Episode #2
Di saat kami asyik mengobrol, tiba-tiba pancaran lampu sorot mobil menyinari rumah kami.
==========
Aku buka pintu secara perlahan, ternyata laki-laki itu yang mengetuk pintuku. Aku teringat tadi Mas Rian tidur di Mobil. Ah kenapa juga aku membuka pintu untuknya, gumamku.
“Ada apa lagi?” ucapku ketus padanya.
“Aku lapar, Arum, ada makanan tidak untukku?” tanya Mas Rian padaku.
Rupanya Mas Rian kelaparan, dan mengemis padaku untuk diberikan makanan untuknya.
“Tidak ada, beli saja keluar!” perintahku.
“Ini sudah malam menjelang pagi, Arum, sedikit saja aku sungguh belum makan dari sore.” Rengek Mas Rian padaku.
Wajahnya begitu mengiba, dia memang jago akting di depanku. Serigala berbulu domba ini sangat lihai memainkan perasaanku akhir-akhir ini. Tapi wajah polosnya membuatku luluh, aku sungguh tak tega melihatnya kelaparan saat itu.
“Sebentar ...”
Aku pergi ke dapur untuk memberikannya sedikit kue yang ada di kulkas. Aku menaruh kue itu pada sebuah piring plastik.
“Nihh..”
Aku menaruh kue tersebut di atas meja di depan teras.
“Brakk..”
Aku menutup kembali pintu rumah dengan keras tanpa berkata-kata padanya. Dari balik tirai aku mengintip Mas Rian, dia sangat lahap menyantap kue itu. Sungguh dia belum makan dari sore, hatiku kembali tergoyahkan olenya.
Apa yang sedang aku perbuat terhadap suamiku, apakah aku begitu kelewatan terhadapnya?
Begitu hebat dan bimbangnya hatiku saat itu, aku mencintai dan menyayanginya. Tapi kalau mengingat penghianatannya padaku, emosiku selalu memuncak.
Dengan sedikit empatiku terhadapnya, aku mengizinkannya masuk rumah. Aku membuka kembali pintu depan.
“Masuk, tidur di ruang tamu, cepatan!”
Perintahku kembali padanya.
Mas Rian yang masih mengunyah kue pemberianku langsung bangkit dari duduknya dan mengekor di belakangku. Wajahnya sangat sumringah ketika aku mengizinkannya masuk dalam rumah.
“Bawa selimutnya masuk, ingat hanya tidur di ruang tamu!, nanti kunci pintunya” cetusku padanya.
“Terima kasih, Arum.” ucap Mas Rian padaku.
Aku kembali masuk ke kamar dan mengunci kamarku dari dalam. Ini hanya rasa empatiku padamu Mas, jangan harap lebih dari ini. Aku masih menyimpan amarah ini, belum reda sebelum kau memutuskan Erina dan janji tidak akan mengulanginya lagi.
Suara tangisan Alifa membangunkanku di pagi hari, dia terbangun karena kehausan, segera aku menyusuinya. Wajah mungil ini yang membuatku bertahan.
Setelah Alifa selesai menyusu padaku, dia terus mengoceh lucu pagi itu. Aku pun membalas ocehannya.
“Halo sayang, kamu sudah kenyang sekarang, ya?” tanyaku lucu pada Alifa yang hanya tertawa kecil membalasku.
Gelak tawa kecil itu memenuhi kebahagianku ke seluruh rumah ini. Tiba-tiba Mas Rian berdiri di depan pintu dan menatap kami berdua yang sedang asyik bermain.
“Jangan masuk!, aku belum memaafkanmu, jangan kira aku sudah baikan denganmu.” Cetusku padanya.
“Bagaimana Alifa? apa demamnya sudah turun?” tanya Mas Rian padaku.
“Sudah, kalau mau sarapan, bikin sendiri, baju kerja kamu sudah aku siapkan di ruang tengah.” terangku pada lelaki itu.
Laki-laki itu beranjak dari hadapanku dan sepertinya dia pergi ke kamar mandi untuk mandi. Aku masih dengan Alifa di kamar, sementara ini aku mengacuhkannya.
Biar saja dia lakukakan apa-apa sendiri. Agar tahu betapa repotnya melakukan aktifitasku setiap harinya.
Sesekali aku mengintipnya, apa yang dilakukannya dari balik pintu kamar. Dia masak mie goreng sendiri setelah mandi.
Biasanya aku yang menyiapkannya, sekarang tangan ini sedang malas untuk melakukannya.
Setelah sarapan selesai, Mas Rian bersiap-siap berangkat ke kantor pagi itu dengan baju yang sudah aku berikan padanya.
Aku membuntutinya dari belakang.
Di teras dia duduk sembari memakai sepatu kerjanya, dia menatapku dan mengucapkan salam padaku.
“Aku berangkat dulu, ya!” ucap Mas Rian sembari melangkah memasuki mobilnya.
“Eh… tunggu dulu!” aku menghampirinya.
“Mau kemana kamu?” tanyaku dengan muka masam.
“Mau kerja seperti biasa, sayang.” jawab Mas Rian.
“Turun dari mobil, tiga hari ke depan, kamu berangkat naik motor!” perintahku keras.
“Kenapa?” tanya Mas Rian heran.
“Udah matikan mesinnya dan berikan kunci mobilnya padaku!” tanganku menagih padanya.
Dengan wajah pasrah akhirnya Mas Rian turun dari mobil dan menyerahkan kunci mobil itu padaku. Dia begitu manut padaku saat itu.
Dengan wajah datar Mas Rian mengambil kunci motor di dalam rumah dan memakai jaket motor.
Suara mesin motor berlalu dari rumahku dengan Mas Rian.
Sebetulnya aku tak tega melihatmu berangkat kerja pakai motor Mas, tapi aku membatasi dirimu agar tidak berhubungan dengan Erina lagi.
Semua fasilitas padamu akan aku tarik semua sementara.
Mentari pagi bersinar terang, cahaya hangatnya menggugah kehidupan di kota Jakarta ini. Aku dan Alifa jalan-jalan keliling komplek bersama dengan stroller.
Banyak ibu-ibu yang menyapaku dan Alifa.
Sesekali aku berhenti dan berbincang-bincang dengan tetanggaku. Banyak dari mereka yang mengenalku.
Setelah berkeliling komplek, saatnya kami kembali ke rumah untuk melakukan aktifitas ibu rumah tangga. Sampai di depan rumah, Mia yang sedang menyiram bunga menyapaku.
“pagi-pagi Alifa sudah keliling saja, gemes deh...” ujar Mia dengan girangnya.
“Bunganya bagus-bagus, ya, Mia” sanjungku padanya.
“Hehe, ini yang milih bunga Mas Adam, Mbak.” senyum Mia tersipu malu.
“Eh, Ayahnya Alifa tidak masuk kerja, Mbak? Apa masih belum baikan?” tanya Mia dengan wajah penuh penasaran.
“Masuk kok, tadi berangkat pakai motor.” Terangku.
“Loh, tumben naik motor, biasannya naik mobil …”
“Aku yang nyuruh pakai motor, biar tidak kena macet hari ini.”
“Eh, Mbak Arum, mumpung ada mobil, yuk kita ke Gandaria City, banyak promo produk-produk kecantikan, loh, Mbak!” ucap Mia dengan semangat.
“hmmm, gimana, ya, Mia?" aku pura-pura mikir.
“Ah, Mbak Arum, gak asik ah...” rengek perempuan muda itu.
“Ok, tapi kamu yang bawa mobil ya, Mia!” pintaku padanya.
“Siap, Bu Boss!” jawab Mia dengan sumringah.
Jam 11 siang kami berdua bersama Alifa pergi meninggalkan rumah dan menuju Mall Gandaria City.
Sepanjang perjalanan, mulut Mia tak hentinya mengoceh dan membuat suasana di dalam mobil meriah.
Aku pangku Alifa di kursi depan, sedangkan Mia menyetir mobil. Jalanan Permata Hijau menuju Pondok Indah memang sempit dan sesekali kami menemukan kemacetan.
Kami terjebak macet di depan Apartemen Pakubowono, sepertinya ini mengular sampai depan Mall. Mia menggerutu sendiri menghadapi kemacetan ini.
“Ih apaan sih, kok macet begini?” gerutu Mia menyaksikan barisan panjang mobil berhenti di depannya.
“Sabar, Mia, Enjoy saja!” ucapku menenangkannya.
Aku melihat di sekelilingku, banyak motor yang lalu lalang menembus macet. Dan aku melihat banyak apartemen mewah di sini. Tempat orang-orang parlente menghabiskan waktunya di sini dan mungkin dengan perempuan simpanannya.
Huh, jadi teringat dengan Erina, sudah dapat apa saja dia dari suamiku.
Tiba-tiba sosok perempuan yang kemarin aku labrak keluar dari apartemen Pakubowono. Lengkap dengan setelah rapi melekat pada perempuan itu. Dia menghentikan Taxi yang kebetulan berjarak lima mobil di depan mobilku. Posisi masih macet, ingin aku menyambanginya dan belum puas hati ini membuatnya malu di depan umum kemarin.
Selang beberapa menit, kondisi jalanan berjalan kembali, macet sudah terurai. Mia yang sudah siap menancap gas dari tadi langsung meluncur dengan CRV putihku.
Taxi yang ditumpangi Erina segera terlewati, aku memperhatikan Taxi itu dengan perempuan jalang di dalamnya. Oh, Jadi kamu tinggal disitu Erina, jangan-jangan Mas Rian membelikannya apartemen untuknya.
Dasar laki-laki bodoh, mau saja diporotin sama perempuan seperti Erina.
Kemarin bilangnya tidak karena harta dan uang, sekarang apaan, kau mendapatkan apartemen mewah dari suamiku.
Kalau begini caranya, si Erina bisa menguras habis uang suamiku. Oke aku harus pintar menyusun strategi untuk menghancurkan Erina dan memutuskan subsidi uang untuk perempuan itu.
Sampailah kami di Mall Gandaria City setelah berjibaku dengan kemacetan tadi. Benar yang dikatakan Mia, sedang banyak promo di Mall ini. Mia memborong banyak produk di sini, aku hanya menggelengkan kepala melihat khilafnya Mia berbelanja.
Mia memang sangat disayangi suaminya, dan segala permintaanya pasti dituruti Adam. Dan pesangon dari tempatnya bekerja dulu pun masih banyak, Mia pernah bercerita padaku tentang itu.
Kalau uang pesangon dari tempatku bekerja dulu sudah habis untuk membeli mobil ini. Sedangkan rumah itu sekarang yang mengangsuri tiap bulannya Mas Rian.
Setelah puas berbelanja, kami pun pulang ke rumah dengan banyak plastik di belakang mobil. Senyum bahagia Mia terpancar dari wajahnya.
Sungguh melelahkan sekali siang ini bersama Mia, Alifa yang sudah tertidur dari tadi di mobil langsung aku bawa ke kamar. Aku pun langsung merobohkan badan yang sudah letih ini.
Kami berdua tertidur sampai Alifa bangun jam 15:00, badan ini terasa masih lemah sekali.
Sore itu aku memandikan Alifa dan bersiap-siap menyambut kedatangan ayahnya Alifa sore itu.
Hari itu Mas Rian pulang ontime tidak seperti kemarin-kemarin yang pulang telat tanpa kabar apapun.
Motor Nmax putih datang dari arah depan menuju rumahku, ya, itu Mas Rian pulang.
Dia langsung memarkirkan motornya dan melepas helm dan jaketnya. Aku yang sedari tadi berdiri di teras rumah dengan Alifa dalam gendonganku terus melihat laki-laki itu.
“I am Home, sayang” ucap Mas Rian padaku.
Aku hanya menjawab simpel padanya, “Ya” .
“Alifaku sudah cantik rupanya.” Goda Mas Rian pada Alifa yang terus tersenyum menyambut ayahnya pulang.
Mas Rian masuk ke dalam rumah diiringi aku dan Alifa, nampaknya dia sangat kelelahan sekali.
Dia duduk di ruang tengah dan kepalanya bersender pada bantalan sofa.
“Mandi terus makan, aku sudah siapkan untukmu di meja makan!” terangku padanya.
Dia langsung bergerak mengikuti perintahku, aku dan Alifa duduk di meja makan. Menunggu Mas Rian selesai mandi dan menemaninya makan malam.
Selang 30 menit berlalu, Mas Rian sudah ganti baju rapi dan menemuiku di ruang makan.
Alifa masih menempel di pelukanku dan matanya sayup-sayup ngantuk sepertinya. Sedangkan ayahnya masih bergelut dengan makan malamnya di meja. Setelah selesai makan aku mengajaknya berbicara serius tentang Erina.
“Mas, mulai sekarang ATM dan kartu kreditmu aku yang pegang, tidak ada alasan untuk menolaknya!” ucapku tegas.
“Baiklah, kalau itu maumu!” Jawab Mas Rian lirih.
“Kalau kamu ingin aku memaafkanmu, besok sabtu aku ingin kita bertiga ketemu!” pintaku padanya.
Wajah Mas Rian mendadak kaget atas permintaanku kali ini. Dia pun mencoba menyela permintaanku.
“Buat apa, sih, Arum? Sudahlah lupakan dia, sekarang aku pun sudah menjaga jarak dengannya dan sudah tidak berhubungan dengannya lagi.” ujar Mas Rian menjelaskan.
“Aku sadar, hanya kamu dan Alifa yang berharga bagi hidupku, aku sekarang manut padamu, aku ikhlas kalau semua ATM, Mobil kamu tarik dariku.”
“Tidak bisa, pokoknya hari sabtu bawa aku bertemu dengan Erina!” aku bersikeras terhadapnya.
“Baiklah, kalau itu maumu, Arum.” nampaknya Mas Rian luluh dengan perintahku.
Obrolan malam itu dengan Mas Rian, akulah pemenangnya, dia sudah tidak bisa berkutik lagi. Aku menyuruhnya menelpon Erina dan membuat janji dengannya di hari sabtu nanti.
“Telpon Erina, katakan padanya untuk bertemu di Café de paris chef Josette, Permata Hijau.”
“Jangan bilang kalau kau mengajaku dan pakai speaker biar aku dengar” perintahku lagi.
Mas Rian mengambil handphonnya dan menekan nomer Erina.
“Assalamulaikum, Mas, ada apa?” tanya Erina pada Mas Rian.
Mataku terus melototi Mas Rian yang sedang berbicara dengan Erina.
“Erina, hari sabtu aku ingin bertemu denganmu, di Café de Paris, Belleza Arcade, Permata Hijau!” ucap Mas Rian.
“Baik, Mas, aku akan tepat waktu dan memakai baju terbaik nanti!” ujar Erina dengan lembut.
“Sampai ketemu di sana ya, sayang, I love you.” Ucap Erina mesra pada suamiku.
Aku mendadak marah mendengar ucapan Erina pada suamiku, Oh ternyata segitu mesranya kalian berdua ternyata.
Mas Rian menutup obrolannya dengan Erina dan menundukan pandangannya padaku, karena dia tahu aku pasti marah.
“Ehem, sayang, I love you, mesra sekali kamu Mas, persis dulu kamu mendekatiku waktu pacaran, kamu puber lagi, Mas?” terangku menyindirnya.
“Dengarkan penjelasanku, sayang, Erina itu sudah berlebihan mengganggapku sebagai kekasihnya, aku hanya membantunya sewaktu magang di Bank tempatku bekerja” terang Rian.
“Aku ajari dia sewaktu belajar magang, dan sekarang dia bekerja sebagai marketing di Apartemen Pakubuwono berkat bantuanku, jadi seolah-olah aku memberinya harapan, padahal tidak sama sekali” tutup Mas Rian.
“Oh begitu, kamu memungkirinya lagi ceritanya, paling juga kamu belikan apartemen untuknya, kan?” tanyaku.
“Demi Tuhan, Arum, aku tidak memberikan apa-apa pada Erina” jawab Mas Rian.
“Terus kenapa kemarin kamu pulang lama, habis mengantarnya pulang ke rumahnya kan? terus kehujanan dan sakit.” Aku mengulik tentangnya.
“Ya, aku mengantarnya dari Pakubuwono, kebetulan aku lagi dinas di Fatmawati hari itu, dia mengabariku kalau dia tidak enak badan dan memintaku mengantarnya pulang, Erina sebatang kara di sini, dia merantau ke Jakarta tanpa sanak dan saudara, dia harus bekerja untuk membantu orangtua dan adik-adiknya di kampung”
“Oh, jadi kamu kasihan padanya, sekalian saja kamu nikahin dia, dia kan cantik juga rupanya, pasti kamu puas dengannya.” Aku terus saja menyudutkannya.
“Tidak Arum, aku hanya mencintaimu seorang, apalagi ada Alifa di tengah-tengah kita.”
“Terserah kamu mau bilang apa, besok sabtu aku ingin bertemu dengannya!”
Aku meninggalkan suamiku di meja makan, sejenak semua alasan yang diberikannya padaku ada benarnya.
Tapi aku harus meyakinkan diriku sendiri ketika bertemu Erina nanti. Malam itu aku belum mengizinkannya untuk tidur bersamaku dan Alifa. Dia tetap tidur di ruang tengah di depan TV.
Sebenarnya aku kasihan padanya, tapi biar dia jera dengan perbuatannya.
Hari itu datang, aku sudah bersiap-siap menuju tempat yang sudah kita booking untuk pertemuanku dengan Erina. Aku dan Alifa duduk di samping Mas Rian, Wajah suamiku terlihat santai, tidak ada rasa cemas atau apalah.
Beberapa saat kemudian kami sampai di Belleza arcade, Permata Hijau.
Aku melangkah tegap memasuki restoran itu, Erina tidak mengetahui kalau suamiku datang bersamaku.
Aku ingin menghancurkan perasaan Erina lewat suamiku. Semoga cara ini bisa membuat Erina mundur mengejar cinta dari Mas Rian.
Dari kejauhan sudah duduk seorang perempuan muda, cantik dengan rambut lurusnya. Bajunya bagus dan sepatu yang dipakai sama denganku. Sepertinya Erina buta cinta dengan suamiku, secara Mas Rian sangat tampan, muda dan karirnya cemerlang.
Kami mendekati perempuan itu yang sudah duduk terlebih dahulu.
“Halo, Erina!” sapaku padanya.
Mendadak Erina terkaget-kaget mendengar sapa salamku padanya.
“Mm...Mbak Arum ...” ucap Erina kaget.
Erina langsung bangkit dari tempat duduknya dan dengan cepat dia mendapatkan tanganku dan mencium tanganku.
Segera aku melepaskan tanganku dari genggamannya.
“Silahkan duduk, Mbak Arum, Mas Rian!”
Aku kaget, ternyata perlakuan Erina di luar dugaanku, harusnya dia ketakutan melihatku. Tapi kenapa dia begitu santai kali ini.
“Ini pasti Alifa ya?” ucap Erina sembari memegang Alifa.
Aku tak bisa menampis sentuhan Erina pada anakku. Terlalu naif jika aku melarangnya menyentuh Alifa.
“Sudah, jangan banyak gaya kamu, Erina, Mas Rian mau ngomong sesuatu padamu!” terangku sembari melihat ke arah suamiku.
“Mau bicara apa, Mas? Ayo, katakan saja …” balas Erina
Aku melirik suamiku dengan tajam dan memberikan isyarat padanya untuk mengatakan sesuai dengan arahanku semalam.
“Maaf, Erina, untuk sekarang dan seterusnya kamu jangan dekati aku lagi, aku sudah ada Arum dan Alifa, mereka sangat berharga bagiku.” Ucap Mas Rian dengan sedikit ragu-ragu pada Erina.
“Aku tidak pernah mencintaimu Erina, perhatianku padamu hanya kebohongan semata, aku hanya menganggapmu sekedar teman saja, tidak lebih.”
“Tolong jangan ganggu aku dan istriku lagi!” ucap tegas Mas Rian.
Wajah Erina berubah menjadi merah, bulir beningnya membasahi dan menggenang di matanya.
“Apakah itu jujur darimu Mas Rian? Apakah itu betul dari hatimu.?” Tanya Erina pada suamiku.
Aku sangat senang melihat expresi wajah Erina yang mulai rapuh dan hancur. Sesuai dengan rencanaku, bagus Mas, kamu sudah mengikuti arahanku.
“Apa kamu sudah lupa janjimu padaku, Mas?” ucap Erina dengan isakan tangis.
“Apa kamu akan mencampakanku setelah malam itu, oh tidak Mas... Kamu jahat sekali” tangisan Erina pecah.
“Hah, apa?? Apa barusan yang aku dengar? Apa yang sudah kalian lakukan berdua?” ucapku kaget pada suamiku dan Erina.
“Tunggu dulu!!! rahasia apa yang kalian sembunyikan dariku, katakan!!”
Bersambung #4
Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Alifaku, hanya dia orang yang aku sayangi sekarang.
25 menit berlalu melewati jalan Meruya Selatan.
"Duh, ini ada acara apa lagi di Kampus Mercu" ucapku pada pengemudi GoCar.
"Kayaknya ada Wisuda, Bu." Ujar pengemudi itu padaku.
Kalau nunggu jalanan lancar bisa lama aku terjebak di sini. Padahal komplek perumahanku tidak jauh lagi dari Kampus ini, gumamku.
"Pak, aku turun di sini saja!"
Aku keluar dari mobil dan melanjutkan dengan berjalan kaki menembus kerumunan orang lalu lalang di sekitaran Kampus UMB.
Langkah cepatku terhenti ketika ada Abang ojek pangkalan di depan Indomaret Kampus UMB.
"Bang, ke Puri Botanical!" aku menempuk pundak Abang Ojek.
Hanya beberapa menit saja, aku sudah sampai di depan rumahku.
Hati ini dibuat deg degan ketika aku memasuki pintu rumah Mia.
Bismilaah, smoga kamu baik-baik saja sayang, gumamku dalam hati berdoa.
"Mia, Alifa!"
Aku memanggil dua nama itu di rumah Mia.
Tapi tak kunjung mendapatkan balasan dari salamku.
Aku menyusuri seluruh ruangan rumah Mia, tapi tidak ada orang di dalam.
Hanya beberapa mainan Alifa yang masih berantakan di ruang tengah dengan TV yang masih menyala.
"Duh, dimana kamu sayang? kemana Mia membawamu."
Pertanyaan-pertanyaan itu sekarang berputar mengelilingi kepalaku.
Aku hilang harapan mencari dua orang tersebut. Aku langsung berpindah ke rumahku, mungkin mereka ada di rumahku.
Aku berlari dan memasuki rumahku, sama seperti rumah Mia. Tak seorang pun ada di rumah ini. Aku menangis kehilangan mereka, kemana Alifa, sayang? Mamah khawatir sekali.
Tiba-tiba Ibu Nina, tetanggu di depan rumahku datang menemuiku di dalam rumah.
"Maaf, Bu Arum, tadi Mbak Mia titip pesan ke saya, kalau Bu Arum pulang suruh langsung ke Rumah Sakit Siloam!" ujar Ibu Nina memberitahuku.
Mendengar ucapan dari Ibu Nina, tubuhku ambruk dan terduduk di lantai rumah.
Ibu Nina yang melihatku roboh langsung berteriak histeris dan mencoba membantuku.
"Bu Arummm!!!" teriak Ibu Nina.
"Bu Arum tidak apa-apa?" ucap Ibu Nina.
"Alifaku, ada apa dengan anakku Bu Nina?" aku bertanya padanya.
"Tadi Mbak Mia bilang, Alifa badannya panas sekali dan menunggu Bu Arum terlalu lama, akhirnya Mbak Mia membawanya ke Rumah sakit Siloam." Ujar Ibu Nina
Ibu Nina memapahku dan membantuku duduk di sofa ruang tengah.
"Terima kasih, Bu Nina untuk informasinya."
Lalu Ibu Nina berlalu dari rumahku.
Hati ini lebih sakit daripada mengetahui suamiku bermain-main dengan perempuan lain.
Aku tidak bisa memafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu pada Alifa.
Air mataku meleleh, sangat rindu dengan Alifaku. Dengan semangat tersisa, aku memesan GrabCar untuk pergi menyusul Mia dan Alifa di Rumah Sakit Siloam.
Menunggu mobil pesanan datang, aku menelpon Mia untuk mencari tahu yang terjadi pada Alifa.
"Halo, Mia, bagaimana Alifa? dimana kamu sekarang, Mia?" tanyaku penuh gusar.
"Maaf, Mbak Arum, terpaksa aku bawa Alifa ke Siloam, tadi menunggu Mbak pulang lama sekali, akhirnya aku inisiatif membawanya ke sini."
"Sekarang aku lagi ngantri di Dokter spesialis Anak. Dokter Michael." Ujar Mia.
"Baik, Mbak ke sana sekarang, tolong jaga Alifa, ya!" pintaku pada Mia.
Sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit Siloam, hatiku terus saja menjerit dan gelisah.
Alifaku sedang sakit seperti hatiku yang terus digerogoti oleh perempuan jalang itu.
Cobaan ini begitu beruntunnya menimpaku secara bersamaan.
Ya Alloh kuatkan hatiku ini.
Air mata ini terus saja mengaliri pipiku, setiap kuseka, air mata ini tak hentinya kembali melelehiku.
Sampailah aku di depan Lobby Rumah Sakit Siloam, langkah kakiku langsung menuju ke klinik umum seperti yang dikatakan Mia.
Tampak ruangan ini begitu ramai oleh pengunjung dan pasien yang akan berobat.
Dimana kamu sayang? Mamah tidak bisa menemukanmu.
Banyak anak kecil dan Ibu-ibu duduk di antrian, tak satu pun aku mengenalinya.
Aku lihat tulisan di pintu yang berjejer rapi, dr.Michael Sitorus (Spesialis Anak).
Semoga kau di dalam sana, Nak. Gumamku menebak-nebak posisi Mia dan Alifa.
"Sus, pasien yang ada di dalam siapa namanya?" tanyaku pada perawat jaga di depan klinik anak.
"Sebantar, ya Bu, saya cek dulu datanya." Ucap perawat itu sambil mengecek buku antrian pasien.
"Nama pasiennya, Alifa Wulandari, Bu." Ujar perawat itu.
"Baik, Sus, Terima kasih."
Aku langsung membuka pintu yang sedari tadi tertutup.
Perlahan aku melihat Mia berdiri di samping Dokter dengan anak kecil perempuan berbaring di ranjang.
Air mataku kembali deras mengalir.
"Ya Alloh, sayang, apa yang terjadi denganmu, Nak?" tanyaku pada Mia di ruangan itu.
Mia menghampiriku dengan mata yang sudah memerah.
"Mbak Arum, maafkan aku... aku tidak bisa menjaga Alifa, Mbak." Ucap Mia sembari memelukku.
"Tadi pas ditinggal Mbak pergi, aku kasih susu botol yang mbak titipkan, terus Alifa tidur, begitu Alifa bangun dengan tangisan kencang, aku cek badannya panas sekali, Mbak." Mia terus menangis.
"Kamu tidak salah, Mia, aku yang salah meninggalkannya"
Aku menyalahkan diriku sendiri karena sibuk mengurusi perempuan tidak tahu malu itu.
Dokter Michael selesai memeriksa Alifa, dan dengan segera aku menggendongnya kembali.
"Silahkan duduk, Bu!" Ujar Dokter Michael pada kami berdua.
"Sayangnya Mamah... Alifa..., kamu harus sembuh, ya!" ucapku pada tubuh kecil yang sedang lemah ini.
Nafas Alifa sangat panas ketika ku hirup, matanya sayup-sayup menandakan betapa rapuhnya Alifa.
Aku dan Mia duduk di kursi, di depan Dokter Michael. Dokter Michael menghela nafas panjang.
"Syukurlah, Alifa secepatnya dibawa kemari, kalau tidak Alifa bisa Step atau kejang-kejang."
"Alifa kekurangan cairan, mungkin asupan ASI dari Ibunya kurang atau kualitas ASI-nya menurun." Terang Dokter Michael.
Untunglah Alifa hanya demam biasa, dan berkat tindakan Mia, Alifa bisa selamat.
Kami meninggalkan Rumah sakit Siloam dengan beberapa obat dari dokter Michael.
Di dalam taxi tak hentinya aku mengucapkan terima kasihku pada Mia.
"Terima kasih, Mia. lagi-lagi kamu menolong Mbak di saat aku sedang kesulitan." Ucapku padanya.
"Sama-sama, Mbak, aku juga senang bisa membantu, Mbak Arum."
40 menit kemudian, Taxi Bluebird sampai di komplek A-1, perumahan Puri Botanical, Meruya Selatan.
Aku menggendong Alifa yang masih menempel padaku.
Dia sudah tertidur pulas sekarang dengan mulut kecilnya yang masih menyusu padaku.
Adzan Ashar berkumandang, memanggil para hamba-NYA untuk beribadah kepadaNYA.
"Mia, tolong jagain Alifa sebentar, aku shalat dulu, ya!"
Pintaku pada Mia yang masih di kamarku menjaga Alifa.
Dalam sujudku padaNYA, hati ini terus bermunajat untuk kesembuhan anakku, Alifa.
Dan mohon berikan jalan atas permasalahan ini, masalah rumah tanggaku.
Apapun pilihan yang aku ambil nanti, semoga itu jalan terbaik untukku.
Tak elak mata ini dibuat merah dan menggenangkan buliran bening ketika tangan ini menadah padaMU.
Aku sudah ikhlas menuruti takdirMU, hamba hanya bisa menjalaninya tanpa bisa menolaknya.
Sujudku di sore itu begitu kelam, begitu menggoyahkan kelemahanku terhadap cobaan ini.
Aku kembali menemui Alifa di kamar, Mia masih setia menjaga anakku.
"Mia, biar Mbak yang temanin Alifa, Mia istirahat dulu ya!"
Aku menyuruh Mia untuk pulang karena nampaknya dia kelelahan sedari siang.
"Baik, Mbak, aku ngantuk sekali, kalau butuh bantuanku nanti tinggal panggil, ya, Mbak Arum!" ucap Mia.
Mia melangkah meninggalkan kami berdua di kamar.
Alhamdulillah, suhu badan Alifa sudah turun, obat dari dokter Michael rupanya cocok.
Aku berbaring di samping Alifa yang sedang tertidur pulas.
Senja mulai menguning di langit, suara burung-burung bersautan untuk kembali ke sarangnya.
Suasan hening mulai menyelimuti perumahan ini, suamiku tidak pulang tepat waktu, sore itu.
Aku sudah menduga hal itu, pasti sedang sibuk menghibur perempuan gatal itu.
Pikiranku sekarang hanya Alifa seorang, dia satu-satunya yang bisa kupercaya saati ini.
Selepas Maghrib, mobil CRV putih tak kunjung datang, artinya Mas Rian belum juga pulang.
Tak ada pesan apapun masuk ke dalam handphoneku, benar-benar laki-laki brengsek.
Hanya memperhatikan perempuan yang bukan tanggungannya dan mengesampingkan tanggung jawabnya terhadapku dan Alifa.
Aku wanita bodoh, telah dibohongi oleh laki-laki brengsek itu dengan kebaikannya selama ini padaku.
Tak habis pikir, dia tidak menanyakan kabar anaknya sama sekali.
Apalagi Alifa sedang sakit begini, awas saja kalau pulang nanti, Mas.
"Tuk ... tuk ..."
Suara pintu mengeluarkan panggilannya padaku yang sedang menjaga Alifa.
Ini pasti kamu, Mas. Sudah di ubun-ubun emosiku sekarang.
Aku melangkah panjang menuju pintu depan.
Pintu terbuka secara perlahan, aku sudah menyiapkan bogem mentah untukmu.
Wajahku sudah kupasang masam dan bengis.
"Mbak Arum??"
Ucap Mia dengan langkah kakinya memasuki rumahku.
Oh, ternyata Mia yang datang, hampir saja ku jotos kalau benar Mas Rian yang masuk tadi.
"Eh, ada apa, Mbak? jangan marah padaku!" ucap Mia dengan ketakutan melihat expresi wajahku dengan tangan mengepal.
"Bukan, bukan Mia, aku tidak marah padamu" terangku menjelaskannya.
"Terus, Mbak mau marah sama siapa? sama Mas Rian?" ujar Mia dengan polos.
"Iya, Mia, dia telat pulang dan tak memberiku kabar dimana dia sekarang, dan parahnya Alifa sedang sakit tapi dia tak menanyakan padaku" aku curhat dengan Mia soal suamiku.
"Tenang, Mbak, mungkin Ayahnya Alifa ada urusan mendadak."
"Oh, ya, Mbak, bagaimana Alifa? apa sudah turun demamnya?" Mia menanyakan kabar Alifa.
"Alhamudlilah sudah baikan, sekarang dia di kamar, kamu tengokin gih!" perintahku.
"Aku buatkan green tea buat kamu, ya, Mia!"
Aku pergi ke dapur dan Mia pergi ke kamar untuk menemui Alifa.
Kami berdua berbincang-bincang tentang kejadian ketika Mia membawa Alifa ke rumah sakit.
Dia begitu detail menceritakan kronologis kejadian itu.
Aku tidak menceritakan kejadian melabrak Erina pada Mia, rahasia itu hanya aku yang tahu.
Di saat kami asyik mengobrol, tiba-tiba pancaran lampu sorot mobil menyinari rumah kami.
Tak salah lagi itu mobilnya Mas Rian, dia sudah pulang rupannya.
"Mia, kamu pulang dulu, ya!" aku menyuruhnya pulang.
"Ayahnya Alifa sudah pulang ya, Mbak, baiklah kalau begitu." Ujar Mia sembari melangkah pergi.
Aku berpindah ke ruang tamu untuk menyambut suamiku, lelaki pembohong yang ulung.
Dari dalam ruang tamu, aku melihat pria itu melangkah menuju rumah.
Dia melepaskan sepatunya dan bersiap masuk melewati pintu depan.
Aku sudah berdiri tegak di ruang tamu dengan kedua tangan mententeng di pinggangku.
"I am Home..." Ucap Mas Rian dengan mudahnya.
Langkahnya terhenti ketika melihatku berdiri dengan tatapan tajam ke arahnya.
"Ada apa, sayang?"
Mas Rian terheran-heran denganku.
"Ngapain kamu pulang? sekalian saja nginep bareng selingkuhanmu di luar sana!!" ucapku dengan lantang.
Sejenak lelaki itu terdiam dan aku tahu pasti Erina sudah memberitahu kejadian siang tadi.
Badan yang sudah lusuh itu membeku di depanku sekarang, dia hanya bisa menjadi pendengar.
"Bingung kenapa aku tahu Erina? si perempuan jalang itu?"
Emosiku mulai meledak.
"Kamu suami macam apa, sih, Mas? aku menjaga anakmu di rumah, melayanimu, setia padamu, tapi kenapa di luar kamu liar dengan perempuan lain, jawab, Mas!!!" Aku menuduhnya telak tanpa ampun.
"Sayang, biar aku jelaskan dulu duduk masalahnya tentang Erina!" Ujar Mas Rian mencoba memberikan pembelaan.
"Mau apa lagi kamu, Mas? mau bohongi aku lagi, tidak, aku tidak akan termakan bualanmu lagi!" ucapku dengan lantang.
Lelaki itu mencoba meraihku dan mencoba menjelaskan segalanya. Tangannya memegang pundakku, segera aku menampisnya.
"Jangan pegang aku!! jauhkan tangan kotormu dariku!!"
"aku tak sudi disentuh olehmu!!" nafasku mulai tersengal-sengal.
"Kamu asik-asikan sama Erina di luar, sedangkan anakmu sedang sakit, kamu tidak memperdulikan Alifa, jahattt kamu Mas!!"
Aku menangis mengatakan soal Alifa di depannya. Raut wajah Mas Rian berubah menjadi sedih dan cemas ketika aku memberitahu kondisi Alifa padanya.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan Alifa, anakku, Arum?" tanya Mas Rian dengan penuh bimbangnya.
"Tidak usah sok perhatian dengan anakku, tengok saja Erina yang sudah ku labrak tadi siang!"
"Biarkan aku melihat Alifa, please Arum!" Mas Rian mencoba merengek padaku.
"Tidak!, jangan kau dekati anakku!" bentakku.
Tapi Mas Rian terus saja berusaha masuk ke kamar. Aku menghalaunya dengan semua tenagaku.
"Jangan masuk, jangan!!!" aku mendorong tubuh suamiku untuk menjauhi anakku.
"Aku ayahnya, aku berhak melihat Alifa." Ucap Rian dengan penuh iba.
Dengan segala daya dan upayaku, aku menginjak kaki Mas Rian dan mendorongnya jatuh ke lantai.
"Pergii!!!, pergi dari rumah ini, aku tidak mau kau menyentuh anakku!!"
Aku menyuruhnya pergi dengan segala air mataku yang jatuh.
Mas Rian masih tersungkur di lantai dan terus menatapku dengan kelemahannya.
Dari luar Mia dan Adam datang ke rumahku, mungkin karena teriakanku terdengar sampai ke rumahnya.
Adam membantu Mas Rian bangkit dari lantai, sedangkan Mia mendekatiku.
"Mbak, ada apa? kenapa kalian berdua bertengkar?" tangis Mia yang tidak tega melihat kami bertengkar.
"Sudah, Mia, ini urusanku dengan suamiku, kamu tolong jangan ikut campur!" ujarku pada Mia.
Alifa terbangun dari tidurnya di kamar, tangisannya membuat Mas Rian berusaha mendekatinya.
Mia dengan sigap memasuki kamar dan menggendong Alifa yang masih menangis.
Aku masih berdiri di depan pintu kamar dengan barikade untuk menghalau laki-laki itu masuk.
Mas Rian berlari menuju kamar, tetapi dengan sigap aku mencegahnya kembali.
"Stop Mas!! sekarang juga kamu pergi dari sini, Mas!!" perintahku.
"Malam ini kamu tidur di luar, aku muak melihat wajahmu!"
Adam dan Mia yang melihat amarahku meledak-ledak malam itu sangat kaget.
"Mbak, Mas Rian ingin melihat Alifa, kasihan dia Mbak" ujar Mia sambil menggendong Alifa.
"Sudah Mia, biarkan dia tidur di luar" ucapku padanya.
"Tapi mbak..." Adam segera memotong ucapan Mia padaku.
Sepertinya Adam tahu, kalau mereka tidak boleh ikut campur urusanku dengan suamiku.
Mas Rian melangkah ke luar rumah, sedangkan aku dan Mia masuk ke kamar.
Adam menemani Mas Rian di teras rumah, mungkin dua laki-laki itu sedang berbicara tentangku.
Banyak pertanyaan Mia padaku tentang pertengkaran kami berdua.
Akhirnya aku terbuka dengannya, aku memberitahu tahu sosok Erina padanya.
Mia begitu kaget dan marah setelah tahu kelakuan Mas Rian selama ini.
Mia memberiku semangat dan mencoba cari jalan penengah untuk masalah ini.
Mia khawatir kalau kita berpisah gara-gara orang ketiga terutama khawatir dengan masa depan Alifa.
"Mbak Arum, tolong jangan emosi, sabar ya, Mbak!"
"Coba nanti Mbak tanya Mas Rian baik-baik, aku tidak ingin kalian berdua bertengkar seperti ini,
kalian sudah jadi contoh bagi kami untuk berumah tangga." ujar Mia menghiburku.
"Tapi Mia, wanita mana yang tak sakit hati, aku sudah berusaha setia dan percaya padanya, tapi kenyataannya apa? dia bermain api denganku." Buliran beningku kembali jatuh.
"Aku tak rela, Mia, kalau dia membagi cintanya dengan perempuan lain, lebih baik aku minta cerai." Terangku dengan lelehan air mata.
"Astagfirullah, Mbak, tidak boleh berkata seperti itu!"
Mia sangat kaget dan sedih mendengar perkataanku.
"Lihat wajah mungil ini mbak, Mbak Arum harus kesampingkan egomu, Mbak Arum, masa depan Alifa ada pada kalian berdua."
"Please, Mbak Arum, kalian jangan bertengkar lagi dan jangan sampai pisah!" mohon Mia padaku dengan tangisan harunya.
Selang beberapa jam, akhirnya Mia dan Adam kembali ke rumahnya.
Alifa sudah tertidur kembali, sedangkan Mas Rian masih duduk di kursi teras rumah.
Aku membawa selimut dan menemui Mas Rian yang sedang duduk di kursi teras.
Pandangannya kosong ke depan.
"Brukkk.."
"Itu selimut untukmu, jangan masuk rumah malam ini!!" ancamku padanya.
"kalau kamu kedinginan di luar, silahkan pergi ke perempuan itu, mungkin kamu akan mendapatkan kehangatan di sana!" ucapku dengan nada tinggi.
"Brakkk"
Aku menutup pintu rumah dengan keras dan menutup tirai jendela.
Lalu kumatikan lampu depan rumah dan lampu ruang tamu.
Biar saja dia seperti itu, rasakan bagaimana hatiku yang sekarang ini. Laki-laki brengsek sepertimu jangan dikasih hati lagi.
Aku menemui Alifa dan berbaring di sampingnya, aku menyentuh lembut wajah mungilnya.
"Nak, Maafkan Mamah sudah menjaukanmu dari Ayahmu!" ucapku penuh haru mencium kening Alifa kecil.
Ya Tuhan, pilihan yang sulit bagiku sekarang. hatiku masih dikelilingi emosi dan tak kunjung padam.
Mata ini tak bisa kupejamkan dan terus saja teringat kata-kata Erina ketika bertemu tadi siang.
Sungguh di luar dugaan, suamiku yang begitu baik selama ini menyimpan rahasia besar soal Erina.
Jangan-jangan mereka berdua sudah memadu kasih, sampai-sampai Erina mati-matian mengejar suamiku.
Dasar laki-laki! semuanya sama saja, semuanya brengsek dan tak menghargai istri yang susah payah di rumah.
Caci dan makianku pada Mas Rian terus saja terucap oleh mulutku ini.
Jam sudah menunjukan pukul 23:00, suasana sepi sudah menghiasi malam.
Aku yang tak bisa tidur, pergi ke dapur untuk mengambil air minum.
Suasana gelap masih menaungi rumahku, hanya lampu di dapur dan Kamar yang masih menyala.
Aku sedikit menggelitik dan penasaran dengan laki-laki itu.
Aku melangkah ke ruang tamu untuk mengintip, apakah Mas Rian masih ada atau pergi dari rumah ini.
Perlahan aku buka tirai jendela, dan mobil Honda CRV putih masih terparkir di rumahku.
Selimut yang kuberikan padanya tidak ada di teras, kemana dia pergi?.
Mataku mulai mencari suamiku dari balik Tirai, dan kulihat jendela kaca mobil terbuka separo.
Dan samar-samar ada sosok laki-laki di dalamnya.
Oh Tuhan, dia tidur di mobil rupanya, kadang hati ini iba terhadapnya. Kasihan suamiku harus tidur di luar oleh perintahku, sesekali hati ini lemah dibuatnya.
Sempat tangan ini ingin membukakan pintu untuknya, tapi pikiranku kembali mengingat aibnya dan ku urungkan kembali niat baikku malam itu.
Biar jadi pelajaran untuknya, untuk tidak main-main dengan perasaanku.
Aku kembali ke kamar dan melanjutkan tidurku bersama Alifa berdua.
Mataku akhirnya bisa diajak kompromi, aku tertidur dengan perasaan kalut dalam hatiku.
Malam ini begitu dramatis bagi keluarga kami. Pertama bagi rumah tanggaku, kami bertengkar hebat.
Sebelumnya aku tidak sejahat ini pada Mas Rian, membiarkannya tidur di luar.
Di kesunyian malam, tiba-tiba saja pintu rumahku di ketuk oleh seseorang.
"Tukk .. tuk ..."
Aku yang masih sangat ngantuk ini berusaha bangkit dan ingin tahu siapa yang mengetuknya.
Aku melangkah gontai ke ruang tamu.
==========
Aku buka pintu secara perlahan, ternyata laki-laki itu yang mengetuk pintuku. Aku teringat tadi Mas Rian tidur di Mobil. Ah kenapa juga aku membuka pintu untuknya, gumamku.
“Ada apa lagi?” ucapku ketus padanya.
“Aku lapar, Arum, ada makanan tidak untukku?” tanya Mas Rian padaku.
Rupanya Mas Rian kelaparan, dan mengemis padaku untuk diberikan makanan untuknya.
“Tidak ada, beli saja keluar!” perintahku.
“Ini sudah malam menjelang pagi, Arum, sedikit saja aku sungguh belum makan dari sore.” Rengek Mas Rian padaku.
Wajahnya begitu mengiba, dia memang jago akting di depanku. Serigala berbulu domba ini sangat lihai memainkan perasaanku akhir-akhir ini. Tapi wajah polosnya membuatku luluh, aku sungguh tak tega melihatnya kelaparan saat itu.
“Sebentar ...”
Aku pergi ke dapur untuk memberikannya sedikit kue yang ada di kulkas. Aku menaruh kue itu pada sebuah piring plastik.
“Nihh..”
Aku menaruh kue tersebut di atas meja di depan teras.
“Brakk..”
Aku menutup kembali pintu rumah dengan keras tanpa berkata-kata padanya. Dari balik tirai aku mengintip Mas Rian, dia sangat lahap menyantap kue itu. Sungguh dia belum makan dari sore, hatiku kembali tergoyahkan olenya.
Apa yang sedang aku perbuat terhadap suamiku, apakah aku begitu kelewatan terhadapnya?
Begitu hebat dan bimbangnya hatiku saat itu, aku mencintai dan menyayanginya. Tapi kalau mengingat penghianatannya padaku, emosiku selalu memuncak.
Dengan sedikit empatiku terhadapnya, aku mengizinkannya masuk rumah. Aku membuka kembali pintu depan.
“Masuk, tidur di ruang tamu, cepatan!”
Perintahku kembali padanya.
Mas Rian yang masih mengunyah kue pemberianku langsung bangkit dari duduknya dan mengekor di belakangku. Wajahnya sangat sumringah ketika aku mengizinkannya masuk dalam rumah.
“Bawa selimutnya masuk, ingat hanya tidur di ruang tamu!, nanti kunci pintunya” cetusku padanya.
“Terima kasih, Arum.” ucap Mas Rian padaku.
Aku kembali masuk ke kamar dan mengunci kamarku dari dalam. Ini hanya rasa empatiku padamu Mas, jangan harap lebih dari ini. Aku masih menyimpan amarah ini, belum reda sebelum kau memutuskan Erina dan janji tidak akan mengulanginya lagi.
Suara tangisan Alifa membangunkanku di pagi hari, dia terbangun karena kehausan, segera aku menyusuinya. Wajah mungil ini yang membuatku bertahan.
Setelah Alifa selesai menyusu padaku, dia terus mengoceh lucu pagi itu. Aku pun membalas ocehannya.
“Halo sayang, kamu sudah kenyang sekarang, ya?” tanyaku lucu pada Alifa yang hanya tertawa kecil membalasku.
Gelak tawa kecil itu memenuhi kebahagianku ke seluruh rumah ini. Tiba-tiba Mas Rian berdiri di depan pintu dan menatap kami berdua yang sedang asyik bermain.
“Jangan masuk!, aku belum memaafkanmu, jangan kira aku sudah baikan denganmu.” Cetusku padanya.
“Bagaimana Alifa? apa demamnya sudah turun?” tanya Mas Rian padaku.
“Sudah, kalau mau sarapan, bikin sendiri, baju kerja kamu sudah aku siapkan di ruang tengah.” terangku pada lelaki itu.
Laki-laki itu beranjak dari hadapanku dan sepertinya dia pergi ke kamar mandi untuk mandi. Aku masih dengan Alifa di kamar, sementara ini aku mengacuhkannya.
Biar saja dia lakukakan apa-apa sendiri. Agar tahu betapa repotnya melakukan aktifitasku setiap harinya.
Sesekali aku mengintipnya, apa yang dilakukannya dari balik pintu kamar. Dia masak mie goreng sendiri setelah mandi.
Biasanya aku yang menyiapkannya, sekarang tangan ini sedang malas untuk melakukannya.
Setelah sarapan selesai, Mas Rian bersiap-siap berangkat ke kantor pagi itu dengan baju yang sudah aku berikan padanya.
Aku membuntutinya dari belakang.
Di teras dia duduk sembari memakai sepatu kerjanya, dia menatapku dan mengucapkan salam padaku.
“Aku berangkat dulu, ya!” ucap Mas Rian sembari melangkah memasuki mobilnya.
“Eh… tunggu dulu!” aku menghampirinya.
“Mau kemana kamu?” tanyaku dengan muka masam.
“Mau kerja seperti biasa, sayang.” jawab Mas Rian.
“Turun dari mobil, tiga hari ke depan, kamu berangkat naik motor!” perintahku keras.
“Kenapa?” tanya Mas Rian heran.
“Udah matikan mesinnya dan berikan kunci mobilnya padaku!” tanganku menagih padanya.
Dengan wajah pasrah akhirnya Mas Rian turun dari mobil dan menyerahkan kunci mobil itu padaku. Dia begitu manut padaku saat itu.
Dengan wajah datar Mas Rian mengambil kunci motor di dalam rumah dan memakai jaket motor.
Suara mesin motor berlalu dari rumahku dengan Mas Rian.
Sebetulnya aku tak tega melihatmu berangkat kerja pakai motor Mas, tapi aku membatasi dirimu agar tidak berhubungan dengan Erina lagi.
Semua fasilitas padamu akan aku tarik semua sementara.
Mentari pagi bersinar terang, cahaya hangatnya menggugah kehidupan di kota Jakarta ini. Aku dan Alifa jalan-jalan keliling komplek bersama dengan stroller.
Banyak ibu-ibu yang menyapaku dan Alifa.
Sesekali aku berhenti dan berbincang-bincang dengan tetanggaku. Banyak dari mereka yang mengenalku.
Setelah berkeliling komplek, saatnya kami kembali ke rumah untuk melakukan aktifitas ibu rumah tangga. Sampai di depan rumah, Mia yang sedang menyiram bunga menyapaku.
“pagi-pagi Alifa sudah keliling saja, gemes deh...” ujar Mia dengan girangnya.
“Bunganya bagus-bagus, ya, Mia” sanjungku padanya.
“Hehe, ini yang milih bunga Mas Adam, Mbak.” senyum Mia tersipu malu.
“Eh, Ayahnya Alifa tidak masuk kerja, Mbak? Apa masih belum baikan?” tanya Mia dengan wajah penuh penasaran.
“Masuk kok, tadi berangkat pakai motor.” Terangku.
“Loh, tumben naik motor, biasannya naik mobil …”
“Aku yang nyuruh pakai motor, biar tidak kena macet hari ini.”
“Eh, Mbak Arum, mumpung ada mobil, yuk kita ke Gandaria City, banyak promo produk-produk kecantikan, loh, Mbak!” ucap Mia dengan semangat.
“hmmm, gimana, ya, Mia?" aku pura-pura mikir.
“Ah, Mbak Arum, gak asik ah...” rengek perempuan muda itu.
“Ok, tapi kamu yang bawa mobil ya, Mia!” pintaku padanya.
“Siap, Bu Boss!” jawab Mia dengan sumringah.
Jam 11 siang kami berdua bersama Alifa pergi meninggalkan rumah dan menuju Mall Gandaria City.
Sepanjang perjalanan, mulut Mia tak hentinya mengoceh dan membuat suasana di dalam mobil meriah.
Aku pangku Alifa di kursi depan, sedangkan Mia menyetir mobil. Jalanan Permata Hijau menuju Pondok Indah memang sempit dan sesekali kami menemukan kemacetan.
Kami terjebak macet di depan Apartemen Pakubowono, sepertinya ini mengular sampai depan Mall. Mia menggerutu sendiri menghadapi kemacetan ini.
“Ih apaan sih, kok macet begini?” gerutu Mia menyaksikan barisan panjang mobil berhenti di depannya.
“Sabar, Mia, Enjoy saja!” ucapku menenangkannya.
Aku melihat di sekelilingku, banyak motor yang lalu lalang menembus macet. Dan aku melihat banyak apartemen mewah di sini. Tempat orang-orang parlente menghabiskan waktunya di sini dan mungkin dengan perempuan simpanannya.
Huh, jadi teringat dengan Erina, sudah dapat apa saja dia dari suamiku.
Tiba-tiba sosok perempuan yang kemarin aku labrak keluar dari apartemen Pakubowono. Lengkap dengan setelah rapi melekat pada perempuan itu. Dia menghentikan Taxi yang kebetulan berjarak lima mobil di depan mobilku. Posisi masih macet, ingin aku menyambanginya dan belum puas hati ini membuatnya malu di depan umum kemarin.
Selang beberapa menit, kondisi jalanan berjalan kembali, macet sudah terurai. Mia yang sudah siap menancap gas dari tadi langsung meluncur dengan CRV putihku.
Taxi yang ditumpangi Erina segera terlewati, aku memperhatikan Taxi itu dengan perempuan jalang di dalamnya. Oh, Jadi kamu tinggal disitu Erina, jangan-jangan Mas Rian membelikannya apartemen untuknya.
Dasar laki-laki bodoh, mau saja diporotin sama perempuan seperti Erina.
Kemarin bilangnya tidak karena harta dan uang, sekarang apaan, kau mendapatkan apartemen mewah dari suamiku.
Kalau begini caranya, si Erina bisa menguras habis uang suamiku. Oke aku harus pintar menyusun strategi untuk menghancurkan Erina dan memutuskan subsidi uang untuk perempuan itu.
Sampailah kami di Mall Gandaria City setelah berjibaku dengan kemacetan tadi. Benar yang dikatakan Mia, sedang banyak promo di Mall ini. Mia memborong banyak produk di sini, aku hanya menggelengkan kepala melihat khilafnya Mia berbelanja.
Mia memang sangat disayangi suaminya, dan segala permintaanya pasti dituruti Adam. Dan pesangon dari tempatnya bekerja dulu pun masih banyak, Mia pernah bercerita padaku tentang itu.
Kalau uang pesangon dari tempatku bekerja dulu sudah habis untuk membeli mobil ini. Sedangkan rumah itu sekarang yang mengangsuri tiap bulannya Mas Rian.
Setelah puas berbelanja, kami pun pulang ke rumah dengan banyak plastik di belakang mobil. Senyum bahagia Mia terpancar dari wajahnya.
Sungguh melelahkan sekali siang ini bersama Mia, Alifa yang sudah tertidur dari tadi di mobil langsung aku bawa ke kamar. Aku pun langsung merobohkan badan yang sudah letih ini.
Kami berdua tertidur sampai Alifa bangun jam 15:00, badan ini terasa masih lemah sekali.
Sore itu aku memandikan Alifa dan bersiap-siap menyambut kedatangan ayahnya Alifa sore itu.
Hari itu Mas Rian pulang ontime tidak seperti kemarin-kemarin yang pulang telat tanpa kabar apapun.
Motor Nmax putih datang dari arah depan menuju rumahku, ya, itu Mas Rian pulang.
Dia langsung memarkirkan motornya dan melepas helm dan jaketnya. Aku yang sedari tadi berdiri di teras rumah dengan Alifa dalam gendonganku terus melihat laki-laki itu.
“I am Home, sayang” ucap Mas Rian padaku.
Aku hanya menjawab simpel padanya, “Ya” .
“Alifaku sudah cantik rupanya.” Goda Mas Rian pada Alifa yang terus tersenyum menyambut ayahnya pulang.
Mas Rian masuk ke dalam rumah diiringi aku dan Alifa, nampaknya dia sangat kelelahan sekali.
Dia duduk di ruang tengah dan kepalanya bersender pada bantalan sofa.
“Mandi terus makan, aku sudah siapkan untukmu di meja makan!” terangku padanya.
Dia langsung bergerak mengikuti perintahku, aku dan Alifa duduk di meja makan. Menunggu Mas Rian selesai mandi dan menemaninya makan malam.
Selang 30 menit berlalu, Mas Rian sudah ganti baju rapi dan menemuiku di ruang makan.
Alifa masih menempel di pelukanku dan matanya sayup-sayup ngantuk sepertinya. Sedangkan ayahnya masih bergelut dengan makan malamnya di meja. Setelah selesai makan aku mengajaknya berbicara serius tentang Erina.
“Mas, mulai sekarang ATM dan kartu kreditmu aku yang pegang, tidak ada alasan untuk menolaknya!” ucapku tegas.
“Baiklah, kalau itu maumu!” Jawab Mas Rian lirih.
“Kalau kamu ingin aku memaafkanmu, besok sabtu aku ingin kita bertiga ketemu!” pintaku padanya.
Wajah Mas Rian mendadak kaget atas permintaanku kali ini. Dia pun mencoba menyela permintaanku.
“Buat apa, sih, Arum? Sudahlah lupakan dia, sekarang aku pun sudah menjaga jarak dengannya dan sudah tidak berhubungan dengannya lagi.” ujar Mas Rian menjelaskan.
“Aku sadar, hanya kamu dan Alifa yang berharga bagi hidupku, aku sekarang manut padamu, aku ikhlas kalau semua ATM, Mobil kamu tarik dariku.”
“Tidak bisa, pokoknya hari sabtu bawa aku bertemu dengan Erina!” aku bersikeras terhadapnya.
“Baiklah, kalau itu maumu, Arum.” nampaknya Mas Rian luluh dengan perintahku.
Obrolan malam itu dengan Mas Rian, akulah pemenangnya, dia sudah tidak bisa berkutik lagi. Aku menyuruhnya menelpon Erina dan membuat janji dengannya di hari sabtu nanti.
“Telpon Erina, katakan padanya untuk bertemu di Café de paris chef Josette, Permata Hijau.”
“Jangan bilang kalau kau mengajaku dan pakai speaker biar aku dengar” perintahku lagi.
Mas Rian mengambil handphonnya dan menekan nomer Erina.
“Assalamulaikum, Mas, ada apa?” tanya Erina pada Mas Rian.
Mataku terus melototi Mas Rian yang sedang berbicara dengan Erina.
“Erina, hari sabtu aku ingin bertemu denganmu, di Café de Paris, Belleza Arcade, Permata Hijau!” ucap Mas Rian.
“Baik, Mas, aku akan tepat waktu dan memakai baju terbaik nanti!” ujar Erina dengan lembut.
“Sampai ketemu di sana ya, sayang, I love you.” Ucap Erina mesra pada suamiku.
Aku mendadak marah mendengar ucapan Erina pada suamiku, Oh ternyata segitu mesranya kalian berdua ternyata.
Mas Rian menutup obrolannya dengan Erina dan menundukan pandangannya padaku, karena dia tahu aku pasti marah.
“Ehem, sayang, I love you, mesra sekali kamu Mas, persis dulu kamu mendekatiku waktu pacaran, kamu puber lagi, Mas?” terangku menyindirnya.
“Dengarkan penjelasanku, sayang, Erina itu sudah berlebihan mengganggapku sebagai kekasihnya, aku hanya membantunya sewaktu magang di Bank tempatku bekerja” terang Rian.
“Aku ajari dia sewaktu belajar magang, dan sekarang dia bekerja sebagai marketing di Apartemen Pakubuwono berkat bantuanku, jadi seolah-olah aku memberinya harapan, padahal tidak sama sekali” tutup Mas Rian.
“Oh begitu, kamu memungkirinya lagi ceritanya, paling juga kamu belikan apartemen untuknya, kan?” tanyaku.
“Demi Tuhan, Arum, aku tidak memberikan apa-apa pada Erina” jawab Mas Rian.
“Terus kenapa kemarin kamu pulang lama, habis mengantarnya pulang ke rumahnya kan? terus kehujanan dan sakit.” Aku mengulik tentangnya.
“Ya, aku mengantarnya dari Pakubuwono, kebetulan aku lagi dinas di Fatmawati hari itu, dia mengabariku kalau dia tidak enak badan dan memintaku mengantarnya pulang, Erina sebatang kara di sini, dia merantau ke Jakarta tanpa sanak dan saudara, dia harus bekerja untuk membantu orangtua dan adik-adiknya di kampung”
“Oh, jadi kamu kasihan padanya, sekalian saja kamu nikahin dia, dia kan cantik juga rupanya, pasti kamu puas dengannya.” Aku terus saja menyudutkannya.
“Tidak Arum, aku hanya mencintaimu seorang, apalagi ada Alifa di tengah-tengah kita.”
“Terserah kamu mau bilang apa, besok sabtu aku ingin bertemu dengannya!”
Aku meninggalkan suamiku di meja makan, sejenak semua alasan yang diberikannya padaku ada benarnya.
Tapi aku harus meyakinkan diriku sendiri ketika bertemu Erina nanti. Malam itu aku belum mengizinkannya untuk tidur bersamaku dan Alifa. Dia tetap tidur di ruang tengah di depan TV.
Sebenarnya aku kasihan padanya, tapi biar dia jera dengan perbuatannya.
Hari itu datang, aku sudah bersiap-siap menuju tempat yang sudah kita booking untuk pertemuanku dengan Erina. Aku dan Alifa duduk di samping Mas Rian, Wajah suamiku terlihat santai, tidak ada rasa cemas atau apalah.
Beberapa saat kemudian kami sampai di Belleza arcade, Permata Hijau.
Aku melangkah tegap memasuki restoran itu, Erina tidak mengetahui kalau suamiku datang bersamaku.
Aku ingin menghancurkan perasaan Erina lewat suamiku. Semoga cara ini bisa membuat Erina mundur mengejar cinta dari Mas Rian.
Dari kejauhan sudah duduk seorang perempuan muda, cantik dengan rambut lurusnya. Bajunya bagus dan sepatu yang dipakai sama denganku. Sepertinya Erina buta cinta dengan suamiku, secara Mas Rian sangat tampan, muda dan karirnya cemerlang.
Kami mendekati perempuan itu yang sudah duduk terlebih dahulu.
“Halo, Erina!” sapaku padanya.
Mendadak Erina terkaget-kaget mendengar sapa salamku padanya.
“Mm...Mbak Arum ...” ucap Erina kaget.
Erina langsung bangkit dari tempat duduknya dan dengan cepat dia mendapatkan tanganku dan mencium tanganku.
Segera aku melepaskan tanganku dari genggamannya.
“Silahkan duduk, Mbak Arum, Mas Rian!”
Aku kaget, ternyata perlakuan Erina di luar dugaanku, harusnya dia ketakutan melihatku. Tapi kenapa dia begitu santai kali ini.
“Ini pasti Alifa ya?” ucap Erina sembari memegang Alifa.
Aku tak bisa menampis sentuhan Erina pada anakku. Terlalu naif jika aku melarangnya menyentuh Alifa.
“Sudah, jangan banyak gaya kamu, Erina, Mas Rian mau ngomong sesuatu padamu!” terangku sembari melihat ke arah suamiku.
“Mau bicara apa, Mas? Ayo, katakan saja …” balas Erina
Aku melirik suamiku dengan tajam dan memberikan isyarat padanya untuk mengatakan sesuai dengan arahanku semalam.
“Maaf, Erina, untuk sekarang dan seterusnya kamu jangan dekati aku lagi, aku sudah ada Arum dan Alifa, mereka sangat berharga bagiku.” Ucap Mas Rian dengan sedikit ragu-ragu pada Erina.
“Aku tidak pernah mencintaimu Erina, perhatianku padamu hanya kebohongan semata, aku hanya menganggapmu sekedar teman saja, tidak lebih.”
“Tolong jangan ganggu aku dan istriku lagi!” ucap tegas Mas Rian.
Wajah Erina berubah menjadi merah, bulir beningnya membasahi dan menggenang di matanya.
“Apakah itu jujur darimu Mas Rian? Apakah itu betul dari hatimu.?” Tanya Erina pada suamiku.
Aku sangat senang melihat expresi wajah Erina yang mulai rapuh dan hancur. Sesuai dengan rencanaku, bagus Mas, kamu sudah mengikuti arahanku.
“Apa kamu sudah lupa janjimu padaku, Mas?” ucap Erina dengan isakan tangis.
“Apa kamu akan mencampakanku setelah malam itu, oh tidak Mas... Kamu jahat sekali” tangisan Erina pecah.
“Hah, apa?? Apa barusan yang aku dengar? Apa yang sudah kalian lakukan berdua?” ucapku kaget pada suamiku dan Erina.
“Tunggu dulu!!! rahasia apa yang kalian sembunyikan dariku, katakan!!”
Bersambung #4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel