Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 24 Januari 2020

Menikah Dengan Setan #3

Cerita bersambung

Rembulan malam tertutup awan gelap, kamar Halimah malam itu terlihat lebih gelap dari biasanya, setelah semalam ia resmi menjadi istri sah dari Rhandra Abyakta pikiran liar terus menghantuinya.
Ia membayangkan laki-laki itu akan datang kekamarnya dan mencabik-cabik kehormatannya, seluruh tubuhnya berkeringat, kepalanya terus menggeleng-geleng memikirkannya ia terus berdoa agar Laki-laki yang kini menjadi suaminya itu tidak merenggut kesuciannya malam ini.

“Deg..deg..” Suara langkah kaki itu menuju kamarnya, malam itu sudah pukul satu malam dan Halimah masih terjaga karena khawatir, Halimah merespon ia berlari menuju arah pintu, ia menarik nakas yang berada disebelah tempat tidurnya lalu ia rapatkan dipintu dengan rapat, dan benar kenop pintunya berputar, dorongan kuat dari arah luar untuk membuka pintunya tak bisa ia bendung, Halimah terlempar, Rhandra mendorong pintu yang terhalang oleh nakas.
“Apa yang kamu lakukan!” rutuknya kesal melihat kelakuan Halimah.
“Mau apa kamu?”
“Kenapa, aku suamimu sekarang aku bebas mau melakukan apa saja denganmu?”  Rhandra mendekat, rambutnya terurai acak-acakkan seperti biasa, janggut juga alisnya begitu tebal.
“Jangan mendekat, atau aku akan berteriak!”
“Teriak saja, tidak ada yang akan dengar!”
“HAAAAAAAPPP!” Halimah berteriak dan seketika Rhandra menutup mulutnya dengan tangannya yang kekar.
“Berani sekali kamu rupanya ya!”
“Mmmmm..” Halimah menangis, mulutnya masih tertutup tangannya.
“Ini..!” Rhandra melemparkan pakaian padanya, “ganti pakaianmu itu, pakaianmu sudah tak layak.” Halimah memang belum berganti pakaian dari kemarin, ia masih Nampak kacau, debu pun masih menempel ditubuhnya, ia tak ada gairah untuk membersihkan diri.

Halimah memeluk pakaiannya dengan erat seraya menangis.
“Dengar baik-baik, aku tidak akan memaksa untuk masuk kekamarmu, kamar kita terpisah, tapi jangan sesekali kamu mengunci diri seperti malam ini, karena aku bebas masuk kekamarmu kapanpun aku mau, jika terulang habis kau.!” Ia merutuk kemudian beranjak keluar.
“Tunggu!” halang Halimah. Rhandra berhenti membelakanginya.
“Terimakasih.. apa yang kamu berikan untuk keluargaku itu sangat berarti untukku, terimakasih.” Ujar Halimah, sejujurnya disaat semua orang menjadi penjahat baginya Rhandra bagaikan sinar yang menolongnya dari kegelapan, ia cukup terharu akan kebaikannya, meskipun ia terluka dengan pernikahan yang sama sekali tak ia inginkan.

Rhandra pergi tanpa menjawab sedikitpun, ia tinggalkan Halimah dengan pintu terbuka dan kunci yang menempel dari arah dalam.

Halimah berbaring diatas ranjang, tubuhnya meliuk ketakutan suasana kamarnya begitu gelap hanya ada dua cahaya yang berasal dari lampu minyak yang tak begitu terang. Ia menangis terus menerus meratapi nasibnya, ia bagaikan rembulan yang terkungkung malam, tak bisa bergerak, ingin menjerit pun tak akan ada yang mendengar.

Halimah melamun, pikirannya melayang ke Haikal laki-laki yang beberapa hari lalu telah membebaskan ikatan dengannya, semudah itu dia membebaskan ikatannya, jika tidak ada yang memfitnahnya mungkin saat ini ia adalah wanita yang paling bahagia didunia, memiliki laki-laki yang sholih juga tampan dan mapan, namun nasibnya tak seberuntung rupanya, Alloh mungkin menganugrahkannya wajah yang cantik, namun kecantikkan tak bisa merubah nasibnya, kecantikkan tak mampu membahagiakannya, bahkan karena kecantikkannya itulah ia jadi sumber fitnah.

Halimah terus menangis meratap.
“Allahuakabar..Allhuakbar..!” Alunan adzan terdengar ditelinganya, Halimah bangkit suara adzan dari surau didesanya terdengar merdu hingga kekamarnya, tiada tuhan selain Alloh, tiada kekuatan selain hanya milikNya. Ia menatap ke arah kamar mandi yang begitu gelap, tak ada cahaya sedikitpun disana, sisi kanan-kiri kamar menuju kamar mandi pun terlihat sangat menyeramkan,  ia membawa lampu minyak bersamanya ia menuju arah kamar mandi, “Bismillah.” Ada suara-suara asing ditelinganya ia hiraukan begitu saja, ia yakin semua itu akan hilang hanya dengan doa juga sholat yang ia dirikan diruangan ini.

Pagi menjelang, suasana Gedong tua Nampak asri dari arah jendela kamarnya, matahari mulai memancarkan sinarnya, wajahnya terasa hangat tersiram cahayanya.  Halimah menatap keluar kamar, biasanya dijam yang sama ini ia melintas didepan Gedong tua, ia menatap keluar dan benar jalanan yang selalu ia lewati berada persis dibawah, ia bisa melihat desanya lewat kamar ini pula, hatinya sedikit terhibur.

Ia teringat beberapa waktu lalu, ia sempat melihat seseorang dari tempat ia berdiri saat itu “Di tempat inikah Rhandra memperhatikan saya?” batinnya bertanya.

“Pagi Non..!” Mbok Sum datang membawa segelas susu dan sarapan, roti berisi sayuran didalamnya.
“Terimakasih mbok.”
“Non, mata non gelap sekali.”
“Saya tidak bisa tidur mbok, sudah dua malam ini saya terjaga, terakhir saya terlelap adalah saat dimana saya memeluk adik saya Sur di Rumah Sakit.”
“Ya ampun Non, Non harus tidur, kalau tidak sakit.”
“Entah kenapa mbok, ruangan ini terlalu besar untuk saya, saya tidak terbiasa.”
“Non takut?”
Halimah mengangguk.
“Yang sabar ya Non, kalo Non takut Non teriak saja panggil saya.”
“Kalo mbok yang dateng, kalo Monster itu gimana?”
“Hahahhaa.. Den Rhandra memang kayak Monster ya non?”

Sekejap ruangan itu menjadi hangat, Halimah dan Mbok Sum tertawa hebat didalam, sebelumnya tak pernah ada tawa, tak pernah ada keceriaan dirumah itu, yang ada hanya ketegangan yang menghantui seisi rumah.

Hari itu Halimah berusaha untuk tegar, ia tak lagi bersedih ia berusaha menerima Rhandra sebagai suaminya, ia yakin Alloh tak akan memberikannya cobaan seberat dari apa yang tak bisa ia jalani, ia pun bekeyakinan bahwa ia adalah orang baik, maka Rhandra seharusnya pun orang baik ia teringat akan sebuah nasihat yang pernah ia dapatkan di surau.

“ Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. (Qs. An Nur:26).

Sore itu setelah sholat ashar, Mbok Sum datang kekamarnya.
“Non.. mau ikut mbok berkeliling?”
“Keliling Rumah mbok? Mau mbok.”

Mbo sum menunjukan juga mengenalkan isi rumah yang ia kenal dengan sebutan Gedong tua padanya, mereka mulai melangkah dari ruang depan, diruang depan terdiri dari dua set sofa, yang satu berada dijung dan yang satunya persis dekat dengan pintu masuk, ada kursi tua santai gaya belanda satu buah didalamnya, kursi itu yang dipakai Rhandra malam lalu. Lanjut mereka keruang tengah, sebuah meja marmer bundar dengan vas bunga besar diatasnya, di ruang tengah ini terdapat beberapa foto-foto, jika dilihat foto-foto itu cetakkan 20 atau 30 tahunan lebih .

”Rhandra yang mana mbok?”
“Tidak ada Den Rhandra disitu non,, yuk kita lanjut.” Ajak Mbok Sum.

Halimah memasuki sebuah lorong untuk masuk keruangan berikutnya disisi kanan lorong adalah sebuah tangga yang menghubungkannya ke lantai dua dan tiga, kamarnya berada di lantai dua, sedangkan kamar Rhandra berada di lantai tiga, lantai tiga adalah daerah terlarang, siapapun kecuali Mbok Sum yang bisa naik dan mengantarkan makanan hanya sampai depan pintu. Lantai tiga itu jika digambarkan oleh Mbok Sum seperti loteng, bangunan ini memiliki tiang-tiang yang tinggi, gaya arsktekturnya pun seperti rumah-rumah di eropa. Jika bukan seorang bangsawan, siapapun tidak bisa membangun rumah seluas dan semegah ini.

Halimah masuk keruang makan, disana ia bisa melihat meja panjang yang sangat unik terbuat dari ukiran jati berwarna hitam, disisi kanan kirinya terdapat rak rak buku, hampir semua ruangan memiliki jendela yang besar hingga saat pagi hari, rumah tidak terlihat menyeramkan.

Setelah ruang makan ia kembali melewati sebuah lorong, ada ruang keluarga disisi kanan, dan disisi kiri sebuah balkon yang menghadap ke sebuah taman, persis dihadapannya ada kolam air mancur kecil yang sudah berlumut dan tak terawat.

“Ini Kamar saya non, dan disebelah sana dapur.”
“Luas sekali ya mbok.”
“ya.”
“Bagaimana bisa rumah sebagus ini bisa menjadi rumah yang tak terawat? Bahkan banyak yang bilang ini adalah rumah hantu.”
“Kemari Non.” Mbok Sum menariknya untuk duduk diatas kursi di dapur.
“Den Rhandra memang sengaja membuat seisi rumah ini terlihat angker, dia tak ingin siapapun tau keberadaannya dirumah ini, untuk itu saya mohon dengan sangat pada non, tolong jangan beritahu siapapun tentang Den Rhandra.”
“Tapi kenapa Mbok?”
“Mbok ngga bisa menjelaskan lebih jauh Non, jika waktunya tepat Mbok yakin Aden akan cerita banyak dengan Non.”
“Non, Den Rhandra itu anak yang baik, yakinlah Non.” Mbok Sum menangis.
“Mbok...”Halimah terharu, ia pun merasakan hal yang sama dengannya, entah dari mana asalnya hati kecilnya selalu berkata bahwa Rhandra adalah laki-laki yang baik, ia bisa melihat dari sinar matanya meskipun gelap disana, namun ada keteduhan yang bisa membuatnya merasa aman.

“Non, dirumah ini non bebas melakukan apapun, kecuali”
“Kecuali apa mbok?” potong Halimah.
“Non tidak boleh kelantai tiga, Non juga tidak boleh keluar disiang hari, Non tidak boleh ke sisi selatan pekarangan rumah, itu terlarang. Non harus menjaga diri dari orang lain, buat seolah-olah rumah ini tak berpenghuni non.”
“Kenapa begitu menyeramkan sekali mbok, kenapa?”
“Itu aturan yang Den Rhandra buat, non patuhi saja.”
“Jadi maksud si mbok, saya akan selamanya didalam rumah ini, saya juga tak bisa mengunjungi bue saya?” Lanjut Halimah terkejut.
“Sebaiknya begitu.”
“Rumah macam apa ini mbok. Tidak ada kebahagiaan didalamnya, saat ini saya sangat merindukan keluarga saya mbok, saya ingin tahu kabar mereka, meskipun saya tau mereka sudah mendapatkan tempat yang layak, tapi saya berhak tau mbok, jika bertemu dengan keluarga atau orang lain saja saya tidak boleh lalu bagaimana bisa saya tidak menyesali pernikahan saya.!”

Halimah menangis, ia lari kekamarnya ada sesuatu yang janggal yang ia rasakan, pertama mistery rumah ini dan misteri si Tuan rumah yang keras kepala, mengapa ia mau dianggap setan padahal ia adalah orang baik.

Halimah kembali kedalam kamar, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat senja menjelang, pelan ia pandangi kamarnya, ia menuju ke sebuah rak buku yang berada persis disebelah nakas, buku-bukunya tersusun rapih, ia bersyukur ia menemukan hiburan, ia meraba susunan buku yang tersusun rapi didalamnya, dan saat ia mengambil salah satu buku, bisikan itu pun terdengar.

“HALIMAAHHH..!”
“Hah..!” Halimah kaget, suara bisikan itu adalah suara perempuan ia sangat yakin. Ia seperti berbisik ditelinga sebelah kanannya. Tak sengaja ia menjatuhkan buku yang berada digenggaman, ia melompat ke atas ranjang dan berdzikir.

“Astaghfirullah..astaghfirullah..astaghfirullah..” mulutnya tak berhenti berdzikir, ia duduk diatas ranjang seraya menutup mata juga telinganya karena syok dan ketakutan dan saat ia membuka mata, seorang wanita berbaju putih dengan rambut terurai terlihat sedang menggendong bayi dihadapannya, Halimah melotot, badannya kaku, bibirnya beku, nafasnya terengap egap, jantungnya berdegup kencang dan pelan kepalanya bergerak lalu dengan cepat ia menyambar  “HAAAAAAAAAAAAAAAAAA!” Halimah berteriak.

Teriakannya menyeruak membangunkan Rhandra yang sedang tertidur pulas, Rhandra berlari, begitupun Sum juga Darmin semua kaget mendengar teriakannya. Rhandra menemuinya Halimah dalam keadaan ketakutan diatas kasur.

“kenapa kamu Halimah?” rutuk Rhandra yang kesal mendengar teriakannya.

Spontan Halimah meloncat dari kasur dan memeluknya, pelukan pertama dari seorang wanita, pelukan yang begitun hangat, Halimah tak berkata sedikitpun, jari-jarinya meremas punggungnya hingga berbekas, Rhandra berusaha melepaskannya namun Halimah semakin erat memeluknya, Sum dan Darmin melihat mereka, sebelumnya mereka tak pernah melihat Rhandra tuan muda yang sudah mereka anggap sebagai anak mendekati makhluk lain selain mereka, hari itu Halimah menjadi bidadari yang turun untuk menyinari kegelapan dihatinya.

“Lepaskan Halimah,”teriak Rhandra berupaya melepaskan cengkramannya.
“Tolong jangan tinggalkan saya, tolong saya takut sekali, tolong, wanita itu terus menerus memanggil nama saya, tolong..!”  Rhandra luluh, melihat Halimah yang begitu kacau, matanya gelap, juga pelukannya yang erat.
“Tidurlah Halimah.”

Tanpa Halimah sadari, ia tertidur dipangkuan Rhandra Tangannya masih meremas kaosnya dengan erat, Halimah Syok ketakutan, Rhandra melihat Halimah dari dekat, jantungnya berdebar sangat cepat,

Halimah dibekali wajah menawan dari sang Ilahi, yang jelas membuat semua mata yang memandang takjub dibuatnya, bibirnya yang mungil berwarna merah muda, matanya bundar dengan hitam mata yang pekat dan putih mata yang bersih, bulu mata yang lentik, dan tampak seperti selalu memakai celak, ia begitu cantik bagai bidadari di khayangan.
Rhandra tergoda belum pernah seumur hidupnya ia menyentuh wanita dan apalagi sedekat wanita seperti saat ini,  Halimah tidur dan tak sadarkan diri dipangkuannya, ia begitu syok dengan apa yang ia dengar dan ia lihat baru saja.

Perlahan Rhandra mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat, ia buka peniti hijabnya yang dua hari ini tak ia lepas, ia biarkan angin berhembus kesekitar lehernya, hijab itu pun terbang terhembuh angin, Rhandra melepaskannya dan membiarkan rambutnya terurai, rambutnya panjang dan lurus, lehernya  jenjang sangat cantik jika ada sebuah liontin yang terpasang disana, pikirnya. Telinganya caplang mirip dengannya namun tak ada hiasan anting juga yang menghiasi telinganya yang indah.

Begitu Halimah pulas, Rhandra beranjak pergi dan meninggalkannya sendiri, Halimah tertidur pulas sore itu dan Rhandra menyimpan kesan yang mendalam dihatinya.
Rhandra terdiam lama di depan kamar Halimah, ia memegang dadanya yang terus bergetar, belum pernah ia merasakan perasaan seperti itu sebelumnya, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.

“Den..”
“Heh..ya Mbok.”
“Non Halimah kenapa Den?”
“Mbok minta pak Darmin untuk menutup jendelanya dengan paku, dan tambahkan jumlah lampu dikamarnya setiap malam, dan malam ini saya mau makan di meja makan Mbok.”
“Nggih Den.”

Mbok Sum tersenyum melihat perhatian Rhandra pada Halimah, belum pernah ia melihat Rhandra seperti ini,  dan untuk pertama kalinya dalam kurun waktu 20 tahun lamanya akhirnya ia mau makan diruang makan. Halimah tertidur cukup pulas, dua malam ia tak bisa memejamkan mata, namun hari itu ia sangat merasa aman, sosok Rhandra memberikan rasa nyaman di hati kecilnya.
***

(Back to episode 1, cerita disini langsung loncat kelanjutan episode 1)

Halimah menuju ke ruang kerja yang dibilang masih berantakan itu, ruangannya berada di lantai dua lorong sebelah kiri dari tangga, dan kamarnya berada dilorong sebelah kanan. Ditemani Mbok Sum, ia membersihkan ruangan yang menjadi tempat favorite Rhandra suaminya, ruangan itu dipenuhi dengan buku-buku disekeliling dindingnya, sebuah meja ditengah dan lampu meja, tidak ada jendela disana.

“Mbok..kenapa hanya Rhandra yang boleh menyalakan lampu?” tanya Halimah heran.
“Karena hanya ruangan Den Rhandra yang tak berjendela, semua ruangan yang ia tempati tidak memiliki jendela, makanya ia bebas menggunakan lampu, ia tak ingin ada orang yang tau bahwa rumah ini masih berpenghuni makanya diruangan lain hanya boleh dipasang lilin atau lampu minyak yang sinarnya masih kalah dengan sinar rembulan.” Halimah semakin penasaran dengan alasan Rhandra yang tak ingin orang tau akan keberadaannya.

“Tapi hari ini Den Rhandra, meminta pada si mbok untuk menambah lampu minyak dikamar Non.”
“Kenapa?”
“Sepertinya ia khawatir sama Non.”
“Dug,,dug,,dug,,” Halimah terperangah “Suara apa itu Mbok?”
“Pak Darmin sedang memaku jendela Non, biar cahaya dari dalam tidak keluar.”
“Apah?” mendengar penjelasan Mbo Sum, Halimah berlari ke arah kamarnya ia tak bisa membiarkan Darmin menutup mati jendelanya, jendela itu adalah sumber kehidupan baginya, Asma Alloh jelas berada di ukiran itu.

“Berhenti pak.” Teriak Halimah menghalangi.
“Ya Non, maaf saya diminta Aden untuk menutupnya dengan kayu.”
“Jangan pak Darmin, biarkan jendela itu seperti itu saya mohon.”
“Maaf Non, Aden meminta saya untuk menutupnya.”
“Jangan Pak Darmin saya mohon.”
“Kenapa kamu suka sekali buat keributan!” rutuk Rhandra kesal yang tiba-tiba datang kekamarnya. Halimah terdiam
“Kamu tidak bisa menutup jendela itu!” rutuk Halimah, wajahnya memandang Rhandra, matanya melotot.
“kenapa?”
“Hanya itu yang bisa membuatku tenang, aku tak bisa hidup tanpa sinar matahari seperti kamu, aku manusia normal.”
“Apa kamu bilang?” Tubuh Rhandra mendekat, ia membalas tatapan Halimah yang tajam kepadanya.
“Pak Darmin, ikuti apa maunya, dan kurangi cahaya dikamar ini, jangan teriak kalau kamu ketakutan, camkan itu!” lanjutnya.

Rhandra berpaling, Halimah merasa benar dengan apa yang sudah ia katakan. Halimah menarik nafas panjang, ia membayangkan suasana gelap dikamarnya belum lagi saat lilin itu tertiup angin, itu pasti akan sangat lebih menakutkan, sejenak ia menyesali perbuatannya.

Malam itu, Halimah tak tidur ia bersama Mbok Sum masih sibuk membenahi ruang kerja Rhanda yang berantakan, sosok Rhandra memang sangat membuatnya penasaran buku-buku diruangannya tergeletak tak beraturan, beberapa diantaranya ada buku-buku yang membahas tentang keTuhanan, alam ghaib, ilmu kedokteran dan banyak lagi, ia melahap habis semua buku yang ada.

“Mbok, apa ini yang ia kerjakan setiap hari? Membaca buku?”
“hmm.. si Mbok diam tak menjawab, Non sudah malam si Mbok ngantuk, apa boleh kita lanjutkan besok?”
“Oh ya mbok,, maafkan saya ya mbok.”
“Ngga apa-apa Non, mbok pamit ya non.”
“Nggih Mbok.”

Halimah melanjutkan sisa pekerjaan yang tinggal sedikit. Halimah melangkahkan kakinya menuju kekamar semua lorong gelap, tak bercahaya hanya sinar rembulan yang membantu menuntunnya berjalan, ia membayangkan bagaimana jika tidak ada rembulan, bagaimana mungkin mereka bisa bergerak? Misteri itu selalu menghantuinya.

Halimah berdiri dipersimpangan antara lorong menuju kamarnya dan tangga menuju keatas juga lantai bawah disebelah kanannya, ia sungguh penasaran apa yang dilakukan Rhandra diatas sana, kenapa ia menghabiskan masa hidupnya hanya untuk mengurung diri.

Pelan Halimah melangkahkan kakinya menuju anak tangga, ia berjalan sangat pelan dan mendadak ia teringat dengan perkataan si Mbok, “Rhandra tak mengizinkan siapapun naik ke lantai tiga”, Halimah kemudian memutar balik badannya dan mengejutkan seorang wanita melintas dihadapannya, wanita yang sama persis yang ia lihat tadi siang, rambutnya hitam berantakan panjang hingga sepinggang, pakaiannya putih bagai kain kafan.

Halimah melotot dan terpaku melihatnya, kakinya membeku, berat baginya untuk melangkah maju, Jantungnya berdegup kencang dan tiba-tiba “HALIMAAAHH..” “Halimaah..” “Halimaaah” Bisikan itu terjadi lagi, Halimah meliuk dianak tangga, ia sangat ketakutan tangisannya pecah, wanita itu terus menerus memanggil namanya. “Halimaah..Halimaaah..”

“Pergi,,saya mohon pergi jangan ganggu saya.. Astagfirullah..Astaghfirullah..pergi Jangan ganggu saya.. pergi..”Halimah menutup mata dan telinganya erat, ia menggoyang- goyangkan kakinya karena takut.

Tiba-tiba seseorang menyentuh tangannya, Halimah semakin takut, ia semakin mengepal tangannya dan semakin meliukkan badannya

“Halimah!” Suaranya terdengar nyata dan tegas.
“Hah..!” Halimah membuka matanya, “Rhandra!” spontan ia memeluk laki-laki yang berada dihadapannya. Rhandra bisa merasakan jantung Halimah berdegup sangat kencang, kedua kalinya ia merasakan desiran kuat dihatinya, Halimah memeluknya sangat erat, tubuh Halimah berkeringat, dan mulutnya tak berhenti menyebutkan kata.

“Astagfirullah..Astagfirullah.” Namun Rhandra sama sekali tak bergeming biasanya ia akan marah mendengarnya namun malam itu ia biarkan Halimah merasa tenang dipelukannya.
“Halimah!” tegurnya.
“Hah..” Halimah terperanjat “Maaf. maaf.” Halimah pun berlari meninggalkannya menuju kekamarnya.

Rhandra terdiam sejenak ia melihat Halimah lari ketakutan meninggalkannya, ada keinginan yang sangat dalam untuknya agar bisa tidur sekamar dengannya melindunginya, menenangkannya. Rhandra menggelengkan kepala memikirkannya, perasaan aneh itu datang kembali mengganggu relungnya.

Malam itu Halimah kembali terjaga, ia belum terbiasa dengan semua ini. Wanita itu terus menghantuinya, sepertinya ia adalah penghuni kamar yang ia tempati saat ini. Halimah meringkuk ketakutan di kamarnya ia memperhatikan setiap gerak-gerik yang nyata di kamarnya,

Tak lama knop pintu kamarnya terbuka, ruh Halimah semakin ketakutan, air matanya terus mengalir, raganya bagai es yang bisa hancur dalam seketika.

“Rhandra..!” Laki-laki itu masuk kedalam kamarnya, Halimah membisu, bibirnya  biru, badannya sangat dingin, ia terpaku melihat Randra dihadapannya, ada perasaan senang karena setidaknya ada seseorang yang menemaninya, namun jiwanya yang lain menolak kehadirannya malam itu, karena Halimah belum siap satu ranjang dengannya, meskipun Rhandra memiliki hak kapanpun ia mau ia bisa saja mendatanginya sesukanya ia berhak atas diri juga kehormatannya.

“Tidurlah, aku akan menemanimu.” Halimah tercengang, ia kaget dengan prilaku Rhandra malam ini, ia menggeser dan tidur membelakanginya, kelakuannya tidak seperti laki-laki lain yang haus akan wanita, Halimah begitu senang Rhandra tak berusaha menyentuhnya. Mereka berdua berada diatas satu ranjang yang sama, ranjang yang berukuran 200cm itu menjadi saksi akan kebisuan mereka.

Rhandra tidur meliuk disisi kanan membelakangi Halimah, dan begitupun Halimah tertidur di posisi sebelah kiri menghadapnya, ada jarak satu meter lebih diantar mereka, mereka tak saling menatap, juga saling bicara. Malam itu Rhandra datang hanya untuk membuatnya nyaman dan tertidur dengan tenang. Seketika semua suara yang menganggu Halimah hilang bagai terhembus angin.

=====

“Allahuakbar-Allahuakbar!” lagi-lagi suara adzan yang berasal dari surau di desa membangunkan Halimah, ia terbangun, Rhandra masih terlelap disampingnya tubuhnya sama sekali tak bergeser dari tempat semula. Halimah bergegas, ia sholat subuh dikamar tanpa sepengetahuan Rhandra, ada rasa nyaman dihatinya yang teramat dalam.

Halimah bergegas, ia meninggalkan Rhandra sendiri halimah pergi ke dapur, Mbok sum sudah siap dengan beberapa sayuran yang sudah dibeli pak Darmin setiap minggunya.
“Biar saya saja yang masak mbok.” Halimah lebih tenang, rasa takut juga trauma akan gangguan makhluk astral itu sedikit berkurang.
“Nggih Non, Mbok bantu ya.”
“Nggih mbok.”
“Makanan apa yang Rhandra suka Mbok?”

“Den Rhandra hanya makan sayur-sayuran, dada ayam tanpa kulit, ikan, beras merah, roti gandum, buah-buahan kecuali yang asam, buah alpukat ia sangat suka, dan semua harus dimasak tanpa minyak Non, kalau Non mau pakai minyak, hanya boleh menggunakan minyak zaitun, semua sudah Mbok catat dan tempel di kulkas, oh ya susu kedelai, mbok sudah buatkan stok untuk Aden Non, nanti tinggal dihangatkan saja, ia hanya boleh minum susu nabati Non, setiap pagi biasanya Mbok bawakan dia susu kedelai ditambah roti isi sayur.”
“Nggih, terimakasih Mbok, biar saya yang siapkan sarapannya.”

Halimah membuatkan roti isi yang berbeda dengan yang si mbok buat kemarin, kemarin pagi ia sempat mencicipi roti buatan si Mbok, pagi ini ia ingin membuatnya sedikit berbeda dengan tulus ia membuatkan roti isi sayur yang ia campur dengan potongan daging ayam yang sudah direbus lalu ia potong kecil-kecil, ia campurkan semua sayuran juga ayam kedalamnya ia tambahkan minyak zaitun, garam dan sedikit lada. Halimah lalu memanggang sedikit rotinya, terakhir menyusunnya menjadi potongan roti isi yang lezat, brokoli dan wortel rebus yang sudah ia bumbui menjadi penghias disekitarnya, Halimah memang pandai memasak. Halimah berharap Roti ini bisa mengungkapkan rasa terimakasihnya pada Rhandra.

Pelan Halimah membawa nampan itu menuju kekamarnya, didalamnya Rhandra masih tertidur pulas, ia belum beranjak dari posisi ia tidur semalam, meringkuk dan menghadap ke arah pintu.

Halimah meletakkan roti isi juga susu kedelai itu di nakas sebelah Rhandra kemudian ia duduk dilantai persis disebelahnya berhadapan dengan wajahnya. Halimah terpaku, ia duduk dan mengamati Rhandra lebih dalam, alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, juga kulitnya yang sedikit agak kecoklatan, Rhandra terlihat begitu manis saat tertidur sejenak ia teringat dengan Haikal, ia membandingkan wajah juga prilakunya yang sangat berbeda jauh dengannya, Haikal pun juga memiliki hidung yang mancung, bibir yang tipis dan warna kulit sedikit lebih putih dibandingkan Rhandra, namun ia berbeda ketidakpercayaannya padanya sungguh membuah Halimah kecewa, bahkan Rhandra bisa jadi lebih baik darinya.

Halimah hanyut, tiba-tiba hembusan angin menerpa wajahnya, hijab yang ia kenakan lepas seketika, Alam seperti menunggu penyatuan dua insan yang sudah sah menjadi sepasang kekasih itu.

Rhandra membuka matanya, dilihatnya Halimah bagai bidadari yang turun dari langit, ia sedang berpaling dan membenarkan hijabnya, Halimah terlihat begitu anggun, ia cantik saat rambutnya terurai, saat tangan itu mengambil hijab dan hendak memasangkannya, Tangan Rhandra bergerak dan menangkap lengannya. Mata mereka beradu, degup jantung mereka berdetak semakin parah, desiran hati, dan aliran darah seakan naik memuncak ke ubun-ubunya. Halimah menatapnya dengan takut,
“Biarkan hijab itu, bukankah aku berhak melihat rambutmu yang terurai itu?” ujar Rhandra.

Halimah diam, ia melepas hijab dari genggamannya dan membiarkan rambutnya terurai, hembusan angin berulang kali menerpa rambutnya yang tak terikat, Rhandra bangkit dari ranjang ia membenarkan rambutnya dan menyempilkan dikedua telinganya. Bibirnya sedikit menungging ke atas, dada Halimah terlihat kembang kempis begitu cepat.
Rhandra mengelak, ia  bangkit dan keluar. Rona pipinya memerah, ia berjalan seraya memegang dadanya yang berdegup kencang.

Halimah tertunduk diam dan malu, batinnya menyangkal, laki-laki yang berada dalam mimpinya semalam bukanlah Rhandra melainkan Jin yang merasuk dalam mimpinya, Rhandra yang ia kenal adalah laki-laki yang sangat melindungi juga menghormati perempuan, Halimah bangkit

“Tunggu Rhandra!” Ia memberhentikan Rhandra yang tengah beranjak menaiki tangga.

Halimah kembali kekamar dan membawakan sarapan yang telah ia buat, ia hantarkan perlahan menuju kearahnya rambutnya masih terurai, Rhandra menatapnya dari wajah hingga ujung kaki, nyaris sempurna batinnya.

“Sarapanmu.”
“Terimakasih.”
“Rhandra!” Panggil Halimah.
“Hem.” Ia menjawab tanpa berpaling.
“Terimakasih.”

Pagi itu adalah awal baru bagi Rhandra dan Halimah, keduanya saling menyimpan rasa juga penasaran, keduanya saling ingin mengetahui satu sama lainnya.
Rhandra menangis,  ia menangis dengan perasaan yang ia alami, hasratnya yang membara untuk bisa memeluk, mencium Halimah sangat besar, dan mendadak  ia menentang semua itu, ia tak bisa melakukannya.
Kesedihan dan nestapa tiba-tiba mendera dirinya.

Awalnya ia ingin memuaskan batinnya dengan menikahi Halimah, ia ingin menghancurkan tembok besar dalam dirinya, ia sudah tak tahan dengan kutukan Tuhan terhadapnya, namun dua malam ini ia begitu tersentuh, perasaannya sangat mendalam, begitu Halimah memeluknya dengan erat seketika perasaan yang belum pernah ia rasakan muncul, entah dari mana datangnya, namun kini ia merasa ia sudah jatuh hati pada gadis desa yang kini telah sah menjadi istrinya. Ia sangat menghormati Halimah, Keinginannya untuk melakukan kebutuhan biologis perlahan-lahan surut.

Halimah kembali kebawah untuk membantu Mbok Sum, Mbok sum terlihat sedang membersihkan halaman belakang,

“Mbok” sapanya
“Non, gimana ? sudah dikasih Aden sarapannya?”
“Sudah Mbok.”
“Mbok..itu apa?” tanya Halimah heran melihat sebuah taman yang dihalangi batas pagar, ada rumah kecil juga ada bebatuan yang menempel ditanah terlihat seperti makam.
“itu.. makam?”
“Non, ingat kata si Mbok? Non jangan pernah kesana ya, non ingat?”
“Iya tapi itu apa?”
“Itu makam keluarga besar Den Rhandra.”

Halimah menatap ke arah makam, jiwanya seperti tertarik kedalamnya, entah mengapa jiwanya bergetar dan “Haalimaaah..” suara itu seperti memanggilnya untuk datang, Halimah melangkah ia mengikuti suara yang terus menerus memanggil namanya.

“Non!” teriak Mbok Sum
“Heh.. Astagfirullah” Halimah sudah 50 meter berjalan dari pekarangan menuju makam, dan ia sama sekali tidak menyadarinya.

Halimah lelah ada seseorang yang memanggil jiwanya terus menerus, bahkan tak jarang ia mengeluarkan suaranya seperti bisikan ditelinganya. Penampakan seorang wanita pun tak ayal sering ia jumpai.

Pukul delapan malam Rhandra keluar dari kamarnya, dari jauh ia melihat Halimah sedang mempersiapkan makan malam untuknya, disisinya ada Mbok Sum yang selalu setia membantunya, hari ini Halimah menjalani semua perintahnya, rumahnya terlihat lebih rapih dan bersih, lemari-lemari yang berada disetiap sudut rumahnya bersih tak berdebu, lukisan-lukisan tua yang awalnya terlihat miring, malam ini begitu rapih, foto-foto diruang tengah pun tersusun rapih, sofa dan kursi tua di ruangan depan bersih.

Jiwa Rhandra seperti tertarik, memorynya mengingatkan pada sebuah gambaran yang cukup membuat hatinya bertanya ia melihat pemandangan dihadapannya persis seperti nyata, anak berusia 3 tahun itu berlari menuju ibu kandungnya yang tengah duduk dikursi tua yang biasa ia duduki.

“Den!” tegur Sum
“Hah, iya.. makanan sudah siap” ajaknya keruang makan.
Rhandra duduk di kursi miliknya, sedangkan Halimah duduk dibawah lantai yang tak jauh darinya.
“Duduklah disini Halimah” Halimah beranjak, ia duduk disebelah kanannya.

Saat makan malam Rhandra, hanya diam ia tak berkomentar sedikitpun atau menanyakan apapun pada wanita disebelahnya, Rhandra menikmati sajian yang dibuat Halimah.
“Rhandra..”
“Ya” jawabnya tak berpaling ia sibuk dengan hidangan yang disajikan.
“Apa aku boleh..hmm.. mengunjungi keluargaku?” tanyanya memohon ada rindu yang begitu besar dihatinya.
“Tidak boleh!”
“Aku mohon Rhandra, aku janji tak akan lama, aku rindu ibuku Rhandra, aku ingin tahu keadaannya Rhandra.”
“Mbok!”
“Ya Den.”
“Panggil Pak Darmin.”
“Nggih Den.”

Rhandra melanjutkan makan malamnya, batin Halimah senang, mungkin ia akan meminta Darmin untuk mengantarnya.
“Den.” Darmin datang.
“Jelaskan pada Halimah, bagaimana kondisi keluarganya.”
“Keluarga Non baik-baik saja, semua dalam keadaan aman, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Aku rindu Rhandra, aku butuh keluargaku saat ini Rhandra, aku janji beg...”
“CUKUP!” bentaknya memotong ucapan Halimah.
Halimah bangkit dari tempat ia duduk, ia hendak pergi meninggalkan ruang makan.
“Duduk!”

Halimah menghentikan langkahnya, muka masamnya memandang Rhandra, bibirnya mencibir kesal melihat ke_egoisan Rhandra.

“Duduk.!” Rhandra menarik lengannya, matanya menghadap lurus kedepan, ia terus melumat makanan tanpa memperhatikan perasaan Halimah yang terluka.
“Makan!” celetuknya lagi, ia mengambilkan Halimah beberapa makanan diatas piringnya.

Dengan muka masamnya Halimah melahap makanan yang ia ambilkan. Hatinya mengerutu karena kesal.
“Kalau kamu benci sama aku, lebih baik kamu habiskan makanannya, hanya dengan kekuatan kamu bisa melawanku!” rutuknya.

Halimah diam, ia tak menghiraukan perkataan Rhandra.
"Roti tadi pagi..."

Halimah tercengang, bersiap-siap hinaan apa yang keluar dari mulutnya.
"Enak, aku suka." bibir Halimah diam namun hatinya tersenyum lebar dan puas.

Malam ini Halimah resah kerinduannya pada keluarganya membuat hatinya tak menentu, dan Rhandra sama sekali tak mempedulikan perasaannya membuatnya cukup kecewa padahal baru tadi dia sudah mencoba membuka pintu hati untuknya.

“Non” sapa si Mbok yang melihat muka masamnya saat membersihkan meja.
“Ya Mbok."
“Maafkan Den Rhandra ya Non, Non yakin saja apa yang dikatakan Aden itu yang terbaik buat Non.”
“Saya hanya ingin melihat keluarga saya Mbok, kenapa sulit sekali, saya janji saya akan kembali.”
“Non yang sabar ya.” Ujar si Mbok seraya meraba-raba punggungnya.

Malam semakin larut, suasana Gedong tua semakin sunyi dan udaranya semakin dingin, suara burung hantu, jangkrik, melebur menjadi satu. Halimah terus mondar-mandir dikamarnya, ia terus membayangkan hal yang tidak-tidak terjadi lagi padanya, bayangannya terus kembali pada sosok wanita yang ia lihat, bulu kuduknya kembali merinding, lehernya kembali dingin. Halimah duduk diranjang kedua kakinya ia silangkan dan,

“Allahulaa ilaaha illa huwal hayyulqoyyum, laata’khuduhu sinatuw walanaum, lahumaa fissamawati wamafilardi, mandzalladzi yasyfa’u ngindahu illa biidnih, ya’lamuma bayna aydihim wamaa kholfahum, wala yuhithuna bisyai-immin’ilmihii illa bimasyaa, wasia kursiyuhus samawati wal’ard, walaa yauduhu hifduhuma wahuawal’aliyyul adim”

Halimah terus membacanya berulang-ulang, semakin ia takut semakin ia membesarkan bacaannya. Halimah menutup mata seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya kekanan dan kekiri.
Tak lama suara orang berlari terdengar, dan membuka pintu kamarnya dengan kasar.

“Heh!” Halimah tak bergeming ia tau Rhandra pasti akan datang dan melarangnya.
“HENTIKAN!” Halimah terus melanjutkan ayat-ayat kursi dan tak menghiraukan panggilan Rhandra.
“Berhenti..!” Rhandra naik keatas ranjang dan menutup mulutnya dengan tangannya. Halimah melotot dan pelan ia menggigit telapak tangan Rhandra.

“Auuu!” jerit Rhandra kesakitan.
“Berani sekali kamu!”
“Kenapa? Kamu takut aku membaca ayat-ayat Alloh?”
“Ternyata benar kamu adalah Syaiton bertubuh manusia, kamu akan merasa panas jika aku membacanya!”
“Apah?” Rhandra murka, ia menarik pakaian dan mencengkramnya, tubuh tertarik kedepan kedua mata itu bertemu, matanya melotot tak berkedip.
“Kamu tau, Rhandra aku rindu, aku rindu ibuku, adik-adikku, aku rindu pada mushafku yang setiap malam aku baca, seandainya aku tahu nasibku akan seperti ini, aku pasti sudah menjadi seorang penghafal Quran, hanya dengan membacanya hatiku merasa tenang, kamu mungkin tidak pernah tau, karena kamu belum pernah merasakan apa itu arti tenang.Hanya Alloh saat ini yang menemaniku.”

Halimah menangis, dadanya sulit bernafas, Pelan Rhandra melepaskan cengkraman dibajunya. Ia bangkit dari tempat ia duduk, dan keluar meninggalkan Halimah.

Dipintu kamar Halimah Rhandra bersandar, ia selorotkan tubuhnya kebawah, tangannya ia kepal kedepan, kedua sudut matanya basah, belum pernah hatinya sesesak ini, sesekali ia memandang ke atap, kalimat Halimah barusan cukup membuat hatinya bergetar dan tak lama suara Halimah kembali terdengar

“Allahulaa ilaaha illahuawal hayyulqoyyum, laa ta’khuduhu sinatuwwalanaum, lahu maa fissamawati wamafilardi, mandzalladzi yasyfa’u ngindahu illa biidnih, ya’lamuma bayna aydihim wamaa kholfahum, walayuhithuna bisyai-immin’ilmihii illa bimasyaa, wasia kursiyuhussamawati wal’ard, walaa yauduhu hifduhuma wahuawal’aliyyul adim”
Suaranya terdengar begitu merdu, namun kali ini ia membacanya seraya terisak. Rhandra bangkit dan kembali kekamarnya.

Suara adzan subuh kembali membangunkan Halimah, namun kali ini tak ada Rhandra disampingnya, jiwanya kembali bergetar, ia ketakutan lampu minyak yang mbok sum pasang sudah mati satu, hanya tersisa satu dan minyaknya pun tinggal sedikit, Halimah membawanya perlahan kearah kamar mandi ia langkahkan kakinya pelan, ayat kursi terus ia lafazkan dimulutnya,

“Tolong jangan ganggu, tolong, saya hanya ingin sholat.”

Halimah berdiri persis didepan kamar mandi, seluruh tubuhnya bergemetar, air matanya mulai mengalir, semilir angin lembut berhembus disekitar lehernya membuat kuduk disekitar lehernya mengembang tiupan angin menerpanya, jendela kamarnya terbuka.

Halimah Syok seketika wajahnya membiru, dan lampu itupun padam.
"HAAAAA! wanita itu muncul dengan mata berdarah persis dihadapannya.
“Allahu laa ilaaha illa huawal hayyulqoyyum, laa ta’khuduhu sinatuwwala naum, lahu maafissamawati wamafilardi, mandzalladzi yasyfa’u ngindahu illa biidnih, ya’lamuma bayna aydihim wamaa kholfahum, walayuhithuna bisyai-immin’ilmihii illa bimasyaa, wasia kursiyuhus samawati wal’ard, walaa yauduhu hifduhuma wahuawal’aliyyul adim”  Halimah berlari, ayat kursi terus ia panjatkan ia berlari kesegala arah, kakinya tersandung lipatan karpet, wanita berambut panjang itu mendekatinya, “Aku mohon jangan… jangaaaan!”
“HALIMAH!” pintu itupun terbuka, seketika bayangan itu pergi menjauh, Rhandra mencari Halimah dan melihatnya sudah terkapar dilantai, Halimah pingsan sesaat saat roh wanita itu mendekatinya.
“Halimah bangun Halimah!” Rhandra menggotongnya dan menidurkannya diatas ranjang,
“Mboook!” teriak Rhandra.
“Ya Den!”
“Ambilkan minyak angin, atau apapun itu, dan nyalakan lampu kamar ini!”
“Ya Den!”

Rhandra menggosok gosok telapak kakinya, ia juga membuka kerah baju yang terlihat menyesak dilehernya, malam itu Halimah mengenakan piyama yang diberikan Rhandra.

“Ini Den!” Sum memberikan minyak angin yang sudah diberikan bawang padanya.
“Halimah bangun Halimah!” lehernya ia balurkan minyak, juga kakinya.
“Den, kasih di hidungnya.” celetuk Sum.

Rhandra meletakkan minyak dihidungnya berulang-ulang, tangan satunya memegang erat tangan Halimah. Halimah sadar, ia berdahak dan pelan ia membuka mata. “Hah.. Rhandra.” Halimah menarik tangannya, dan memeluknya dengan erat.

“Aku takut Rhandra, wanita itu terus menerus mengangguku, aku mohon Rhandra jangan pergi.” Rhandra gemetar, bahkan pelukan Halimah lebih hebat getarannya dibandingkan melihat makhlus halus yang ia sering jumpai.
“Halimah..aku disini halimah, kamu tenanglah.”

Perlahan Sum meninggalkan pasangan itu dikamar.
“Aku ingin Sholat Rhandra.. aku mohon temani aku.”
“Apah? Nggak.” Rhandra menolak, ia hempaskan tubuh Halimah kekasur.
“Aku mohon Rhandra, aku takut, aku ingin sholat Rhandra.”
“Aku tak mau!”
“Aku mohon, aku tak memintamu untuk sholat, setidaknya temani aku hingga sinar matahari datang.” Tangan Halimah erat memegang tangannya, ia terus menangis. Rhandra luluh.
Ia mengangkat tubuh Halimah, dan membantunya berjalan ke kamar mandi, kaki Halimah terkilir saat ia tersandung lipatan karpet barusan.

Dengan serius Rhandra memperhatikan Halimah berwudu, lalu Halimah keluar ia lalu membaca doa, Halimah mengambil mukena yang dipinjamkan Sum beberapa hari lalu, dihadapannya Halimah Sholat dengan khusyuk.
“Allahu Akbar” takbir Halimah.

Rhandra memandangnya serius dengan kedua matanya setiap gerakan Halimah, juga mulutnya yang tak berhenti membaca doa. Selepas salam, Halimah mengadahkan tangan keatas, ia bermunajat, dalam doanya ia berbisik lembut, meminta hidayah dibukakan untuk Rhandra suaminya, dan memohon perlindunngan juga keluarganya, dan menjauhkan dirinya dari sihir juga roh halus.

“Amiin”  Rhandra memandang begitu dalam kekhusyukan Halimah saat berdoa. Halimah berbalik, seketika ia berpura-pura cuek.
Halimah bangkit dari tempat ia sholat.
“Kamu pikir Tuhanmu akan menengar semua doamu?” celetuk Rhandra membuat Halimah jengkel.
“SANGAT YAKIN.” Jawab Halimah menekan suaranya.
“Bukankah para wanita seperti kalian ini selalu meminta jodoh terbaik dari tuhan?” tanya Rhandra kembali bibirnya menyungging keatas meremehkan.
“Betul.” Jawab Halimah, tangannya sibuk melipat mukena.
“Hahahahhaha, Halimah kamu bodoh sekali, jika memang Tuhanmu itu mengabulkan doa-doamu, dia tidak mungkin mengirimmu kesini!” ucapnya cengengesan.
“Itulah bedanya Tuhan dengan kamu, jika kamu hanya bisa melihat keburukan pada dirimu, maka Tuhan bisa melihat ada kebaikan dalam hatimu, Manusia tidak akan pernah bisa membaca Takdir Tuhan Rhandra, mungkin Alloh mengirimku padamu, karena Allah tahu kalo kamu butuh orang sepertiku yang bisa membawamu padaNya.”

Rhandra terdiam, ia terpukau dengan jawaban Halimah.
“Sudah aku malas berdebat, Terimakasih.” Jawab Halimah, ia berjalan pincang, nyeri di pergelangan kakinya masih sangat terasa.
“Kamu mau kemana?”
“Ke dapur bantu Mbok Sum.”
“Kamu disini saja, ngga usah kemana-mana!” ucapnya seraya mendudukkan badan Halimah ke tempat tidur.

Halimah kembali bangkit, dan kembali berjalan.
“Hei Halimah, duduk!”
“Aku akan mati ketakutan kalau kamu menyuruhku tetap dikamar!” Celetuk Halimah tajam. Halimah melanjutkan langkahnya, dan meninggalkan Rhandra dikamar.
“Terserah!”jawab Rhandra seraya berjalan mendahuluinya.
“Dasar!” gerutu Halimah.

Halimah berjalan lambat, tangan kanannya memegang sisi tembok, kakinya teramat nyeri. Rhandra memperhatikannya dari balik tembok, ada perasaan impresif dihatinya untuk membantunya, ia menunggu sejauh mana gadis keras kepala itu sanggup berjalan.

Halimah sudah sampai menuju tangga, Rhandra mundur agar tak terlihat, wajah Halimah berkeringat ia Nampak kelelahan, kakinya sepertinya sudah tak sanggup lagi untuk melangkah, Langkah pertama menuju anak tangga pertama,

“Berhenti!” tegur Rhandra memberhentikan langkahnya.
“Naik!” Wajah Halimah memerah, Rhandra menawarkan bantuan untuk bisa singgah di punggungnya.
“Nggak usah.” Tolak Halimah keras kepala.
“NAIK!” wajah Halimah seketika berubah, Rhandra kesal melihat betapa keras kepalanya gadis desa ini.

Halimah naik, kedua tangannya ia kalungkan di leher laki-laki yang sudah Sah menjadi suaminya itu, satu persatu Rhandra mengambil kakinya, lalu menggendongnya.
Jantung Halimah berdegup kencang, ada hati yang sedang berdesir didalam.

“Kamu enteng sekali Halimah, kamu harus makan banyak, tubuhmu ini bahkan kalah dengan karung beras yang suka Mbok Sum angkat.” Ucap Rhandra mencairkan suasana hati yang membuncah.

Halimah diam, ia menikmati dirinya digendong laki-laki yang punggungnya sangat bidang itu. Ada hasrat ingin sekali menumpukan kepalanya dipundaknya, namun ia mengusir hasratnya. Dalam diam Halimah meraba pelan di tulang rusuknya, Ia berbisik

“Ya Alloh, karena tulang belulang inilah aku ada, maka jika benar diriku terbuat dari tulang rusuk ini, maka jadikanlah ia sama sepertiku, mencintaimu, memujamu,mengagungkanmu tuntunlah ia pada kebenaran, sebenar-benarnya jalan menuju padamu ya Alloh”
"Halimah, kamu bicara?"
"Tidak." Halimah tersenyum.

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER