Desa tempat mereka tinggal, tiada pertolongan yang ia dapatkan setelah segala upaya ia cari.

Dari jauh Sur kembali kearah rumahnya, dengan keadaan lesu tak berdaya adiknya itu tak mendapatkan satu bantuan sedikitpun. Halimah tak patah arang, ia teringat cerita warga desa tentang Gedong tua, rumah angker yang setiap pagi ia lewati, menurut mereka penghuni gedong tua hanya keluar saat malam tiba.

Hari itu sudah malam, kekhawatiran akan Bue nya memberikan semangat pada setiap langkahnya, Halimah terus berjalan memupuk keberanian sedikit demi sedikit menuju ke Gedong tua, ia berharap instingnya benar bahwa penghuni Gedong tua adalah seorang manusia, bukan jin/setan atau jelmaan jin seperti apa yang dikatakan warga desa.

Halimah tiba didepan gerbang rumah yang ia sebut Gedong tua, penampakannya sungguh angker persis 8 meter dibelakangnya adalah jurang kecil perbukitan yang akan membawanya ke desanya jika ia terjun kebawah, Lorong jalan itu tak bercahaya, hanya cahaya rembulan yang tertutup awan malam, jantung Halimah berdetak semakin cepat,biasanya disiang hari gerbang ini tertutup rapat dan terkunci, ia mencoba

“Bismillah.La Haula walaa quwwata Illa Billah"” ucap Halimah, dan benar gerbang itu tak terkunci dan bisa ia buka dengan mudah.
“Ngeeek..!” Suara gerbang sangat nyaring besi pada setiap sudutnya sudah sangat tua dan berkarat, pantas saja warga desa tau kapan Penghuni tempat ini keluar.

Ia masuk dengan perlahan, sekujur tubuhnya berkeringat, air matanya terus mengalir bibirnya terus mengucap Asma Allah dan berdzikir, setiap langkahnya menimbulkan suara dedaunan kering yang ia injak, tak ada cahaya lampu disekitar, tiba-tiba sekelebat cahaya melintas dihadapannya, ia memberanikan diri menatap ruangan di lantai dua itu awalnya menyala, tiba-tiba saja redup, ia yakin cahaya itu bersumber dari sana.
Ia terus melangkahkan kakinya, jarak pintu gerbang dengan muka rumah sekitar 20 meter jauhnya, Lafaz dzikir terus ia bacakan di bibirnya, raja istighfar, shalawat nabi, dan lainnya ia membaca semampu yang ia bisa. Tiba-tiba “Non..!” Suara laki-laki tua terdengar dari arah belakang, terdengar jelas ditelinga kanan.
Halimah berhenti ia memejamkan mata saking takutnya, tubuhnya mengigil ketakutan.

“Mau kemana Non?” suara itu makin jelas, dan tak lama ia memegang pundak Halimah. Halimah menjerit ketakutan .
“Haaaaaaa, Astagfirullah..Alhamdulillah.” Ia adalah seorang Bapak  berusia kurang lebih 50 tahunan,
“Non mau apa ketempat ini? Tempat ini ngga berpenghuni non.” Jelasnya pada Halimah.
“Saya mau minta tolong pak, ibu saya sedang sekarat dibawah saya mau minta tolong selamatkan ibu saya.”
“Huh” Bapak ini menarik nafas, tidak ada siapa-siapa disini non, non lebih baik pulang saja" kecewa Halimah kembali, bapak itu mengantarnya hingga gerbang dan tak lama.
“Min...Darmin!” Suara wanita yang sebaya dengannya memanggilnya dari jauh, ia berlari ke arah Halimah dan Bapak tua yang baru ia tahu namanya dengan Darmin. Wanita itu membisikkan sesuatu ditelinga Darmin.

 “Oh yo wis” Ucap  Darmin.
“Non ayo ikut saya.” Ajak wanita itu. Seketika hati Halimah merasa lega, ia merasa seperti mendapat secercah harapan.
“Monggo masuk Non.”
“Nggih mbok.”
“Non tunggu disini saja, maaf ya Non tak ada lampu dirumah ini.”  Wanita yang ia sapa mbok itu pergi, lalu ia kembali lagi dengan membawa dua buah lilin kemudian ia pasangkan didekat Halimah. Halimah duduk diatas lantai yang terbuat dari kayu, beberapa lukisan juga pajangan keramik bisa ia lihat setelah lilin itu dinyalakan, sejenak hatinya merasa lega, namun setelah si mbok pergi meninggalkannya sendiri, Jantungnya kembali berderu, berdetak cepat seperti ingin keluar dari tempatnya.

“Ada perlu apa kamu kesini?” Tanya seorang laki-laki yang ia tak tau dari mana arahnya.
Halimah terperangah ia bingung menjawab, ia tak tahu dengan siapa ia bicara saat ini, tak ada wajah yang bisa ia lihat hanya suara, suara yang begitu tebal dan jelas.

“KAMU TULI!” Lanjutnya kesal, Halimah belum menjawab pertanyaannya.
“Maafkan saya..saya mohon maaf jika kedatangan saya menganggu, saya membutuhkan bantuan anda saat ini, ibu saya sedang sekarat tidak ada satupun yang mau membantu saya, saya mohon, mohon dengan sangat.” Halimah memohon seraya menangis, tangisannya pecah badannya menunduk memohon.

Laki-laki itu terdiam, “Pak Darmin!” Ia berteriak memanggil bapak tua yang baru saja ia tahu namanya.
“Iya den.” Darmin berlari dan menghampirnya.
“Bantu dia” jawabnya dan tak lama suara itupun menghilang.
“Nggih den.”
“Terimakasih, terimakasih, terimakasih.” Halimah terisak.

Tak lama kemudian Darmin mengeluarkan sebuah mobil jeep dari garasi belakang, benar apa yang ia pikirkan didalam rumah ini ada kehidupan, Halimah dan Darmin pun beranjak pergi, dan melaju menuju Desanya tempat dimana ibunya sekarat dan kedua adiknya gelisah menunggu kedatangannya. Darmin membawa mobil dengan sangat cepat, tak lama Dasinun juga kedua adiknya berangkat bersama dengannya ke Rumah Sakit.

Dasinun selamat, pertolongan untuknya tidak terlambat Halimah datang sebelum pendarahannya semakin menjadi, Dasinun di rawat di UGD Rumah Sakit Sayidiman, Halimah bersyukur setidaknya malam ini ia dan keluarganya bisa selamat dari amukan massa yang tak mengenal arti fitnah, ia sangat menyayangkan mereka yang rajin bershalawat, mereka yang rajin pergi ke surau, mereka yang memiliki putri, mereka yang memiliki istri bisa menjadi teramat keji hanya karena sebuah tuduhan yang tidak bedasar yang dituduhkan untuknya, hari ini ia diselamatkan Alloh, namun ia yakin suatu saat Alloh akan membalas perbuatan mereka dengan siksaan yang lebih keji dari apa yang telah ia dapatkan hari ini.

=====

Malam semakin larut, Halimah dan kedua adiknya sholat berjamaah disebelah tubuh Dasinun yang tak berdaya, Dwi yang menjadi imam sholat tak sanggup membaca ayat-ayat Alloh ia tahu betul arti dari Ummul Qur'an (Induk Al-Qur'an) Alfatihah, ia membacakan dengan lantang seraya menangis terisak-isak, Dwi memberikan penekanan pada ayat “Maaliki yawmiddiin yang artinya  “Yang menguasai Hari Pembalasan”, ada dendam membara dalam hatinya melihat keluarganya diperlakukan bagai sampah.
Setelah salam, tangisan Halimah pecah, Dwi dan Sur memeluknya dengan erat diatas koran yang mereka jadikan alas untuk bersujud.

Malam berlalu, pagi menjadi satu-satunya harapan mereka untuk tetap bertahan. Halimah harus bangkit mencari uang, ia harus membiayai biaya Rumah Sakit yang tak sedikit nilainya, Dwi dan Sur pun harus tetap bersekolah. Halimah berfikir keras, ia tak memegang satu rupiah pun ditangannya.

“Dwi, Sur, Mba mau pulang dulu kerumah, Mba harap celengan ibu juga Mba masih tersimpan rapat di lemari, semalam kita terlalu panik sehingga lupa apa saja yang harus kita bawa.”
“Jangan mba, bahaya!” cetus dwi “tidak ada jalan lagi, Mba harus kesana wi.” Jawab Halimah.
“Kalau begitu aku  antar mba”
Halimah mengangguk ,
“Sur, Mba dan Mas Dwi pergi dulu ya, jaga bue ya kalau kamu lapar, kamu minum air putih saja dulu yang banyak ya sur, insyaAlloh Mba dan mas Dwi akan datang bawa makanan.” Lanjut Halimah. Ia menangis, dan menguatkan adiknya yang masih duduk dibangku SD itu, Sur memeluk tubuh Mbanya ia tersenyum dan menguatkan Mbanya.

Halimah dan Dwi berangkat menggunakan sepeda ontel yang berhasil mereka pinjam oleh petugas Rumah Sakit yang iba pada mereka. Dwi mengayuh sepeda itu dengan hati-hati, Halimah memeluk tubuhnya dengan erat, pandangan mereka kosong. Air mata Halimah tak henti-hentinya mengalir.

Sesampai di desa mereka berjalan pelan-pelan menyelinap seperti maling, mereka masuk kedalam rumah, ruang tamu, kamar depan milik Dasinun juga ruang tengah sudah habis terbakar hanya tersisa dapur dan dua kamar belakang. Bersyukur beberapa pakaian juga celengan yang ia simpan dilemarinya masih tertata rapih, ia mengambil beberapa plastik dan memasukkan segala kebutuhan didalamnya, begitupun Dwi yang mengambil beberapa kebutuhan untuknya juga Sur.

Halimah menuju kamar Dasinun yang sudah terbakar habis, ia berharap celengan ibunya masih selamat. “Alhamdulillah”pujinya, Dasinun menyimpan uangnya ditoples kaleng bekas biscuit, celengannya utuh hanya warnanya saja jadi hitam.
Halimah diam-diam bersama Dwi keluar dari bangunan yang hampir roboh itu, dari jauh suara yang tak ia inginkan terdengar “HALIMAH!” Ia kaget, Dwi dan Halimah buru-buru naik keatas sepedanya, namun kalah cepat dengan langkah warga yang ingin mengulangi kesalahan mereka lagi.

“HALIMAH, KELUAR KAMU DARI KAMPUNG KAMI!” teriak seorang wanita yang seusia dengan Dasinun. Halimah diam ia tak menghiraukan kata-kata mereka.
“PERGI KAMU HALIMAH!” usir mereka kembali. Seseorang berusaha mengulangi kejahatan serupa, ia melemparkan batu kerikil ke wajahnya sontak membuat ibu-ibu itu menjadi bringas dan turut mengambil kerikil di kaki mereka.

“BERHENTI!” teriak seorang laki-laki yang suaranya sangat ia rindukan, Halimah menangis mendengar suaranya “Mas Haikal”  desahnya.
“Berhenti ibu-ibu,” Laki-laki itu melindungi Halimah dengan tubuhnya, warga pun berhenti karena menghormati Haikal anak dari seorang ningrat.
“Bangun Halimah.” Matanya berkaca-kaca ia membangunkan Dwi yang semula berlindung dibalik sepeda.

Halimah menangis, rasanya ia ingin memeluk laki-laki yang hampir menjadi imamnya, ia ingin menceritakan semua kekejaman yang mereka lakukan padanya, hatinya tidak lagi berdesir karena rindu, hatinya merasa aman ia merasa tentram, wanita itu berharap Haikal bisa melindunginya saat ini.

“Apa yang terjadi dengan kamu Halimah? Kenapa bisa seperti ini?” tanya Haikal, matanya berkaca-kaca menahan tangis, Halimah yang terkenal tangguh dimatanya begitu kacau, pakaiannya dekil, kerudungnya tak serapih biasanya, ia hancur.

“Aku..aku..” jawab Halimah terisak-isak ia tak sanggup bicara, mulutnya seperti terkunci melihat Haikal dihadapannya.
“Dia telah selingkuh dibelakangmu Haikal, ia bahkan tak malu melakukan perzinahan disini dengan sahabatmu Faisal!” sergah Ayu yang tiba-tiba datang bersama beberapa remaja perempuan didesanya.
“Bohong..bohong..itu Fitnah Mas!"
“Kami dan warga disini saksinya Haikal, kami juga sering melihat Faisal bersama Halimah saat kamu pergi.” lanjut Ayu.
“Fitnah..itu fitnah Haikal.”Mata Halimah memandang mata Haikal dengan penuh belas kasih, ia memohon untuk Haikal agar percaya padanya, ia sudah lelah menjelaskan padanya akan kebiadaban mereka, ia hanya menuntut laki-laki itu untuk percaya padanya.

“Halimah..” panggil Haikal, mereka terdiam.
“Maafkan aku, aku tidak ada saat kamu membutuhkanku, saat ini aku tidak bisa menentukan mana yang benar dan salah, aku mohon maaf Halimah, sampai kebenaran itu nyata untukku aku belum bisa mempercayaimu, aku bebaskan kamu Halimah atas lamaranku minggu lalu.” Haikal berpaling membelakanginya, ada air mata yang keluar dikedua sudut matanya. Halimah melihatnya pergi menjauh, harapan ia satu-satunya kandas, laki-laki yang seharusnya percaya berlalu darinya. Tubuhnya lemas, tulang belulang bagai lolos dari tubuhnya.

“Biarkan saja dia mba!” ucap Dwi menguatkan Mbanya, ia mengangkat Mbanya dari keterpurukan, Sepeda itu berjalan kembali keluar dari Desa menuju Rumah Sakit, mereka sudah membawa semua kebutuhan yang diperlukan, Halimah masih terdiam bagai raga tak bernyawa, ia tak menangis. Hatinya sudah hancur.

Halimah sampai dirumah sakit, mereka bergegas menuju ruangan UGD, Sur yang menunggunya sejak tadi memintanya untuk keruangan dokter. Ia pun bergegas, dengan membawa beberapa uang dari hasil bongkaran celengan miliknya dan milik Dasinun. Dokter yang merawat Dasinun sudah menunggunya sejak 30 menit yang lalu,

“Dok."
“Iya silahkan, mba anak dari ibu Dasinun?”
“Ya dok saya.”
“Mba, setelah kami melakukan pemeriksaan menyeluruh, kami bisa simpulkan bahwa saluran usus bu Dasinun pecah akibat peradangan yang ia alami sebelumnya dan benturan benda keras,  itulah yang menyebabkan pembengkakkan terjadi diperutnya, harus dilakukan tindakan operasi segera, jika tidak bisa berbahaya, kami dari tim rumah sakit akan mempersiapkan segalanya, mba silahkan mengurus administrasinya agar kami bisa segera melakukan tindakan.”

Halimah lelah, begitu berat cobaan baginya, ia berjalan menuju ruang administrasi, uang yang ia kumpulkan dari bongkaran celengan miliknya tak lebih dari tiga juta rupiah, nilai yang sangat sedikit sekali untuk biaya perawatan ibunya, untungnya Rumah Sakit ini memberikan kemudahan baginya untuk bisa membayar uang muka terlebih dahulu diawal, dari uang tiga juta yang ia punya, dua jutanya sudah ia pakai untuk biaya rawat inap, biaya UGD, obat dan lainnya. Halimah tegar, ia mencoba berfikir tenang, selembar kertas dari ruang administrasi ia terima, biaya operasi ibunya beserta biaya rawat inap kelas 3 dan lainnya berjumlah fantastis baginya, 30 juta rupiah, angka yang sangat besar. Ia menarik nafas, ia mencoba berfikir dengan tenang kemana ia harus meminjam uang sebesar itu.

“Mba.” sapa Dwi yang melihatnya termenung didepan loby.
“Ehh..!” Ia terperanga, adiknya mendekat dan mengambil secarik kertas yang ia pegang.
“30 juta mba.” Dwi memelas.

Halimah diam dan terus berfikir, ia memandang kesegala arah melihat orang-orang disekitarnya yang mungkin memiliki masalah yang sama dengannya, pikirannya lalu terbang ke gedong tua, pikirannya sudah buntu, seperti tak ada jalan lain ia harus kembali ke Gedong tua untuk meminta bantuan, hati kecilnya merasa laki-laki yang membantunya kemarin adalah orang yang baik.

“Mba harus kembali ke Gedong tua, wi.”
“Jangan mba, jangan kita ngga boleh minta bantuan pada jelmaan jin”
“Dia Manusia wi, mba merasakan itu, bohong semua cerita orang-orang itu, dia orang baik mba yakin, hanya dia satu-satunya harapan wi, dia yang kemarin membantu kita, mba yakin kali ini dia pasti mau membantu kita.”
“Tapi ini masih sore kak, bukankah mereka membuka gerbangnya saat malam hari.”
“Mba akan menunggunya, sampai mba dapat mba tidak akan pulang.”
“Mba, aku ikut.”
“Kamu disini saja, mba khawatir terjadi apa-apa dengan bue, Sur masih kecil ia tidak mengerti apa-apa, mba berangkat sekarang.”
“Ya mba.”

Halimah sholat, setelah ashar ia berangkat menggunakan sepeda yang tadi ia pakai bersama adiknya, dengan kegigihan juga keyakinan, ia yakin ia akan pulang dengan membawa uang. Senja menyingsing, kabut tebal mulai turun kebawah udara semakin dingin, menjelang maghrib Halimah tiba di Gedong tua, rasa takut yang ia alami beberapa malam lalu sedikit berkurang, cahaya matahari mulai padam, Rumah itu pun mulai menebarkan aura gelapnya.

Gerbang masih tertutup, ia menunggu dengan sabar seraya berdzikir, sesekali ia melihat kedalam menanti Pak Darmin, atau Mbok yang ia belum tahu namanya, atau bahkan Tuan penghuni keluar.  Ia mulai berani membunyikan gembok yang sebesar tangannya, ia bentur-benturkan tak lama Pak Darmin berlari menemuinya, tanpa membuka gerbang Pak Darmin memintanya untuk pergi.

“Ya Ampun mba, ada apa lagi toh.. tolong jangan terus menerus kesini.” Ucapnya
“Izinkan saya sekali lagi bertemu dengannya pak, setelah ini saya janji tidak akan meminta bantuan lagi.” Ucap Halimah hingga bibirnya menyentuh dinding gerbang yang tertutup begitu rapat.

Tak lama terdengar suara si Mbok ia berlari lalu ia meminta untuk dibukakan gerbangnya untuk Halimah, Halimah bersyukur hatinya lega. Ia masuk seraya mencium tangan si Mbok, laki-laki itu berdiri dipekarangan rumah, dari jauh Halimah melihat tubuhnya tinggi besar, pundaknya bidang, rambutnya panjang juga wajahnya penuh dengan janggut kedua tangannya ia lipat didada, ia menatap Halimah begitu tajam. Halimah berjalan pelan kearahnya, tak lama ia masuk kedalam rumah. Halimah  menginjakkan kakinya kembali di rumah Gedong tua. Ia duduk dibawah lantai itu, Laki-laki itu duduk disebuah kursi tua persis dihadapannya, air mata Halimah terjatuh, ia berharap laki-laki itu mau mengasihaninya.

“Katakan!” ujarnya, suaranya begitu menggelegar di hati Halimah, mendengar suaranya jantung terasa berhenti.
“Maaf..sekali lagi maaf, tak seharusnya saya datang pada anda tapi saat ini tak ada satpun yang bisa membantu saya.” Jawab Halimah merendah.
“Langsung saja tidak usah bertele-tele!”
“Saya butuh uang, ibu saya harus dioperasi, saat ini saya tidak memiliki uang saya berjanji secepatnya akan saya kembalikan, tolong bantu saya.”
“Berapa?”
“30 juta..” jawabnya memelas, air matanya kembali menetes.
“Apa jaminannya?”
“Saya tidak punya apa-apa Tuan, saya bisa membayar dengan tenaga saya, saya bisa melakukan apa saja, tolong bantu saya Tuan.”
“Saya tidak butuh pekerja!”
“Apapun itu Tuan, saya akan menggantinya demi nyawa ibu saya, saya mohon..” Halimah menangis, nafasnya mulai tersendat, suaranya semakin parau terdengar.
“Ok! Kamu bisa mendapatkan uang itu, asalkan.”
“Apapun itu, apapun itu.”
“Kamu menikah dengan saya.” Halimah bagai tersambar petir, ia sama sekali tak menyangka laki-laki yang terlihat seperti monster itu memintanya untuk menjadi istrinya.
“Nggak..nggak.. itu hal yang tidak bisa saya terima.. tolong jangan manfaatkan saya, saya sedang kesulitan, tolong bantu saya.!” Tangisan Halimah pecah, ia tak mungkin menerima permintaan laki-laki itu.
“Kalau begitu tidak ada uang! Pak Darmin! Usir dia!”
“Tolong saya.,,saya mohon tolong saya,” Halimah menangis sesegukan Darmin membopong tubuhnya “Saya mohon bantu saya, saya akan melakukan apa saja asal jangan itu, saya mohon!” teriak Halimah, pintu ditutup Halimah terdiam di teras rumah, ia menggedor-gedor untuk meyakinkannya agar mau membantunya dengan tulus.

Halimah tak berdaya, ia jatuh pikirannya kacau, ibunya harus segera di operasi, tangisannya semakin menjadi, ia duduk disana hingga malam semakin larut, berharap laki-laki itu mau berbesar hati membantunya tanpa syarat, namun ia tak bergeming Halimah tetap duduk didepan hingga ia teringat pesan dokter malam ini juga harus dilakukan operasi.

Halimah berdiri, pikran juga hatinya kacau ia menggedor pintu rumah itu sekencang-kencangnya
“Keluar, kamu!! Benar kata mereka kamu tak lebih dari jelmaan jin, Syaiton!! Ia meluapkan emosinya,
“keluar kamu, jika itu memang keinginanmu aku bersedia..aku bersedia.. tolong selamatkan ibu saya.. tolong!” ia terus menjerit, suaranya semakin lama semakin pelan.

Pintu itu terbuka, laki-laki itu membawa koper ditangannya,ia melihat Halimah yang tak berdaya duduk dihadapannya seraya menangis.Halimah terperangah.
”Pak Darmin!”
“Ya den!”
“Bawa ini kerumah sakit, pastikan semuanya lancar, dan katakan pada adiknya, kakaknya akan segera menikah besok!”
“Baik den!”

Halimah berdiri, ia menatap benci pada laki-laki dihadapannya, Halimah pun mengalihkan wajahnya dan berlari menuju jeep yang Darmin bawa, tak lama laki-laki itu menangkap tangannya,

”KAMU DISINI SAJA!” Jawabnya melotot.
“Tidak,, Tidaaakk, lepaskan saya, lepaskan saya Syaiton, biadab, kamu sama dengan mereka,  lepaskan saya..!” Mobil Darmin melaju cepat ke Rumah Sakit, laki-laki itu menarik lengan Halimah, ia masuk ke dalam kamar lalu membanting tubuh Halimah keatas kasur lalu menguncinya dari luar, Halimah menjerit histeris, ia terus menjerit hingga suaranya habis.
“Mbok Sum!”
“Ya Den..!”
“Bawakan dia makanan, dan tutup mulutnya rapat-rapat!”

Halimah lelah, ia terus memikirkan ibunya juga adik-adiknya, ia sendiri menangis di sebuah kamar yang gelap tanpa cahaya, hanya ada cahaya rembulan yang masuk dari sela-sela jendela, ruangan yang begitu hampa.

Dilangkahkan kakinya yang masih lemas itu menuju kearah pintu, ia menggerakkan kenop pintu, tapi rupanya sia-sia. Pintu itu terkunci, air mata terus mengalir dari matanya, bayangan buruk memenuhi otaknya, kini dirinya yakin bahwa ia telah ditukar oleh laki-laki itu dengan uang yang ia pinjam untuk menyelamatkan ibunya, Laki-laki itu pasti akan menjadikannya mangsa hanya untuk memuaskan nafsu birahinya, Halimah menggeleng kuat-kuat memikirkan hal itu.

“Non” mbok sum mengetuk pintu dari luar. tak lama, ia membuka pintu kamarnya dengan perlahan, mbok sum membawa nampan ada lilin juga makanan diatasnya, saat mbok sum lengah, Halimah berlari keluar.

“Non…Non…berhenti Non, jangan keluar!” Teriak Mbok sum mengejarnya.

Halimah berhasil keluar dari rumah itu, ia berlari kencang tanpa alas kaki menuju gerbang yang sudah setengah terbuka dan

“Bugg!” Ia tertangkap, laki-laki itu mengejarnya dan memeluknya, tangannya ia silang kuat dibawah dadanya, ia mengangkatnya hingga kedua kaki Halimah terangkat.
“Lepaskan saya..lepaskan saya bajingan kamu..lepaskan!” Ia menggendongnya dan membawanya masuk kembali kedalam kamar Halimah terus menjerit
“DIAM!!” Teriak laki-laki itu persis dihadapannya, suaranya menggelegar, memperlambat detak jantung.

Halimah diam, bibirnya terkunci rapat, ruh juga tubuhnya ketakutan. Laki-laki itu pergi meninggalkannya lalu mengunci kembali ruangannya.

Halimah kini tak lagi bersuara, amarahnya sungguh membuat siapapun diam membisu, kamar yang ia tempati kini tak lagi gelap, mbok Sum sudah meletakkan dua buah lampu minyak di setiap sudutnya, kamar  yang ia tempati amat besar, ranjang ala eropa, juga beberapa lukisan kuno terpajang disana, rapih namun berdebu semua yang ia sentuh berdebu, kamar ini sudah lama tak terisi. Halimah diam disudut kamar, duduk dan menyilangkan tangannya, suara-suara aneh mulai menghantuinya, ia tak bisa memejamkan matanya, ia terjaga hingga pagi.
***

Pagi menjelang Dasinun telah selesai di operasi, masa kritisnya telah lewat. Darmin menunggu hingga operasi selesai, ia mengikuti semua perintah Tuannya, ia membayar semua kebutuhan Rumah Sakit, ia juga memberikan Dwi dan Sur pakaian yang layak, uang juga banyak makanan, bahkan kendaraan untuk mereka bisa gunakan, hal yang lebih dari yang Halimah pinta.

Dwi sangat syok saat mengetahui kakak perempuannya menjual harga dirinya demi menyelamatkan ibu mereka, batinnya sakit sulit rasanya bisa menerima kakaknya akan menikah dengan laki-laki yang dibilang Setan oleh banyak orang. Namun keadaan mereka sangat sulit, ia tak bisa mengelak.

Akad nikah akan dilakukan malam hari, Halimah hanya berdiam diri membisu dikamarnya, cahaya pagi itu sama sekali tak membawa semangat baginya, harusnya ia menikah dengan Haikal, harusnya ia bisa hidup bahagia setelah sekian lama penderitaan merajai dirinya. Air matanya kering, suaranya habis, ia pasrah.

Mbok sum membuka pintu, ia membawa sarapan Halimah tak terperangah sedikitpun, ia hanya memandang kearah jendela dengan posisi duduk dibawah dan tangan terlipat diatas lututnya, makanan dan minuman semalam sama sekali tak ia sentuh, ia bahkan tak ingat kewajibannya akan tuhan, kekecewaannya begitu mendalam cukup menyurutkan imannya.

“Non.. non harus makan..non!” Halimah tak menjawab.
“Non.. makan non.” ucapnya kembali seraya berusaha menyuapinya.
“Non..!” lanjut Mbok Sum , ia terus berusaha meyakinkannya, Mbok Sum tak tega melihat kesusahannya, tak lama ia menangis
“Ayo makan Non, kasihan ibu Non juga dik-adik, ayo makan Non” lanjutnya seraya menyuapi.
Halimah mengalihkan wajahnya kearahnya,
“Mbok menangis?” bibir Halimah menyungging keatas
“akhirnya ada juga yang menangis untuk penderitaan saya mbok.” lanjutnya.
“Yang Sabar ya Non, makan ya Non.”
“Saya tak akan makan mbok, saya juga tak akan minum, biar sampai mati saya akan berada disini, jika Alloh berkehendak saya mati disini, maka saya ikhlas, daripada saya harus menikah dengan laki-laki keji itu, saya tak akan pernah rela, lebih baik ia menghujami saya dengan batu atau bahkan menusuk saya dengan belati, bahkan teraniyaya sekalipun itu lebih baik daripada saya harus menikahinya.” Jawabnya mngguratkan kebencian.

“Non.. yang sabar ya,,. , oh ya apa Non sudah tau kabar ibu Non?”
“Belum mbok.” jawabnya menggelengkan kepala.
“Ibu Non sudah selesai dioperasi, dan masa kritisnya sudah lewat ia juga sudah sadar, pak Dirman yang memberitahu mbok.”
Wajah Halimah bergairah mendengarnya hatinya sedikit lega
“Benarkah mbok?”
“Benar Non. Pak Darmin menunggu hingga operasi selesai”
“Dia jahat mbok, seharusnya dia tidak meminta syarat apapun!” jawabnya murka.

Mbok Sum meninggalkannya sendiri, lalu ia mengunci kembali kamarnya. Mbok Sum lalu melanjutkan pergi kelantai dua mengantarakan sarapan untuk Tuannya, pelan ia mengetuk

“Den,, sarapan den” tak lama Laki-laki itu membuka pintu. Ia mengambil nampan dari tangan Mbok Sum, tak satupun yang boleh masuk kekamarnya,
“Bagaimana mbok?”
“Operasinya berhasil den, ibunya selamat.”
“Lalu dia?”
“Non tidak mau makan dan minum dari semalam den.” Ia Marah, Laki-laki itu langsung berjalan cepat kearah kamarnya, Ia membuka pintu kamarnya dan Halimah masih ada ditempat semula ia tak bergerak sedikitpun, “Bangun..bangun!” ujarnya seraya menarik lengannya lalu membantingnya kekasur, ia lalu mengambil makanan yang ada diatas meja lalu menyuapinya

“MAKAN..MAKAN!” teriaknya keras.
“SAMPAI MATI SAYA TIDAK AKAN MAKAN !” jawabnya lantang.
“MAKAAAN!” teriaknya kembali, jantung Halimah bergetar, tak lama hatinya menjadi ciut.
“Saya akan makan sendiri.”
“SEKARANG!” lanjutnya, Halimah makan dihadapannya,  sedikit makanan yang ia masukkan ke dalam mulutnya.
”Kamu tak akan bisa menikah denganku.” rutuk Halimah.
“Kenapa ?” jawabnya membalikkan badan kearahnya.
“Aku hanya bisa menikah dengan manusia, bukan setan sepertimu!”
“Kalau gitu aku akan membuktikan, apakah Setan ini bisa menikahimu atau tidak?” jawabnya seraya mendekatkan wajah seramnya ke wajah Halimah.
“kenapa harus aku? kenapa?” Halimah terisak, tangan laki-laki itu melengkung memegang kencang mulutnya, hampir mencekik.
“Karena hanya kau yang berani datang mengganggu kediamanku!” rutuknya kesal, matanya melotot ke arahnya, matanya merah bagaikan darah, wajahnya sangar bagai singa yang siap menghabisi mangsa.
“Seorang muslim hanya bisa menikahi muslim lainnya, pernikahan ini tidak akan sah.”rutuk Halimah.

Laki-laki itu tertawa, ia menertawai Halimah yang terbaring kaku diatas kasur,
“Kamu pikir aku tidak tahu syarat sah menikah dalam islam, berduduk manislah Halimah, kamu akan mendapatkan pernikahan sesuai ajaranmu!” Laki-laki itu berbicara seraya mundur kearah pintu, bibirnya menyungging keatas menunjukkan keangkuhannya. Ia keluar dan kembali mengunci pintunya.

“DENGAR HALIMAH! JIKA KAMU TIDAK MAKAN, AKU AKAN MENGHABISI KELUARGAMU, DENGAR ITU!” teriaknya diluar kamar.

Halimah tak berdaya, dan tak lama tangisan itupun pecah, ia menjerit, ia terus menerus menangis, matahari beranjak naik, tak lama bagaikan sebuah pertanda sebuah bayangan berlafaz Alloh memantul persis dihadapannya, jendela itu berukirkan lafaz Alloh. Halimah bangkit ia menatap ke arah jendela, ia meraba ukiran jendela itu yang baru saja ia sadari.
Ia tersenyum, ada harapan baru dihatinya, ia mengingat Dasinun, Dwi juga Sur,  ia mulai merasa ia harus kuat dan menghadapi semua kenyataan ini, “Aku harus kuat, aku harus kuat”Ia melahap habis makanan yang sudah berantakan.

Halimah memperhatikan setiap sudut di kamar yang ia tempati, kamar yang berukuran 50 meter itu adalah kamar utama Gedong Tua, semua  furniturenya berasal dari eropa, ada beberapa rak buku disebelah tempat tidur, lemari pakaian dan sebuah kamar mandi, lantainya dialasi karpet tebal yang mampu menghangatkan setiap langkahnya, tirai kelambu terpasang diatas ranjang, di sudut kamar, sebuah ranjang bayi tertutup rapih oleh selembar carik, ruangan ini pasti punya sejarah, mereka dulunya pasti keluarga bahagia “Siapa dia?” batin Halimah bertanya.

Halimah melangkahkan kakinya ke kamar mandi yang luasnya sama dengan kamar Halimah dirumah, sebuah bathtub, closetnya begitu bagus hanya kotor sudah berwarna coklat , ia mengambil wudu lalu ia sholat ia bermunajat memohon ampun atas keraguannya, ia memohon perlindungan kepada dirinya juga keluarganya ia memohon agar Alloh membukakan pintu hati laki-laki yang memaksa dirinya untuk menikah dengannya.

Malam itu Dirman datang, ia membawa Dwi juga seorang penghulu yang berasal dari desa sebelah. Akad nikah itu benar-benar akan diwujudkannya, Dwi adiknya hanya bisa menangis membayangkan nasib Halimah.

Dirman mengantarkan mereka masuk kedalam sebuah ruangan, Mbok Sum sudah mempersiapkan semuanya, Suasananya begitu sacral, beberapa buah lilin juga dua buah lampu minyak menerangi ruangan tersebut, tak ada Halimah disana, ia tidak diizinkan keluar oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya itu.

Laki-laki itu keluar dari kamarnya, ia memakai jas, kaos lusuh dan celana bahan seperti kulot  yang  biasa ia gunakan, tampilannya lebih rapih, wajahnya mulai terlihat ia tak seperti yang dikatakan orang, rambut yang selama ini menutupi wajahnya ia kuncir belakang, laki-laki itu bertubuh tinggi tegap, matanya tajam berwarna kecoklatan dan sangat indah, hidungnya mancung, dari jauh Dwi berlari kearahnya dan bersimpuh di kedua kakinya
“Tolong maafkan kakak saya, lepaskan dia” ujarnya
“Kakakmu sendiri yang setuju menikah denganku, jadilah adik yang baik dan lakukan tugasmu!” rutuk Laki-laki itu dengan wajah kesal dan bibir sedikit menyunggi keatas.

“Kita langsung saja, semua syarat sah menikah dalam islam sudah terpenuhi? Pengantin wanita, laki laki, dua orang saksi, dan Wali perempuan juga Mahar?” tanya penghulu setelah mencatat semua nama yang akan ia nikahkan. Hadir disana, dwi sebagai wali, Dirman dan Sum sebagai saksi.dan Mahar yang sudah mereka gunakan untuk pengobatan ibunya dirumah sakit.

“Nggih sudah pak”jawab Darmin.
“Langsung saja tidak usah bertele-tele!” Serunya,
“Baik siapa walinya?”
“Saya.” keluh Dwi menangis.

Penghulu itu menyodorkan secarik kertas untuk Dwi baca.

“Aku wakilkan kepadamu untuk menikahkan Halimah Sahardaya binti Sahardaya kakak perempuan saya dengan Rhandra dengan mahar 50 juta rupiah Tunai.”
“Saya terima perwakilanmu untuk menikahkan kakak kandung perempuanmu dengan Rhandra, dengan mahar tersebut tunai.”

Dwi menyetujui pernikahan tersebut, ia telah meminta kepada penghulu untuk menikahkan kakak kandungnya dengan laki-laki yang ia baru kenal bernama Rhandra Abyakta.

“Sebelum memulai pernikahan anda harus mengucapkan Syahadat terlebih dahulu”
“Kenapa? Hal itu tidak ada dalam rukun sah pernikahan dalam islam!” retuknya menatap dengan tajam.
“Hal ini memang tidak wajib, tapi hal ini dijadikan dasar  bagi saya, bahwa saya telah menikahkan seorang muslimah dengan seorang yang beragama islam, bukan beragama lain.”
“Den” Darmin memegang paha Rhandra kepalanya mengangguk memintanya untuk mengalah dan bersyahadat. Rhandra diam ia setuju.
“Ikuti saya”
“Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah”

Rhandra mengikutinya dengan suara lantang dan jelas. Dwi melihat caranya mengucap Syahadat ia bukanlah anak kemarin sore yang terbata-bata dalam bersyahadat, ia adalah muslim sejati, mulutnya dengan lantang mengucap lafaz syahadat dengan benar dan jelas.

Akad nikah berlangsung :
“Saudara Rhandra Abyakta bin Mahadi Abyakta  Saya nikahkan anda dengan Halimah Sahardaya binti Sahardaya yang hak walinya mewakilkan kepada saya dengan mas kawin uang 50 juta rupiah terbayar tunai.”
Dengan lantang dan tegas Rhandra menjawab
“Saya terima nikahnya Halimah Sahardaya binti Sahardaya yang walinya mewakilkan kepada bapak untuk saya sendiri dengan mas kawin tersebut tunai.”
“Sah.. sah Alhamdulillah..” penghulu melafaskan doa, semua mengadahkan tangan memohon rahmat pada sang khalik, hanya Rhandra yang terpaku diam, dan membiarkan semua itu terjadi dihadapannya.

Halimah telah sah menjadi istrinya, laki laki yang belakangan baru diketahui bernama Rhandra Abyakta. Dalam heningnya malam, Halimah terdiam ia memandang ke arah jendela, pasrah akan semua takdir yang terjadi dalam hidupnya, bibirnya kering terus menerus ia berdzikir berharap Alloh memberikan petunjuk dan jalan penerang baginya.
Kenop pintu bergerak, Halimah mengalihkan pandangannya ia berharap bukan laki-laki yang ia anggap monster itu yang masuk ke dalam kamarnya, ia mundur dan bersembunyi di balik nakas.

“Mba..Mba halimah.” Suara Dwi terdengar.
“Dwi!” Halimah berdiri dan berlari memeluknya, mereka menangis,
“Gimana kabar bue wi.. gimana?”
“Bue baik mba, ia sudah lebih baik sekarang, mba yang sabar ya, dwi minta maaf.” Dwi bersimpuh di kakinya, ia memohon maaf karena tak bisa berbuat banyak atas kejadian yang menimpa keluarganya.

“Bangun wi.”
“Mba, Mba sekarang sudah sah menjadi istrinya, dwi yang memberikan tangan mba padanya, dwi khawatir , maafkan dwi mba.”

Halimah menangis, ia tahu itu pasti akan terjadi, kini ia sah menjadi istri dari penghuni Gedong Tua, hatinya hancur meratap harusnya ia bisa menikah dengan Haikal laki-laki pujaannya bukan dengan jelmaan Jin seperti dia.

“kalian akan tinggal dimana? Rumah masih hancur, dan kalaupun kalian kembali desa, hidup kalian pasti tidak akan aman.”
“Mba tidak usah khawatir, laki-laki itu membiayai semua kebutuhan kami di Rumah Sakit, bahkan bue diopname dikamar utama Rumah sakit, kami tidur beralaskan sofa empuk mba didalam kamar, ia juga memberikan pakaian untuk saya dan Sur, juga sepeda, dan tempat untuk kami tinggali setelah bue keluar dari Rumah sakit nanti.”

Halimah diam, ia bersyukur setidaknya laki-laki itu menukar dirinya dengan harga yang setimpal. Ia kini pasrah, harga dirinya sudah terjual, ia sekarang menjadi hak Rhandra seutuhnya.

Bersambung#3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER