Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 01 Februari 2020

Menikah Dengan Setan #11

Cerita bersambung

*AYUB ALAIHISALAM*

Rhandra kembali menuju Genilangit, rasa lega juga geram karena niat Harsa yang ingin membunuhnya, membuat batinnya kesal, tangannya mengepal erat pada kursi mobil. Rhandra menarik nafas.

“Pak … Berhenti!”
Darmin memberhentikan mobilnya.
“Obat saya, Pak!”
“Nggih Den.”

Rhandra meminum obat sebelum ia bertemu Halimah, ia tak ingin wanita itu melihat tubuhnya rapuh seperti beberapa hari lalu.
Efek obat sebenarnya yang membuat Rhandra lemah, kadang ia akan menjadi mual lalu muntah, kadang berefek ke tubuhnya ruam atau bahkan tubuhnya yang lemas selalu berubah-rubah tergantung kondisi tubuhnya.

Jika ia tidak meminum obat, CD4 dalam tubuhnya akan berkurang, dan membuat tubuhnya menjadi lemah. Berbagai penyakit akan mudah menyerang tubuhnya. HIV sendiri hanyalah menyerang sistem imun tubuh, dan yang membuat seorang penderita HIV cepat meninggal adalah karena imun ditubuhnya sudah habis hingga mudah terserang penyakit.
Hari sudah malam Genilangit begitu gelap, hanya cahaya lampu mobil yang menerangi jalannya, Rhandra lemah, efek obat membuatnya muntah sepanjang jalan. Rhandra tiba di Genilangit, tubuhnya lemah tak berdaya ia turun dari mobil dan langsung naik menuju kamarnya. Dilihatnya, Halimah tertidur pulas. Rhandra merebahkan tubuhnya, ia meringkuk. Mual masih ia rasakan.

Halimah terperangah, wanita yang kini sudah merasa lebih kuat membuka mata dan melihat suaminya sedang meringkuk sakit di sebelahnya. Halimah bergeser, ia memeluk tubuh Rhandra. Halimah tau, ia pasti baru meminum obatnya. Rhandra sadar, keringat ditubuhnya mengucur deras. Ia memegang tangan Halimah erat, keduanya kini saling berpelukan.

Embusan angin menerpa wajah mereka, begitu sejuknya hingga mengendurkan semangat yang nyata. Rhandra dan Halimah terlelap. Pelan Halimah meraba tangan Rhandra yang melingkar di perutnya, Rhandra tertidur begitu pulasnya.

“Aku ikhlas menjadi istrimu, nasibku hanya Dia yang tahu, tubuhku juga ragaku tak akan datang kepadamu jika bukan atas kehendakNya, Aku ingin kamu membagi denganku, membagi semua masalahmu, membagi semua rasa sakitmu, tak peduli berapa lama Aku akan hidup denganmu di dunia, Aku hanya ingin bernafas denganmu di surgaNya, karena hanya disanalah tempat abadi, tidak ada sengsara, tangisan, sakit, luka ….” gumam Halimah.

Rhandra terenyuh pelan ia membuka mata, ia diam mendengarkan Halimah. Ia eratkan lingkaran tangannya, tubuh Halimah kini semakin dekat dipelukannya. Keduanya berhadapan dengan  panorama Genilangit yang begitu indah, langit biru taburan bintang juga lengkungan rembulan yang memancarkan sinar membentuk siluet-siluet indah di kamarnya semua berkumul menjadi satu membentuk lukisan indah diatas langit. Embusan angin mengantarkan mereka pada mimpi indah, mimpi yang hanya bisa didapatkan oleh jiwa yang tenang.

Malam itu langit menjadi saksi, rasa cinta Halimah pada Rhandra, begitu tulus ia menerima keadaan Rhandra seutuhnya, laki-laki itu memeluknya erat diranjang keduanya menghadap ke arah jendela. Halimah merasa lega, ia bisa menjadi obat bagi rasa sakit juga kesedihan yang selama ini ia hadapi.

Halimah tak peduli atas apapun yang menimpa Rhandra, baginya ia tak bisa hidup tanpa Rhandra, nafasnya sesak saat melihatnya menangis, ia tak bisa tertawa sebelum Rhandra tertawa, Halimah hanyalah rusuk yang terbuat dari tulangnya.  Rhandra bukan makhluk berdosa, penyakit itu datang bukan karena dosa-dosanya melainkan karena rahmat Allah untuknya.

“Terimakasih Halimah ....” bisik Rhandra di telinganya. Bulir air mata menetes, laki-laki itu begitu terenyuh dengan cinta Halimah yang teramat besar untuknya. Ingin rasanya bercerita pada Halimah, bahwa begitu banyak masalah yang menimpanya, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung baginya, justru menginginkan kematiannya.

“Halimah ....”
“Hmm ....”
“Kamu merindukanku?”
Halimah mulai tersenyum, dan tertawa kecil.
“Kenapa kamu, sangat ingin kurindukan?”
“Karena hanya kamu yang selalu kurindukan Halimah.
“Sangat, Rhandra … Aku ingin terus bersamamu, memelukmu. Berpisah denganmu hanya membuat rasa khawatirku menggila.”
“khawatir akan penyakitku?”
“Hmm …”
“Aku tidak akan mati Halimah.”
“Bagaimana urusanmu?”

Rhandra diam, ia menarik nafas. Hal yang sebenarnya tak di harapkan terjadi. Hubungan dengan keluarga tirinya kini semakin memanas. Penembakan yang ditujukan kepadanya adalah perbuatan Harsa, kakak tirinya yang beberapa waktu lalu bertemu dengannya dan berpura-pura baik dengan Rhandra.

“Rhandra …”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Sayang.”
“Aku menunggumu, sejak tadi.”
“Kamu menangis?”
“Hmm … tidak.”
“Istirahatlah Rhandra, kamu pasti lelah.”
“Aku tak ingin tidur, seharian ini aku pergi meninggalkanmu. Matahari sebentar lagi datang, aku takut melewatkan hari, tanpa melakukan apapun denganmu.”

Halimah terenyuh. Kata-kata Rhandra begitu romantis, hingga menyentuh relung hatinya.
“Apa kamu mau mendengar sebuah cerita?”
“Katakan Halimah ... ceritakan … hibur aku ....”
“Ini adalah kisah yang sering ku ceritakan pada murid-muridku ... tidak apa-apa?”
“Ceritakan Halimah, aku ingin mendengarnya ....”
“Pernah mendengar kisah Ayub Alaisalam?”
“Belum, ceritakan Halimah.”
“Dulu ada seorang nabi bernama Ayub. Ia adalah Nabi Allah yang memiliki tingkat kesabaran yang paling tinggi dalam menghadapi cobaan dari Allah swt.” Suara Halimah begitu lembut terdengar.
“Cobaan apa Halimah?”
“Ia memiliki Harta namun hartanya yang banyak habis,ia memiliki anak namun anak-anaknya meninggal dunia, Ia memiliki banyak ternak dan semua ternaknya binasa, dan Nabi Ayyub ‘alaihis salam sendiri menderita penyakit yang sangat berat, tidak ada satu pun dari anggota badannya yang sakit, hanya hati juga lisannya yang berfungsi. Nabi Ayub tetap sabar menjalani ujiannya.”

Rhandra diam, mendengar kata penyakit. Halimah seperti sedang menyerang ruh nya dengan nasihat, ia membuka hati untuk mendengarkan cerita Halimah. Halimah menarik nafas. Cerita yang ia ingin sampaikan pun sepertinya persis dengan yang  ia dan suaminya alami. Perlahan cerita itu menusuk relung hati Halimah, di pundaknya Halimah menangis.

“Teruskan Halimah …”
Halimah diam, ia mencoba menata hatinya. Halimah menelan salivanya.
“Dalam menghadapi musibah itu, ia tetap bersabar, Ayub hanya mengharapkan pahala dari Allah. Ia berdzikir di malam dan siang, pagi dan petang. Meskipun sakit ia tetap kuat dan yakin, bahwa ini ujian dari Allah dan pasti Allah akan meringankannya juga menyembuhkannya kelak.”
“Lanjutkan, sayaang,” tanya Rhandra semakin penasaran. Laki-laki itu penasaran apakah Allah akan memberikan Ayub kesembuhan.

“Hari pun berlalu, namun penderitaan Ayyub semakin berat, dan saat penderitaan yang dialaminya semakin berat, maka kerabatnya menjauhinya, demikian pula kawan-kawannya, juga  …” Halimah menarik nafas panjang.
“Apa kamu akan meninggalkan ku, Halimah?” tanya Rhandra.
“Percayalah, tidak suamiku. Aku akan setia bersamamu. Hingga ajal menjemputku.”

Rhandra berbalik, ia rengkuh kedua tangan istrinya. Halimah mulai menangis haru.
“Halimah, aku harus berkata apa lagi padamu. Kenapa dirimu begitu mencintaiku, apa yang telah kuperbuat hingga kamu begitu mencintaiku?”

Halimah menggeleng, “Cinta ini bukan datang darimu Rhandra, cinta itu Allah berikan untukku. Allah ingin aku terus menjagamu, Allah ingin aku terus menemanimu …” ucapnya lembut, Rhandra mulai terenyuh.

“Rhandra … apa kamu percaya dengan kisah, yang ku ceritakan tadi?”
Rhandra mengangguk.
 “Teruskan, sayang … aku mohon.”
“Istrinya Ayub yang bernama Sayyidah Rahmah begitu setia Rhandra. Wanita itu rela bekerja menggantikan posisi suaminya, ia pernah bekerja di tukang roti. Namun ia diusir karena mereka tahu, ia adalah istri Ayub. Penyakitnya bisa menular ke siapa saja. Sayyidah tak berhenti, ia terus mencari akal agar ia dan suaminya bisa makan, wanita itu sampai menjual rambutnya ke pasar hanya untuk mendapatkan makanan …” Halimah menarik nafas, ia mulai masuk merasakan apa yang kini di alami Sayyidah Rahmah, cobaan Halimah tak terlalu berat tak seperti Sayyidah, Halimah yakin ia bisa melaluinya.
“Katakan, apa istrinya meninggalkannya?”
“Tidak, Rhandra … tidak. Sayyidah begitu kesal dengan suaminya, ia sangat tahu. Jika suaminya mau ia pun bisa meminta kesembuhan pada Allah, dan Allah akan segera mengangkat penyakitnya. Bahkan malaikat jibril pun terus memaksanya untuk meminta pertolongan pada Allah.”
“Kenapa Ayub begitu keras kepala Halimah?”
“Ayub begitu malu pada Allah, Rhandra … 80 tahun ia menikmati kekayaan, kebahagiaan bersama keluarganya dan saat ia merasakan sakit yang baru dideritanya selama 18  tahun lalu ia mengeluh, ia tetap bersabar. Laki-laki itu ingin membuktikkan pada Allah ia sabar dengan cobaan yang Allah berikan. Hingga suatu ketika, penyakitnya sudah sampai pangkal lidahnya, barulah ia meminta kesembuhan.”
 “Lalu, apa yang terjadi ? apa ia meninggal?”
“ Tidak … Nabi Ayub tetap ingat dan patuh kepada Alloh. Dia selalu rajin berdoa meminta kesembuhan dan ketabahan menerima segala ujian hidup. Setiap kali akan salat, dia mencabut puluhan belatung yang menempel di lukanya. Meski begitu, Nabi Ayub tak pernah membunuh belatung-belatung itu. Karena pantang baginya membunuh sesama makhluk ciptaan Allah.”
“Bagaimana dia bisa bertahan?”
“Dengan Doa Rhandra, dengan doa juga ketaatannya.”

Rhandra diam. Sudah lama ia mempersalahkan Tuhan akan penyakit yang menimpanya. Mendengar cerita Halimah, hatinya tersentuh.

Parau suara Halimah, namun ia tetap melanjutkan agar suaminya termotivasi akan ceritanya.
 “Apa ia sembuh?
“Ya … Alloh begitu mencintai Ayub Alaissalam. Laki-laki itu menunjukkan pada Allah bahwa ia sanggup menerima cobaan yang baginya itu tak sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan padanya dulu. Allah menyembuhkannya dalam sesaat, Allah memintanya untuk menghentakkan kakinya ke atas air. Seketika penyakit kusta yang menyerangnya sembuh, belatung-belatung pergi dan mati. Ayub sembuh … dia sembuh Rhandra, atas seizin Allah dia sembuh!” ucap Halimah begitu bersemangat.

“Rhandra …”
“Hmm ….”
“Tau kah … keadaan kita tak berbeda dengannya sekarang? aku ingin menjadi istrimu seperti istri Sayyidah Rahmah yang selalu setia menemani suaminya, aku ingin menjadi istrimu hingga Allah mencabut semua cobaan dan penyakitmu. Aku ingin menjadi istrimu hingga Alloh …”
“Hingga apa?”
“Hingga ia memberikan takdir baik untukmu.” Halimah terisak.
Rhandra terenyuh, laki-laki itu mulai meneteskan air mata.
“Apa yang harus kulakukan Halimah? katakan?”
“Ayub tak akan sembuh jika bukan karena ketaatannya, Rhandra …”
“Rhandra ....” Halimah merengkuh wajah Rhandra, kedua matanya menatap mata Rhandra yang sudah basah karena air mata.
“Hanya Tuhan lah, satu-satunya alasan kamu hidup, dan hanya Tuhan lah satu-satunya alasan Aku bisa bersamamu, dan Hanya Tuhan lah, satu-satunya Dzat maha penyembuh. Aku yakin kita bisa melewati ini, Aku yakin suatu saat kita bisa berjalan bersama, memiliki anak-anak yang lucu, hingga kelak kita sampai di surga ....” lanjut Halimah meyakinkannya.

Air mata itu menetes, perkataan Halimah sangat menyentuh relung hatinya.
“Katakan? Apa kamu mau hidup denganku selamanya?”
Rhandra mengangguk. Laki-laki itu semakin rapuh akan cinta Halimah padanya.
“Hanya surga tempat abadi Rhandra ... tak ada sakit disana, tak ada luka, tangisan ... semua hanya kebahagian. Maukah ke Surga bersamaku?”  tanya Halimah, ia sudah tak sanggup menahan suaranya yang sudah parau.
Rhandra mengangguk..”Mau ... Mau ….” Ia memeluk istrinya dengan erat. Tangisan mereka berdua pecah.

Maha benar Allah atas segala firmannya,
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan [Âli ‘Imrân/3 : 186]”

Alam menjadi saksi atas ketaatan Halimah pada Tuhan juga rasa takdzim pada Suaminya. Alam pun menjadi saksi seorang Rhandra Abyakta yang dulu membenci dan menafikkan Tuhan. Kini tertunduk lemah tak berdaya, mengakui setiap kebesaran, mengakui setiap keindahan, ia sengaja di buat hidup oleh Tuhan hanya untuk mengisi kebahagiaan Halimah, dan begitu pun Halimah ia di lahirkan didunia hanya untuk bisa menjaga suaminya. Penyakit yang diderita Rhandra hanya lah sebuah cobaan yang sama seperti yang Ayub derita. Rhandra rapuh, ia lemah tak berdaya. Hidayah datang bukan karena Halimah, melainkan turun langsung dari Ars Alloh.

=====

*PINTU HIDAYAH*

Cerita Halimah membuka mata batin Rhandra, Rhandra luluh, ia takluk akan kebesaran Alloh. Ribuan keraguan akan Tuhan seketika terjawab, mata angin kini menuju pada hidayah-Nya, menuju pada rida-Nya. Cinta Halimah menggetarkan hati Rhandra, hidayah bukan darinya, melainkan dari Alloh semata. Bahkan, Nabi Muhammad sekalipun tak mampu membawa orang kesayangannya mendapatkan hidayah dari-Nya. Rhandra beruntung, kasih Alloh masih berada di ubun-ubunnya, kebenciannya pada Tuhan justru yang membawanya pada Halimah. Pintu itu terbuka, Rhandra kini bagai singa kehausan di padang pasir; haus akan ilmu, haus akan hidayah.

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” [Al Qashash/28: 56]

Rhandra mulai menerima cahaya Tuhan. Ia bentangkan hati, juga pikiran selebar-lebarnya untuk Tuhan. Bukan karena Halimah yang berhati lembut, takut akan kehilangan Halimah, melainkan cinta Alloh padanya. Cinta itu menyentuh relung hatinya yang paling dalam. Ia akan menunggu hari bahagia, seperti yang Halimah katakan. Bersamanya kembali mesra, bercumbu rayu, memadu satu hanya dalam surganya. Jika bukan di dunia, setidaknya ia bisa berbahagia di akhirat, berbahagia selama yang ia inginkan, memiliki Ratu secantik Halimah.

Malam itu ia melihat kuasa Alloh; ribuan bintang, juga bulan yang bersinar begitu indahnya. Gunung Lawu menunjukkan keperkasaannya. Hal itu hanya bisa dilihat, dan dirasakan getarannya oleh mereka yang mempunyai iman di hatinya; iman yang senantiasa memuji karya agung milik-Nya, iman yang senantiasa bersyukur atas penciptaan yang luar biasa indah.

Pagi itu adalah hari terindah bagi Halimah, saat tubuhnya sudah sanggup berdiri. Rhandra mendampinginya ke kamar mandi, ia perhatikan setiap gerakan istrinya. Tak lama, Halimah selesai, ia mengajaknya keluar.

“Tunggu, Halimah … aku ingin shalat.”

Seketika tubuh Halimah bergetar, air matanya meleleh. Ia memeluk tubuh suaminya, ia ucapkan syukur berulang kali, ia cium dada suaminya. “Semoga hidayah selalu menyertaimu, Suamiku.”

Halimah menuntun Rhandra, ia membantunya mengambil air wudu; mulai dari mulut, wajah, tangan, kepala, hingga kaki, semua ia usap dengan air yang mengalir. “Asshadu.” Halimah menuntun Rhandra membaca selawat setelah berwudu. Wajahnya merona, napasnya sesak penuh dengan kebahagiaan.

“As … ashadu.” Rhandra mengikutinya. Air mata Halimah menyentuh hatinya, tak kuasa ia pun membuka hatinya dan berserah diri pada Alloh.
“Alla.” Suara Halimah mulai parau.
“Alla.” Rhandra menguatkan istrinya, kedua tangan ia erat.
“Ilaaha.” Sepasang mata saling bertemu.
“Ilaaha.” Rhandra mulai terenyuh.
“Illaullah.” Halimah mulai mengusap pipinya yang basah.
“Illaullah.”
“Wa ash hadu anna …”
“Wa … Waash … Wa ash hadu anna.” Napas Rhandra tersengal-sengal.
“Muhammadan.” Suara Halimah hampir tak terdengar.
“Muhammadan.”
“Abduhu.”
“Abduhu.”
“Warasullah.” Tangis Halimah pecah.
“Warasullah.” Rhandra memeluk Halimah erat, ia bersyukur bisa mengenal Alloh dari istrinya.
“Barakallah, alhamdulillah. Selamat kembali suamiku, kita berjuang bersama, kita minta sama Alloh untuk mencabut semua peluh, kita pasti bisa.”

Rhandra mengangguk, air mata membasahi pipi. Bersama istrinya, ia langkahkan kakinya menuju lantai bawah. Darmin, Sum, Dasinun, Dwi, juga Sur terlihat sedang bersiap mengerjakan salat subuh. Rhandra terlihat gagah, rambutnya yang berantakan ia ikat, wajahnya bersinar. Air wudu membuatnya segar, juga bersih. Ia berjalan, lalu ia tapakkan kakinya di atas sajadah.

“Den,” ucap Sum terharu, tak lama air matanya meleleh. “Terima kasih, Non.”

Darmin memeluknya erat, ia bersyukur Rhandra bisa berubah. Sementara Dasinun memeluk putrinya, ada keharuan yang begitu besar di wajah Halimah. Alam bertasbih, alam menangis. Ketika hidayah datang menyapa, tidak ada seorang pun yang mampu menghalanginya, bahkan menutup-nutupinya.

Darmin mengucap salam, semua makmum mengiringi salamnya. Selesai berdoa Dasinun pamit, Dwi, dan Sur harus tetap sekolah. Jarak Genilangit dengan tempat mereka cukup jauh. Darmin yang akan mengantar mereka pulang, ke rumah yang sengaja Rhandra sewa untuk mereka sampai situasi aman.

Suasana yang begitu menyejukkan hati, bahkan lebih indah dari seseorang yang mendapat sebongkah emas, atau bahkan lebih indah dari seseorang yang diangkat menjadi seorang raja. Halimah, dan Rhandra menatap keluar, Rhandra mendekap tubuh istrinya yang mungil itu, ia memandangnya, sejuk, dan damai terasa.

“Rhandra, di mana kamu simpan Mushafku?”
“Di hatiku. Hampir setiap malam aku memeluknya karena rindu padamu.”
Halimah diam selama beberapa saat. “Benarkah itu?”
“Ya. Kamu benar, kitab itu bisa menenangkan hatiku yang hancur. Lalu, apa yang kamu lakukan saat aku tak ada?”
“Aku memeluk jaketmu, dan memandang bulan, berharap kamu juga memandangnya.”
Rhandra terenyuh, ia peluk istrinya lebih erat lagi
***

Rhandra belajar banyak agama dari Darmin juga Halimah, Islam begitu indah hingga membuatnya takluk. Ia semakin adiktif akan ayat-ayat Allah. Istrinya adalah guru baginya. Halimah mengajarkan ia membaca Mushaf, setidaknya surat-surat yang akan ia pergunakan untuk salat.

Halimah mengajarkan bagaimana gerakkan salat sesuai tuntunan hadis. Wanita itu begitu gigih, ia tak kenal lelah.
“Katakan Halimah, di mana posisi tanganku saat takbir?”
“Letakkan di sini, ujung ibu jarimu hingga menyentuh bibir telingamu. Lalu bersedekap, saat Takbir kaurasakan sungguh-sungguh arti kalimat ‘Allahu Akbar Allah maha besar’ tiada yang lebih besar darinya. Buatlah salatmu hanya untuknya, dan letakan di sini.”

Rhandra kian bersemangat, ia terus menghafal Al-fatiha, juga beberapa surat pendek. Tak butuh waktu lama baginya, laki-laki sepintar dia sanggup menghafal kurang dari satu hari. Setiap langkah, mulutnya terus berucap, ia terus menghafal.

“Katakan Halimah, apa lagi yang kaubaca setelah kau salat?”
“Berizikir, lalu berdoa. Ucapkan Istigfar tiga kali, lalu allahuma anta robbi la ila ha illa anta lalu …” Halimah terus menjelaskan, ia begitu bersemangat.

Rhandra membuka pintu selebar-lebarnya akan hidayah yang masuk ke relung hatinya. Laki-laki itu belajar siang-malam agar bisa menjadi pemimpin bagi istrinya, ia belajar agar ia bisa meraih surga bersama istrinya. Laki-laki itu tunduk, patuh, dan taat agar ia bisa menarik tangan istrinya dari api neraka. Rhandra mencintai Halimah, dan karena Halimah ia mencintai Alloh. Semoga rahmat, dan ilmu yang bermanfaat bisa terus mengalir dalam hidupnya. Tanpa kehendak Alloh Ta'ala, sekuat dan sebesar apa pun ajakan untuk berbuat kebaikan, seseorang tidak akan mampu melaksanakannya. Sebagaimana firman Alloh Ta'ala dalam Al-An'am: 111:

“Dan sekalipun Kami benar-benar menurunkan malaikat kepada mereka, dan orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) di hadapan mereka segala sesuatu (yang mereka inginkan), mereka tidak juga akan beriman, kecuali jika Alloh menghendaki. Tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (arti kebenaran).”

Mereka tidak akan berbuat kebaikan, walaupun yang mengajak mereka adalah para malaikat; walaupun mereka dinasihati orang tua mereka yang telah mati, dan sengaja dibangkitkan dari kubur mereka, walaupun mereka mendapatkan segala bukti mereka minta.

Hidayah bukanlah masalah sederhana. Sebuah rahasia yang tidak diketahui oleh siapa pun. Alloh Ta'ala membuka kesempatan yang sama kepada semua orang untuk mengetahui petunjuk jalan yang benar. Beruntunglah orang yang segera menyambut hidayah itu; merugilah orang yang menundanya hingga kesempatan itu pun tertutup baginya. Wallahu a'lam.
Terima kasih Halimah, Istriku.

Bersemilah sepanjang waktu di hatiku, warnailah hidupku sesuka hatimu. Kini aku sadar, begitu besar rindu yang mengecam di dada, rindu yang teramat menyakitkan. Aku begitu mencintaimu, aku tak peduli, meski hidupku hanyalah sebuah kesalahan. Maafkan aku, telah membawa dirimu masuk terlalu jauh ke dalam kisah cinta yang begitu rumit. Aku begitu mencintaimu, Halimah, dan balasan cintamu membuatku rapuh. Janjiku padamu, aku akan mencintai-Nya sebesarmu mencintai-Nya, aku akan memuji-Nya sepertimu selalu memuji-Nya, aku akan menuruti semua perintah-Nya sepertimu yang menuruti perintah-Nya. Cintaku tulus Halimah, hanya karena-Nya aku bisa mencintaimu.
***

Senja itu Rhandra berhadapan dengan panorama alam yang memukau di kamarnya. Usaha Halimah meyakinnya keagungan Tuhan berhasil. Sore itu, ia menyadari kukuhnya Gunung Lawu pun mungkin bisa Alloh runtuhkan hanya dengan sentilan jari, tak ada yang tak mungkin bagi-Nya, begitupun dengan penyakitnya.

“Rhandra,” sapa Halimah.
Rhandra melihat ke arahnya, Halimah membawa nampan berisi air putih, juga obat-obatan, dan beberapa jenis makanan. “Apa itu?” tanyanya.
“Kamu harus makan dulu, setelah itu minum obat.”
“Kita makan bersama,” ajak Rhandra. “Kamu harus banyak makan, terakhir aku menggendongmu sudah tak terasa seperti karung beras. Berapa lama kamu tidak makan?”

Halimah mengangguk. Seperti biasa, Rhandra akan menyuapi Halimah dengan sendok baru yang ia isi penuh. “Aku makan Rhandra, hanya porsinya sedikit. Aku tak bisa memenuhi isi perutku, karena pikiranku selalu tertuju padamu.”
“Sekarang aku bersamamu, Halimah. Kamu harus banyak makan!” perintah Rhandra, seraya mengusap lembut pada wajah Halimah.
Makanan telah habis dilahap, beberapa menit setelahnya Rhandra harus meminum obat ARV yang telah Halimah bawa.
“Turunlah Halimah”
“Kenapa kamu selalu menyuruhku pergi?”
“Karena aku tak ingin melihatmu menangis. Pergilah Halimah, aku mohon.”

Halimah meninggalkannya, ia duduk di anak tangga yang tak jauh dari kamarnya. Wajahnya berpangku pada tangannya yang ia lipat di atas lutut. Tak lama teriakan itu terdengar, Rhandra muntah, ia lemah, keringat mengucur di seluruh tubuhnya, ia tak berdaya.

Obat yang ia minum membuatnya lemah. Alasan Rhandra selama ini sering mengurung diri dalam kamar saat di Gedong Tua pun terungkap. Halimah tak sanggup, ia berlari ke arahnya. Tubuh Rhandra tersungkur di lantai. Halimah memeluknya, meski Rhandra meronta.

“Adz hibil ba’tsa robannaasi wasyfi antasysyaafiiy laa syifaa a illaa syifaa uka syifaa an laa yughoiruu saqoma ." [Hilangkanlah penyakitnya, wahai Tuhan manusia! Berilah kesembuhan karena Engkaulah Penyembuh (segala penyakit). Tiada kesembuhan kecuali kesembuhan-Mu, yaitu kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.]

Halimah menahan tangis melihat tubuh Rhandra lemah, dan bersandar di dada Halimah. Rhandra tak berdaya, ia terlelap di pelukan istrinya. Wanita itu menangis, Rhandra sangat berarti untuknya. Jika bisa, ia ingin mengambil separuh rasa sakit di dalam tubuhnya, ia ingin merasakan apa yang Rhandra rasakan. Halimah mengusap peluh di dahinya, rambut Rhandra ia usap, dan rapihkan.
Halimah harus siap, ia harus siap menyimpan air mata saat menjaganya.

Ya Alloh, jika separuh napasku bisa menyembuhkan lukanya, maka ambillah. Jika separuh darahku bisa membuatnya kuat, maka ambillah. Jika separuh tenagaku bisa membuatnya tegar, maka ambillah. Hidupnya kini hidupku, sakitnya pun kini sakitku, harapannya adalah harapanku, sembuhnya juga menjadi kesembuhan bagiku. Aku mencintainya begitu pun ia mencintaiku. Bentangkanlah rahmat-Mu, kabulkanlah doaku yang juga doa-doanya.

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER