Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 29 Maret 2020

Aku Rela Bercerai #1

Cerita bersambung
Oleh : Lleya Bening

"Totalnya enam ratus ribu rupiah, Bu." Ucapku pada seorang pembeli di toko kue milikku.
Hari minggu siang toko kue "ALIFA" sangat ramai pengunjung.
Toko kue ALIFA berada di pinggir jalan utama Setia Budi, Bandung.
Kalau keadaan sedang ramai seperti ini, aku membantu karyawanku untuk melayani para pembeli di meja kasir.

Suamiku, Mas Aldi masih sibuk di belakang toko, membantu karyawan di dapur dan bagian pengemasan.
Alifa kecil masih bermain di depan halaman toko bersama Melly, baby sitter kami.
Sesekali aku memandangi anakku dengan penuh senyuman.

Ketika meja kasir sudah mulai senggang, aku duduk di depan toko dengan taman kecil di depannya.
Aku melihat ke jalanan depan toko yang sudah dipenuhi mobil berseliweran.
"Mamah!" teriak Alifa memanggilku.
"Halo, sayangnya Mamah ..." Ucapku membalas sautan Alifa.

Melihat Alifa bisa bermain dengan riang seperti itu, hati ini ikut bahagia bersamanya.
Mungkin kejadian-kejadian yang dulu, sudah berlalu dari ingatannya.
Aku pun mencoba mengubur kenangan pahit bersama laki-laki itu, seiring berjalannya waktu yang silih berganti.
Mencoba membuka lembaran baru bersama dengan Mas Aldi sekarang.
Tapi sesekali aku masih mengingat laki-laki itu, tidak dipungkiri dia pernah ada di hatiku selama beberapa tahun.
Dan dia pernah memberikan cintanya padaku, sebelum..., ah, sudah lah hati ini kembali teriris jika mengingatnya.

Tiba-tiba mobil Nissan Serena warna hitam plat B datang dan berhenti tepat di tokoku.
Saat itu ada 10 mobil yang parkir di depan toko, rata-rata semuanya plat B, Jakarta.
Dari mobil hitam keluarlah seorang perempuan berhijab rapi dan disusul oleh seorang anak kecil seumuran Alifa di belakangnya.
Aku menatap wanita berhijab tadi, dia cantik dan masih muda dariku sepertinya.
Perempuan tadi langsung masuk ke toko, dan memilah-milih beberapa kue dengan anak kecil perempuan di sampingnya.
Dari balik kaca mobil kulihat ada seseorang yang duduk terdiam, dia sendirian di dalam mobil dengan wajah tertunduk.
Mungkin laki-laki di dalam mobil itu suami dari perempuan tadi.
Aku masih duduk di kursi rotan di teras toko, siang itu begitu adem karena terik matahari terhalang oleh awan-awan hitam di langit.
Aku yang berbaju gamis panjang dengan hijab hitam tidak begitu merasakan panas karena cuacanya begitu asri.

"Mbak Arum!"

Suara perempuan memanggilku dari belakang.
Hati ini mendadak risau, dan jantungku kembali berdenyut kencang ketika suara itu memanggil namaku.
Aku masih mengenali suara itu, masih teringat jelas suara itu yang membuat Alifa terpisah dengan Ayah biologisnya.
Pikiranku kembali terbang mundur mengingat kejadian 5 tahun yang lalu. Mengingat kembali kenanganku dengan Mas Rian, mantan Suamiku.
***

Mas Rian laki-laki yang baik bagiku, dia adalah pilihanku. Saat itu aku masih bekerja di sebuah Departemen Store ZARA, di Central Park, Jakarta Barat.
Sebagai supervisor aku membawahi banyak karyawan di Divisi penjualan.
Pekerjaanku menuntut  detail dan on time, sehingga menguras energiku setiap hari.

Jam 22:00 jam pulang dari tempat kerjaku dan aku sangat leleh sekali, aku pulang ke rumah kost di daerah Tanjung Duren.
Tiga tahun aku bekerja di tempat itu, membuatku memiliki banyak relasi di bidang retail dan supplier.
Tak jarang juga beberapa orang yang menaruh hati padaku, karena mungkin aku menarik bagi mereka.

Umurku masih 24 tahun, ketika aku mulai bekerja di ZARA. Rambut lurus panjang sebahu dengan baju putih rapi dan rok selutut merupakan seragam kerjaku setiap harinya.
Selalu saja aku menjumpai beberapa laki-laki menatapku tajam, entah apa yang dipikirkannya mengenaiku.

Saat itu aku sudah mempunyai pacar, namanya Bayu, dia supervisor MATAHARI Dept.store di Divisi Marketing.
Kami berkenalan dengannya ketika training bersama di JCC, Senayan.
Dia sangat baik padaku dan obrolan kami sering mengulas tentang permarketingan.
Kadang obrolan itu membosankan bagiku, kami hanya bertemu ketika weekend. Selain Bayu, sebetulnya ada seseorang yang menyukaiku.
Dia berbeda sekali dengan Bayu, lelaki ini sangat mengerti bagaimana memperlakukan seorang wanita dengan baik.

Namanya Rian Prasetyo, dia selalu menungguku pulang setiap malamnya di depan pintu keluar tempatku bekerja.
Padahal tempatnya bekerja sedikit jauh dari Tomang Raya. Tapi dia selalu mengantarku pulang ke kost dan kembali lagi ke tempat kostnya di Pesanggrahan.
Melihat perjuanganya dan ketulusannya padaku, hatiku mencair dan mau menerimanya menjadi pacarku.
Aku memutuskan hubunganku dengan Bayu secara sepihak.
Terlihat wajah kecewa dari Bayu ketika aku meminta putus saat itu, dia begitu marah padaku.
Tetapi hatiku sudah tertambat ke pada Rian, yang sudah membuatku luluh dan takluk padanya.

"Aku minta maaf, Bayu. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini, semoga Kamu mendapatkan wanita  yang lebih baik dariku!" ujarku pada Bayu.
"Please, jangan putus Arum, apa salahku? tiba-tiba Kamu meminta putus?" tanya Bayu.
"Aku sudah punya yang lain, dan mungkin dia laki-laki pilihanku untuk selamanya!" aku menjelaskan yang sebenarnya pada Bayu.
"Tidak, tidak Arum, kamu sudah selingkuhi aku berarti selama ini, Aku sangat kecewa sekali, semoga kamu mendapatkan karma dari perbuatanmu padaku!" Teriak Bayu padaku dan berlalu meninggalkanku sendiri di tempat itu.

Kadang aku berpikir apakah aku sudah terlalu jahat pada laki-laki seperti Bayu. Entalah aku tidak memikirkannya terlalu dalam.
Lagian pacaranku dengan Bayu hanya sekedar ngobrol, nonton tdak sampai ke arah yang lebih dalam.
Hubunganku dengan Mas Rian semakin hari semakin serius.

Setelah 5 bulan pacaran, dia melamarku dan ingin melanjutkan hubungan ini lebih serius lagi yaitu pernikahan.
Aku menerima pinangannya, aku sangat bahagia sekali ketika Mas Rian sungguh-sungguh ingin melamarnya.
Dia lelaki idamanku, lelaki yang membuatku nyaman ketika di sampingnya.

Selang dua bulan dari pertunangan, kami menikah dan Mas Rian secara tegas dan mantap mengucapkan janji-janji suci di depan orangtuaku.
Air mataku menetes haru bahagia, ketika lelaki itu berjabat tangan dengan Ayahku dan berjanji akan membahagiakanku selamanya.
Semua orang larut dalam kebahagiaan di hari penikahanku. Aku pun berjanji, aku akan setia sampai waktuku terhenti.
Aku akan berusaha menjadi istri yang manut pada suami dan akan melayaninya semampuku.
Dalam kamar yang penuh dengan warna putih dan taburan bunga di sana-sini, aku dan Mas Rian melepas masa lajang kita di malam itu.
Walapun aku dulu punya banyak pacar tetapi kesucianku masih terjaga hanya untuk suamiku kelak yaitu Mas Rian.

Awal penikahan merupakan langkah awal kami menatap masa depan kami dan anak-anak kami nanti.
Aku dan Mas Rian membeli rumah di daerah Meruya Selatan, Perumahan Puri Botanical. Kami berdua mengangsur rumah itu bersama-sama.

Sempurna sudah kehidupan kami waktu itu, sudah mempunyai rumah sendiri. Aku dan Mas Rian masih bekerja di tempat masing-masing seperti biasa.
Rumah kosong ketika kami bekerja, Mas Rian orang pertama yang pulang ke rumah.
Karena pekerjaan suamiku selesai jam 17:00 dan sampai di rumah menjelang Maghrib.
Sebagai supervisor Teller di sebuah Bank Swasta membuat Mas Rian jago soal hitung-menghitung.

Ketika aku hamil tiga bulan, Mas Rian menyuruhku berhenti bekerja dan mengurusi rumah saja.
Karena menurut perhitungannya, penghasilannya sudah cukup kalau aku berhenti bekerja.
Alasan lain yaitu Mas RIan tidak suka kalau aku dilirik oleh banyak lelaki di tempat kerjanya.
Terlebih sekarang aku lagi hamil muda dan butuh banyak istirahat.
Pernah beberapa kali Mas Rian mengangkat telponku dan ternyata dia seorang laki-laki.
Dia sangat cemburu ketika itu, dan pernah sekali waktu dia mendapatkanku sedang digoda oleh laki-laki lain di tempatku bekerja.
Kadang rasa cemburu suamiku membuatku senang, itu artinya dia sangat mencintaiku. Akhirnya aku menuruti keinginan Mas Rian untuk berhenti bekerja.

Setelah aku berhenti bekerja, kontras aku tidak memiliki kesibukan lagi seperti pada saat aku bekerja.
Hari-hariku hanya berdiam diri di rumah, membersihkan rumah dan menyiapkan hidangan makan malam untuk suamiku.
Bosan pasti, tetapi aku berusaha membuat diriku enjoy menikmati peran baru sebagai ibu rumah tangga.
Setiap sore aku menyambut kepulangan suamiku di rumah, aku mencium tangannya sebagai tanda kepatuhanku.
Dan menyiapkan air panas untuknya mandi, hampir sama, hal itu aku lakukan setiap senin-jumat.
Berbeda dengan hari sabtu dan minggu, Mas Rian membantuku mengurusi rumah dan sesekali dia memasak sendiri untuk kita.
Dia begitu perhatian padaku, Alhamdulillah aku mendapatkan suami sepertinya.
Hatiku selalu bersyukur mendapatkan jodoh seperti Mas Rian.
Setiap mau tidur dia mengelus-elus perut buncitku, dia berbicara halus pada jiwa suci di dalam perutku.
Setiap pagi ketika Mas Rian mandi, aku selalu menyiapkan baju-bajunya dan menyiapkan sarapan untuknya.
Walau hanya roti tawar ditaburi selai itu sudah cukup untuk Mas Rian.
Dia tidak mau melihatku kelelahan, karena itulah aku selalu percaya padanya.
Kehidupan di perumahan memang tak seindah seperti di sinetron, walaupun perumahan ini tergolong menengah ke atas.
Tapi ada saja problema dalam bertetangga.
Dari gosip murahan, persaingan harta dan beberapa masalah lain yang mewarnai kehidupan di perumahan.
Contohnya tetangga samping kananku, Pak Alex, dia sudah separuh baya umurnya.
Tapi masih saja menggodaku ketika aku menyirami bunga di depan rumah.
Tidak ada pagar depan rumah disini, hanya tembok setinggi 1 meter membatasi antar rumahku dengan rumah tetangga.
Waktu itu aku hanya memakai baju daster setinggi lutut dengan lengan terbuka.
Aku memegangi selang air dan menyirami tanaman di depan teras, Pak Alex mulai menggodaku.

"Halo, Bu Arum, lagi nyiram bunga?" tanya Pak Alex.
"Iya, Pak." jawabku kilat tanpa memandangnya.
"Bu Arum, cantik sekali hari ini, beruntung sekali Mas Rian, ya." Celetuk Pak Alex menggodaku.

Matanya terus melihatku dari atas sampai bawah, sepertinya dia membayangkan tubuhku yang bukan-bukan.
Akhirnya aku langsung masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.
Pak Alex terus memanggilku dari pagar samping rumah, aku menutup tirai jendela agar Pak ALex tidak bisa melihat seisi rumahku.
Kejadian ini aku laporkan pada Mas Rian, dan malam itu juga Mas Rian mendatangi rumah Pak Alex.
Aku tidak tahu apa yang dikatakan Mas Rian pada Pak Alex. Tapi hari-hari berikutnya Pak Alex tidak berani lagi menggodaku seperti yang sudah-sudah.
Dari kejadian itu aku mulai memakai baju-baju yang agak tertutup menghindari mata keranjang dari lelaki lain.
Ya, namaku memang menjadi bahan gosip di perumahan itu, yang aku dengar kalau aku orangnya sok kecantikan dan membuat para suami-suami di perumahan itu tertarik menggodaku.
Pernah di suatu pagi ada tukang sayur menggunakan mobil berhenti di depanku, semilir aku mendengar obrolan ibu-ibu di sekitar tukang sayur.

"Tahu tidak, Bu, itu si Arum yang lagi hamil muda, memang suka tebar pesona di komplek sini." Salah satu ibu memulai bergosip.
"Oh yang itu rumahnya, sengaja tuh bajunya yang ketat mau pamer tubuh sexy-nya." Ucap Ibu yang lain menanggapinya.
"Itu suaminya apa tidak ngasih tahu memangnya?" ketus Ibu muda yang lain menyambar omongan itu.

Aku yang berniat untuk membeli sayuran akhirnya mengurungkan niatku.
Aku membanting pintu keras-keras, supaya Ibu-ibu tahu kalau aku mendengar apa yang mereka bicarakan.
Sontak semua pandangan ibu-ibu yang sedang belanja melihat ke arah rumahku.
Mata-mata penuh sirik itu melihat penasaran ke arah pintuku, lalu tirai coklat aku tutup rapat-rapat.
Seketika itu, Ibu-ibu yang melihat perbuatanku, saat itu langsung tertunduk dan pura-pura tidak tahu apa-apa.
Setiap kejadian dan gosip dari ibu-ibu komplek aku selalu kasih tahu ke Mas Rian.
Kali ini Mas Rian memberikanku saran untuk memakai baju yang longgar atau tidak kelihatan lekuk tubuhku.
Mungkin memang benar adanya, gaya berpakaianku memang bawaan dari tempatku bekerja yang harus menonjolkan sisi kecantikanku.
Beberapa baju ketat dan baju yang terbuka aku simpan semuanya di gudang.
Selamat tinggal baju-baju sexy-ku, sekarang kebanyakan daster yang aku pakai.
Ternyata nyaman juga memakainya, apalagi perutku makin besar sekarang lebih leluasa.

Keesokan harinya, ada tetangga baru pindahan, persis di sebalah kiri rumahku.
Mereka pasangan muda sama sepertiku. Umurnya lebih muda dari kami berdua dan mereka begitu ramah dan sopan.

Suatu malam ketika aku dan Mas Rian sedang nonton TV di ruang tengah. Tetangga baru bertamu ke rumah kami.

"tuk ... tuk ... tuk..."

Pintu depan diketuk oleh seseorang.
Mas Rian bangkit dari tempat duduknya dan membuka pintu depan.
Aku mengekor di belakang Mas Rian.

"Selamat malam, Mas. Kami tetangga baru di sebelah rumah." Suaminya memperkenalkan diri sambil menunjuk rumah di samping kiri.
"Oh tetangga baru, saya Rian dan ini istri saya, Arum." Ucap Mas Rian sambil menunjuku.
"Kenalin Mas, saya Adam dan Ini istri saya, Mia." jawab mereka, mengenalkan diri pada kami.

Malam itu kami menerima mereka sebagai tetangga baru.
Kami ngobrol panjang lebar dan sesekali memberikan cerita kami pada mereka.
Mia cantik dan gaya pakaianya rapi dan sopan. Mia menjadi temanku ketika suaminya bekerja di luar.
Kami saling bertukar pikiran dan sesekali Mia main ke rumahku untuk menemaniku.

"Berapa bulan lagi, Mbak, lahirannya?" tanya Mia.
"Kata dokter dua bulan lagi, Mia, kamu kapan nyusul?" tanyaku balik.
"Doain saja, mbak, semoga cepat kaya Mbak Arum." ujar Mia.

Mia dulu bekerja sama sepertiku dan karena jarak tempatnya kerjanya jauh dari rumah ini. Mia memutuskan berhenti bekerja.

Dua bulan berlalu, hari-hari mendebarkan telah datang. Ya, bulan Desember ini merupakan perkiraanku melahirkan.
Suamiku sangat panik dan gugup menghadapi masa persalinan ini.

Sore itu langit begitu teduh, dan gemuruh guntur meramaikan langit dengan kilatannya.
Hujan turun dengan derasnya, suasana perumahan menjadi sepi karena hujan yang bersautan ini.
Aku hanya bisa memandangi dari balik tirai rumahku melihat ke arah luar rumah.
cahaya putih dari langit terus saja membuat suasana hati ini semakin mengkerut.

Tiba-tiba perutku mules dan semakin sakit. Aku pegang pinggangku dengan tanganku.
Aduh, sakit sekali, sepertinya perutku mulai kontraksi. Segera aku menelpon Mas Rian untuk mengabari kondisiku padanya.

"Halo, Mas, perutku sakit sekali, sepertinya anakmu mau keluar Mas." terangku dengan nada rintihan.
"Oke, Arum, kamu tenang, ya! Mas pulang sekarang, tunggu sayang!"
"cepat, Mas, aku tidak tahan sekali!" teriaku.

Beberapa menit aku menunggu kedatangan Mas Rian ke rumah. Aku menyiapkan segala sesuatunya untuk dibawa kerumah sakit nanti.
Pinggang ini rasanya mau lepas saja, beginikah rasanya mau melahirkan.
Dalam langkahku, ternyata air ketubanku pecah dan membasahi dasterku.
Aduh, sakit sekali, kalau nunggu Mas Rian datang pasti akan lama.
Akhirnya aku telpon Mia, kebetulan hari itu Adam lagi tidak masuk kantor.

"Mia, tolong aku, sepertinya aku mau melahirkan, Nunggu Mas Rian datang sepertinya lama."
"Oke, Mbak Arum, aku ke situ sekarang bareng Mas Adam!" terang Mia.

Adam dan Mia mengantarku ke rumah sakit Siloam, Kebun Jeruk.
Cuaca hujan membuat jalanan sepi dari pengendara motor tetapi derasnya air hujan dan angin membuat Adam sangat berhati-hati mengendarai mobilnya.

"Agak cepat lagi, Dam! Aku sudah tidak tahan sakitnya." Teriakku.
"Sabar, Mbak, ini hujannya deras sekali, tidak kelihatan jelas pandanganku." Ujar Adam padaku.
"Sabar, Mbak Arum, sebentar lagi sampai, Mbak" Mia memberikanku semangat.

Setengah jam lebih perjalanan menerjang hujan deras, aku sampai di lobby Rumah Sakit Siloam.
Selanjutnya aku dibawa ke ruang IGD, dan bersiap-siap dipindah ke ruang persalinan.
Mia dan Adam selalu menemaniku, aku belum kasih kabar kalau aku sudah di rumah sakit ini.
Aku meminta Mia untuk menghubungi suamiku dan memberikan kabar tentangku.
Dokter Silvia mendatangiku dan mengatakan harus masuk persalinan karena sudah pembukaan 8.

"Suami Bu Arum mana? harus ada yang mendampingi saat persalinan nanti!" Ucap Dokter.
"Suamiku masih dalam perjalanan, Dok. Aku sudah tidak kuat, Dok! mules sekali." Teriakku pada Dokter Silvia.

Satu jam berselang, melalui proses persalinan normal yang cukup penuh perjuangan. Aku menarik nafas lega sekarang.

"Selamat, Bu Arum! Bayinya sempurna, sehat dan cantik sekali mirip ibunya." Ucap Dokter Silvia.

Bayi mungil itu diletakan di atas dadaku dan secara alami bayi mungil itu mencari persusuannya.
Sungguh indah sekali, sekarang aku menjadi seorang Ibu.
Beberapa jam setelah aku berjuang di ruang bersalin, aku mulai dipindahkan ke ruang rawat Inap.
Dibantu Adam dan Mia, mereka ikut mengantarku ke kamar 301.

"Selamat, ya, Mbak Arum, Dede bayinya cantik sekali, aku jadi pengin Mbak." Ujar Mia merengek padaku.

Aku tersenyum pada pasangan muda ini, begitu romantisanya dan terutama begitu baik mereka padaku.

Di ruangan 301 mereka berdua menemaniku, sambil menunggu kedatangan Mas Rian.

"Mbak Arum, Kok Mas Rian belum datang juga ya?, padahal sudah hampir tiga jam loh, Mbak?" Tanya Mia padaku.

Aku masih berprasangka baik pada suamiku.

"Mungkin Mas Rian terjebak macet, nanti juga dia datang." Aku berusaha menghibur diriku sendiri.
Sebenarnya aku begitu cemas, kenapa Mas Rian tidak kunjung datang.

"Aku telepon Mas Rian lagi, ya, Mbak!" ujar Mia.
"Yah... ,tidak tersambung, Mbak." terang Mia padaku.

Adam langsung memotong perkataan istrinya.

"Sinyalnya lagi Error, sayang, nih aku juga tidak dapat sinyal." Ucap Adam pada Mia.
"Mungkin karena hujan deras ini, Mia, biarlah." Aku mencoba bersabar dan melepaskan kelelahanku pada ranjang ini.
"Tapi, Mbak, Pesanggrahan ke Kebun Jeruk kan dekat, masa sampai berjam-jam begini?" cetus Mia yang masih heran dengan Mas Rian yang tidak datang juga.
"Sudah, sudah!" Adam menenangkan prasangka buruk istrinya pada Mas Rian.

Tiba-tiba saja.

"Tuk ... tuk ..."

Semuanya mata tertuju pada pintu besar di ruangan 301, aku sudah menebak bahwa itu suamiku.
Aku rindu dengannya, aku mencemaskannya sekarang ini, cepatlah datang kesini suamiku, aku sudah melahirkan putri kecil kita yang cantik nan lucu.

==========

Pintu terbuka, ternyata para perawat membawa bayi lucuku masuk ke dalam ruang 301.

"Selamat sore, kami mau mengantarkan dede bayi" dua perawat mendorong kereta yang sudah ada anakku di dalamnya.
"Maaf, Bu, nama bayinya siapa? untuk pembuatan surat kelahiran dan administrasi nanti" tanya salah satu perawat.
"Alifa Wulandari" terangku pada perawat yang bersiap mencatatnya dicarcik kertas.
"Namanya bagus sekali Mbak" celetuk Mia di sampingku.

Dua perawat itu pun meninggalkan kami dengan Alifa kecil di tengah-tengah kami. Mia dan Adam langsung mengerubungi Alifa, mereka sangat senang melihat bayi lucu itu.

"Mas, aku mau punya dede bayi kaya Mbak Arum" rengek Mia pada suaminya.
"Iya nanti malam kita bikin!" ujar Adam pada Mia.

Aku tersenyum mendengar pasangan ini berceloteh. Mereka sangat menghiburku sore itu dan belum beranjak dari ruangan ini, menunggu mas Rian datang.

Hari mulai gelap, hujan pun perlahan mulai berhenti. Hanya udara dingin yang terisisa dari hujan deras yang turun selama beberapa jam yang lalu.
Sudah hampir Maghrib, tetapi suamiku tak kunjung hadir juga di sini. Apa terjadi sesuatu padanya ya? ah... pikiranku jadi kemana-kemana sekarang.

"Mbak, Alifa haus tuh Mbak, mau minta nenen!" Mia melihat Alifa merengek.
"Ayo, bawa sini Alifanya, Mia, kamu bisa kan?" tanyaku pada perempuan 23 tahun itu.

Aku masih terbaring lemah di renjang, untuk duduk aku belum bisa.

"Jangan Mia, Mbak, dia belum pernah gendong bayi, biar aku saja!" Adam menggendong Alifa dan memberikannya padaku.
"Mas, kamu keluar dulu, Mbak Arum mau nenenin Alifa" cetus Mia pada suaminya.

Adam keluar dari ruangan dan hanya aku dan Mia sekarang.
Semoga Alifa mau menyusu, karena ini ASI-ku sudah terasa penuh. Aku lihat mulut mungilnya menyedot nutrisi ASIku dengan lembut.
Kamu lucu sekali, Nak, jadi anak yang nurut sama Mamahnya ya nanti. Doaku pada Alifa yang masih menyusu di pelukanku.
Mia melihatku dengan penuh antuisias, mungkin dia ingin sekali punya dede bayi.

Pintu tiba-tiba terbuka dan munculah mas Rian di hadapanku. Wajahnya begitu cemas dan nafasnya tersengal-sengal.
Bajunya sudah terlihat berantakan dan kucel.

"Hay, Sayang! maaf , ya! jalanan macet sekali tadi, aku sudah berusaha menghindari macet tapi akhirnya tetap saja terjebak macet." Mas Rian menjelaskan keadaanya.
"Bagaimana anak kita, sayang?" Mas Rian mulai berjalan mendekatiku.
"Alhamdulillah, anak kita lahir secara normal dan lihatlah dia begitu cantik sekali, Mas!" ucapku padanya dengan wajah merekah.

Pikiranku tentangnya yang tidak-tidak akhirnya tidak terbukti sama sekali.
Mas Rian mencium keningku, dan mau mencium Alifa kecilku. Tetapi aku larang dia.

"Eit, cuci muka dan cuci tangan dulu kalau mau nyentuh Alifaku" ujarku sedikit keras padanya.

Mia yang melihatku memarahi Mas Rian sedikit tersenyum.

"Terima kasih, ya, Mia! sudah mengantarkan istriku dan sudah merepotkanmu!" ucap Mas Rian pada Mia yang masih duduk disampingku.
"Iya, tidak apa-apa Mas, kita kan tetanggaan." Jawab Mia.

Mia dan Adam pamit untuk pulang, karena Mas Rian sudah datang. Aku nitip kunci pada mereka untuk menyalakan lampu rumahku.
Dua pasangan itu berlalu meninggalkanku dengan Alifa dan Ayahnya.
Mas Rian membersihkan diri dengan mandi, karena badanya terlihat kucel sekali. Alifa masih menyusuku, dan kini Alifa sudah tertidur kembali.

Dua hari berlalu, aku sudah bisa pulang membawa Alifa ke rumah. Aku sudah mengabari orang tua kami tentang berita bahagia ini.
Mereka sangat senang sekali, maklum bagi orangtua Mas Rian, Alifa menjadi cucu pertama mereka.
Dan bagi orangtuaku ini cucu ke 3, karena Kakaku Maryam sudah mempunyai dua anak.
Semua perlangkapan bayi kami keluarkan, mulai dari baju-baju, mainan bayi dan keranjang bayi.

Ini anak pertama kami, jadi wajar perlakuan kami berdua pada Alifa sangat berlebih.
Hari-hariku sekarang tidak kesepian lagi, sudah ada Alifa yang membuat ramai rumahku dengan tangisannya.

Seminggu setelah Alifa pulang ke rumah, Mamahnya Mas Rian datang menjenguk cucu pertamanya. Mamah sangat bahagia ketika menggendong Alifa, sayang Papahnya Mas Rian tidak bisa melihat kebahagian ini.
 Papah meninggal sebelum kami menikah, Mamah pun sedih ketika mengingat almarhum Papahnya Mas Rian.

Mamah menginap di rumah kami selama satu minggu, Nenek yang masih kangen dengan cucunya. Mamah sangat membantuku mengurus Alifa, mengajari aku bagaimana merawat bayi.
Sosok Mamah sangat berarti sekali bagi Mas Rian, dia satu-satunya perempuan setelah aku yang disayanginya.

Tiba saatnya, Mamah pun harus pulang ke rumahnya, karena harus mengurusi usaha Cateringnya.

Dua minggu berselang, giliran Ibuku datang menjenguk Alifa. Perlakuan Ibu terhadap Alifa persis seperti Mamahnya Mas Rian.
Mengatur ini itu untuk urusan bayi, aku memang tidak tahu menahu mengenai bayi. Aku banyak belajar dari Mamah dan Ibuku.
Ibu ingin lebih lama denganku dan cucunya di rumah ini, tapi aku menolak dengan alasan ingin mandiri mengurusi Alifa kecil. Lagian Ibu harus merawat Bapak yang sendirian di rumah.

Hari-hari berikutnya aku mengurus sendiri Alifa dengan Mas Rian. Kadang aku merasakan lelah sekali, harus ngurus rumah dan Alifa. Tetapi ada nilai kepuasan sendiri bagiku,  melakukanya mandiri tanpa bantuan orang lain.

Hampir setiap hari, Mia datang ke rumahku untuk melihat Alifa. Dia sangat senang dengan Alifa sudah seperti anaknya sendiri. Aku mengajarinya bagaimana merawat bayi, dan dia pun senang dengan ilmu baru itu.
Mas Rian menawariku baby sitter untuk membantu mengurusi Alifa, mungkin dia tidak tega melihatku kelelehan. Aku menolaknya secara halus dengan alasan masih bisa dipegang urusan rumah dan Alifa.

Alifa sudah menginjak tiga bulan umurnya, semakin lucu saja tingkah polanya. Makin menggemaskan sekali. Apalagi Mas Rian kadang mengajaknya bercanda dengan Alifa ketika Alifa terbangun ditengah malam.
Kadang aku menegur Mas Rian karena besoknya harus bekerja, khawatir kurang tidur dan ngantuk pas di kantor. Tapi saranku tak diindahkannya, Mas Rian tetap saja bermain dengan Alifa kecil di penghujung malam ketika ALifa bangun.
Hubungan Ayah dan Anak ini memang sangat kuat, wajah Alifa makin mirip dengan Ayahnya.
Kadang ketika aku terbangun dimalam hari karena tangisan Alifa, Mas Rian tidak disampingku.
Dan aku mendapatkannya sedang makan Mie instan di dapur. Mungkin dia lapar dan tak enak jika membangunkanku yang sudah seharian kelelahan mengurusi Alifa.
Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali aku menjumpainya diruang tengah nonton TV sambil makan snack. Oh, kasihan kamu sayang, kelaparan di tengah malam begini.
Pernah suatu pagi aku melihatnya tertidur di sofa ruang tengah, mungkin karena tidak mau mengganggu waktu tidurku.
Begitulah suamiku, sangat perhatian denganku sama seperti waktu kami pacaran dulu. Kasih sayangnya tak pernah berubah sedikitpun padaku.
Terima kasih Mas, sudah menjadi pendampingku dengan penuh kesabaran.
Kini bulan ke empat umur Alifa, dan perkembangan Alifa sangat cepat mungkin karena asupan gizi pada ASI-ku berlimpah sehingga tumbuh kembangnya pesat. Mia sekarang sudah bisa menggendong bayi, Alifa diajaknya keliling komplek perumahan ketika aku titipkan padanya.
Aku mencuci baju dan membersihkan rumah ketika Mia membawa Alifa keluar. Mia sangat membantuku, dia sudah aku anggap Adik sendiri.

Suatu malam, Mas Rian dan aku berbincang-bincang ketika kami mau beranjak tidur. Obrolan ringan awalnya membahas Alifa dan menjadi pendengar curhatanku.

Tiba-tiba obrolan malam itu menjadi serius ketika Mas Rian mengatakan sesuatu padaku.
“Sayang, minggu depan aku ditugaskan oleh pimpinan untuk bekerja di Bank KCP di Bandung, Hanya satu bulan saja, gimana ya?” curhat Mas Rian padaku.

Aku melihat expresi wajah suamiku penuh dengan kebimbangan, aku tahu kamu berat meninggalkanku dan Alifa di sini sendirian.

“Kalau tidak menjalankan perintah ini, index prestasi kerjaku jadi menurun.” terang Mas Rian.

Aku belum bisa menjawabnya langsung, aku hanya memandangi Alifa yang tertidur pulas di tempat tidur bayi disampingku.

“Gimana sayang?” Tanya Mas Rian kembali padaku.

Aku membelakanginya dan menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhku. Mas Rian langsung terdiam dan tak berani bertanya kembali padaku. Mas Rian menyentuh, mungkin dia akan tetap bertanya.

“Arum Restiana, jangan marah ya, aku tahu pasti kamu tidak mau ditinggal sendirian dengan Alifa”
Dengan sigap aku menampis sentuhan suamiku dan aku makin menutupi tubuhku rapat-rapat darinya. Malam itu begitu drama bagi kita berdua, bagaimana perasaan Mas Rian jika dia nekat ke Bandung selama satu bulan. Apa dia tidak memikirkan Alifa, apalagi memikirkanku berjibaku sendirian, tidur sendirian tanpa sosok suami di sampingku.

Pagi harinya, Mas Rian bangun lebih dulu dariku. Dia langsung mandi dan menunaikan shalat Subuh, setelah itu dia pergi ke dapur dan menyiapkan makanan untukku.
Aku sebenarnya sudah bangun ketika dia beranjak dari kamar ini. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya pagi ini.
Aku bangkit dari kasurku dan pergi menilik ke dapur, apa yang sudah dia perbuat pagi buta ini.
Astaga, dia sudah menyiapkan sarapan pagi lengkap dengan susu hangat di meja makan. Dia keluar dari teras rumah dengan sapu di tangannya.

“Sayang, kamu sudah bangun? Ayo sarapan dulu, sudah shalat Subuh kan?” Tanya Mas Rian.
“sudah” aku sengaja menjawabnya singkat, Agar dia tahu kalau aku masih marah padanya. Tapi suamiku terlihat biasa-biasa saja dan seolah tidak pernah terjadi sesuatu tadi malam.

Biasanya aku yang duluan dan menyiapkan segala sesuatu untuknya. Tapi tidak hari ini, dia melahap semua pekerjaanku. Mulai dari sarapan pagi, membersikan rumah dan lainnya. Wajahnya begitu tampan berhias keringat pagi yang mengalir di wajahnya.

“mmm, tidak seperti biasanya, ini pasti mau membujuku kan biar aku izinkan pergi Bandung?” cetusku pada suamiku yang masih membersihkan cabinet meja TV.
“Tidak, sayang, aku hanya ingin membantumu, merasakan betapa lelahnya melakukan pekerjaan rumah tangga seperti ini”  ujar Mas Rian menyangkal.
“Kamu mau aku izinkan?” tanyaku padanya.
“Tidak usah lah, sudah aku urungkan dinas ke Bandungnya” ungkap suamiku dengan suara datar.
“Serius kamu? Apa tidak menyesal?” umpan baliku.
“Tidak, sayang.” Mas Rian mendekatiku dan memegang kedua pundakku.
“Aku tidak sanggup berpisah dengan kalian, aku sangat menyayangimu, sayang” ungkap Mas Rian dengan gombalnya.

Sabtu pagi, Mas Rian benar-benar mengambil alih pekerjaanku seharian. Dia begitu kelelahan, sudah nampak dari peluh keringatnya membasahi baju dan wajahnya.
Mas Rian mengajaku ke pantai Ancol untuk berekreasi melepas kejenuhanku di rumah. Dia pandai sekali merebut hatiku, akhirnya aku pun pasrah dan ikhlas mengizinkannya pergi ke Bandung selama satu bulan.
Tapi tidak langsung ku katakan padanya, aku menunggu waktu yang tepat untuk mengucapkannya. Malam harinya kami begitu kelelahan dan begitu juga Alifa kecilku. Kita pulang ke rumah dalam keadaan lemah dan kecapaian karena seharian ini kita full menikmati suasana di luar rumah.

Jam 02:00 aku terbangun karena nada dering handphonnya Mas Rian. Mas Rian tidak kunjung bangun untuk mengangkat telepon itu. Dia begitu lelah sepertinya.
Dengan mata sayup aku mengambil handphone Mas Rian dan menjawab telepon yang masuk di pagi buta itu.
Rupanya no baru yang menelpon.

“Halo, ini siapa? Mas Riannya sudah tidur.” ujarku pada telepon.
“halo, … haloooo” Nada bicaraku sedikit kukeraskan.

Tapi tidak ada suara balasan dari nomer tersebut. Karena aku sangat ngantuk, aku letakan kembali handphonenya dan melanjutkan kembali tidurku.

Sinar mentari kembali menyinari bumi dengan cahaya hangatnya, sehangat perasaanku pada suamiku. Kali ini giliranku bangun pagi sebelum Mas Rian. Aku akan menyiapkan sarapan untuknya dan memberikan surprise padanya.

Mas Rian sudah bangun rupanya dan Alifa masih tertidur pulas di tempat tidurnya. Dia melangkah ke dapur dan dia ingin curi start untuk membuat sarapan.
Tapi langkahnya sudah telat, aku sudah duduk di meja makan dengan sarapan komplit.

“Mau ngapain, Mas?” aku bertanya padanya yang masih belum sadar betul dari tidurnya.
Matanya masih diucek-ucek untuk melihatku dengan jelas.

“Yah, sarapan sudah dibikin, telat aku.” Cetus Mas Rian dengan kekecewaannya.
“Ah, kamu kemarin pencitraan saja, Mas, aku tahu itu, kok.” Ucapku membela diriku sendiri.
“Kamu tinggal duduk manis di sini, dan nikmati sarapanmu pagi ini!” aku menuntunnya ke kursi makan.
“Terima kasih, sayang, kamu luar biasa hebatnya!” ujar Mas Rian.

Aku memeluknya dari belakang dan membisikan sesuatu padanya,
“aku telah pikir masak-masak, aku mengizinkanmu pergi ke Bandung, tapi janji hanya satu bulan dan setiap malam harus telepon aku!” pintaku padanya.
“Benarkan itu, sayang? kamu memang istriku paling baik!” Mas Rian bangkit dari duduknya dan mencium keningku.
“Iya, Alifa biar aku urus sendiri sama Mia di sini, Mia pasti senang sekal.i” Ucapku.
“Apa aku cariin baby sitter? atau Mamah aku suruh kesini menemanimu, sayang?” Mas Rian menawariku.
“Tidak usah Mas, aku bisa, kok!”

Tiba waktunya aku melepas Mas Rian untuk pergi ke Bandung. Senin pagi aku menyiapkan bekalnya lengkap dalam satu koper besar.
Mobil Honda CRV putih sudah siap mengiringnya ke Bandung. Alifa dalam gendonganku dan lambaian tanganku memisahkan kami bertiga.
Aku begitu sedih melepasnya, tapi kehadiran Alifa membuatku bersemangat untuk menjalani satu bulan ke depan.

Huf, seminggu tanpa suami memang begitu kesusahan, tidur sendiri dan apa-apa sendiri. Terkadang aku meminta Mia menemaniku tidur di rumahku.
Mas Rian menepati janjinya untuk meneleponku setiap malamnya. Tidak ada hal-hal aneh yang terjadi padanya, kadang laki-laki berubah haluan ketika jauh dari istrinya.
Tetapi peribahasa itu nampaknya tidak untuk suamiku.
Aku sangat mempercayainya, begitu pula dengan Mas Rian selalu menjaga kepercayaanku.

Sudah hampir tiga minggu lamanya aku terpisah dengan Mas Rian, ternyata aku benar-benar sanggup hidup sendirian.
Tapi Sabtu pagi, Mia dan Adam pamit datang kerumahku untuk pamit ke Bandung untuk liburan.

“Mbak, aku nitip rumah, ya! aku dua hari di Bandung, Mbak.” Ucap Mia.
“Mas Adam mengajaku liburan, katanya biar bisa buat dede bayi kaya Alifa, ihh aku pengin banget Mbak.” Rengek Mia padaku.

Perkataan Mia sungguh membuatku tertawa lepas, tapi aku kehilangan teman sekarang tanpa Mia di sampingku. Aku pun harus rela ditinggal oleh tetangga terbaikku.
Selama ini Mia dan Adam sangat membantuku ketika Mas Rian tidak ada.
Semoga liburan mereka lancar, dan mudah-mudahan ketemu mas Rian di sana. Mobil Nissan Juke hitam berlalu dari hadapanku mengantar Mia dan Adam pergi ke Bandung.
Sepi sekali rumah ini sekarang, hanya ada Alifa dan aku, tanpa Mas Rian dan tanpa Mia.
Rasanya seperti di Kamp pengungsian, sendiri di rumah tanpa ada tetangga yang berkunjung.

Dua hari berlalu, Mia dan Adam pulang dari Bandung. Aku begitu senang ketika mereka pulang kembali. Mia langsung datang ke rumahku dan memberikan oleh-oleh untukku dan Alifa.

Tapi ada oleh-oleh dari Bandung dari Mia yang membuatku marah.

“Maaf, Mbak Arum, tapi janji jangan marah padaku, ya! dan janji jangan bertengkar sama Mas Rian, aku sungguh bingung apakah mau disampaikan ke Mbak Arum atau tidak berita ini?” ucap Mia dengan cemasnya.
“Tapi kata Mas Adam, sampaikan saja ke Mbak Arum, biar dia tahu yang sebenarnya.” Mia terus saja berbicara panjang lebar tentang berita yang akan disampaikannya.
“iya, Mia, berita apa sih? Kok, kamu ketakutan dan heboh sendiri.” Ujarku sembari tersenyum melihat Mia saat itu.
“Ini tentang Mas Rian, ayahnya Alifa, Mbak!” Mia mulai berbicara serius.
Aku pun menjadi ikut serius menanggapi ucapan Mia. Raut wajah Mia berubah mulai gelisah dan kebingungan.

Akhirnya Mia menunjukan sebuah foto padaku, dan sontak saja foto yang ditunjukan padaku, membuatku sangat marah dan kecewa sekali. Hatiku seolah-olah diremas-remas perih oleh foto itu.

“Mbak Arum, please jangan marah ya!”

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER