Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 26 Januari 2020

Menikah Dengan Setan #5

Cerita bersambung

Halimah terbangun, ia bergegas mengejar waktu Sholatnya yang hampir terlewat. Rhandra terperangah, lagi-lagi wanita itu Sholat dihadapannya. Ia memperhatikan langkahnya dengan seksama, tangan lentiknya meraih mukena yang tergantung pada tiang disebelah lemari pakaian.. Air wudhu membuat wajahnya basah dan terlihat cerah, dan tak lama ia memulai Sholatnya dengan khusyuk dan penuh khitmad.

Rhandra bangkit, ia langkahkan kakinya keluar kamar. Ia berjalan menuju balkon belakang rumahnya yang menghadap ke arah taman dan makam, balkon yang tak jauh dari ruangan kerjanya. Balkon yang sengaja ia tutup, karena melihat makam itu membuat hatinya hancur dan sesak.
Ia melangkahkan kakinya keluar, lantai itu sudah penuh dengan debu, dua kursi yang menghadap kedepan pun sudah hampir berwarna hitam. Ia kembali menatap makam yang penuh misteri itu dengan penuh sesak, kenapa tangan Tuhan tak ada saat pembantaian itu terjadi, kenapa juga ia lahir dari wanita yang jahat, kenapa Tuhan tidak melahirkannya dari wanita selembut Halimah.

Halimah keluar dari kamarnya, ia hadapkan wajahnya pada lorong yang berujung pada sebuah balkon. Rhandra berdiri disana membelakanginya.

Pelan Halimah datang menghampirinya, jantungnya berdegup kencang karena takut atau bahkan mungkin karena rasa cinta yang mendalam.
“Rhandra....” sapanya.
“Hmm..” saut Rhandra seraya menjulurkan tangan padanya.

Halimah berdiri disebelahnya seraya memandang taman belakang rumah ini yang sudah tak terawat, ia pun membayangkan taman itu berubah menjadi bersih dalam sesaat.

Tembok besar yang ditumbuhi tanaman-tanaman rambat yang indah, di tengahnya ada sebuah kolam air mancur besar, dan bunga-bunga yang menghiasi sekelilingnya. Jauh dari sana ia kembali melihat sebuah makam yang dikelilingi pagar berwarna hitam.

“Aku baru tau di rumah ini ada balkon seindah ini.”
Rhandra menarik nafas.
“Rhandra...Apa aku salah?”
“Berhentilah bersikap merasa bersalah Halimah.”

Halimah diam, sesekali ia melirik kearahnya. Wajahnya terlihat gelap tak ada cahaya yang menyelimutinya. Rhandra memerlukan sinar, sinar yang dapat mencerahkan hatinya. Sinar yang mampu membuat seseorang lemah karenanya, dan sinar itu yang selalu Halimah sebut dalam doanya.

“Ehmm..” Rhandra bergeser, ia selimuti tubuh Halimah dengan pelukannya yang hangat. Rhandra memeluknya dari belakang, kedua tangannya ia letakkan di perut Halimah, Kepala Halimah sejajar dengan dadanya. Hati Halimah berdegup kencang, berdesir bagaikan air yang jatuh dari pegunungan. Ia tersenyum dan menikmati saat-saat bersamanya.
“Rhandra...apa aku boleh tau?”
“katakan.”
“Makam itu...? Siapa mereka? Kenapa terlihat begitu banyak makam disana?”
Rhandra menarik nafas.
“Pertanyaanmu sama dengan pertanyaanku, aku tidak tahu Halimah.”
“Kenapa?”
“Entahlah..., aku hanya sekali kesana.”
“Kamu aku larang untuk pergi kesana, paham?”
Halimah mengangguk, kemudian Rhandra semakin mengeratkan pelukannya.
“Katakan padaku Halimah? Apa yang menjadi keinginanmu saat ini?”
“Keinginan?”
“Ya.”
“Melihatmu tersenyum...Sholat bersama...Makan bersama...Tidur bersamamu...banyak hal yang hanya ingin kulewatkan denganmu.” Ucapnya lembut. Wanita polos itu kembali mengalirkan air matanya, air itu menetes hingga terasa di lengan Rhandra.
“Kenapa kamu selalu menangis? Berhentilah menangis Halimah. Aku benci melihat tangisan di matamu, berteriaklah seperti dulu saat kau akan aku nikahi, hancurkanlah semua barang yang ingin kau hancurkan, hina aku seperti kamu menghinaku dulu, Syetan, Jin, Breng...!”

Tangan mungil itu melayang di bibirnya, Halimah menutupi mulutnya dengan tangannya yang mungil.
“Bodoh...Tak punya otak..!” ucap Halimah matanya yang basah itu menatapnya dengan tajam.

Tak lama ia beralih, ia tinggalkan Rhandra dalam kesendiriannya. Rhandra mengamatinya, ia berlari menuju kamarnya, tangan kanannya menutupi mulutnya.

Sejak mengenal arti cinta Halimah menjadi wanita yang ringkih dan lemah, ia menjadi wanita yang gampang menangis, kehilangan Rhandra adalah hal yang paling ia takutkan dan rasa itu menghantuinya setiap saat.
“Den..” sapa Darmin yang baru saja datang.
“Siapkan perjalanan Pak, kita berangkat malam ini dan pastikan semua aman, bawa semua barang-barang yang mencurigakan, dan pintu-pintu itu biarkan saja terbuka.”
“Baik Den.”

Rhandra tau Haikal pasti akan kembali untuk Halimah, semangat laki-laki itu terlihat sangat membara. Kamarnya yang belum sempat ia rapihkan sudah menjadi bukti bahwa dirumah ini ada yang menempati, Haikal pasti akan datang kembali dengan membawa orang lebih banyak, untuk membuktikan rasa penasarannya.
Rhandra memutuskan untuk pergi selama beberapa hari, hingga semua kembali normal. Malam itu ia minta Pak Darmin juga Mbok Sum untuk menyiapkan semuanya.

Tengah malam adalah waktu yang pas untuk pergi, malam itu Halimah sudah terlelap, sebelumnya Rhandra tak memberitahu rencana kepergiannya.

“Halimah bangunlah...kita akan pergi.”
“Hmm..., Pergi?”
“Ya...Bangunlah.”

Halimah bangkit dari tidurnya, ia berkemas. Mushafnya yang ia letakkan diatas nakas tak lupa ia bawa.
“Sejak kapan kamu meletakkan itu disana?”
“Ini?” tanyanya balik seraya menunjukkan mushafnya.
“Entahlah..aku lupa.”
“Apa saat laki-laki itu datang, barang itu masih ada disana?”

Halimah mengangguk.
Rhandra menarik nafas.
Rhandra semakin yakin, Haikal tahu keberadaan mereka, ia semakin yakin bahwa Haikal akan mencari tahu tentang misteri rumahnya dan akan membongkar semuanya pada warga desa.

Senyap-senyap mereka pergi menggunakan mobil Jeep Cherokee tahun 70an. Darmin menyetir dan Mbok Sum disebelahnya, Halimah dan Rhandra duduk ditengah. Mereka membawa beberapa bawaan di tas. Mereka akan pergi untuk beberapa hari.

Malam itu udara terasa dingin, mobil itu berjalan ke luar Desa, suasana yang begitu menyeramkan tak ada lampu penerangan disana, hanya lampu mobil mereka yang menyinari setiap perjalanan mereka.  Tak jauh dari sana terlihat Surau tempat Halimah mengajar, ia letakkan telapak tangannya ke jendela. Halimah rindu mengajar, ia rindu anak-anak disana yang selalu menghibur hatinya dikala susah.

“siapa yang mengajar mereka sekarang? siapa yang menemani mereka dikala bermain?” ucap Halimah dalam hati.

Halimah mengusap tengkuk lehernya, kemudian ia letakkan wajah ditangannya seraya menghadap ke jendela. Ia berpangku tangan dalam diam. Tangan kanannya memegang erat pada mushafnya yang bersampul warna emas.

Rhandra menatapnya, batinnya berbisik.

“Maafkan aku Halimah.” Tak lama mushaf itu terjatuh, Rhandra menangkapnya. Halimah terlelap, ia dekatkan tubuhnya lalu ia sandarkan kepalanya kepelukannya.
“Mbok...”
“Ya Den...”
“Taruh ini diatas,” ucap Rhandra memintanya meletakkan mushaf Halimah diatas persis dekat kaca depan.

Mbok Sum tersenyum, matanya melirik ke arah Darmin. Memberikan pesan padanya bahwa hatinya sudah sedikit mencair, jiwanya tidak lagi keras seperti dulu. Dulu sekali saat ia melihat mushaf ia akan meminta seseorang untuk membuang dan menjauhkan dari pandangannya.

Namun malam ini, Sum dan Darmin menjadi saksi, bahwa ia mulai mengagungkan kitab itu, kitab yang sebenarnya memiliki nyawa, kitab yang akan menemani siapapun dalam masa sulit. Kitab yang akan menerangi alam kubur, penerang bagi jalan kehidupan manusia.

Heningnya malam menyambut kedatangan mereka, suara jangkrik, burung hantu, anjing hutan melebur menjadi satu. Rhandra turun memapah Halimah yang terlihat masih mengantuk, Halimah tak dapat melihat apapun dimatanya, suasana begitu gelap, sangat gelap lebih gelap dari Gedong tua.
Hanya udara dingin yang terasa menusuk tubuhnya hingga sampai ke jantung, Halimah memeluk dirinya dengan ke dua tangannya, ia silangkan seraya mengusap-usap lengannya.

“Pakai ini,” ucap Rhandra seraya memakaikan jaket jenis parka ke tubuhnya.
“Disini sangat dingin, kamu harus kuat,” lanjutnya.
Rhandra mengambil jaket satu lagi dan memakainya.
“Ayo Halimah.” Ia menggandeng tangan istrinya dan berjalan pelan menuju tempat yang ingin mereka tuju.

Tak ada cahaya, hanya sinar bulan, bintang dan sorot lampu mobil yang sengaja Darmin nyalakan untuk membantu mereka berjalan.
Jalanannya menanjak dan berbatu, sangat sulit untuk dilalui. Selama berajalan Rhandra menggandeng Halimah selalu disisinya, ia tak melepaskan pegangannya.

“Gelap sekali Rhandra.”
“Tunggu sebentar lagi, kamu akan jatuh cinta padanya,” ucap Rhandra lembut ditelinganya.

Mereka masuk ke sebuah rumah yang entah dimana posisinya, yang jelas untuk menuju ketempatnya mereka membutuhkan perjalanan selama dua jam dari Gedong Tua.
Udaranya sangat dingin menusuk hingga ke jantung, Sum sudah mempersiapkan pakaian dingin untuk Halimah pakai, Rhandra memintanya untuk menyiapkan semua.

Waktu menunjukkan pukul tiga malam, Rhandra mengajak Halimah ke lantai dua bagian rumah tersebut, setelah Mbok Sum selesai merapihkan. Lantai dua itu tidak berpintu, saat menaiki tangga  ada ranjang besar juga sofa yang menghadap ke jendela.
Halimah belum bisa melihat apa-apa, hanya cahaya sedikit yang berasal dari sela-sela jendela yang tertutup dengan kain gorden.
“Duduk disini,” ucap Rhandra menuntunnya hingga duduk diatas ranjang.
Tak lama ia duduk, Rhandra membuka kain Gorden yang menutupi kamarnya.

Halimah takjub, “Masya Alloh,” bisiknya dalam hati. Sungguh alam ini terjadi atas kehendak Alloh,  apapun akan jadi hanya ditanganNya, keindahan itu sungguh membuat hatinya bergetar, belum pernah seumur hidupnya ia melihat keindahan seperti malam ini.

Sinar bulan dan lekukannya yang luar biasa indah juga bintang-bintang seperti sejajar dengannya, lampu-lampu yang menyala semakin memeriahkan keagunganNya, pohon-pohon dan pegunungan bagaikan siluet indah yang semakin membuat hati bergetar.
Bagaikan mimpi, ia menjumpai kembali kunang-kunang, serangga yang ia percayai begitu saja ketika ia masih anak-anak, bahwa kunang-kunang adalah jelmaan kuku orang mati, lalu kini sinar terangnya jelas terlihat di bawah reremputan menyerupai bintang.
Pemandangan yang luar biasa indah.
Jendela-jendela dikamar itu adalah jendela yang tak bersekat, pemandangan luar seperti selangkah darinya Halimah bergetar perlahan ia maju kedepan cahaya itu berasal, pelan ia menyentuh bintang yang serasa dekat dengan jemarinya.
Air matanya mengalir melihat kebesaran Alloh, tubuhnya bergetar, bahkan lebih besar getarannya dibandingkan ia melihat wajah wanita yang membuatnya takut di Getong tua.

Tak lama, tubuh itu mendekatinya. Ia memeluk istrinya yang mulai kehilangan akal akan keindahan malam itu. Rhandra tersenyum lebar saking senangnya. Ia sangat senang melihat istrinya itu bahagia.
“Berhentilah menangis,” ucapnya lembut.
Halimah membalas pelukannya dengan erat, ia merasa saat ini ia sedang berada di Surga bersama laki-laki yang sangat ia cintai.
“Sekarang istirahatlah...”
“Nggak...aku nggak mau, aku akan menyesal jika melewatkannya, aku akan menunggu hingga subuh.”
“Ok, kalo gitu kita duduk disini sambil memandang langit yang luar biasa indahnya...”

Ucapnya seraya mendudukkan tubuhnya kelantai, lalu ia baringkan kepalanya di pangkuan Halimah.
Halimah tersenyum bahagia, ia usap kepalanya dengan punuh kasih dan sayang, Rhandra menutup matanya, lalu mulut itu pun berbisik

Allaahumma innaka antal azizul kabir. Wa ana abduka adhdhoiifudz dzaliil. Alladzi laa khaula wa laa quwwata illaa bika. Allaahumma sakhkhir lii  Rhandra Abyakta kama sakhkhorta firauna li musa. Wa layyin li qolbahuu kama layyantalhadiida li dawuda. Fa innahu la yantiqu illa bi idznika. Nashiyatuhuu fii qobdhatika. Wa qolbuhuu fi yadiKka. Jalla tsanau wajhik. ya arkhamar rakhimiin.

"Ya Alloh sungguh Engkau Maha Mulia Maha Besar. Sedangkan saya hamba-Mu yang sangat hina dina. Tiada upaya dan kekuatan kecuali karena Kau. Ya Allah, tundukkanlah Rhandra Abyakta  sebagaimana Kau telah menundukkan Fir'aun pada Musa AS. Dan luluhkan hatinya untukku, sebagaimana Kau telah meluluhkan besi untuk Daud AS. Karena sungguh dia takkan berbicara kecuali dengan izin-Mu. Ubun-ubunnya dalam genggaman-Mu, dan hatinya di tangan-Mu. Pujian wajah-Mu telah Agung, wahai yang lebih sayang para penyayang."

Seketika air mata itu kembali menetes, Rhandra memejamkan mata namun telinganya jelas mendengar bisikan itu. Ia tak tahu artinya, namun doa itu sangat menyentuh relung hatinya.
***

Fajar menyingsing, dan Halimah belum memejamkan matanya, Rhandra pulas di pangkuannya hingga suara sahut-menyahut adzan subuh itu terdengar. Masya Alloh ia lepaskan pandangannya ke segala arah, tak ada masjid yang berada disekitarnya namun suara itu tetap terdengar merdu ditelinganya, karena semua masjid berkumandang memanggil semua insan untuk menyembah kepadaNya hingga suara itu sampai ditelinganya pagi itu.

Halimah bergeser, ia letakkan kepala suaminya itu ke lantai lalu ia ganti dengan bantal yang berada di atas ranjang. Ia beranikan diri untuk turun ke bawah memanggil Mbok Sum, dan di ruang tengah terlihat Mbok Sum dan Darmin yang sedang bersiap ingin berjamaah.
“Mbok...”
“Ayo non...”

Untuk pertama kalinya setelah ia mengenal Rhandra, ia bisa merasakan sholat berjamaah, meskipun bukan dengannya hari ini.
“Mungkin bukan hari ini tapi nanti, ya nanti.” Bisik Halimah dalam hati.

Halimah sangat mengharapkan Rhandra bisa menjadi imam untuknya, setidaknya bukan untuk hari ini tapi suatu hari, harapan itu masih jelas ada disetiap doa yang Halimah bacakan.
Laki-laki itu termenung memandang mereka, ia duduk di anak tangga dan memandang lurus pada mereka yang sedang sholat berjamaah. Ia teringat pada kejadian sepuluh tahun lalu, saat Darmin dan Sum berjamaah di ruang tengah rumahnya, Rhandra mengamuk ia usir mereka yang sedang sholat tanpa ada perasaan bersalah dibenaknya.

Namun pagi ini, sungguh ia jatuh hati melihatnya tubuhnya bergetar, ia ingin meniru gerakan itu. Jika benar apa kata Halimah, bahwa Tuhan tak pernah tidur, Tuhan selalu mengabulkan doa-doa setiap hamba Yang ingin berserah, lalu kenapa ia tidak coba.
Kebencian pada Tuhan pun menyusut seiring berjalannya waktu, ia memandang Halimah yang begitu polos, alim juga cantik. Ia membayangkan jika saja Halimah tak datang kepadanya, mungkin ia akan terus menjadi gembala liar yang haus akan kesesatan.
Melintas dipikirannya, masalah yang ia anggap kutukan Tuhan. Rhandra langsung berpaling dan kembali naik ke kamar.

Ia duduk diatas ranjang memandang panorama indah di hadapannya, namun pandangannya kosong. Kedua tangannya ia tekuk diatas lututnya. Ia masih membenci dirinya sendiri, benci akan darah yang mengalir ditubuhnya, benci akan semua yang terjadi pada garis hidupnya.
“Rhandra...” sapa Halimah lembut, ia masih mengenakan mukena berwarna putih di tubuhnya.
“Lepaskan itu, aku tidak suka melihatmu memakainya.”
“Maksudmu...Mukena ini?”
“Lepaskan Halimah...!”

Halimah menarik nafas, sulit sekali untuk membuatnya yakin akan kebesaran Tuhan. Halimah melepas mukenanya, lalu duduk jongkok menghadapnya diantara kedua lututnya. Ia menatap matanya dengan tulus.
“Rhandra...”
Rhandra tak bergeming ia enggan menatapnya.
“Lihat wajahku Rhandra...”

Pelan ia arahkan wajahnya, dadanya terasa sesak batinnya menjerit. Halimah bak bidadari yang turun dari nirwana, rambutnya yang masih basah karena wudhu membuat ia terlihat segar, ia geraikan rambutnya yang panjang itu ke sisi sebelah kanan. Lehernya yang jenjang dengan lapisan kulit yang putih membuat aliran darah menjadi panas, Wajahnya yang mungil, bola matanya, bibirnya semua sangat indah.

“Kamu ingin, aku seperti ini?” ucap Halimah lembut.
“Maksud kamu?” tanya Rhandra memicingkan mata sebelah kirinya.
“Lihat aku Rhandra...Alloh ada dzat yang maha adil, kecantikan yang Alloh anugrahkan pada setiap wanita adalah khusus...Khusus hanya untuk suaminya, bukan untuk orang lain.

Seorang suami yang mencintai istrinya adalah mereka yang melindungi istrinya dengan sepenuh kekuatan juga tenaga mereka. Hijab...Mukena, yang kukenakan adalah bentuk perlindungan Alloh pada semua wanita.
Karena Alloh dzat maha tahu.
Ia tahu seorang suami tak bisa melindungi istrinya dari mata-mata yang bekhianat, mata-mata yang senang memandang mereka yang tak halal baginya, mata-mata yang senantiasa langsung tembus menuju birahi yang akhirnya berujung pada penistaan.

Kamu ingin aku seperti itu? Dinistakan oleh banyak laki-laki.”

Rhandra diam  Halimah benar atas argumentya dan sedikit  menghancurkan kebenciannya pada perintah Tuhan. Ia menarik nafas. Halimah bangkit dan duduk disebelahnya ia mengusap dada Rhandra dengan lembut dan meletakkan kepalanya di bahu Rhandra.
“Katakan padaku Rhandra...Apa alasanmu membenciNya?”

Tarikan nafas itu terasa di dada Rhandra, ia memalingkan wajahnya. Berat rasanya memberitahu Halimah akan pahitnya masalah yang ia derita.

Rhandra tak menjawab, ia mengalihkannya dengan memeluknya dan mencium keningnya.
“Lihatlah itu Halimah...”

Halimah kemudian menolehkan wajahnya ke arah jendela. Masya Alloh hatinya kembali bergetar, hanya orang-orang beruntunglah yang bisa menyaksikan keindahan ini.

Sebuah panorama yang luar biasa indah, alam serasa bersujud pada sang pemilik. Seperti Mimpi, ia memandang jauh ke selatan di mana Lawu berdiri gagah, memandang ke timur pada matahari yang mulai memancar memberikan kehangatan pada setiap makhluk yang kedinginan, terlihat begitu indah langit itu memerah bagai sebuah lukisan.
Warna langit perlahan mulai memerah, kabut juga menjadi penghias manisnya gunung lawu. Gunung itu tertutup kabut dan awan, serta hamparan hijau berselimut kabut di sejauh mata memandang menciptakan pemandangan yang luar biasa.
Halimah bertasbih, dan terus bertasbih. Entah kemana Rhandra membawanya dan alasan ia membawanya namun tempat ini seperti surga yang nyata baginya.
Perlahan Sinar matahari mulai menyinari mereka, seketika anggapan Halimah tentang Rhandra bahwa ia membenci matahari runtuh.
Rhandra sangat menikmatinya, pancaran matahari itu menyegarkan setiap aliran darah yang mengalir didalam tubuhnya. Laki-laki itu berdiri ke depan jendela, ia tersenyum, wajahnya terlihat memukau.

“I Love this place...”ucapnya seraya meregangkan kedua tangannya dan menghirup udara segar yang masuk melalui rongga hidungnya.
“Ayo Halimah ikut aku...” ajaknya seraya menjulurkan tangannya.
“Ayo...” Halimah menggapainya, rasa suka cita itu memenuhi pikiran juga hatinya. Halimah begitu mencintai Rhandra, disetiap langkahnya ia sandarkan kepalanya ke lengannya yang kekar.

Dihadapannya kini hamparan kebun teh begitu luas mengelilingi rumah yang biasa disebut villa oleh banyak orang. Tidak ada villa lain disisi kanan kiri belakang juga depan, hanya sebuah jalan bebatuan yang sangat sulit untuk dilampaui.
“HAAAAAA!” teriak Rhandra mengusik keheningan pagi. Tak lama burung-burung bersahutan mendengar suaranya yang menggelegar.

Rhandra berlari menuju tengah kebun.. ia terlihat sangat bebas,  belum pernah dalam hidupnya ia bisa melihat Rhandra selepas dan sebahagia itu. Ia menyatu dengan matahari yang selama ini ia hindari, ia menyatu dengan alam yang selama ini jarang ia rasakan.
“Halimaah...!” Ia membentangkan tangan dari jarak yang cukup jauh.

Halimah berlari kearahnya dan menghempaskan tubuhnya di pelukan Rhandra. Rhandra memeluknya hingga kedua kakinya terangkat.

Halimah dan Rhandra melintasi bukit teh seraya berpelukan, sesekali Rhandra mencium keningnya. Dipelukannya Rhandra melihat Halimah dengan penuh harap, bibirnya yang mungil sangat ingin ia sentuh, nafasnya semakin tak beraturan. Rhandra mengalihkan pandangannya untuk menghapus semua hasratnya.
"Rhandra..." sapa Halimah.
"Ya..."
Tak lama bibir itu pun mendarat di bibirnya. Rhandra diam, tubuhnya kaku, Halimah menempelkan bibirnya seraya menutup mata. Tangannya pun menyambut tubuh Halimah yang mungil itu semakin erat.

Bagi Halimah bersama Rhandra sudah cukup membuatnya tenang.

Maha suci Alloh atas segala kenikmatan yang ada di muka bumi, kedua insan yang saling mencintai itu tertawa lepas, alam memberi restu kepada mereka, burung-burung bersahutan, hembusan angin segar yang masuk ke dada mereka, dan hangatnya sinar matahari yang perlahan naik ke cakrawala.
***

Sejalan dengan pikiran Rhandra, Haikal kembali ke Gedong tua, ia didampingi beberapa warga desa. Haikal masuk kedalam, keadaan rumah masih sama dengan keadaan saat ia datang dua hari yang lalu. Tak ada yang berubah, pintu-pintu yang rusak pun belum dibenarkan.

Haikal berlari kelantai dua, ia lari menuju kamar yang ia curigai ditempati Halimah, kemarin ia melihat mushaf miliknya berada diatas Nakas.
 “Dia pergi...” ucapnya.
“Kami tidak melihat ada orang disini Haikal, semua ruangan berdebu seperti rumah kosong.”
“Mereka pasti pergi! Aku yakin, sangat yakin Halimah disini. Biar bagaimanapun kita harus menolongnya, ia jatuh ke tangan yang salah. Entah siapa dia, aku yakin dia ada hubungannya dengan keluarga Abyakta,” ucap Haikal pada salah satu warga desa yang mengetahui sejarah Gedong tua.

Sebelumnya satu minggu yang lalu, Haikal masih penasaran dengan jawaban Dwi yang terlihat mengada-ngada.

Sore itu Haikal mengikutinya dari belakang, Dwi menuju ke sebuah desa terpencil di kaki gunung lawu, desa itu tak begitu jauh dari tempat ia tinggal.

Dwi memberhentikan sepedanya di sebuah rumah mungil yang berdiri di hamparan sawah yang luas juga pemandangan yang begitu menakjubkan, rumah itu lebih layak dari rumah mereka dulu.
Batinnya pun bertanya-tanya, bekerja dengan siapa Halimah?

Haikal tak menyerah, ia terus menunggu. Hingga Dwi keluar dan memacu sepedanya ia ikuti perlahan dari belakang, dan sampailah ia di Gedong tua, rumah yang menjadi perhatian banyak orang di Desanya, rumah yang memiliki banyak misteri dan hanya orang-orang yang hidup 30 tahun sebelum kelahirannyalah yang tahu tentang sejarah rumah ini.

Haikal melihat dengan jelas Dwi masuk kedalam dan seseorang membukakan pintu untuknya. Ia semakin yakin bahwa Halimah telah mengorbankan dirinya dirumah ini, entah sebagai pekerja, tumbal atau apapun hanya demi menolong keluarganya.

Malam itu Haikal menunggu Dwi, ia sangat menyesal jika Halimah benar berada didalam. Tak lama anak muda itu keluar bersama sepedanya, dengan gesit ia menghadang Dwi, pemuda itu benar-benar tangguh, ia berusaha melawan Haikal dengan kekuatannya. Malam itu pun keduanya bagai petarung yang sama-sama hanya ingin melindungi wanita yang mereka sayangi.

“Katakan Dwi? Apa Mbakmu didalam?” rutuk Haikal seraya menahan kedua bahunya yang ia sandarkan di mobilnya.
“DWI!” teriaknya.
Tak lama tangisan pemuda itu pecah, Dwi menangis sejadi-jadinya lalu ia mengangguk.
“Bagaimana bisa Wi?”
“Hah..!” Dwi berusaha melawan. Ia memukul perut Haikal dan berlari mengambil sepedanya.

Perasaan bersalah bergerumuh dihatinya, pikiran-pikiran buruk yang menimpa Halimah pun terus bergemuruh dihati juga pikirannya.
Bibirnya biru. Badannya dingin. Tulang-tulangnya seperti dilolosi. Ia diam seribu bahasa.
Ia membayangkan Halimah menderita didalam sana, ia harus menolongnya.
“Aku akan menemukanmu Halimah, aku pasti menemukanmu...”

Sejak malam itu Haikal memutuskan untuk mencari tahu Misteri Gedong Tua, ia hanya tahu sekitar 30 tahun lalu terjadi peristiwa besar di desanya yang membuat semua warga Desa trauma dan menjadikannya sejarah bagi mereka yang tahu.

=====

Sementara itu, setelah Haikal bertemu dengan Dwi ia terus berusaha mencari keberadaan Halimah, ia menanyakan kepada semua warga desa yang mengetahui tentang misteri Gedong tua, banyak dari mereka takut untuk menceritakannya.

Kepercayaan mereka sangat kental sebuah musibah besar tidak boleh dibicarakan katanya. Haikal buntu, Pak Dirjo memberi informasi bahwa rumah itu milik keluarga Abyakta, dan Ayah Haikal adalah teman dekat dari Abyakta, Haikal terus menelusuri jejak keluarga Abyakta.
Keyakinannya kuat bahwa Halimah berada bersama mereka.

Malam itu setelah ia menemukan Gedong tua kosong dan tidak adanya mushaf milik Halimah, Haikal berangkat ke Jakarta, ia menemui Ayahnya disana.
Setahu Haikal Ayahnya pernah dekat dengan keluarga Abyakta.
Malam itu dari bandara Haikal langsung menuju ke rumahnya yang berada di bilangan Cilandak Jakarta, Ayah Haikal memiliki perusahaan di Jakarta. Ia juga mempunyai yayasan pendidikan Agama di Magetan dan yang mengurus yayasannya adalah anak laki-laki satu-satunya Haikal Mahardika.

Haikal tiba dirumahnya pukul 8 malam, dan tak disengaja kedatangannya sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Rumahnya sedang kedatangan tamu agung katanya. Seorang wanita cantik, duduk diruang depan bersama laki-laki disebelahnya.

“Assalamu’alaikum...”
“Waalaikumsalam...” sahut mereka bersamaan.
“Alhamdulillah berjodoh...insyaAlloh...” ucap Ibu Haikal, pada tamu yang sedang duduk di kursi depan.
Mereka bernama Maharani dan Harsa, Percakapan membaur kearah pendekatan Haikal dan seorang wanita yang hari itu baru ia kenal, bernama Maharani.

Wanita itu juga asal Magetan, kampung yang sama dengannya. Ia terlihat cantik juga bersih, tubuhnya tinggi, rambutnya lurus sebahu berawarna coklat, matanya bulat.
Pikirannya tak fokus, apa yang mereka bicarakan tak masuk kedalam otaknya, otaknya sudah penuh dengan misteri akan hilangnya Halimah.
Ibunya berusaha mengenalkannya dengan Maharani, anak dari sahabat Ayahnya. Ia hanya bisa melemparkan senyum dan berharap pertemuan mereka lekas usai.

Maharani anak yang cantik, sebagai laki-laki seharusnya ia tertarik untuk berbicara dengannya, namun ia tak merasakan perasaan senang atau apapun, nama Halimah masih terus mengusik hati juga pikirannya.
Tak lama mereka pulang.

Ibu Haikal melilihat anaknya resah, selama ada tamu hatinya tak menentu, kakinya terus ia gerak-gerakkan menandakan ketidaknyamanannya.
“Haikal...”  sapa Ibunya “Kamu ngga apa-apa kan?”
“Tidak apa-apa bu…”
“Gimana kabar yayasan nak?” tanya Ayahnya yang baru saja bergabung.
“Ayah...tolong ceritakan sejarah keluarga Abyakta!” Anggoro dan istrinya tercengang dan tak lama senyum mereka melebar.
“Kamu baru saja bertemu dengan keluarga Abyakta, Haikal…”
Haikal bingung, ia semakin bingung dengan pernyataan Ayahnya.
“Gedong tua?” tanya Haikal.
“Gedong tua?” tanya Ayahnya balik.
“Iya Gedong tua, apa itu milik mereka?” tanyanya tak sabar.
“Rumah itu milik Abyakta, namun sudah lama mereka tinggalkan di Magetan. mereka meninggalkan semua kenangan buruk di Magetan, dan memutuskan untuk tidak pernah kembali.”
“Jelaskan apa yang terjadi pada Gedong tua, Ayah pasti tahu banyak,” tanya Haikal seraya duduk bersama Ayahnya di kursi tengah.

Perbincangan pun semakin serius, belum lagi masih adanya keluarga Abyakta yang masih hidup, semakin membuatnya penasaran.
“Gedong tua adalah milik sahabat Ayah Mahadi Abyakta. Ia adalah seorang pengusaha yang sukses, ia berhasil membangun usahanya di Magetan, lalu merambah hingga Jakarta dan luar Negeri.

Jauh sebelum kejadian itu terjadi Mahadi Abyakta memiliki istri yang sangat ia cintai, istri pertamanya meninggal karena sakit yang Ia derita, dari pernikahannya yang pertama Mahadi  tidak memiliki anak.

Dua tahun berjalan Mahadi menikah lagi dengan seorang janda beranak satu, Puspa namanya, dari pernikahan keduanya ia memiliki seorang putri yang dia beri nama Maharani, wanita yang baru saja kamu lihat, Puspa juga memiliki anak bawaan dari pernikahan sebelumnya, seorang anak laki-laki mereka yang baru saja datang kesini nak ”

“Maharani cantik loh nak, tinggal kamu minta dia untuk berhijab, dia pasti sudah jadi bidadari,” celetuk ibunya memotong cerita Ayahnya.
Haikal diam tak menanggapi apa yang dikatakan ibunya barusan.
“Lanjut yah…”
“Saat itu ia ada pekerjaan di luar kota Mahadi pergi ke Jakarta meninggalkan keluarganya di Magetan, dan disana.. ia jatuh cinta dengan seorang perempuan keturunan belanda, Arkadewi namanya. Wanita itu sangat cantik, Mahadi terbius akan kecantikkannya. Mahadi menikahinya, dan memberinya rumah yang disebut Gedong tua sekarang,” lanjut Ayahnya.
“Menurut mu gimana nak? Maharani?” tanya ibunya lagi memotong.
“Cukup bu…kedatangan Haikal ke Jakarta bukan untuk Maharani atau siapapun, Haikal masih mencintai Halimah, dan selamanya seperti itu,” ujarnya kesal medengar celotehan ibunya yang terkesan memaksa.
“Halimah?! Apa yang ingin kamu harapkan dari wanita yang sanggup menjual kehormatannya dalam sesaat?”
“BERHENTI BU!”

Haikal marah, yang ibunya katakan tidak sesuai dengan kenyataan.
“Ibu sudah tau semua beritanya dari Pak Dirjo, Halimah tidak pantas untuk kamu Haikal, kamu berhak mendapat wanita lebih baik dari dia.”
“Halimah di fitnah bu…dan sekarang Haikal sedang membantunya mencari keberadaannya, Halimah menghilang…”
“Ibu tidak peduli, memang dia lebih baik menghilang…”
Seketika air mata itu menetes mendengar ibunya.
“Lanjutkan Ayah aku mohon…”
“Haikal apa maksud kamu Halimah menghilang…?” tanya Ayahnya heran.
“Ya Ayah..kejadian yang menimpanya amat pedih, ia di fitnah, rumahnya dibakar, keluarganya tidak diberikan bantuan, dan banyak hal. Warga desa kita sangat keji, harusnya Haikal tak meninggalkannya, ia pasti sendiri di luar sana. Haikal mencintainya Ayah, sebelum Halimah kembali, Haikal tak akan menikah.”
“CUKUP HAIKAL!” teriak ibu nya saat mendengar ucapannya.
“Ibu tidak akan setuju kamu dengan wanita itu! Dulu kamu melamarnya hanya atas kehendakmu, dan Ayahmu saja, sama sekali pendapat Ibu tidak pernah kamu dengarkan, kamu berbeda dengan dia. Kamu harus paham itu!” lanjutnya.
“Apa yang membedakan kita? Harta, pangkat, kedudukan? Ibu lupa Haikal belajar apa dan dimana? Tak ada satupun yang berbeda di mata Alloh bu…semua sama, yang Haikal butuhkan hanyalah wanita yang sholiha, wanita yang mampu menjadi pembimbing bagi anak-anak Haikal, wanita yang bisa  menasihati Haikal..."
“Kamu!” rutuk ibunya kesal.
“Sudah hentikan bu!” bentak Ayahnya.

Haikal rapuh, ibunya sama sekali tak menyetujui pernikahannya dengan Halimah, sejak awal ia memang tidak menyetujuinya hanya Ayahnya yang setuju. Laki-laki itu semakin bingung dengan apa yang ia rasakan.
“Istirahatlah nak, besok kita lanjutkan…” pinta Ayahnya.
“Tidak Ayah, Haikal harus segera menemukan Halimah…Ceritakan lagi tentang Gedong tua?”
“Gedong tua sudah tak berpenghuni nak, Arkadewi meninggal dengan putranya yang berusia 3 tahun, mereka dibunuh oleh warga desa yang mengamuk”
“Apa tempat itu tidak ada yang menempati saat ini?”
“Setahu Ayah tidak ada, Ibu Puspa pun secara sah tidak bisa memiliki rumah itu, karena itu milik Arkadewi, atas namanya pun Arkadewi, dan sebuah Villa di genilangit juga kebun teh semua diserahkan Mahadi untuknya, Mahadi sangat mencintai Arkadewi…”
“Villa?”
“Ya...Villa Abyakta ada di daerah Genilangit,” jawab Anggoro.
“Anak Arkadewi, apa Ayah yakin dia sudah meninggal?” tanya Haikal meyakinkan.
“Kenapa kamu menanyakan itu?”
“Jawab saja Ayah, apa Ayah yakin dia sudah meninggal?” tanyanya kembali.
“Sangat yakin Haikal, ayah yang menggendongnya menuju pemakaman, makam mereka masih berada di dalam lingkungan Gedong tua.” ketus Ayahnya lelah menjawab semua pertanyaan Haikal.
“Sudah Ayah mau istirahat…” lanjutnya.
“Siapa namanya Ayah?” tanyanya. Anggoro sudah berdiri membelakanginya.
“Rhan…Hmmm..Andra Abyakta…Ya Rhandra Abyakta namanya,” ucap Anggoro ragu.

Anggoro berlalu darinya, haikal sudah mengantongi satu tempat yang menjadi harapannya terakhir untuk bisa menemukan Halimah.
“Kamu pasti disana Halimah…” bisiknya dalam hati.

Haikal memutuskan untuk kembali besok, batinnya menjerit jika tidak ada satupun di Gedong tua, lantas dengan siapa Halimah saat ini? Kenapa semua menjadi misteri? Haikal rindu Halimah, ia rindu gelak tawanya, ia rindu senyumnya.

Hasutan Ayu juga Ibunya saat itu membuatnya yakin, bahwa benar Halimah telah berselingkuh darinya. Haikal menyesal, di kamarnya ia berdiri menghadap jendela, ia menatap bulan, hal biasa yang selalu dilakukan Halimah dulu.
“Semoga kamu tau kekhawatiranku Halimah…maafkan aku,” bisiknya, Haikal menangis tak menentu.

Sementara itu diatas langit yang sama, Halimah pun tengah memandang bulan yang melengkung begitu indahnya, pemandangan itu Halimah abadikan bersama Rhandra suaminya.

Mereka duduk bersama memandang bulan di pekarangan Villa Abyakta, kepala Halimah ia sandarkan di pundak suaminya, dan tangan kanan Rhandra memeluk erat pada bahunya.
“Rhandra…”
“Hmm…”
“Kenapa kamu menyukai kegelapan?”
“Aku tidak menyukainya Halimah, aku membencinya.”
“Jika kamu membencinya, kenapa kamu tidak menyalakan semua lampu disana?”
“Karena ada seseorang yang tak menginginkan keberadaanku…”
“Siapa?” tanya Halimah khawatir.

Rhandra tersenyum, mata Halimah melotot, kerut di dahinya menunjukkan kekhawatiran yang amat dalam.
“Dengan wajah seperti itu pun kamu masih tetap cantik Halimah…” jawab Rhandra meledek.
Halimah diam, ia menurunkan dahinya, dan menarik nafas .
“Hmm… Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan…aku disini untukmu,” lanjutnya seraya mengepal tangan kanan Halimah dan memasukkan ke saku jaketnya.
Halimah kian menyandarkan kepalanya.
“Kenapa malam itu kamu menolongku?” tanya Halimah.
“Karena aku tahu tidak ada satupun yang mau menolongmu.”
“Kamu tahu?” jawab Halimah terperangah, ia bangkit dari pelukannya dan memandang wajahnya.
“Ya…” jawab Rhandra santai.
“Apa kamu tahu juga alasan mereka melakukan itu?”
“Tahu…”
Halimah tercengang. Air matanya hampir meleleh.
“Bagaimana bisa kamu tahu?”
“Siang itu aku melihat seseorang mengikutimu, dan seseorang yang lain mengambil gambar kalian berdua.”
“Kamu lihat bagaimana ciri-ciri orang yang mengambil gambarku?”
“Entahlah…dia berhijab sama dengan hijab yang kamu pakai,” jawab Rhandra.
Halimah lemas.
“Ayu,” bisiknya .
“Kamu percaya tuduhan itu?”
“Tidak...”
“Kenapa?”
“Karena aku percaya padamu, aku tahu apa yang mereka perbuat padamu, Aku pun melihat mereka membakar rumahmu, aku juga melihat mereka melemparimu dengan batu, malam itu diatas atap Gedong tua aku mendengar teriakanmu yang menggelegar.”

Air mata Halimah meleleh, kedua matanya bertemu dengan mata Rhandra, bayangannya kembali pada masa-masa yang sangat memprihatinkan itu, masa dimana Faisal masuk kedalam rumahnya dan memeluknya dengan paksa, masa dimana tangan-tangan mereka menghabisi harga diri juga melukainya. nafasnya mulai tersengal-sengal, ia tak sanggup memikirkan Ibu juga adik-adiknya, jika tidak ada Rhandra malam itu mungkin ibunya sudah meregang nyawa, bahkan Rhandra yang tak mengenalnya bisa memberikan kepercayaan padanya, bahkan lebih besar dari kepercayaan Haikal untuknya.
Sekejap tangisannya pecah.
“Terima kasih Rhandra…” Halimah melepaskan genggamannya dan memeluknya dengan erat.
“Terimakasih…terimakasih,” ucap Halimah, tangisannya semakin pecah, hanya dipelukannya ia bisa menyandarkan semua masalah yang menimpa dirinya.
“Katakan…Apa yang laki-laki itu lakukan padamu?”
Halimah terus menangis dan meremas jemarinya, ada kemarahan besar di hatinya.
“Katakan Halimah, apa yang ia lakukan?” tanyanya tenang seraya mengusap punggung istrinya.
“Ia masuk kerumah, dan ia berusaha…” Halimah menarik nafas, tangisannya semakin menjadi.
“Ia berusaha menodaiku, aku melawannya dan ia berusaha memelukku dengan paksa, tangannya begitu kuat, sampai teriakan warga itu datang, aku pikir mereka datang untuk menyelamatkan, tapi mereka justru menuduhku.”

Tangisan Halimah pecah, harusnya ia sudah menceritakan hal ini pada Haikal, laki-laki yang sudah melamarnya, namun Haikal memilih berbalik badan. Hati Halimah hancur, ia terus menangis, kedua tangannya ia remas karena geli, dendam juga sedih.
Rhandra diam,  ia memeluknya dengan erat.
“Siapa namanya?” tanya Rhandra dengan tenang.
“Faisal…”

Rhandra geram di balik wajah Halimah. Ada kebencian yang begitu besar akan apa yang terjadi pada wanita yang kini ia cintai.

Entah takdir apa yang membuat mereka bisa bersama, malam itu Rhandra seperti memahami apa yang Halimah rasakan.
Saat itu Rhandra menikahinya bukan karena kasihan atau karena ketertarikannya akan Halimah, ia menikahi Halimah hanya untuk memuaskan nafsu bejatnya, ia ingin menyakitinya, namun ia luluh tangisan Halimah setiap malam di Gedong tua, menggetarkan hatinya.

Pelukan itu masih erat, Halimah belum melepaskannya. Rhandra membiarkannya hingga kesedihannya berkurang, suara isak tangis pun mulai berkurang.

Kini dendam di hati Rhandra kian bertambah, laki-laki yang berusaha menodai Halimah pun tak luput dari hatinya yang membara karena kesal.
“Suatu saat aku akan menghabisinya…” bisiknya dalam hati. Rhandra tau wajah Faisal, dulu saat ia mendekati Halimah didepan rumahnya, ia memandang curiga pada laki-laki itu.
Ia peluk erat istrinya, ia biarkan Halimah hanyut dengan kesedihannya.

Malam semakin larut, Halimah terlelap di pelukannya. Matanya bengkak karena menangis tiada henti. Rhandra menggendong tubuh mungil itu, dan merebahkannya ke atas sofa, ia pakaikan istrinya kaus kaki yang baru dan ia hangatkan tubuhnya dengan selimut.
Rhandra duduk dibawahnya, dan ia rebahkan tubuhnya diatas karpet.
Mereka lelap.

Mbok Sum bangun, malam itu cuaca sangat dingin. Ia menyalakan lampu didapur, dilihatnya Rhandra dan Halimah tertidur pulas di ruang tengah, Tangan Rhandra menggenggam tangan Halimah.

Seketika, Sum menangis tubuhnya bergetar melihat cinta yang begitu hebatnya diantara mereka berdua.
“Ya Alloh…Abadikan lah kebahagiaan mereka.”

Pagi menjelang, Alunan Adzan begitu nyata terdengar di telinga Halimah, ia membuka matanya perlahan, dilihatnya suaminya tidur dibawah beralaskan karpet, tak ada satupun selimut yang melindungi dirinya dari dingin.

Halimah bangkit, ia pindahkan selimut ditubuhnya ke tubuh Rhandra. Ia menatap wajah Rhandra dan mengecup keningnya dengan lembut.
“Terimakasih Rhandra…”bisiknya.

Halimah beranjak,  bersama Sum dan Darmin ia sholat berjamaah, posisinya tidak jauh dengan tempat Rhandra terlelap.
“Allohu Akbar!” takbir Darmin.
Suara itu membangunkan Rhandra dari lelapnya. Dihadapannya kini mereka sholat dengan tenang, Rhandra mengamati gerakan dengan seksama, ia membalikkan badannya ke arah jendela, ia duduk dibawah tangannya ia pangku dilututnya. Ia masih memikirkan kejahatan yang dilakukan warga desa pada halimah, hatinya membara jika membayangkan apa yang terjadi pada wanita yang kini menjadi istrinya itu.

“Assalamualaikum Waramatullah…Assalamualaikum,” ucap Darmin mengakhiri rakaat terakhir.
Setelah doa, Halimah menghampirinya. Ia mencium tangannya dan duduk disebelahnya.
“Kamu mau makan sesuatu?” tanya Halimah.
“Buatkan aku roti isi,” ucap Rhandra datar, ia bangkit dan jalan menuju ke atas.

Seperti biasa Halimah membuatkan Roti isi.  Setelah selesai, Halimah naik ke kamar. Laki-laki itu tengah duduk diatas sofa, seraya menyaksikan Fajar menyingsing melalui jendela kamarnya.
“Kamu kenapa Rhandra?”
“Halimaah…katakan, apa mereka yang membakar rumahmu, menyakitimu, percaya dengan Tuhan?”

Halimah terkejut mendengar pertanyaannya. Halimah berfikir, berusaha mencari-cari jawaban yang baik agar dia tidak salah mengartikan Tuhan.
“Ya…”
“Jika Ya…kenapa mereka melakukan tindakan sekeji itu?” tanya Rhandra, Halimah sudah bisa menebak pertanyaan ini yang akan keluar dari mulutnya. Halimah mendekatinya ia duduk dibawah seraya memegang kedua lutut Rhandra.
“Rhandra…Tindakan buruk atau baik adalah keputusan manusia itu sendiri bukan perintah Tuhan, semua yang Tuhan perintahkan adalah menunaikan kebajikan, Tuhan tidak membenarkan apa yang mereka lakukan. Terkadang, manusia tidak bisa berfikir jernih, ia hanya menggunakan emosinya hanya untuk memenuhi ambisinya sesaat, bahkan banyak diantara mereka yang mengatasnamakan Tuhan atas tindakannya, seakan-akan Tuhan menyetujui tindakannya, mereka lupa atau bahkan mereka tidak tahu batas-batas norma kemanusiaan dalam agama,” ujar Halimah.
“Rhandra…jika ada sebuah sekolah yang sudah membuat peraturan yang sangat ketat, dan sebagian kecil anak murid ada yang melanggar, dan sebagian besar lainnya anak-anak baik yang selalu mematuhi aturan, mana yang akan kamu salahkan?   peraturan atau anak-anaknya?”lanjut Halimah bertanya.
Rhandra diam ia tak menjawab pertanyaan Halimah, lagi-lagi ia benar atas argumentnya. Halimah tidak hanya cantik, ia juga cerdas. Rhandra begitu menyukainya.
“ Duduklah disini,” pinta Rhandra. Halimah kini duduk dipangkuannya.
“Suasana disini sungguh menyenangkan,  suara gemiricik air,  hembusan angin yang lembut, aku sangat menyukainya,” ucap Halimah.
“Kamu pernah bertanya, apa saja yang aku suka kan?” tanya Rhandra seraya mengambil roti isi miliknya.
Halimah mengangguk.
“Aku suka melihat bulan, bintang, aku suka roti isi buatan Halimah, aku suka bertarung, dan satu hal yang paling aku tidak suka.”
“Apa?” tanya Halimah.
“Air matamu…Aku membencinya,” ucap Rhandra, ia menahan roti yang hendak masuk kedalam mulutnya.

Halimah tercengang, hatinya berdesir, mata itu kini sedang menatap begitu dalam, perlahan Rhandra mendekatkan tubuhnya, wajahnya semakin mendekat, hembusan nafas itu mulai terasa, Halimah menutup matanya, dan untuk pertama kalinya Rhandra memberanikan diri untuk mencium bingkai di wajahnya. Pagi itu terasa indah, Rhandra menciumnya dengan tulus dan lembut.
***

Desa Genilangit pagi ini begitu memukau dimatanya, hamparan kebun teh, udara yang sejuk, pepohonan rindang, dan bayangannya yang terlihat membentuk siluet luar biasa indah, gemericik air sungai mengalir. Semua itu membuat siapapun terkesima akannya. Rhandra mengajaknya berkeliling, mengelilingi desa Genilangit, desa terpencil di kaki gunung lawu. Kebahagiaan itu terpancar di wajah Halimah, begitu pun Rhandra yang menikmati senyum istrinya.

Mereka pergi dengan Mobil Jeep miliknya, kaca mobil Halimah buka, kedua tangan dan wajahnya berpangku pada pintu mobil, udara sejuk itu menerpa wajahnya. Rhandra ingin menghabiskan waktunya bersama Halimah istrinya, Desa Genilangit membantunya menyembuhkan diri dari kegelapan yang selama ini menyiksanya.

Sesekali ia tatap suaminya yang sibuk menyetir. Rhandra tersenyum, senyumannya begitu lebar dari biasanya. Pertama kali dalam hidupnya, ia bisa merasakan kebebasan seperti saat ini.
“Kamu mau kemana Halimah?”
“Terserah…bawa aku Rhandra, bawa aku sejauh mungkin…”
Rhandra tersenyum tipis, ia mengusap kepala istrinya dengan penuh manja. Ia menginjak gas mobil dan menuju Taman Genilangit, disana ia bisa melihat perbukitan juga kaki gunung Lawu yang sangat indah, taman bunga juga pasar yang menjual berbagai macam pernak/pernik.

Sampai di taman, mereka menghabiskan waktunya bersama. Tak ada lagi jarak diantara mereka, tak ada rasa khawatir, takut atau cemas.

Rhandra memegang erat tangannya. Halimah begitu riang akan kebebasan, Halimah berlari bagai kupu-kupu yang rindu akan bunga. Rhandra pun turut larut dalam tawanya.
Senyuman Halimah begitu indah, bahkan lebih indah dari bunga-bunga yang mengelilinginya saat ini.
"Halimah..." sapa Rhandra.
“Hmm..” jawab Halimah, Rhandra menggeragap tangannya, dan sebuah cincin ia lingkarkan di jari manisnya. Cincin yang baru saja ia beli, cincin kayu berukir warna emas.
Halimah terenyuh, begitu memasangkan cincin ia berlalu darinya.

Rhandra tak pernah bicara romantis, namun tindakannya sangat membuat hati wanita manapun bergetar.
Laki-laki itu belum pernah mengenal cinta, Halimah adalah cinta pertamanya. Sikapnya yang lembut tertutupi oleh sikapnya yang dingin juga kasar.
“Rhandra..”
“Hmm..”

Tak lama mereka duduk di sebuah pendopo, dihadapan mereka hamparan sawah yang berwarna kekuningan, puluhan petani sedang bekerja disana.
“Kenapa kita tidak jadi petani saja? Tinggal di gubuk, makan sego seadanya, menikmati indahnya bulan setiap malam bersama, membesarkan anak-anak kita.”
Rhandra tertawa, lamunan Halimah sudah mulai tak masuk akal.
“Kenapa kamu tertawa?” Tanya Halimah heran.
“Aku belum membayangkan kita akan punya anak Halimah. Hal itu tidak akan pernah terjadi, jika itu terjadi. Aku adalah satu-satunya laki-laki yang paling berbahagia didunia, sudah siang kita pulang,” ucap Rhandra.

Tangan itu menarik tangan Halimah, mereka kembali. Halimah terus memikirkan kata-kata terakhir Rhandra. Sepanjang perjalanan Halimah hanya diam dan terus memikirkan masa depannya dengan laki-laki disebelahnya kini.
***

Haikal tiba di bandara Adi Sumarmo, ditangannya kini sudah ada alamat Villa yang ia dapatkan dari Hendry pengacara Abyakta. Haikal melanjutkan perjalanan dengan mobil yang ia parkir semalaman di bandara.

Malamnya ia tiba di Magetan, alamat ditangannya adalah satu-satunya harapan terakhir yang ia punya. Besok rencananya ia akan pergi menuju Villa Abyakta, harapannya begitu besar, semoga kali ini ia bisa bertemu dengan Halimah.
Perasaanya yang makin kian tak menentu membuat Haikal melajukan mobilnya ke sebuah rumah tempat Dasinun dan anak-anaknya tinggal.

Malam itu begitu sunyi sesunyi hatinya, Haikal sudah sampai disana, rumah baru yang mereka tempati, Ia memberanikan diri untuk berjumpa dengannya, meskipun ia tahu Dasinun pasti akan sangat kecewa jika ia tahu Haikal pernah meninggalkannya saat ia perlu bantuan.
Jauh ia melihat Dasinun sedang duduk diluar dengan sulaman benang di tangannya, sesekali wanita itu mengelap pipinya, ia sedang menangis ada kesedihan yang mendalam dimatanya. Batin Haikal tersiksa, Halimah pasti lebih hancur jika melihatnya.

“Assalamualaikum...”
Suara itu terdengar jelas di telinga Dasinun.
“Nak...Haikal...” jawab Dasinun, seketika air matanya menetes. Ia tak sanggup menahan kesedihan yang ia alami tubuhnya lemas, laki-laki itu pun memapahnya dan mendudukkan tubuhnya ke kursi.
“Buee apa kabar?” tanyanya lembut.
Air matanya terus mengalir, ia bahkan tak sanggup menjawab pertanyaan ringan darinya.
“Buee..sabar...”
“Tolong bantu Bue nak.. cari Halimah...Bue tidak tahu Halimah bekerja dengan siapa, Bue sangat merindukannya, Bue ingin tahu keadaannya...Dwi sudah beberapa kali mencarinya ditempat kerjanya namun ia tidak menemukannya.”
“Haikal janji Buee...Haikal akan menebus kesalahan Haikal, Haikal akan membawa Halimah pulang...”

Seketika tangisannya pecah, wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu memeluknya, menyerahkan semua masalah ke pundaknya. Sementara di dalam, Sur dan Dwi menangis mendengar percakapan mereka. Mereka pun berharap Halimah bisa segera pulang.

Hari semakin larut, Halimah berbaring di sisi Rhandra keduanya terlelap setelah menikmati hari-hari yang begitu membahagiakan, dan Haikal dirumahnya masih termenung, ia teringat akan sebuah hadist

“Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia setiap sepertiga malam akhir. Ia lalu berkata: ‘Barangsiapa yang berdoa, akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni. Hingga terbit fajar‘ ” (HR. Bukhari 1145, Muslim 758)

ia beranjak dari tempat tidurnya, ia basuh wajahnya dengan penuh harapan. Shalawat  dan salam ia berikan khusus pada junjungan Nabi Muhammad Saw.

Laki-laki itu melapangkan sejadahnya, ia bermunajat pada Alloh, tangisan juga harapannya pecah. Hanya kepadaNya ia memohon pertolongan juga perlindungan atas diri Halimah.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER