Cerita bersambung
Oleh : Lieya Bening
Tidak, ini pasti bukan Mas Rian suamiku, ini orang lain yang mungkin saja mirip dengannya.
Dia begitu cinta dan sayang padaku, terutama dengan Alifa kecilku.
Sesuatu yang tidak masuk akal jika Mas Rian bermain-main dengan wanita lain di sana.
"Kamu pasti salah lihat, Mia. tolong katakan itu padaku." Air mata kesetiaan ini mulai meleleh dari pelupuk mataku.
Mia mencoba menjelaskan asal foto yang dia ambil sewaktu di Bandung.
"Aku juga maunya begitu, Mbak. Tapi dengan mata dan kepalaku sendiri, aku melihat Ayahnya Alifa bersama wanita lain, dan untuk meyakinkan ucapanku, aku ambil fotonya, Mbak."
Ucap Mia dengan wajah cemasnya.
"Aku dan Mas Adam pun kaget, mbak. Ketika kami mau keluar dari parkiran FARM HOUSE, tiba-tiba kami lihat mobilnya Mas Rian masuk, aku coba lihat seksama, ternyata benar itu mobil CRV putih punya Mas Rian." Ungkap Mia.
"Kami jalan perlahan, ketika mobil itu parkir, Mas Rian dan perempuan itu keluar dari mobil dan mereka berjalan berduaan." Sejenak Mia terdiam.
"Aku minta maaf, Mbak Arum. Sungguh aku bingung sebenarnya untuk berkata jujur soal ini."
Hatiku seperti dibanting dari tempat tinggi, mengingat selama ini perlakuan Mas Rian sungguh baik.
Tidak ada aroma dia selingkuh seperti itu, aku sungguh kecewa sekali sama kamu Mas.
Bulir-bulir kekecawaanku mengalir deras tanpa bisa kubendung lagi.
Mia yang melihatku sangat terpukul oleh berita itu, langsung memelukku dan berusaha menenangkanku.
"Sabar, ya, Mbak! ini salahku, harusnya aku tak memberitahu soal ini." Ucap Mia sambil memeluku.
"Tidak, Mia. Kamu sudah benar, jangan merasa bersalah seperti itu. Aku kaget dan tak habis pikir saja, Mas Rian seperti itu di luar sana, meninggalkanku di sini bersama Alifa demi untuk bersenang-senang dengan perempuan lain." Isak tangis mengiringiku.
"Mbak, please ... nanti bicara yang baik-baik dengan ayahnya Alifa, ya!aku tidak ingin kalian berdua bertengkar gara-gara foto yang aku ambil ini!"
Aku seka sekejap air mata ini, dan berusaha tegar di hadapan Mia.
"Iya, nanti Mbak tanya baik-baik sama Mas Rian, terima kasih, Mia."
Mia beranjak dari rumahku dan meninggalkanku dengan oleh-oleh yang menyakitkanku.
Mia menutup pintu rumahku dan segera aku menguncinya.
Kesabaranku tentang penghianatan suamiku tak lagi bisa kutahan lagi.
Hatiku menjerit-jerit kesakitan, apa kekuranganku selama ini, Mas? apa aku kurang melayanimu? apa aku ada salah padamu!
Ribuan pertanyaan mengendap di hatiku sekarang. Dunia ini seperti akan berakhir jika benar kamu menduakan aku.
Aku pandangi foto pernikahan kita yang terpajang di atas meja TV, kau sudah janji padaku untuk setia, Mas.
Kau sudah janji atas nama Tuhan di depan orang tuaku, kenapa sekarang kau mengingkarinya.
Dalam emosiku yang liar, aku melempar foto pernikahanku dengan gelas-gelas kaca yang ada di meja.
"Prang... prak..."
Suara pecahan beling menggema ke seluruh rumahku.
Menambah suasana kelam kekecawaanku semakin menjadi-jadi.
Sontak suara pecahan gelas itu membangunkan Alifa yang sedang terlelap tidur di kamar.
Tapi lamunanku menyamarkan suara tangisa Alifa yang memanggil-manggilku.
Aku masih duduk terdiam dengan pandangan kosong ke arah foto pernikahan kami yang sudah pecah berantakan di lantai.
Kepercayaanku padamu sudah menjadi kepingan-kepingan kecil, Mas.
Aku seperti orang yang hilang kewarasan, yang terus melempari foto-foto yang terpajang di dinding rumah dengan kata-kata kepedihanku.
Dari luar rumah, Mia dan Adam menggedor-gedor jendelaku.
Mereka mendengar tangisan Alifa yang tak kunjung berhenti dan melihatku hanya terdiam dengan kegilaan ini.
"Mbak, Mbak Arum, Mbakkk!!"
Teriak Mia dan Adam berusaha menyadarkanku.
Pikiranku masih bercerai berai, tak kunjung kembali menyadarkanku.
Pintu masih dalam keadaan terkunci setelah Mia beranjak tadi.
Mia terus saja menggedor-gedor jendela dan Pintu.
Suara tangisan Alifa semakin keras didengar, aku benar-benar gila sekarang.
Tak bisa berpikir jernih untuk sekedar menolong Alifa yang kehausan akan ASI-ku.
Tiba-tiba Adam masuk dari pintu belakang rumahku, dan langsung sigap menolong Alifa yang masih menangis di dalam kamar.
Adam menggunakan tangga lewat belakang, hanya dinding setinggi dua meter membatasi rumah kami bagian belakang.
Adam menggendong Alifa dan pergi ke pintu depan dan membuka kunci pintu.
Aku masih terdiam di kursi, Mia berlari ke arahku untuk menggoyahkan jiwaku yang masih terpaku pilu.
"Awas, Mia, hati-hati banyak pecahan beling di lantai" teriak Adam mengingatkan Mia.
Dengan berjalan jinjit, Mia meraih tubuhku dan menggoyahkan kuat kejiwaanku yang sedang rapuh ini.
Alifa masih menangis dipelukan Adam , suara tangisnya sedikit mulai merendah.
"Mbak Arum, sadar, mbak! Alifa kehausan dan butuh kasih sayang dari Mamahnya sekarang!" Tangan lembut Mia menyeka genangan air mataku.
"Biarlah, Mia. aku sudah tidak peduli lagi dengan dunia ini, surgaku sudah pecah berantakan sekarang." Ucapanku mulai tak terkontrol.
"Please, Mbak, tolong Alifa, aku sangat perih mendengar suara tangisannya, Alifa butuh Mamahnya!"
"Mbakkkk Arum!!" teriak Mia dengan lantang tepat di hadapanku.
Aku langsung tersadar dari jurang kelam ini.
"Astagfirullahal adzhim, apa yang sedang kuperbuat, Mia?" aku bertanya pada Mia seperti orang linglung.
Aku melihat banyak pecahan beling bertebaran seisi rumahku, Oh tidak.
"Adam berikan Alifa padaku, dia pasti sangat kehausan sekali sekarang."
Aku meminta Alifaku kembali pada Adam. Dengan segera aku memasuki kamar bersama Alifaku, aku menyusuinya dan pelan-pelan Alifa mulai terdiam dan tertidur kembali.
Alifa sangat kelelahan karena tangisannya yang begitu lama ku acuhkan. Terlihat wajah lucu malaikat kecilku ini memerah.
Mia dan Adam bernafas lega, akhirnya aku bisa tersadar kembali dan menyusui Alifaku.
Mia dan Adam membersihkan pecahan-pecahan beling di lantai. Mereka mengambil sapu dan pembersih lainnya dan merapikan kembali rumahku yang sudah seperti perahu pecah.
Aku dari dalam kamar mendengar suara desiran pecahan beling yang sedang disapu, melihat ke arah ruang tengah, dan dua pasangan itu sangat perhatian dan baik padaku.
Tidak tahu lagi, kalau tiada ada mereka di sini. Mungkin kegilaanku makin terpesorok ke dalam lembah kepedihan.
Mia merapikan kembali foto-foto yang tampak miring di dinding.
Setelah itu Mia menghampiriku di kamar dengan Alifa yang sudah tertidur dalam pelukanku. Mia duduk pelan di kasur.
"Mbak Arum, Alifa sudah bobo?" tanya lirih Mia.
"Sudah, Mia."
Sambil mengelus-elus pundakku yang terbujur di kasur.
"Mbak, aku di sini dulu ya, temani Mbak dan Alifa sampai Ayahnya Alifa pulang." Mia menawarkan bantuan.
"Tidak usah, Mia, Mbak baik-baik saja, tadi Mbak sedang melamun saja."
"Maaf, ya, Mia, Mbak sudah sering merepotkanmu dan selalu membuatmu cemas." Aku berusaha meyakinkan Mia.
"Aku khawatir sekali sama Alifa, Mbak."
"Mbak Arum, harus janji kalau ada masalah dan butuh bantuan, panggil Mia segera, ya." Terang Mia.
"Iya, Mia sayang, terima kasih tetangga baikku."
Mia dan Adam pulang ke rumahnya, hanya selangkah dari rumahku.
Di waktu Alifa sudah tertidur kembali, aku mengambil wudhu untuk menenangkan hati yang sudah tergores ini.
Lantunan ayat-ayat suci meneduhkan hatiku yang kalut ini, mulut ini bermunajat padaMU.
"Ya Tuhan, berikanlah aku ketabahan dan janganlah Engkau memberikan ujian melebihi batasku."
Hampir setiap jam setelah kejadian itu, Mia selalu mengunjungiku untuk memastikan keadaanku dan Alifa baik-baik saja.
Tingkah laku Mia memang berlebihan, melebihi status tetangga pada umumnya.
Tapi aku sangat bersyukur mempunya tetangga seperti Mia dan Adam. Mereka seperti Adikku sendiri dan mau berkorban demi aku dan Alifa.
"Sudah, Mia. Kamu jangan khawatir sama Mbak, kamu memang tidak capai tiap jam kemari." Ucapku pada perempuan cantik itu.
"Ihh, Mbak tidak suka aku ke sini terus ya?" rengek Mia.
"Bukan begitu, Mia, kasihan Adam dtinggal kamu terus, jangan-jangan Adam cemburu sama Alifa yang terus kamu tengokin." Ucapku penuh senyum.
"Biarin saja, Mbak, Wong Mas Adam lagi nonton Bola." Ujar Mia yang sedang menggoda Alifaku.
Begitulah Mia dan Aku, kita tetangga tapi sudah seperti keluarga sendiri. Lambat laun kekecewaanku terhadap Mas Rian sedikit mereda atau sementara melupakan demi Alifa.
Aku khawatir jika terlalu memikirkan hal itu, kejiwaanku tidak bisa terkontrol lagi.
Setiap malam sesuai janji Mas Rian untuk selalu menelponku, aku pura-pura tidak mengetahui perselingkuhannya.
Aku berlagak semuanya baik-baik saja, Mas Rian video call dengan Alifa dan wajahnya tidak mengisyaratkan seorang penghinat.
Begitu rapi kamu, Mas. menyembunyikan bau busuk itu dariku. Tunggu saat yang tepat aku menanyakan hal itu padamu, mau alasan apa yang kau ucapakan nanti.
Seminggu berlalu dan besok Sabtu, Mas Rian pulang ke rumah ini lagi. Harusnya aku senang menyambutnya kembali ke rumah ini.
Nahkoda kapalku akan membentangkan layar keluarga kami dan bersiap berlayar.
Tapi Nahkoda kapalku sudah membangun kapal yang lain, dan sedikit demi sedikit membuat lubang di kapalku ini.
Rian Prasetyo, lelaki yang menaungi kapal ini dan menjadi nahkoda utama rupanya tega menenggelamkan kapalku.
Siang itu begitu terik sekali, pancaran sinar matahari begitu marah pada alam. Alifa baru saja tertidur setelah menyusu.
Ada pesan WA masuk di handphoneku.
"Tring ... tring ..."
[Aku sudah sampai TOL Cikunir, sebantar lagi sampai sayang]
Pesan Mas Rian memberitahuku tentang posisinya sekarang.
[Oke, Mas Rian prasetyo] pesan balasanku.
Aku sudah berdiri di depan pintu dengan muka masamku untuk menyambutnya.
"Jutaan kata ingin ku hujamkan kepadanya, mau mengelak apa lagi kamu, Mas!" Gumamku dalam hati sambil tangan ini mengepal.
Ku lihat ke samping kiri rumahku, Mobil Juke hitam tidak ada di carport rumah.
Mia dan Adam tidak ada di rumah sepertinya, hari Sabtu memang pasangan ini biasanya pergi ke Mall untuk belanja mingguan.
Selang 1 jam, kilauan cahaya putih memantul ke rumahku. Ya, itu dia suamiku sang penghianat rumah tangga pulang bersama saksi bisu mobil CRV putihnya.
Aku melangkah ke depan pintu dan berdiri menyambutnya pulang ke rumah ini.
Mobil berhenti di carpot, lalu sosok lelaki tampan dengan kaos oblong POLLO yang membalutnya turun dari mobil.
Dia melempar senyum merekahnya kepadaku yang sudah rasa masam dari tadi.
"Heloo, sayangku, cintaku!" ucap Mas Rian melangkah mendekatiku.
Dengan bibir tertekuk, aku menjawab salamnya.
"Tidak usah sok romantis dan perhatian deh, Mas!"
"Gimana senang tidak satu bulan di Bandung? basah terus donk di sana, Mas?" aku mencoba memancing dan menyindirnya.
Mas Rian masih berada di teras dengan badanku menghalaunya masuk rumah.
"Loh, kok gitu, sayang, bukannya aku disambut dengan senyum manis kamu seperti biasanya, kok sekarang pakai sayur asam kaya gini, ada apa sih?" Ucapnya datar.
Seakan-akan tidak tahu kalau aku menyindir perselingkuhannya di Bandung.
"Enak tidak di sana?" Tanyaku kembali.
"Ya tidak enak, Sayang, kan jauh dari istri dan Alifaku." Mas Rian mulai mengeles rapi.
"Aku selalu rindu padamu dan anak kita." ucapnya menggodaku.
Tangannya memegang wajahku yang masam ini, dan turun ke pundak.
Dengan tenaga kuatnya dia mendorongku memasuki rumah.
"Ayo, biarkan aku masuk dulu, aku rindu Alifa." Ujar Mas Rian.
Lagi-lagi siasatku luluh berantakan untuk menghujatnya, aku tak tega melihat wajah suamiku ketika dia baik padaku.
Belum sempat aku berbicara padanya soal itu, dia sudah menyibukanku tentang Alifa.
Dan membuatku lupa tujuan awalku pada Mas Rian.
Alifa menjadi penengah di antara kami berdua, hampir kami tidak pernah bertengkar selama ini.
Mas Rian selalu mengalah untukku, dia begitu sabar menghadapiku. Ya Tuhan, suami model apa yang kau jodohkan padaku.
Dia terlihat baik sekali dan tak mungkin kalau sosok seperti dia tega memadukanku dengan perempuan lain.
Hati yang sedari sejam yang lalu sudah panas, tiba-tiba mendingin dengan sendirinya.
Kau pintar sekali Mas Rian, pintar membungkus sifat jahatmu dengan kebaikan seperti ini.
"Oh ya, sayang, aku banyak oleh-oleh buatmu dan Alifa di mobil, sebentar ya!"
Mas Rian berlari ke mobil dan beberapa detik tangannya sudah mententeng plastik besar.
"Taraaa... ada boneka TEDDY BEAR buat Alifaku!" teriak Mas Rian memamerkan oleh-olehnya.
"Dan ada yang special untuk istriku seorang, kamu pasti suka!" Ujar Mas Rian.
Mas Rian duduk di sampingku dengan kado hitam dengan pita merah menyegelnya.
Aku hanya terdiam dan berusaha menyembunyikan pertanyaan-pertanyaanku.
Dibukalah kado hitam itu.
Ya Tuhan, aku menutup wajah ini dengan kedua tangaku karena kaget dan suprise sekali dengan isi kado itu.
"Ya Tuhan, kau membelikan sepatu yang selama in aku inginkan, Mas!"
Expresi wajahku berubah menjadi bahagia. Rupanya dia ingin menyuapku, agar aku lupa dengan segalanya.
Aku memegang sepatu impianku itu, dan benar ini Original bukan KW. Gumamku sambil menilik-nilik keaslian isi kado dari Mas Rian.
"Mas, ini kan mahal banget, kok bisa?" tanyaku heran pada lelaki di depanku.
"Ya bisa dong, untuk istriku tercinta, apa sih yang tidak buat kamu?" mulai merayu-rayu.
"Terus kamu beli buatku saja atau buat yang lain juga?" cetus tanyaku padanya.
Raut wajah suamiku berubah drastik, alisnya mengkerut dan menunjukan kepolosannya padaku.
"Tinggal jawab saja, pakai mengekerutkan alis seperti itu?" ujarku.
"Maksud kamu apa, Yang? Aku tidak mengerti, sungguh." Bulu-bulu dombanya mulai menunjukan tipu muslihatnya.
"Jawab jujur, Mas!, minggu kemarin kamu ke FARM HOUSE kan bareng perempuan?!" aku pasang wajah masamku kembali.
Mas Rian terdiam sejenak, dan memandangi wajahku dengan tatapan tajamnya.
Sebenarnya aku takut dengan tatap itu, baru kali ini dia menatapku seperti ini.
Wajahnya mulai mendekatiku dan sangat dekat sekali. Jantungku mulai berdenyut kencang dan sedikit was-was sekarang.
"Hahaha ... haha ..." suara tawa Mas Rian lepas dari sangakarnya.
Dia terpingkal-pingkal dan menatapku penuh dengan tawanya.
Aku masih membeku dengan pertanyaanku padanya, dan tak sedikit pun aku tersenyum padanya.
"Arum Restiana, Sarjana Cum laude terbaik Business of Management dari UI, kamu sudah salah paham sayang."
Mas Rian terus saja tertawa dan tersenyum padaku.
"Mas!!!, aku serius, kamu jalan sama perempuan lain kan dan senang-senang di sana!" nada bicaraku mulai meninggi.
"Oke, Mas serius sekarang, memang Mas bareng perempuan minggu kemarin di FARM HOUSE, pasti bajunya kuning kan, rambutnya sebahu sama sepertimu?" Mas Rian menjelaskan detail sosok perempuan itu.
Aku pun menjawab dengan anggukan kepala karena memang persis dengan foto perempuan yang ditunjukan oleh Mia.
"Sayang, itu panitia acara Employee day di FARM HOUSE kantornya Mas."
"Oh, kamu cemburu ceritanya?" ucap mas Rian sambil jarinya mencolek pipiku yang masih masam.
Aku awalnya tidak percaya dengannya, kucoba mengulik kembali perempuan itu.
"Kamu bohong, Mas!!, itu pasti selingkuhanmu dan sedang liburan bersama di sana!" muka marahku masih menyala.
"Enak, ya!, sementara istrinya sendiri mengurusi anakmu di rumah, lelaki sama saja ternyata!"
Mas Rian mendekatiku kembali dengan wajah yang begitu tenang, dan memeluku hangat disaat api cemburu ini menyala hebat.
"Sayang, bagaimana aku bisa setega itu padamu, kamu begitu berharga untukku dan sudah memberikanku Alifa kecil yang lucu."
"percayalah, semua itu tidak seperti yang kau bayangkan, aku milikmu dan kamu milikku." ucapan Mas Rian begitu hebat memainkan hatiku.
Hatiku yang terbakar mendadak beku olehnya.
"Jadi semua itu salah, Mas?" tanyaku dengan isakan tangis.
"Iya, sayang, kamu sudah cemburu namanya, tak apa, Mas senang kalau kamu cemburu, artinya masih ada cintamu untukku."
Adem dan menenangkan sekali, lelaki itu memang hebat mengambil hatiku.
Kami berdua berpelukan dengan cinta abadi di antara kami.
Tiba-tiba suara handphone Mas Rian berdering yang ada di atas meja. Kami berdua terhenti dalam pelukan itu dan memusatkan perhatian pada handphone yang sudah memanggil-manggil itu.
No baru tertampang panjang di layar handphone Iphone 11 versi terbaru itu.
"Tring... tring..."
Wajah Mas Rian seketika berubah drastis ketika melihat no itu di layar handphonenya.
Aku langsung menatap tajam ke wajah suamiku.
"Siapa nomer itu, Mas?" tanyaku pada wajah yang berubah pucat pasi itu.
==========
"Ayo angkat saja, Mas! mungkin itu dari panitia acara kantor kamu!" cetusku dengan curiga.
"Biarin saja, lah..., paling orang asuransi mau nawarin produk."
"hmmm, aku mulai curiga nih!, aku saja yang angkat, ya!" ujarku sembari mengambil handphonnya Mas Rian.
"Eh, jangan, biar Mas saja yang angkat telepon itu, sayang."
Dengan sigap dan kilat tangan Mas Rian menyambar IPhone 11 miliknya di meja.
"Halo, siang, maaf dari siapa?" ucap Mas Rian mengawali obrolan itu.
Aku di sampingnya terus saja memantau gerak geriknya, apakah dia masih bersandiwara atau tidak.
"Oh, Maaf Bu, saya tidak tertarik dengan kartu kredit."
Terlihat wajah Mas Rian berubah jadi kesal sepertinya.
"Sekali lagi maaf, ya, Bu!" tegas Mas Rian.
Aku yang sedari tadi memperhatikan percakapan itu, ikut geram dengan si penelpon itu.
"Sini, Mas, handphonnya, biar aku yang bicara pada sales kartu kredit itu!" Ucapku sambil merebut handphone dari tangan Mas Rian.
"Halo, Mbak, dengerin baik-baik, ya! suamiku kerja di Bank, jadi jangan tawarin dia kartu kredit lagi, paham!!"
Nada bicaraku sengaja aku tinggikan.
Mas Rian yang melihatku begitu sadis kepada penelpon itu langsung menelan ludahnya.
"Oh, mohon maaf, Ibu siapanya pak Rian?" tanya sales kartu kredit itu.
"Saya istrinya, sekali lagi jangan telepon lagi ke nomer ini!" dengan tegas aku menutup telepon itu. Mas Rian hanya menggelengkan kepala melihat ketegasanku saat itu.
"Luar biasa kamu sayang, super galak sekali di telpon tadi." Ujar Mas Rian.
"Emang harus begitu menghadapi sales kartu kredit, Mas." Terangku sambil jemawa di hadapan suamiku.
"Sayang, masih lelah pasti ya? aku buatkan air hangat untukmu mandi ya!" Aku beranjak ke kamar mandi untuk menyalakan hot water.
Alhamdulillah, ternyata dugaanku selama ini tentang suamiku salah.
Sempat aku curiga padanya, tetapi kebaikannya memang tulus padaku.
Oh Tuhan, terima kasih telah menjaga suamiku dari perempuan-perempuan penggoda di luar sana.
Berati nomer misterius yang menelpon Mas Rian malam-malam mungkin dia sales psikopat itu.
Sore harinya, Mas Rian dan Alifa jalan-jalan keliling komplek bersama.
Aku masih sibuk dengan urusan dapur untuk menyiapkan makan malam.
"Dorr...!"
Mia mengagetkanku dengan tepukannya.
"Ya Tuhan, Mia, Mbak kaget sekali!"
"Masak apa Mbak? eh gimana Mas Rian? sudah baikan belum Mbak?" tanya Mia penuh penasaran.
"Ternyata firasatku salah, Mia. foto yang kamu tunjukan itu hanya teman kantornya saja, tidak lebih. Tadi Mas Rian menjelaskannya padaku."
"Oh, syukurlah, Mbak Arum. Aku ikut senang, jadi Mbak Arum tidak bertengkar gara-gara fotoku, ya?" Gelak tawa Mia mewarnai suasana di dapurku.
"Tapi, Mbak, hanya teman kok pegangan tangan, ya, waktu itu?" ucap Mia.
"Emang kaya gitu, Mia?"
"Iya Mbak, tapi kalau Mas Rian sudah kasih penjelasan, ya sudah lah." Mia menyudahi obrolan tentang Mas Rian.
"Iya, aku juga sudah melupakan kejadian itu, ayo bantuin Mbak Masak, kamu bisa, kan?" tanyaku pada Mia.
"Hehehe, aku cuman bisa makan, Mbak Arum. Mas Adam juga tidak pernah menyuruhku masak di rumah." Mia cengengesan.
Aku tersenyum mendengar jawaban polos dari Mia.
"Kamu nanti makan malam bareng kita di sini, ya! ajak Adam juga!"
"Serius, Mbak? oke siyap! aku panggil bala bantuan segera." Mia berlari ke rumahnya untuk mengajak suaminya makam malam.
Suasana makam malam dua keluarga dengan tetangga begitu meriah.
Tak henti-hentinya Mia berbicara tanpa jeda yang membuat kami tertawa lepas.
"Ayo, Mas Rian, ceritakan ke kita acara di FARM HOUSE kemarin itu!" celetuk Mia pada suamiku.
"Oh, yang pas kamu mergokin aku sama panitia acara itu, Mia?" Terang Mas Rian tersenyum mendengar pertanyaan Mia.
Aku menatap wajah suamiku ketika dia menjelaskan dengan detail acara tersebut.
Sekilas memang seperti tidak ada apa-apa di sana, dan tidak ada yang membuatku penasaran padanya.
Tiba-tiba di tengah obrolannya, dia memegang tanganku.
"Orang sepertiku ini mana berani menghianati istri secantik Arum ini, hanya lelaki bodoh yang melakukannya." Ucap Mas Rian di hadapan Adam dan Mia.
"Ya Alloh, so sweet banget Mas Rian sama Mbak Arum, kalau Mas Adam tidak pernah se romantis itu padaku." Ucap Mia sambil melirik ke suaminya.
"ehemmm, pulang dari sini nanti aku gombalin kamu sampai kenyang, sayang." Ujar Adam pada istrinya.
Tawa lepas kembali pecah di meja makan malam itu.
Memang mereka berdua sukses meramaikan suasana makam malam kita.
Ya begitulah, hari-hariku bersama suamiku dan tetanggaku.
Aku sangat bahagia sekali bersama keluarga kecilku, hampir sempurna rumah tangga kami tanpa pertengkaran dan tanpa perselingkuhan.
Aku sudah membuang jauh-jauh rasa curigaku pada Mas Rian. Dan itu yang membuatku selalu bahagia bersamanya.
Kehidupanku berjalan seperti biasa, aku mengurusi Alifa di rumah dan setiap sore mendekati Maghrib aku menyambut Mas Rian pulang.
Kini Alifa sudah besar, 10 bulan sekarang, umurnya.
Dia makin menggemaskan, dan sesekali Alifa dibawa ke rumah Mia.
Dan sering juga aku menitipkan Alifa ketika aku mau mandi atau pergi sebentar ke luar. Mia sangat senang ketika aku menitipkan Alifa padanya.
Sampai dia bela-belain beli mainan untuk Alifa di rumahnya untuk menemani Alifa bermain.
Sore itu sepertinya akan turun hujan, dan waktu sudah menunjukan jam 17:00.
Belum ada tanda-tanda Mas Rian pulang dan tidak ada pesan WA yang masuk padaku.
Hujan turun dengan derasnya, semua pintu rumah ditutup karena angin bertiup kencang.
Ada pesan dari mas Rian di WA.
[Sayang, hujan deras di sini, kemungkinan aku pulang telat, menghindari macet]
Ternyata dia tidak pulang on time hari ini, ya sudah, aku hanya ditemani Alifa di ruang TV.
Jam 19:00 Mas Rian belum pulang juga, dan Alifa kelihatannya sudah ngantuk. Aku menyusuinya di kamar dan rasa kantukku menaungiku malam itu.
Aku tertidur bersama Alifa di kamar, pintu kamar sengaja tidak kukunci. Kalau Mas Rian pulang biar tidak mengetuk-ngetuk pintu lagi.
Aku pun sudah mengirim pesan padanya, kalau aku dan Alifa tidur cepat.
Suara gemuruh dan rintikan hujan membuat tidurku makin syahdu.
Ketika aku terbangun dari tidurku, aku lihat jam di dinding sudah menunjukan pukul 21:00.
Aku bangkit dari kasur dan meninggalkan Alifa yang masih tertidur pulas.
Kemana suamiku? Kok belum pulang juga? aku melihat di sekliling ruang rumahku.
Dari depan kamar aku mengintip ke arah luar dan sudah ada CRV putih terparkir di rumahku.
Dan ternyata di sofa ruang tengah, Mas Rian tertidur pulas masih dengan seragam kerjanya.
"Ya Alloh, suamiku, kamu sudah pulang ternyata. Kenapa tidak membangunkanku? ah, kamu jahat sekali." Aku membangunkan tubuh yang sudah lusuh itu.
"Mas, bangun, mandi dulu terus ganti baju!" aku mencolek tubuh suamiku yang sudah lemah itu.
"Aku ketiduran, ya, sayang?" tanya Mas Rian.
Lalu Mas Rian masuk ke kamar dan mananggalkan seluruh baju kerjanya dan beranjak mandi air hangat.
Aku merapikan bajunya yang kucel itu, tetapi ada aroma parfum wanita di bajunya. Dan ini bukan aroma parfumku atau parfum Mas Rian.
Ketika Mas Rian keluar dari kamar mandi dengan handuk putih terlilit di tubuhnya. Aku langsung memberondong pertanyaan padanya tentang aroma parfum itu.
"Mas, ini ada bau parfum wanita di bajumu, kamu habis ngapain di luar sana?" tanyaku dengan ketus.
"Oh itu, tadi aku ditawari oleh sales parfum BELAGGIO di kantor oleh salah satu nasabah wanita."
"Dia langsung menyemprotkannya pada bajuku, dan begitulah hasilnya." Ujar Mas Rian memberikan pembelaannya lagi.
"Ah, masa seperti itu sih? aku tidak percaya, Mas!" ucapku dengan menekuk bibirku.
"Terus Mas harus bilang apa untuk membuatmu percaya, sayang!"
"Apa Mas harus bilang, habis berpelukan dengan perempuan lain di luar sana, begitu? Lelaki memang selalu salah di hadapan wanita."
Mas Rian mengarahkan pikiranku ke arah yang aku inginkan.
"Ya, tidak begitu juga, Mas." Ucapku mengelak.
"Ya, sudah, Mas beneran lelah sekali sekarang, kamu masak tidak? aku belum makan."
"Tidak masak, Mas. Tadi Mas bilang telat pulang, akhirnya aku tidak masak dong."
"Ya sudah, aku bikinin mie goreng, ya!"
Aku menaruh baju Mas Rian ke box cucian kotor dan pergi ke dapur untuk meracik makanan untuk suamiku.
Aku temani suamiku makan malam di ruang makan, aku menatap laki-laki yang menjadi imamku.
Dia begitu lahap sekali, saking lahapnya dia tak pernah menatapku sekali pun ketika dia makan.
"Lapar apa doyan, Mas bro?" aku menyindirnya.
Mas Rian berhenti sejenak dengan mie masih dalam mulutnya dan menatapku dengan senyuman.
Dia hanya mengajungkan jempolnya padaku, dengan arti bahwa masakannya enak.
itu versiku sendiri mengartikannya.
Satu porsi mie goreng sudah lenyap dari piring, tampak wajah kekenyangan dari Mas Rian.
Tiba-tiba Mas Rian mengeluh kedinginan, badannya menggigil sekali.
Wajahnya terlihat pucat sekali. Aku menghampirinya dan mengecek suhu badannya.
"Kamu masuk angin, sayang? tadi kena hujan, ya, Mas?" tanyaku padanya.
"Iya, sedikit waktu mau ke parkiran mobil." terang Mas Rian.
"Ayo, ke kamar dan segera tidur pakai selimut, nanti aku ambilkan obat untukmu." Ujarku padanya.
Obat masuk angin sudah diminumnya dan minyak kayu putih aku balurkan ke punggung dan perutnya yang sudah buncit, sepertinya dia kembung. Aku pijit-pijit sebentar agar badannya enakan.
"Besok, kalau masih begini, tidak usah ke kantor dulu, Mas! Nanti periksa ke Dokter!" perintahku pada suamiku yang sudah meringkuk di bawah selimut tebal.
Kini aku merawat dua bayi, bayi kecil Alifa dan bayi besar Mas Rian. Alifa sekarang tidur bersama kami, Alifa berada di tengah-tengah antara aku dan Mas Rian.
Dua orang yang aku sayangi tidur bersama, sekarang Alifa wajahnya mirip sekali dengan ayahnya.
Semua lampu di ruang tengah aku matikan, dan aku bergegas untuk tidur menyusul mereka berdua.
Hujan masih turun di luar sana, walau hanya rintikan kecil yang turun dari langit, suasana dingin menyelimuti Jakarta.
Aku bersiap menarik selimut tebalku dan akan terus berjaga-jaga untuk mereka berdua.
Suara handpone Mas Rian berbunyi, Mas Rian rupanya sudah masuk ke dunia mimpi dan tidak mendengarkan suara itu.
Handponenya masih tertinggal di ruang tengah. Aku melangkah untuk mengambil handphonenya. Tidak habis pikir, nomer baru itu tidak kapok-kapoknya menelpon Mas Rian.
Dan yang menjadi heran, sudah malam begini masih saja berulah. Aku sedikit emosi untuk mengangkat telpon itu, tapi aku berusaha tenang karena takut menganggu tidur suamiku dan Alifa di kamar.
"Halo, Mas? kamu sudah sampai rumah belum? aku khawatir sekali, tadi kamu kehujanan pas nganterin aku pulang. Maaf aku lancang menelponmu duluan, karena aku khawatir kamu sakit." Suara wanita itu terdiam, aku pun hanya diam.
"Halo, Mas Rian?"
"Tut...Tut..." aku memutuskan sambungan telepon
Langit malam itu seakan menghujaniku dengan perasaan perih dan pedih sekali.
Aku memutuskan percakapan itu, tanpa mengeluarkan kata-kata balasan pada penelpon itu.
Kali ini semuanya pasti benar adanya, lelaki yang terbaring sakit di kamarku sudah bermain-main api denganku.
Jadi, selama ini lelaki bodoh itu diam-diam membagikan madunya dengan perempuan lain.
Hatiku kembali diremas-remas, sakit sekali, ribuan alasan kamu muntahkan padaku, Mas.
Tapi kali ini aku tak bisa menerima alasan apapun darimu. Aku sudah dibodohi oleh kebaikanmu selama ini.
Aku akan mengungkap siapa perempuan yang mendapatkan madu darimu.
Aku menyimpan nomer perempuan yang menelpon suamiku tadi, dan riwayat panggilan di handphone suamiku sudah aku hapus.
Jadi Mas Rian tidak tahu kalau malam itu perempuan simpanannya menelponnya.
Tubuhku mulai bergetar hebat, ketika aku memandangi laki-laki itu di hadapanku.
Tapi biar bagaimanapun, dia telah memberikan cinta padaku dan Alifa.
Dia memperjuangkan hidupnya untuk menafkahiku dan kasih sayangnya tulus pada kami berdua.
Kenapa, Mas?, kenapa kamu membagikan cintamu pada perempuan lain, sungguh aku tidak rela, Mas.
Aku menyusun siasat untuk bertemu dengan perempuan murahan itu besok siang.
Aku kirim pesan ke perempuan tadi lewat handponenya Mas Rian pada saat Mas Rian masih tertidur.
Cara ini untuk mengelabui perempuan itu, Biar dikira yang mengirim pesan adalah Mas Rian.
[Sayang, besok siang kita ketemuan di Mall Puri Indah, di Ichiban Susi]
[Aku akan booking tempat atas namaku, kamu nanti tinggal cari meja yang sudah ada namaku]
[Sementara jangan telpon aku dulu, suaraku lagi tidak enak untuk bicara].
Aku mengirim pesan tersebut. Selang beberapa detik ada balasan dari pesan WA ku.
[Baik, Mas, aku akan datang tepat waktu] balas perempuan itu.
Kena kamu, perempuan Jalang!!
Aku ingin tahu seberapa cantik perempuan simpanan suamiku dan apa kelebihannya dibandingku.
Rasa penasaranku memuncak mengingat cintaku terbelah menjadi dua untuknya juga.
Sementara aku berusaha menahan amarahku pada suamiku, dan menunggu kepastian tentang perempuan itu.
Aku bersikap seperti biasa dan Mas Rian pun tidak merasa ada apa-apa denganku.
Gantian sekarang Mas, kau pandai membungkus bangkai dalam rumah tangga ini.
Giliranku membuka perlahan kemasanmu yang sudah tercium bau busuknya sekarang.
Mas Rian berangkat bekerja dengan lambaian tangan kami berdua.
Aku kembali dengan kesibukanku, menyuci baju, bersih-bersih rumah dan sebagainya.
Setelah urusan selesai, aku membuka handphoneku dan membuka aplikasi WA.
Aku ingin melihat foto profil nomer perempuan misterius semalam.
Erina Kumala sari tertulis nama di profil WAnya, dia perempuan muda dan cukup cantik.
Pantesan Mas Rian tertarik padanya, dia masih segar dan energik kelihatannya.
Sesuai dengan rencanaku, jam 1 siang aku harus sampai di Puri Indah Mall.
Aku main ke rumah Mia, aku menitipkan Alifa padanya sampai urusanku ini selesai.
"Mia, nitip Alifa, ya, Mbak ada urusan sebentar, tidak lama kok, bisa ya?" Mohonku pada Mia yang sedang duduk santai di ruang TV.
"Bisa banget Mbak, kalau mau seharian juga tidak apa-apa, Mbak" senyum Mia.
Aku meninggalkan Alifa pada Mia, aku tidak khawatir jika Alifa di pegang Mia. Mia sudah menjadi Ibu kedua bagi Alifa.
Aku memesan GoCar dari Meruya ke Puri Indah, hatiku mulai tak tenang sekarang.
Aku tidak tahu apakah nanti aku bisa mengontrol diri ketika melihat perempuan itu.
Semoga aku bisa menjaga emosiku di sana, dan memberikan pelajaran untuknya.
40 menit berlalu, aku sudah memasuki lobby Mall.
Langkahku cepat karena jam sudah menunjukan jam 1 siang.
Dari kejauhan tulisan restoran Ichiban Sushi sudah bisa kulihat.
Kau pasti sudah duduk manis di situ perempuan gatal, tunggu aku datang melabrakmu.
Sampailah aku di depan kasir restoran itu.
"Mbak, aku sudah booking tempat kemarin atas nama Rian Prasetya."
"Yang mana, Mbak, mejanya?" tanyaku pada kasir berpakaian ala Jepang itu.
"Sebelah sana, Mbak, meja no 21." ucap pelayan itu sambil menunjuk meja yang aku pesan.
"Baik, Mbak terima kasih" ucapku.
Sudah kuduga, sudah ada perempuan muda dengan dua gelas air putih dan duduk di meja pesananku.
Rambutnya lurus sebahu, umurnya mungkin dibawahku dan gaya pakaiannya rapi sekali.
Tak habis pikir ternyata, sepatu yang dia pakai pun sama persis denganku yang Mas Rian belikan dulu.
Dasar lelaki pembohong, ternyata hadiah untukku sudah diduakan juga buatnya.
Perlahan aku mendekatinya, wajahnya cemas seperti menunggu seseorang.
Suamiku tidak akan datang kemari perempuan murahan! karena aku yang buat janji denganmu. Gumamku dalam hati menatap perempuan itu dari dekat.
Aku langsung duduk di depannya.
Tiba-tiba dia kaget dan mengucapkan sesuatu padaku.
"Maaf, Mbak, meja ini sudah saya booking, jadi silahkan cari meja lain!" ucap perempuan itu dengan sopan.
"Aku yang booking meja ini atas nama suamiku, Rian Prasetyo."
Sontak saja, perempuan gatal itu tertunduk kaget dan tersipu malu dari tatapanku. Mau ngelak apa lagi kamu sekarang, dasar perempuan murahan. Hatiku memojokan perempuan itu
"Kamu pasti Erina kan, perempuan penggoda suami orang!!" tanyaku padanya.
“Pasti kamu mengharapkan suamiku yang datang kemari kan?"
Erina hanya terdiam tanpa kata-kata di hadapanku. Ternyata Erina adalah perempuan yang dulu kepergok bersama Mas Rian di Bandung. Perempuan yang sama dengan yang difoto Mia.
"Kamu heran, kenapa aku yang datang kesini? Hah!!"
"Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan suamiku!!" tanyaku kembali dengan nada tinggi.
Erina masih terdiam.
"Jawab!!! perempuan murahan!!" Teriakku sambil menggebrak meja.
Sontak semua pengunjung melihat ke arahku karena teriakanku pada Erina.
Dia hanya menggelengkan kepala padaku, emosiku mulai terpancing olehnya.
"Heh..!! lihat aku sekarang!! lihat!!"
Aku mengangkat paksa kepala Erina dan memaksanya menatapku.
"Kamu mau suamiku, heh?? sudah dikasih apa olehnya, hingga kamu mau mengejarnya terus? Dia sudah beristri dan punya anak, kenapa kamu masih saja menggodanya!"
Lagi-lagi dia tidak mengucapkan kata-kata. Benar-benar perempuan murahan ini membakar emosiku di siang itu.
Aku bangkit dari dudukku.
"Minta perhatiannya sebentar para pengunjung!" Aku berteriak di tengah keramaian pengunjung restoran itu.
"Di depanku ini ada perempuan muda, masih lajang, dan dia berusaha merebut suamiku! Mereka asyik bermain di belakangku."
"Lihat wajah cantik perempuan ini, cantik kan? tapi sayang dia murahan. Masih banyak pria single di dunia ini, tapi perempuan jalang ini lebih memilih untuk merusak rumah tanggaku!"
Erina makin tertunduk dan isakan tangisnya pecah siang itu.
"Sekarang dia ketahuan dan agaknya dia sedang kepanasan"
Aku terus menghujatnya di depan umum. Biar tahu rasa perempuan model begini, aku permalukan dia.
Air putih dalam gelas aku siramkan di kepalanya nya.
"Byurrr.."
Seluruh baju Erina basah oleh siraman air dariku. Dia menangis dibuatku dan isakan tangisnya makin pilu.
"Sekarang pelakor ini sudah dingin dan aku akan memberikan uangku padanya."
"satu juta mungkin cukup untuknya bahkan terlalu banyak, karena perempuan ini begitu murah sekali."
Seluruh mata pengunjung masih menatapku dan Erina. Seperti aku memainkan sebuah drama disini.
"Nyohhh..." Aku sebar uang itu di atas kepala Erina yang sudah basah.
"Jauhi suamiku, atau aku akan melakukan hal di luar nalarmu!! Paham kamu!!"
Aku sangat puas bisa melabraknya di tempat umum. Tapi Erina hanya diam.
Aku tidak mau melakukan tindak kekerasan, karena itu melanggar hukum, aku tidak mau dipenjara, nanti mereka bisa leluasa berselingkuh.
Tinggal giliran suamiku, apakah akan mengakui hubungannya dengan perempuan itu.
Aku melangkah pergi meninggalkan Erina di tempat itu.
Tiba-tiba Erina bangun dari tempat duduknya dan berkata-kata padaku.
"Mbak Arum, aku sangat mencintai Mas Rian, bukan karena uang atau pun materi, aku mencintainya tulus."
Langkahku terhenti oleh ucapannya, sejenak aku terdiam.
Seluruh pengunjung mulai dibuat bingung oleh kami berdua.
Ada yang iba melihat Erina seperti itu dan ada pula yang mencibirnya.
Aku menarik nafas panjang, dan melanjutkan kembali langkahku meninggalkan perempuan tidak tahu malu itu.
Hatiku mulai retak dan tersayat, ternyata pelakor ini bukan mengharapkan materi dan uang suamiku.
Dia mengatakan alasan itu padaku, dan membuatku sangat cemas. Sepertinya dia tidak akan menyerah untuk mendapatkan suamiku.
Zaman sekarang pelakor lebih nekat. Dan menghalalkan segala cara.
Dalam perjalanan pulang, pikiranku melayang-layang memikirkan kebohongan suamiku selama ini dan pengakuan Erina barusan.
Otaku sangat kalut sekali, hampir meledak jika Mas Rian benar-benar menjalin hubungan serius dengan Erina.
Itu artinya cintanya Mas Rian sudah terbagi dua.
Handponku berdering dari dalam tasku.
Ternyata Mia menelponku, ada apa, tumben dia menelponku.
"Mbak Arum, Alifa Mbak, cepatan pulang..."
Aku kaget sekali dengan ucapan Mia.
"Ada apa, Mia? Katakan Mia”
Bersambung #3
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel