Halimah membuka mata, gemiricik air terdengar lembut di telinganya. Ia lihat jam di kamarnya, sudah pukul 4 lewat 30 menit pagi. Hari ini ia bangun lebih siang dari biasanya. Dwi, Sur dan Dasinun tengah bersiap untuk sholat subuh berjamaah. Buru-buru Halimah mengambil wudu dan bergabung dengan mereka.
Dwi mengucap salam, dan semua beriringan mengikuti. Selepas doa, kedua adiknya mendekat juga Dasinun mencium kening Halimah.
“Semoga dengan berkurangnya usiamu, kamu semakin dewasa ya Nduk.”
‘Hah’ Halima terperangah, hari ini adalah hari kelahirannya, genap 24 tahun usianya.
“Semoga Mba Halimah diberikan kebahagiaan ya mba,” ucap kedua adiknya seraya mencium tangannya.
Hari semakin siang, seorang wanita tengah berdiri di pekarangan rumah Halimah menunggunya keluar.
Wanita itu mengenakan setelan seragam pegawai balai desa, hijab coklat yang ia lingkarkan di sekitar lehernya juga kacamata hitam. Wanita itu berdiri bersandar di balik mobil sedan miliknya berwarna merah.
“Selamat ulang tahun Halimah,” sapanya saat melihat Halimah keluar dari pekarangan rumah.
“Ayu,” ada dendam di hati Halimah, kesalahan Ayu padanya tak bisa ia lupakan. Halimah melangkah maju ke arahnya, kemarahan di matanya terlihat jelas.
Ayu membuka kaca matanya. “Rumah ini ternyata lebih nyaman ya, dibandingkan yang lama.”
Halimah melangkah ke hadapannya.
“PLAK!” Halimah baru saja menamparnya.
“Ini hanya sebuah tamparan,Yu. Belum hukuman dari Alloh!” rutuk Halimah, di hadapan wajahnya.
Ayu diam, ia tak membalas tamparan Halimah. Ayu menerima tamparan keras darinya.
“Kesalahanku hanya mencintai Haikal, Halimah. Aku tak punya kemampuan untuk mendatangkan warga kerumahmu, dan membakar rumahmu.”
Halimah bergeming, ia berbalik dan melangkah menuju sepedanya.
“Berhentilah Halimah,” Halimah menghentikan langkahnya.
“Mana yang lebih jahat, seorang sahabat yang sudah tau sahabatnya mencintai seseorang lalu merebutnya atau …”
“Aku tidak pernah tau perasaanmu pada Haikal, Ayu!”
“Bodoh, apa aku perlu memberitahumu. Sebagai sahabat harusnya kamu paham bagaimana perasaanku padanya!”
“Lalu menurutmu, apa yang kamu lakukan ini sudah benar?”
“Sangat benar!” rutuk Ayu membenarkan semua perbuatannya.
“Aku tidak lagi mengharapkan Haikal, saat ini aku sudah menikah. Pergilah bersamanya jika kamu mau!”Halimah berbalik menjauhinya.
“Berhentilah menjadi manusia yang selalu ingin dikasihani,” Ayu tau benar cara menyakiti Halimah. Halimah diam, ia menarik nafas panjang.
‘Semoga Alloh memberikan aku kekuatan.’ Halimah kembali melangkahkan kakinya.
“Kemarin karena miskin, dan sekarang karena halusinasi, menikah dengan orang mati? he ... Segitu besarnya kah usahamu untuk mendapatkan Mas Haikal?”
Halimah diam. Ingin rasanya ia mejambak rambut juga menamparnya lagi. Sabar, hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia lanjutkan langkahnya dan membiarkan Ayu akan prasangkanya.
Jauh di belakang ia meninggalkan Ayu. Ia berjalan melintasi perbukitan, jalan raya hingga sampai ke surau tempat ia mengajar.
Sepanjang perjalanan warga desa sibuk membicarakan tentangnya, cibiran bahkan hinaan pun melintas di telinganya.
Halimah bergeming, ia tak peduli dengan apa yang mereka katakan. Isu bahwa Halimah telah dinikahi hantu mendiang Abyakta pun semakin kental.
Entah dari mana asal isu itu berasal, namun itu tak penting baginya.
Sesampai di Surau, Haikal menyambutnya di gerbang. Haikal masih terus berusaha merebut kembali hatinya.
Ia lemparkan senyum ke Halimah, lesung pipitnya membuat Haikal terlihat lebih manis.
“Assalamualaikum Halimah.”
“Waalaikumsalam ….”
“Semoga Alloh senantiasa melimpahkan kesehatan juga kebahagiaan di sisa umurmu.”
Langkah Halimah terhenti, Haikal cukup membuat hatinya lelah, untuk kesekian kalinya ia terus memberikan perhatian.
Laki-laki itu sangat tahu hari ini, hari kelahirannya.
“Terimakasih Mas,” jawab Halimah, senyum itu akhirnya keluar dari wajahnya.
“Ini…,” Haikal menyodorkan sebuah hadiah padanya.
“Apa ini?”
“Buka saja, tolong jangan ditolak. Jika kau memang tidak mau menerima apapun hadiah dariku, anggap saja ini hadiah terakhir dari Mas.”
Sorotan matanya begitu tulus, laki-laki ini tahu betul bagaimana cara membahagiakan perempuan.
“Terima kasih,” Halimah menerimanya, ia masukkan hadiahnya ke dalam tas.
Halimah melangkah dengan tekad di hatinya, bahwa Rhandra akan datang menjemputnya. Halimah berbalik, laki-laki itu diam.
Halimah mendekat.
“Terima kasih untuk segalanya Mas Haikal, percayalah bahwa Halimah sudah bahagia, maafkan aku mas,” ucap Halimah yang tidak ingin memberi harapan padanya, wanita itu tersenyum begitu manisnya. Ia tak lagi mengerutkan dahinya.
‘Kamu tersenyum Halimah, besok mata itu hanya tertuju padaku.’ tutur Haikal dalam hati.
Halimah menjauh, ia berlari menuju kerumunan anak-anak yang tengah menunggunya.
Haikal menarik nafas panjang akan penolakan Halimah yang kesekian kalinya, jodoh hanya kehendak Alloh, jika ia tahu fitnah keji itu akan menimpa Halimah ia tak akan pergi ke Jakarta, hanya sekedar untuk meminta restu ibunya.
Halimah memiliki 30 orang siswa, ia ditemani dua orang guru pendamping. Semua murid-muridnya memiliki usia yang beragam, mulai dari usia 5 tahun hingga 7 tahun.
Hari semakin siang, mengajar adalah cara Halimah untuk bisa melupakan rindunya pada Rhandra.
“Bu guru … ini,” seorang murid perempuan bertubuh tambun baru saja mengantarkan bingkisan bunga mawar untuknya, mawar merah segar yang dicampur dengan hiasan dedaunan di pinggirannya.
“Ini untuk Bu guru?” tanya Halimah lembut seraya mencubit pipinya yang tembam.
“Dari siapa sayang?”
Anak itu menunjuk kearah luar. Halimah bangkit, ia edarkan pandangan ke setiap sudut yayasan. Dari jauh Haikal melemparkan senyum padanya.
Halimah diam, ia benar-benar merasa terusik dengan perhatian darinya. Kali ini ia biarkan, ia biarkan bunga itu menghiasi kelasnya.
Halimah baru saja menyelesaikan aktivitasnya, dengan semangat ia kembali pulang. Hari ini adalah hari kelahirannya, 11 Desember. Dasinun berjanji akan membuatkan bubur candil kesukaannya. Dasinun juga memberikannya uang dari sisa-sisa pemberian Rhandra untuk melunasi hutang sepedanya.
Halimah lebih percaya diri, Ia mengayuh sepedanya menuju Bengkel sepeda langganannya, Pria tua yang biasa ia panggil Pakdhe itu tengah sibuk, menambal ban salah satu penumpangnya.
“Pakdhe.”
“Nggih Bu guru.”
“Dalem badhe bayar utang engkang kolo wingi, Pakdhe,”[saya mau membayar hutang yang kemarin, Pakdhe].
“Sampun dipun bayar kaleh, bu guru,”[sudah dibayar, bu guru].
“Sinten engkang sampun bayar?” [siapa yang bayar?].
“Dalem mboten tepang bu, Piyantun kakung taksih nem,” [Saya tidak tahu bu, laki-laki masih muda].
‘Haikal’ bisiknya menerka dalam hati.
“Matur nuwun, Pakdhe.”
“Nggih sami-sami.”
Lagi-lagi Haikal melakukan hal yang tak seharusnya ia lakukan. Halimah sangat memahami bagaimana lak-laki itu mencintainya, namun perhatiannya selama ini justru menganggu dirinya.
Halimah harus yakin, bahwa Rhandra masih hidup. Bahwa Rhandra suaminya belum melepaskannya. Sudah menjadi tugas baginya untuk menjaga kehormatan juga kesetiaannya.
Halimah kembali ke yayasan, dilihatnya Haikal tengah sibuk memimpin rapat. Halimah menunggunya, dari dalam Haikal melihatnya. Laki-laki itu keluar dengan penuh suka cita.
“Mas, maaf jika saya menganggu. Menurut saya mas Haikal sudah berlebihan.”
“Berlebihan apa Halimah,” tanyanya heran.
“Bunga … melunasi hutang saya ….”
Haikal diam tak mengerti, wanita itu terus nerocos mengeluarkan semua unek-uneknya.
“Ini mas.”
“Apa ini Halimah?” uang sebesar 400 ribu yang Halimah masukkan ke dalam amplop.
“Halimah tidak butuh bantuan Mas, Halimah mohon tolong terima.”
“Tapi saya masih tidak mengerti Halimah.”
“Mas Haikal yang membayarkan hutang saya bukan?”
“Hutang mu dengan siapa, bunga apa?”
“Mas Haikal tidak mengirimkan bunga?”
“Tidak.”
“Hutang?”
“Hutang yang mana?”
Halimah terperangah, wajahnya tak menampakkan kebohongan. Haikal memang tak tau menau soal hutangnya dengan pemilik bengkel sepeda.
“Rhandra,” bisiknya dalam hati.
Halimah berbalik, ia berlari menuju bengkel. Harapan ada di hadapannya.
“HALIMAH!” teriak Haikal kebingungan.
Wanita itu berlari bagai angin, ke dua pucuk hijabnya terbang kearah belakang. Semangatnya begitu menggebu-gebu. Ia mengambil sepedanya, ia kayuh dengan semangat.
“Pakdhe!” teriaknya, nafasnya tersengal-sengal.
“Pakdhe, bisa dijelaskan seperti apa orang yang membayarkan hutang saya?”
“Inggil bu, rekmonipun dipun taleni, ngagem koco tingal cemeng,” [tinggi bu, rambutnya diikat, pakai kacamata hitam].
“Alhamdulillah.”
Halimah lemas, ia menarik nafas lega. Ciri-ciri yang ia sebutkan persis dengan suaminya Rhandra.
“Pakdhe tau dia kemana?”
“Ngga tau bu.”
Penuh semangat juga harapan, halimah mengayuh dengan suka cita. Suaminya ada bersamanya. Halimah menangis, air matanya terbang bersama angin.
Gedong tua kini berada persis didepannya.
Halimah berhenti, ia biarkan sepedanya tergeletak di tanah. Ia berlari masuk kedalam.
“Rhandraa!”
“Rhandraa!”
Halimah diam, Gedong tua masih tampak sama dengan kemarin. Tidak ada tanda-tanda kehidupan didalamnya.
Pelan, ia langkahkan kakinya menuju lantai dua. Ada rasa takut, namun ia memberanikan diri. Ia edarkan pandangannya ke setiap sudut ruang di lantai dua.
Sepi.
Halimah beranjak, ia langkahkan kakinya menuju lantai tiga, dihadapannya kini kamar Rhandra suaminya.
Gagang pintunya masih rusak, terakhir Haikal mendobraknya dengan paksa.
Pelan Halimah membukanya, tak ada siapapun disana. Halimah lelah, ia duduk di atas ranjang. Ia melihat ke seluruh penjuru kamar, lukisan-lukisan itu masih berada di tempat yang sama. Ia melangkahkan kaki menuju lukisan miliknya yang dulu pernah ia lihat.
Halimah buka tirai yang menutupi lukisannya, kosong. Lukisan Halimah sudah tak berada ditempatnya.
Halimah semakin yakin. Rhandra sedang menghindar darinya. Ia menarik nafas.
Ia diam, pikirannya terus menebak-nebak keberadaan Rhandra.
“Kamu dimana?”
Embusan angin menerpa wajahnya, embusan itu berputar mengellilingi kamar Rhandra, beberapa tirai terlepas dari tempatnya, lukisan-lukisan yang berdiri disana terjatuh karena kencangnya terpaan angin.
Halimah gemetar, ia berbalik badan, embusan perlahan berhenti. Dari kesekian lukisan yang ada, hanya satu lukisan yang bertengger di hadapannya. Lukisan wanita yang dulu pernah singgah di bayangannya.
Halimah diam, wanita itu seperti sedang menatapnya.
“Braak!” Suara pintu terbanting dan tertutup rapat.
Seketika tubuh Halimah mendingin, ia gemetar. Degup jantungnya kian cepat. Keringat mengucur di setiap tubuhnya.
“Astaghfirullah … Astaghfirullah,” ucapnya terus menerus berdzikir.
Halimah berjalan pelan ke arahnya, ia mencoba membukanya namun pintu tertutup rapat.
“Buka … Buka … Tolooooong!”
“Braak!” Halimah terhempas, pintu itu mendadak tebuka lebar.
seorang wanita kuntilanak telah berdiri dihadapannya, ia berpakain serba putih, darah bersimbah disekujur dadanya, ia menggelengkan kepala, matanya melotot dan darah keluar dari kedua ujung matanya.
“HAAAAAA!” Ia berteriak.
Tiba-tiba tubuh Halimah terlempar kebelakang. Halimah lemah, kepalanya terbentur dinding sangat keras. Halimah tak sadarkan diri.
“Halimaaah …,” bisik seseorang di telinganya.
“Haaak!” Halimah terbangun, kepalanya sedikit pusing. pelan ia membuka matanya, pintu kamar Rhandra sudah terbuka lebar. Ia mencari suara-suara yang memanggilnya.
Gedong tua sepi dan semakin gelap, cahaya matahari sudah tertutup awan senja, entah berapa lama Halimah tak sadarkan diri.
Halimah bangkit, ia mengambil tas nya dan berlari ke bawah.
Halimah terperangah, suasana lantai dua terlihat sungguh berbeda. Ruangan itu begitu hidup, terang, beberapa perabotan pun tertata rapih, lampu-lampu Kristal menyala begitu terang.
Ia arahkan wajahnya ke kanan, balkon tempatnya dulu berbincang-bincang dengan Rhandra terbuka lebar, kain tirai yang menutupinya terbang tertiup embusan angin.
Perlahan Halimah melangkahkan kakinya.
“TEGA KAMU ABYAKTA!”
suara itu terdengar begitu nyaring di telinganya. Halimah terperanjat, ia mengikuti arah suara yang berasal dari kamarnya di lantai dua.
Dilihatnya seorang wanita sedang bertengkar dengan laki-laki dewasa.
“Maafkan aku sayang, aku tidak tahu jika ada penyakit ini didalam tubuhku!” ucap laki-laki seraya bersimpuh di kaki perempuan yang terlihat seperti istrinya.
“DIEF!” (bajingan)
“Ik hou van jou, Dewi,” [aku mencintaimu, Dewi]
“Leugen!” [Bohong!]
“Ik lieg echt niet ,[aku tidak berbohong], aku tak tahu apapun Dewi. Maafkan aku, ini semua kesalahanku. Aku akan menebus semua kesalahanku.”
“Kamu egois Abyakta, ketakutanmu justru membuatku hancur! Aku sedang mengandung anakmu, dan kau tularkan aku dengan virusmu itu!”
“NEE? nee misschien!” [Tidak mungkin!]
“Katakan padaku, apa benar kamu sedang mengandung?”
“Ja!”
Laki-laki itu ambruk, ia ingin memiliki Dewi seutuhnya. Pikirannya sangat pendek, ia tak tahu Dewi sedang mengandung anaknya. Tangisannya pecah, ia bersimpuh di kakinya.
“Aku tidak mau kehilanganmu, Dewi!”
“Kita akan berobat, aku janji aku akan pastikan anak kita selamat, maafkan aku, aku mohon maafkan aku!”
Tak lama ia terdiam, ia biarkan suaminya bersimpuh di kakinya. Tangisan mengiringi percakapan mereka. Laki-laki itu lemah, ia terus memeluk dan mencium tangan istrinya.
“Lakukan sesuatu dan rahasiakan ini dari siapapun, tak seorang pun boleh tau kita mengidap penyakit menjijikan ini, tak ada satupun yang boleh tahu akan kehamilanku.”
Halimah terperangah, wanita itu adalah wanita yang ia lihat dalam mimpi juga lukisan dikamar Rhandra. Wanita keturunan eropa, yang pernah mengusap pipi Rhandra begitu lembutnya.
Halimah lemas, ia tak sanggup berkata apa-apa. Kenyataan pahit terlihat nyata di hadapannya. Jika benar wanita itu adalah ibunya, dan Rhandra adalah anak yang sedang ia kandung. Besar kemungkinan Rhandra memiliki penyakit yang sama.
Tak lama, mereka hilang, angin berembus di wajahnya. Suasana gedong tua kembali gelap. Halimah berdiri diantara dua lorong, Nafasnya tersengal-sengal .
Berulang kali Halimah menelan salivanya. Pelan ia langkahkan kakinya, ia berbalik dan …
“KEMBALIKAN ANAKKU!”
Kuntilanak itu kembali datang di hadapannya, ia mencekik leher Halimah dengan keras.
“HAAAAA!” teriak Halimah
“Huuuaak!” Halimah terbangun. Ia masih dalam ruangan yang sama kamar Rhandra di lantai 3, tubuhnya masih bergetar. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Halimah bangkit, sakit di kepalanya begitu terasa.
Halimah berjalan terhuyung-huyung, dilihatnya pintu itu terbuka begitu lebar, tidak ada cahaya, semua gelap. Halimah tak dapat melihat apapun.
Halimah terjatuh ia hampir tak sadarkan diri, tak lama suara langkah orang berlari nyaring terdengar. Halimah masih sedikit sadar.
“HALIMAH!”
“Rhandra …,” bisik Halimah, ia mengenal suaranya. setengah sadar Halimah melihat wajahnya.
“Rhandra ….”
Halimah tak sadarkan diri.
***
Pagi yang cerah. Halimah bangun dalam kondisi yang kurang sehat, tengkuk lehernya terasa nyeri. Pelan ia membuka matanya, ia tidak berada di rumah maupun Gedong tua.
Ia edarkan pandangan ke setiap sudut ruang di tempat ia berbaring. Dinding kamar yang penuh diisi dengan wall paper berhias garis vertical dan bunga di sisi tengahnya, berawarna merah kecoklatan.
Cahaya matahari masuk dari jendela kamar, embusan angin lembut menerbangkan tirai putih yang menempel diatasnya. Dibawahnya persis sebuah meja panjang dan pot bunga yang ditelakkan di sisi tengahnya. Dua buah nakas di sisi kanan juga kiri. Sebuah jaket terlihat di balik pintu, jaket yang ia rasa miliknya yang ia tinggalkan di Villa Abyakta.
“Ehemm….” Halimah berdehem. Ia tak tahu dimana ia saat ini.
Tak lama knop pintu berputar, pandangannya masih kabur. Dari jauh ia melihat seorang wanita membawakan makanan untuknya.
“Non.”
“Mbok Sum!”
Halimah terperangah, bibirnya menyungging lancip ke atas. Ia begitu bahagia. Wanita itu memeluk Sum dengan erat. Ia bernafas lega akhirnya bisa bertemu dengannya. Air mata mengalir di kedua pipinya.
“Mbok Sum.”
“Non, Non pasti menunggu lama ya?”
“Rhandra kemana Mbok?”
“Non, makan dulu.”
Halimah menggelengkan kepala.
“Rhandra dimana Mbok?” suara parau terdengar begitu jelas.
“Aden ada urusan Non.”
“Kenapa, kalian pergi meninggalkan saya Mbok?”
Sum diam.
“Mbok!”
“Biar nanti Aden yang bicara dengan Non, sekarang Non makan dulu.”
“Saya ngga lapar mbok, kita dimana?”
“Aden menyewa rumah sementara Non, sampai semua masalahnya selesai baru ia akan kembali.”
“Masalah apa?”
“Mbok, tidak tahu Non.”
“Aden minta sama si Mbok, Non harus makan dulu, Non kan tahu bagaimana Aden jika dia tahu Non tidak makan?”
Halimah menyuap beberapa sendok ke dalam mulutnya, ia mengakhirinya dengan minum air putih.
“Saya ingin sholat Mbok.”
“Mbok ambilkan perlengkapannya ya Non.
Halimah bangkit dari tempat tidur, ia melangkah menuju jendela kamar, matanya menatap kebawah. Suasana pedesaan luput dari matanya, ia lihat dibawahnya, kendaraan hilir mudik memenuhi isi kota.
Sum datang membawakan perlengkapan sholat. Halimah pergi wudu dengan rasa haru, rasa sudah tak sabar berjumpa dengan sang kekasih.
Halimah menggelar sajadah, dengan penuh haru juga takdzim pada Tuhannya, ia bertakbir.
Shalawat dan salam juga doa ia panjatkan setelah sholat, kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Halimah bangkit, ia lipat mukenanya dan kembali ke kamar mandi. Ia menatap dirinya di cermin, wajahnya penuh dengan debu pekat, ia usap wajahnya dengan air, ia kulum bibirnya agar telihat lebih merona. Pakaian yang ia kenakan pun tak karuan, kotor dan berantakan. Ia tepuk-tepuk pakaiannya agar terlihat bersih. Ia harus terlihat cantik di hadapan suaminya.
Tak lama seseorang mengetuk pintu kamarnya, dengan semangat ia membukanya.
“Pak Darmin!” ucap Halimah sedikit kecewa.
“Saya antar pulang Non.”
“Pulang? kemana?”
“Kerumah Non.”
“Tidak pak, tempat saya tinggal hanya bersama Rhandra.”
“Non, Aden tidak ada disini.”
“Saya akan menunggu pak.”
“Aden, meminta Non untuk segera pulang.”
“Kenapa?”
“Saya tidak tahu Non.”
Halimah diam, wajahnya memerah karena kesal.
“Kalau begitu suruh dia yang meminta saya untuk pulang, saya tidak akan pulang sebelum bertemu dengannya!” tutur Halimah seraya menutup pintu.
Halimah terkejut, dadanya sakit. Rhandra seperti menghindar darinya. Ia bertahan, ia duduk dibawah bersandar pada tempat tidur. Ia merenung menunggu kedatangan Rhandra.
Air mata mengiringi harapannya. Wanita ringkih itu tak sanggup menahan rasa rindu yang begitu besar di hatinya. Ia ingin berteriak, ia ingin menjerit atau bahkan melompat dari jendela dan membiarkan tubuhnya mati agar Rhandra mau datang untuknya.
Berjam-jam Halimah termenung, tubuhnya semakin lemah, ia hanya memasukkan tiga suap makanan dan seteguk air hangat ketubuhnya. Sisa makanan masih berada di atas nakas.
Suara langkah kaki jelas terdengar dari kamarnya.
‘Deg … suara itu!’ hati Halimah berdesir, ia sudah hafal bagaimana suara langkah kaki suaminya.
Halimah menatap pada pintu, knop pintu berputar lalu terbuka.
Seorang laki-laki berpakaian rapih dengan kemeja lengan panjang yang ia gulung sesiku, juga wajahnya yang begitu akrab baginya, janggut di wajahnya sudah rapih, tak seperti dulu yang sangat berantakan tak karuan. Rambut yang panjang ia tarik rapih ke belakang.
“Rhandra ….”
Halimah merasakan seluruh tubuhnya lumpuh seketika, matanya terpaku memandang sosok yang selama ini telah hilang dari hidupnya.
Mata mereka bertemu setelah sekian lama. Tak sanggup lagi menahan rindu, keduanya berpelukan penuh haru, seolah menemukan kembali bagian diri yang telah lama pergi. Seperti mimpi, masih tak percaya Halimah jika dirinya kini kembali dalam rengkuhan suami yang ia cintai.
Halimah memeluknya sangat erat, ia luapkan kerinduan yang mendalam pada suaminya. Rhandra cium ubun-ubun Halimah dengan penuh haru.
Rhandra menarik tangan Halimah, mereka duduk diatas ranjang di sebuah kamar yang baru baginya. Halimah mengusap wajah Rhandra dengan jari-jarinya, ia jalankan jarinya dari dahi, hidung hingga mulutnya.
Rhandra kini tak semenyeramkan dulu, wajahnya kini lebih bersinar, janggut tipis juga kumis tipis menghiasi wajahnya, rambut panjangnya terlihat lebih rapih dari sebelumnya.
Rhandra mengambil tangannya, ia genggem erat. Kedua mata saling melihat, ada air yang bergulir di ujung mata Halimah. Rhandra mengecup setiap tetesan air yang keluar dari matanya.
“Apa yang kamu lakukan di Gedong tua?”
“Aku mencarimu Rhandra.”
“Pulanglah Halimah, dan berhentilah mencariku.”
“Apa maksud kamu Rhandra?”
“Pergilah Halimah, raih kebahagiaan yang ingin kamu capai.”
“Kebahagiaanku hanya ada bersamamu Rhandra.”
Rhandra diam.
“Aku rindu kamu Rhandra, kenapa kamu tak datang untuk menjemputku?” lanjut Halimah.
“Pulanglah Halimah.”
Halimah menggelengkan kepalanya.
“Pulanglah.”
“Kenapa aku harus pulang, tempatku disisimu Rhandra.”
“Aku bukan suami yang baik untukmu, percayalah. Kamu akan lebih bahagia tanpaku.”
Halimah menggelengkan kepala, ia terkejut mendengar perkataan Rhandra. Dadanya sesak, air mata kembali membasahi pipinya.
“Kenapa?”
Rhandra diam.
“JAWAB!” rutuk Halimah.
“Aku mohon pergilah Halimah...!”
“Aku istrimu Rhandra ... Aku siap dengan segala akibatnya? Katakan Rhandra apa yang terjadi denganmu”
Nafas Halimah tersengal-sengal menahan perih yang ia rasakan di dadanya.
Rhandra bangkit, ia berdiri diantara jendela, kedua tangannya memegang setiap sudut jendela, wajahnya menunduk, dari pundaknya terlihat ia menarik nafas berulang-ulang.
“Aku membebaskanmu Halimah …,” ucapnya ragu.
“Aku mencintaimu Rhandra ... aku mohon...” Tangisan wanita itu semakin pecah.
“CINTA MU HANYA MEMBUATKU BODOH!” teriak Rhandra menghadapnya, sorotan matanya tajam.
“Aku benci perasaan ini ... Aku membencimu Halimah!” lanjutnya bengis, tak ada air mata sedikitpun.
“Lalu apa alasanmu menikahiku?”
“Untuk membalas dendamku pada Tuhan ... Aku ingin menyakiti wanita polos sepertimu Halimah, bahkan dulu aku ingin memperkosamu, aku haus akan darahmu, tapi tangisanmu, cintamu merusak segalanya!” jawabnya seraya memicingkan mata.
Seketika tubuh Halimah membeku, pipinya basah, tulang-tulangnya bagai remuk. Halimah tersungkur dibelakangnya.
“Katakan padaku, apa alasanmu membenciNya, katakan Rhandra ....”
Rhandra diam, “PERGILAH ...!” teriak Rhandra.
“TIDAAK!” sahut Halimah “Aku tidak akan pergi sampai Aku tahu semuanya ....” rutuk Halimah
“Aku tidak bisa menyentuhmu Halimah, dalam darahku ini mengalir virus jahat yang senantiasa bisa membunuhmu, Ibuku mati karenanya, begitupun Ayahku.. dan usiaku hanya tinggal menunggu waktu, kau bisa pergi sekarang ....” ujar Rhandra, Ia masih berdiri membelakanginya, wajahnya memerah menahan pedih.
Rhandra tak sanggup menangis di hadapannya. Ia berusaha untuk kuat di hadapan Halimah.
“HIV?” tanya Halimah pelan, Halimah menatapnya, kepala Rhandra terus menunduk, wajahnya tertutup rambut keringat di dahinya mengucur deras.
Rhandra tak menjawab, nafasnya tersengal-sengal. Apa yang ditanyakan Halimah adalah sebuah kenyataan pahit yang ia alami. Ia tak mampu menyakiti Halimah, ia tak mampu memberikan keturunan padanya.
“Aku terlahir seperti ini Halimah, masa kecilku hanya kuhabiskan dengan Mbok Sum dan Pak Darmin yang senantiasa membantuku bertahan hidup ... kamu tidak akan mengerti.”
Halimah mendengarkan cerita itu dengan hati perih. Ia merasa seperti ada sebuah tombak berkarat yang menancap tepat di ulu hatinya. Tangisannya meledak. Rhandra diam di tempatnya. Halimah tahu kenyataan itu pasti sangat menyakitkan untuk Rhandra.
“Halimah, kau bisa pergi meninggalkanku, Pak Darmin akan mengantarkanmu pulang, tak banyak yang tau kalau kau sudah menikah denganku, Haikal laki-laki yang baik, kamu bisa bersamanya.”
Halimah masih menangis tersedu-sedu. Halimah meremas remas kepalanya, tak tahu ia harus berbuat apa saat itu. Halimah sangat kasihan pada suaminya, rasa cintanya bukan memudar justru semakin menyeruak.
Halimah bangkit, perlahan ia mendekati Rhandra. Nafas laki-laki itu masih tersengal-sengal.
Tak lama Rhandra merasakan ke dua tangan Halimah masuk melewati sela-sela tangannya. Halimah memeluknya. Ia rasakan setiap tarikan nafas di pundak Rhandra.
“Aku mencintaimu Rhandra, apapun yang terjadi padamu aku siap menerimanya ... Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, aku siap menanggung apapun, aku hanya hidup untukmu, aku bisa mati tanpamu.”
Rhandra begitu terenyuh mendengar perkataan Halimah. Ia berbalik, ia usap air mata di pipi Halimah dengan penuh haru. Kedua tangannya ia letakkan di kedua pipi Halimah, kepalanya menunduk dan berbicara dengan lembut padanya, kedua mata mereka saling menatap.
“Dengarkan aku Halimah, Aku tidak akan pernah rela melihatmu menderita, kamu tidak tahu bagaimana penyakit ini menghancurkan hidupmu. Aku ingin melihatmu bahagia, memiliki anak-anak yang lucu seperti yang pernah kamu bilang, hidupku sudah hancur Halimah. Haikal laki-laki yang baik, dia akan melindungimu. Dia juga akan memberikanmu keturunan seperti yang kamu harapkan, pergilah.”
“Tidak … Aku tidak mau, aku lebih baik mati, kamu tidak bisa menentukan mati atau hidupnya seseorang, kamu lupa kamu punya Tuhan, kamu lupa Rhandra … ada Dia yang bisa menyelamatkan kita!”
“DARMIN, SUM!” teriak Rhandra.
“Kamu mau apa?” ucap Halimah, bibirnya sudah basah air mata memenuhi pipi hingga mulutnya.
Tak lama dua orang itu masuk ke kamar mereka.
“Bawa dia.”
“Tidak!”
Sum dan Darmin datang, mereka menarik lengan Halimah dengan kuat.
“Nggak… Lepasin Mbok Sum… Lepas … Rhandra!”
“Ayo Non!”
Halimah meronta-ronta, Sum dan Darmin kuat memegang pergelangan tangannya, mereka menariknya keluar.
“Rhandra … Aku mohon Rhandra!
Halimah lemah, tangan Sum dan Darmin begitu kuat. Mereka menyeret tubuh Halimah, Halimah tak mampu melawan. Mereka memaksa memasukkan Halimah ke dalam mobil.
Rhandra masih diam, dari jendela kamarnya ia melihat Halimah menjerit-jerit menyebut namanya.
Laki-laki itu menangis, tangisannya pecah. Ia menghantam dinding di hadapannya dengan pulukan keras. Vas bunga yang berada di bawahnya ia lempar hingga hancur berkeping-keping. Rhandra hancur, perasaannya pada Halimah adalah sebuah kesalahan baginya.
Laki-laki itu tersungkur, ia duduk diantar dua kaki meja, wajahnya menunduk kebawah, air matanya terus menetes.
Halimah pergi, hari ini adalah hari dimana Rhandra resmi meminta Halimah untuk berpisah dengannya.
*****
BEBERAPA MINGGU SEBELUMNYA
“98% cocok Den.”
Dihadapan laki-laki paruh baya itu, Rhandra marah, anak muda itu murka, wajahnya memerah. Gelas digenggamnya langsung ia lempar ke lantai. Nafasnya tersengal-sengal, emosi dalam jiwanya kembali ke permukaan. Niat untuk mengembalikan semua hartanya pupus.
Untuk beberapa saat Darmin terdiam, memperhatikan amarahnya yang memuncak. Laki-laki itu tidak berani menenangkan amarah Rhandra.
“Siapkan semuanya pak!”
“Polisi sudah memeriksanya Den, serahkan semuanya ke mereka,” begitu tenang Darmin menyikapi hatinya yang sedang berkecamuk.
“TIDAK!, kali ini tidak Darmin, saya harus pergi!”
“Baik Den!”
“Bagaimana dengan Non Halimah Den?” tanya Sum yang mendadak hadir di tengah mereka.
Rhandra diam sesaat, hati dan pikirannya tak sejalan. Wajah istrinya beberapa belakangan ini terus hadir di mimpi juga pikirannya. Namun keinginan untuk mengakhiri hubungan dengan Halimah amatlah besar. Rhandra ingin menyelesaikan semua masalahnya, kehadiran Halimah hanya membuatnya lemah tak berdaya.
“Siapkan semua perlengkapan saya Mbok, besok saya berangkat.” Rhandra menghindar dari pertanyaan Sum.
***
Rhandra Abyakta baru saja duduk di kursi pesawat, menuju Jakarta. Laki-laki itu berangkat sendiri tanpa pengawal, ia meminta Darmin untuk terus mengawasi Halimah, istrinya.
Rhandra menjadi laki-laki yang penuh dengan amarah, ia merubah penampilannya rambutnya yang panjang ia rapihkan dan ia potong hingga seleher, janggut dan kumis tipis kini menghiasi wajahnya. Rhandra mengenakan setelan jas yang sangat pas di tubuhnya. Setelan berwarna biru dongker dan kemeja berwarna biru muda.
Penemuan jasad Arkadewi menimbulkan luka di hatinya, Sudah dipastikan bahwa ia bukan korban dari tindak kekejaman warga desa. Sampai saat ini pun Rhandra masih bertanya-tanya, jasad siapa yang terkubur di Gedong tua, kenapa nama dia dan nama ibunya persis tertulis diatas makam.
Perjalanan menuju Jakarta tak memakan waktu lama, atas saran Dirk Haan pamannya, Rhandra langsung menuju ke kediaman Haris Gunawan, laki-laki yang dulunya pernah menjadi pengacara pribadi Abyakta Ayahnya. Haris kini tak bekerja lagi dengan keluarga Abyakta, sejak meninggalnya Mahadi, posisinya sebagai pengacara keluarga tergantikan.
Rumah Sakit Adinata, pria bernama Haris Gunawan sedang terbaring lemah didalam. Rhandra masuk, ia langkahkan kakinya menuju ruangan VVIP di Rumah Sakit kenamaan di bilangan Jakarta. Laki-laki itu Nampak terbaring lemah, persis disebelah Haris seorang wanita yang seusia dengan Rhandra terlelap dengan posisi menunduk, kedua tangannya terlipat menopang kepalanya.
“Permisi,” sapa Rhandra seraya membuka pintu ruangan mereka.
“Hmm ….” Wanita itu terbangun. Rambutnya ikal sebahu, tubuhnya tinggi semampai, lipstick merah mengukir bibirnya yang tebal.
“Kamu siapa?” tanyanya.
“Rhandra … Rhandra Abyakta, saya ingin berbicara dengan Haris!”
“Kenapa kamu baru datang!” rutuk wanita itu seraya menunjukkan jarinya pada Rhandra.
Rhandra diam tak mengerti.
“Sekian lama, Ayahku menunggu kedatanganmu! ia terus menerus memanggil namamu!”
“Saya tidak mengerti,” ucap Rhandra heran.
“Saat ini Ayah saya tidak bisa berbicara, entah apa yang ingin ia sampaikan. Sudah cukup keluarga kalian membuat Ayah saya menderita.”
“Eee … Ee …” Haris mendengar percakapan mereka, tangannya terangkat berusaha menggapai tubuh putrinya.
Rhandra mendekat.
“Haris!” sapanya.
Perlahan laki-laki tua itu menggerakkan tulang lehernya, Ia menengok ke arah Rhandra yang kini berada di sebelah kanannya.
“An ... Andra …” sapanya tak jelas. Laki-laki itu menderita struk disekujur tubuhnya.
“Ini!” Putrinya memberikan Rhandra sebuah note kecil, tulisan tangan Ayahnya beberapa waktu yang lalu.
“Rhandra Hidup, surat itu kutitipkan padanya!” Tulisan latin dan sangat berantakan ditulis langsung oleh seorang penderita struk berat, butuh waktu lama baginya untuk bisa membacanya.
“Saya tidak mengerti, ada yang bisa membantu saya menjelaskan isi pesan ini?” Rhandra memaksa laki-laki yang terbujur kaku diatas tempat tidurnya.
“Silahkan duduk,” ajak wanita itu yang belakangan ia tau bernama Marina.
“Rhandra ... Saya tidak tahu persis, masalahmu. Namun Ayahku dulu pernah bekerja dengan Ayahmu, Sejak kematian Ayahmu beberapa orang seperti preman selalu datang kerumah kami. Mereka mengacak-ngacak rumah kami, entah apa yang mereka cari. Kadang mereka mengancam ingin membunuh Ayah saya atau keluarga kami. Kami pindah, namun mereka terus menganggu kami, suatu hari mereka datang lagi. Mereka menyiksa Ayah saya, dan kini ayah saya shock, ia menderita struk akibat tekanan yang ia derita.”
“Maaf … Saya sama sekali tidak mengetahui hal ini.”
“Saya paham, karena memang Ayah saya terlihat sedang melindungi dirimu.”
Rhandra terenyuh, ia bangkit. Laki-laki itu mendekati tubuh Haris, Rhandra pegang tangannya. “Terimakasih.” Rhandra memegang tangannya erat.
Rhandra keluar, ia sudah mendapatkan petunjuk, meski ia tak tahu dimana ia bisa mendapatkan surat yang dimaksud. Haan pamannya pernah mengatakan, bahwa Rhandra berhak atas 70% saham harta Mahadi Abyakta namun hal itu tak pernah terealisasi, Haan adalah saksi berikut juga Haris yang kini terbaring lemah di rumah sakit. Surat yang dimaksud bisa jadi adalah surat wasiat dari Mahadi untuknya.
Selepas dari Rumah sakit, Rhandra menuju ke Abyakta Group. Sebuah perusahaan besar berdiri di salah satu gedung-gedung pencakar langit di Jakarta. Laki-laki itu masuk dengan amarah juga keberanian.
“Saya ingin bertemu dengan Harsa.” Ucapnya pada salah satu wanita receptionist.
“Pak Harsa?” tanyanya heran.
“Ya!”
“Mohon maaf pak sudah buat janji?”
“Katakan, Rhandra Abyakta ingin bertemu dengannya.”
Wanita itu terperangah mendengar nama belakangnya.
“Oh baik sebentar Pak.”
Wanita itu membawa Rhandra ke sebuah ruangan. Ruangan rapat, beberapa bangku kosong satu buah meja panjang besar, dan layar LCD di hadapannya. Rhandra duduk, ia menunggu kehadiran Harsa kakak tirinya, Kaki kanannya berpangku pada lutut kirinya, kedua tangannya ia satukan. Laki-laki itu sudah tak sabar ingin memberikan teguran keras padanya. Kecurigaannya pada keluarga Puspa sudah sangat matang.
Langkah itu berhenti di depan pintu. Suara kunci berputar, lalu derit engsel saat pintu terkuak lebar.
Beberapa orang melangkah masuk, dan membiarkan pintu itu tertutup dengan sendirinya.
“Rhandra!”
Rhandra memperhatikan satu-satu dari mereka.
“Puspa!” jarinya menunjuk pada wanita paruh baya, ia mengenakan pakain hitam, dengan rambut berwarna putih yang ia sanggul di belakang, keriput diwajahnya tak sedikit.
“Harsa!” kembali ia menunjuk jarinya, laki-laki itu terlihat lebih tua darinya. Tubuhnya tinggi hampir sama dengannya, wajah jawanya sangat kental dengan kumis yang menghias di wajahnya.
“Maharani! Cantik!” Maharani mengenakan kemeja sutra bermotif bunga dan rok sepan selutut, bentuk wajahnya mirip dengannya, alisnya tebal, rambutnya ia buat ikal sebahu.
“Apa benar kamu Rhandra?!” tanya Puspa penasaran.
“Menurutmu?” tanyanya tenang, posisi duduknya masih sama dari sebelumnya.
“Rhandra kami terus mencarimu!” Maharani mulai membuka suaranya.
“Oh ya ….”
“Tunggu! Bagaimana kami bisa yakin bahwa kamu benar Rhandra? Setahu kami …” Harsa mulai memancing Rhandra.
“Mati?” jawabnya sinis.
“Kalian pikir aku sudah mati atau ….” lanjut Rhadra, sikap dan nada bicaranya seakan memancing emosi mereka.
“Jika benar kamu Rhandra, apa buktinya?!”
Rhandra bangkit dari kursinya, ia berpindah duduk diatas meja. Kakinya yang jenjang ia lipat, dua tangannya memegang pada bibir meja.
“Apa yang ingin kalian lakukan? tes DNA? ada Maharani disini, kapan kita bisa lakukan?”
Harsa menghela nafas, sikap Rhandra cukup membuatnya jengkel.
“Dengan siapa kamu selama ini? ibu mencarimu selama ini Nak.” Puspa mulai berbicara banyak.
“Ibu? … hehehehe … Bukankah dia sudah mati? benarkan Puspa?”
“Jaga sikapmu Rhandra!” rutuk Maharani, emosinya sudah terpancing.
Puspa menepuk pundak Maharani.
“Nak, Ibu memang mencarimu … Sejak tragedi itu, Ibu mendengar anak yang meninggal adalah anak yang berusia 3 tahun, setahu Ibu kamu masih berusia 1 tahun. Sejak itu Ibu terus mencarimu, dengan siapa kamu sebenarnya?” tutur Puspa, ia bicara dengan lembut.
“Mencari untuk membunuhku? seperti yang kau lakukan pada ibuku?!”
“Maksud kamu apa!” Dengus Harsa, tangannya memukul pada meja.
“Diam!” Rutuk Rhandra
Wajah bengis Harsa terlihat, wajahnya memerah, urat-urat dipipinya mulai Nampak.
“Apa ingin kuuraikan kejahatan kalian satu persatu ?” Rhandra melipat kedua tangan di depan dada.
“Maksud kamu apa Rhandra? tidak ada yang membunuh Dewi, ia mati ditangan warga.Malam itu warga menyiksanya dan ….”
“Lalu siapa wanita yang didalam sumur tua genilangit!”
Dengus Rhandra, matanya memerah melotot ke arah Puspa.
Puspa bereaksi. Tubuhnya mulai oleng, Rahangnya bergemeletuk dengan wajah memerah. Jelas terlihat ketakutan di kilatan matanya.
“Wanita siapa ? siapa?” Maharani semakin bingung dengan apa yang mereka bicarakan.
“Dengar! kedatangan saya kesini hanya untuk meminta pengakuan dari Ibu kalian, setelah itu aku berjanji aku tidak akan mengganggu kalian. Aku tidak haus harta seperti kalian!”
Harsa murka, ia berlari dan mencoba mengarahkan pukulan keras kearahnya.
Kepala Rhandra tersentak ke samping. Memejamkan mata menantikan pukulan darinya.
"Pelacur pasti akan menghasilkan bajingan!" Rutuk Puspa sambil mendelik marah pada Rhandra.
“Pelacur?” Rutuk Rhandra.
“Lalu kamu sebut apa dirimu? wanita kesepian? wanita maruk? Pembunuh?” lanjut Rhandra. Ia mendekat ke arah puspa.
Plakk!! Puspa menampar Rhandra sekuat tenaga.
Wajah Rhandra Tersentak ke samping.
“He … hehehehe ….” Rhandra tertawa, ia berhasil membuat keluarganya emosi dan ketakutan. Laki-laki itu pergi, ibu jarinya mengusap luka di pipinya dan tangan yang satunya ia masukkan ke saku celananya.
“Tunggu!” sergah Puspa.
“Penyakitmu? apa kamu sehat?”
Rhandra bergeming, Puspa baru saja menyerang kelemahannya. Laki-laki itu tak menjawab, ia melanjutkan langkahnya.
***
Laki-laki berdarah belanda itu termenung di kamar hotel yang ia sewa selama beberapa hari di Jakarta. Tubuhnya ia rebahkan diatas ranjang, dua buah nakas dikanan kirinya, terdapat lampu nakas dan satu buah telepon, dihadapannya persis sebuah balkon menghadap barat. Laki-laki itu termenung, pikirannya terus memikirkan kejahatan keluarga tirinya yang mereka lakukan pada Ibunya, teka-teki terus menghantui pikirannya.
Rhandra mengusap wajahnya, pikirannya kalut ia hadapkan tubuhnya ke kanan, sebuah telepon persis dihadapannya. Kerinduannya akan Halimah mendadak hadir, Rhandra bangkit.
“Pak Darmin bagaimana?” tanya Rhandra melalui sambungan telepon.
“Non Halimah baik Den … hanya ….”
“Hanya apa?”
“Sudah beberapa kali ia datang ke Gedong tua, ia terlihat sangat sedih.”
Tak lama suara ditelepon menjadi hening.
“Den … Den ….”
“Ah ya Pak, saya masih dengar … Biarkan saja Pak, dia pasti bisa melaluinya.” kilahnya. Rhandra terus mencoba membohongi perasaannya.
“Bagaimana disana?”
“Polisi sepertinya belum datang, saya sudah menggertak mereka.”
“Hati-hati Den, mereka sanggup melakukan apapun.”
“Saya tak takut mati Pak Darmin.”
“Ya … tapi bagaimana dengan Non ?”
Rhandra menghela nafas. Darmin dan Sum sangat tahu apa yang bisa membuatnya bahagia.
“Kenapa dengan dia?” tanyanya.
“Sudahlah Den … Dua hari lagi tanggal 11 Aden pulang?”
“Ada apa dengan tanggal itu?”
“Hari kelahiran Non, Den.”
Rhandra menutup telepon, Darmin dan Sum terus menerus mengingatkan akan istrinya, si kembang desa yang jatuh cinta padanya.
Hatinya semakin kalut, kini Halimah mengusai alam pikirannya, seketika dendam, teka-teki akan keluarganya lenyap saat hati juga pikirannya tertuju pada Halimah. Wajahnya selalu terukir di pikirannya, senyumnya, tangisannya, jeritan suaranya terngiang-ngiang di telinganya.
Rhandra kembali, ia sampai di Solo pukul 9 pagi dan dari sana ia langsung menuju Magetan, Poncol Lawu, Surau tempat Halimah mengajar.
Wanita itu sedang mengajar, di pekarangan surau ia berteriak-teriak mengenalkan huruf-huruf arab pada anak-anak berusia 5 tahun. Suaranya melengking, Rhandra tersenyum mendengarnya. Suaminya rindu akan teriakannya, teriakan ia yang selalu meminta tolong saat melihat hantu.
Laki-laki itu bersembunyi dari pandangan, ia menggunakan kemeja berwarna hitam dan kacamata, rambutnya ia kepal di belakang. Laki-laki terlihat gagah, kaki jenjangnya ia lipat dan tubuhnya ia sandarkan ke tembok.
‘Non, sepertinya tak punya uang Den, Ia berhutang sepeda di bengkel depan Surau.’ Laporan Darmin ia terima kemarin.
“Halimah ….” ucapnya menahan rindu.
Rhandra membayar hutang Halimah pada laki-laki si pemilik bengkel. Lalu ia kembali pulang.
Rhandra, menerima kabar tentang Halimah beberapa hari belakangan. Ia dengar dari Darmin, Haikal begitu bersemangat mendekati istrinya. Istrinya tahu benar bagaimana cara menjaga diri juga kehormatannya. Selama Haikal mendekatinya, tak sedikitpun ia perhatikan Halimah tergoda akannya. ia juga tahu setiap hari istrinya selalu menangis menunggu kedatangannya
Hari ini 11 Desember adalah hari kelahirannya. Lagi-lagi Rhandra tak bisa menutupi perasaannya, pagi itu didepan surau ia melihat Halimah begitu cantik. Ia berbalut pakaian berwarna biru muda, dengan kerudung merah muda yang menghiasi wajahnya yang putih. Tak ada bedak maupun gincu yang terhias dibibirnya, semua natural. Semua pakaian Halimah sebagian besar adalah pakaian kurung khas Malaysia buatan Dasinun, baju kurung selutut dan rok sepan hingga ke ujung kaki.
Haikal terlihat menunggunya di pintu gerbang, Rhandra kalah satu langkah darinya. Ia sudah menyiapkan sebuah hadiah untuknya.
Ia perhatikan mereka bercakap-cakap, lagi-lagi Halimah menunjukkan sorot mata yang sinis, kedua tangannya ia lipat di dada menunjukkan sikap defensive, penolakan yang membuat laki-laki itu berdiam lama di belakangnya.
Halimah lagi-lagi membuat hatinya terenyuh. Haikal bukanlah laki-laki biasa, ia berasal dari keluarga berada, ia juga memiliki anugrah tubuh dan wajah yang rupawan, perhatiannya pada Halimah pun sangat ia tunjukkan, tidak ada yang kurang darinya. Jika Halimah mau, ia bisa saja menolaknya dan pergi dengan laki-laki yang terlihat sangat mencintainya itu.
Rhandra diam, ia pergi membelikannya sebucket bunga mawar merah untuknya, siang itu ia berikan padanya melalui salah satu siswanya yang sedang bermain diluar sekolah.
Setelahnya ia kembali.
“Den … Non Halimah hilang, semua warga sibuk mencarinya!” Darmin mengabarinya lewat telepon.
Rhandra bergegas, ia tinggalkan telepon yang masih tersambung diujung telepon Darmin berteriak-teriak memanggil namanya.
Dari Magetan, Mobil yang dikendarai Rhandra melaju cepat menuju Desa Poncol, tempat Gedong tua berada. Rhandra sangat yakin Halimah berada disana. Matanya fokus kedepan memperhatikan setiap hambatan yang melintas dihadapannya, Rhandra panik kekhawatiran membuncah didalam dadanya.
Tiba di Gedong tua hari sudah malam, waktu menunjukkan pukul 7 malam lewat 28 menit, sepeda Halimah terlihat tergeletak di halaman. Rhandra bergegas, ia mencari Halimah disetiap sudut ruangan, pencariannya pun terhenti di kamarnya di lantai tiga.
Halimah tak sadarkan diri saat ia datang, keadaan Halimah sangat mengkhawatirkan, pakaian yang ia kenakan tadi pagi penuh dengan debu, hijabnya yang berwarna merah muda sudah berantakan tak menentu, wanita itu tergeletak meringkuk diatas lantai.
Dengan penuh rindu juga kesedihan ia cium kening istrinya, peluh diwajahnya ia usap dengan lembut. Ia sandarkan tubuhnya dilantai, kakinya diluruskan ia peluk istrinya untuk beberapa menit, di kedua sudut matanya menetes air, Rhandra menangis ia menangisi keadaannya dengan Halimah. Tak lama ia ambil tasnya, dan membopongnya. Tubuh Halimah begitu ringan dari sebelumnya, entah sudah berapa lama ia tak makan, mulutnya kering tak seperti biasanya. Halimah terlihat sengsara. Rhandra merebahkan tubuhnya di kursi belakang mobilnya , ia membawa Halimah pulang bersamanya.
Senja itu setelah kepergian Halimah, Ia meratapi kesedihannya, ia menarik nafas panjang, ia yakin bahwa Halimah adalah wanita kuat yang mampu melepas kepergiannya.
Sinar senja yang berwarna kemerahan menyinari wajahnya. Jendelanya menghadap persis ke arah barat, saat senja laki-laki ini bisa melihat langsung bagaimana matahari tenggelam.
Rhandra masih duduk bersandarkan tempat tidur. ia menekuk lututnya kedua tangannya ia letakkan diatasnya. Air matanya kering, nafasnya sudah mulai teratur.
“Makan dulu Den ….” Sum datang membawa makanan serta obat yang harus ia minum, ia meletakkannya di atas Nakas.
“Keluarkan itu Mbok.”
Sum melihatnya, sorot matanya begitu tajam. Katup matanya membesar karena kesedihan yang ia rasakan.
“Den …” sapa Sum, seraya duduk dibawah mengikutinya.
“Tadi si Mbok, ikut mengantar Non.”
Rhandra diam ia tak merespon, sorot matanya masih menatap kedepan, tangan juga tubuhnya tak bergeser sedikitpun.
“Non Halimah, seperti tak bernyawa Den …. Air matanya sudah kering, si Mbok khawatir dia ….”
“Dia punya Tuhan, Mbok!” terdengar parau dan bergetar suaranya.
“Seseorang masih bisa punya Tuhan Den, tapi belum tentu semangat hidup.”
“Tuhan hanya sebuah alasan baginya untuk tidak membunuh dirinya lebih cepat. Tanpa adanya semangat hidup, seseorang akan lebih mudah mendekati bahaya, yang ada dalam pikirannya hanya kematian, ketenangan ….”
“Dia akan mendapatkannya Mbok, Haikal laki-laki yang baik ia pantas untuk Halimah.” Rahangnya bergemeletuk dengan wajah memerah. Jelas terlihat kecemburuan di kilatan matanya.
“Aden sendiri?”
“Saya? kenapa dengan saya? Saya hanya tinggal menunggu kematian, bukankah itu yang Dia (Tuhan) inginkan. Membuat saya lahir kedunia, menjadikan sampah yang tak ada nilai, lalu mengambilnya kembali!”
“Apa Aden sanggup hidup tanpa Non?” tanya Sum, air mata menetes di pipinya.
Rhandra diam, mulutnya bergetar.
“Sepertinya yang Non Halimah rasakan sama dengan yang Aden rasakan. Haikal tidak akan bisa membuatnya tersenyum Den, sepanjang jalan ia hanya terus mengucapkan kematian.”
“Saya harus bagaimana, Mbok? apa saya harus menghancurkan hidupnya? wanita itu berhak hidup bahagia!” Rhandra berbalik, sorot matanya tajam tangannya meremas tempat tidur disebelahnya.
“Pikirkan baik-baik Den, Non Halimah mungkin bisa mati lebih cepat dari Aden, seseorang yang sudah memiliki penyakit bertahun-tahun ….” Sum bangkit, ia keluar dengan perasaan haru dan memelas. Melihat dua insan yang saling menyiksa diri seperti ini seperti mengiris hati, tak sanggup berbuat apa-apa hanya menunggu kabar duka diantara keduanya.
Rhandra kembali menangis, ia sandarkan kepalanya di atas tangan. Perasaan cinta juga khawatir menyeruak didalam dada.
“HAAAAAA!” teriakkannya terdengar hingga keluar, ia keluarkan balutan emosinya.
Bersambung #8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel