Kata ‘membebaskan’ yang terucap di mulut Rhandra begitu menusuk jantungnya. Halimah masih diam, ia terus menerus menyangkal perkataan Rhandra kepalanya menggeleng berulang kali, air matanya kering, sorot matanya kosong tak berisi.
Wanita itu terus merenung di kamarnya, wajahnya berpangku pada tangan diatas lututnya, ia masih termenung memikirkan Rhandra dengan penyakitnya, memikirkan dirinya yang hancur akan perasaanya, Rhandra lebih berarti dari apapun, ia begitu berharga untuknya.
Tak peduli seberat apapun penyakitnya Halimah hanya ingin bersamanya, bernafas untuknya, menghabiskan sisa usianya bersama Rhandra suaminya.. Halimah tak setegar seperti saat Haikal mengatakan membebaskannya. Kali ini ia hancur.
Air mata Dasinun meleleh, ia menyaksikan jiwa yang hilang dari jasad Halimah. Halimah hidup namun tak bernyawa, ia bisa mendengar namun tak ingin mendengar. Berulang kali ia mengingat ke masa lalu, mengingat dosa-dosa yang mungkin pernah ia lakukan, sehingga putrinya kini menerima akibatnya.
“Nak, minum dulu.” sapa Dasinun.
“Nak….”
“Halimah, sadar Nak. Apa yang terjadi denganmu?”
Halimah tetap diam, Dasinun menghentakkan bahunya,
wanita itu tetap bergeming.
“Apa yang terjadi denganmu Nak?”
Sebelumnya kemarin, Dasinun sibuk mencarinya. Halimah tidak pulang, Dwi juga Sur turut larut dalam pencarian. Setiap rumah Dasinun ketuk hanya untuk menanyakan keberadaan putrinya.
Malam itu pun Dwi pergi menemui Haikal dirumahnya, Haikal juga beberapa warga desa turut membantu Dasinun untuk mencari Halimah. Mereka pun mengunjungi Gedong tua, ia menemukan sepeda Halimah disana, namun setelah mencari hingga keseluruh penjuru Gedong tua, mereka tak jua menemukan Halimah.
Berita kehilangan Halimah pun tersebar hingga ke desa sebelah. Berita tentang pernikahan Halimah dengan arwah Rhandra Abyakta makin menguat setelah ditemukan sepeda Halimah di Gedong tua.
“Istighfar Nak….”
“Halimah, istighfar….”
Halimah tetap bergeming, hidupnya terasa hampa. Yang ia ingin kan hanya Rhandra, ia ingin Rhandra kembali untuknya, tak peduli seberat apapun penyakitnya asal Rhandra bersamanya, tak peduli berapa lama lagi usia Rhandra, Halimah hanya ingin bersamanya.
Siang menjelang, Halimah tak juga sadar. Ia terus duduk diam, entah kemana arah pandangannya. Halimah tak mau makan juga minum.
Haikal datang, tak lama setelah ia memarkirkan mobilnya. Sur berlari ke arahnya. “Mba Halimah sudah pulang Mas.”
Senyumnya merekah, Haikal menarik nafas lega. Ia berlari ke dalam. Dasinun menyambutnya dengan wajah yang penuh dengan rasa cemas.
Atas seizin Dasinun, Haikal bisa masuk melihat Halimah di kamarnya. Halimah terlihat duduk diam di ujung tempat tidurnya, dua lututnya menempel di dadanya, sorot matanya kosong dan hanya ada kesedihan di dalamnya.
Haikal duduk disamping tempat tidurnya. Menatap wajah wanita yang kini genap berusia 24 tahun, kecantikannya tidak larut meskipun kesedihan melanda dirinya.
“Halimah ….”
“Halimah, apa apa denganmu?”
“Halimah, apa yang terjadi denganmu di Gedong tua? apa kamu bertemu dengan Rhandra?” Hati-hati Haikal bertanya, melihat keadaan Halimah yang sangat mengkhawatirkan baginya.
Karena Haikal adalah satu-satunya alasan Rhandra berani meninggalkan Halimah. Rhandra berfikir hanya dengan Haikal, Halimah bisa bahagia. Hati halimah sesak memikirkannya. Haikal ada dekat dengannya, namun tak ada kebahagiaan dihatinya secuil pun.
Ujung bibir Halimah tertarik ke atas, senyum sinis tersungging. Dengan sorot mata penuh kebencian.
“Kenapa kamu begitu peduli denganku mas? Aku tidak butuh perhatianmu, menjauhlah dariku. Perlu berapa kali Aku harus memintamu untuk pergi dariku? Halimah dengan suara berat tertahan.
Haikal menarik napas. Ia merasa takut melihat ekspresi wajah Halimah. Atau mungkin merasakan kekhawatiran yang amat dalam padanya.
Dasinun mendengar perkataan Halimah pada laki-laki yang sudah banyak membantunya.
“Nak, kamu tidak boleh bicara seperti itu. Semalaman Nak Haikal mencarimu.”
Halimah bergeming, Dasinun datang membawa kan air putih untuk Haikal.
Wajah Halimah memerah, badannya berkeringat dan menggigil.
“Kamu baik-baik saja Halimah?” tanya Haikal.
Dasinun merespon, ia pegang dahi juga tubuh putrinya. Halimah demam, ia mengigil namun berusaha untuk menahannya.
“Kamu sakit Nak, sebentar ibu cari obat”
“Halimah kita ke rumah sakit?” bujuk Haikal
Wanita itu masih diam. Dasinun panik, ia mengambil jaket juga dompet yang ia simpan di lemari.
“Ayo Nak, kita ke Rumah sakit saja.”
“Tidak usah, Bue ….”
“JANGAN MENOLAK! Bue sudah sabar dengan kelakukan mu!” rutuk Dasinun pada Halimah.
Halimah lemas tak berdaya, tubuh itu lunglai kedua kakinya tak sanggup menahan tubuhnya.
Haikal mengantar Dasinun juga Halimah menuju Rumah sakit. Sore itu mereka memeriksa kondisi Halimah yang sudah tak bertenaga.
***
“Kurang istirahat, kurang makan, ada sedikit lebam di kepala itu yang menyebabkannya demam. Jika panasnya tidak turun dalam tiga hari, datang lagi ya”
Dasinun berbincang dengan dokter yang mejanya tak jauh dari tempat ia berbaring. Dokter wanita itu terlihat sangat sibuk, antrian pasien menumpuk hanya untuk ia periksa. Ia sekedar menyimpulkan lalu memberikan resep obat.
Diatas ranjang, Halimah terus menatap Dokter yang baru saja merawatnya, beribu pertanyaan mendadak muncul di pikirannya.
“Tidak ada masalah serius kan Dok?” tanya Dasinun khawatir.
“InsyaAlloh Tidak ada, bu. Silahkan bu, pasien lain sudah menunggu.”
“Terimakasih Dok.”
Dasinun memapah Halimah, mereka menuju keluar ruangan. Pintu menuju keluar hanya satu, sebuah kunci menempel di dalam.
Dasinun keluar, tak lama Halimah merampas dompet dari tangannya, ia masuk kembali dan mengunci pintu ruangan.
“Kamu mau apa? SUSTER!” teriak Dokter panik melihat Halimah. Wanita itu sudah tersungkur dibawah karena lemah.
“Halimah!” teriak Dasinun dari luar seraya menggedor-gedor pintu dari luar. Tak hanya Dasinun, beberapa suster diluar pun geram akan prilaku Halimah.
“Saya mohon Dokter … Berikan saya waktu untuk bertanya.”
“Tidak ada masalah serius dengan penyakitmu! Pasien lain banyak yang menunggu saya mohon!”
“Kali ini saja dok, saya tidak punya uang banyak, saya
mohon.” tutur Halimah, kondisinya sangat mengenaskan wanita itu duduk dibawah seraya menangis. Ia menunjukkan beberapa uang kecil dari dompet ibunya.
Dokter itu terenyuh, ia mendekati Halimah dan memegang pundaknya.
“Katakan.”
“A ... Ap … Apakah HIV bisa disembuhkan?”
“Sampai saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkannya.Mbak, namun ada Obat yang bisa mengurangi perkembangan virus dalam tubuh penderita HIV” Hati Halimah hancur mendengarnya.
“ … Apakah penderita HIV bisa hidup normal?”
“Bisa … Selama ia mengkonsumsi obat ARV dengan baik juga tepat waktu, ia harus memiliki seseorang untuk terus menjaga waktu pemberian obat. Sebisa mungkin tidak boleh telat. makanannya harus dijaga, sebisa mungkin tubuhnya harus dijaga dari luka, sayatan pisau, atau apapun itu, jika luka harus segera diobati. Karena seorang ODHA sistem kekebalan tubuhnya sudah rusak.
ODHA juga bisa berkeluarga. Mereka juga bisa memiliki keturunan. Meskipun belum ada obat yang bisa menyembuhkannya, tapi penderita ODHA masih memiliki satu kesempatan agar ia bisa sembuh.”
Halimah terperangah jawaban dokter membuka pemikirannya, Rhandra masih bisa bekeluarga laki-laki itu masih punya harapan untuk memiliki keturunan.
“Apa itu dok?” tanya Halimah.
“Alloh mba … Hanya Alloh yang memberikan penyakit dan Allah juga yang maha menyembuhkan.”
“Mba siapapun yang menderita HIV dikeluarga mba, saya turut simpati. Sebaiknya, penderita HIV harus melaporkan diri ke dinas setempat, mengingat warga desa kita yang masih awam akan informasi dikhawatirkan akan ada tindakan diluar dari kemanusiaan, dan di Desa kita sudah sering terjadi. Ada lagi yang ingin ditanyakan mba?
“T …terimakasih Dokter, terimakasih.”
“Bawa saja uangnya.”
Dokter itu membantu memapahnya, dan membuka pintu yang ia kunci. Dasinun juga Haikal terlihat panik. Semua pasien yang mengantri mencibirnya, tak sedikit yang mengatakannya tak waras.
Mendengar jawaban dokter akan pertanyaan, membuat Halimah semakin yakin untuk tetap bertahan dengan Rhandra. Cintanya tulus, ia ingin Rhandra terus bisa bersamanya. Ia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama Rhandra. Dokter benar, bahwa obat dari segala macam penyakit hanya Alloh.
Halimah bangkit, ia harus yakin Alloh akan menyembuhkan penyakit suaminya. Ia harus yakin, Rhandra bisa berubah dan sembuh.
Haikal mengantarnya pulang. Seribu pertanyaan menganggu pikirannya. Keanehan sifat Halimah setelah hilangnya ia kemarin, membuat Haikal semakin bertanya-tanya.
‘Rhandra Abyakta dimana kau?’ tanya Haikal di hatinya.
Mereka sampai, Dasinun memapahnya masuk ke dalam. Haikal pamit, ia mulai mencari tahu lebih dalam tentang keberadaan Rhandra. Perubahan sikap Halimah hari ini membuatnya yakin, kemarin adalah hari yang paling menyedihkan baginya.
Halimah bagai kehilangan nyawa. Jasadnya hidup namun nyawanya sudah mati. Seseorang telah mematikan hatinya.
***
Halimah membuka mata, Obat dokter telah cukup membuatnya tidur nyenyak untuk beberapa jam lamanya. Lehernya masih sedikit sakit dan kepalanya masih berputar-putar. Wanita itu membuka jendela, hari masih malam. Ia menuju kamar mandi, ia basuh wajahnya dengan penuh haru.
Ia bentangkan sajadah di hadapannya. Tahajud adalah jawaban dari kegundahannya, selepas sholat dengan penuh tenaga juga haru dan rasa Takdzim pada sang Khalik, wanita itu mengadahkan tangan.
“Ya Alloh … Izinkan hambamu mengeluh, hamba sudah tak sanggup menopang air mata juga menahan perihnya dada ini. Alloh … Mengapa cinta ini begitu berat, kenapa kau tanamkan cinta ini jika akhirnya harus berakhir. Aku tak sanggup berpisah dengannya ya Alloh, jika kematian bisa membawaku bersamanya di Surgamu … Aku ikhlas ya Alloh, mungkin akan lebih baik jika aku menunggunya disana bersamamu dalam pelukmu,….” Halimah menarik nafas, nafasnya tersengal-sengal.
“Ya Allah … Sembuhkanlah penyakit Rhandra Abyakta, tunjukkan keadilanMu dimatanya, laki-laki itu tak bersalah ya Alloh … Aku merindukannya … Aku rindu suamiku ya Alloh …” Halimah menutup matanya dengan tangan, air mata sudah penuh mengisi matanya. Ia mengangkat jari telunjukknya dan terus berdoa … Allahuma ya Alloh sembuhkan suamiku … Sembuhkan Rhandra, Allahuma ya Alloh sembuhkan penyakitnya … Hilangkan virus itu dalam tubuhnya … Sem …”
Halimah bersujud, tangisannya pecah dalam sujud.
Dasinun membuka pintu kamar putrinya. Halimah roboh, wanita paruh baya itu menghampirinya, Ia angkat tubuh Halimah dari sujudnya.
“Kesini Nak ….” Ia pindahkan kepala Halimah ke dadanya.
Ia usap dahinya yang basah.
“Sayang, anak Bue … Masih ingatkah kamu Nak, saat kamu dulu menangis? Bue akan mencubit pahamu, karena tangisanmu yang sulit dihentikan. Apa perlu Bue melakukan itu? Hati Bue sakit Nak, melihatmu seperti ini … Katakan pada Bue, apa yang terjadi denganmu?”
“Halimah mencintai Rhandra Bue … Kemarin dia meminta Halimah untuk pergi, Bue benar Rhandra mengidap penyakit HIV, tapi itu tidak menyurutkan cinta Halimah padanya sedikitpun, halimah harus apa Bue … Dia pasti membutuhkan Halimah disisinya, dia sangat egois menyimpan penyakit juga deritanya selama ini, bukankah suami istri harus berbagi kebahagiaan juga kesedihan? kenapa nasib Halimah seperti ini Bue ?”
Dasinun diam, entah ia harus percaya atau tidak. Dasinun belum bisa memutuskan, wujud Rhandra sama sekali tak ada di bayangannya. Ia hanya tau laki-laki yang selalu datang untuknya adalah laki-laki bernama Haikal.
“Sabar Nak …” Dasinun menciup keningnya. Ia peluk putrinya erat.
Halimah terjaga hingga pagi, selepas sholat subuh Halimah bersiap-siap, baju kurung berwarana hitam ia pilih untuk mewakili perasaannya, kerudung hitam membuat wajahnya terlihat terang. bibirnya pucat, begitupun sekitar pupil mata putih bersih.
“Kamu mau kemana Nak?”
“Halimah mau ngajar Bue ….”
“Kamu masih kurang sehat, Nak!”
“Halimah sudah lebih baik Bue.” Jawabnya, senyum tipis itu akhirnya keluar dari wajahnya.
“Kalau begitu biar tunggu Nak Haikal, dia akan mengantarmu.”
“Tidak usah Bue … Biar Halimah naik sepeda.”
Wanita itu bersiap, dikenakannya kaus kaki di ruang depan. Cemas dan khawatir menguasai perasaan Dasinun.
Fajar menyingsing, Halimah kembali mengayuh sepedanya. Ia berangkat lebih pagi dari waktu biasanya. Udara dingin menusuk hingga ke kulit ari, wanita itu tersenyum seperti tak ada masalah yang menimpanya. Beberapa wanita mencibir saat melihatnya, Halimah bergeming ia membalas sorotan mata tajam mereka dengan senyuman.
Halimah berhenti, seorang wanita paruh baya terlihat kesulitan membawa gabah padi di pundaknya, ia membantu membawanya hingga ke gerobak. Beberapa yang melihatnya tetap nyaman dengan cibiran.
“Matur nuwun, Nduk.”
“Nggih Mbok, Assalamualaikum.”
Halimah tersenyum, ia lanjutkan lagi perjalanannya ia berharap kebaikan yang ia lakukan bisa Allah ganti dengan kesembuhan Rhandra. Sampai di Surau, beberapa orang tua murid terlihat berkumpul di halaman Yayasan. Halimah memarkirkan sepedanya, ia berjalan pelan ke arah mereka. Sorot mata tajam juga sinis mereka lemparkan menyambut kedatanganya.
“Bu Ibu … Menunggu siapa?” tanyanya lembut, pundaknya ia bungkukkan memberi rasa hormat.
Mereka bergeming, tak menjawab.
“Halimah … Ayo masuk !” Teman mengajarnya menarik lengan Halimah.
“Halimah, mereka mendesak agar kamu tak mengajar anak-anak lagi.”
“Kenapa?” raut wajahnya berubah. Anak-anak adalah satu-satu harapan kebahagiaan baginya.
“Kita tunggu Pak Haikal saja, biar ia yang menjelaskan pada mereka. Sekarang kamu tunggu saja di kantor.”
Halimah menunggu, mereka tak mengizinkan Halimah memegang anak-anak hingga Haikal datang. Tak lama Laki-laki yang mereka tunggu datang. Ia duduk di tengah bersama ibu-ibu yang menuntut berhentinya Halimah sebagai guru.
“Mohon maaf bu … Saya tidak bisa memberhentikan Bu Halimah, dia adalah guru yang rajin disini, anak-anak juga senang dengan kehadirannya.”
Halimah mendengar dari balik jendela, rasa khawatir memenuhi relung hatinya.
“Kalau begitu, anak-anak kami yang akan keluar dari sini. Kami tidak mau anak kami diajar oleh seorang wanita yang melakukan praktek penyugihan! Menikah dengan Setan!”
“MasyaAllah itu fitnah bu …,” jawab Haikal membela wanita yang ia cintai.
“Saya akan berhenti Bu Ibu, terimakasih sebelumnya. Mohon jangan berhentikan anak-anak dari sini, Tempat ini adalah tempat terbaik dari kesekian banyak lembaga di Desa kita.” Halimah keluar dari ruangannya, ia mengutarakan isi hatinya.
“Halimah!” Haikal mencoba menghalanginya.
“Nggak apa-apa Mas.”
“Saya memang sudah menikah Bu Ibu, tapi bukan dengan Setan, dan saya pun tak pernah melakukan praktek penyugihan.” Lanjutnya tenang.
Halimah pamit, wanita itu meninggalkan Surau dengan berat hati. Tak tahu kemana lagi kaki akan membawanya. Wanita itu hanya menuruti setiap langkahnya. Halimah naik kesepedanya, ia kembali menuju pulang. Ia nikmati angin yang berembus ke wajahnya, harapan da asanya sudah pupus sejak Rhandra memutuskan berpisah dengannya.
Ia memberhentikan sepedanya di sebuah jembatan. Ia memandang kebawah, sorot matanya kosong, tak ada yang ia lakukan, ia hanya melihat air yang mengalir dari pengunungan menuju ke kota.
Halimah pijakkan kakinya, ke salah satu anak pagar jembatan, ia bentangkan ke dua tangannya. Embusan angin membuat dirinya lebih tenang dan nyaman.
“APA YANG KAMU LAKUKAN!” rutuk seseorang seraya menangkap tubuhnya. Sorot matanya tajam, laki-laki itu kini memeluk tubuhnya.
“Rhandra ….” Suaminya mengenakan pakaian serba hitam, kemeja gombrong lusuh berwarna hitam, dan jeans hitam.
Rhandra diam, ia mengalihkan pandangannya.
“Aku tahu kamu akan datang, aku tahu kamu selalu memperhatikanku, aku tahu kamu begitu peduli padaku, karena aku tahu kamu begitu mencintaiku, berapa harga nyawamu? 1 hari? 1 minggu? 1 bulan? 1 tahun? 10 tahun … katakan? setiap manusia punya harga akan kematiannya, kamu tidak bisa menakarnya. Kamu tak perlu khawatir Rhandra, aku tak akan bunuh diri. Biar Alloh yang menjemputku dengan tanganNya.”
“DIAM!” teriakan Rhandra, sudah lama tak terdengar di telinganya. Teriakan yang seketika membuat aliran darahnya lambat, dan detak jantungnya melemah.
“Aku lelah denganmu Rhandra … Pergilah jika kamu mau!”
Kedua pasang mata itu saling menatap, sesaat suasana menjadi hening. Keduanya terpaku untuk waktu yang cukup lama.
Halimah melepaskan tangan Rhandra yang masih menempel erat di perutnya. Ia mengambil sepedanya, dan meninggalkan Rhandra. Dari jauh ia melihat tubuh Halimah meninggalkannya. Kali ini Rhandra benar-benar merasa di tolak, seperti yang pernah Halimah lakukan dulu. Istrinya meninggalkannya dalam kesunyian.
Halimah pasrah, ia lelah mengingatkan Rhandra akan kesetiaannya.
***
Rhandra masuk ke dalam mobil, nasihat Sum terus melintas di kepalanya. Halimah menantangnya, ia bisa lebih nekat darinya. Cukup lama ia termenung di dalam, wajah Halimah yang sinis padanya terus terlintas di pikirannya.
Ia kembali pulang menuju rumah yang ia sewa di kota Magetan. Rhandra selalu meminta Darmin untuk berganti tempat dengannya, perhatian Rhandra pada Halimah tak akan luntur. Mungkin ia pun juga sudah menyadari, bahwa selama ini ia terus mengawasinya. Hati Rhandra pun hancur , Halimah tak pernah tahu bagaimana penyakit itu menyiksanya, diasingkan, dihina, dicaci, belum lagi efek rasa sakit, mual yang begitu berat.
Sum menyambutnya, Rhandra terlihat lemah. Ia tergopoh-gopoh berjalan, ia sakit sejak kemarin ia menolak untuk minum obat.
“Den ….”
“Saya ingin istirahat Mbok ….” Rhandra rebahkan tubuhnya di atas sofa.
“Minum obat ya Den, Mbok mohon….”
“Tubuh saya kuat Mbok, penyakit ini mendarah daging ditubuh saya cukup lama … Tidak semua seberuntung saya. Bagaimana dengan Halimah? apa ia akan sekuat saya?”
Sum diam, ia tak mampu menjawab pertanyaan Rhandra.
Dirk Haan pamannya pernah mengatakan bahwa Rhandra adalah anak yang kuat tak seperti anak penderita HIV lainnya, HIV yang dideritanya bisa teratasi dengan baik, Rhandra pun terus dilatih Haan untuk menjaga tubuhnya, ia berolahraga, ia juga memakan makanan sehat sejak ia kecil, ia menjalani semua perintah pamannya.
Anti-retroviral virus pada era 80-an masih sangat terbatas bahkan mungkin tak ada di Indonesia, itulah alasan Haan akhirnya membawa Rhandra pergi bersamanya ke belanda.
Sejak divonis HIV positif, Haan membantu hidupnya dengan hidup sehat dan sebisa mungkin tak sakit. Caranya tergolong berhasil di Belanda negeri asalnya.
Kadang ARV pun jarang ditemukan di belanda, Dokter Haan yang juga pamannya terus memantau kondisi Rhandra agar menjadi lebih baik. Kondisi kombinasi obat Rhandra yang terbatas, memaksa dia untuk juga ikut mengonsumsi obat kanker.
Efek dari obat kanker itu membuat gosong seluruh tubuh, bahkan beberapa teman sekolahnya dulu di Belanda pernah bilang bahwa ia adalah manusia yang dikutuk Tuhan. Itulah kenyataan pahit yang diterima Rhandra selama ia menderita penyakit HIV. Ia pernah mengalami sekarat, , ia pun pernah mengalami diare akut, ia pernah mengalami menurunnya sel darah putih yang drastis dikarenakan virus HIV.
Kondisinya yang memprihatinkan kala itu memaksa Rhandra dan Dirk Haan, untuk melakukan tes resistensi obat di Perancis. Hasil tes mengejutkan, ia resisten terhadap 15 jenis obat, padahal ia baru menggunakan tujuh jenis di antaranya sebagai ARV. Kondisi dia termasuk sangat langka karena dalam waktu singkat, ia sudah resisten. Padahal Rhandra termasuk yang paling disiplin minum obat. Rhandra sekarat.
Dirk Haan pun meyakinkan Rhandra saat ia sekarat, bahwa penyakitnya bukan akhir dari segalanya, Haan menceritakan bagaimana virus itu masuk kedalam tubuhnya, ia pun menceritakan bagaimana Arkadewi ibunya dibunuh secara keji. Haan membuat semangat Rhandra bangkit, ia ingin keponakannya itu terus semangat menjalani hidupnya. Rhandra bangkit, ia kembali ingin hidup.
HIV positif bukan hambatan untuk melanjutkan hidup. Haan sukses, Rhandra hidup selayaknya orang sehat pada umumnya. Penggunaan obat ARV lini dua membuat kondisi virus HIV pada tubuhnya membaik dan tak menjadi ganas, kondisi CD4 pada tubuhnya pun kembali pada taraf normal.
Dengan HIV terkontrol, orang dengan HIV tidak lebih sakit dibandingkan orang yang sehat.
Rhandra, sejak kembalinya ke Indonesia ia sudah bisa menjalani hidup layaknya orang normal, dan ia hanya melakukan pemeriksaan ke rumah sakit hanya dua kali dalam satu bulan.
“Aku mungkin bisa … Tapi kamu? Aku khawatir kamu tak kuat Halimah, aku tak kuat jika harus kehilanganmu, melihatmu saja sudah cukup membuatku bahagia, aku tak ingin melihatmu mati karena darahku yang kotor, darah mu begitu suci Halimah, tak patut aku menodainya.” bisik Rhandra, laki-laki itu terus meratapi nasibnya. Cintanya pada Halimah membuatnya semakin hancur, dia mungkin memiliki hati untuk mencintai Halimah, namun ia tak punya hati untuk menyakitinya.
*****
CINTA SEJATI
Wanita itu begitu mencintai suaminya, melihat penolakan, sorot mata yang tajam, suara yang menggelegar membuat hatinya rapuh. Sesampai di rumah, Halimah tak bicara banyak pada Dasinun, ia memilih untuk diam. Wanita itu menjalani hari-harinya dengan sorot mata kosong tak ada arti. Ia membantu Dasinun, dengan kondisi yang ia paksakan. Tubuhnya lemah, kepala nya sakit. Ia biarkan tubuhnya habis di makan lelah atau sakit.
Sementara jauh di sana. Laki-laki bernama Haikal pun menyesali atas kepergian Halimah dari Surau. Ia tak bisa berbuat banyak, usahanya untuk membuatnya tetap di yayasan tak berhasil. Halimah sendiri yang meminta untuk mundur.
Kebahagiaan di wajah Halimah tak dapat ia raih, laki-laki itu kini merasa semakin jauh dengan Halimah. Wajah sinis halimah masih terbayang dipikiran. Haikal semakin penasaran dengan apa yang terjadi pada Halimah. Laki-laki itu untuk kedua kalinya mencari jejak akan Rhandra Abyakta. Ia semakin yakin, bahwa laki-laki yang diceritakan Halimah adalah nyata.
Siang itu Haikal pergi menuju Gedong tua, ia lihat makam Rhandra, juga beberapa makam lainnya disana. Kenapa Ayah Haikal begitu yakin, bahwa Rhandra telah meninggal, dan ia begitu yakin anak yang ia rengkuh adalah Rhandra. Haikal edarkan pandangan ke setiap sudut makam, ia melihat setiap nama yang tertera di setiap makam. Disebelah Makam Rhandra persis, makam Arkadewi ibunya, dan diantara mereka tertulis beberapa nama desa yang dijadikan satu dalam sebuah makam besar.
Ia semakin penasaran, Haikal masuk ke dalam Gedong tua, ia langsung naik ke lantai tiga, ia tahu hanya ruangan ini yang hidup saat terakhir ia datang. Ia bongkar ranjang, setiap nakas ia buka, ia buka lemari, meja kerja Rhandra tak luput ia periksa. Haikal melangkah, sebuah keramik kosong terasa di ujung kakinya. Haikal menunduk, ia ketuk keramik yang berada persis dibawah kakinya. Haikal membukanya, ia terperangah beberapa kertas tertinggal disana. Sebuah hasil pemeriksaan hasil tes darah terlihat disana, bertuliskan nama Rhandra Abyakta usia 31 tahun dan positif HIV.
Haikal ambruk, benar Halimah. Laki-laki itu belum meninggal, Haikal murka bagaimana laki-laki yang jelas terinfeksi HIV itu tega menikahi Halimah. Laki-laki itu menarik nafas, ia memikirkan nasib Halimah kedepannya. Namun akalnya tak sanggup, ajaran agama melarang untuk seseorang mendekati istri orang lain, berharap saja pun tak boleh.
Haikal pulang dengan perasaan tak menentu, cinta dan kesedihan Halimah seperti berada di pelupuk matanya. Wajah Halimah selalu terlintas di pikiran, mengetahui kabar bahwa Halimah sudah dinikahi Rhandra, hati Haikal hancur. Jika memang Halimah resmi menikah dengan Rhandra, sudah semestinya ia terkena efek penyakit yang sama. Namun sejak Haikal mendekati Halimah, ia tak menemukan sedikit pun petunjuk yang mengarah kesana.
Haikal terjaga, ia tak pulang. Ia pergi menuju rumah Halimah, laki-laki itu tak keluar dari mobilnya, ia hanya diam memperhatikan rumah Halimah, air mata mengalir menangisi penyesalannya. Ia ingin melihat Halimah keluar dan menyambut hati yang selalu terbuka untuknya.
Menjelang pagi, laki-laki itu belum beranjak dari tempatnya. Pikiran Haikal terus membayangkan nasib wanita yang teramat ia cintai dan ia kagumi. Penyesalan di hati begitu besar. Seandainya ia percaya pada Halimah, dan tetap menikahinya mungkin Halimah tak akan semenderita ini. Bagaimana bisa Halimah menikahi seseorang yang jelas-jelas memiliki virus hina pembunuh di dalamnya, mengapa Allah memberikan cobaan itu untuknya. Haikal terus memikirkan nasib hati juga nasib Halimah, ia ingin bertemu Rhandra dan meluapkan emosi padanya.
Sementara itu cahaya bulan yang merekah masuk ke dalam kamar Rhandra Abyakta menemaninya terjaga. Perkataan Halimah sangat menusuk hati. Wanita itu sudah mulai pasrah dengan keadaan mereka, dengan hubungan mereka. Di bawah sinar rembulan, laki-laki itu menatap bulan, sorot mata sinis, ‘pergilah jika kamu mau’ membuat nafasnya sesak. Mata sulit terpejam, hati sulit berkompromi, Rhandra oleng memikirkan Halimah.
Tak lama pintu kamarnya terbuka, Darmin melihat Rhandra duduk diatas ranjangnya, sejak pagi menurut Sum ia tak tidur, tak makan bahkan minum obat. Tubuhnya sudah mulai drop, laki-laki di hadapan Darmin hancur. Wanita yang menjadi harapan baginya, sudah mengikhkaskan kepergiannya.
“Den ….”
Rhandra diam, bibirnya pucat, katup matanya gelap. Darmin menarik tubuhnya, ia rebahkan tubuh Rhandra di dada. “Wanita itu … Dia sudah setuju ku tinggalkan.” ucapnya lemas. Rhandra berdehem, batuk dan terlihat roboh.
“Heh … Dia memintaku pergi!”
Ucapan halimah tadi siang begitu menghujam jantungnya. Tak ingin menyakiti namun tak sanggup ditinggalkan itu lah Rhandra. Laki-laki itu rapu, semangat hidupnya hilang. Laki-laki itu bangkit. Rhandra limbung. Sesekali menarik nafas panjang, ia berjalan ke arah luar.
“Antarkan aku Darmin, aku ingin lihat dia untuk terakhir kali. Setelah ini, biar aku nikmati sakit ini. Aku sudah muak dengan semua, Puspa, kematian ibuku, aku tak peduli lagi.”
Darmin menahan air matanya. ‘Selamatkan ya Allah … semangat anak laki-laki ini.’ gumam Darmin dalam hati.
“Den …” sapa Sum, wanita itu begitu khawatir melihat kondisinya.
“Setidaknya makan dulu Den,” pinta Sum memohon.
“Ayo Darmin!” Ia tak menghiraukan permintaan Sum, laki-laki itu terus melanjutkan langkahnya.
Rhandra beranjak dari Rumahnya, Ia tahu Halimah sudah bangun sebelum matahari terbit, malam ini pukul 3 malam Ia keluar dari rumahnya menuju rumah Halimah. Sesampainya, Rhandra turun dan meminta Darmin untuk menjemputnya. Laki-laki itu gundah, ia berharap suara hati Halimah bangun untuk melihat ia di luar. Ia berjalan mondar-mandir di muka rumah Halimah.
Belum ada suara gemiricik air seperti biasanya. Sepi. Rhandra merebahkan tubuhnya di sisi tembok belakang rumah Halimah.
Haikal terperangah, Seorang laki-laki bertubuh tegap dan jangkung keluar dari mobil, ia mengenakan jaket tenun berrwarna hitam, rambutnya ia ikat kebelakang terlihat sibuk di depan rumah Halimah.
Haikal keluar dari mobil, ia berjalan pelan menuju laki-laki yang kini bersandar di balik tembok rumah Halimah. Kecurigaan Haikal, bahwa itu adalah Rhandra sepertinya benar. Laki-laki itu terlihat lemah, katup di matanya hitam, bibirnya pucat, ia bersandar seraya memejamkan mata.
“Rhandra!” Rhandra terperangah, pagi itu akhirnya ia bisa bertatap muka dengan Haikal. Rhandra bergeming, ia bangkit dari tempat ia bersandar. Sorot mata tajam ia arahkan ke Haikal.
“Kamu benar Rhandra kan?” tanya Haikal kembali, laki-laki itu maju melangkah mendekat ke tubuh Rhandra.
Rhandra bergeming. Ia biarkan pertanyaan itu tergantung.
“Bugg! sebuah pukulan telak baru saja diarahkan ke wajah Rhandra.
“PENGECUT!” teriak Haikal.
Rhandra diam, ia mengusap luka di bibir akibat tampolan keras Haikal. Ia bangkit dan menarik nafas.
“Kamu mau apa?” decik Rhandra.
“KENAPA KAMU MENIKAHI DIA! BRENGSEK!” tampolan kedua diarahkan lagi ke wajah Rhandra. Rhandra tak menghindar, ia biarkan Haikal menghabisinya. Ia biarkan pukulan itu sebagai penyesalan akan putusan Rhandra untuk menikahi Halimah.
“PENYAKIT ITU! KATAKAN?! Apa sudah mengancam hidup Halimah?” Dengus Haikal, Haikal menarik pakaian Rhandra.
Rhandra bergeming, “HAAA!” Teriak Haikal murka, seraya memberikan pukulan telak ke tiga pada Rhandra. Rhandra tersungkur ke tanah, pukulan kali ini begitu keras. Tubuh Rhandra yang lemah itu ambruk, Rhandra tak sanggup membalas semua pukulan telak darinya. Ia biarkan laki-laki itu meluapkan emosinya, ia sadar bahwa permintaan dia untuk menikahi Halimah didasari dari sebuah dendam yang salah.
“Bunuh saya … dan nikahi dia!” rutuk Rhandra, wajahnya berdarah-darah karena pukulannya.
“BRENGSEK!” Pukulan ke empat hendak dilayangkan.
“CUKUP!” suara Halimah terdengar. Pukulan itu berhenti didepan hidung Rhandra. Wanita itu menyaksikan suaminya tersungkur ditanah, mulutnya berdarah. Halimah berlari ketubuh Rhandra, wanita itu menangis, ia usap darah di wajah Rhandra, nafas Halimah tersengal-sengal. Hati Halimah sakit. Rhandra menatap mata Halimah, Rhandra payah, tubuhnya lemah, nafasnya begitu pendek. Wajah Halimah memerah, ia murka akan perbuatan Haikal.
“Ha … Halimah.” seru Haikal.
Halimah menoleh, sorot matanya tajam pada laki-laki yang dulu pernah singgah dihatinya.
“HENTIKAN MAS! Berhentilah mengejar-ngejar aku, berhentilah perhatian denganku, aku tidak pernah mencintaimu, berapa kali aku harus mengatakan itu agar kamu percaya?” rutuk Halimah,
“Halimah dia …”
“Dia apa ?”
“Dia menderita …”
“Ya dia sakit aku tahu, Aku sangat mencintainya! Dia suamiku sekarang, hidup matiku hanya untuknya, aku akan mati jika dia mati, aku akan hidup selama dia bernafas. Dan kamu tak berhak memisahkan kami, karena kami sudah sah dimataNya. kamu harusnya malu dengan gelar yang kamu sandang!”
Haikal diam, perkataan Halimah begitu telak memukul hatinya. Laki-laki itu menangis, harapan di hati Haikal pupus. Dihadapannya ia melihat cinta yang begitu besar dari seorang Halimah untuk Rhandra.
Halimah mengusap peluh di keringat Rhandra dan mengusap darah yang mengalir di wajah Rhandra. Air mata itu mengiringi pelukan mereka.
“Aku mencintaimu Rhandra … Aku mohon berhentilah menghindar dariku … Aku ingin bersamamu, aku ingin merawatmu, menghindar dariku hanya membuat aku mati perlahan!” Halimah merengkuh kedua pipi Rhandra di tangan, sepasang netra bertemu. Tangisan Halimah pecah, Rhandra terenyuh ia pun begitu mencintai istrinya, ia menyerah ia membalas pelukan Halimah, diatas tanah itu kini dua insan menyatu, alam bertasbih, alam bersujud pada sang Khalik mengangungkan rasa syukur atas pertemuan dua kekasih yang halal di mataNya.
Haikal pergi, melihat mereka hanya membuat luka di hatinya bertambah parah.
Fajar menyingsing, Halimah memapah tubuh Rhandra yang lemah, sudah dua hari laki-laki itu tak meminum obatnya. Ia tak sanggup menahan rindu yang begitu dalam pada istrinya, sejak kepergian Halimah, laki-laki itu selalu menyempatkan diri melihat Halimah dari jauh.
“Halimah … Dia?!” tanya Dasinun penasaran.
“Rhandra ….?” tanya Dasinun.
Putri Dasinun itu mengangguk, keringat di wajah mengucur deras. Pelan Rhandra yang lemah itu menganggukkan kepalanya dihadapan Dasinun. Dasinun menangis, bagaimana bisa keduanya saling mencintai begitu dalam.
“Masuklah ….” Dasinun membantu Halimah, Rhandra lemah, katup matanya hitam terlihat laki-laki itu menanggung sakit juga keresahan akan Halimah dua hari ini.
Halimah merebahkan tubuh Rhandra di ranjang miliknya, laki-laki itu langsung memejamkan mata, dan meringkuk, lelah di tubuh Rhandra seperti sudah memuncak. Halimah bergegas, ia siapkan air hangat untuk suaminya, ia buatkan bubur dengan sedikit sayuran yang tersisa di dapur. Semangat di wajah Halimah kembali pulih. Dasinun melihat anaknya bangkit, nyawa Halimah telah kembali.
“Ini Nak ….” Sebuah handuk kecil diberikan Dasinun untuk Halimah, ia tahu Halimah hendak mengelap tubuh suaminya.
“Terimakasih Bue …”
Halimah masuk ke kamar, Rhandra masih dengan posisinya yang sama. Halimah memasukkan handuk ke bak berisi air hangat, ia peras. Perlahan ia buka tiap kancing di baju Rhandra, Rhandra lemah … “Kamu mau apa?” tanyanya. Halimah bergeming, ia terus fokus ingin membersihkan tubuh suaminya yang penuh dengan tanah. Rhandra bangkit, ia turuti semua perintahnya, pupil mata Rhandra mengikuti setiap gerak tubuh Halimah, Halimah mulai membuka pakaian Rhandra.
Ruam ruam merah nampak di tubuhnya, Halimah tak peduli, ia meneruskan mengelap tubuh suaminya. Wanita itu mengelap tubuh suaminya dengan penuh haru, tanpa air mata, tanpa penyesalan, sorot mata kerinduan membuncah di pelupuk matanya. Hati Rhandra hancur, ketegaran Halimah membuat semangatnya kembali kepermukaan. Halimah bangkit, ia mengelap kaki Rhandra dengan penuh rasa takdzim. Air mata itu tak sanggup ia tahan, setetes air jatuh, Halimah menghapusnya, ia harus kuat agar Rhandra lebih kuat.
Halimah melanjutkan dengan mengambil handuk baru, ia sudah menyiapkan alkohol dan air hangat terpisah, kini ia mengusap wajahnya yang penuh dengan luka. Sorot mata Rhandra terus memandangi istrinya, Halimah terus fokus ia tak ingin menatap sorot mata yang selalu membawa rindu untuknya, setiap luka di wajah suaminya menimbulkan luka yang teramat dalam. Rambut Rhandra yang tak beraturan ia usap, ia rapihkan. Rhandra diam, ia hanya bisa menikmati bagaimana Halimah mencintainya.
Sesudahnya wanita itu bangkit, Ia ambil bubur didalam mangkuk yang masih mengepulkan uap, bibirnya maju meniup-niup uap panas yang mengepul diatas sendok, Halimah menyuapinya, Rhandra dengan senang hati membuka mulut. Bubur habis di lahap, pelan Halimah mengusap bingkai di wajah Rhandra yang basah karena bubur. Kedua mata itu bertemu, setelah sekian lama tak ada sorot mata dendam, amarah, kebencian, luka, rindu, hanya ada cinta di dalamnya. Halimah meraih tangan Rhandra, pupil mata Rhandra bergerak mengikuti gerakannya. Ia cium tangan Rhandra dengan penuh cinta dan rasa takdzim yang amat dalam.
Air mata Rhandra meleleh, akhirnya air mata itu keluar di hadapan Halimah. Nafas Rhandra tersengal-sengal, dadanya sesak. Pagi itu ia menyadari akan keagungan Allah, ia menyadari keadilan Allah sedang berpihak padanya. Ia hadirkan Halimah disisinya, jika Allah mau bisa saja Haikal, laki-laki yang begitu sempurna itu yang mengisi kehidupannya. Rhandra merengek, Halimah meraih kepalanya, ia letakkan di dadanya.
“Terimakasih … Jangan tinggalkan aku Halimah …” Lidahnya begitu berat untuk berucap, hanya Rhandra satu-satunya kekasih bagi Halimah, terlihat di sinar matanya.
Halimah diam, ia tak sunggup berbicara. Mulutnya pun begitu berat untuk terbuka. Mulut mereka beku, tak satu pun kata yang mampu mereka ucapkan, sepasang netra kini bertemu dan saling bicara.
‘Percayalah Halimah, kini dirimu lah yang selalu bertahta di hatiku, aku akan selalu mengiringi setiap langkahmu, kau lah cinta dalam hidup ku Halimah … untuk sisa usiaku’ lanjut Rhandra dalam hatinya.
‘Percayalah … hanya diriku yang paling mengerti kegelisahan dirimu Rhandra, yakinlah hanya aku yang paling memahami bagaimana kecewanya hatimu’ sahut Halimah dalam hatinya.
Hari itu adalah hari terindah bagi Halimah juga bagi Rhandra setelah sekian lama pedih mendera hati mereka. Keduanya terlelap, mereka saling berhadapan, tangan Rhandra melingkar di perut Halimah, begitupun Halimah yang berpangku pada lengannya, kedua hidung saling bertemu. Rhandra lelah sejak pertemuan dirumahnya, saat ia melihat Halimah meronta-ronta memanggil namanya, Rhandra selalu terjaga ia tak bisa tidur, pikiran dan hati selalu berperang. Laki-laki itu tidak tidur selama 36 jam, perih, lelah, ia rasakan dan pagi ini terbayar sudah semua peluh. Rhandra dan Halimah hanya ingin mencinta, ingin berbagi, ingin menangis, ingin tertawa, satu sama lain tanpa ada penghalang diantaranya.
Berpisah dengannya telah membuat Rhandra mengerti, betapa indah dan bahagia hatinya saat bersama Halimah. Halimah adalah cinta dalam hidupnya, kehilangan yang ia dera selama ini menghunus jantungnya. Perih, sakit namun tak berdarah.
Jika malam adalah Rhandra maka bulan adalah Halimah yang meneranginya. Sinar nya mampu menyalakan semangat yang mulai pudar, cahayanya mampu menyalakan hati yang sudah mati. Jika Malam itu pergi maka bulan akan senantiasa mengikutinya. Hidup Rhandra adalah kehidupan bagi Halimah. Mati Rhandra adalah kematian yang nyata untuk Halimah.
Bersambung #9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel