Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 30 Januari 2020

Menikah Dengan Setan #9

Cerita bersambung
*KERISAUAN HAIKAL*
Part sebelumnya :

Haikal kembali pulang dengan kondisi tak menentu, hatinya berusaha untuk ikhlas melepas Halimah, ia tak sanggup melihat air mata Halimah. Halimah begitu mencintai Rhandra sepenuh  hatinya. Laki-laki itu tiba di rumahnya pukul 8 pagi, rumah yang berarsitektur jawa itu nampak elok jika dilihat, rumah tak berpagar namun memiliki halaman yang begitu luas, rumah yang sebagian besar terbuat dari kayu jati, di setiap tiang rumahnya terdapat ukiran-ukiran jawa. Sangat kental dengan budaya jawa.

Dari jauh Haikal melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di depan, Haikal bergegas masuk ke dalam.  Pelan Haikal masuk kedalam, ia limbung. Pikirannya kosong, kekecewaan merejam hatinya.

"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
“Haikal!” sapa Ayah juga ibunya.
Laki-laki itu tersenyum, ia merengkuh ke dua tangan orang tuanya dan meninggalkan mereka tanpa sepatah kata terucap.
Haikal masuk ke dalam kamar, ia merengkuh tubuhnya. Hatinya sesak, ia terlalu terpatri dengan aturan agama yang merundung sikapnya pada Halimah dulu. Saat fitnah zinah melayang pada Halimah, setidaknya Halimah dan penuduh memerlukan dua orang untuk bersaksi, agama mengajarkannya untuk bisa membuktikkan sebuah persaksian akan perzinahan, dan saat itu saksi yang menuduh Halimah bahkan lebih dari dua. Haikal marah dengan dirinya sendiri, ia tak lebih dari mereka yang turut menuduhnya berzinah.

Tangisan Haikal pecah, “HAAAAA!”
“Haikal … Nak!” teriak ibu Anggoro dari luar.
“Haikal, buka pintunya!”

Haikal hancur, Halimah salah mengerti dengan keputusannya. Ia menyesal menggunakan kata melepas. Seharusnya ia katakan memintanya untuk menunggu hingga ia mendapatkan bukti-bukti akannya.
“Halimah … Hanya aku yang mecintaimu, percayalah …”

Haikal merengkuh dan menjambak rambutnya, lagi lagi ia merintih ia berteriak. Hatinya sakit, bahkan gelar Lc seperti tidak ada makna baginya.

Sementara Rhandra, ia masih terlelap di sisi Halimah. Wanita itu beberapa kali bangun untuk mengerjakan sholat, namun Rhandra tak terganggu. Suaminya benar-benar lelah. Ia butuh istirahat untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Halimah duduk di bawah, ia menatap wajah Rhandra yang kian tampan menurutnya. Suaminya tetap terlihat gagah saat tidur. Jari lentik Halimah meraba wajahnya, mulai dari dahi hingga hidungnya yang begitu mancung.

Halimah tersenyum, ia begitu mencintai Rhandra. Sujud syukur berulang kali ia lakukan, ia ingin suaminya mendampingi dirinya untuk selama-lamanya, untuk sisa usianya. Usia berapapun asalkan bisa bersamanya sudah cukup membuat hati Halimah lega.
“Halimah.” Dasinun memanggilya dari luar.
“Ya, Bue.” Halimah keluar, ia mengenakan hijabnya.
“Ada yang mau bertemu,” Halimah menoleh.
Sum dan Darmin sudah berada di muka pintu. Senyum Halimah mengembang, Halimah berlari ke arah Mbok Sum.
“Non …” Sum memeluknya. Halimah menangis, begitu rindunya dia dengan Sum yang selalu senantiasa menjaga Rhandra juga dirinya.
“Ini obat-obatan Aden Non, dia harus minum. Bantu dia agar sembuh …” Sum menarik nafas, tangisannya pecah.
Halimah mengangguk, “Makasih Mbok.” lirih Halimah, akhirnya ia bisa memegang obat yang dulu pernah ia temukan.

“Non, ini HP Aden, ketinggalan di rumah. Jika perlu apa-apa, jangan sungkan hubungi saya.”tutur Darmin.
“Pasti!”
“Kami pamit, Non.” Sum dan Darmin kembali pergi.

Halimah masuk ke kamar. Sum menyimpan dengan baik obat-obatan Rhandra. Sebuah pesan singkat ia tulis didalam untuknya.

“Tidak boleh telat dan tidak boleh tidak Non, harus minoem! Aden tidak minoem obat dan makan sejak Non pergi dari hidup Aden, makanan Aden Non masih ingat ya, jangan berminyak ya Non”

Halimah terenyuh membaca pesan Sum. Hatinya sakit ia tahu Rhandra pun merasakan apa yang ia rasakan. Halimah kini merasa bertanggung jawab atau tubuh suaminya, ia akan berjuang untuk membantu suaminya tetap sembuh.

Halimah kembali ke dapur, ia menyiapkan makan siang yang sudah Dasinun buatkan untuk mereka. Dasinun siang itu membuat sayur rebusan yang akan mereka lalap, dan ada pepes ikan yang sudah ia kukus sebelumnya.

Ini boleh! gumam Halimah. Ia harus membangunkan suaminya, Rhandra harus makan dan minum obat untuk mrmulihkan staminanya.

“Rhandra, Sayang … “ Halimah mengusap pipinya dengan lembut. Rhandra bergeming, ia masih tampak kelelahan. Halimah mendekat ke wajahnya, nafas Rhandra kini terasa di wajah Halimah.
“Rhandra … Rhandra.” Halimah mengecup pipi Rhandra.
“Ehhhem …” Rhandra sadar, pelan  ia membuka mata.
Tubuhnya lemas, bibirnya kering, luka di wajah akibat pukulan keras Haikal sudah mengering. “Halimah.”  sapanya, senyum merekah di bibirnya.
“Rhandra kamu harus makan,”  ajak Halimah, tak ada air mata yang mengalir di pipi Halimah.
“Ayo Rhandra, aku mohon.”
Rhandra bangkit, Halimah membantu tubuhnya bersandar ke tembok. Rhandra sudah lebih baik dari sebelumnya, semangatnya sudah pulih, rasa kantuknya pun sedikit sudah terbayar.
“Aa …” Halimah menyuapinya dengan tangan.
Rhandra membuka mulut, dan membiarkan makanan itu masuk ke mulutnya. Rhandra mengakhirnya dengan segelas air putih. Halimah berbalik, ia menyiapkan obat yang sudah dituliskan Sum untuk ia minum, 14.18 waktu yang Halimah tuliskan di buku catatan, jadwal obat pertama hari ini yang masuk ke dalam tubuh Rhandra.

“Minum ini …”
“Dapat dari mana, kamu?”
“Mbok Sum, tadi kesini. Kasihan dia Rhandra, dia begitu mengkhawatirkanmu.”
“Kamu?” Rhandra bertanya.
Halimah diam, ia menatap ke dua mata Rhandra.
“Apa kamu tidak bisa membaca hatiku, sedikitpun Rhandra? Apakah tidak terlihat di mataku?”

Rhandra merasa lemah, dan roboh. Halimah tetap berdiri bersamanya di saat kondinya terpuruk. Rhandra meminum obat yang ada di tangannya.

“Terimakasih, Halimah.”
“Berhentilah mengatakan Terimakasih, Rhandra. Kamu suamiku sekarang! bukankah itu dulu yang sering kamu katakan padaku? tak ada terimakasih tak ada maaf untuk dua orang yang saling mencintai, bukan kah begitu?”

Rhandra terenyuh, ia memeluk Halimah. Air mata Rhandra membasahi pundak Halimah. Rhandra lemah, efek obat membuatnya roboh, ia muntah, tubuhnya seperti kehilangan tulang. Halimah terus menjaganya, ia membersihkan tiap peluh yang mengucur deras di tubuhnya, ia mengelap tubuh Rhandra dengan air hangat. dan memeluknya erat saat ia meronta kesakitan.

“Sakiiit Halimah, aku mau muntah …”
Halimah menjerit hatinya menangis. Obat ini membuatnya rapuh. Tak tahan air mata ini terjatuh, membasahi pipi.
“Jangan menangis … Aku mohon.” desah Rhandra.

Halimah menggeleng, ia mengusap air mata di pipi juga air mata Rhandra. “Aku tak akan menangis Rhandra, tidurlah … sayang ….”
“Katakan lagi.”
“tidurlah.”
“Bukan itu, yang terakhir.”
“Sayang … sayang … aku sayang kamu Rhandra, Halimah mencintai Rhandra.”
Rhandra tersenyum dan terlelap di pangkuan Halimah.
***

Haikal terbangun dari tidurnya. Ia cukup lelah semalaman terjaga di rumah Halimah. Laki-laki itu kini mencoba siap melepas Halimah. Ia bangkit dan duduk diatas ranjang. Ranjang yang pernah ia bayangkan akan menjadi tempat ia bercumbu mesra dengan Halimah. Haikal pasrah, jika pun Rhandra telah menularkan virus itu padanya. Hati Haikal pun masih siap untuk menerima keadaan Halimah seutuhnya, laki-laki itu bodoh ia begitu mencintai halimah namun tak tahu cara mempertahankannya.

Ia bangkit dan keluar dari kamar. Lalu sholat, ia bersujud dan bermunajat memohon kebaikan yang akan Alloh limpahkan untuknya juga Halimah.

Haikal bangkit dan menemui orang tuanya. Langkahnya terhenti, pada sekat pembatas tempat ia berdiri dengan ruangan kerja Ayahnya. Suara ibu Anggoro terdengar nyaring di telinga.
“Kapan mereka akan mengusir wanita itu?”

Suara ibunya terdengar nyaring berada di ruang kerja, ibunya tengah berbicara dengan seseorang lewat sambungan telepon.
“Saya tunggu secepatnya,” lanjut ibunya seraya menutup telepon.
Haikal masuk, wajahnya  memerah, kesal.
“Wanita siapa yang ibu maksud?” rutuk Haikal.
“Wanita yang sudah banyak membuang waktumu … dan yang membuatmu sedih.”
“Halimah?” tanya Haikal.
“Berhentilah mempedulikannya Haikal … Ibu Mohon, kamu sudah dewasa dan pintar!”
“Apa yang ibu lakukan pada Halimah?”
Ibunya diam, ia hanya menunjukkan kesombongan juga keegoisan di wajahnya.
“Dulu … Apa ibu juga yang melakukannya?”

Ibu Anggoro diam, wanita itu hanya melipat kedua tangan di dadanya dan duduk di kursi jati dengan menunjukkan keangkuhannya.
“JAWAAB!”
“Haikal berhenti, BERDOSA kamu  membentak ibumu!” Anggoro geram, ia mendadak hadir di tengah keributan Haikal dan Ibunya.
“Haikal kecewa dengan ibu! Apa yang Ibu lakukan diluar dari batas-batas kemanusiaan!”
“Cukup Haikal! Tak pantas kamu membentak ibumu!” Suara Ayahnya menghentikan amarah Haikal.
Laki-laki itu menyerah, ia mengaku salah.
“Kenapa ibu tega? salah apa Halimah bu?”
“Dia tidak salah, kamu yang salah karena mencintai orang yang salah!”
Air mata Haikal meleleh.
“Dengar baik-baik, tidak satupun dari keluarga kita yang pernah menikah dengan anak dari seorang pesuruh. Ibu tau benar siapa orang tua Halimah, mereka tak lebih dari seorang pesuruh, budak, jongos!”
“CUKUP BU!”
“Kamu yang berhenti melawan ibumu! kita ini bangsawan Haikal, mengertilah!”
“CUKUP! Sampai kapan kalian terus bertengkar!” teriak Ayahnya.

Haikal pergi, ia kembali naik ke atas mobilnya. Ia berjalan menuju rumah Halimah yang jaraknya sekitar 30 km dari tempat ia tinggal. Rasa cemas, khawatir bercampur menjadi satu.
Entah siapa orang yang ibunya hubungi lewat telepon, yang jelas nasib Halimah dalam bahaya.
“Bodoh! harusnya aku sudah tau ini perbuatan Ibu!” rutuk Haikal di dalam mobil.

Sementara Rhandra masih tertidur pulas di ranjang. Halimah tak ingin menganggunya, ia sangat lelah, bahkan gerakan tubuh Halimah saat ia beranjak berulang kali untuk sholat tak ia rasakan, usapan lembut di kepalanya pun tak terasa. Laki-laki itu sangat kelelahan. Halimah sudah menyiapkan beberapa makanan untuk ia makan setelah ia bangun. Wanita itu duduk di bawah beralaskan sajadah, ia sandarkan tubuhnya ke tembok, kepalanya berpangku di ranjang, ia menatap suaminya dengan penuh suka cita.

Tak lama suara gemuruh langkah kaki terdengar jelas ditelinganya, nama Halimah pun berulang kali mereka sebut. Halimah bangkit, ia lihat dari arah jendela, benar adanya, puluhan warga berkerumun mendatangi rumah Halimah. Tua muda, laki-laki perempuan semua berkumpul menjadi satu, beberapa diantara mereka ada yang membawa senjata berupa kayu balok panjang, dan yang lain membawa obor.

Jumlah mereka sekitar 50 hingga 80 orang, jumlah yang cukup banyak untuk bisa mengisi pekarangan rumahnya. Buru-buru Halimah mengunci jendelanya, ia tak ingin mereka tau keberadaan suaminya Rhandra, pesan Dokter di klinik yang mengatakan minimnya ilmu warga Desa tentang penyakit Rhandra membuatnya cemas, tindakan keji yang pada kaum ODHA pun sudah sering terjadi. Halimah melepas mukena yang masih ia kenakan, ia ganti dengan hijab langsung pakai. Halimah ingat pesan Darmin, Halimah ambil telepon milik Rhandra dan menghubunginya.
“Pak Darmin!”
“Ya, Non!”
“Pak, bantu saya. Warga datang, mereka seperti tahu keberadaan Rhandra!”
“Saya kesana!”

Haikal begitu juga Darmin, melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, rasa khawatir yang begitu dalam menghantui pikirannya.
“Halimah keluar! Halimah keluar!”
“Dwi! Siapa itu Nak?” tanya Dasinun panik.

Dwi bergegas ke depan, ia mengintip dari jendela rumahnya. Puluhan orang berteriak, bersahutan memanggil nama kakak perempuannya.

Dasinun mengambil mukena yang tergantung di kamarnya, ia keluar dan membuka pintu.
“Ada apa ini bapak, ibu?”
“Keluarkan anakmu Dasinun! kami tidak mau ada pendosa di kampung kami?”
“Apa maksudnya saya tidak paham? Dosa apa?!”
“Tidak usah menutupi Dasinun, kami tahu anakmu telah melakukan praktek pesugihan dengan menikahi Setan!”
“MasyaAlloh fitnah apa lagi ini! itu fitnah!”
“Keluarkan Halimah, atau kami bakar rumah ini!”

Ada debar yang mulai menyentak di dada Halimah bersamaan dengan hati yang teriris perlahan. Rasa sakit menyayat setiap kali mendengar namanya juga fitnah yang mereka tuduhkan kepadanya. Hingga tanpa sadar membuat telapak tangannya terkepal.

Halimah bangkit, ia tak ingin Rhandra bangun, ia lebih baik keluar dan melawan mereka.
Halimah jalan ke luar, dilihatnya Dasinun sedang berteriak-teriak melawan argument mereka.

Halimah lemas tiada daya upaya yang mampu membuatnya berjalan puluhan orang berkumpul dihadapannya, seketika trauma akan fitnah yang pernah ia alami dulu muncul, hanya keinginannya untuk bisa melindungi suaminya yang menumbuhkan semangat baginya.
“Aku disini!” teriak Halimah dengan suara parau dan tubuh yang lemah.
“Halimah Masuk!” teriak Dasinun.
“Ini dia…, wanita yang menikah dengan Setan.”
“Iya usir saja mereka, usir !”
Sahut-menyahut terjadi, kedatangan mereka makin memperumit suasana.
 “Apa yang saya perbuat?” tanya Halimah. Dasinun berusaha menghalangi tubuh putrinya.
“Kami tau kamu melakukan praktek pesugihan agar jadi kaya raya! kami melihatmu sering ke Gedong tua, benar kata mereka kamu pasti menikah dengan Jin!”
Halimah sadar, warga tak tau keberadaan Rhandra.
 “Pergi kamu Halimah, Desa kami bisa sial, pergi!”
“Saya mohon! kami sudah tidak punya tempat tinggal!” teriak Dasinun seraya melindungi putrinya yang lemah.
“Pergi kamu Halimah, atau kami bakar rumahmu!”
“Hei diam kamu!” teriak Halimah, kekuatan itu mendadak muncul di tubuhnya saat mendengar kata ‘Bakar’, ia geser tubuh Dasinun. Halimah melangkah maju dengan setetes keberanian di dadanya.
“Saya mohon pak … berikan kami waktu,” bujuk Dasinun pada warga.
“Dengar alasan kalian sangat tidak masuk akal, kalian tidak ada bukti atas apa yang kalian tuduhkan pada saya!” rutuk Halimah.

Salah seorang dari mereka maju, seorang laki-laki tegap tubuhnya kekar seperti seorang militer, ia berambut plontos, memakai jaket kulit dan celana jeans berwarna biru, ia menarik kerah baju Halimah dan mengangkatnya, tangannya begitu kuat Halimah sulit melepaskan cengkramannya ke dua alisnya dan menatap Halimah begitu tajam.
“Siapa kamu? Aku tidak takut!” rutuk Halimah.
“Dimana Abyakta?” bisik laki-laki itu seraya menarik kerah baju Halimah.
Halimah diam. ‘Siapa dia menanyai Abyakta?’
“Cuih….” Halimah meludah ke arah wajahnya.

“PLAK!” tamparan itu bersemayam di pipi Halimah, tamparan yang teramat keras.
“KATAKAN DIMANA ABYAKTA?” rutuknya keras tubuh wanita itu masih berada di genggamannya.
“Dia tidak pernah ada!”
“Hah!” Laki-laki itu menghempaskan tubuh Halimah ke lantai.
“HALIMAH!” teriak Dasinun mendekat.
“Sur kamu tunggu disini ya, Mas Dwi mau bantu Bue,” ucap Dwi gemetar, berbicara pada adiknya yang bersembunyi dibawah kasur.
Halimah tersungkur, pukulan itu amat telak. Dasinun memeluknya, dilihatnya wajah halimah, bibirnya berdarah pipinya memar kemerahan.
Halimah bangkit, ia mengambil kayu yang tak jauh dari pandangan.
Halimah mulai menyadari, alasan Rhandra menutup dirinya. Benar apa yang ia katakan di Villa dulu, ada seseorang yang tak ingin melihatnya hidup. Ia semakin ingin melindungi Rhandra.
“Benar … Aku menikah dengan setan!” kilahnya melindungi Rhandra setelah tau ada  yang mencurigakan dari laki-laki yang baru saja melempar tubuhnya dan amarah warga yang menyeramkan, Halimah takut warga tahu Rhandra si penderita HIV itu ada di rumahnya.
“SAYA TIDAK TAKUT!” rutuk Halimah seraya menghunuskan kayu yang ia genggam. Sorot matanya tajam, hijab yang ia kenakan pun sudah berantakan.
“Habisi dia!” teriak salah satu diantara mereka.
Seketika warga mengambil bebatuan dan di lemparkan ke arah mereka.
“Lepaskan … tolong lepaskan kami … tolong!” Teriak dwi menghalangi pukulan juga lemparan batu mereka.
“Saya mohon … Tolong jangan siksa kami!”
Halimah bangkit, adiknya berdarah-darah, bebantuan menghujam wajahnya.
“BIADAB KALIAN!” Halimah menarik baju Dwi.
“BUNUH SAYA, Jangan sentuh keluarga saya!”

Kejadian kembali terulang, Mereka menghakimi keluarganya tanpa belas kasih, mereka menjambak hijab Halimah hingga terlepas, rambut panjangnya tergerai. Halimah roboh ia tersungkur. Dasinun berlari ke arahnya, putrinya sudah kepayahan, nafasnya sudah tersengal-sengal. Darah mengalir dari mulutnya.
“Rhandraa….” bisik Halimah seraya menangis.

=====

*DUKA MENDALAM*

Rhandra terperangah, suara gemuruh di pekarangan rumah Halimah semakin nyaring terdengar, ia edarkan pandangan istrinya tak ada disampingnya, jendela tertutup begitupun pintu.
“BUNUH DIA!”

Rhandra bangkit suara itu membangunkannya, Ia berjalan, kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Obat ARV cukup meningkatkan jumlah CD4 dalam tubuhnya, kondisinya mendadak lebih baik saat mendengar suara-suara gemuruh dan teriakan Dasinun. Ia keluar dan menunjukkan wajah bengisnya. Dilihatnya mereka sedang berkumpul diluar menghakimi Halimah juga keluarganya.

Haikal tiba, laki-laki itu langsung melewati penuhnya massa yang mengerumini kediaman Halimah.

“BER …!”  Teriakan Haikal terputus.
“BERHENTI…!” Teriak Rhandra sekuat tenaga, warga terperangah seorang laki-laki baru saja keluar dari rumah Halimah. Laki-laki itu mengenakan kemeja gombrong warna hitam. Tubuhnya tegap, rambutnya panjang sebahu tak karuan, sorot matanya begitu tajam, ia melangkah ke arah Halimah dan melindungi tubuh Halimah dengan tubuhnya.

Rhandra menoleh. Matanya melotot dan kemerahan, wajahnya bengis.
“Rhandraa .…”

Rhandra menghajar semua orang yang baru saja menyakiti Halimah dan keluarganya dengan pukulan telak. Laki-laki itu mencoba untuk kuat, Ia gunakan kayu untuk memukul siapapun yang merusak juga menyakiti keluarga Halimah.

“HAAA! Habis kalian!” Rhandra murka, tua muda, laki perempuan ia tak peduli. Mereka yang melempar mereka yang berusaha menyakiti, terkena lemparan kayu juga pukulan telak dari Rhandra.

“Rhandra … kamu tak boleh terluka,” ucap Halimah pelan suaranya hampir tak terdengar, Halimah menyaksikan bagaimana Rhandra menghabisi mereka dengan pukulan telak darinya, ia sanggup melawan tiga orang sekaligus dengan tangannya. Tangannya terluka.

“Rhandra … Aku mohon.” Halimah lemas. Bongkahan batu sempat melukai kepala Halimah. Halimah oleng dan tak sadarkan diri.

Melihat amarahnya mereka lari ketakutan.

“HAAAAA!” Ia menghunuskan kayu pada warga. Matanya melotot berwarna merah, wajah bengisnya terlihat cukup jelas, rambut yang tak karuan membuat wajahnya terlihat lebih menakutkan. Mereka mundur, amarahnya menciutkan hati mereka.

“Brengsek kalian, satu lemparan lagi habis kalian!” rutuknya.

Semua wajah tertuju padanya, laki-laki itu bagai singa kehausan, sorot matanya tajam memandangi orang-orang yang merasa dirinya paling mulia disisi Tuhan. Takut dan gemetar menguasai jantung juga hati yang melihatnya.

“SAYA RHANDRA ABYAKTA! dan saya masih hidup, apa yang kalian lakukan terhadap Istri saya hari ini, akan saya perhitungkan!”

Semua orang tercengang mendengarnya. Rhandra Abyakta yang setahu mereka hanyalah sesosok Ruh yang menikah dengan Halimah, kini benar nyata. Suara suara cibiran rutukan akan Rhandra mulai berdatangan, HIV mulai terangkat di permukaan.

Rhandra mendekati Halimah juga keluarganya yang sudah kepayahan dan tak sadarkan diri. Pakaian yang Halimah kenakan sudah kotor karena tanah, hijabnya terlepas tak jauh dari tempat ia berbaring Rhandra mengambilnya dan menutupi rambut istrinya, ada luka di leher, di dahi juga bibirnya. Ia mengusap setiap luka di wajahnya, darah di bibir Halimah ia usap dengan ibu jarinya.

“Maafkan aku Halimah!” bisiknya seraya memeluknya erat. Keningnya ia cium.
“ Halimah bangun, aku mohon! … “Bangun sayang, aku mohon!”

Hati Haikal terenyuh seketika, dua insan dihadapannya sudah tak bisa dipisahkan. Namun cintanya pada Halimah tulus, tak mudah bagi Haikal melupakannya. Rhandra memeluk erat tubuh Halimah yang lemah, sorot mata dendam, cinta semua bercampur menjadi satu.

Haikal menunduk, air mata itu menetes. Hatinya perih bagai terhunus pedang. Ia tak bisa melindungi wanita yang ia cintai, Haikal mengusap pipinya.

Putra Anggoro terperangah, dua orang asing nampak di hadapannya, mereka bukan warga Desa, Haikal tau itu. Pikirannya terlintas akan seseorang yang menjadi jongos ibunya untuk menyakiti Halimah dan keluarganya. Ia teliti mereka, dari atas hingga bawah.
Tubuh mereka kekar seperti tentara, rambut plontos dan wajah yang bengis. Keduanya memakai Jaket warna hitam, dan di sabuknya … “Senjata!” seru Haikal, “Apa yang akan mereka lakukan?” tanyanya.

Haikal keluar dari kerumunan berusaha mendekati mereka. Tak lama salah seorang dari mereka menggagar ke sabuknya, pistol itu diarahkan.
“HALIMAH!” teriaknya.

“DOR!”

Semua orang terkejut dan berhamburan. Tubuh Rhandra lemas seketika, darah itu berceceran. Haikal laki-laki itu telah menyelamatkan Rhandra juga Halimah, ia masih berdiri peluru itu tembus di perutnya, seketika tubuhnya lemas, keringat dan air mata mengucur, laki-laki itu roboh. Beberapa orang berteriak memanggil-manggil namanya, beberapa lainnya mengejar pelaku penembakan. Rhandra terpaku, tubuh laki-laki itu kini berada persis di belakangnya.

“Haikal!” Rhandra memindahkan tubuh Halimah ke pangkuan Dasinun lalu menahan kucuran darah yang keluar dari tubuh Haikal.
"Pergilah … Pergi … selamatkan dirimu dan Halimah.” Air mata Haikal meleleh, Haikal terlihat kesakitan, wajahnya pucat ia terus menerus menahan derasnya darah yang keluar dari perutnya.
“DEN!” Suara teriakan Darmin terdengar, laki-laki paruh baya itu mengajak beberapa polisi bersamanya.
“BERHENTI!”
“DORR!”
Polisi berhasil melumpuhkan, pelaku yang baru saja menembak Haikal.
Polisi segera membawa Haikal menuju Rumah Sakit menggunakan mobil yang mereka bawa, didampingi Dwi.
Rhandra bangkit dan membopong istrinya, Halimah lemah tak berdaya, hijab yang Rhandra tempel tak mampu menutupi semua rambutnya, lebam ada di kepala Halimah.
 “Darmin, kita ke Rumah sakit!”

Mereka naik. Dasinun duduk di posisi depan memangku Sur. dan Rhandra memangku tubuh Halimah yang terbaring. Rhandra memandangi wajah Halimah, ada darah di kepala nya, luka di sekujur tubuh, dahi, tangan dan telapak kaki. Istrinya pasti menunggu kedatangannya.

“Bodoh! Halimah, kenapa kamu tak bangunkan aku. DARMIN CEPAT!”
Rhandra merengkuh pundak Halimah, ia mencium kening istrinya. Air mata mengalir mengirinya.
Dasinun melihat anak laki-laki di belakangnya menangis, ia menangisi keadaan putrinya. Lega, namun khawatir menyambangi pikiran juga hati Dasinun.

Mobil yang dikendarai Darmin, begitu pun Mobil polisi yang membawa Haikal melaju dengan cepat beriringan. Tak jauh dari pandangannya, plank Rumah sakit sudah terlihat. Rumah sakit wisma langit, Rumah sakit  di daerah Poncol Magetan.

Mobil itu kini berada persis di muka UGD, buru-buru Rhandra mengeluarkan Halimah dari mobilnya, laki-laki jangkung itu membopong Halimah di tangannya.
Perawat berlarian memberikan bantuan, tak lama tubuh Halimah ia rebahkan di atas ranjang pasien. Dokter dan ketiga asistantnya datang.

Mobil polisi datang. Hati Rhandra tergerak akan kebaikan Haikal.
Rhandra meninggalkan Halimah sejenak dan membantu Haikal. Rhandra membantu polisi lainnya membawa Haikal ke dalam.

“Keluar!” perintah mereka, pada yang tak berkepentingan. Mereka merobek pakaiannya, nafas Haikal diperiksa juga aliran darah, tak lama mereka memberikan bantalan pada luka tembaknya dan membalutnya dengan perban. Tim medis berlarian, tampaknya operasi kecil akan mereka lakukan, semua peralatan lengkap mereka ambil.

Rhandra mendekat, laki-laki itu masih setengah sadar, nafasnya pendek, wajahnya pucat. Tangan nya Rhandra gapai

“Terimakasih!” ucapnya pada laki-laki yang telah menyelamatkannya.
“Aku menyelamatkan Halimah … Jaga dia!” rintih Haikal, suara terdengar jelas namun pelan, nafasnya tersengal-sengal. Tiada penyesalan di wajahnya, ucapannya membuktikan besarnya cinta Haikal pada istrinya. Sorot matanya tulus, air mata itu mengalir. Tak lama Haikal menarik nafas panjang, di mulutnya terucap kalimat Tauhid, Haikal tak sadarkan diri.

“DOKTER! CPR!” teriak Rhandra.
Rhandra mundur, Dokter mengejut jantungnya dengan CPR, AED pun dikeluarkan, alat kejut jantung itu berusaha mengembalikan denyut jantungnya. Dokter menyerah, darah yang keluar terlalu banyak, dan besar kemungkinan peluru menghancurkan salah satu organ dalamnya.
Rhandra melihat Haikal mengembuskan nafas terakhirnya.

Laki-laki itu diam terpaku melihat Dokter menutup wajah Haikal dengan kain, Halimah sangat berarti bagi hidup Haikal, ‘jaga dia’ lagi-lagi perkataannya mengusik hati Rhandra. Rhandra menyesal, sebagai suami  ia justru membiarkan laki-laki lain yang melindungi Halimah.

Selama ini Haikal cukup membantunya untuk menjaga Halimah, kehadiran Haikal sejujurnya tak pernah mengusik hati Rhandra, ia tahu betapa besar cinta Haikal untuk istrinya, ia pun justru ingin Halimah bisa bersanding dengannya karena bersamanya Halimah akan menderita. Namun hari ini nasib itu berbalik, Rhandra teringat perkataan Halimah,

“... berapa harga nyawamu? 1 hari? 1 minggu? 1 bulan? 1 tahun? 10 tahun … katakan? setiap manusia punya harga akan kematiannya, kamu tidak bisa menakarnya. Kamu tak perlu khawatir Rhandra, aku tak akan bunuh diri. Biar Alloh yang menjemputku dengan tanganNya.”

Puluhan tahun Rhandra menderita HIV, namun hingga saat ini ajal belum menjemputnya dan kini laki-laki yang justru ia harapkan bisa melindungi istrinya pergi lebih dulu.

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER