Oleh : Nadjib Kartapati Z.
Steven ngomel lagi ketika mobil yang kukendarai mulai tercaplok deretan panjang kemacetan.
“Macet lagi! Macet lagi!” gerutunya dengan bahasa Indonesia yang kagok.
“Di depan itu traffic-light, Stev, Sayang!”
“Saya tahu, Mira, tapi masih cukup jauh dari sini, ‘kan?”
Steven benar. Kemacetan sudah menimpa kami meskipun lampu merah masih nun di depan sana. Bagiku ini bukan sebuah keanehan. Tapi lain bagi Steven yang baru sebulan tinggal di Indonesia. Steven yang duduk di sampingku ini tampak gelisah. Dia menarik napas panjang dengan wajah sengsara.
“Seharusnya lalu-lintas di Jakarta ini diatur secara profesional,” ucap Steven di ujung kejengkelannya.
“Apa kamu mau bilang bahwa pengaturan di sini tidak profesional?”
“Bagaimana mau bilang profesional kalau kenyataannya seperti ini? Dalam banyak hal bangsamu memang kurang profesional, Mira,” katanya bersungut.
Aku menelan ludah. Terserah Steven mau ngomong apa. Gerutu yang meluncur dari mulutnya itu toh sebuah kritik yang baik. Artinya, seburuk-buruk cemoohannya itu tetap mengandaikan sebuah perbaikan. Aku harus belajar menanggapinya secara objektif.
Steven datang dari Amerika dan harus menetap di sini setidaknya selama dua tahun. Perusahaan tempat dia bekerja mengirim dia untuk ditugaskan di anak perusahaan yang ada di Jakarta. Meskipun mendapat fasilitas apartemen yang paling bergengsi di sini, Steven toh memilih tinggal di rumah orang tuaku. Bagiku, Steven bukan orang asing, setidaknya dalam hidupku. Kami pernah pacaran ketika aku masih study di Amerika tiga tahun lalu.
Berpacaran tanpa pernah punya maksud hidup bersama sebagai suami-istri, akhirnya putus juga. Ketika tiba-tiba dia muncul di hadapanku di negeri ini, bahkan lantas tinggal serumah denganku, perasaan saling menyukai itu pelahan-lahan bangkit kembali. Dan kami sepakat untuk melangsungkan pernikahan kalau tiba saatnya nanti.
Mobil merangkak seperti keong, sampai akhirnya mendekati perempatan. Saat menunggu lampu hijau, tak jelas dari mana arahnya muncul seorang lelaki pengemis yang kaki dan tangannya penuh luka. Tangan kirinya dibalut perban putih yang hampir seluruhnya dikotori bercak darah. Tangan itu digantung dengan kain putih yang sudah kekuning-kuningan dan terkait di pundaknya. Sementara kaki kanannya juga dibalut oleh kain kumal yang memberikan kesan bahwa di balik balutan itu ada borok yang tidak mudah sembuh.
Pengemis yang kutaksir usianya belum lima puluh tahun itu merapat ke jendela kanan mobilku. Dengan tangan kanannya dia mengetuk kaca jendela kemudian menadah. Dari balik kaca aku melihat wajahnya yang mengundang rasa iba itu hitam-legam kemerah-merahan karena sinar matahari. Dari kedua pelipisnya keringat pun mengalir seperti anak sungai. Rasa kasihan yang datang tiba-tiba membuatku langsung mengambil uang seribuan untuknya. Jendela kaca sedikit kuturunkan untuk sekadar menyusupkan lembaran ribuan di tanganku. Pengemis itu mengambilnya dengan bersemangat dan mengucapkan terima kasih sambil membungkukkan badan begitu sopan.
Lampu sudah menyala hijau. Mobil di depanku telah bergerak dan yang di belakang berebut membunyikan klakson. Sambil menjalankan mobil, kulihat pengemis tadi terpincang-pincang dengan susah-payah menuju tepi jalan. Kulirik Steven yang duduk di sebelahku. Wajahnya kecut dan mengekspresikan ketidaksetujuan.
"Kenapa kamu beri dia uang?” tanya Steven bernada protes.
“Dia butuh uang, Stev!”
“Itu bukan jawaban, Mira. Setiap orang butuh uang.”
“Kamu lihat sendiri tadi, ‘kan, dia menderita luka yang cukup serius? Dengan keadaan seperti itu, dia nggak mungkin bisa bekerja, Stev!”
"Apa kamu yakin uangmu akan menolong dia? Maksudku, uang yang dia peroleh apa bisa untuk menyembuhkan luka-lukanya?”
Sambil menginjak gas lebih dalam aku merenungkan pertanyaan Steven.
“Aku tidak berpikir sejauh itu, Stev! Mudah-mudahan sih uang yang dia peroleh dia gunakan untuk berobat.”
Steven tersenyum sinis kemudian berkata dengan sarkastis, “Kalau kamu ingin menolong dia, lebih baik ajak saja dia ke rumah sakit dan semua biaya kamu yang bayar. Dan… jangan tinggalkan dia sebelum sembuh!”
Aku tak ingin menanggapi ucapan Steven. Bagiku, seribu rupiah terlalu murah untuk membayar rasa kasihan yang meremas hatiku.
***
Kantor Steven yang tidak jauh dari kantorku membuat kami selalu berangkat bersama dalam satu mobil. Selama pergi bareng denganku, gerutuan yang keluar dari mulutnya selalu soal profesionalisme. Menurut Steven, kalau ada sesuatu yang paling membuat dia tidak kerasan tinggal di ibukota Indonesia Raya ini, tak lain dan tak bukan adalah ketidakprofesionalan para birokrat.
Malam ini dia menggebrak mejanya sendiri karena dongkol urusannya dengan pihak birokrasi belum juga kelar.
“Semua persyaratan sudah dipenuhi, tapi tetap saja tak kunjung beres,” geram Steven. “Apa sih susahnya tanda tangan dan kasih stempel? Dasar memang tidak profesional!”
Aku hanya tersenyum kecut tanpa berkomentar apa-apa. Toh aku tahu, komentarku juga tidak akan berpengaruh apa pun karena Steven terlalu pintar untuk melihat kenyataan. Biarlah dia lebih memahami realitas dirinya sebagai orang yang merasa jadi korban.
Kejengkelan Steven masih belum habis juga pada keesokan harinya. Dia mengomel lagi ketika kami sampai di perempatan yang macet. Seperti kemarin juga, Steven mengatakan bahwa lalu-lintas di Jakarta tidak diatur secara profesional. Aku tidak tertarik untuk menanggapi, terutama karena perhatianku tersita oleh kemunculan pengemis pincang itu lagi.
Saat sang pengemis yang penuh luka itu mendekati mobilku, aku baru sadar bahwa di mobil tidak ada uang ribuan atau uang receh yang lebih kecil. Aku menatap Steven sambil berharap dia memahami keinginanku.
“Kamu punya uang recehan, Stev?” tanyaku.
Steven menggeleng. "Buat dia?” tanyanya sinis. “Kalaupun ada, aku tidak bakal mau memberi, Mira!”
Aku tersentak oleh ucapan Steven. Jangankan uang seribu, seratus ribu pun tidak ada artinya bagi dia mengingat gaji dia yang besarnya sepuluh kali gajiku. Tetapi tidak beralasan juga aku menyebut dia pelit lantaran aku kenal persis sifat dia. Mungkin saja hatinya lagi tidak berkenan karena sisa-sisa kemarahannya akibat ketidakprofesionalan birokrat yang dihadapi.
Pengemis itu mengetuk kaca jendela mobilku. Aku jadi gugup dan mengais-ngais ke dalam laci dashboard di mana aku sering menaruh uang logam. Menyadari tak ada sekeping pun, aku lantas membuka dompetku. Uang yang paling kecil di dompetku adalah satuan lima ribuan. Saat aku mengeluarkan uang itu, Steven berusaha mencegah.
"Kenapa kamu kasih dia lagi, Mir?”
“Steven! Kamu boleh tidak memberi dia, tapi jangan larang orang lain memberi!” jawabku yang langsung menurunkan kaca dan memberikan uang itu.
Pengemis itu tampak kaget dengan uang yang kuberikan. Setelah mengucapkan terima kasih, dia terpincang-pincang ke tepi jalan. Entah kenapa, aku seolah-olah ikut merasakan sakit yang dia rasakan. Dan hatiku merasa tenang setelah aku memberinya uang.
“Aku tidak mengerti kenapa kamu suka memberi pengemis itu,” kata Steven, dengan ekspresi heran.
“Aku kasihan!”
“Kasihan? Kamu tidak mendidiknya untuk menjadi seorang pekerja yang lebih bertanggung jawab. Sikap kasihanmu itu, kamu sadari atau tidak, ikut menambah jumlah pengemis di kota ini.”
“Maksudmu?”
"Pengemis ada karena ada yang merasa kasihan.”
“Memang! Tapi rasa kasihan itu tidak jelek, Stev.”
“Kalau akibatnya menciptakan ketergantungan, siapa bilang tidak jelek?”
“Ah! Itu teori tanpa hati!” bantahku.
“Itu yang mau kukatakan kepadamu, Mira! Dalam hal ini kamu tidak boleh melihat dia dengan hati. Kamu harus melihatnya dengan pikiran!”
“Aku punya hati, Steve! Dan uang yang kuberikan tak bakal membuatku jatuh miskin!” bantahku mulai emosional.
Terus terang aku tidak suka pada orang yang hanya menggunakan pikiran tanpa hati. Selama ini aku selalu berusaha mengasah kepekaan hati di tengah-tengah kehidupan kota besar yang kering akan rasa kemanusiaan ini. Tetapi Steven –pria bule yang aku cintai— tiba-tiba melarangku menggunakan hati. Aku jadi sangat tersinggung.
"Dalam soal ini kita berbeda, Mira!” ucap Steven penuh tekanan. “Kalau aku melarangmu memberi pengemis itu, semata-mata karena ingin menumbuhkan sikap tanggung jawab sosialmu untuk lebih memanusiawikan sesama. Bukan untuk memuasi hatimu yang kasihan melihat penderitaannya. Untuk mengobati rasa kasihanmu itu hanya ada satu cara, Mir! Yaitu membuat dia jadi pekerja yang profesional!”
Kalau sudah sampai soal profesionalisme, Steven jadi menggebu-gebu. Dia bilang bahwa pada zaman sekarang, kunci keberhasilan adalah profesionalisme. Menurutnya, yang tidak profesional bakal tertinggal jauh di belakang.
Ah! Betapa jauh meloncatnya! Dari soal rasa kasihan tiba-tiba pindah ke masalah profesionalisme. Dan seperti biasanya, aku mulai malas menanggapi jika persoalan sudah sampai di sini.
Steven yang terdidik dalam alam demokrasi dan biasa menghargai perbedaan ini harus menerima kenyataan bahwa aku, perempuan yang menjadi kekasihnya, selalu memberikan uang kepada pengemis pincang di perempatan jalan. Dia sudah tidak lagi bertanya atau mengajak diskusi, apalagi melarang. Dia sadar bahwa argumentasinya tak mampu menyingkirkan rasa hasihan yang tumbuh dalam hatiku setiap kali berhadapan dengan pengemis pincang itu.
Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, kami melewati perempatan itu. Namun, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini kami tidak menjumpai pengemis pincang yang penuh luka tersebut.
“Dia tidak ada,” kata Steven hampir tak kedengaran.
“Iya. Mudah-mudahan dia lagi berobat,” sahutku berharap.
Ketika mobil kami sudah sekitar seratus meter melewati perempatan itu, tiba-tiba jalannya terasa berat dan terseol-seol. Steven yang pertama merasakannya.
“Stop! Stop! Ban belakang kempes!” seru Steven.
Buru-buru aku meminggirkan mobil dan menghentikannya persis di depan rumah makan Padang. Kami pun turun. Steven serta-merta mengeluarkan dongkrak dan kunci roda. Belum lagi sempat memasang dongkrak, Steven terbengong memandang ke satu arah. Rafleks aku ikut memandang ke arah yang sama. Tampak oleh kami seorang lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah pengemis pincang yang penuh luka itu. Akan tetapi, sekarang penampilannya jauh berbeda. Jalannya yang biasanya bongkok dan terpincang-pincang, kini tampak tegap dan normal. Tangannya yang biasanya terbalut dan tergantung di pundak, sekarang bebas dari cedera. Begitu juga kakinya, tak kurang suatu apa.
Lelaki pengemis yang ternyata sehat wal afiat itu masuk ke rumah makan. Dia memesan makanan dan lantas duduk di kursi di bawah kipas angin yang berputar di langit-langit ruangan. Tak lama kemudian pelayan membawakan makanan yang dipesan dan dia langsung menyantapnya dengan lahap.
Steven menatapku seolah-olah berkata bahwa selama ini aku kena tipu mentah-mentah. Atas kenyataan ini aku benar-benar merasa ditipu. Aku malu dan sakit hati. Ingin aku melumat muka lelaki penipu itu sampai berdarah-darah.
“Dia hebat!” kata Steven pendek.
Aku tidak menyahut, terutama karena luka hatiku yang makin pedih. Merasa ditipu, harga diriku jatuh terinjak-injak hanya oleh seorang pengemis jalanan. Aku ingin menangis dan memuntahkan dendam yang menyesak di dada ini.
Sepanjang perjalanan aku diam dan tidak berbicara apa-apa. Setelah beberapa kali Steven mengajak ngomong dan tidak kusambut, akhirnya dia hanya bersenandung kecil. Dia tahu aku kecewa berat menerima kenyataan bahwa diriku hanyalah mangsa empuk seorang pengemis jalanan.
***
Hari pertama setelah aku merasa tertipu, rasanya aku enggan lagi melewati perempatan itu. Tetapi tak mungkin! Selain itu jalan paling strategis menuju kantorku, aku tidak ingin ditertawakan Steven. Atas kenyataan yang kualami ini, maka aku bersumpah tidak akan pernah lagi sudi memberi dia uang.
Hatiku menjadi tidak menentu ketika mobil mulai merangkak mendekati perempatan itu. Rasa ingin marah, dendam, sakit hati, malu, dan remeh, bercampur-aduk menjadi satu. Aku berharap tidak melihat pengemis itu lagi, dan kalau bisa untuk selama-lamanya. Karena itu, tadi aku sengaja tidak mempersiapkan uang ribuan atau uang logam lainnya.
Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tahu-tahu pengemis yang pura-pura pincang itu sudah berada di dekat mobilku. Dia mengetuk-ngetuk kaca jendela, tetapi sengaja kuabaikan. Aku tak sudi melirik dia dan karena itu tidak tahu ekspresi apa yang mewarnai wajahnya.
Tanpa pernah kuduga, Steven merogoh sakunya dan mengeluarkan lembaran uang sepuluh ribuan. Dia menurunkan kaca jendelanya dan melambai-lambaikan uang puluhan ribu itu. Begitu melihat ulah Steven, pengemis itu memutar langkah untuk mendekati pintu di sisi yang lain. Dengan gembira pengemis itu menerima uang dari tangan Steven. Di pihak lain, Steven tampak berseri-seri, seolah dia baru saja melakukan pekerjaan yang penuh arti. Aku makin shock dan sendiri karena ternyata kekasihku ini tidak mau menjaga perasaanku.
“Kenapa kamu beri dia?” tanyaku memprotes.
“Ya! Sekarang aku merasa perlu memberi dia, Mira!”
Aku tersentak mendengar jawabannya. Refleks aku berpaling menatapnya.
"Dia seorang penipu, Steve!” ucapku penuh aksentuasi.
“Dia hebat, profesional banget, Mir! Aku harus memberi dia sebagai penghargaan atas keprofesionalannya itu.”
Setir langsung kuputar ke kiri dan mobil pun menukik ke tepi. Aku menginjak rem. Mobil berhenti. Kutatap dalam-dalam wajah Steven.
"Kenapa, Mir? Ada yang aneh? Sebagai profesional, dia berhak menerima pemberian orang! Dan dia juga berhak menikmati hasilnya di rumah makan mana pun juga,” kata Steven.
Aku menghela napas berat. Selangkah lagi aku lebih mengenali Steven: seorang pengabdi sejati profesionalisme. Tetapi seribu langkah lagi aku menyadari betapa jauh perbedaan kami. Di posisi ini, hampir-hampir aku tidak mengenali Steven sebagai calon suamiku.
***End***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel