Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 31 Januari 2020

Menikah Dengan Setan #10

Cerita bersambung

*SURGA YANG NYATA*

Hamparan rumput luas seperti menyatu dengan langit, warna hijau ditanah bercampur dengan warna biru langit. Gemiricik suara air jelas terdengar begitu lembutnya, air sungai dan beberapa ikan mas didalamnya begitu menyilaukan mata, awan bergulung berwarna putih bersih berkumpul di hadapannya. Matahari menyinari namun tidak menyilaukan, udara sejuk masuk ke sela-sela tubuhnya.

Wanita itu mengembuskan nafas, ia tersenyum lebar. Halimah berlari kemudian merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Tak ada satupun manusia di sana, hanya Halimah dan alam yang seakan hidup.
“Surgakah ini?” tanyanya lembut. Halimah nikmati pemandangan alam yang begitu sempurna. Ia rebahkan dirinya ke tanah, sejuk terasa. Tak ada sakit yang ia rasa, tak ada pedih yang ia rasakan di jiwa.
“Halimah ….” suara itu terdengar jernih ditelinganya. Halimah bangkit, ia edarkan pandangannya mencari sumber suara. Sebuah pintu besar dan bercahaya berada persis dihadapannya, didalamnya hanya ada kegelapan.

Seorang pria tengah berdiri disana memanggil-manggil namanya. Halimah berlari, laki-laki itu terlihat menunggunya di bibir pintu. Seorang laki-laki paruh baya berpakaian serba hitam, rambutnya sudah memutih, garis-garis keriput terlihat jelas disekitar mata dan dahi. Ia tersenyum ke arah Halimah, namun matanya menangis. Keringat mengucur dari dahinya. Sorot matanya tajam, menusuk kalbu.

“Ayah ….” Air mata Halimah meleleh, wanita itu berlari kearahnya, ada dinding pemisah besar diantaranya.
“Masuk Ayah ….”
Dia menggelengkan kepala.
“Ayah! Masuk … Udara di sini sangat sejuk, Ayo Ayah ….”
Laki-laki itu menangis, tangisannya semakin hebat.
“Ayah kenapa?” Halimah terenyuh, air mata yang mengalir di pipinya membuat hati Halimah luka.
“Ayah tidak boleh masuk, Nak?”
“Kenapa? pintu ini terbuka lebar, lompat saja!”
“Ayah tidak dizinkan masuk, berulang kali Ayah mencoba masuk berulang kali pula Ayah terlempar keluar, tubuh Ayah sakit, sekujur tubuh Ayah menjerit kesakitan.”
“Ayah dimana?” suara Halimah semakin parau, ia tak tega mendengar penjelasan Ayahnya.
“Ayah disini, Nak. Menunggu!”
“Menunggu apa?”
“Menunggu kamu menarik tangan Ayah, Nak!”
Halimah berlari, terus berlari semakin ia berlari pintu itu semakin menjauh.
“Kenapa sulit sekali menjangkau Ayah?” jawabnya tiada peluh ditubuhnya. Halimah terus berlari, dan pintu itu semakin menjauh.
“Halimah berhenti Nak.”
“Halimah sulit menggapai tangan Ayah!” lirihnya.
“Halimah … Ayah rindu dengan suaramu, kapan Halimah akan membuka Mushaf lagi untuk Ayah?”

Halimah diam, sudah cukup lama ia tak membuka Mushafnya dan bertadarus. Kecewa akan cobaan yang menimpa hidupnya juga suaminya membuat halimah lupa akan kewajibannya sebagai anak, hanya seorang anak yang bisa memberikan mahkota juga istana untuk orang tuanya, Halimah lupa tujuan ia membaca Mushaf setiap harinya, ia lupa dimana kakinya berpijak.

“MasyaAlloh! Astaghfirullah! Alloh … Maafkan Halimah Ayah, Maafkan Halimah ….”
Tangisan Halimah pecah ia tersungkur, tangannya memegang dada yang sesak, tangan yang satu mengusap air di matanya.
“Bangunlah Nak … Bacakan ini untuk Ayah.”

Mendadak mushaf Ayahnya ada di pelukan, Mushaf berawarna coklat tua, dengan kancing penjepit didepannya. Warna kertasnya sudah berwarna kekuningan terlihat dari setiap lipatan di sana. Halimah melihatnya dengan penuh haru. Bukankah Dasinun pernah memintanya untuk membacanya, namun mengapa Rhandra lebih berarti untuknya, mengapa Rhandra lebih segala-galanya untuknya.
Halimah menunduk malu, ia ciumi Mushaf Ayahnya dengan penuh rasa takdzim.
“Halimah janji akan baca Ayah …Halimah janji …”
“Bacalah Nak, hanya dengan itu Ayah bisa selamat, bacalah ada banyak petunjuk disana!”

Perlahan dinding itu memudar, langit dan rerumputan seperti menjadi satu. Tubuh Halimah tertarik keatas, seseorang memanggil-manggil namanya dengan kuat, suara tangisan, suara kerinduan membawanya kembali.

Air mata itu keluar dari kedua sudut mata Halimah, nafasnya tersengal-sengal. Wanita itu masih terbaring lemah di Rumah sakit.

“Sayang! Sayang bangunlah …” suara bisikan itu terdengar jelas di telinga Halimah, suaranya begitu parau dan tebal.
“Halimah! Sayang! Sadarlah sayang, aku disini … Rhandramu.”
Halimah merespon, jari-jarinya bergerak. Rhandra bangkit, ia menatap ke tangannya agar lebih yakin, tangan Halimah merespon.

“Dokter!” teriak Rhandra, tangan Halimah kembali merespon kali ini Ia tak melepaskan tangan Rhandra. Matanya masih terpejam, namun hati juga telinganya mendengar.
Rhandra tersenyum, ia melihat wajah istrinya. Ia dekatkan kepalanya.
“Aku disini sayang … Aku disini, Rhandramu.” bisiknya ditelinga Halimah.
Bulir itu terlihat di ujung mata Halimah, pelan ia membuka matanya, nafasnya begitu lemah.
“Rhandra ….”
“Aku disini … Aku disini.”
“Jangan pergi … Aku mohon jangan pergi …” ucap Halimah lemas.
“Tidak, Aku janji, Aku janji Halimah!” ia memeluk erat tubuh istrinya, hatinya lega. Berulang kali ia mencium pundak Halimah dan keningnya. Tangisan mengiringi kerinduan mereka. Luka yang selama ini ia pendam di hatinya hilang dalam sekejap.

Halimah kembali terlelap, cedera di kepalanya membuat Halimah harus beristirahat total. Tangan itu erat memegang tangan Rhandra, ia tak ingin suaminya pergi lagi darinya.
Rhandra terjaga, Banyak yang suami Halimah itu pikirkan, mulai penembakan yang terjadi pada Haikal, surat wasiat Ayahnya, kesehatan Halimah juga dirinya, dan yang paling menyayat hati hubungan dia dengan Halimah, yang terombang-ambing tak jelas.

Rhandra menyandarkan kepalanya, diatas tangan. Laki-laki itu terlelap untuk beberapa jam disisi istrinya.

Beberapa saat Halimah membuka mata, wanita itu sudah sadar. Ia hadapkan wajahnya ke arah tempat suaminya bersandar. Kepala rhandra menunduk kebawah, tangannya yang satu memegang erat tangan Halimah, dan satunya ia jadikan sandaran untuk tidur. Pelan Halimah menarik tangannya, Rhandra diam ia tertidur begitu pulasnya.

Tangan Halimah membelai pipinya, ia mengusap rambut Rhandra yang tak beraturan. Rhandra terperangah, Ia sadar tangan Halimah kini berada di kepalanya. Laki-laki itu tersenyum, ia cium tangan istrinya, ia bangkit dan memeluknya erat. Tubuh Halimah seakan masuk dan tertutupi pundaknya yang lebar. “Aku bersyukur, kamu kembali … Aku mencintaimu Halimah”

Halimah membalas pelukannya, tangannya yang lemah itu terangkat ia letakkan di pundak Rhandra. Halimah diam, ia biarkan tubuh suaminya bersandar begitu lama di pelukannya.
“Berapa lama kamu akan memelukku?”
“Cukup lama … Aku janji tak akan melepaskan lagi pelukan ini, aku akan biarkan tubuhmu selalu mengikutiku, aku akan biarkan suaramu terus mengusik heningku, aku rindu Halimah, aku rindu suaramu, aku rindu senyummu, aku rindu semua….”

Halimah menarik nafas lega, ada hikmah dari setiap kejadian yang menimpa dirinya, jika tidak ada fitnah yang menimpa dirinya, mungkin ia tak akan pernah berjumpa dengan laki-laki yang kini sedang memeluknya. Terlintas di pikiran Rhandra untuk memberitahukan kepergian Haikal padanya, Halimah berhak tahu. Laki-laki itu sudah banyak berjasa baginya juga Halimah. Jasad Haikal mungkin tak lama lagi akan dikebumikan.

“Halimah …”
“Hmm …”
“Haikal …”

Halimah bergeming, mendengar namanya membuat hati Halimah jengkel, Ia tak mau Rhandra mengulangi hal yang sama dengan menyerahkan dirinya pada Haikal.
“Haikal … sudah tidak ada.”
“Heh!” Halimah mulai membuka suara, ia tak paham dengan maksud Rhandra. Halimah melepaskan pelukan rhandra, menatap wajahnya yang penuh dengan teka-teki.
“Maksudnya?”
“Haikal sudah meninggal , dia menyelamatkan nyawaku.”
Halimah diam, tak lama nafasnya tersengal-sengal. Air mata mulai membasahi lagi pipinya.

Halimah diam, ada penyesalan di raut wajahnya. Baru semalam ia bertemu dengannya dan untuk kesekian kali ia menolaknya, melintas di pikiran Halimah setiap kebaikan yang Haikal berikan, mulai dari pertemuan hingga perhatian pada keluarganya. Bulir matanya mengalir hingga ke mulut. Halimah menyesali apa yang sudah terjadi padanya.

“Maafkan Halimah, Mas Haikal … Maafkan …” Halimah sesak ia terus merasa bersalah akan kepergian laki-laki yang dulu sempat singgah di hatinya. Selintas bayangan akannya, senyumnya, perjuangan mendapatkan hatinya terus menerus melintas terbayang di pikiran Halimah. Halimah rapuh, Rhandra mendekat ia dekap tubuh istrinya dengan erat. Rhandra menyadari meskipun tiada cinta dihati Halimah untuk Haikal namun kedekatan Halimah dan Haikal tidak bisa dipungkiri. Ia biarkan istrinya menangis di pelukan. Halimah bangkit,
“Aku ingin menemuinya, Rhandra …”
“ Jasadnya sudah di bawa pulang keluarganya.”
“Antarkan aku Rhandra, aku mohon.”
Rhandra mengangguk.
***

Malam itu Rhandra mengantarnya menuju rumah Haikal, setelah mendapat izin dari Dokter mereka bisa pergi, Rhandra membopong istrinya dari ranjang, ia rebahkan tubuh Halimah di kursi roda, tangannya masih tertusuk cairan infus.
Jaraknya rumahnya tak jauh dari Rumah sakit, Darmin menyetir, Rhandra juga Halimah duduk di tengah, wanita itu terus menangis di pelukan Rhandra.

Rumah beraksitektur jawa itu sudah penuh dengan puluhan mungkin ratusan orang yang datang melayat, karangan bunga sudah berjejer di bibir jalan. Rhandra memapah tubuh Halimah, dan membantunya duduk di kursi roda. Pelan ia berjalan, semua mata tertuju pada mereka. Berita tentang hidupnya Rhandra Abyakta sudah terdengar, HIV pun mulai terangkat. Beberapa warga yang bodoh akan informasi HIV menjauhi Halimah juga Rhandra.

Bagus! pikir Rhandra, ia lebih mudah menemui Haikal untuk terakhir kalinya, mereka yang takut mendekatinya seperti memberikan jalan untuk masuk ke dalam.

Dari jauh halimah bisa melihat Ayu, wanita itu bersandar tak jauh dari jasad Haikal tubuhnya kaku, air matanya terus mengalir membasahi pipi. Pak Anggoro yang terlihat cukup tegar menyambut beberapa tamu yang datang. dan bu Anggoro diam memeluk tubuh Haikal.

Jasadnya sudah dimandikan, dan segera di makamkan. Halimah ingin melihatnya untuk terakhir kalinya. Rhandra memapahnya, ia dekatkan tubuh Halimah pada tubuh yang sudah tak bernyawa, bagian perutnya masih ada sisa darah, pelan Rhandra membuka kain penutup wajahnya.

“Nak … Halimahmu datang Nak ….” ucap bu Anggoro menggetarkan hati Halimah, air mata seketika menetes. Wanita itu terus mengucapkan kalimat itu berulang-ulang. Sorot mata penyesalan terlihat jelas.

“Bangun, Nak. Halimah mu sudah datang. Ibu mu yang akan memintanya untuk menikahimu segera. Bangun Haikal.” beberapa orang memegang tubuh bu Anggoro, agar air mata tak jatuh di atas tubuh yang sudah suci.

Halimah melihat wajah Haikal, wajah itu sungguh bercahaya, bibirnya menyungging ke atas seperti sedang tersenyum, tubuhnya kaku, jika saja Halimah bersikap baik dengannya beberapa waktu lalu, mungkin ia tak akan semenyesal ini.

“Maafkan Aku mas … Jannah terbuka lebar untukmu” bisik Halimah. Halimah menunduk ia mencoba mengontrol emosi juga air mata, Rhandra memeluknya erat. Halimah edarkan pandangannya, disudut ruangan ia lihat Ayu mantan sahabatnya diam kaku bagai patung, semangat hidupnya lenyap, wajahnya pucat, pakaian dinas masih menempel di tubuhnya.

Halimah mendekat, bagaimanapun Ayu adalah sahabat yang baik sebelum kedatangan Haikal, wanita itu selalu membantu Halimah dikala susah, Ayu bahkan tak jarang meminjamkannya uang saat ia dan keluarganya kesulitan. Masa mudanya hanya ia habiskan dengan Ayu, curahan hati, tertawa bersama, belajar bersama selalu mereka lakukan bersama, kini semua itu pupus. Ayu kehilangan Haikal juga Halimah sahabatnya.
Pelan Halimah mendekatinya, tubuhnya ia geser mendekati Ayu, ia usap pundaknya. Wanita itu bergeming, wajahnya terus menatap kedepan air mata mengalir tiada henti. “Aku turut berduka Yu ….”

Tak lama tangisannya pecah, ia merengek. “Maafkan aku … M … Maaf.” Halimah memeluknya, “Maafkan aku juga Yu …” Ayu menangis, merengek di pundak Halimah, ia menyesali perbuatannya pada Halimah, ia menyesali kematian Haikal yang begitu cepat.
Halimah lepaskan pelukan Ayu, ia bergeser menuju bu Anggoro. Halimah cium tangannya dengan penuh rasa takdzim. “Haikal begitu mencintaimu, Nak … Haikal begitu mencintai Halimah, Halimah mau menikah dengannya kan?” Halimah diam, ia hanya mengiyakan perkataannya. Wanita itu berbicara seakan-akan putranya hanya terlelap, air matanya sudah kering. Penyesalan begitu besar terlihat di wajah. Ia mengusap pipi Halimah, “Maafkan ibu ya Nak, Ibu akan menyiapkan semuanya,”

“Tolong bantu Haikal berkemas. Pengantinnya sudah datang!” teriaknya, beberapa orang menangisi sikap juga jiwanya yang sakit terguncang. Anggoro memeluk istrinya, dan terus mengingatkan akan kematian anaknya. Tak lama rintihan suara terdengar “HAIKAL BELUM MATIII!!! PUTRAKU MASIH HIDUP!!

Harta, pangkat dan kedudukan tiada arti bagi mereka yang pernah merasakan arti kehilangan. Bahwa manusia hanyalah debu, yang jika Allah mau bisa hilang dalam sesaat. Bu Anggoro lupa bahwa dirinya dilahirkan dari tanah yang sama dengan Halimah. Tak ada beda di mata Allah. Allah masih mencintainya, setidaknya Allah masih memberikannya teguran akan kepergian putranya, teguran atas fitnah bertubi-tubi yang ia layangkan pada gadis suci seperti Halimah.
Halimah menangis, nafasnya sesak. Rhandra terus menguatkannya, “Halimah aku mohon, kepalamu masih sakit.” bisik Rhandra lembut di telinganya.

Haikal kini sudah bebas, ia tak perlu lagi memikirkan Halimah. Semua perjuangannya di dunia sudah selesai. Keinginannya hanya sederhana bisa membahagiakan wanita yang pernah ia cintai, penyesalan pernah meninggalkan Halimah karena fitnah keji yang dilakukan ibunya telah ia bayar dengan nyawanya. Haikal menyesal dan kini ia hanya tinggal menunggu janji Allah untuk bisa membawanya ke surga.

=====

*TERSANGKA UTAMA*

Tiga malam berlalu, kondisi Halimah mulai membaik, namun raganya masih terbaring lemah. Dokter memberikan izin padanya untuk rawat jalan.

“Bawa aku ke Genilangit Rhandra, hanya di sana aku bisa merasakan bahagia bersamamu …”

Sesuai permintaan Halimah, Rhandra memutuskan membawanya ke Genilangit, bersamanya ia akan merawat Halimah.

Desa Genilangit masih sama seperti terakhir ia tinggalkan. Halimah berpangku pada pundak Rhandra yang begitu lebar, tangan kiri Rhandra memeluk pundaknya dan yang lain memegang erat tangan Halimah.

Mobil yang dikendarai Darmin melintasi jalanan bebatuan, juga sungai yang mengalir di sisi kanan juga kirinya. Gunung lawu menyambut kedatangan mereka, kabut tak menghalangi perjalanan mereka, langit cerah, burung-burung bersahutan menyanyikan lagu indah.
Halimah lemah, keberadaan Rhandra yang membuatnya semangat untuk hidup, sejuknya udara Genilangit membantu mencairkan setiap darah yang panas, begitu sejuk hingga membuat pikiran juga jiwa menjadi tenang.

Rhandra duduk disebelahnya, ada kebahagiaan di wajahnya. Kebahagiaan yang sempat hilang beberapa waktu lalu. Keindahan taman genilangit membawa khayalannya kian pasti. Rhandra gantung impian dan asa, dan ia berjanji tidak akan mengecewakan dirinya juga Halimah. Keegoisan hanya menyiksa, tak mengapa asal dia dan Halimah  bahagia.

“Halimah.”
“Hmm,” jawab Halimah. Tubuhnya bersandar di dada Rhandra, tangan kanan Rhandra melingkar di perutnya, dan yang satu erat memegang tangannya. Selama perjalanan, keduanya sibuk menikmati pemandangan Genilangit.
“Katakan padaku apa yang mereka lakukan, sebelum aku datang?”
“Entahlah, Rhandra. Jumlah mereka sangat banyak, sepertinya mereka tidak tahu keberadaanmu, mereka menuduhku menikah dengan setan, dan yang paling aku ingat …”
“Apa?”
“Laki-laki itu, laki-laki yang menanyakan namamu, Ia bertanya ‘dimana Abyakta?’
“Lalu?”
“Aku jawab tidak tahu, aku jawab kamu tidak pernah ada. Aku takut mereka akan melakukan hal buruk padamu.”
“Apa yang ia lakukan.”

Halimah menangis, bahkan perih di  rahang wajahnya masih ia rasakan. Refleks ia memegang pipinya.

“Apa dia yang membuat wajah mu …”
Halimah mengangguk, Rhandra geram. Tubuh Halimah semakin ia peluk erat.

'Aku akan balas mereka, aku akan membalas setiap perbuatan mereka padamu Halimah', gerutu Rhandra dalam hati.

Mereka tiba di Genilangit, Rhandra membantu istrinya berjalan. Halimah masih limbung. Halimah terkejut, Rhandra tau apa yang harus ia lakukan untuk membahagiakan istrinya. Dilihatnya, Dasinun dan ke dua adiknya menyambut kehadiran Halimah. Senyum mereka begitu lebar, begitu pun Halimah. Sur dan Dwi berhamburan ke arah Halimah, mereka mencium tangan kakak perempuannya.

Keceriaan mengiringi kebahagiaan mereka. Halimah mendekat menuju Dasinun, wanita yang tak muda lagi itu menitikkan air mata bahagia, ia membuka lebar tangan untuk ia peluk. Kedua tubuh itu bertemu, tangisan haru mengiringi perjumpaan mereka. Rhandra yang berdiri di samping Halimah begitu terenyuh, setidaknya saat ini dia pun memiliki seorang ibu.

“Rhandra … Ibuku.”
Rhandra tersenyum, dia mengambil tangan Dasinun ia cium seperti yang Halimah lakukan padanya.
“Terimakasih sudah menghadirkan Halimah di dunia.”

Dasinun terenyuh, di peluknya laki-laki berbadan jangkung itu.
Sum sudah menyediakan makan siang untuk semua. Di meja makan, semua duduk bersatu Dasinun, Rhandra, Halimah, Dwi, Sur, Sum, dan Darmin.

Mereka menikmati indahnya bersama, Rhandra menikmati perjumpaan yang begitu mengharukan sepanjang sejarah hidupnya. Belum pernah ia merasakan memiliki keluarga utuh seperti ini, akan lucu jika ia mempunyai seorang anak dari Halimah, namun niat itu surut, dilihatnya wajah Halimah. Ia begitu cantik saat tersenyum, tak ingin rasanya menghancurkan senyuman di wajahnya. Biarlah bersamanya selama yang Halimah mau.

“Buee …” sapa Halimah setelah makan siang. Ibu dan anak itu tengah bicara berdua di depan teras.
“Ya Nduk.”
“Bue, apa bisa Mushaf Ayah untuk Halimah?”
“Loh kenapa, Nak?”
“Halimah rindu Ayah, Bue.”
“Boleh Nak, Mushaf itu masih berada di rumah kita, Bue belum bisa kesana.”
“Bue sudah tinggal di rumah lagi?”
“Sementara suamimu meminta kami menetap di Rumah suamimu di Magetan, Nak.”
“Rhandra, khawatir Bue.”
“Bue tahu Nak, Suamimu begitu perhatian dengan Bue juga adik-adikmu. Bue, tidak bisa menginap, Dwi dan Sur harus tetap sekolah. InsyaAlloh jika sudah waktu libur mereka, Bue akan menginap disini bersamamu juga suamimu yang tampan, gagah, dan baik itu.”

Halimah tersenyum malu, penggambaran Dasinun akan Rhandra memang benar adanya. Suaminya begitu gagah, wajahnya tampan dan hatinya begitu tulus dan baik, ia melirik ke arah suaminya yang sedang duduk tak jauh dari mereka, sepasang netra itu bertemu. Rhandra tersenyum, begitu pun Halimah yang mengharu, perasaan Halimah mendesir saat Rhandra tersenyum padanya.

“Den …” sapa Darmin.
“Ya!” Rhandra bangkit.
“Dirjo yang memerintahkan orang untuk melakukan penembakan," ucap Darmin setelah mendapatkan info dari kepolisian.
“Dirjo? siapa dia?”
“Kepala desa.”
“Tunggu sebentar, bukanlah penembak itu berniat ingin menghabisiku?”
“Sepertinya, Den."
"Ada hubungan apa dia dengan semua ini!”
“Kita harus cari tahu Den, saat ini Dirjo sudah di amankan.”
Dari jauh, Rhandra memandang Halimah. Ia tengah tersenyum memandangi langit juga ke dua adiknya yang bermain lepas di halaman.
“Kita berangkat sekarang, Pak!”

Rhandra mendekat, menuju sang ratu di hatinya, disebelahnya duduk wanita yang wajahnya hampir mirip dengannya.

“Halimah, suamimu datang. Buee bantu Mbok Sum sebentar.”
“Nggih, Bue.”
“Kamu senang?”

Halimah mengangguk. Rhandra duduk di bawah kursi tempat Halimah duduk, kedua tangan Halimah ia pegang erat. Sepasang mata bertemu, mata Halimah begitu teduh.

“Sayang … Aku harus pergi.”
“Pergi kemana?”
“Ada yang harus ku selesaikan, aku akan meminta ibumu dan kedua adikmu menemanimu hingga aku kembali. Sum juga akan menemanimu …”
“Rhandra, penyakitmu.”
“Aku tidak apa-apa, Halimah. Percayalah.”
“Berjanjilah, untuk tidak menangis selama kepergianku.” lanjut Rhandra.

Halimah menyentuh pipi Rhandra, dengan lembut ia mengelus pipinya. Rhandra meraih tangannya, ia cium tangan Halimah.
“Kamu istirahat ya … kondisimu belum pulih.”

Halimah mengangguk dan tersenyum tipis ke arahnya. Wajah Halimah masih pucat, dokter pun memintanya untuk dirawat di rumah, hingga kondisinya benar-benar pulih. Cedera di kepalanya, masih terasa sakit  kadang pusing melanda dan mendadak mual.

Rhandra bangkit, ia tersenyum pada istrinya dan mulai membopong Halimah.
“Rhandra aku bisa jalan sendiri, turunkan aku,” ucap Halimah malu, saat kedua adik juga ibunya tersipu malu melihat mereka.
“Halimah, aku pun masih sanggup menggendongmu,” jawab Rhandra tersenyum lebar.

Semua mata tertuju pada Rhandra yang begitu tulus mengantarkan Halimah menuju kamarnya di lantai dua, tak lama ia rebahkan tubuh istrinya.
“Beristirahatlah aku tak akan lama.”
“Sebentar, bisa bantu aku bukakan itu.” pinta Halimah menunjuk pada laci nakas.
“Ada apa?”
“Aku meninggalkan gelangku beberapa waktu lalu di sana.”

Rhandra tersenyum, ia membuka laci nakas. Gelang pemberiannya masih tersimpan rapih disana. Rhandra mengambilnya. Gelang yang sempat ia tinggalkan saat Haikal menjemputnya.

“Alhamdulillah …” Halimah tersenyum seraya memeluk gelang pemberian Rhandra.
“Kenapa kamu tidak memakainya?”
“Maaf, Rhandra … aku takut benda ini hilang, benda ini pasti sangat berarti untukmu. Biarlah cincin kayu ini saja yang menempel di tubuhku.”

Halimah selalu tau bagaimana cara membuat Rhandra bahagia. Laki-laki itu tersenyum, dan memeluknya kembali. Gelang yang sebenarnya kalung peninggalan Arkadewi yang dilingkarkan di lehernya saat ia masih berusia 6 bulan. Kalung yang menjadi saksi akan keberadaannya sebagai putra Abyakta. Kalung emas dengan rantai yang begitu tipis dan lembut juga sebuah liontin berlambang tulisan Abyakta. Kalung yang ia berikan pada Halimah beberapa waktu lalu, saat di Genilangit. Wanita itu sengaja melingkarkan di lengannya.
“Istirahatlah,” ucapnya lembut seraya mengusap pipi Halimah yang semakin tirus.

Rhandra masuk ke dalam kamar mandi, untuk bersiap dan berganti pakaian. Tak lama laki-laki itu keluar, ia mengenakan kaos berwarna hitam, dengan jaket coklat. Rambutnya rapih ia ikat kebelakang. Halimah terperangah, belakangan ia sering menjumpai penampilan Rhandra yang lebih rapih dari sebelumnya.

Terlintas di bayangan Halimah saat ia pertama kali berjumpa dengannya, pakaian lusuh, rambut panjang dan janggut yang memenuhi wajahnya. Kini Rhandra berubah, wajahnya terlihat lebih bersih, pakaian yang ia kenakan pun lebih rapih dan pas di tubuhnya. Rhandra begitu gagah, senyum di wajah membuat laki-laki itu terlihat semakin tampan. Pelan ia menghampiri Halimah yang tengah memperhatikannya.

“Kenapa kamu terus memperhatikanku?” tanya Rhandra lembut.
“Tidak, aku hanya …”
“Khawatir?”
Halimah mengangguk.
“Khawatir akan kematianku atau …”

Halimah memukul pada dadanya, ledekkannya sungguh tak lucu baginya. Pelan Rhandra tertawa melihat rasa khawatir di wajahnya lalu memeluknya.
“Hanya kamu Halimah ... Aku berjanji hanya kamu, tunggu aku. Aku berangkat. Istirahatlah.”
Rhandra mengecupnya dan tak lama berlalu dari pandangannya.
Rhandra turun, ia menemui Dasinun. Dengan penuh hormat juga takdzim ia meraih tangan Dasinun, dan menciumnya.
“Tolong jaga Halimah, selama saya tidak ada.”

Dasinun tersenyum, Rhandra anak yang bertanggung jawab. Sorot matanya menunjukkan rasa cinta yang teramat dalam untuk putrinya.
***

Rhandra dan Darmin baru saja tiba di Polsek Magetan. Sudah beberapa kali Rhandra datang ke tempat ini, sejak penemuan jasad Arkadewi, Rhandra juga pihak kepolisian saling membantu untuk memecahkan misteri yang belum terjawab.
Berkas laporannya masih tergantung, bukti atau pun saksi yang menyudutkan Puspa belum ditemukan.
Dirjo, adalah kepala desa yang juga Ayah dari Ayu. Kini menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan berencana pada Haikal Mahardika, penembakkan yang harusnya di arahkan padanya.

Rhandra meminta bertemu dengan Dirjo, laki-laki yang ia anggap mengetahui akan semua masalahnya. Semakin lama semakin terbongkar, siapa dalang dibalik pemberontakan yang terjadi 30 tahun lalu di kediamannya.

Polisi mengantarkannya pada ruangan yang akan menghubungkannya dengan Dirjo. Sebuah meja dan hanya ada 4 kursi, satu orang polisi berjaga di dalam lengkap dengan bareta di lingkar pinggangnya. Rhandra duduk diam, ia edarkan pandangan pada ruangan sempit berukuran 2 x 3 meter.

Sebuah pintu yang berhadapan dengannya akan mengantarkan Dirjo padanya. Rhandra yakin, laki-laki itu adalah saksi dari semua kejadian ini. Tak lama ia datang, laki-laki yang sudah mengenakan seragam biru itu kedua tangannya di borgol.

Satu orang polisi menggeretnya ke dalam. Rhandra diam, ia mengusap wajah yang penuh emosi, rahang di wajah Rhandra terlihat jelas. Laki-laki itu begitu emosi dengan laki-laki penyebab kematian Haikal yang seharusnya menjadi kematian untuknya. Dirjo duduk, wajahnya pucat.
Laki-laki itu kini tertunduk di hadapan Rhandra. Pakaian tahanan menempel di tubuhnya. Rhandra duduk berhadapan, ia perhatikan wajahnya. Bagaimana bisa dia meminta seseorang untuk membunuh dirinya.

“Dirjo!” sapa Rhandra.
Dirjo diam, ia gugup.
“Apa yang kau inginkan, dariku?” lanjut Rhandra.
“Aku difitnah, ini fitnah!” jawabnya seraya meremat meja yang ada dihadapan dengan tangan terborgol.
“Lihat mataku! LIHAT MATAKU!” rutuk Rhandra.

Mendadak tubuh Dirjo bergetar, suara Rhandra membuat nyalinya menjadi ciut. Pelan ia memandang wajah Rhandra yang bengis, keringatnya bercucuran bibirnya bergetar.

“Apa alasanmu ingin membunuhku? katakan …"
Dirjo diam, ia menelan salivanya.
“KATAKAN!” teriak Rhandra seraya menggebrak meja di hadapannya.
“Bohong, aku tak ingin membunuhmu. Tugasku hanya mendatangkan massa tidak lebih. Aku tak punya kuasa untuk melakukan pembunuhan.”  Dirjo berkata gemetar ketakutan.
“Mendatangkan massa?” tanya Rhandra heran.
Dirjo diam, tak lama ia menangis.
“Tolong maafkan aku, aku tidak bersalah!”
“Katakan dengan jelas, siapa yang memintamu untuk melakukan itu?”
Dirjo diam, ketakutan menyelimutinya. Bibirnya bergemetar.
“Anggoro! dia yang meminta saya untuk mengusir Halimah dari kampung itu, Anggoro yang melakukannya Tapi saya tidak menyuruh seseorang membawa senjata. Saya bersumpah!”

Rhandra semakin heran dengan semua yang terkait dengan pembunuhan Haikal. Bagaimana mungkin orang tuanya sendiri yang menjadi penyebab kematian Haikal.

“Lalu kenapa, Penembak itu menyebut namamu?” dengus Rhandra.
Dirjo menggeleng, air matanya terus menetes. Ada Rahasia yang ia sembunyikan.
“Katakan!” rutuk Rhandra.
“Saya mohon maafkan saya, tolong maafkan saya. Saya menelepon mereka dan memberi tahu Abyakta masih hidup!”
“Siapa yang memberi tahu, aku masih hidup? dan kepada siapa kamu laporkan?”

Dirjo menelan saliva berulang kali. Laki-laki itu mulai ketakutan, wajahnya panik. Suara Rhandra begitu tebal, wajahnya tampak bengis. Rhandra mampu menghabisi nyawanya dalam sesaat. Dirjo tahu, siapa Rhandra jika kekuasaan jatuh kepadanya, Dirjo yakin laki-laki ini akan membalas semua perbuatannya.

“KATAKAN!” teriak Rhandra emosi, Dirjo semakin tersudut.
“Haikal kemarin mencari berkas di balai desa, ia mencari tahu tentang keberadaanmu. Ia berbicara dengan saya, bahwa Halimah mengatakan kamu masih hidup, Haikal terus mencari keberadaanmu,”
“Lalu?”
“Saya menelepon …”
Rhandra menunggu.
“Saya … menelepon Puspa, sudah lama Puspa mencarimu. Saya memberi tahu keberadaanmu juga pernikahanmu dengan Halimah. Saya sangat yakin, wanita itu pasti yang telah menyuruh dua orang itu untuk membunuhmu. Saya sangat yakin, Rhandra saya mohon maaf. Sayalah yang menyulut amarah warga hingga ibumu mati malam itu, sayalah yang memberi tahu warga 30 tahun lalu, bahwa Virus HIV berasal dari keluargamu. Maafkan saya Rhandra, saya mohon … tolong bebaskan saya. Ini fitnah …” jawab Dirjo, tangisannya semakin pecah memikirkan keluarganya yang mungkin saja terancam bahaya akan pengakuannya.

Amarah Rhandra semakin memuncak padanya. Wajah Rhandra memerah, ia geram. Konsipirasi jahat yang begitu sempurna ia lakukan. Ia ingin membunuh Arkadewi juga Rhandra bukan menggunakan tangannya. Pintar, licik itulah wanita bernama Puspa.

“Itu pasti fitnah mereka, saya tidak ada urusan denganmu. Kematian mu tidak menguntungkan bagi saya, percayalah pada saya. Siapa saya Rhandra? saya hanyalah seorang budak berseragam. Saya malu dengan diri saya sendiri, seragam yang saya pakai hanya menjadikan saya sebagai budak mereka yang berkuasa. Sudah lama saya takut masalah ini akan terungkap!”

Rhandra diam, emosinya sedikit mereda. Dirjo benar ia tak memiliki motif apapun untuk membunuhnya, ia tak lebih hanya seorang jongos yang di suruh oleh mereka yang berkuasa. Rhandra menarik nafas, ia bangkit.

Tak lama ia keluar, mendadak Anggoro memaksa masuk kedalam. Laki-laki itu datang dengan penuh amarah di wajahnya.

“BRENGSEK! ia merengkuh pakaian Dirjo dan memukul wajahnya. Rhandra diam, dua orang yang menyebabkan keluarganya hancur berantakan kini saling berseteru. Polisi membantu memisahkan ke duanya.
“Aku hanya menyuruhmu, mengusir gadis itu!!! kenapa kamu membunuh anakku!” Polisi menahan tubuh Anggoro, ia mulai bertindak di luar kendali.

Tak lama Anggoro rapuh, ia diam. Dirjo terus menyangkal akan penembakkan itu.  Rhandra mendekati Anggoro yang rapuh sesaat menghantam pukulan keras pada Dirjo, polisi membawa Dirjo masuk ke dalam.

“Jika ingin tahu, siapa yang berusaha membunuh Haikal. Tetaplah disini!” pintanya pada Anggoro. Rhandra ingin membalas Puspa, ia ingin Anggoro melaporkannya atas pembunuhan berencana yang menimpa pada anaknya. Jika Puspa bisa membuat sebuah konspirasi hebat, akan pembunuhan ibunya. Ia pun sanggup melakukannya.

Rhandra kembali menuju ke kepala polisi. Ia meminta untuk bertemu dengan pelaku penembakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Haikal. Kepala Polisi menyetujuinya, menurutnya laki-laki itu tetap yakin, bahwa Dirjo pelakunya. Demi berjalannya penyelidikan, Polisi mengizinkan Rhandra untuk menemuinya.

Rhandra bersama Anggoro kembali ke ruangan yang sama. Anggoro hanya diam, duduk di samping Rhandra. Penyesalan di wajah Anggoro begitu nyata, berulang kali ia mengepal jemarinya, sorot matanya begitu tajam.

Salah seorang laki-laki di antara mereka datang, wajahnya begitu culas. Laki-laki itu pula yang ia dengar telah menghantamkan pukulan keras ke arah Halimah. Ia duduk di hadapan Rhandra dengan kondisi tangan terborgol.
Rhandra mendengakkan kepalanya, rasanya tak sabar menghabisi nyawanya.

“Siapa yang menyuruhmu, membunuhnya?” tanya Rhandra geram
“Dirjo!” Anggoro murka, ia semakin percaya Dirjo yang memintanya.
“Kamu yakin?!”
“Hee … Harusnya kamu yang mati, tapi laki-laki bodoh itu justru datang melindungimu!”

Rhandra mulai jengkel dengan sikapnya. Anggoro menatap pada wajah Rhandra. Ia pun merasa bersalah atas apa yang telah ia buat dulu pada Ayahnya. Rhandra pantas hidup, kematian Haikal adalah balasan Tuhan pada Anggoro akibat dosa besar yang pernah ia lakukan pada Abyakta dan keluarganya. Anggoro diam, ‘jika Rhandra yang ingin dibunuh, sudah bisa dipastikan …’ telisik Anggoro dalam pikirannya.

“Apa kau yang menampar wajah istriku?” tanya Rhandra. Pertanyaan aneh yang membuat laki-laki di hadapannya tertawa.
“Pertanyaan apa itu, bodoh!” laki-laki itu semakin tertawa.
“KATAKAN!”
“YA!” jawabnya melotot. “Wanita bodoh itu, terus berusaha melindungi laki-laki sepertimu, ia pantas menerimanya!”
Rhandra mulai menahan emosinya, polisi yang berjaga di ruangan membuatnya menahan emosi untuk memukulnya. Tak lama Rhandra mengambil, jarum suntik dalam tubuhnya.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya laki-laki berseragam tahanan.
“Ini?”
“Mengambil sedikit darahku! … “Ehh …” Rhandra menyuntikkan jarum kelengannya. lalu mengelap bagian ujung jarum suntik miliknya.
“Kamu tau aku sakit apa?”
Laki-laki dihadapannya menggeleng.
“HIV!”
Laki-laki di hadapan Rhandra mulai ketakutan dengan sikap Rhandra. Tak lama Rhandra menangkap tangannya yang terborgol di arah depan.
“Lepaskan saya bodoh!” pintanya.
“Kamu tau, saya bisa menyuntikkan darah ini padamu. Darah yang akan membuat dirimu, hidup juga keluargamu menjadi hancur. Virus ini akan mendarah daging hingga perlahan kamu akan mati!” Dengus Rhandra pelan, ditelinganya.
“Katakan, siapa yang menyuruhmu menembakku?”

Tangan Rhandra begitu kuat, laki-laki itu tak bisa melawan. Ia mulai ketakutan, jarum itu sudah mulai menempel di kulit.

“Katakan!”
Laki-laki itu masih bergeming,

Cuih! laki-laki itu meludah ke wajah Rhandra. Rhandra semakin geram, ia mulai menekan jarum suntik di lengannya.
“Le … lepaskan!” jawabnya mulai ketakutan.
“JAWAB!” rutuk Rhandra, suntikan  itu hampir menusuk.
“HARSA!” jawabnya ketakutan … “Harsa yang menyuruh kami!”

Cengkraman Rhandra terlepas, laki-laki itu ketakutan.
Anggoro mendengar jawaban laki-laki yang sedang berbicara dengan Rhandra. Anggoro shock dan kaget, ia murka. Anak laki-laki satu-satunya meninggal akibat Harsa Abyakta.
Rhandra berdiri, ia mendekat ke arah laki-laki di hadapannya.

“Berkatalah yang jujur di persidangan nanti, jika tidak keluargamu akan habis ku suntikkan darahku!”
Laki-laki itu diam, wajahnya bengis menatap Rhandra.
“BUG!” Rhandra menendang tubuh juga menghantam wajahnya. Tubuh laki-laki itu terpental, darah keluar dari hidungnya.

Polisi yang dibelakangnya seketika berdiri dan menahan ke dua tangan Rhandra “Itu balasan pukulanmu untuk istriku!” teriak Rhandra, sorot matanya begitu tajam.
“Orang seperti kalian, pantas mati! Bersyukurlah aku tidak menyuntikkannya!” dengus Rhandra.

Misteri terungkap, semudah itu Rhandra menanyakan dan semudah itu juga ia mendapat jawaban. Anggoro pun meminta pihak kepolisian, untuk segera memproses dan menangkap Harsa, dalang dari penembakkan putranya. Berita acara pemerikasaan pun dibuat. Kini Rhandra hanya tinggal menunggu berita penangkapan Harsa, kakak tirinya.

Rhandra kembali, setidaknya bukan dia yang melaporkan Harsa kakak tirinya, tapi orang lain. Alloh berkuasa, Alloh pun mampu membuka rahasia dari segala misteri yang pernah terkubur. Satu-persatu orang yang menyakiti Rhandra dan keluarganya dulu runtuh akibat perbuatannya sendiri.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER