Hari itu Halimah sudah mulai membiasakan diri, menyiapkan sarapan untuk suaminya, ia turun setelah sholat subuh.
Pagi itu Sum tidak terlihat, entah dimana wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya itu. Halimah memulai semua pekerjaan yang biasa dilakukan Sum, mulai dari mencuci piring, membersihkan dapur yang sebenarnya tidak terlalu kotor dan banyak hal.
Ia mulai mengeluarkan semua bahan masakan yang Sum sudah siapkan di meja, hanya ada beberapa sayuran dan tak terlihat bumbu-bumbu disana. Biasanya saat ia masak, Sum sudah menyediakan semua bahan yang akan ia gunakan di meja dapur yang besarnya sama dengan meja makan rumahnya.
Halimah membuka beberapa lemari. Ia terperangah. “Obat Aden,” sebuah tas ia temukan dilaci dapur. Gerak tubuhnya mulai melambat, perlahan ia mengambil tas tersebut dan membuka isinya.
Satu botol obat kapsul beserta catatan kecil jadwal meminum obat tertulis dengan rapih, jadwal terakhir Rhandra minum obat tadi malam pukul 10 malam, waktu dimana ia sudah terlelap. Dalam satu hari ada tiga jadwal yang dituliskan Sum. Halimah shock ia tak tahu bahwa selama ini Rhandra mengkonsumsi obat. Detak jantungnya kian melemah, kekhawatiran yang begitu besar mengeruak di dadanya.
“Non…” sapa Sum yang mendadak hadir dibelakangnya.
Halimah masih diam, tangannya masih menggenggam obat yang ia curigai milik Rhandra.
“Maaf Non, si mbok kesiangan.”
“Ini apa Mbok?” tanya Halimah, wajahnya memerah karena khawatir.
“Ohh…E…Nganu…Ehmm…” jawab si Mbok gugup.
“Jawab Mbok…”
“Hmm…itu…”
“Apa ini punya Rhandra…? Mbok jawab Mbok!” tanya Halimah dengan nada yang mulai meninggi.
Sum mulai menangis…”Nggih Non…”
“Kenapa saya tidak tahu Mbok? Rhandra sakit apa?” Mata Halimah berkaca-kaca.
“Saya…Saya tidak tahu Non…”
“Mbok bohong…pasti ada rahasia disini, ada yang tidak saya ketahui kan Mbok? Mbok jawab Mbok…saya istrinya Rhandra saya berhak tahu apa yang terjadi dengan suami saya…” ucap Halimah seraya mengguncangkan bahu Sum.
“Itu hanya vitamin Halimah!” Mendadak Rhandra datang dan menjawab semua pertanyaannya.
Laki-laki itu menghampirinya dan mengambil obat yang ia pegang.
“Jika itu vitamin, mengapa minumnya harus terjadwal. Ada apa dengan kamu Rhandra?” tanya Halimah penasaran.
Laki-laki itu membelakanginya, dari pundaknya terlihat Ia menarik nafas.
“Kamu hanya terlalu khawatir Halimah, aku tidak apa-apa.”
“Kalau begitu biar aku yang memberikan vitamin itu, aku istrimu aku yang harus merawatmu…”
Rhandra diam, ia tak menjawab dan pergi membawa tas berisi obat bersamanya.
Halimah sedih, pasti ada yang disembunyikan darinya. Seharusnya ia sudah curiga dari awal, si Mbok pun selalu membelikan bahan masakan yang rendah lemak padanya. Semua masakan seperti sudah diatur olehnya, Halimah hanya mengolah yang sudah tersaji di dapur.
“Maafkan Mbok ya Non…” ucap si Mbok seraya mengusap pundaknya.
Menu yang tersaji di meja hari ini sayur bayam, Jagung juga ada tempe dan satu buah kelapa.
“Ini mau diapakan Mbok?”
“Terserah si Non, air kelapa untuk si Aden minum.”
Kesedihan Halimah semakin menjadi. Betapa bodohnya ia sebagai istri, mengapa ia tak bisa menebak segala sesuatu tentang suaminya. Batinnnya terus menerka sakit yang diderita Rhandra Abyakta.
Pelan Halimah membawa makanan diatas nampan menuju kamarnya. Sayur bayam dengan jagung didalamnya, tempe bakar juga nasi putih dan air kelapa untuk ia minum. Ia melangkahkan kakinya perlahan menuju kamar.
Dilihatnya Rhandra sedang duduk termenung didepan jendela, ia tak bergeming mendengar langkah Halimah yang sudah tiba dihadapannya.
Halimah tak berbicara, ia menyajikan makanan yang sudah ia sediakan. Ia ambil sayur bayam sedikit dan tempe bakar. Ia memotong tempenya perlahan, lalu ia serok dengan sendok makan dan ia sodorkan ke wajahnya. Halimah hendak menyuapinya.
Rhandra tak bergeming, ia terus menatap keluar.
“Aku bukan anak kecil Halimah…Aku tidak sakit…”
Halimah menurunkan tangannya. Air mata itu menetes, ia ingin menjerit meminta haknya sebagai istri untuk menjaga dan merawat Rhandra suaminya, ia begitu cemburu dengan Sum yang selalu menyediakan segala kebutuhan untuknya.
Halimah membalikkan badannya, dan tak lama tangan itu meraih tangannya.
“Duduklah disini, kita makan bersama…” ajak Rhandra yang seketika berubah.
Halimah menarik bangku satunya dan duduk disebelah Rhandra, ia memperhatikan Rhandra makan begitu lahapnya, tak lama Rhandra mengambil sendok yang baru dan menyodorkan sendok berisi makanan padanya.
“Aa…” ucapnya. Rhandra menyuapinya dengan tulus.
Halimah membuka mulutnya dan melahap makanan yang ia berikan, Rhandra tersenyum.
“Berhentilah bersedih Halimah, berhenti mengkhawatirkan aku, aku bahkan lebih kuat dari apa yang kamu kira. Sedihmu itu hanya membuat kepalaku ingin pecah…”
Rhandra mengusap pipinya dan mengunyah makanan yang ada dimulutnya.
Rhandra menyelesaikan makanannya dengan meneguk air kelapa yang disediakannya.
“Enak…Aku suka…” Wajahnya berbinar, tak lama ia memeluk istrinya dengan erat.
“Maafkan aku Halimah…Terimakasih…”
Halimah beranjak, ia turun kebawah untuk membantu Sum.
“Maaf untuk apa? terimakasih untuk apa? aku ini istrimu…” bisiknya dalam hati.
Selesai membantu Sum, wanita itu termenung di kursi taman. Ia masih memikirkan obat yang baru saja ia temukan, pikiran negatif tentang sakitnya Rhandra memenuhi isi otaknya. Ia terus menggeleng-gelengkan kepala dan mengucap “Naudzubillah…”
Siapa Rhandra masih menjadi misteri baginya, Rhandra tak pernah mau menjawab pertanyaan darinya, siapa ibunya, kenapa ia mengurung diri, dari mana ia mendapatkan uang, semua itu menjadi misteri bagi Halimah.
Kadang Halimah merasa ia belum mempercayainya sepenuh hati, ada banyak hal yang ia sembunyikan darinya. Tembok besar itu masih mengelilinginya.
Tak lama hembusan angin begitu terasa di lehernya, ia merasakan kesejukan yang begitu segar hingga masuk dikerongkongan hingga dada. Begitu sejuknya hingga ia terlelap.
“Dorr…” Suara tembakan itu membangunkannya. Halimah bangun, ia masih berada di kursi yang sama namun suasananya yang berbeda. Ia merasa hari menjadi kelabu, ia melihat sekeliling tak ada satupun orang yang bersamanya. Tak lama ia melihat sebuah mobil sedan era 70an, Halimah terperangah, ia tak bisa bangkit tubuhnya berat seperti terkunci, mulutnya pun berteriak namun seperti tak ada yang mendengar, ia hanya bisa mengamati.
“Ayah…”bisik Halimah. Ia melihat seorang laki-laki yang mirip Ayahnya mengenakan seragam dan keluar dari mobil seperti seorang supir.
“Ayaaah!” teriak Halimah, rasa rindu pada Ayahnya tiba-tiba mengeruak. Halimah mencoba bangkit dan tubuhnya pun terangkat, ia mengikuti Ayahnya yang terburu-buru masuk kedalam villa.
Halimah tercengang, ia seperti melihat sebuah tayangan drama dihadapannya, ia melihat Ayahnya sedang berusaha mengangkat jasad wanita yang bersimbah darah di ruang tengah, wanita itu hanya mengenakan kaos juga rok sebetis ia terlihat sederhana, ditubuhnya darah mengalir. Seketika air mata Halimah meleleh. Ayahnya tak lebih seperti seorang jongos.
Ada seorang wanita disana, ia seperti seorang bangsawan, rambutnya ikal sebahu, bibirnya berwarna merah darah sama dengan baju yang ia pakai, matanya tertutup dengan topi juga kacamata hitam yang ia kenakan. Ada sebuah senjata ditangan kanannya, jasad wanita dihadapannya sepertinya baru saja ia tembak.
Tak lama seorang laki-laki lain datang, ia membantu Ayah Halimah mengangkat jasad itu dan membawanya ke arah selatan Villa.
Halimah terus mengikutinya, rumput bersemak itu menghalangi langkah, jauh dari sana sebuah sumur terlihat, Tubuhnya bergemetar, Halimah berkeringat, jantungnya berdegup kencang. Ayahnya beserta rekannya hendak membuang jasadnya ke dalam sumur.
“A…Ayah…Jangan…Ayah jangan…” tangis Halimah memohon, namun ia hanya penonton disana, bahkan tubuhnya pun serasa dilewati oleh Ayahnya.
“Tidaaaakk!” mereka pun benar membuang jasadnya ke dalam sumur dan menutup mati sumurnya dengan tutup yang terbuat dari beton.
Halimah menjambak rambutnya, ia tak bisa membayangkan Ayahnya telah melakukan dosa yang begitu besarnya.
“TIDAAAAKK!” teriak Halimah dalam tidurnya, pipinya basah.
TIDAAAK…Ayahhh…”
“HALIMAH…BANGUN…” teriak Rhandra berusaha menyadarkannya.
“Halimaaah…”
Halimah tak sadarkan diri, Rhandra bergegas menggendong dan membawanya ke kamar.
“Mbok, ambilkan minyak hangat..”
“Ya den!”
Rhandra mengusap tubuhnya dengan minyak yang dibawakan si Mbok, sesekali ia letakkan minyak yang berbau menyengat itu ke hidungnya.
“Halimah…aku mohon bangunlah…” ucap Rhandra cemas.
Perlahan Halimah membuka mata, Rhandra sudah berada dihadapan, ia langsung memeluknya dengan erat. Detak jantungnya berdegup kencang, tubuhnya menggigil ketakutan.
“Rhandra…Rhandra…”
“Kamu kenapa Halimah?” tanya Rhandra heran.
Halimah terlihat shock atas apa yang baru ia saksikan. Rhandra memberikannya minum, dan merebahkan tubuhnya di dada.
Halimah shock luar biasa, ia tak sanggup jika harus memejamkan mata. Gambar Ayahnya terlihat jelas dalam bayangannya, tidak seperti mimpi, ini seperti asli. Halimah diam seribu bahasa, bertanya-tanya akan apa yang baru saja ia lihat di kepalanya.
“Halimah kamu kenapa…?” tanya Rhandra khawatir.
Tangannya ia kepal erat, sesekali ia mengusap kening Halimah yang berkeringat.
“Rhandra…”
“Hmm…”
“Apa di tempat ini ada sebuah sumur?” tanyanya pelan.
“Sumur?” Rhandra berbalik tanya.
Halimah diam dan mengangguk tipis.
“Aku tidak tahu Halimah, aku tak pernah memperhatikan,” jawabnya.
“Aku mohon Rhandra…aku butuh jawaban yang pasti, apakah ada sumur di Villa ini?”
“Halimah…pertanyaanmu itu sangat menakutkan, sebenarnya apa yang ingin kamu tanyakan…”
“Aku perlu tahu Rhandra…Aku mohon, apa kita bisa melihat kebelakang Villa ini…?” pintanya seraya mengeratkan genggaman tangannya.
“DARMIN!” teriak Rhandra memanggil.
Tak lama Darmin datang. “Ya Den…”
“Darmin, apa di villa ini ada sebuah sumur?”
“Ada Den… tapi sudah lama mati, tidak digunakan ada dibelakang.”
Seketika tubuh Halimah melemah, ia seperti disergap rasa sedih yang amat mendalam hingga menusuk ke dadanya, air matanya meleleh.
“Tidak…tidak…itu hanya mimpi…tidaaak…” ucap Halimah menyangkal.
“Halimah…kamu kenapa?” tanya Rhandra seraya mendudukkan tubuhnya disebelah tubuh Halimah. Rhandra memeluk dan menenangkannya.
Pagi menuju siang itu, halimah tampak kepayahan ia terus memeluk Rhandra karena takut, ia masih belum berani menceritakan isi mimpinya pada Rhandra.
Semua terlihat nyata, Halimah ingin tahu kebenarannya. Hanya Dasinun yang bisa menjawab teka-teki yang ada dalam bayangannya.
“Aku ingin pulang Rhandra…” ucapnya berbisik di dada suaminya.
“Aku mau pulang…” ucapnya kembali, matanya terus lembab.
“Halimah tidurlah…kamu sedang kurang sehat…” ucap Rhandra seraya mengusap punggungnya.
Tak lama wanita itu terlelap, halimah tertidur di dadanya. Pelan Rhandra baringkan ia di ranjang dan memperhartikannya dari sofa.
Sum datang membawakan makan siang untuknya juga Halimah. Rhandra terlihat terus memandangi istrinya, ada kekhawatiran di matanya yang tak bisa ia ungkapkan.
“Maafkan Si Mbok Den…tadi pagi Mbok lupa menyimpan obatnya…”
“Tidak apa-apa Mbok, sudah waktunya ia tahu…”
Sum diam, ia terenyuh melihat kesedihan di matanya.
“100 hari saja Mbok, 100 hari aku ingin bersama Halimah setelah itu aku akan pergi darinya...” ucap Rhandra seraya melihat Halimah yang terbaring lemah. Dimatanya masih terekam jelas, senyum Halimah saat menjalani hari-hari terakhir bersamanya.
Tangisan Mbok Sum pecah, ia sangat tak mengharapkan Rhandra akan pergi meninggalkannya.
“Kasihan Non Halimah Den...”
“Saya sudah memutuskan untuk melepaskannya Mbok, bersamanya hanya membuat saya lemah, dia pantas bahagia, dia pantas mewujudkan mimpi-mimpinya memiliki suami yang baik dan anak-anak yang lucu..Saya tak pantas untuknya Mbok”
“Ceritakan saja padanya Den.. Mbok yakin dia pasti akan menerima keadaan Den seutuhnya.. dia sangat mencintai Aden...” jawab Sum, nafasnya sesak memikirkannya.
Rhandra diam, ia menunduk, kedua tangannya menahan kepalanya.
“Saya tak bisa Mbok…, Saya belum siap kehilangan dia sekarang…” jawab Rhandra, kedua matanya lembab, ada air di kedua sudut matanya.
“Si Mbok tak bisa berbuat apa-apa Den, Mbok hanya berharap Aden bisa bahagia bersama Non.” Sum menangis, ia tinggalkan Rhandra dalam kesedihannya.
Rhandra mendekati Halimah, ia duduk disebelah tubuhnya, ia belai rambut juga pipinya yang lembut. “Kamu akan selalu dihatiku Halimah…” bisiknya.
Rhandra berbaring disebelah tubuhnya, nafas Halimah begitu terasa di wajahnya, aroma tubuhnya membakar jiwanya, ia hanya diam dan memeluk tubuhnya erat.
Halimah terperangah, ia buka matanya pelan. Rhandra masih setia mendampinginya.
“Rhandra…” ucap Halimah.
“Aku disini Halimah," ucap Rhandra.
“Seseorang telah berbuat jahat Rhandra, seseorang telah dibunuh ditempat ini, mereka membuang jasadnya disumur itu, aku melihatnya Rhandra, aku melihatnya dengan jelas…Aku takut Rhandra...” ucapnya menangis.
“Tenanglah Halimah…itu hanya halusinasimu saja…”
“Tidak Rhandra, aku mohon kita harus melihat sumur itu, aku mohon…” ucap Halimah memaksa.
Rhandra diam, ia sedikit percaya dengan apa yang dikatakannya.
“Akan aku lihat Halimah…” ucapnya seraya menggenggam tangannya.
“Aku ikut, aku ingin tahu…”
“Halimah kamu masih shock…”
“Bersamamu aku merasa lebih baik, aku mohon…”
Rhandra bangkit lalu membantu Halimah bangkit dari tempat tidurnya.
Tak lama, sejurus dengan pandangannya sebuah mobil jeep hitam yang tak asing baginya masuk ke dalam pekarangan villa mereka, mobil itu berjalan dengan pelan.
“DARMIN!” teriak Rhandra yang tau akan kedatangan Haikal.
“Ya Den…” teriak Darmin yang berlari menuju kamarnya.
“Kamu jaga dibawah, laki-laki itu datang lagi,” rutuknya kesal.
“Haikal…” bisik Halimah.
Ya Alloh kenapa Haikal terus mencariku apa maunya?
“Ikut aku Halimah."
Rhandra menarik tangannya, tak ada ruang rahasia disana. Di lantai dua hanya sebuah kamar tak berpintu dan satu buah kamar mandi, mereka masuk kedalam kamar mandi dan menguncinya dari dalam.
Tubuh Rhandra persis dihadapannya, jaraknya sangat dekat. Pelan ia menelan salivanya.
Halimah teringat saat ia tak sengaja memergokinya didalam kamar mandi di kamarnya di Gedong tua, saat itu laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya terlihat bersih, ia hanya menggunakan sehelai handuk. Badannya tegap, perutnya rata dengan otot yang membentuk six pack, ada ruam-ruam merah di sekitar tubuhnya.
Jantung Halimah berdegup kencang, berulang kali ia menelan salivanya. Rhandra adalah laki-laki yang sempurna baginya, kekurangannya hanya satu jauh dari Tuhan.
Halimah mulai berkeringat, bukan karena Haikal namun karena ia menikmati kehadiran Rhandra dihadapannya.
“HALIMAAH…” suara Haikal masih terdengar jauh. Halimah terperangah, Rhandra memeluknya, tangannya ia genggam erat.
“Mohon maaf tuan, anda tak boleh naik keatas!” teriak Darmin yang berusaha mencegahnya.
Haikal terdengar memaksa. Benar apa yang dikatakan Rhandra, bahwa Haikal mampu melakukan apa saja demi hal yang ia inginkan.
Langkah kaki itu kian terdengar di telinga Rhandra, Rhandra geram kedua alisnya mengerut karena kesal. Nafas emosi sudah tercium oleh Halimah, Halimah kian mendekat, ia memeluk dada suaminya yang penuh dengan amarah.
“Halimah aku mohon…keluarlah, aku tahu kamu disini. Mushafmu …aku tahu itu mushafmu…” Halimah terperangah, ia lupa membawanya bersamanya.
Haikal tahu keberadaan Halimah, ia bisa merasakan Halimah bersembunyi dalam kamar mandi, Haikal tidak menggedornya, ia membiarkan pintu itu terbuka untuknya.
“Aku mohon Halimah, Ibumu sakit parah…” ucap Haikal berbohong.
Seketika air mata Halimah jatuh, tubuhnya bergetar dan lemas, pandangannya kosong. Rhandra terenyuh, Air mata Halimah semakin deras. Ia tak sanggup melihatnya menangis, Rhandra melepaskan genggamannya, dan membiarkannya mengambil keputusan yang ia mau.
Tak lama Haikal turun, ia tak bisa meyakinkan Halimah. Ia keluar dari Villa Abyakta, Sum dan Darmin mendampinginya. Mereka tak bicara sedikitpun tentang keberadaan Halimah, namun keyakinan Haikal sangat kuat, untuk itu ia memaksa untuk masuk.
“Pergilah Halimah."
“Rhandra…” Halimah menggelengkan kepala.
“Aku akan menjemputmu…Aku janji…Pergilah bersamanya…” ucap Rhandra lembut.
“Jika kamu tidak datang?” tanya Halimah ragu.
Rhandra diam, ia kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Halimah.
“Aku akan datang Halimah, kapanpun kamu membutuhkanku aku selalu ada untukmu, aku janji…”
“Aku ingin bertemu keluargaku Rhandra, tak bisakah kamu yang mengantarku?”
“Halimah, laki-laki itu akan terus datang. Dia akan terus bertanya tentang keberadaanmu, keluarlah dan berikan jawaban padanya kamu baik. Biarkan ia mengantarkanmu pulang”
Rhandra menatap wajah Halimah yang begitu tulus.
Ia terharu, ia memeluknya dengan erat. Lalu Halimah keluar dari kamar mandi, ia ambil hijab juga jaket yang tergantung di lemari pakaian, secarik kertas juga sebuah pulpen ia ambil di laci nakas, ia menulis beberapa pesan singkat diatasnya lalu berlari kebawah.
“Mas Haikal!” teriak Halimah
“Halimah…” Haikal lega, senyum di bibir Haikal begitu lebar, rasa rindu yang teramat dalam begitu menyeruak, rasanya Ia ingin memeluknya dengan erat, meluapkan emosi juga cinta yang tertahan dalam jiwa.
Rhandra rapuh, ia duduk dibalik pintu, air matanya mengalir. kedua tangannya ia genggam, emosi yang ia rasakan begitu besar. Namun ia pasrah, baginya Halimah kembali atau tidak itu sudah menjadi keputusannya.
“Non…” sapa Mbok yang berusaha menghentikan Halimah.
“Saya akan kembali Mbok…saya pasti kembali…” Halimah memeluk erat tubuh Sum seraya menangis, di telinganya ia berbisik “Jaga Rhandra ya Mbok, titip dia untuk saya…” ucap Halimah, suaranya parau ia menangis matanya lembab, hidung memerah karena tangisan.
Halimah pergi, pikirannya kacau memikirkan Dasinun yang sedang sakit juga Rhandra yang ia tinggal sendiri, jiwanya pasti sepi. Alangkah indahnya jika Suaminya sendiri yang mengantar menjenguk Ibunya.
Sudah beberapa kali Halimah memohon padanya untuk pulang, namun Rhandra selalu menolak. Entah apa yang membuat Rhandra menahan Halimah, sampai saat ini pun Halimah belum tau jawaban pastinya.
Mobil itu berjalan ke arah Utara Magetan, mereka kembali menuju desa tempat Dasinun dan adik-adiknya tinggal. Sepanjang perjalanan Halimah hanya memandang keluar jendela, Haikal berusaha mengajaknya berbicara namun Halimah tetap diam dan berpaling muka.
“Halimah…apa kabarmu?”
Halimah tak bergeming ia tetap diam. Ia duduk meminggir seraya mendekap erat pada kedua bahunya. Mulutnya datar tak ada ekspresi.
“Halimah…Mas mau minta maaf, tolong bicaralah…”
Halimah tetap tak bergeming, pikirannya sedang kalut. Dasinun, Ayahnya, dan Rhandra semua memenuhi pikirannya. Halimah buntu, mulutnya terasa berat menjawab pertanyaan Haikal, ia sudah muak mendengar suaranya, tak ada lagi sinyal hati yang ia rasakan padanya beberapa bulan lalu. Haikal mati, baginya hanya sebuah kenangan yang tiada arti.
“Tolong lebih dipercepat Mas…” ucap Halimah, memotong kesekian pertanyaan darinya.
Haikal mengangguk, ia menambah kecepatan mobilnya agar kekecewaan Halimah berkurang padanya.
Mobil mereka sudah masuk ke pedesaan baru, lokasinya berada diantara desa Genilangit juga desa Poncol. Pesawahan terhampar begitu luasnya, pohon pinus berjejer disepanjang jalannya. Udara yang begitu sejuk perlahan berhembus sesaat Halimah membuka kaca mobil.
Seketika kenangan akan Rhandra muncul, ia rindu saat mereka berdua melakukan kencan bersama ke taman genilangit, ia rindu belaian Rhandra, ia rindu gelak tawanya, ia rindu ocehan pedasnya.
Halimah menangis, air matanya terbang bersama angin. Ia diam dan terus berharap dalam doanya, Rhandra akan datang menjemputnya ia pasti menepati janjinya.
Haikal pun menepi, mobilnya berhenti di sebuah rumah yang berada persis di tengah pesawahan, rumah yang sederhana namun memiliki pondasi yang kokoh, Halimah mamandang Haikal.
“Disana…” ucap haikal menjawab sebuah pertanyaan yang tergambar diwajahnya.
Pelan Halimah turun dari mobil, ia langkahkan kakinya menuju rumahnya yang setaunya, Rhandra yang memberikannya untuk mereka.
Langkah kakinya bergetar, tak lama wajah wanita yang tak asing baginya muncul, sebuah bak pakaian basah berada di tangannya. Wanita itu sudah tak muda lagi, namun ia masih kuat mengerjakan pekerjaan Rumah.
“Bueee...”teriak Halimah.
“BUE!” teriaknya kembali… langkahnya semakin cepat.
“HALIMAH!” Dasinun berlari mengejarnya, keduanya berhambur menjadi satu dalam pelukan, Dasinun tak kuasa menahan kerinduan pada putrinya, ia ciumi wajah putrinya, begitu pun Halimah sebaliknya.
Tak lama Dwi dan Sur berhamburan keluar, mereka berlari kearah kakaknya, pelukan erat ia berikan ke Halimah.
Haikal bernafas lega, ia tak ingin menghancurkan kebersamaan mereka, ia turun dari mobil hanya sekedar berpamitan.
“Bue sakit kenapa masih kerja?” tanya Halimah khawatir.
“Bue sehat kok Nak, Bue hanya kangen sama kamu Nak, bue disini tidak apa-apa, Sur juga Dwi baik-baik saja, kami semua justru mengkhawatirkanmu Nak.”
Halimah memicingkan matanya ke arah Haikal, bisa-bisanya orang berpendidikan berbohong hanya untuk memuaskan harapan juga keinginannya, kekesalannya semakin bertambah.
“Saya permisi dulu Bue,” ucap Haikal seraya mengulurkan tangan padanya untuk ia cium.
“Terimakasih banyak Nak Haikal,” jawab Dasinun seraya mengangguk-anggukan kepalanya.
Halimah tak bergeming, ia bahkan tak menoleh sedikitpun padanya.
“Nanti malam aku kembali Halimah,” ucap Haikal ditelinganya.
Halimah masuk kedalam bersama Dasinun, ia tak mempedulikan laki-laki yang sudah setengah mati mencari keberadaannya.
Sementara di desa Genilangit, Rhandra masih termenung di dalam kamar mandi, pandangannya terus menunduk kebawah. Laki-laki itu hanya diam, dan sesekali menangis.
“Den…Bisa saya masuk?” Suara Darmin terdengar dari luar.
Darmin sudah seperti Ayah baginya, ia selalu ada disaat ia sedang sedih atau terluka. Laki-laki itu bagai pengobat untuk jiwanya yang luka, nasihatnya, perhatiannya tak berbeda dengan perhatian orang tua pada anaknya.
Rhandra tak menjawab, tak lama knop pintu terbuka perlahan. Dilihatnya Rhandra sedang duduk meratapi kesedihannya.
“Den…Ayo bangun…” pinta Darmin seraya mengangkat bahunya.
Tak lama tangisan itu pecah, ia menekan giginya hingga menangis sesegukan. Darmin memeluknya erat, ia mengusap pundaknya, ia biarkan anak laki-laki itu bersandar pada tubuhnya.
“HAAAAAA!” teriakan Rhandra menghancurkan keheningan Villa Abyakta. Laki-laki itu hancur.
Rhandra pun keluar dari kamar, Darmin memapah tubuhnya , ia rebahkan tubuh Rhandra diatas ranjang,
Tak lama Rhandra melihat mushaf Halimah dan sebuah surat kecil diatas nakas yang berada persis disebelahnya.
“Rhandra…aku bawa jaketmu untuk aku pakai, maaf karena mungkin aku akan rindu padamu. Aku tinggalkan mushafku padamu, aku mohon jaga mushaf itu baik-baik untukku, jika kau rindu kamu bisa memeluknya.”
Rhandra diam, ia luluh ia peluk mushaf itu erat didadanya. Halimah pergi bukan untuk sehari atau dua hari, namun Rhandra yakin, Halimah akan tahu rahasia besar tentangnya dari orang lain, dan saat itu ia sangat yakin Halimah tak akan kembali untuknya.
Malam itu setelah meluapkan rasa rindu pada keluarganya, Halimah menatap pada setiap sudut ruangan rumah yang Rhandra sediakan untuk keluarganya.
Rumah sederhana yang terlihat kokoh, didalamnya ada ruang tamu, ruang makan juga ruang dapur, ada tiga buah kamar persis seperti rumahnya yang terbakar sebelumnya, dan yang menarik semua barang yang masih utuh dirumah yang lama, semua ada didalam, khususnya didalam kamarnya, ranjangnya masih sama karena belum terbakar, lemarinya masih utuh beserta pakaian yang masih tersusun rapih didalam, meja belajar, juga sebuah jendela kamar yang berhadapan persis dengan sinar rembulan.
Rhandra menepati janjinya, ia perlakukan keluarganya dengan baik, ia pun memberikan uang pada Dwi untuk ia pakai secukupnya.
“Nduk…” sapa Dasinun yang melihatnya termenung selepas maghrib.
“Ya Bue…”
“Terimakasih ya Nduk, sudah bantu Bue dan adik-adikmu, kamu pasti bekerja keras untuk semua ini…Sebenarnya apa yang kamu kerjakan, kenapa tiba-tiba kita seperti orang yang serba cukup, Dwi titipkan uang yang cukup untuk kita pakai selama satu bulan, belum lagi rumah yang kita tempati sekarang, mesin jahit di kamar bue, semua ini kamu dapatkan dari mana Nduk?” tanya Dasinun penasaran.
“Bue…Halimah buatkan makanan ya… sudah lama Halimah tidak masak untuk orang rumah,” ucap Halimah mengalihkan pertanyaannya.
Ia menyiapkan makanan yang sebelumnya sudah dibeli ibunya di pasar, ia masak dengan sungguh-sungguh, rindu yang begitu besar ia tumpahkan hari ini. Ia rindu Bue dan kedua adiknya, Halimah rindu masa-masa bersama mereka.
“Dwi, Sur…Ayo makan…”
Kedua adiknya lari ke arahnya, mereka nikmati hari-hari bersama kakak perempuannya. Dasinun tersenyum lebar, kebahagiaan tak terkira terpancar diwajahnya.
“Alloh selalu bersamamu Nak,” ucap Dasinun seraya mengusap kepalanya.
Setelah makan malam Halimah kembali kekamar. Malam itu adalah malam pertama Halimah tidak bersama Rhandra, rasa rindu teramat dalam sangat ia rasakan. Pelan Halimah memeluk jaket Rhandra, ia ciumi bau yang masih menempel di jaketnya. Cincin kayu yang Rhandra berikan terus menerus ia putar dan ia mainkan.
“Halimah…” sapa Dasinun seraya mengetok pintu kamarnya.
“Ya Buee…” Halimah bangkit dan membukakan pintu untuknya.
“Ada Nak Haikal didepan…”
Halimah diam, ia tak ingin diganggu.
“Halimah lelah Buee…”
“Temui dulu Nak, kasihan dia. Dia terus mencari dan menanyakan kabarmu…”
Halimah luluh, ia dengarkan perintah ibunya untuk datang menemuinya.
Laki-laki itu tengah berdiri di teras depan, tubuhnya membelakangi Halimah. Baju koko berwarna biru yang selalu ia kenakan dulu, begitu bersinar di kulitnya yang putih.
“Mas,” sapa Halimah, tak lama Haikal berbalik ia lemparkan senyuman pada wanita yang teramat Ia rindukan.
“Apa kamu lebih baik sekarang?” tanyanya.
“Langsung saja mas, mas Haikal ada keperluan apa dengan Halimah?”
“Mas ingin minta maaf Halimah…Mas tau kesalahan Mas amatlah besar,” tutur Haikal.
“Sudah Halimah maafkan, Mas…”
“Terimakasih Halimah, lalu apa kita bisa mulai lagi dari awal?”
“Untuk itu, mohon maaf mas Halimah tidak bisa.”
“Mas Paham. Halimah pasti masih kecewa dengan Mas, kapan pun Mas siap menunggu..."
“Tetap tidak bisa Mas."
“Setidaknya beri mas kesempatan Halimah, meskipun hanya sekali, mas janji akan memperbaiki semuanya,” tuturnya memohon.
“Tetap tidak bisa mas, Halimah sudah tidak sebebas dulu,” ucap Halimah.
“Maksud kamu apa?”
“Halimah sudah menikah…”
Haikal lemas, hatinya hancur mendengar jawaban Halimah, namun ada setitik rasa tidak percaya didalam hatinya, ia yakin Halimah hanya berbohong agar ia bisa pergi darinya.
“Mas mohon Halimah, tolong jangan berbohong jawabanmu itu membuat mas hancur.”
“Halimah tidak pernah berbohong mas, semua yang Halimah katakan adalah kebenaran, bahkan perkataan Halimah dulu kepada Mas Haikal bukan ucapan dusta, tapi Mas Haikal tetap tidak percaya dengan Halimah, hari itu Halimah tidak butuh bukti mas, Halimah hanya butuh rasa percaya…”
Haikal menangis, ia menyesali semua perbuatannya dulu.
“Jika benar…katakan dengan siapa kamu menikah?”
“Dengan orang yang memberikan bantuan padaku malam itu?”
“Katakan siapa?” rutuk Haikal, cemburu mulai menguasai jiwanya, bagaimana bisa ia memiliki Halimah hanya karena bantuan yang ia berikan.
“Mas tidak perlu tahu,” tutur Halimah.
“Katakan Halimah!” rutuk Haikal dengan nada yang lebih tinggi.
“Mas tidak punya hak untuk tahu dengan siapa Halimah menikah…”
“Apa dengan penghuni rumah tua itu? apa kamu menikahi jin atau sebangsanya?”
“TUTUP MULUT LANCANGMU ITU MAS!” rutuk Halimah kesal, ia menarik emosi dari setiap kejadian yang menimpanya.
“Halimah, mas masih mencintaimu, jika itu benar terjadi padamu, mas akan berusaha membantu.”
“Rendah sekali dirimu Mas, bahkan gelar yang menempel didirimu tak mampu menahan keegoisan juga kesombonganmu.”
“Katakan Halimah dengan siapa kamu menikah? tidak ada satupun penghuni disana?”
“Rhandra Abyakta…” jawab Halimah menegaskan.
“Tidak mungkin…Ia sudah mati Halimah…tidak mungkin,” jawab Haikal tidak yakin dengan jawaban Halimah.
“Halimah bersyukur atas kejadian yang menimpa Halimah setidaknya Halimah bisa terhindar untuk menikahi mas Haikal…”
Halimah berpaling, ia mengakhiri percakapannya dengan Haikal dengan masuk kedalam rumah dan menguncinya.”
“Halimah…mas mohon…Laki-laki itu sudah Mati, percayalah Halimah” ucap Haikal seraya menggedor pintu rumahnya.
Halimah bersandar dibalik pintu, wajah Dasinun pucat pasi melihat putrinya, ia mendengar sedikit percakapan Halimah dengan Haikal. Tubuhnya bergetar, Air matanya mengalir, mendengar putrinya sudah menikah.
Sementara diluar Haikal terdiam, ia meratapi penyesalannya, ia bangkit dan pergi meninggalkan Halimah yang sudah jelas menolaknya.
Tak jauh dari sana, seorang wanita tengah berdiri di balik pepohonan, ia mendengar semua percakapan Halimah dengan Haikal, ia pun terkejut saat mendengar Halimah sudah menikah dengan penghuni rumah tua.
Wanita itu adalah Ayu, sahabatnya yang tak pernah puas akan jawaban Haikal, ia terus mengikutinya belakangan ini, ia tak terima rasa cinta yang begitu dalam yang dirasakan Haikal hanya untuk Halimah seorang.
Halimah termenung, ia masuk kedalam kamar. Ia tak menyesali atas apa yang dikatakannya pada Haikal, ia merasa lega ia berharap Haikal tidak datang untuk mencarinya, Ia duduk dibawah sinar rembulan, ia pandangi rembulan dengan penuh rindu pada seseorang.
“AKu merindukanmu Rhandra…” bisiknya.
Sementara jauh disana, laki-laki yang ia rindukan tengah memandang rembulan yang sama.
“Aku rindu Halimah…” ucapnya lembut.
Perasaan mereka seperti bertemu dibawah sinar rembulan yang temaram, laki-laki itu terus meraba Mushaf milik Halimah, ia rindu ocehannya, ia rindu nasihatnya, ia rindu gelak tawanya.
***
Dasinun masuk kekamarnya, dilihat putrinya sedang sibuk memandang rembulan, mulutnya basah karena berdzikir, ia memeluk jaket yang begitu tebal.
“Halimah Bue ingin bicara,” ucap Dasinun.
“Katakan saja Bue."
“Apa benar kamu sudah menikah?”
Halimah diam, ia tak bergeming. Ia biarkan pertanyaan Dasinun tergantung.
“Jawab Halimah,” rutuk Dasinun seraya menarik bahu putrinya agar melihat kearahnya.
Halimah mengangguk, air mata itu menetes, ia menahan sesak didadanya, sesak karena rindu akan suaminya.
Dasinun jatuh, ia jatuhkan tubuhnya di ranjang persis disebelahnya, wajahnya pucat, ia diam seribu bahasa.
“Apa kamu menikah demi kami, apa dia menolong kami agar ia bisa menikahimu?” tanya Dasinun memelas. “Jawab Halimah!” lanjutnya merutuk.
Halimah mengangguk.
“Haaah…Maafkan Buee mu ini Nak, Bue tak bisa melindungimu,” tutur Dasinun menyesal.
“Halimah tidak menyesal Bue, Awalnya seperti itu Bue, namun perlahan waktu demi waktu Halimah mulai mencintainya, didalam dirinya yang terlihat jahat, ada hati yang tulus, hati yang mulia. Bahkan sedetik pun Halimah tak ingin berpisah darinya, Halimah begitu mencintainya Bue… sangat…”
Dasinun menangis, ia memeluk putrinya yang terlihat payah.
“Katakan siapa dia?”
“Bue harus percaya dia laki-laki yang baik,” jawab Halimah meyakinkan.
Halimah diam, mendadak ia teringat dengan bayangan akan wajah Ayahnya tadi pagi. Buru-buru ia mengelap wajahnya dan bangkit dari pelukan ibunya.
Halimah memegang erat tangan ibunya.
“Bue…katakan pada Halimah apa dulu pekerjaan Ayah?”
“Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan Ayahmu?”
“Halimah ingin tahu Bue… Halimah mohon Bue berkenan untuk bercerita tentang Ayah…”
“Ayahmu hanya seorang petani Nak…”
“Sebelum itu?”
“Kamu rindu Ayahmu?”
“Bue, tolong jawab pertanyaan Halimah. Apa pekerjaanya sebelum jadi petani Bue…”
Dasinun menarik nafas “Supir Nak…”
“Apa ia supir keluarga Abyakta?”
“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanya Dasinun heran.
“Bue... Saya mohon ceritakan tentang pekerjaan Ayah dulu,” tanya Halimah serius, seketika lamunannya akan Rhandra Abyakta sedikit berkurang.
“Ayahmu adalah seorang pekerja keras Nak, ia sudah menjadi supir keluarga Abyakta sejak usianya 20 tahunan. Bue menikah dengannya saat usianya sudah kepala tiga, tidak ada yang aneh pada pekerjannya.”
“Lalu kenapa Ayah mendadak menjadi seorang petani?”
“Malam itu Ayahmu pulang sangat larut, ia menangis namun Bue tak tahu apa yang membuatnya menangis, ia terus menerus sujud bersimpuh, namun Bue tak tahu apa masalahnya, dan tak lama Ayahmu mengundurkan diri dari pekerjaannya.”
“Apa pernah Bue, menemukan gelagat aneh Ayah sebelum ia mengundurkan diri?”
“Halimah kamu kenapa mendadak seperti mengitrogasi Ibumu?”
“Halimah mohon jawab Bue…”
“Suatu hari Ayahmu datang membawa anak laki-laki berusia 3 tahunan bersamanya…Saat itu Bue marah karena curiga, awalnya Bue pikir itu anaknya…Namun Ayahmu bilang, ia diminta Nyonya untuk membawanya, dan esoknya peristiwa itu terjadi, Ayahmu pulang dengan perasaan bersalah yang amat dalam, namun Bue tidak tahu kenapa? Bue tanya dia tak menjawab. Bue pikir Ayahmu trauma dengan kejadian itu, untuk itu ia mengundurkan diri.”
“Peristiwa? peristiwa apa Bue…?”
“Peristiwa yang amat mencekam bagi warga desa, bahkan sempat mendapat perhatian pemerintah. Saat itu warga desa dengan sengaja dan sadar menghabisi 3 keluarga sekaligus, mereka diisolir dalam satu rumah, lalu mereka dihabisi secara mengenaskan, mereka dibakar hidup-hidup, warga dengan tega main hakim sendiri, mereka lupa ada Alloh yang menjadi saksi akan tindakan keji mereka…
Sampai Ayahmu datang dan Bue baru tau keluarga Abyakta pun tak luput dari penyerangan itu, istri tuan Abyakta dan anak laki-lakinya meninggal mengenaskan disana.”
Halimah tercengang “Anak laki-laki?” batinnya bertanya.
“Apa kesalahan mereka Bue? apa yang membuat warga desa hingga murka seperti itu?”
“Virus HIV nak…dulu virus itu menyebar begitu cepat, beberapa anggota keluarga mereka yang dihabiskan secara keji telah meninggal lebih awal, penyakit itu dengan cepat menular, ditambah lagi dengan pernyataan Dokter yang saat itu memeriksa warga desa, bahwa penyakit ini ditularkan akibat hubungan tubuh yang tidak sehat, ganti-ganti pasangan dan banyak lagi. Warga desa murka, saat itu mereka mengatakan bahwa ini penyakit kutukan, penyakit setan, dan tak satupun penderita yang boleh hidup di desa ini, termasuk Nyonya juga anaknya pun terkena imbasnya.”
“Nyonya…dan Anaknya…?” tanya Halimah, tubuhnya bergetar, batinnya bertanya siapa anak yang dimaksud.
“Iya, Nyonya Arkadewi dan anaknya…” pelan Halimah menggenggam tangan ibunya.
“Apa Bue tahu…Siapa nama anaknya…?”
“Bue lupa Nak…kenapa kamu tanyakan itu…?”
“Jawab Bue…apa namanya Rhandra Abyakta…?” tanya Halimah suaranya mengecil, berharap bukan nama itu yang disebutnya matanya mulai berkaca-kaca.
“InsyaAllah iya, semua warga desa tau nama itu…”
Halimah menarik nafas, ia shock tangisannya pecah seketika.
“Halimah ..kamu kenapa?” tanya Dasinun kebingungan melihat putrinya mendadak rapuh.
“Huaaa…” Halimah menangis meraung-raung, ia kehilangan kendali akan kesadarannya.
“Halimah!” ucap Dasinun seraya memegang pundak Halimah.
“Kamu kenapa Nak!”
Halimah tak menjawab, ia biarkan tangisan, jeritan hati itu keluar. Halimah tak sanggup lagi mendengar cerita Dasinun.
“Halimah jawab!” Dasinun ketakutan melihat putrinya, ia memeluknya dengan erat.
“Katakan Nak..apa yang terjadi padamu…” tangisan Dasinun pecah, putrinya rapuh tak sekuat dulu.
“Dia belum mati Bue…dia belum mati…Rhandra belum mati…Rhandra masih hidup Bue…” ucap halimah, bibirnya bergetar dan basah karena air mata yang tiada henti.
Dasinun tercengang “Apa maksudmu Nak?” tanyanya heran.
“Huaaa….” tangisanya semakin menjadi.
“Halimah sadarlah…”
“Siapa yang masih hidup?”
Dasinun membiarkan tangisan putrinya habis di dadanya, ia tak bisa berbicara banyak melihat kondisi Halimah yang mendadak rapuh.
Malam itu Dasinun terlelap dikamarnya. Halimah sudah dapat mengontrol emosinya, ia terjaga malam itu, matanya tak bisa ia pejamkan. Pikiran akan Rhandra suaminya terus menghantui hati juga pikirannya.
Halimah termenung diatas tempat tidur, ia lihat Buenya terlelap disebelahnya, tubuhnya ia hadapkan ke jendela, ia tatap langit, menatap pada rembulan yang selalu setia menemani Rhandra suaminya setiap malam. Ia peluk jaket suaminya yang ia bawa, ia putar-putar cincin kayu pemberian Rhandra yang melingkar di jari manisnya. Air matanya terus mengalir memikirkannya, ia berharap secepatnya Rhandra datang untuk menjemputnya dan menceritakan semua masalahnya padanya.
Sementara jauh disana, pun Rhandra sedang menatap pada rembulan yang sama. Rhandra sudah menata hati untuk bisa bersabar juga ikhlas melepaskan Halimah. Ia yakin, Halimah pasti sudah tau kebenaran tentangnya, tentang siapa dirinya dan masalah yang ia hadapi. Halimah berhak menentukan jalan hidupnya.
“Den...Semua sudah siap,” sapa Darmin.
Rhandra mengangguk.
“Den…?” tanya si Mbok, wanita itu masih yakin jika Halimah tak akan tega meninggalkannya sendiri, Sum tahu betapa berartinya Rhandra untuknya.
“Besok kita berangkat Mbok…”
Besok mereka akan meninggalkan Genilangit, menuju Gedong tua setelah itu Rhandra berencana akan pergi ke Jakarta untuk mengakui keberadaan dirinya pada keluarga yang dulu telah meninggalkannya, menyerahkan wasiat yang mahadi berikan padanya.
Rhandra adalah pemilik sah dari Abyakta Corporation, 70 % saham perusahaan itu adalah miliknya, dan 30 % sisanya milik Maharani saudaranya, karena hanya mereka berdualah anak sah dari Mahadi Abyakta , sisanya Puspa mendapatkan Hak kepemilikan rumah dan tanah yang berada di Jakarta, sedangkan Arkadewi mendapat hak atas rumah, villa dan kebun teh.
Setelah resmi, Rhandra dianggap meninggal semua harta mereka yang mengelola. Harsa Mahardika kakak tirinya yang menjalankan perusahannya, hanya aset Magetan yang tak pernah mereka sentuh.
Rhandra lelah, kebenciannya selama ini pada keluarganya telah menghancurkan dirinya, Nasihat Halimah bagai penyembuh bagi luka-lukanya.
Darmin pernah menunjukkan kekhawatiran yang besar tehadapnya, ia tahu betapa Puspa membenci Rhandra, bahkan alasan Rhandra dibunuh saat peristiwa 30 tahun lalu, masih menjadi misteri hingga saat ini.
Rhandra pasrah, Rhandra sudah tidak memiliki semangat dalam hidupnya. Dendam itu terkikis setelah kepergian Halimah. Kini ia hanya tinggal menunggu waktu detik demi detik masa kematiannya, ia bosan dengan penyakit yang telah lama bertengger di tubuhnya, setiap meminum obat tubuhnya bagai tak bertulang, seluruh tubuhnya berkeringat, mati segan hidup tak mau, itulah Rhandra dulu dan jiwa itu kembali dalam dirinya.
Satu per satu sebuah misteri mulai mencuat, Halimah yang tak tahu banyak tentang Gedong tua merasa terpanggil untuk menyelesaikan sejarah yang masih tergantung.
Halimah terjaga, ia tak lelah menunggu matahari datang, ia ingin kembali menemui Rhandra suaminya.
Malam semakin larut, Halimah bangkit ia mengambil wudu dan beranjak untuk tahajud, ia lapangkan sajadah, ia bermunajat diatasnya.
Setiap doa yang keluar dari mulutnya ia hiasi air mata yang mengalir ke mulutnya. Ia pasrah, berharap pertolongan untuk suaminya, kesehatan untuk suaminya, penjagaan untuk suaminya, perlindungan untuk suaminya dan hidayah untuk suaminya. Semua doa malam itu khusus ia munajatkan untuknya, Rhandra abyakta.
Dasinun sadar pelan ia membuka matanya, ia lihat putrinya sedang bermunajat pada Tuhan.
Seketika air mata membasahi pipinya, ia tak tahu apa yang sudah terjadi pada putrinya.
Dasinun mendekat ia sandarkan tubuhnya disebelah ranjang persis dibelakangnya, munajat itu tak henti-henti, Halimah belum juga menurunkan tangannya. Tak lama Dasinun memeluknya dari belakang, ia sandarkan tubuh putrinya ke dadanya, anak itu menangis pipinya basah, matanya membengkak, hidungnya memerah.
“Katakan laki-laki mana yang telah membuatmu seperti ini Halimah?”
Halimah diam, ia belum bisa menjawab pertanyaan Dasinun. “Bagaimana kamu bisa menikah ceritakan pada Bue."
“Dwi yang menikahkan kami Bue."
“Bue …sudah bisa menebak, Dwi tak pernah bicara, namun Bue tau kamu pasti berada ditangan yang tepat. Katakan siapa dia Nak?”
Halimah diam, ia ragu untuk mengatakan pada ibunya.
“Halimaah…”
“Rhandra Bue….Rhandra Abyakta,” ucap Halimah ragu.
Seketika tubuh Dasinun bergetar, ia membuka matanya lebar, dan menarik nafas panjang.
“Bagaimana bisa? bukankah dia sudah meninggal?”
“Belum Bue…dia nyata dia masih ada…”
“Tidak Nak, ayahmu sendiri yang mengatakan pada Bue, Bue tidak salah dengar, ia meninggal dipelukan Arkadewi ibunya…”
“Halimah sah menikah dengannya Bue…jika bukan karenanya, Halimah tidak bisa membayar rumah sakit, Halimah juga tidak bisa memberikan tempat yang layak untuk Bue dan adik, ini semua Rhandra yang memberikan Bue…dia laki-laki yang baik.Dia masih hidup Bue, semua berita tentang kematiannya itu tidak benar,” tutur Halimah yakin.
Dasinun diam. Ia perhatikan wajah Halimah yang penuh dengan harapan juga suka cita, hati anak itu betul-betul sedang merekah.
“Apa dia sehat…?” tanya Dasinun seraya mengusap pipinya.
Halimah diam, ia tak tahu bagaimana keadaan Rhandra sesungguhnya. Jika merunut pada cerita yang diceritakan Dasinun, besar kemungkinan Rhandra memiliki virus HIV ditubuhnya.
“InsyaAlloh Bue… dia sangat kuat, dia mampu menggendong Halimah, dia bisa berlari kencang seperti jaguar, dia juga bisa melakukan apapun layaknya orang Normal, Halimah sangat yakin ia sehat, namun meskipun Ia sakit, bukankah sudah kewajiban Halimah untuk terus menjaganya…?”
Dasinun menarik nafas. Ia memeluk erat putrinya, berharap putrinya mendapatkan kebahagiaan yang ia inginkan.
“Tidak ada orang tua mana pun yang ingin melihat anaknya celaka Nak…Jika pun Rhandra masih hidup sudah pasti ia menderita penyakit menular itu, Buee tidak siap Nak…”
“Bue… Hak atas Halimah saat ini hanya pada dia, tanpa dia
Halimah takkan bisa hidup Bue…Halimah hanya bisa hidup dengan Rhandra…”
“Penyakit itu pasti ada obatnya Bue.. Halimah yakin itu..., izinkan Halimah pergi Bue…Halimah hanya bisa hidup dengannya…Halimah mohon…” lanjut Halimah ia menangis sesegukkan di dada ibunya.
Dasinun pasrah, ia mengangguk, ia merestui hubungan mereka.
“Asalkan kamu bahagia Nak…” bisiknya, air matanya sudah membanjiri mulut Dasinun, ia tak dapat menghalangi cinta putrinya yang begitu besar pada anak laki-laki yang bahkan belum ia jumpai.
***
Pagi itu setelah sholat subuh, Halimah duduk sarapan bersama, seperti hari-hari suka yang mereka lakukan dahulu, sebelum ia mengenal Rhandra, sebelum ia difitnah. Sarapan bersama dengan kedua adiknya Sur dan Dwi juga Ibunya adalah hal yang paling ia rindukan.
Mereka tersenyum lebar, begitu rindunya mereka dengan kakak perempuan mereka satu-satunya, Sur yang selalu manja padanya, Dwi yang selalu berusaha menjadi pelindung baginya dan Ibunya merupakan sosok paling sempurna diantara ketiganya, Halimah belajar banyak hal darinya seperti ketegarannya, kesabarannya, rasa tauhid yang begitu dalam pada Tuhannya, rasa cinta yang begitu mendalam pada Ayahnya.
Tak lama Halimah menangis, di meja itu ia merasa ia tak akan berjumpa lagi dengan mereka, ia merasa ini adalah hari terakhir baginya untuk bersama.
Dwi dan Sur terenyuh, tangan-tangan kecil mereka memeluknya dengan erat.
Pagi itu alam menjadi saksi bagaimana indah juga tegarnya sebuah keluarga kecil yang selalu diramati oleh Alloh..
“Berikan ini untuk suamimu Nak…” Dasinun datang membawa sebuah bingkisan, entah apa isinya namun ia sangat terharu ibunya memahami perasaannya.
“Itu adalah hadiah pernikahan dari Bue, awalnya Bue buat untuk Nak Haikal…Ibu merajutnya siang malam, tapi ternyata jodohmu bukan dia, semoga muat untuk dia…”
Halimah memeluk Dasinun erat, “terimakasih Bue…terimakasih…”
“Kami akan mengunjungi kalian, kalian tidak usah datang kekampung ini, mereka orang-orang jahat Nak, mereka tak paham ilmu, seribu kali kamu mengatakan penyakit itu sudah ada obatnya, mereka tak akan paham, yang mereka pahami 20 orang telah tewas akibat penyakit menular itu,”
Jauh dari rumahnya Haikal sudah menunggunya sejak subuh, ia menunggu Halimah keluar dan melihat kesungguhan akannya. Haikal masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Halimah, ia ingin meyakinkan Halimah akan kematian Rhandra, ia menganggap apa yang terjadi pada Halimah adalah sebuah halusinasi semata.
Halimah keluar, ia duduk di teras ia menunggu janji Rhandra untuk menjemputnya. Sorot matanya begitu kosong, ia hancur setelah mendengar cerita Dasinun.
Rasanya ia ingin kembali menuju Villa Abyakta, ia ingin memeluk Rhandra yang selama ini menimpa masalahnya sendiri, ia ingin meminta beban di pundaknya.
Haikal turun dari mobilnya, ia langkahkan kakinya menuju Halimah yang sedang termenung meratapi kesedihannya.
“Halimah…”
Halimah diam tak bergeming.
“Aku akan mengantarmu menemui Rhandra…”
Halimah terperangah, Haikal berniat mempertemukannya dengan Rhandra.
“Apa kamu yakin?” tanya Halimah meyakinkan.
Haikal mengangguk.
“Tunggu sebentar…”
Halimah kedalam, ia mengambil jaket juga tas bersamanya.
Wajahnya berbinar mendengar Haikal akan mengantarnya. Ia keluar dengan semangat, setelah pamit dengan Dasinun. Haikal dan Halimah berangkat dari rumahnya menuju ke tempat Rhandra berada.
Halimah begitu senang, ia memakai bedak yang tak biasa ia kenakan, bibirnya yang mungil ia poles dengan warna merah muda, ia terlihat cantik persis seperti hari dimana Haikal melamarnya, wajahnya yang polos dan cantik masih terngiang hingga sekarang.
Mobil melaju pelan, Halimah menikmati setiap hembusan angin yang semilir masuk ke sela-sela hijabnya. Entah apa yang membuat Haikal berubah pikiran, namun yang jelas Haikal bisa melihat sorot kebahagian di matanya, wajahnya terlihat berbeda, ia sungguh mencintai laki-laki yang bahkan belum pernah ia jumpai.
Mobil melaju ke arah Utara, Halimah terperangah.
“Mas Haikal kenapa kita ke utara, bukankah Genilangit arah selatan?”
“Rhandra sudah kembali ke Gedong tua Halimah…”
“Betulkah, dari mana Mas Haikal tahu?”
“Nanti kita akan berjumpa disana, kamu istirahatlah dulu…”
Matahari mulai menunjukkan keperkasaannya, dari arah timur perlahan sinar mulai menyelimuti desa Poncol Magetan, Halimah tenang ia sudah tak sabar menemuinya, Mobil itu mulai masuk ke jalan Desa, pohon pinus berjejer seperti pasukan yang hendak menyambut keluarga kerajaan, suara gemiricik air terdengar begitu lembut. Kabut di depan perlahan mulai memudar, Mobil yang dikendarai Haikal berjalan dengan mulus. Halimah rindu, ia rindu kembali di desanya.
Wajah Gedong tua sudah terlihat dari arah Utara, bangunan yang tinggi itu terlihat dari segala arah, rumah yang terlihat angker awalnya, namun memiliki kenangan baginya.
Gerbang Gedong tua kini berada dihadapannya, Gerbang itu sudah lama tak terkunci. Haikal masuk dengan mudah, ia parkirkan mobilnya didalam. Halimah begitu bersemangat, ia turun lalu berlari kedalam.
“Rhandra… Mbok Sum!” panggil Halimah.
Ia mengelilingi setiap ruangan didalam, ia naik ke lantai dua, ia pun naik ke lantai tiga, tidak ada Rhandra maupun Sum dan Darmin disana.
“Rhandraaa!” teriak Halimah.
Dibelakang Haikal memperhatikannya, ia biarkan Halimah.
“Rhandra tak berada disitu Halimah.”
Halimah bingung, apa yang ingin Haikal lakukan, mengapa ia seakan-akan lebih tau darinya tentang Rhandra.
Haikal mengajak Halimah ke arah selatan gedong tua, tempat yang terlarang baginya, tempat yang tak boleh ia lihat.
“Kita mau kemana Mas Haikal?”
“Menemui Rhandra…”
Perasaan Halimah mulai tidak enak, ada yang menjanggal dengan laki-laki yang pernah menjadi calon suaminya itu.
Halimah penasaran, ia mengikuti perkataanya, tak jauh disana sebuah pemakaman sudah terlihat dekat, ada 15 hingga 20 lebih makam, dan ditengah-tengahnya ada dua makam yang terlihat berbeda dibanding makam yang lain.
“Mendekatlah Halimah…”
Halimah mendekat, jantungnya berdenyut cepat, ia menoleh ke arah makam “Rhandra Abyakta” seketika tubuhnya lemas, Halimah hancur, ia bersimpuh di makamnya.
“Bohong, ini bukan makamnya. Rhandra masih hidup, aku banyak memiliki saksi…”
“Berhentilah berhalusinasi Halimah, saat itu pikiranmu sedang tak menentu wajar jika mereka menganggumu,” ucap Haikal dengan yakinnya.
“Ia belum mati.. aku sangat yakin..aku yakin Rhandraku belum mati…” Halimah begitu yakin, namun melihat sebuah makam meruntuhkan kesadarannya.
“Buktikan padaku jika ia masih hidup!” tanya Haikal.
Halimah lemas “Suatu saat dia akan menjemputku Mas… kamu akan lihat itu, Rhandraku belum mati, ia masih hidup.. Rhandra masih hidup…” Tangisannya pecah.
Haikal terpaku melihat kesedihan dimatanya, ia diam menunggu Halimah sadar dengan halusinasinya.
Halimah bagai manusia tanpa arah, begitu melihat makam bertuliskan nama suaminya hatinya hancur, ia diam, tubuhnya bagai tak bertulang. Di makam itu ia bersimpuh, ia rebahkan tubuhnya di sebelah nama yang terukir di batu nisan.
Dimata Haikal ia tak lebih dari seorang yang paling menyedihkan di dunia, argumentnya tentang pernikahannya dengan Rhandra Abyakta sama sekali tak terbukti. Pelan di hati Haikal ia ingin menyadarkannya, ia ingin mengembalikan senyumnya, ia yakin suatu saat Halimah akan kembali bersamanya.
=====
Masih terlintas dipikiran Halimah makam bertuliskan nama suaminya. Rhandra tak pernah berbicara banyak tentang makam yang ada disana, jika ditanya Suaminya, Sum dan Darmin selalu menghindar.
kepalanya terasa ingin pecah memikirkan ratusan pertanyaan juga keraguan yang melintas dipikirannya.
Pagi itu Halimah tak ingin bangkit dari makam yang jelas bertuliskan nama Rhandra, berulang kali ia cubit tubuhnya, ia rasakan sakit yang ada dalam tubuhnya. Ia yakin apa yang ia lalui bersama Rhandra suaminya bukanlah halusinasi semata. Ada Dwi, penghulu yang mungkin ia bisa cari tau kebenarannya dan dua orang saksi yang saat itu menikahkan mereka. Halimah memang tidak melihat langsung bagaimana Rhandra bisa menikahinya. Namun pernyataan Dwi adiknya bisa dijadikan dasar.
Pagi itu langit seakan berduka, langit mendung, angin bertiup kencang menghembuskan dedaunan kering ke arah wanita yang sedang meratapi makam bertuliskan nama suaminya. Halimah terus berbaring di atas makam bertuliskan ‘Rhandra abyakta’.
Terlintas dipikirannya saat ia berjumpa dengan bayangan anak kecil di tempat ini. Malam itu Rhandra begitu marah karena ia hampir memasuki makam.
“Mungkinkah….” bisiknya dalam hati.
Haikal berusaha meyakinkannya akan halusinasinya yang tidak masuk akal.
“Halimah ayo, kita kembali. Sebentar lagi hujan.”
“Apa yang Mas Haikal lakukan sama sekali tak akan mengubah pendirian saya. Saya mohon Mas, menjauhlah dari saya, saya wanita yang sudah bersuami. Jauhi saya sebelum nilai-nilai agamamu menjadi rusak….”
“Mas mengerti perasaanmu Halimah, Mas tak akan menyerah sampai kamu menyadari kekeliruanmu.”
“Rhandra masih di Genilangit, Halimah yakin…Halimah akan kesana,” rutuknya kesal.
“Biar Mas antar,” ucap Haikal seraya mengejarnya.
“Tidak Usah!”
“Hentikan keras kepalamu Halimah! Dengan apa kamu mau pergi kesana? Mas akan antar kamu kesana,” rutuk Haikal, ia berjalan menuju mobil seraya membukakan pintu mobil untuknya.
Halimah menuju Genilangit. Haikal masih setia menemaninya, Laki-laki itu sangat yakin, bahwa Halimah mengalami halusinasi atau semacam gangguan Jin dan lainnya.
‘Malam itu Halimah sangat kacau, pikiran dan hatinya pun kosong, sangat wajar jika makhluk astral datang dan menganggu alam bawah sadarnya’ pikir Haikal.
Halimah diam, ia lemas tubuhnya ia sandarkan di kursi, tangan kirinya memegang pilipisnya. Wajahnya berbanding terbalik dengan sebelumnya. Kali ini ia begitu terlihat marah, bibirnya menyungging keatas, sorot matanya begitu tajam.
Gerimis membasahi Desa Genilangit, jalan menjadi basah karenanya. Pepohonan bergerak berayun-ayun mengikuti arah angin.
“Halimah bagaimana jika kita sarapan dulu?”
Ia bergeming, ia tak peduli dengan perkataannya. Halimah muak dengan ketidakpercayaan Haikal padanya, ini adalah kesekian kalinya laki-laki itu tidak mempercayainya.
Mereka hampir sampai menuju Villa Abyakta, Haikal dan Halimah melewati taman Genilangit, taman yang pernah Halimah datangi berdua saja dengan Rhandra, taman yang pertama kali menjadi tempat kencan mereka berdua.
Halimah memperhatikan tempat itu, lagi-lagi ia tak sanggup menahan rindunya, dadanya terasa sesak, ia ingin buru-buru berjumpa dengan suaminya.
100 meter didepan, mereka akan belok kekiri, Jalanan bebatuan juga menanjak akan mereka lalui. Mobil jeep milik Haikal dengan mudah mampu melewatinya. Sungai yang mengalir juga pemandangan pegunungan begitu indah terasa.
Jauh dari matanya Villa Abyakta sudah terlihat. Villa Abyakta berada paling tinggi diantara villa lainnya, jika sudah sore akses menuju Villa ini akan semakin sulit, kabut sudah menutupi jalan, hingga kadang warga menutup jalannya untuk alasan keamanan.
Jalanan ditutup, mereka tidak bisa melintas karena jalanan begitu licin, juga berpotensi longsor.
Sekitar 500 meter didepan Villa Abyakta sudah sampai, tak sabar Halimah turun dari Mobil.
“Halimaah!” teriak Haikal, ia keluar dari Mobil seraya membawa jaket untuk menuduhkan kepalanya dari air hujan.
“Halimah bersabarlah, berbahaya!” Haikal terus mengikutinya, ia teduhkan kepala Halimah dengan jaket diatas kepalanya.
Halimah berjalan kian cepat. Jalanan bebatuan itu, membuatnya sulit melangkah. Licin, menanjak juga tak rata. sesekali Halimah terpeleset karenanya.
Halimah tetap semangat, ia yakin Rhandra masih disana menunggunya.
Haikal berusaha mengejarnya, sekujur tubuh mereka sudah basah Karen air hujan, beruntung Halimah mengenakan Jaket milik Rhandra, lekukan tubuh yang biasa terbentuk dari pakaian basah tidak nampak. 50 meter didepan mereka sudah sampai persis dekat pintu gerbang Villa Abyakta. Haikal melihat wanita yang ia cintai itu berlari sangat cepat.
Villa Abyakta kini didepan mata, kabut hampir menutupi wajahnya, hamparan kebun teh terlihat hijau pekat, gerimis membersihkannya dari debu.
“Rhandra….” panggil Halimah pelan. Mulutnya penuh dengan air hujan.
Semua pintu dalam keadaan tertutup rapat. Tidak ada Mobil yang terparkir di pekarangan.
“Mbok Sum….” Panggil halimah sekali lagi.
Halimah lari melewati pintu belakang, pintunya pun dalam keadaan terkunci.
“RHANDRAA!” teriak Halimah memanggil nama suaminya.
“Buka … Aku kembali Rhandra. Aku mohon buka pintunya,” ucap Halimah ia masih kuat menahan air matanya, ia tak ingin Haikal melihatnya lemah.
“Halimah sadarlah….” ucap Haikal meyakinkan.
Halimah masih menempel di pintu memanggil-manggil Rhandra. Kedua tangannya berusaha membuka daun pintu.
“Halimah Istighfar….”
Ia menggengam dadanya, Halimah merasakan sesak yang teramat dalam.
“Rhandraa kamu janji mau jemput aku ... Rhandra bukaaaa!”
Haikal tak kuasa melihatnya, laki-laki itu pun menitikkan air mata. Ingin rasanya ia merangkul Halimah, membawanya juga memaksanya masuk ke dalam mobil.
Haikal diam, ia menunggu hingga Halimah lemas dan menyadari kekeliruannya.
“Rhandraa… Aku mohon… buka pintunya.”
Halimah sudah tak kuasa menahan kesedihannya, kemelut dipikirannya semakin rumit. Pendapat Haikal terasa seperti nyata, bahwa ia hanya berhalusinasi. Tak lama tangisannya pun pecah.
Rhandra meninggalkannya, ia tak membawa Halimah bersamanya. Halimah ragu Rhandra akan menepati janjinya.
Haikal diam, ia hanya memperhatikan Halimah, hingga Halimah menyadari kekeliruannya.
Halimah tak berdaya, ia tersungkur dilantai, wajahnya menatap ke lantai, air menetes dari semua sisi hijab juga matanya. Ia terpaku dan bergeming untuk waktu lama. Tak henti-hentinya ia mengucap nama Rhandra.
Haikal terenyuh, ia menunggu Halimah hingga puas dengan ketidakpastiannya. Tak lama langit cerah, gerimis berhenti membasahi Villa Abyakta.
Halimah bangkit, ia kembali ke arah pulang. Ia berjalan dengan membawa harapan kosong. Rhandra hidup atau mati menjadi beban dalam pikirannya kini.
Haikal terus setia mengikutinya dari belakang, ia berjalan tergopoh-gopoh, pandangannya kosong.
Halimah terjatuh, jalanan menurun itu sulit ia lampaui. Haikal berlari kearahnya, ia membantunya berjalan. Tak ada ekspresi di wajahnya. Halimah bangkit, pakaiannya penuh dengan lumpur.
Dari jauh mobilnya sudah terlihat, Haikal mempercepat jalannya. Ia bukakan pintu mobil untuknya.
Mobil Haikal perlahan meninggalkan Villa Abyakta. Haikal semakin mantab bahwa apa yang dipikirkan Halimah hanyalah sebuah halusinasi, perasaan Haikalnya pun tak berubah, dengan setia ia akan mendampingi Halimah sampai ia membuka kembali pintu hati untuknya.
Mereka pergi meninggalkan Desa genilangit, Halimah terus terpaku melihat ke arah luar jendela, entah apa yang ia pikirkan. Haikal terus memperhatikannya.
“Katakan padaku Halimah, seperti apa rupanya? Rhandra?” tanya Haikal, berusaha membangkitkan semangatnya.
Halimah bergeming, namun ia mendengar dengan baik petanyaan Haikal.
Pikirannya pun mulai mengingat setiap bagian tubuh juga wajah dalam diri Rhandra.
Berbeda dengan Haikal yang memiliki warna kulit putih, warna kulit Rhandra sedikit lebih gelap dibandingkan dengannya, Wajah Haikal lebih bersih dibandingkan Rhandra, Wajah Rhandra dipenuhi dengan janggut, rambutnya panjang tak beraturan, tak seperti Haikal yang memiliki potongan rambut yang rapih. Hidung Rhandra lebih mancung dibandingkan Haikal, matanya yang berwarna coklat membuat Rhandra semakin terlihat manis.
“Halimah,” panggil Haikal, Halimah masih diam termenung.
“Dia pasti akan datang Haikal, aku yakin, dia akan datang,” ucapnya tanpa ragu sedikitpun.
Keraguan Haikal akan Rhandra, sama sekali tak mempengaruhi isi hatinya, cincin kayu pemberiannya, jaket parker tebal miliknya masih bersama dengannya. Rhandra bukanlah hantu, ia juga bukan Jin, ia adalah manusia yang menutup dirinya dari dunia luar.
Sore hari, Halimah dan Haikal tiba dirumahnya. Ia kembali ke rumah tanpa membawa kabar apapun tentang Rhandra. Halimah tak menangis, ia terlihat tegar. Ia biarkan kesunyian juga kesedihan memenjarakan hatinya. Halimah tampak kepayahan, meskipun terlihat kuat di mata Haikal ia tetap rapuh.
“Halimah … Aku akan kembali nanti,” ucap Haikal.
Halimah membalikkan badan, ia melihat Haikal, pakaiannya basah, kondisinya tak jauh berbeda dengannya. Ada kesedihan juga kekhawatiran di matanya. Tidak seharusnya ia terlibat dalam masalahnya.
“Terimakasih mas,” ucap Halimah tulus.
***
Malamnya putri satu-satunya Dasinun itu menjalani hari seperti biasa, tiada air mata, tiada keluhan juga lamunan, tak ada senyuman juga tak ada motivasi dalam wajahnya. Halimah memilih diam, ia yakin Rhandra akan memenuhi janjinya. Ia yakin suaminya itu akan datang menjemputnya.
“Halimaah,” sapa Dasinun.
“Ya Bue.”
“Jika ada yang ingin kamu ceritakan, Bue siap mendengarnya Nak.”
“Tidak ada Bue.”
Halimah hancur, semua mata memandangnya aneh, tak Dasinun juga Haikal mereka menganggap apa yang terjadi pada hidupnya hanyalah sebuah mimpi juga halusinasi belaka.
Mendengar cerita dari Haikal saat mereka pulang, Dasinun pun merasa heran. Bagaimana mungkin ke dua anaknya bisa bersamaan berhalusinasi. Dwi adiknya begitu yakin, bahwa ia menikahkan kakaknya dengan seorang laki-laki yang ia sudah lihat. Dwi pun menjelaskan, bahwa ia dengan lancar membaca kalimat syahadat.
Dasinun bimbang, apapun yang terjadi terhadap Halimah, ia yakin putrinya tidak pandai berdusta. Ia yakin apa yang dikatakan semua adalah kebenaran yang nyata.
***
Hari berganti Hari, satu minggu sudah Rhandra tak muncul di pelupuk mata Halimah, setiap detik, menit, jam dan hari Halimah selalu menunggu untuk di jemput, yang Halimah kerjakan hanya mengurung diri dalam kamar, dan menangisi keadaannya. Rindu yang ia rasakan tak seindah yang dirasakan orang lain, bagi Halimah rindu yang ia rasakan amatlah menyiksa.
Halimah diam termenung dikamarnya, ia hanya menatap bulan seraya memeluk Jaket Parker berwarna coklat gelap, agar ia merasa Rhandra dekat dengannya. Ia yakin Rhandra tak akan meninggalkannya sendiri, ia yakin Rhandra pun mencintainya seperti ia yang sangat mencintainya.
Dasinun mengintip Halimah dari sisi pintu yang terbuka, Ia pun tak yakin jika putrinya menjadi korban gangguan makhluk astral, Halimah adalah seorang wanita yang kuat dan taat beragama, nasib seperti itu harusnya tak ia alami. Pelan wanita tua itu menitikkan air mata, ia tak tega melihat putrinya dilanda kecemasan yang amat dalam.
Dasinun menuju ruang tengah, dilihatnya rak buku yang berada persis disebelah meja makan. Saat kejadian kebakaran tempo lalu, rak buku ini turut selamat.
Sudah lama ia tak mendengar putrinya melantunkan ayat-ayat Alloh. Dasinun bangkit, ia lihat Mushaf milik suaminya masih ada disana, Mushaf itu sudah berdebu, tiap halamannya pun sudah kaku dan berwarna kuning tua, Mushaf Ayahnya adalah Mushaf terlama yang mereka punya.
“Halimah,” sapa Dasinun seraya membuka pintunya.
Halimah diam, ia masih termenung dalam duduknya, jari-jari tangannya memegang cincin yang tersemat di jarinya yang lain.
“Nak….” Dasinun memegang pundaknya, ia menahan tangis saat melihat wajah putrinya. Ia ingin terlihat kuat agar putrinya kuat.
Halimah masih diam dalam keheningan hatinya.
“Bue, sudah lama tak mendengarmu tadarus nak.”
Halimah terperangah ia teringat dengan mushaf miliknya, Mushaf itu belahan jiwa Halimah, Mushaf itu adalah wujud cintanya pada Tuhan, Halimah senngaja menitipkannya pada Rhandra agar terbuka pintu hatinya.
“Mushaf Halimah, Halimah sudah titipkan Rhandra Bue,” jawab Halimah datar.
Dasinun duduk disebelahnya, ia memeluk Halimah erat.
“Bue percaya nak, Bue percaya denganmu, Halimah Bue tak akan mungkin berdusta….”
Halimah tetap diam, air matanya sudah kering. Ia sudah pasrah akan hidupnya, baginya mati adalah hal yang paling indah dibandingkan harus berpisah dan kehilangan Rhandra.
“Ini…Punya Ayahmu….Bacalah Nak,” ucap Dasinun, matanya sudah tak sanggup menahan air mata, pelan ia teteskan air matanya dan terjatuh diatas Mushaf Ayahnya.
Halimah menatap Mushaf Ayahnya yang sudah using, ia meraba dengan kedua jarinya. Ingin rasanya ia membaca kembali surat Kahfi, agar Alloh senantiasa menolongnya.
“Ya Alloh aku adalah hambamu yang senantiasa membaca mushafmu dikala longgar, aku adalah hambamu yang senantiasa menjaga sholatku, aku adalah hambamu yang senantiasa mengingatmu dikala sulit, bantulah aku ya Alloh … Menerima kenyataan Rhandra telah meninggal sungguh sulit bagiku,” bisik Halimah berdoa dalam hatinya. Doa yang hampir serupa dengan mereka ashabul kahfi.
Mereka Ashabul kahfi, berdoa seraya menyebutkan amalan-amalan andalan mereka di dunia, mereka meminta belas kasih Alloh, dan tak lam pertolongan itu pun datang.
Air mata menetes di pipinya, saat ia membacakan doa di hatinya dengan begitu tulus dan penuh harap.
“Ayahmu itu adalah harta yang paling berharga buat Bue … Bue sangat mencintai Ayahmu Nak. Butuh waktu lama baginya untuk bisa meluluhkan hati Bue, setelah delapan tahun lamanya, akhirnya Bue luluh dan mau menikah dengannya. Menikah dengannya adalah yang paling terindah dalam hidup Bue, susah, senang, lapar , bahagia, pernah kita lalui bersama,” tutur Dasinun, berusaha menghibur Halimah dengan ceritanya.
Halimah terperangah, cerita dasinun mampu membuatnya sadar dari lamunannya.
“Apa yang Bue lakukan saat Ayah meninggal,” tanya Halimah, ia mulai terbawa dengan cerita Dasinun.
“Kesedihan tak bisa dipungkiri, namun Bue yakin suatu saat bue bisa bersama dengan Ayahmu di surga Nduk, bersama kalian, yang perlu Bue lakukan sekarang hanya bisa menjalankan hidup yang lebih baik, agar bisa bersamanya,”
Halimah tersenyum tipis mendngar cerita Dasinun, harapan seperti terbuka baginya, bahwa tak selamanya ia akan berpisah dengan Rhandra. Suatu saat entah esok, lusa, 10 tahun kedepan atau mungkin hari ini ia bisa berjumpa dengan Rhandra.
Bukan disini, bukan dibumi melainkan di surganya. Sedikitnya cerita Dasinun telah membuat mata hati Halimah terbuka, ia lebih yakin untuk menjalani hidup, ia tak sendiri ada Rhandra yang senantiasa singgah dihatinya.
Halimah bangkit, ia maju mendekat ke arah jendela. Ia menatap ke arah bulan. Semoga malam ini Rhandra bisa merasakan sinyal rindu yang teramat besar darinya.
“Rhandra…Aku tak akan menangis, aku akan lebih kuat, aku akan terus menunggumu Rhandra,” ucap Halimah lembut.
Halimah erat memegang dadanya, nafasnya begitu sesak. Namun ia berjanji ini adalah terakhir ia menangisi laki-laki yang selalu bertengger di hatinya.
Dasinun mendekat, ia cium ubun-ubun putrinya dan memeluknya. “Semoga Alloh menguatkanmu Nak, menguatkan hati juga langkahmu….”
***
Fajar menyingsing. Halimah bangkit dan menjalani hari-harinya sebagai putri Dasinun, sejenak ia lupakan posisinya sebagai istri Rhandra Abyakta.
Pukul tiga pagi anak perempuan Dasinun sudah bangun ia tahajud, bermunajat mendoakan kebaikan bagi dirinya juga keluarganya, dan satu doa khusus hanya untuk suaminya Rhandra, ia lanjutkan membersihkan dan menyiapkan sarapan.
Halimah membangunkan ke dua adiknya, juga Dasinun. Tak ada yang aneh, Halimah ingin kembali menjadi seorang perempuan yang kuat dan tangguh, cintanya pada Rhandra hanya membuatnya lemah.
“Assalamualaikum….” suara Haikal terdengar.
“Waalaikumsalam….” jawab mereka.
Setiap malam sejak kembalinya dirumah, Haikal rutin menemuinya. Laki-laki itu masih percaya bahwa Halimah adalah wanita tak bersuami, apa yang terjadi menimpanya adalah merupakan sebuah kesalahan yang harusnya tak terjadi. Haikal masih meyakini bahwa Halimah berhalusinasi.
Setiap pagi dan malam Haikal datang, ia menjumpainya meskipun Halimah enggan bertemu dengannya. Semangat Haikal tak goyah, ia ingin merubah lengkung bingkai diwajahnya, ia ingin melihat Halimah kembali seperti dulu.
“Sarapan mas….” ajak Halimah. Hati Haikal bergetar, ini adalah kali pertamanya Halimah mengajaknya berbicara setelah tiga malam ia mendatangi rumahnya.
Haikal mengangguk, Dwi memberikan posisi tempat duduknya untuk Haikal.
Halimah bicara namun tatapannya tidak untuknya, sorot matanya hambar, kosong.
“Halimah, kamu tidak makan?” tanya Haikal saat melihatnya meninggalkan meja makan.
“Sudah Mas,” jawabnya datar.
Halimah masuk kedalam kamar, ia bergerak menuju jendela kamarnya. Dilihatnya anak-anak berseragam sedang berlarian didepan rumahnya, mereka terlihat berbahagia menyambut hari pertama sekolah. Terlintas dipikiran Halimah, ia ingin kembali mengajar. Hanya anak-anak yang mampu membuatnya kuat dan melupakan Rhandra.
Halimah keluar dari kamarnya, ia mengenakan setelan pakaian baju kurung selutut berwarna biru tua, rok berwarna sepadan dan hijab berwarna putih. Ia keluar, dilihatnya Haikal sedang berbincang dengan Dasinun di ruang depan.
Halimah menemui mereka.
“Mas Haikal apa saya masih bisa mengajar?”
Haikal terperangah, Halimah terlihat elok mengenakan seragam tempat ia mengajar dulu.
“T…tentu Halimah…sangat bisa, anak-anak sangat merindukanmu.”
“Kapan Halimah bisa mulai?”
“Terserah Halimah,” jawab Haikal penuh semangat.
“Apa bisa kita mulai hari ini?” tanyanya datar.
“Bisa Halimah, kita bisa berangkat sekarang….” jawab Haikal bersemangat.
Halimah masuk kedalam ia mengambil tasnya, dan beberapa keperluan mengajarnya. Ia keluar dengan penuh harap ia bisa menghilangkan rasa rindu yang menggila pada Rhandra.
“Ayo mas….”
“Saya pamit bu,” ucap Haikal seraya mencium tangan Dasinun.
Halimah mencium Dasinun dan pergi bersama Haikal.
Sinar baru menyelimuti rasa suka Haikal, ia mulai melihat perubahan pada diri Halimah, ia melihat semangat baru didirinya. Semangat yang ia ingin gapai.
Entah kemana Alloh membawa perjalanan cintanya pada Halimah.
Haikal teringat saat ia pertama kali bertemu dengannya.
Saat itu Halimah hanya sibuk menyiapkan materi untuk anak-anaknya belajar, ia sama sekali tak terpukau dengan kedatangan seorang pemlik yayasan. Disaat mereka mendekati Haikal dengan penuh harap, Halimah justru berpaling dan mengutamakan murid-muridnya terlebih dulu.
Esoknya, Haikal datang kembali ke surau. Dari jauh ia lihat Halimah tengah sibuk bermain bola dengan anak-anak, Haikal suka semangatnya, pelan ia mendekati wanita yang mulai mencuri perhatiannya ini.
“Assalamualaikum …,” sapa Haikal pada Halimah.
“Waalaikumsalam …,” jawab Halimah lembut, suaranya begitu merdu, kulitnya begitu putih bibirnya mungil, matanya bulat berwarna hitam pekat.
“Lagi sibuk?” tanya Haikal, seraya membungkukkan badannya, bibirnya menyungging keatas dan kedua tangannya ia lipat kebelakang.
“Tidak pak,” jawab Halimah pelan dan penuh takdzim.
“Kemarin saya tidak melihat …,?” tanya Haikal seraya menaikkan dahinya.
“Halimah pak, nama saya Halimah … Mohon maaf sebelumnya pak, saya hanya guru extra disini hanya mengajarkan anak-anak mengaji, saya bukan guru kelas yayasan, Mohon maaf saya tidak ikut karena memang tidak ada undangan untuk saya,” tutur Halimah.
“Oo….”
Saat itu Halimah terus berpaling dari tatapan matanya yang penuh rasa ingin tahu, ia berharap Halimah bisa menyambut pandangannya.
“Awas pak …,” teriak Halimah seraya berlari mendekatinya.
Haikal terperangah, Halimah baru saja menangkap bola yang hampir saja mengenai wajahnya.
Kedua mata itu bersambut, Halimah dengan senyum dan perasaan bersalah memegang bola dihadapannya, jaraknya sangat dekat.
Bibir yang gugup itu perlahan berubah menjadi tawa, Halimah tertawa saat Haikal menyambutnya dengan senyuman.
Sejak itu hubungan mereka menjadi cair, Haikal sering menemuinya di Surau tempatnya mengajar, ia mengamati Halimah dari ruangan kerjanya.
Kadang ia suka memberikan Halimah perhatian-perhatian kecil, seperti membelikan sarapan tanpa sepengetahuannya, menambahkan bonus bulanan, juga meletakkan bunga di tasnya secara diam-diam.
Ia juga yang memberikan sebuah telepon genggam agar Halimah bisa berkomunikasi jarak jauh dengannya.
Halimah adalah wanita sederhana yang waktunya habis untuk keluarganya, syukurnya Dwi dan Sur mendapatkan beasiswa di sekolahnya, jadi ia tak perlu bekerja lebih keras untuk itu.
Menjadi seorang guru adalah cita-citanya sejak lama, meskipun hanya guru extra dan mengajar anak-anak cara mengaji yang benar, Halimah sangat mensyukurinya.
“Mas sudah sampai….” suara Halimah menyadarkan lamunannya.
Haikal tiba di yayasan beserta Halimah, Halimah turun dari mobil dan seketika anak-anak berhamburan berlari kearahnya.
Keceriaan itu kembali di wajahnya, Halimah menghampiri anak-anak ia bungkukkan tubuhnya agar bisa sejajar dengan mereka. Mereka berebut memeluk tubuh Halimah.
Halimah telah kembali, senyum itu kembali di wajahnya. Haikal terenyuh dan terharu.
***
Pagi itu Halimah menjadi sorotan, kedatangannya bersama Haikal menjadi perbincangan para guru juga pengurus yayasan. Haikal yang sejak kemarin mengawal Halimah, kini telah berhasil membuatnya tersenyum.
“Suatu saat kamu akan tersenyum untukku Halimah,” bisik Haikal dalam hatinya.
Ia tinggalkan Halimah, ia menuju ke kantornya di yayasan. Suka cita memenuhi wajahnya, laki-laki itu begitu semangat menjalani hari.
“Halimah selamat ya …,” tutur beberapa teman sekerjanya.
Halimah hanya diam, ia tak menanggapi mereka yang datang memberikan selamat kepadanya. Mungkin mereka berfikir, bahwa Halimah dan Haikal sudah melangsungkan pernikahan, atau mungkin pertunangan.
Siang menjemput, Haikal datang membawakan makan siang untuknya.
“Halimaah …,” sapanya pada Halimah yang tengah bersiap untuk pulang.
“Makan siang dulu.”
“Terimakasih Mas, Halimah tidak lapar …,” jawabnya datar seraya berjalan melewatinya tanpa berpaling.
“Halimah tunggu!” ucap Haikal suaranya sedikit agak tebal.
“Kamu belum makan sejak tadi, mas tau itu … kamu tidak boleh menyiksa diri seperti ini…,” tuturnya khawatir.
“Berhentilah memberi perhatian pada Halimah mas. Mereka semua bertanya ada hubungan apa Mas dengan saya. Sampai saat ini saya masih bersuami, dan selamanya akan seperti itu. Mengertilah mas, nama mas Haikal sudah tidak ada di hati saya,” tutur Halimah, Halimah pergi meninggalkan Haikal dengan luka di hatinya.
Perkataan Halimah sungguh membuat Haikal hancur, hatinya bagai terhunus pedang, Haikal diam seribu bahasa, perhatiannya selama ini belum juga mengembalikan perasaanya yang lama untuknya.
Halimah kembali, ia berjalan kaki menuju bengkel sepeda langganannya, dilihatnya sebuah sepeda yang akan dijual.
“Assalamualaikum, Pakdhe,” sapa Halimah lembut.
“Waalaikum salam bu guru, apa kabar bu guru … sudah lama tidak kelihatan, kemana saja.”
“Banyak yang harus saya urus Pakdhe, oh ya pakdhe berapa harga untuk sepeda ini?”
“500ribu bu guru.”
“Apa bisa saya membayarnya akhir bulan Pakdhe atau mencicil,” tuturnya memohon.
“Khusus bu guru boleh….Monggo digowo.”
“Saya bayar 100 ribu dulu ya Pakdhe, sisanya menyusul, matur suwun nggih,”
Halimah bernafas lega, kini ia bisa menyusuri pedesaan seperti dulu. Ia naik ke sepedanya baru, ia kayuh dengan penuh semangat. Ia dihadapi dua arah jalan didepan, kanan Gedong tua dan kiri rumah barunya.
Halimah diam, tak lama alam bawah sadarnya membawa ia ke Gedong tua, ia kayuh dengan penuh semangat seraya menikmati hembusan angin yang begitu sejuk meski matahari sangat terik.
Dihadapannya, kini gerbang Gedong tua. Gerbang tidak terkunci rapat, jika Rhandra ada didalam Ia pasti sudah mengunci rapat semuanya, Halimah masuk.
Ia parkirkan sepedanya di bawah pohon beringin yang berada didepan persis pintu utama Gedong tua, seperti biasa ia bersihkan halaman dari bebatuan yang bisa membuat orang terluka karenanya.
Pelan Halimah beranikan diri masuk kedalam, pintu-pintu disana sudah terbuka , beberapanya sudah hancur dimakan rayap ataupun tikus. Beberapa pajangan rumah yang sebelumnya ia lihat pun sudah hilang ada pula yang hancur, foto-foto di ruangan tengah tak beraturan.
Halimah mendekat ia rapihkan susunan foto itu dengan rasa rindu yang begitu membara, Ia mulai berjalan ke arah lorong yang menghubungkannya ke dapur tempat Mbok Sum atau lantai tiga kamar Rhandra.
Tak ada kehidupan didalamnya, Halimah diam dipersimpangan, ia lemah, ia duduk jongkok diantara ke dua arah itu, kedua tangannya melipat lututnya yang menempel didada yang terasa sesak.
Halimah rapuh, ia tak kuasa menepati janji pada dirinya sendiri, ia kembali menangis.
Ia menarik nafas, merasakan kesedihan yang teramat dalam, ia rindu, ia rindu Rhandra Abyakta.
“Aku rindu kamu Rhandraaa……” air mata itu meleleh, Halimah payah, jiwanya tak menentu.
Hembusan angin itu pun datang menyambutnya, ia menyejukkan sendi-sendi tubuhnya, Halimah berdiri ia edarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, hembusan angin itu berputar seperti melindungi tubuhnya.
“Keluarlah … muncullah … bukankah kamu sangat suka mengangguku. Keluarlah dan buat Rhandra datang padaku,” ucapnya memohon.
“AKU MOHON KELUARLAH!” teriak Halimah seketika hembusan itu menjauh darinya.
“Huaaaah,” Halimah tak sanggup menahan kesedihannya dadanya penuh sesak, ia tak sanggup menahan sakitnya rindu yang teramat dalam.
Ia tutup wajahnya dengan kedua tangannya, Halimah hempaskan tubuhnya keluar dan berlari meninggalkan Gedong tua.
Halimah mengambil sepedanya, pelan ia kayuh sepedanya, jauh dihadapannya terlihat desa tempat tinggalnya dulu. Beberapa orang melintas dihadapan Halimah, mereka mencibir Halimah, wajah-wajah mereka penuh dengan rasa curiga, cibiran mereka yang mengatakannya sakit jiwa, ada juga yang mengatakan dia menikah dengan setan agar kaya, ada juga yang mengatakan ia menjadi tumbal demi keluarga.
Halimah bergeming, ia tak mempedulikan apa yang mereka katakan tentangnya. Ia masih yakin suatu hari Rhandra akan datang kembali bersamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel