Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 25 Januari 2020

Menikah Dengan Setan #4

Cerita bersambung

“Kami sudah dapatkan Faisal sekarang ia berada di Polsek Magetan.”

Haikal terperangah pesan singkat itu ia buka sesaat setelah ia sholat subuh. Sudah lama Haikal mencari keberadaannya karena sampai saat ini ia belum juga menemukan bukti atau saksi yang dapat membantunya menghilangkan keraguan akan Halimah.

Sejujurnya ia sangat menyesali telah mengecewakan Halimah lewat ucapannya minggu lalu, Ada keraguan besar yang menghalangi kepercayaan dihatinya. Kekhawatiran untuk menikahi seorang penzinah pun melintas saat itu.
Kalaupun ia tetap menikah dengan Halimah saat itu tanpa menemukan kebenaran terlebih dahulu, maka seumur hidup ia akan dihantui dengan keraguan atas perlakuan keji yang entah benar atau tidak dan pernikahannya dengan Halimah pun akan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkannya.
Harapan besar di hatinya ia dapat menemukan bukti bahwa Halimah tidak bersalah, dan ia bisa kembali dengan wanita pujaannya itu.

Pagi ini Haikal langsung meluncur ke Polsek Magetan, Faisal ditangkap atas tuduhan pemakaian Narkoba, wajahnya yang culas itu menempel di jeruji besi. Di wajahnya tak tersirat perasaan bersalah telah memfitnah Halimah, sesekali ia berteriak untuk minta dikeluarkan.

Sejujurnya Haikal sama sekali tidak tahu wujud Faisal sebenarnya. Faisal adalah sahabat lama Haikal yang sudah lama hidup di Jakarta sebulan sebelum ia melamar Halimah. Faisal datang dan menginap di rumahnya dengan alasan ingin mengembangkan bisnis di desanya juga belajar agama darinya. Haikal tertipu, ternyata Faisal adalah laki-laki culas yang hanya bisa menipu sahabatnya sendiri.

“Faisal!” seru Haikal pada Faisal yang saat itu sedang duduk memojok di jeruji besi, ia tampak terlihat masih sakau akibat obat ia pakai.
“Haikal sahabatku.” jawabnya tak malu.
“Brengsek kamu Faisal!” rutuk Haikal menarik baju tahanan yang ia pakai, hingga tubuhnya menempel di jeruji.
“Santai Kal"
“Katakan! apa yang sudah kamu lakukan terhadap Halimah!”
“Halimah…Halimah lagi, kal banyak wanita cantik diluar sana kalau kamu mau aku bisa kenalkan yang lebih cantik dari dia.”
“Langsung saja Katakan!” rutuk Haikal kesal, tangan kanannya ia angkat mengepal ingin segera meninju wajahnya.
“Santai Kal...kenapa kamu begitu marah sekali!”
“Kamu tau aku sangat mencintainya! kenapa kamu tega berbuat keji!” lanjut Haikal Murka.
“Lebih baik kamu dengan gadis desa yang bernama Ayu saja kal, dia lebih cantik dibandingkan Halimah, ia juga sangat mencintaimu, ia bahkan berani membayarku untuk bisa mendekati Halimah.
“Hahaha! bodoh sekali wanita-wanita itu kenapa ia begitu mencintai laki-laki bodoh sepertimu!” Jawabnya tanpa merasa berdosa, ia tertawa dibalik jeruji, “mengapa banyak sekali yang mencintaimu Kal.” Lanjutnya mengulangi kata-katanya.
“Ayu!”

Haikal terkejut, ia sangat kaget dengan apa yang Faisal katakan, air matanya langsung mengalir, ia menyesali perbuatannya terhadap Halimah. Buru-buru ia ke balai desa, untuk meminta pertanggungjawaban Ayu anak si kepala desa, Ayu selalu berada di sana karena ia bekerja sebagai Sekretaris Desa.
Sejak kejadian yang memfitnah Halimah, Ayu selalu intens mendekatinya tak jarang ia selalu memberikan bumbu-bumbu kebohongan tentang Halimah, Haikal menyesal harusnya ia sudah bisa menebak bahwa ia masuk ke dalam perangkapnya.

“Ayuu!” Ayuu!” teriak Haikal di balai desa.
“Nak Haikal ada apa?” jawab Pak Dirjo kepala desa yang juga Ayah dari Ayu. Pak Dirjo sangat menghormati Haikal karena Ayahnya adalah orang berpengaruh di desanya.
“Saya ingin bertemu dengan Ayu Pak, bisa?”
“Tapi Ayu sedang tak bekerja, ia sedang sakit di rumah.”
“Kalau begitu saya kerumah!” jawabnya yang lantas pergi meninggalkan Balai Desa dengan penuh emosi.

Didalam Mobil Haikal menangis, tangisannya pecah sejadi-jadinya harusnya ia bisa yakin dengan hatinya. Ia menangis layaknya seorang pria yang ditinggal pergi sang kekasih selamanya tangannya menutupi wajahnya diatas setir mobil.

“Maafkan aku Halimah, maafkan aku!” rutuknya seraya memukul-mukulkan tangannya diatas setir mobil.

Haikal kacau, siang itu ia berjumpa dengan Ayu dirumahnya wanita itu yang terlihat lesu karena sakit mendadak bahagia melihat kedatangannya.

“Mas Haikal, masuk mas.”
“Tidak usah disini saja!”
“Ada apa mas kelihatannya serius?”
“Kenapa kamu tega memfitnah sahabatmu sendiri?”
“Maksud mas Haikal apa? Ayu ngga ngerti” jawabnya mengelak.
“Katakan tidak usah bertele-tele!” rutuk Haikal kesal.
“Ayu memang ngga paham de…”
“KATAKAN!” jawabnya seraya menunjukkan amarahnya dengan mencoba melayangkan pukulan ke arah wajahnya.

Ayu menangis, ia tersungkur “Maaf Mas, Maafkan Ayu, Ayu tak bisa melihat Mas Haikal bersamanya, Ayu begitu mencintai Mas Haikal.” jerit Ayu tangisannya pecah ia bersimpuh dikakinya.

“Lepaskan yu!” jawab Haikal seraya menendangkan kakinya untuk ia lepaskan dan pergi menjauh darinya.
“10 tahun mas!” teriak Ayu, memberhentikan langkahnya.
“Selama 10 tahun mas Haikal di Mesir selalu Ayu yang menghubungi Mas Haikal setiap hari Ayu berkirim surat lewat email setiap malam Ayu merindukan Mas Haikal namun begitu Mas Haikal pulang Mas justru memilih Halimah hancur hati Ayu Mas, sekali ini saja tolonglah pandang Ayu Mas” kilahnya berharap Haikal kembali menatapnya.
Haikal tak menghiraukan ucapannya, ia berlalu dari pandangan wanita itu, seketika tangisannya pecah.
Haikal melanjutkan perjalanan untuk mencari Halimah. Didusun tempat ia membebaskan Halimah ia terduduk diam. Ia menyesali perbuatannya air matanya terus mengalir memikirkan Halimah.

“Kemana kamu Halimah?” “Halimaaaah!”

Siang menjelang sore, Haikal terus berputar mencari keberadaan Halimah pikirannya terus melayang pada tangisan Halimah saat ia meninggalkannya. Haikal memberhentikan Mobilnya, “Dwi!” serunya, ia pun langsung membelokkan mobilnya dan menuju Madrasah tempat Dwi adik Halimah menuntut ilmu.

Haikal menunggu 1 jam hingga Ashar, selepas ashar ia menunggunya lagi hingga sekolah bubar. Ia keluar dari mobil dan mencari sesekali kepalanya ia tinggikan untuk menemukannya dari kesekian banyak siswa yang keluar Sore itu.

“Mas Hai…” Sur berteriak dan seketika Dwi menutup mulutnya dan menariknya kebalik tembok.
“Tidak ada yang boleh tau keberadaan kita Sur, ingat Kak Halimah!” bisik Dwi tegas pada adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu. Sur mengangguk.

Haikal menunggu hingga seleuruh siswa keluar, namun Dwi tak ada diantara mereka. Haikal kembali kedalam mobilnya, ia menangis, jiwanya semakin sulit untuk dikendalikan, perasaan berdosa juga menyesal mengalir disetiap darahnya.

“Maafkan aku Halimah pasti kamu dalam kesulitan saat ini dimana kamu Halimah..”
“YA ALLOH TUNJUKKAN DIMANA HALIMAH!”

Jauh dari pandangannya, Dwi dan Sur keluar dari sekolah dengan sepeda ditangan, ia menoleh kekanan dan kekiri seperti sedang bersembunyi.

Haikal keluar dari mobilnya lalu berteriak “DWI!”
Dwi tercengang, ia pun buru-buru bersama Sur pergi meninggalkannya. Haikal kembali kedalam mobil dan mengejarnya, anak laki-laki itu sungguh kuat dan tangguh, ia mengayuh sepedanya dengan sangat cepat Haikal yang melaju dengan mobilnya.

“Dwi berhenti dwi!” teriaknya seraya melambaikan tangan pada kendaraan lain yang menghalanginya.

Sepeda itu berhenti persis didepan mobilnya.
“Dwi kenapa kamu menghindar?”

Dwi dan Sur diam bola matanya berputar tak mengindahkan pertanyaan Haikal.

“Kalian sekarang tinggal dimana? Bagaimana keadaan kalian Bue, Mba Halimah?”
“Kami ada ditempat aman mas.”
“Mas mohon, katakan pada mas dimana kalian tinggal saat ini...? ada yang mas ingin bicarakan dengan Mbak kalian,”
“Mbak Halimah sudah tidak tinggal dengan kami lagi mas.”
Jawab Dwi datar menjawab pertanyaannya, perasaan kecewa yang begitu dalam masih tersisa dibenak Dwi adik Halimah, ingin rasanya ia meninju laki-laki yang ada dihadapannya.

“Tunggu Wi! Dimana Mbak kalian sekarang?”
“Dia keluar kota, mencari uang untuk kami,” kilah Dwi. Malam itu Dwi sudah berjanji untuk tidak memberitahu kepada siapapun perihal pernikahan kakak perempuannya itu dengan Laki-laki penghuni Gedong tua.

Haikal lemas hatinya hancur seketika mendengar jawaban Dwi, air matanya mengalir.
“Kami pamit mas.”
“Halimah, maafkan mas...” desahnya.
***

Senja menyingsing, Laki-laki bernama Rhandra itu memapah Halimah istrinya menuju kamarnya, kakinya masih nyeri karena terkilir.

“Terimakasih Rhandra” Halimah menatap wajahnya seraya tersenyum.
“Luruskan” Halimah tercengang laki-laki itu baru saja memintanya untuk merebahkan kakinya.

Rhandra mengambil minyak yang sudah disediakan Sum di kamarnya.

“Kamu mau apa?” ucap Halimah seraya menutupi kakinya dengan kedua tangan.
“Diam!” Rhandra memukul tangannya, dan memijat kakinya pelan,
“Ssst...” Halimah ber-dengih kesakitan.
“Kamu itu sangat keras kepala sekali, sudah berapa kali aku bilang untuk duduk diam!”
“Aku tak terbiasa Rhandra, sejak kecil tubuhku sudah terbiasa untuk bergerak, bahkan dalam keadaan sakit sekalipun.”
Rhandra terperanjat ucapan Halimah baru saja membuatnya ingin mengenal masa lalunya lebih jauh.

“Ayahku meninggal saat aku masih duduk di bangku SMP, saat itu Sur masih kecil sekali kebutuhan keluarga kami amatlah banyak Bue mulai gencar berjualan pakaian juga menjahit dan aku membantunya berjualan makanan semampuku.” lanjut Halimah.
“Cukup, aku ngga suka cerita sedih.” Dahi Halimah mengkerut, melihat wajahnya yang sombong itu membuatnya muak.
"Rhandra" tangan Halimah memegang erat tangannya, mata mereka saling menatap. Halimah menelan ludah.
"Aku ingin tau masa lalumu, ingin tau semua tentang kamu, makanan yang kamu sukai, warna yang kamu sukai, aku ingin tau semua tentangmu." Rhandra menatap Halimah ada ketulusan dimatanya.
"Aku.."
“Den.” Sapa Mbok Sum yang memanggilnya dari balik pintu memotong pembicaraan mereka yang mulai serius.
“Ya Mbok.” Mbok Sum membisikkan sesuatu ditelinga Rhandra.
“Temani Halimah ya Mbok, biar saya yang turun.”
Mbok Sum memberi kabar kedatangan Dwi adik Halimah di rumahnya.

Rhandra turun, cara ia berjalan terlihat sangat angkuh, Rhandra tidak pernah membungkukkan tubuhnya dihadapan orang, ia juga tidak pernah menundukkan kepala pada lawan bicaranya, hal itu yang membuat Dwi sangat segan juga takut padanya.
“Maafkan Saya, telah lancang datang ke sini,” ucap Dwi memohon bersimpuh diatas lantai.
“Heh, adiknya Halimah! Bangun,” tegur Rhandra mencoba menghargainya.
“Ada perlu apa?” lanjutnya.
“Bue ingin memberikan ini untuk kakak saya.”

Seharian ini Halimah terus menangis menanyakan keluarganya Rhandra iba syukur adiknya datang diwaktu yang tepat.
“Masuk dan berikan ini langsung untuk kakakmu.”
“Terimakasih...terimakasih” jawabnya seraya membungkukkan badan dihadapannya.

Rhandra mengantarnya sampai ke kamar Halimah, ia membukakan pintu untuknya, disana Halimah sedang mengobrol dengan Mbok Sum, ia sedang tertawa mendengarkan cerita Mbok Sum.

“Halimah.” Sapa Rhandra.
Halimah menengok, dan tak lama Tangisan itu pun pecah
“Dwiii...” Dwi memeluk kakaknya dengan erat, ia pun menangis. Mbok Sum keluar dari kamar begitupun Rhandra yang meninggalkannya berdua di kamar. Rhandra berdiri di balik pintunya, ia terharu melihat pertemuan mereka.
“Bagaimana kabarmu wi, kabar Bue, Kabar Sur?”
“Kita semua baik Mba, Alhamdulillah.”
“Ya Alloh wi...mbakmu ini rindu sekali.”
“Ini dari Bue mba...”
“Bue!” Dasinun menitipkan Mushaf Quran miliknya yang tertinggal dirumahnya.
“Ya Alloh Bue..” lanjutnya seraya memeluk mushaf kesayangannya.
“Apa yang kamu katakan pada Bue Wii..?
“Dwi bilang, kalau Mba bekerja...”
“Ya Alloh Dwi, kenapa Dwi harus berbohong...”
“Dwi bingung Mba bue terus bertanya, laki-laki itu meminta Dwi untuk tutup mulut.”
"Mbak."
“Ya."
“Mas Haikal tadi siang mencari Mbak.”
“Mas Haikal? Untuk apa dia mencari Mba?”
“Ada yang ingin dia bicarakan katanya.”
“Lalu Dwi bilang apa?”
“Dwi bilang Mba keluar kota.”
“Syukurlah.”
“Dia terlihat cemas Mba, sepertinya dia menyesali perbuatannya dan ingin Mbak kembali padanya”

Halimah terdiam, tak lama Rhandra membuka pintu

“Sudah malam, kamu boleh pulang.” Raut wajahnya nampak kesal.
“Tunggu sebentar lagi Rhandra, aku masih merindukannya.”
“Sudah malam!”
“Ngga apa-apa Mba lain kali Dwi akan datang lagi.”

Halimah memberikan pelukan untuknya, Mbok Sum mengantarnya hingga kedepan dan Rhandra kembali menemani Halimah, raut wajahnya terlihat kesal.

“Rhandra kamu kenapa?” tanya Halimah lembut.
Rhandra tak menjawab, laki-laki itu mondar mandir dihadapannya, sesekali tangannya ia letakkan di atas kepalanya dan yang satunya ia masukkan ke dalam saku celananya, ia terus menarik nafas. Sorot matanya begitu tajam, wajah bengisnya sangat terlihat. Halimah mulai kebingungan apa yang sedang terjadi dengannya, ia bangkit dari tempat tidurnya.
“Rhandra..” lanjut Halimah tangannya berusaha menyentuh pundaknya.
“Cukup Halimah!”

Ia mendorong tubuh Halimah ke tembok dan menatap Halimah dengan mata menyipit. Sorot matanya terlihat sangat-sangat marah, tangan satunya ia letakkan diatas kepalanya dan yang satu mencengkram pundaknya dengan erat, wajah mereka bertemu Rhandra terus mengendus layak singa kelaparan. Laki-laki itu sangat kuat, jauh lebih kuat dari Halimah, ia berusaha untuk mendorong tubuhnya namun Rhandra semakin mendekat. Pelan ia mendekati wajah Halimah, wajahnya kini hanya berjarak satu embusan nafas dari bibir Halimah.
“Kamu mau apa Rhandra?”

Tak lama mimpi Halimah seperti terulang, Rhandra seperti sedang kesurupan, ia mencium seluruh wajah Halimah dan memaksa untuk mencium bibirnya, Halimah berpaling berusaha menghindar.
“Lepas Rhandra kamu sedang emosi!” Rhandra lepas...Lepas Rhandra” Rhandra merobek pakaian Halimah dengan cengkraman tangan Rhandra yang begitu kuat.
“Rhandraa...” Halimah menangis ketakutan.
“Haaaaa!” Ia teriak diwajah Halimah, ia lepaskan cengkramannya, Kedua tangannya menyingsing rambutnya yang berantakan “Haah!” ia hempaskan sebuah pukulan keras ke pintu. Lalu ia pergi meninggalkan Halimah.

Tangisan Halimah pecah, ia menangis hingga Sum terperangah dan menuju kekamarnya. Halimah duduk dibawah mendekap erat pada badannya bajunya sudah terkoyak.
“Non..” Halimah memeluk Sum dengan erat, ia menangis dipelukannya.

Rhandra pergi ke kamarnya, ia melanjutkan luapan emosi di sana, ia menghancurkan setiap barang yang ada dihadapannya “Haaaaa!” Rhandra berteriak kesal.

Halimah tercengang melihatnya marah, air mata terus mengalir di pipi, apa yang membuatnya marah sedemikian besar. Perlahan Mbok Sum mengantar Halimah kembali ke tempat tidurnya tubuhnya gemetar, hatinya sakit melihat sikap Rhandra, sejujurnya ia ingin sekali menyambut ciumannya namun bukan dengan cara yang kasar seperti itu, Rhandra seperti laki-laki kesurupan, ia persis seperti dalam mimpinya beberapa waktu lalu. Rhandra bahkan tak menghiraukan omongannya tubuhnya sangat kuat, Halimah tak sanggup untuk melawan, bahu sebelah kanan Halimah terluka akibat cengkraman jarinya. Ia terus menangis tanpa henti.
“Sebentar Non.” Mbok Sum berlari mengambilkan obat untuknya, ia obati pundaknya yang terluka ada beberapa luka akibat cengkraman tangan Laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu.

Halimah hanya bisa duduk diam ia menatap lukanya dan merasa shock dengan apa yang menimpanya malam ini.
Rhandra cemburu, Halimah tak sadar saat ia dan Dwi membicarakan tentang Haikal didalam, Rhandra masih berada diluar menguping perbincangan mereka. Hatinya kesal bertanya-tanya siapa laki-laki yang mencarinya, dan mencemaskan juga masih mengharapkannya.

Sejujurnya Hari ini nyaris menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Halimah, berkat kakinya yang terkilir hubungan mereka semakin dekat. Rhandra sangat peduli dengannya, setelah selesai mengantarnya ke dapur tadi pagi, Rhandra tak pergi darinya meskipun hanya sesaat setiap menaiki anak tangga Rhandra menggendongnya dengan lembut dan saat malam menjemput Rhandra mengantarnya hingga kekamar, ia pun membiarkannya membaca ayat kursi dan membiarkannya sholat dengan tenang dan barusan Halimah menyadari Rhandra cemburu, Rhandra mendengar percakapannya dengan Dwi. Rhandra tak berkomentar atau mengajaknya berdebat tatapannya begitu dalam, membayangkannya tangisan Halimah kembali pecah seharusnya ini tidak terjadi.

Malam semakin larut, Halimah masih termenung karena perasaannya yang tak menentu melihat sikap Rhandra yang mendadak kasar padanya. Suara teriakan Rhandra pun mulai menghilang, sepertinya ia sudah bisa mengendalikan emosinya. Rhandra tak kembali malam itu mereka tidur terpisah seperti hari-hari sebelumnya.

=====

Menjelang pagi Rhandra dan Halimah belum juga menunjukkan mukanya, mereka masih berdua didalam kamar. Sepanjang malam itu Rhandra dan Halimah terlelap dengan pulasnya, bagai pengantin baru yang masih segar-segarnya, tak satupun dari mereka yang ingin menjauh, Halimah terlelap diatas lengannya yang kekar seraya memeluk dadanya dan tangan Rhandra yang satunya memeluk perutnya.

Sementara itu Sum terharu, sepanjang pagi ini ia menangis di dapur. Sesekali ia melihat foto Rhandra saat ia masih bayi, ia memeluk foto itu dengan penuh haru layaknya seorang ibu.
“Semoga Alloh terus memberkatimu nak,” ujarnya menangis.
“Den belum keluar Sum?” tanya Darmin yang tak lain suaminya.
“Semoga tidak ada pertengkaran lagi diantara mereka, semoga Non Halimah bisa mencintai dia dengan tulus dan mau hidup dengannya selamanya.”
“Apa kamu yakin, mereka sudah...?”
“Dia anak yang baik Min.. saya yakin, dalam hatinya ia tak berani menyakiti wanita polos itu, biarlah Alloh membukakan pintu Non Halimah hanya untuknya.”
“Laki-laki itu kembali lagi Sum, kita harus membangunkannya.”
“Biarlah Min, dia tidak akan bisa melewati pagar itu kan?”
“Sepertinya dia tau Non Halimah ada didalam, saya khawatir dia akan berbuat nekat”
“Apa kamu ngga bosan hidup dalam kegelapan seperti ini Min? bahkan Setan-Setan itu sudah seperti sahabat bagi kita, hanya Non Halimah yang merasa ketakutan sendiri. Biarkan saja mereka mendobrak benteng ini, siapa tahu masalah Den Rhandra justru akan terselesaikan.”
“Tidak bisa begitu Sum, ingat janji kita sama Nyonya.”
“Saya ingat betul Min, tapi melihat anak itu sedih hati ini sakit Min, bahkan anak kita yang sudah kita bantu saja tak pernah menemui kita”

Darmin diam, ia pun merasakan hal yang sama.
“Rhandra...Rhandra” Halimah berbisik lembut suaranya sedikit agak serak, seraya menyentuh hidungnya yang mancung dengan jarinya yang lentik.
“Ehhmm.” Rhandra mendesah, pelukannya semakin ia eratkan.
“kita harus keluar, Mbok Sum pasti mencari” bisik Halimah kembali.
“Biarkan saja.” Jawab Rhandra melindur.

Halimah tersenyum lebar, air matanya mengalir di pipinya. Belum pernah ia merasakan kebahagiaan seluar biasa ini. Meskipun Rhandra  belum menyatakan perasaannya padanya, namun ia bisa melihat dari sorot matanya. Rasa cinta yang teramat dalam, haus akan kerinduan yang mungkin selama hidupnya belum pernah ia rasakan.

Halimah terus menatap Laki-laki itu, ia perhatikan betul-betul setiap detail diwajahnya, alangkah tampannya ia, tangannya begitu kekar dan kuat. Bidang tubuhnya mampu melindungi siapapun yang bersandar. Rhandra adalah makhluk sempurna yang diciptakan Tuhan ke bumi.

Tak lama angin berhembus ditelinga mereka, hembusan angin yang begitu sejuk dan damai, Halimah memejamkan matanya dan menghirupnya dengan penuh suka cita, hembusan itu menerbangkan rambut Rhandra yang panjang tak beraturan, semakin membuatnya rupawan.
Hembusan itu adalah sesosok Ruh. Ruh yang senantiasa hadir bersamanya di rumah yang penuh sejarah. Ruh itu tersenyum mengamati dua insan yang sedang di mabuk cinta, selama ini ia menunggu kehadiran Halimah untuk dapat membuka tabir di hati Rhandra yang sudah tertutup rapat.

Wanita yang sudah menjadi ruh itu melihat laki-laki yang tengah tertidur pulas disamping Halimah, ia merasa bahagia. Berulang kali ia mengusap kepala Rhandra, namun baginya hanya hembusan angin yang bertiup halus ditelinganya, Rhandra tak akan bisa merasakan kehadirannya.

Tak lama Halimah menghirup hembusan angin itu ia membuka matanya perlahan, seorang wanita cantik duduk disebelah Rhandra, tangannya membelai halus pada pipinya, detak jantung Halimah melambat. Wanita itu menatapnya dan menjelujurkan jari telunjuk kemulutnya agar Halimah tak berteriak.

Wanita itu sangat cantik, ia mengenakan gaun bergaya eropa dengan vedora yang menghiasi kepalanya, kedua tangannya menggunakan sarung tangan berwarna putih, bak ratu inggris. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, wajahnya pucat,  matanya bulat berwarna coklat sangat mirip dengan warna mata Rhandra, dan ada kesedihan mendalam dimatanya.

Air mata Halimah pun terjatuh, ia tak tahu siapa wanita yang berada dihadapannya saat ini, namun ia sangat merasakan kehadirannya.
“Bug...bug...” Dentuman keras itu terdengar di telinganya.

Seketika Halimah terbangun, ia menarik nafas panjang ia sangat yakin bahwa apa yang ia rasakan tadi bukan sebuah mimpi, hembusan itupun jelas bersemilir di pelipis Halimah dan keluar melalui jendela bersama debu-debu yang ada di kamarnya.
“Bug...bug...” Dentuman keras terdengar kembali.
"Den.." ucap Darmin memanggilnya di luar pintu.

Rhandra membuka matanya, dan bangkit dari ranjang, ia mendekat ke jendela. Haikal bersama tiga orang bertubuh kekar berupaya menghancurkan penyangga pagar Rumahnya.
“Ssssst” Rhandra mendesis kesal.Tangannya ia kepal dan ia benturkan ke dinding.
Halimah diam, batinnya berfikir keras pasti Haikal datang kembali untuk mencarinya.
“Halimah kamu ikut aku!” Halimah menggapai tangan Rhandra, mereka berjalan menyusuri lorong setiap rumahnya, tak sedikit pun Rhandra melepaskannya.
“Darmin!”
“Ya Den.”
“Tutup semua pintu akses masuk, dan bersembunyilah ditempat biasa!”
"Ya Den." Darmin segera berlari menuju tempat persembunyiannya.

Rhandra mengajak Halimah ke lantai tiga, tangan yang mungil itu ia pegang erat, Halimah terus memandanginya. Perasaan bahagia itu selalu datang asalkan bersamanya.

Lantai tiga adalah kamar Rhandra yang punya banyak misteri siapapun tak boleh masuk kedalamnya. Namun hari itu ia bisa masuk bebas melangkahkan kakinya kedalam.

Halimah takjub, didalam kamarnya yang berukuran 3 x 7 meter itu penuh dengan lukisan, di sudut kamarnya sebuah papan kanvas yang tertutup tirai putih lengkap  dengan cat beraneka warna. Sebuah meja kerja yang penuh dengan kertas yang berserakan, sebuah komputer jinjing dan tiga buah telepon genggam era 90’an, berhadapan dengan itu sebuah ranjang yang begitu berantakan, satu buah nakas di sebelahnya dan satu buah lemari pakaian sangat berantakan, persis ditengahnya ada sebuah tangga lurus 180 derajat setinggi 2 setengah meter.

Halimah memandang keatas, ada sebuah pintu kecil yang menghadap keatas, tidak ada jendela di kamarnya, itu mengapa hanya kamarnya saja yang boleh menyalakan lampu saat malam hari.
Halimah melepaskan pandangannya pada lukisan-lukisan indah yang ia sangat yakin Rhandralah pelukisnya, dan sesaat matanya tertuju pada sebuah lukisan tua bergambar wanita yang ia letakkan disudut kamarnya, wanita yang baru saja Halimah lihat di kamarnya barusan, wanita yang terlihat seperti seorang bangsawan, pakaian yang digunakan dalam lukisan itu sama persis dengan pakaian yang ia gunakan tadi.

Halimah merasa penuh banyak misteri yang harus ia ungkap, mulai dari misteri Rhandra yang tak mau diketahui orang, misteri wanita yang selama ini menghantuinya, dan Misteri Gedong tua.
“Rhandra itu siapa?”
Rhandra tak menjawab, ia sibuk membereskan file-file yang tercecer diatas mejanya, juga sebuah laptop yang ada di tangannya, ia sembunyikan ke dalam sebuah lantai keramik yang dapat ia buka.

Angin itu kembali datang ia menerpa wajah Halimah dan menerbangkan tirai yang menutupi papan kanvas yang berhadapan dengannya. Seketika Jantung Halimah berdegup kencang, lukisan setengah jadi bergambar dirinya, lukisan yang begitu indah yang ia ukir menggunakan tangannya. Air matanya pun meleleh.

Haikal berhasil menarik anak kunci pintu gerbang mereka, lalu mematahkannya dengan hentaman besi yang kuat. Bersama ke lima orang dibelakangnya ia sudah masuk ke dalam pekarangan Gedong tua.
“Halimaah!” teriaknya mencari Halimah.

Buru-buru Rhandra mengunci pintu kamarnya, ia mendorong lemari pakaiannya, terlihatlah sebuah pintu kecil yang didalamnya hanya ada ruangan kecil 1 kali setengah meter, hanya bisa dimasukki dua orang manusia dalam keadaan berdiri, diatasnya ada lubang angin yang dapat membantu mereka bernafas, dibelakang lemarinya ada sebuah knop yang dapat ia tarik agar bisa bersembunyi.
“Ayo Halimah.” ajaknya mengulurkan tangan.

Halimah menggapainya, tangan kanan Rhandra memegang sebuah pistol yang kemarin Halimah lihat. Mereka masuk kedalam dan kini jarak mereka hanya satu kali hembusan nafas, kedua dada mereka saling bertemu.

“Jangan kamu kotori tanganmu dengan senjata itu Rhandra, aku mohon.” ucap Halimah memohon, matanya berkaca-kaca.
“Aku tidak akan menggunakannya.” Rhandra memeluknya dengan erat.
“Halimaah!” suara itu pun semakin terdengar.

Halimah merebahkan kepalanya di dada Rhandra, entah apa yang terjadi dengannya hingga ia harus bersembunyi seperti ini, namun Halimah sangat yakin dengan Rhandra, apapun yang terjadi dengannya tak bisa mengurangi rasa cintanya pada Rhandra.

Langkah kaki mereka semakin jelas terdengar, mereka mendobrak setiap pintu yang tertutup rapat, Rhandra berdesis, nafas kebencian sangat jelas terasa ditelinga Halimah.
Halimah meletakkan tangannya ditangan Rhandra yang mengepal, air matanya meleleh. Batinnya kenapa Rhandra tak keluar saja dan katakan padanya jika ia sudah menikah dengannya, kenapa harus menjadi rumit seperti ini, dan mengapa juga Haikal yang ia kenal sebagai laki-laki yang lembut juga alim, hari ini datang menggebu-gebu hanya untuk bertemu dengannya.

Haikal sudah berada dilantai dua.
“Halimah keluarlah, aku tau kamu ada disini. Semua orang kampung sudah tau kamu berada disini. Maafkan Aku Halimah...Aku mohon keluarlah”

Halimah tak bergetar, perasaan Ia kepadanya sudah hilang sejak Rhandra hadir dalam hidupnya, perasaan itu sudah ia kubur dan mati bersama rasa kecewa yang amat dalam.
Kepalan tangan Rhandra semakin terasa, Halimah pun terus menenangkan suaminya itu, Ia yakin Rhandra bisa melaluinya. Rasa cintanya semakin bertambah, karena rasa percaya padanya semakin besar, Rhandra tak menunjukkan sikap emosional kepadanya, padahal Haikal terus menerus memanggil namanya.

Kamar lantai tiga itu akhirnya terbuka dengan paksa. Laki-laki yang bernama Haikal itu kini semakin dekat dengan mereka, hanya sebuah lemari yang memisahkan mereka.

Haikal mengelilingi kamar yang tak berbeda dengan galeri, mendadak aliran darahnya melambat jantungnya terasa sesak dilihatnya sebuah lukisan bergambar Halimah, wanita itu terlihat polos ia mengenakan hijab berwarna abu-abu terang, hijab yang sama saat terakhir ia bertemu, saat itu hijabnya tak menentu Halimah sangat berantakan.

Lukisan yang sangat menyentuh dan hanya tangan yang dapat mengerti bagaimana perasaan yang Halimah hadapi saat itu. Siapapun pelukisnya, ia pasti adalah orang yang sangat mencintainya hingga ia bisa menggambarkannya dengan jelas, tanpa ada noda sedikitpun. Pikirannya pun melayang pada keluarga Abyakta. Seketika tubuhnya bergetar, bagaimana bisa orang yang sudah mati bisa hidup kembali.

“Siapa kamu? Siapapun kamu, kamu tidak pantas bersamanya, kamu hanya akan menyiksanya seumur hidupnya!”rutuk Haikal, ia merasakan ada seseorang didalam kamar itu. Ruangan ini terasa hidup tidak seperti terlihat rumah tua atau rumah hantu.

Rhandra terperangah, Haikal seperti tahu masalahnya, perlahan ia lepaskan tangan mungil itu, dan melihat kedua matanya yang basah. Rhandra mulai menyadari begitu banyak kekurangannya yang tak bisa disandingkan oleh Halimah, Halimah berhak bahagia, Halimah berhak hidup normal. Halimah menatap heran pada matanya, tak lama embun itu hadir dimata Rhandra.

Haikal menyerah, ia tak menemukan Halimah disana, meskipun ia menemukan mushaf berwarna emas dikamar lantai dua, mushaf yang biasa Halimah bawa saat ke surau, Mushaf itu sudah menjadi bukti akan benarnya Halimah di sana, ruangan lantai tiga yang begitu hidup pun memberikan jawaban padanya bahwa seseorang tinggal disana entah siapa atau mungkin pewaris Abyakta masih hidup, ia belum mati seperti yang diceritakan Ayahnya.

Jauh setelah Haikal pergi, Rhandra juga Halimah keluar dari persembunyiannya. Ia  keluar dan menitip dari jendela,  mereka sudah pergi menggunakan mobil jeep berwarna hitam.

“HAAAAA!” Rhandra teriak dengan keras seraya memukul-mukulkan tangannya ke dinding.
“Rhandra..berhenti..Rhandra!” teriak Halimah berusaha memberhentikannya, Halimah tercengang tangannya berdarah.
“Rhandra berhenti.. kamu berdarah..berhenti..!” teriaknya seraya menangis.
“Aku mohon berhenti...HENTIKAN!” ucapnya yang kemudian ia sambar dengan teriakan yang keras.

Rhandra berhenti ia kelelahan, ia melihat wajah istrinya, Halimah menangis seraya memegang tangannya yang berdarah. Ia terus memandangi istrinya, Halimah menunjukkan perhatian yang sangat besar padanya, ia merobek pakainnya untuk menutupi lukanya. Air matanya terus mengalir dan nafasnya masih tersenggal-senggal.
“Halimah, aku ngga apa-apa, ini hanya luka kecil!” ketusnya, seraya mengelus lembut pipinya dan mengusap air matanya.
Rhandra masih emosi atas apa yang dilakukan Haikal dirumahnya, dengan lancang ia memasuki kediamannya.

Tak lama kemudian ia masuk kedalam kamar, ia nampak payah.
“Kembalilah kekamarmu Halimah, aku ingin sendiri.”
“Rhandra...” sapa Halimah yang melihatnya meninggalkannya, tak lama pintu kamarnya pun terkunci.

Rhandra tak sanggup menahan rasa cinta yang mendalam  pada Halimah, ucapan Haikal terus menerus menganggu pikirannya.
“Rhandra...” ucap Halimah seraya mengetuk pintu.

Tak Lama Emosi Rhandra kembali memuncak, “PERGI...!”  ia berteriak untuk meluapkan emosinya. “HAAAAAA! Terdenngar suara dentuman, pukulan keras, benda jatuh dikamarnya.
Halimah semakin panik, ia hanya teringat bahwa Rhandra sedang terluka.

“Rhandra..aku mohon! Buka pintunya Rhandra, kamu kenapa?” teriak Halimah memanggilnya. Tangisannya semakin pecah, rasa khawatir akan suaminya membuncah didadanya semakin parah.

Tak lama Mbok Sum datang, dilihatnya Halimah duduk menghadap pintu seraya menggedor-gedor pintunya.
“Non.”
“Mbok tolong buka pintunya, saya mohon Mbok.”
Sum hanya bisa diam tak bisa berbuat apa-apa, kunci kamarnya hanya dimiliki olehnya.
“Rhandra buka... aku mohon...” suaranya makin mengecil begitupun Emosi Rhandra yang tak lama mereda.

Cukup lama Mereka duduk saling membelakangi dan hanya dibatasi pintu,  keduanya terdiam meratapi kesedihan mereka.
“Non...makan dulu.”

Halimah tak menghiraukan Mbok Sum yang berusaha peduli dengannya. Sum pun tak sanggup menahan air matanya.

Tiga jam berlalu, Rhandra belum juga membuka pintunya dan Halimah terus meratapi kesedihannya.

“Aku mencintaimu Rhandra...” bisiknya pelan, wanita itu sudah sangat kelelahan, suaranya sudah parau dan wajahnya semakin pucat. Halimah lelah dan terlelap.
Rhandra adalah laki-laki yang terbiasa menyimpan kesedihan untuk dirinya sendiri, ia lebih memilih untuk meluapkan emosinya setelah itu dia akan merasa tenang.

Hari sudah semakin sore, suara Halimah sudah menghilang, Rhandra berusaha menguatkan dan menata hatinya untuk bisa berhadapan dengan istrinya itu, ia tak ingin emosi masih ada dalam dirinya, cukup baginya untuk menyakiti hati wanita yang polos itu.

Rhandra membuka pintu kamarnya, dilihatnya Halimah terlelap di depan pintu. Ia pandang wajahnya, wanita itu terlihat begitu polos. Ia sama sekali tak pernah mengenal apa itu cinta, mungkin dulu ia pernah menyukai Haikal namun itu bukan cinta. Cintanya begitu dalam pada Laki-laki yang saat ini duduk menyilang disebelahnya, ia menatapnya, membelai rambutnya. Halimah tak terusik, ia begitu lelah dan tertidur pulas.
Rhandra mengangkatnya dari tempat ia tidur, ia letakkan kepalanya di lengan kanannya dan kakinya di lengan sebelah kiri, tangan kanan Halimah terlentang di sisi kanan tubuhnya.
Rhandra menggendongnya menuju kamar Halimah di lantai dua. Ia berjalan pelan menikmati setiap langkah, seraya menatap wajah istrinya dengan penuh luka didadanya.

“Den..Aden dan Non belum makan dari pagi.”
“Buka pintunya Mbok.”
Ia merebahkan tubuh Halimah di ranjang, kemudian ia duduk di sebelahnya dan kembali membelainya. Mbok sum datang mengantarkan makanan, ia letakkan ke atas meja persis disebelahnya. Rhandra sama sekali tak merasakan lapar atau haus, baginya melihat Halimah disisinya sudah cukup.
Ia rebahkan tubuhnya disamping istrinya, ia bahkan terlihat cantik saat tertidur.
“Berhentilah menangis Halimah, tangisanmu itu membuat kepalaku pecah.” Bisiknya lembut disebelahnya.

Tak lama angin kembali berhembus, angin yang selalu hadir saat ia bersama dengannya, serasa hembusan dari surga yang membuatnya merasa nyaman. Ia silangkan tangannya dibelakang kepalanya, Rhandra menatap ke langit-langit.
"Tak seharusnya aku mencintainya." ucapnya dan embun itu kembali hadir dikedua matanya.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER