Episode #3
Erina kembali menangis ketika aku bertanya kepadanya.
Wajah Mas Rian langsung menjadi cemas dan menundukan pandangannya darikku.
Ucapan Erina seolah membuka tabir kelakuan bejat suamiku selama ini.
Aku liat dua orang di hadapanku dengan penuh jijik, pasangan pendusta dan perempuan tak tahu diri.
Yang satu laki-laki pengecut dan pembual, sedangkan yang satunya perempuan murah dan bodoh dengan cinta butanya terhadap suamiku.
“Brakkk!!!”
Tanganku menggebrak meja dengan sekuat tenaga. Seketika Mas Rian dan Erina langsung terkaget karenaku.
“Jawabbbb!!! Erina!!” tanyaku pedas padanya.
“Apa saja yang sudah laki-laki ini perbuat terhadapmu, jawab!! Jangan cuman diam saja Jalang!!”
Emosiku meledak sambil menunjuk hidung suamiku yang tertunduk.
Semuanya masih terdiam membisu oleh pertanyaanku. Membuat darahku mengalir deras dan memancing kemarahanku terhadap mereka berdua.
Sepertinya memang sudah terlalu jauh hubungan mereka, dan mereka malu mengakuinya di hadapanku.
Dengan isakan tangis tersedu-sedu Erina menjawab pertanyaanku dengan lirih.
“Maafkan aku, Mbak Arum, aku sudah buta cinta terhadap Mas Rian dan malam itu dia menghampiriku dan ….”
Ucapan Erina terhenti karena tangisannya pecah kembali.
“Dan apa?… jangan bikin aku makin muak denganmu!” tanyaku pada perempuan itu.
Mas Rian bangkit dari duduknya dan berusaha mencegahku memberondong Erina dengan pertanyaan-pertanyaan berat untuknya.
“Sudah, sayang, sudah. Jangan diteruskan, iya, aku salah, aku minta maaf padamu.” Ujar Mas Rian sambil memegangiku yang masih mengusik Erina.
“Aku belum selesai bertanya pada simpananmu, Mas!, apa lagi yang mau kamu tutupi? kamu duduk!!!” perintahku padanya.
Akhirnya Mas Rian kembali di posisi duduknya dan hanya bisa menontonku menghajar Erina dengan kata-kataku.
Aku memapah kepala Erina yang tertunduk dengan tangisan murahannya.
“Heh, jawab!! Lihat baik-baik laki-laki di depanmu itu, ya!”
Aku memaksa wajah Erina menatap wajah suamiku.
“Apa betul lelaki itu pernah menidurimu? Tidak usah takut untuk menjawab! Ceritakan saja!”
Aku memaksanya bicara yang sejujurnya.
Erina tak kuasa menahan tangisannya saat itu, buliran beningnya tak kunjung surut ketika menatap wajah suamiku.
Dia menjawab dengan menganggukan kepala padaku disertai isakan tangis pilunya.
Aku yang melihat jawaban Erina lewat anggukan kepala, membuat kepalaku mau pecah saat itu juga.
Tidak disangka-sangka si Brengsek ini sudah terlampau jauh dengan si Jalang murahan ini.
Seketika itu juga aku tonyol kepala Erina hingga sempat akan terjungkal dari tempat duduknya.
Mas Rian yang melihat Erina diperlakukan seperti itu olehku berusaha menolong Erina.
“Heh Brengsek! Tetep duduk di situ!” perintahku.
“Oh jadi kalian berdua sudah pernah begituan, pantas saja si Erina terus mengejarmu dan kamu terus saja mendekatinya, sampai lupa anak dan istri di rumah, bagusss!!“
Aku berdiri dan bertepuk tangan untuk dua pasangan brengsek ini.
“Heh Rian Prasetyo, Enak tidak rasanya gadis muda dan ranum kaya Erina? Kamu ketagihan bukan bercinta dengannya.”
“Dasar laki-laki berbulu domba!” mulutku terus saja menghardik Mas Rian dan pasangan mesumnya di tempat umum.
Beberapa orang ada yang terganggu dengan pertengkaran kami bertiga.
Tapi persetan dengan orang lain, biar mereka lihat busuknya percintaan haram mereka ini.
“Mas Rian Prasetyo, sekarang kau ikut denganku pulang atau tetap di sini bersama perempuan ini, silahkan pilih saja!” ucapku memberikan pilihan padanya.
Mas Rian merasa dilema harus memilihku atau Erina saat itu,
Erina masih tersakiti dengan ucapan-ucapanku, Terus saja dia menangis murah dihadapan suamiku agar hatinya iba terhadap Erina.
Tiba-tiba Mas Rian memegang tangan Erina dan mengatakan sesuatu padanya.
“Erina, aku minta maaf padamu, aku tidak bisa memilihmu … maafkan aku!” terang Mas Rian pada Erina.
Aku bangkit dari tempat dudukku dan menunggu jawaban dari suamiku untuk Erina.
Aku memperhatikan gelagat dari Mas Rian kalau dia masih sayang dengan Erina.
“Ayo cepat Mas!! Atau aku yang tinggalin kamu dengan perempuan ini!” ancamku padanya.
Erina menggenggam erat tangan suamiku di depan mataku, seolah-olah dia tak rela atas keputusan Mas Rian yang lebih memilihku.
“Tidak, Mas, hatiku sudah tertambat padamu, aku bisa gila bila kau memutuskanku sekarang!” ujar Erina dengan buliran beningnya.
“Mana janjimu dulu Mas, janji untuk menikahiku kelak…?” ucap Erina mengingatkan kembali janji suamiku padanya.
Sontak saja aku kaget mendengar kata-kata itu dari mulut perempuan itu. Dadaku mulai sesak dan panas kembali dibuatnya.
“Apa kau bilang tadi? Suamiku ini mau menikahimu, kelak?” tanyaku pada Erina.
“Mas!! Apa betul kamu pernah berjanji padanya untuk mengawininya, jawabb Mas!!”
lagi-lagi si Brengsek ini menyembunyikan kebusukannya padaku dengan perempuan ini.
“Kau sudah janji Mas, kamu sudah janji ketika kau melakukan itu padaku…” Erina menutupi wajahnya dengan tangannya karena tak kuasa Mas Rian ingkar terhadap janjinya.
“Brengsekkkkkk kalian berdua, semuanya menjijikannnn!!” Aku menangis dibuatnya, hatiku begitu hancur lebur mendengar pengakuan langsung dari Erina.
Mas Rian dulu berjanji padaku hanya aku cintanya sampai maut memisahkan. Ternyata janji itu terucap kembali pada perempuan lain.
Bodohnya aku mempercayainya dulu. Aku tak kuat kalau di sini terus mendengar pengakuan-pengakuan mereka berdua.
Hatiku terasa teriris-iris perih, dan laki-laki itu hanya bisa diam dan sempatnya membela Erina di depanku.
Brengsekk kalian berdua!
Tiba-tiba pelayan datang mengantarkan pesanan kami di meja itu.
“Maaf, Bu, pesanannya mau di taruh di mana?” tanya pramusaji itu padaku.
Seketika itu, aku menuangkan satu piring spageti di kepala Erina dan satu piring lagi berisi spageti juga di kepala Mas Rian.
"Rasakan kalian pasangan mesum, makan tuh ulat bulu!!! Dasar kucing garong!!!"
Semua orang melihat ke arah Erina dan Mas Rian yang sudah berlumuran makanan tumpah.
Pramusaji itu pun kaget dibuatku dan hanya terbengong melihat tindakanku.
Aku berlari bersama Alifa dipelukanku yang masih tertidur sejak tadi, dengan isakan tangis haru aku meninggalkan mereka berdua.
Perasaanku pecah berserakan ternyata suami yang selama ini aku dambakan, menusukku dari belakang.
Sangat perih hati ini merasakannya.
Mas Rian langsung berlari berusaha mendapatkanku kembali, Erina yang sudah kotor oleh tumpahan makanan itu masih terduduk dengan tangisan pilunya.
Di depan pintu lobby Mas Rian mencegahku, dan dengan kuatnya dia menghalauku pergi dari tempat ini.
"Arum, Arum ... tolong maafkan aku, please!!" mohon Mas Rian padaku.
Dia memegangi kedua pundakku dengan tangannya sangat erat.
Aku hanya bisa menangisi takdir ini yang begitu perih sekali. Aku begitu enggan untuk menatap wajah imamku yang sudah gagal.
Aku terus saja menggelengkan kepalaku pada Mas Rian, karena aku sudah begitu muak sekali dengannya.
Aku mencoba melepaskan genggaman Mas Rian padaku. Tapi genggamannya begitu kuat sekali, tapi aku tak tinggal diam.
Aku terus meronta dan akhirnya aku bisa lepas dari jeratannya.
Segera aku berlari menuju taxi yang sudah stand by di lobby Belleza Arcade.
Aku membuka pintu dan berusaha masuk dengan cepat, tapi Mas Rian mencoba menghalangiku.
"Arum, dengarkan aku dulu, aku bisa jelaskan semuanya ..." paksa Rian padaku.
Dengan penuh tangis haru biruku, aku memohon padanya.
"Tolong Mas, aku ingin pulang sekarang, biarkan aku sendiri dulu!, tolong menjauh dariku." ucapku padanya.
"Aku sudah tidak sanggup lagi, kamu urus saja ulat gatal itu!! Aku tidak mau mendengar penjelasan darimu, semua ini sudah cukup menjelaskan betapa brengseknya kamu menghianatiku!!"
Dengan berat hati Mas Rian melepaskan tangannya dariku. Pintu aku tutup rapat-rapat darinya dan perlahan Taxi melaju meninggalkannya.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus menangisi penghianatan suamiku.
Tak kusangka, prasangka burukku padanya menjadi kenyataan sekarang.
Oh Tuhan, apakah hamba masih sanggup bersamanya lagi atau jalan pahit yang harus kuambil.
Cucuran air mataku tak kunjung berhenti, dan Alifa terbangun dari tidurnya.
Wajah mungilnya yang mirip sekali dengan Ayahnya semakin membuatku menangis.
"Nak, kenapa Ayahmu begitu jahat dengan Mamah?" tanyaku pada kembaran Mas Rian di pelukanku.
Si Mungil Alifa yang tersenyum-senyum padaku, seperti Oase di saat kesedihanku memuncak seperti saat ini.
Hanya kamu sayang, yang membuat Mamah kuat menghadapi Ayahmu.
40 menit perjalanan pulang ke rumah, semuanya terasa hambar dan ambyar, sudah berantakan hidupku ini.
Wajahku begitu rapuh karena tangisan ini, Mia yang melihatku menangis dari turun Taxi langsung menemuiku.
Di sofa tengah aku memeluk Alifa dengan erat.
"Mbak Arum baik-baik saja?" tanya Mia dengan perasaan cemas.
Aku tidak menjawabnya karena masih terngiang-ngiang dengan ucapan Erina.
Aku kembali menggila dengan semua ini.
Kali ini Mia tidak bisa berbuat apa-apa padaku. Dia menyerah dan meninggalkanku sendiri di rumah.
Selang satu jam Mas Rian pulang, dan kekecewaan ini masih menyelimutiku.
Dia datang dan menemuiku di ruang tengah.
"Arum, maafkan aku. Aku sudah salah menutupi rahasia ini darimu." Ucap Mas Rian dengan sungguh-sungguh di depanku.
"Aku bingung waktu itu, apakah harus jujur dengan semua ini, aku khilaf saat itu dengannya. Aku sudah menyesal."
Mas Rian menjelaskan kronologis kejadian itu padaku.
Pandanganku masih kosong menatap Alifa yang masih di pelukanku. Aku tidak menjawab sepatah kata pun dari ucapannya.
"Alifa Bobo, ya, sayang! nanti kalau besar jangan lupa sayangi Mamah, ya, sayang!" ucapku memandangi Alifa dan mengacuhkan suamiku di depanku.
Mas Rian menegakan wajahku yang masih memandangi Alifa. Dan mencoba memaksaku untuk menatapnya.
"Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku, Arum ... tolong jawab sedikit saja!" Mas Rian meneteskan air mata buayanya di depanku.
"Aku bingung dengan keadaan ini, Arum ... please jawab!!"
Aku terus saja menyanyikan lagu-lagu kesedihan di hatiku. Dan tak memperdulikan sama sekali ucapannya.
Dia menyerah dan duduk di meja makan dan kedua tangannya memegang kepalanya.
Suasana hening merasuki rumah kami, tidak ada obrolan berati di rumah yang sudah mulai hancur karena kekhilafan suamiku.
Aku tak terima dengan semua ini, semua janjimu sudah menguap. Dan tinggal bangkai busuk yang ada di rumah ini.
Aku bangkit dari dudukku dan menaruh Alifa yang sudah tidur kembali.
Aku berbaring di sampingnya dan mengiringinya dengan nyanyian untuk menemaninya tidur.
Setelah 20 menit, Mas Rian belum beranjak dari ruang makan dengan posisi gelisahnya.
Aku sudah bisa mengontrol diriku sekarang, aku mencoba tenang menyikapi masalah ini.
Kudekati laki-laki yang sedang dirundung kegelisahan itu.
Kupegang pundakknya.
"Mas, aku mohon untuk sementara waktu tinggalkan kami sendiri! Aku ingin menenangkan pikiranku, aku akan kemasi baju-bajumu dalam koper dulu!" ucapku padanya.
Aku beranjak ke kamar dan menyiapkan keperluan Mas Rian dalam koper besar.
Mas Rian bangun dari duduknya dan berdiri di depan pintu dan terus melihatku memasukan baju-bajunya dalam koper.
Tak ada kata-kata terucap darinya ketika aku mengatakan hal itu. Dia merasa bersalah mungkin. Atau mungkin dia senang bisa leluasa tinggal dengan ulat gatal itu. Ah, sudahlah terserah mereka saja.
Aku menyeret koper itu keluar kamar.
"Biar aku saja yang membawa koper itu, sayang!" ujar Mas Rian mencoba merebut koper itu dari tanganku.
Aku segera melepaskan tangan Mas Rian dari koper itu.
"Tidak, biar aku saja, aku bisa sendiri!"
Aku menyeret koper besar itu keluar rumah dan menaruhnya di depan teras.
Aku mengambil handpone dan menelpon Taxi untuk mengantar Mas Rian pergi dari rumah ini.
Mas Rian hanya bisa berdiri di sampingku dan aku pun berdiri menunggu Taxi datang.
Sepertinya Mas Rian pasrah dan tidak ingin bertengkar denganku saat itu. Dia tahu aku sedang emosi dibuatnya.
Beberapa menit kemudian datanglah Taxi biru di depan rumahku.
"Taxi sudah datang, Mas, silahkan pergi dan bawa barang-barangmu!" ucapku padanya dengan datar.
Mas Rian meraih koper itu dan secara perlahan melangkah menuju Taxi tersebut.
Aku terus berdiri di teras rumah dan berusaha menahan air mataku ini yang sedari tadi merengek keluar.
Aku tidak ingin terlihat lemah di depan suamiku.
Mas Rian memasukan koper itu pada bagasi Taxi. Sebelum dia masuk ke dalam Taxi, dia menghampiriku.
Dia mencium keningku dengan lembut, tidak ada kata-kata salam darinya untukku.
Air mataku akhirnya tak kuasa lagi kutahan, rontok pertahananku.
Ketika bibir itu menempel di keningku seolah melemparku kembali pada kenangan ketika aku dikecupnya pada saat awal pernikahan kami.
Ya Tuhan, air mata apa ini, aku tidak mengharapkan air mata ini untuknya.
Sosok lelaki tampan itu mulai melangkah membelakangiku menuju Taxi.
"Aku akan memaafkanmu kelak, kalau kau rindu dengan anakku, silahkan datang hari sabtu dan minggu ke sini!" ucapku padanya.
Aku tahu dia begitu sayang dengan Alifa, ikatan batin antara Ayah dan anak sangat kuat.
Perpisahan itu meninggalkan kepedihan padaku, Taxi itu pergi membawa suamiku dari pelukanku.
Aku menangis, tak kuasa badan ini ikut melemah mendapati kepergiannya.
Tidak, apa yang sudah kulakukan padanya, aku mengusirnya dari rumah ini, Aku menjauhkan Alifa dengan Ayahnya.
"Ya Tuhan, ...” tangisku pecah sore itu.
Sejak kejadian hari itu, hari-hariku makin suram tanpa suamiku di sini.
Dan aku tidak bisa melihatnya setiap hari, kadang aku merindukan sosok lelaki itu di rumah ini.
Sudah banyak kenangan manis dengannya, kini aku benar-benar merana.
Sesuai pintaku, pada hari sabtu pagi Mas Rian datang menengok Alifa.
Dia datang menggunakan Taxi dan membawa mainan untuk Alifa.
Wajahnya begitu sumringah ketika melihat Alifa, sudah lima hari keduanya berpisah.
Mas Rian mengajak Alifa belajar berjalan di jalanan komplek.
Tawa dan senyumnya lepas ketika mereka berdua bermain.
Aku hanya melihatnya dari kejauhan antara Ayah dan anak ini bermain bersama.
Aku menyiapkan makan siang untuknya nanti, biar bagaimana pun dia masih suamiku.
Walau kini sedang bertengkar dan tak bersama lagi.
Ketika mereka selesai bermain, mereka pulang dengan perasaan riang gembira.
Alifa digendong Ayahnya memasuki rumah.
"Ya, sudah sampai rumah kita, Alifa." ucap Mas Rian.
"Kalau kamu lapar, aku sudah siapkan makanan di ruang makan." ujarku padanya.
"Terima kasih, sayang." balas Rian.
Aku mengambil kembali Alifa karena ini merupakan jam tidur siang untuknya.
Aku berbaring di kamar bersama Alifa untuk menyusuinya sembari menemaninya tidur.
Di ruang makan sudah ada Mas Rian sedang makan siang.
Ketika Alifa sudah terlelap, aku menemui Mas Rian yang sudah selesai makan.
"Alifa sudah tidur, sekarang kamu boleh pergi, terima kasih sudah mengajaknya bermain hari ini." Ucapku padanya dengan ramah.
"Tapi aku masih kangen dengannya, Arum." cetus Mas Rian.
"Aku mohon padamu, ijinkan aku beberapa saat lagi dengan Alifa!" Mas Rian merengek padaku.
"Silahkan pergi, besok bisa ke sini lagi!" terangku dengan tegas padanya.
Akhirnya dengan sangat berat hati dan perasaan mengalahnya.
Mas Rian pergi dari rumahku dengan Alifa yang masih tertidur di kamar.
Mungkin aku terlalu kejam terhadapnya, tapi inilah hukuman baginya yang sudah menelantarkan kami berdua.
Aku duduk di ruang tamu menatapi semua kenangan rumah ini bersamanya, jujur aku rindu masa-masa manis bersama Mas Rian.
Hari-hariku penuh dengan lamunan tentangnya.
Datang sebuah mobil Alphard hitam di depan rumahku, aku bertanya-tanya siapa yang datang itu.
Apakah itu tamuku atau sekedar parkir di depan rumahku.
Pintu mobil mewah itu terbuka, dan keluarlah sosok perempuan cantik dan elegan dari dalam kendaraan hitam itu.
Ya Alloh, mimpi apa aku semalam. itu Mbak Gista rupanya, mantan bosku ketika aku bekerja dengannya 4 tahun yang lalu.
Aku pernah bekerja satu tahun bersamanya di perusahaan asuransi JIWASRAYA di daerah Kapuk sebelum di ZARA.
Aku langsung bergegas menyambut tamu istimewa itu di depan teras. Aku menyambutnya dengan senyum istimewaku.
"Ya Alloh, ini mimpi atau kenyataan, rumahku kedatangan Boss terbaikku." Ucapku pada Mbak Gista.
"Ah kamu ini berlebihan, Arum!" ujar wanita sukses ini padaku.
Penampilannya begitu rapi dan tampak anggun, dia wanita pintar dan sangat sukses.
"Ini pasti, Fia, kan?" tanyaku pada gadis kecil umur 5 tahunan ini.
"Ayo, cium tangan Tante Arum, Fia!" perintah Mbak Gista pada Fia.
Aku mengawalnya masuk ke dalam rumahku, sementara Pak Imin supir pribadinya menunggu di dalam mobil.
Aku sangat senang sekali kedatangan mantan bosku siang itu.
"Apa kabar, Mbak Gista, sudah setahun lebih kita tidak bertemu." tanyaku mengawali obrolan.
"Iya, kamu yang sibuk tidak pernah hadir di acara bulanan kita, Arum." ujar Mbak Gista padaku.
"Kenapa? Kamu sedang ada masalah? aku dapat kabar dari Yuni, kalau kamu sedang ada masalah, apa itu betul, Arum?" Ucap Mbak Gista yang mungkin sudah tahu masalahku dari Yuni sahabatku.
Memang aku sempat curhat dengan Yuni soal Mas Rian. Ah ember nih Yuni, sampai Mbak Gista tahu, gumamku dalam hati.
"Tidak, Mbak Gista, aku baik-baik saja, kok." Aku berusaha menutupi aib keluarga.
"Sudah jujur saja, aku ini kan sahabatmu, bukan lagi atasanmu yang harus canggung." ucap wanita sukses itu.
"Gimana, ya, Mbak, aku bingung harus mengawalinya dari mana?"
Mbak Gista memegang tanganku erat, seolah-olah dia memberikanku semangat.
"Aku pernah merasakan seperti yang kau rasakan sekarang, mungkin hampir mirip." Mbak Gista mulai bercerita.
"Dulu suamiku pergi meninggalkanku tanpa kabar dan ternyata dia menikahi perempuan lain. memang sakit sekali, Arum."
"Laki-laki yang kita percayai menghianati janji sucinya, tapi aku tidak begitu saja lemah dan rapuh, aku ingat masih ada anak-anak."
"Masa depan mereka ada padaku, jangan terlalu lama bersedih!" Mbak Gista menceritakan kembali pengalaman hidupnya.
"Kamu masih ada Alifa, masih butuh kasih sayang kedua orangtuanya, coba kamu mengalah dan mencoba memaafkan suamimu!" nasehat Mbak Gista padaku.
Aku hanya bisa mendengarkan kata-kata dari Mbak Gista dan ada benarnya juga nasehatnya.
"Baik, Mbak, aku coba untuk mengalah demi masa depan Alifa!" ujarku padanya.
"Terima kasih, Mbak Gista sudah mengingatkanku." Aku memeluk sahabat dan mantan bosku penuh haru.
Kedatanganya bagaikan penyejuk bagi masalahku ini.
Satu jam kita ngobrol bareng, tiba saatnya Mbak Gista untuk pulang ke rumahnya di Pulo Kenanga.
Sungguh kau wanita terhebat, dan menjadi idolaku selama ini, bisa menjadi teman di saat aku terpuruk.
Mobil Alphard hitam meninggalkanku, dengan sedikit energi baru darinya untuk membuka lembaran baru dengan Mas Rian.
==========
Kehadiran Mbak Gista membuatku tersadar, selama ini aku terlalu egois menghadapi Mas Rian. Walaupun memang Mas Rian sudah sepatutnya diberi pelajaran seperti itu.
Esok paginya, seperti perjanjian sebelumnya, Mas Rian datang kembali untuk menemui Alifa.
Alifa kecil langsung merangkak mendekati Ayahnya.
Aku sedikit tersenyum melihat keharmonisan keduannya.
Aku menghela nafas panjang, mengarungi badai rumah tangga ini sekarang.
Alifa dan Mas Rian kali ini hanya bermain di dalam rumah.
Pas jam tidur siang Alifa, Mas Rian tahu diri dan bersiap-siap untuk pergi dari rumah ini.
Aku menghampirinya di depan pintu.
"Kamu di sini dulu, Alifa pasti mencarimu ketika bangun nanti!" ujarku padanya yang sudah bersiap-siap akan pergi.
"Baiklah, Arum!" Mas Rian kembali masuk ke dalam rumah. Dia duduk di ruang tamu sembari melihat foto-foto kenangannya.
"Aku ambilkan green tea untukmu." Aku berlalu ke dapur membuatkan minuman untuknya.
Aku menaruhnya di meja dan aku duduk di depannya.
Kita saling diam diri walaupun kita saling berhadapan, aku masih menjaga gengsiku padanya.
"Kayaknya sore nanti akan turun hujan, kamu jangan pergi, ya, temani Alifa malam ini!" ucapku padanya yang sedang menyeruput greent tea buatanku.
"Benarkah itu, sayang?" Mas Rian menaruh teh itu dan mendekatiku. Dia memeluku erat.
"Sudah, jangan lebai kamu, kamu tidur di kamar belakang, sudah aku siapkan!" aku beranjak berdiri dan menilik Alifa di kamar.
Malam harinya, kita bertiga makan malam bersama, Mas Rian terus saja menggoda Alifaku.
Alifa sampai tertawa lepas dibuatnya, memang suamiku jago sekali membuat Alifa tersenyum.
Setelah Alifa tertidur aku duduk di ruang TV dan Mas Rian di sampingku.
"Besok pagi kamu bawa baju-bajumu kembali ke sini, sekarang sudah satu minggu berlalu, kamu boleh tinggal di sini lagi." Ucapku padanya tanpa melihat wajahnya.
"Alhamdulillah, akhirnya aku bisa kembali ke sini dan bertemu Alifa setiap hari." Ucap Mas Rian senang.
"Aturannya, kamu harus pulang tepat waktu dan boleh memakai mobilku untuk bekerja lagi!"
Mas Rian memelukku erat dan mencium pipiku. Kali ini aku tidak menolaknya karena Alifa, aku mengalah untuk semua ini.
Begitulah keadaannya sekarang, Mas Rian kembali ke rumah ini dengan syarat-syarat yang aku berikan padanya.
Terutama meninggalkan perempuan itu dari kehidupannya. Aku berusaha membuang luka-luka itu dari hatiku.
Berat rasanya jika mengingat kejadian itu, tapi masa depan Alifa lebih penting dari pada egoku.
Kami berdua berusaha memupuk kembali cinta yang sudah kadung terkikis habis.
Walaupun aku memaafkannya, tapi kami tidur terpisah di rumah. Dan selama itu juga kami tidak pernah behubungan badan.
Hati ini masih sakit kalau mengingat tidak hanya aku yang di gauli.
Mas Rian kembali menjadi lelaki penuh perhatian padaku dan Alifa. Sesaat semuanya kembali seperti sedia kala waktu itu.
Alifa sudah bisa berjalan di umurnya yang ke 13 bulan, kami sangat senang dia sudah bisa menapakan kakinya sendiri.
Dua bulan berselang, Erina sudah berlalu dari pikiranku dan kini aku menatap masa depan Alifa bersama Mas Rian.
Hingga saat itu datang kembali mengoyak hatiku dan sudah di titik nadir kepercayaanku padanya.
Siang itu aku main ke rumah Mia, sudah beberapa hari aku tidak berjumpa dengannya.
Biasanya setiap hari dia berkunjung menilik Alifa di rumahku.
Aku masuk ke dalam rumahnya, kebetulan pintu depan tidak di kunci.
Ih, teledor sekali kamu, Mia, gumamku.
"Mia, Mia..." aku memanggil namanya dan mencarinya ke seluruh ruangan.
"Iya, Mbak Arum, aku di ruang tengah." Teriak Mia dengan lesu.
Alifa bersamaku berjalan menuju Mia di ruang tengah.
"Mia, kamu lagi ngapain? Alifa kangen nih." Tanyaku padanya yang sedang pewe di sofa ruang TV.
"Aku lagi tidak enak badan, Mbak." Rengek Mia.
"Adam mana? kenapa tidak berobat sih, Mia." Aku menatap perempuan muda itu yang sedang lemah itu.
"Mas Adam, lagi dinas ke Palembang sudah dua hari ini, aku ditinggal sendiri, Mbak." Tangis Mia manja.
"Cup .. cup, anak manja jangan nangis, ya, ayo mbak anterin ke Dokter!" rayuku padanya.
"Tidak usah, Mbak. aku sudah minum obat kok."
"Mumpung ada mobilmu, nanti Alifa pakai baby car seat di belakang, Mbak yang bawa mobil!" perintahku padanya.
Akhirnya Mia mau menurutiku untuk berobat di Rumah Sakit Permata Hijau.
Di dalam mobil aku terus menasehati Mia untuk menjaga kesehatannya, karena dia tinggal sendiri sekarang.
Kasihan dia, tanpa Adam di sampingnya dia begitu kesepian.
Aku menemani Mia mengantri di Klinik umum, Rumah Sakit Permata Hijau.
Antriannya lumayan banyak, Aku pangku Alifa, Sedangkan Mia di sampingku memakai baju tebal karena demam.
Aku memandangi seisi rumah sakit ini, sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah sakit ini.
Terakhir ketika aku dan Yuni menjenguk Mas Rangga, suami Mbak Gista.
Dalam pandanganku, aku kaget melihat sosok pria yang mirip dengan suamiku menunggu di depan lift.
Aku yang sedari tadi santai menemani Mia, mendadak penasaran dengan kedatangan Mas Rian ke rumah sakit ini.
"Mia, antriannya berapa lagi?" tanyaku padanya.
"Masih lama, Mbak, mungkin 6 lagi." jawab Mia dengan lemah.
"Mbak, Kebelakang dulu, ya, nanti secepatnya balik ke sini lagi." Terangku yang sudah siap membuntuti suamiku.
Aku meninggalkan Mia sendirian di ruang antrian. Dari kejauhan aku memperhatikan Mas Rian, ke lantai berapa dia pergi.
Ketika dia masuk ke dalam Lift, aku melihat angka pada lift yang ditumpangi.
Oh, ternyata lantai 3, Ruang VIP rawat inap, gumamku. Aku tidak langsung mengekornya, aku harus main cantik sekarang.
Semoga dugaanku salah tentangnya, dia sudah berjanji atas nama Alifa untuk tidak mendekati Erina.
Aku kembali ke Mia, khawatir dia sendirian di sana. Ternyata Mia masih duduk di antrian.
"Giliranku sekarang, Mbak." Ucap Mia kepadaku yang baru datang.
Hasil pemeriksaan dokter, Mia hanya masuk angin biasa. Dokter menyuruh Mia banyak istirahat untuk pemulihannya.
Akhirnya kami pergi ke Apotek untuk menebus obat-obatan Mia.
Kembali lagi kami harus mengantri sembari para apoteker meracik obat. Mungkin Mas Rian sudah pergi, karena sudah setengah jam lebih dia memasuki ruang rawat inap itu.
Aku izin ke Mia kembali dengan alasan pergi ke kantin untuk membeli makanan.
Aku naik lift menuju lantai tiga rumah sakit. Aku menanyakan sesuatu pada perawat jaga di ruang perawat.
"Siang, Sus, aku menjenguk saudara saya, apakah ada di lantai 3 ini, namanya Erina Kumalasari." Terangku pada salah satu perawat.
"Sebentar, ya, Bu, saya cari dulu datanya." Ucap perawat itu mengecek di layar komputer.
"Ada, Bu, Pasien Erina ada di kamar 306, sebelah situ ya!" terang perawat itu sambil menunjuk ruang yang dimaksud.
Aku melangkah dengan hati cemas, apakah tadi Mas Rian benar-benar kesini.
Sampailah di depan pintu bertuliskan 306, ruangan ini sama dengan ruangan Mas Rangga suami Mbak Gista dirawat, dulu.
Mataku tergelitik ingin mengetahui keadaan Erina sekarang.
Perlahan aku buka pintu itu pelan-pelan, sedikit demi sedikit sudah nampak ruangan di dalam.
Ya Tuhan, tidak mungkin hal itu kau lakukan, Mas. Hatiku kembali lemah dan hancur kembali oleh Mas Rian.
Tega-teganya kau membuang kesempatan yang aku berikan padamu.
Aku sudah membuang egoku demi keutuhan keluarga kita bersama Alifa.
Aku sudah menyerah denganmu, Mas. Kau benar-benar tidak bisa dipercaya lagi. Aku tutup kembali pintu itu rapat-rapat.
Dan tangisanku menemaniku berlari dari tempat terkutuk itu.
Aku kembali ke Mia dengan perasaan hancur lebur, Mia kebingungan melihatku menangis hebat ketika menemuinya.
Alifa langsung kugendog dan mengajak Mia segera pulang dari tempat ini.
Dalam perjalanan pulang, mata ini selalu basah oleh kejadian tadi.
Mia sangat cemas denganku, dia sesekali mengingatkanku untuk hati-hati dalam mengemudi.
"Mbak, hati-hati, Mbak, jangan ngebut begini, aku takut, Mbak!" teriak Mia karena aku menyetir dengan perasaan penuh amarah ini.
Mia tak banyak bertanya padaku, mungkin karena dia juga sedang sakit dan tahu kalau aku sedang marah.
30 menit kemudian, kami sampai di rumah, Mia langsung beristirahat di rumahnya, Aku menggandeng Alifa memasuki rumah itu.
Hatiku dibuat terluka kembali oleh suami brengsek itu, apa sih yang diharapkan dari Erina.
Sudah kesekian kalinya kau melanggar perjanjian kita, Mas. Ini sudah kelewatan.
Aku menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Alifa bermain sendiri di ruang tengah dengan mainannya.
Alasan apa lagi nanti kamu, Mas. Aku ingin penjelasan yang sebenarnya tentang perasaanmu terhadap Erina.
Jam 17:00 laki-laki itu pulang ke rumah tepat waktu seperti yang sudah-sudah.
Dia melangkah memasuki rumah berlaga tidak tahu kalau aku memergokinya di Rumah sakit bersama Erina.
Aku menyambut lelaki itu di ruang tamu dengan wajah tak bersahabat.
Belum sempat aku berbicara dengannya dengan ribuan pertanyaan yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya.
Dia memotong perkataanku.
Dia memeluku dan meminta maaf padaku. Aku jadi bingung sejenak, kenapa dia bersikap aneh kali ini.
Apakah dia sudah mengetahui kalau aku datang menemuinya di rumah sakit siang tadi.
Dia mengenggam kedua tanganku erat-erat, wajahnya begitu memelas kali itu.
"Arum, maafkan aku, ini bukan pilihanku yang sebenarnya, demi Tuhan aku sangat menyanyangimu dan Alifa." Ucap Mas Rian.
"Bukan maksud aku ingin mengecewakanmu untuk kesekian kali, tapi takdir ini berkata lain."
Munculah perempuan ulat bulu gatal dari balik pintu di depanku.
Mataku langsung terperosok jatuh, melihat Erina ada di depanku kali ini.
Aku kaget, sungguh berani Mas Rian membawa perempuan jalang itu memasuki rumahku ini.
Nafasku mulai sesak dengan kenyataan ini, jantungku memompa dengan kencang ke seluruh nadiku.
"Tolong, terima dia di sini, dia sebatang kara dan sekarang dia ..." Ucapan Mas Rian terhenti untuk melanjutkannya.
Aku hanya bisa memandangi wajah suamiku yang berbicara menyakitkan itu.
Aku mulai melototi kedua pasangan brengsek ini di depanku.
Tiba-tiba Erina yang sedari tadi terdiam, mulai menggerakan lidahnya.
"Mbak Arum, maafkan aku, maafkan Mas Rian ..."
Aku dibuatnya penasaran oleh kata maaf dari keduanya, sebenarnya ada apa ini.
"Aku hamil, Mbak Arum, ..ada janin dalam perutku dan itu buah cinta Mas Rian."
Tangisan Erina pecah di sore itu, dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya menyeka air matanya.
Bagai disambar geledek bertubi-tubi, hatiku hancur berserakan seperti buih-buih di lautan.
"Apaaaaa!!!" aku sungguh kaget mendengarnya.
Aku menggelengkan kepala seraya tak percaya dengan kenyataan ini.
Baru saja aku memaafkan suamiku karena khilafnya, tetapi kali ini tidak bisa kumaafkan.
"Sudah dua bulan umur kehamilanku, demi Tuhan, kami hanya melakukannya sekali ..." Ucap Erina memelas.
Mas Rian hanya tertunduk melihat drama ini.
"Tidak, aku tidak terima dengan ini semua!!!" aku mulai melangkah mundur menjauhi dua manusia ter brengsek di dunia ini.
Erina terduduk di sofa ruang tamu, sedangkan suami bajingan itu masih berdiri di sampingnya.
Aku pergi ke kamar dengan hati yang lemah ini, aku memasukan baju-bajuku dan alifa di koper dan tas besar.
Semua barang-barangku aku kemas rapi dan akan kumasukan dalam mobil.
Mas Rian di ruang tengah menggendong Alifa, yang dari tadi bermain sendiri di ruang tengah.
"Mau kemana, Arum?" tanya Mas Rian padaku yang membawa koper dan tas besar ke depan.
Aku menaruh tas dan koper pada bagasi mobilku.
Dan masuk kembali ke dalam rumah untuk mengambil Alifa dari Mas Rian.
"Kamu memang laki-laki tak tahu diuntung, berani-beraninya membawa dia kemari dan aku suruh menerimanya di rumah ini!!" bentaku.
“Kau sudah berjanji diatas kepala Alifa, anakmu, teganya kau mengingkarinya, Mas!!!”
"Aku juga bingung, Arum, dia sudah hamil dari kekhilafanku, anak dalam kandungannya butuh sosok seorang ayah ketika lahir nanti!" ujar Mas Rian.
"Sekarang dia baru pulang dari rumah sakit, dia tidak memiliki siapapun di Jakarta, aku mohon padamu untuk menerimanya di sini!"
Mas Rian menciptakan seribu alasan.
"Hah!!!, apa!!! menerimanya di sini?" aku menyindirnya.
"Tak sudi serumah dengan perempuan kotor seperti dia, mungkin saja dia bermain dengan orang lain di luar sana selain kamu!!" jawabku.
"Kau sudah buta, Mas, buta akan mulutnya yang manis itu dan sudah buta dengan selangkangannya!! aku menghujatnya.
"Lebih baik aku yang pergi dari rumah ini, aku bawa Alifa pergi dari rumah terkutuk ini!!! Kamu urus perempuan jalang itu!" terangku padanya.
"Aku minta cerai!!! jatuhkan talakmu padaku sekarang, Mas!!" pintaku pada suamiku.
"Tidak, aku tidak akan menceraikanmu, aku mencintaimu, Arum" Mas Rian mencoba mengelak.
"Bulls sittt ... !!!"
Bentaku keras pada lelaki lemah iman dan bodoh itu.
Segera aku menarik Alifa dari pelukan suamiku dan membawanya pergi dari sini.
"Sini, berikan Alifa padaku!!" pintaku keras.
Mas Rian bersikukuh memeluk erat Alifa dan menghalangiku untuk mengambilnya.
"Tidakk!! Alifa tetap di sini bersamaku!" bentak Mas Rian.
"Berikan padaku!!! " aku bentak lagi.
Kami saling tarik menarik memperebutkan Alifa, sampai Alifa menangis kencang.
"Aku mamahnya!! aku berhak atas Alifa bukan kau laki-laki bajingannn!!!" aku menghardiknya keras.
"Aku Ayahnya, dia akan tetap di sini!!" Mas Rian tetap bersikeras memeluk Alifa yang terus menangis.
Karena tenagaku tak sekuat lelaki itu, timbul pikiran gila di kepalaku saat itu.
Aku mengambil botol di meja makan dan memukul selangkangan lelaki bajingan itu.
"Bukkkk"
Seketika itu juga Alifa langsung kurebut darinya. Dia mengeram kesakitan dan tertunduk di lantai.
Dengan langkah cepat aku keluar dari ruang tengah untuk pergi dari rumah ini bersama Alifa.
Ketika berpapasan dengan si perempuan murahan di ruang tamu, aku berhenti sejenak dan memandangnya.
Alifa terus saja menangis di pelukanku.
"Heh!!! bangun kamu Erina!!"
Aku menyuruhnya bangkit dari duduknya.
Seketika itu tamparanku melesat kuat dan mendarat di pipinya. Dua kali tamparanku menghujam pipi Erina.
"Ambil saja laki-laki sampah itu!!! Aku tidak Sudi memperebutkannya!!!" Ucapku penuh amarah.
Dia kembali menangis dan tak kuasa untuk membalasnya. Karena dia begitu lemah baru pulang dari rumah sakit sore itu.
"Ingat!! sekarang kau mendapatkan suamiku seutuhnya, puas kamu, tujuanmu tercapai!!" hardiku padanya.
Erina terus saja menutupi wajahnya karena tamparanku tadi.
Dari dalam ruang tengah, Mas Rian berteriak.
"Arummmmm... jangan bawa Alifa pergiii!!
Teriakan lelaki penuh munafik.
"Aku tak sudi mempunyai suami model bajingan tengik seperti Rian lagi!!" Emosiku memuncak.
Aku melangkah keluar rumah, bersiap meninggalkan rumah ini yang penuh dengan kenangan.
Tidak kusangka kejadiannya akan seperti ini, umur penikahanku hanya sebatas umur jagung.
Apakah ini karma dari perbuatanku yang dulu suka menyakiti hati lelaki.
Ah, sudahlah!! inilah takdirku, menikah dengan laki-laki penuh tipu muslihat dan pembohong itu.
Kakiku melangkah untuk yang terakhir kali meninggalkan rumah ini.
Hempasan angin sore itu begitu sejuk tapi tidak bisa mendinginkan emosiku terhadap dua orang di dalam sana.
Tiba-tiba Mas Rian dari belakang mencoba merebut Alifa dari pelukanku kembali.
Sontak tarik menarik terjadi kembali di teras rumah. Teriakanku membuat Mia dan Adam keluar dari rumahnya dan segera datang ke rumahku.
Adam nampaknya sudah pulang dari tadi, dia mencoba melerai kami berdua saat itu.
"Mas Rian, hentikan, mas, kasihan Alifa seperti itu!!" tangan Adam memegang Mas Rian, sedangkan Mia mencoba menarik Alifa.
Semua tetangga depan dan samping rumah pada keluar. Mereka asyik menonton pertengkaran hebat kami. Tapi aku tak perduli.
"Kembalikan Alifaku, sini, Mia!"
Sementara Mas Rian ditahan oleh Adam.
Akhirnya Mia memberikan Alifa padaku, aku langsung memeluk anakku yang masih menangis.
"Sayang, cup cup jangan menangis, ya, Mamah akan bawa kamu pergi dari sini!" ucapku menenangkan Alifa.
Mia yang mendengar ucapanku langsung menangis.
"Mbak, mau dibawa kemana Alifa, tolong jangan pergi dari sini Mbak!" mohon Mia dengan tangisannya.
"Tidak, Mia, Mbak harus pergi dari sini, tempatku sudah bukan di sini lagi, terima kasih sudah baik terhadapku selama ini."
Aku memeluk Mia untuk terakhir kalinya.
Aku mulai masuk dalam mobilku dan menaruh Alifa di Baby car seat.
Perlahan aku mengela nafas panjang dan melihat sekali lagi rumah ini. Sudah banyak kenangan manis dan indah di tempat ini.
Mas Rian berteriak memanggil Alifa.
"Alifaaa!!!" Teriak Mas Rian melihat mobilku mulai bergerak maju.
Tampak raut kesedihan di wajah Mia. Dia menghampiri Adam yang masih menahan Mas Rian.
"Mas Adam, tolong jangan biarkan Mbak Arum dan Alifa pergi!" rengek Mia pada suaminya.
Mia berusaha membujuku untuk mengurungkan kembali niatnya untuk pergi.
Adam hanya diam, nampaknya dia juga bingung harus berbuat ap.
Adam hanya menggelengkan kepala pada Mia.
Mia tak putus arang, dia mencoba mendekatiku, menghampiri mobilku yang sudah hampir jalan.
"Mbak, pleasee, jangan pergi..." ucap Mia dengan isak tangis harunya.
"Mia, sayang, biarkan Mbak pergi!" jawabku padanya.
Dia terus memegangi kaca mobil yang terbuka separo.
"Tolong, Mia, mundur!" pintaku pada Mia.
Tapi dia tak menggubris perintahku dan terus saja mengikuti mobilku bergerak maju.
"Mbakkk... Mbak Arum!!!" teriak Mia untuk terakhir kalinya padaku.
Aku memegang pipi Mia dan berkata padanya.
"Sayang, biarkan Mbak memilih jalan ini sendiri!"
Aku melepaskan pegangan tangan Mia dari mobilku.
Aku menutup pintu mobilku dan menutup rapat-rapat kenangan bersama semua yang ada di sini.
Bersambung #5
Erina kembali menangis ketika aku bertanya kepadanya.
Wajah Mas Rian langsung menjadi cemas dan menundukan pandangannya darikku.
Ucapan Erina seolah membuka tabir kelakuan bejat suamiku selama ini.
Aku liat dua orang di hadapanku dengan penuh jijik, pasangan pendusta dan perempuan tak tahu diri.
Yang satu laki-laki pengecut dan pembual, sedangkan yang satunya perempuan murah dan bodoh dengan cinta butanya terhadap suamiku.
“Brakkk!!!”
Tanganku menggebrak meja dengan sekuat tenaga. Seketika Mas Rian dan Erina langsung terkaget karenaku.
“Jawabbbb!!! Erina!!” tanyaku pedas padanya.
“Apa saja yang sudah laki-laki ini perbuat terhadapmu, jawab!! Jangan cuman diam saja Jalang!!”
Emosiku meledak sambil menunjuk hidung suamiku yang tertunduk.
Semuanya masih terdiam membisu oleh pertanyaanku. Membuat darahku mengalir deras dan memancing kemarahanku terhadap mereka berdua.
Sepertinya memang sudah terlalu jauh hubungan mereka, dan mereka malu mengakuinya di hadapanku.
Dengan isakan tangis tersedu-sedu Erina menjawab pertanyaanku dengan lirih.
“Maafkan aku, Mbak Arum, aku sudah buta cinta terhadap Mas Rian dan malam itu dia menghampiriku dan ….”
Ucapan Erina terhenti karena tangisannya pecah kembali.
“Dan apa?… jangan bikin aku makin muak denganmu!” tanyaku pada perempuan itu.
Mas Rian bangkit dari duduknya dan berusaha mencegahku memberondong Erina dengan pertanyaan-pertanyaan berat untuknya.
“Sudah, sayang, sudah. Jangan diteruskan, iya, aku salah, aku minta maaf padamu.” Ujar Mas Rian sambil memegangiku yang masih mengusik Erina.
“Aku belum selesai bertanya pada simpananmu, Mas!, apa lagi yang mau kamu tutupi? kamu duduk!!!” perintahku padanya.
Akhirnya Mas Rian kembali di posisi duduknya dan hanya bisa menontonku menghajar Erina dengan kata-kataku.
Aku memapah kepala Erina yang tertunduk dengan tangisan murahannya.
“Heh, jawab!! Lihat baik-baik laki-laki di depanmu itu, ya!”
Aku memaksa wajah Erina menatap wajah suamiku.
“Apa betul lelaki itu pernah menidurimu? Tidak usah takut untuk menjawab! Ceritakan saja!”
Aku memaksanya bicara yang sejujurnya.
Erina tak kuasa menahan tangisannya saat itu, buliran beningnya tak kunjung surut ketika menatap wajah suamiku.
Dia menjawab dengan menganggukan kepala padaku disertai isakan tangis pilunya.
Aku yang melihat jawaban Erina lewat anggukan kepala, membuat kepalaku mau pecah saat itu juga.
Tidak disangka-sangka si Brengsek ini sudah terlampau jauh dengan si Jalang murahan ini.
Seketika itu juga aku tonyol kepala Erina hingga sempat akan terjungkal dari tempat duduknya.
Mas Rian yang melihat Erina diperlakukan seperti itu olehku berusaha menolong Erina.
“Heh Brengsek! Tetep duduk di situ!” perintahku.
“Oh jadi kalian berdua sudah pernah begituan, pantas saja si Erina terus mengejarmu dan kamu terus saja mendekatinya, sampai lupa anak dan istri di rumah, bagusss!!“
Aku berdiri dan bertepuk tangan untuk dua pasangan brengsek ini.
“Heh Rian Prasetyo, Enak tidak rasanya gadis muda dan ranum kaya Erina? Kamu ketagihan bukan bercinta dengannya.”
“Dasar laki-laki berbulu domba!” mulutku terus saja menghardik Mas Rian dan pasangan mesumnya di tempat umum.
Beberapa orang ada yang terganggu dengan pertengkaran kami bertiga.
Tapi persetan dengan orang lain, biar mereka lihat busuknya percintaan haram mereka ini.
“Mas Rian Prasetyo, sekarang kau ikut denganku pulang atau tetap di sini bersama perempuan ini, silahkan pilih saja!” ucapku memberikan pilihan padanya.
Mas Rian merasa dilema harus memilihku atau Erina saat itu,
Erina masih tersakiti dengan ucapan-ucapanku, Terus saja dia menangis murah dihadapan suamiku agar hatinya iba terhadap Erina.
Tiba-tiba Mas Rian memegang tangan Erina dan mengatakan sesuatu padanya.
“Erina, aku minta maaf padamu, aku tidak bisa memilihmu … maafkan aku!” terang Mas Rian pada Erina.
Aku bangkit dari tempat dudukku dan menunggu jawaban dari suamiku untuk Erina.
Aku memperhatikan gelagat dari Mas Rian kalau dia masih sayang dengan Erina.
“Ayo cepat Mas!! Atau aku yang tinggalin kamu dengan perempuan ini!” ancamku padanya.
Erina menggenggam erat tangan suamiku di depan mataku, seolah-olah dia tak rela atas keputusan Mas Rian yang lebih memilihku.
“Tidak, Mas, hatiku sudah tertambat padamu, aku bisa gila bila kau memutuskanku sekarang!” ujar Erina dengan buliran beningnya.
“Mana janjimu dulu Mas, janji untuk menikahiku kelak…?” ucap Erina mengingatkan kembali janji suamiku padanya.
Sontak saja aku kaget mendengar kata-kata itu dari mulut perempuan itu. Dadaku mulai sesak dan panas kembali dibuatnya.
“Apa kau bilang tadi? Suamiku ini mau menikahimu, kelak?” tanyaku pada Erina.
“Mas!! Apa betul kamu pernah berjanji padanya untuk mengawininya, jawabb Mas!!”
lagi-lagi si Brengsek ini menyembunyikan kebusukannya padaku dengan perempuan ini.
“Kau sudah janji Mas, kamu sudah janji ketika kau melakukan itu padaku…” Erina menutupi wajahnya dengan tangannya karena tak kuasa Mas Rian ingkar terhadap janjinya.
“Brengsekkkkkk kalian berdua, semuanya menjijikannnn!!” Aku menangis dibuatnya, hatiku begitu hancur lebur mendengar pengakuan langsung dari Erina.
Mas Rian dulu berjanji padaku hanya aku cintanya sampai maut memisahkan. Ternyata janji itu terucap kembali pada perempuan lain.
Bodohnya aku mempercayainya dulu. Aku tak kuat kalau di sini terus mendengar pengakuan-pengakuan mereka berdua.
Hatiku terasa teriris-iris perih, dan laki-laki itu hanya bisa diam dan sempatnya membela Erina di depanku.
Brengsekk kalian berdua!
Tiba-tiba pelayan datang mengantarkan pesanan kami di meja itu.
“Maaf, Bu, pesanannya mau di taruh di mana?” tanya pramusaji itu padaku.
Seketika itu, aku menuangkan satu piring spageti di kepala Erina dan satu piring lagi berisi spageti juga di kepala Mas Rian.
"Rasakan kalian pasangan mesum, makan tuh ulat bulu!!! Dasar kucing garong!!!"
Semua orang melihat ke arah Erina dan Mas Rian yang sudah berlumuran makanan tumpah.
Pramusaji itu pun kaget dibuatku dan hanya terbengong melihat tindakanku.
Aku berlari bersama Alifa dipelukanku yang masih tertidur sejak tadi, dengan isakan tangis haru aku meninggalkan mereka berdua.
Perasaanku pecah berserakan ternyata suami yang selama ini aku dambakan, menusukku dari belakang.
Sangat perih hati ini merasakannya.
Mas Rian langsung berlari berusaha mendapatkanku kembali, Erina yang sudah kotor oleh tumpahan makanan itu masih terduduk dengan tangisan pilunya.
Di depan pintu lobby Mas Rian mencegahku, dan dengan kuatnya dia menghalauku pergi dari tempat ini.
"Arum, Arum ... tolong maafkan aku, please!!" mohon Mas Rian padaku.
Dia memegangi kedua pundakku dengan tangannya sangat erat.
Aku hanya bisa menangisi takdir ini yang begitu perih sekali. Aku begitu enggan untuk menatap wajah imamku yang sudah gagal.
Aku terus saja menggelengkan kepalaku pada Mas Rian, karena aku sudah begitu muak sekali dengannya.
Aku mencoba melepaskan genggaman Mas Rian padaku. Tapi genggamannya begitu kuat sekali, tapi aku tak tinggal diam.
Aku terus meronta dan akhirnya aku bisa lepas dari jeratannya.
Segera aku berlari menuju taxi yang sudah stand by di lobby Belleza Arcade.
Aku membuka pintu dan berusaha masuk dengan cepat, tapi Mas Rian mencoba menghalangiku.
"Arum, dengarkan aku dulu, aku bisa jelaskan semuanya ..." paksa Rian padaku.
Dengan penuh tangis haru biruku, aku memohon padanya.
"Tolong Mas, aku ingin pulang sekarang, biarkan aku sendiri dulu!, tolong menjauh dariku." ucapku padanya.
"Aku sudah tidak sanggup lagi, kamu urus saja ulat gatal itu!! Aku tidak mau mendengar penjelasan darimu, semua ini sudah cukup menjelaskan betapa brengseknya kamu menghianatiku!!"
Dengan berat hati Mas Rian melepaskan tangannya dariku. Pintu aku tutup rapat-rapat darinya dan perlahan Taxi melaju meninggalkannya.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus menangisi penghianatan suamiku.
Tak kusangka, prasangka burukku padanya menjadi kenyataan sekarang.
Oh Tuhan, apakah hamba masih sanggup bersamanya lagi atau jalan pahit yang harus kuambil.
Cucuran air mataku tak kunjung berhenti, dan Alifa terbangun dari tidurnya.
Wajah mungilnya yang mirip sekali dengan Ayahnya semakin membuatku menangis.
"Nak, kenapa Ayahmu begitu jahat dengan Mamah?" tanyaku pada kembaran Mas Rian di pelukanku.
Si Mungil Alifa yang tersenyum-senyum padaku, seperti Oase di saat kesedihanku memuncak seperti saat ini.
Hanya kamu sayang, yang membuat Mamah kuat menghadapi Ayahmu.
40 menit perjalanan pulang ke rumah, semuanya terasa hambar dan ambyar, sudah berantakan hidupku ini.
Wajahku begitu rapuh karena tangisan ini, Mia yang melihatku menangis dari turun Taxi langsung menemuiku.
Di sofa tengah aku memeluk Alifa dengan erat.
"Mbak Arum baik-baik saja?" tanya Mia dengan perasaan cemas.
Aku tidak menjawabnya karena masih terngiang-ngiang dengan ucapan Erina.
Aku kembali menggila dengan semua ini.
Kali ini Mia tidak bisa berbuat apa-apa padaku. Dia menyerah dan meninggalkanku sendiri di rumah.
Selang satu jam Mas Rian pulang, dan kekecewaan ini masih menyelimutiku.
Dia datang dan menemuiku di ruang tengah.
"Arum, maafkan aku. Aku sudah salah menutupi rahasia ini darimu." Ucap Mas Rian dengan sungguh-sungguh di depanku.
"Aku bingung waktu itu, apakah harus jujur dengan semua ini, aku khilaf saat itu dengannya. Aku sudah menyesal."
Mas Rian menjelaskan kronologis kejadian itu padaku.
Pandanganku masih kosong menatap Alifa yang masih di pelukanku. Aku tidak menjawab sepatah kata pun dari ucapannya.
"Alifa Bobo, ya, sayang! nanti kalau besar jangan lupa sayangi Mamah, ya, sayang!" ucapku memandangi Alifa dan mengacuhkan suamiku di depanku.
Mas Rian menegakan wajahku yang masih memandangi Alifa. Dan mencoba memaksaku untuk menatapnya.
"Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku, Arum ... tolong jawab sedikit saja!" Mas Rian meneteskan air mata buayanya di depanku.
"Aku bingung dengan keadaan ini, Arum ... please jawab!!"
Aku terus saja menyanyikan lagu-lagu kesedihan di hatiku. Dan tak memperdulikan sama sekali ucapannya.
Dia menyerah dan duduk di meja makan dan kedua tangannya memegang kepalanya.
Suasana hening merasuki rumah kami, tidak ada obrolan berati di rumah yang sudah mulai hancur karena kekhilafan suamiku.
Aku tak terima dengan semua ini, semua janjimu sudah menguap. Dan tinggal bangkai busuk yang ada di rumah ini.
Aku bangkit dari dudukku dan menaruh Alifa yang sudah tidur kembali.
Aku berbaring di sampingnya dan mengiringinya dengan nyanyian untuk menemaninya tidur.
Setelah 20 menit, Mas Rian belum beranjak dari ruang makan dengan posisi gelisahnya.
Aku sudah bisa mengontrol diriku sekarang, aku mencoba tenang menyikapi masalah ini.
Kudekati laki-laki yang sedang dirundung kegelisahan itu.
Kupegang pundakknya.
"Mas, aku mohon untuk sementara waktu tinggalkan kami sendiri! Aku ingin menenangkan pikiranku, aku akan kemasi baju-bajumu dalam koper dulu!" ucapku padanya.
Aku beranjak ke kamar dan menyiapkan keperluan Mas Rian dalam koper besar.
Mas Rian bangun dari duduknya dan berdiri di depan pintu dan terus melihatku memasukan baju-bajunya dalam koper.
Tak ada kata-kata terucap darinya ketika aku mengatakan hal itu. Dia merasa bersalah mungkin. Atau mungkin dia senang bisa leluasa tinggal dengan ulat gatal itu. Ah, sudahlah terserah mereka saja.
Aku menyeret koper itu keluar kamar.
"Biar aku saja yang membawa koper itu, sayang!" ujar Mas Rian mencoba merebut koper itu dari tanganku.
Aku segera melepaskan tangan Mas Rian dari koper itu.
"Tidak, biar aku saja, aku bisa sendiri!"
Aku menyeret koper besar itu keluar rumah dan menaruhnya di depan teras.
Aku mengambil handpone dan menelpon Taxi untuk mengantar Mas Rian pergi dari rumah ini.
Mas Rian hanya bisa berdiri di sampingku dan aku pun berdiri menunggu Taxi datang.
Sepertinya Mas Rian pasrah dan tidak ingin bertengkar denganku saat itu. Dia tahu aku sedang emosi dibuatnya.
Beberapa menit kemudian datanglah Taxi biru di depan rumahku.
"Taxi sudah datang, Mas, silahkan pergi dan bawa barang-barangmu!" ucapku padanya dengan datar.
Mas Rian meraih koper itu dan secara perlahan melangkah menuju Taxi tersebut.
Aku terus berdiri di teras rumah dan berusaha menahan air mataku ini yang sedari tadi merengek keluar.
Aku tidak ingin terlihat lemah di depan suamiku.
Mas Rian memasukan koper itu pada bagasi Taxi. Sebelum dia masuk ke dalam Taxi, dia menghampiriku.
Dia mencium keningku dengan lembut, tidak ada kata-kata salam darinya untukku.
Air mataku akhirnya tak kuasa lagi kutahan, rontok pertahananku.
Ketika bibir itu menempel di keningku seolah melemparku kembali pada kenangan ketika aku dikecupnya pada saat awal pernikahan kami.
Ya Tuhan, air mata apa ini, aku tidak mengharapkan air mata ini untuknya.
Sosok lelaki tampan itu mulai melangkah membelakangiku menuju Taxi.
"Aku akan memaafkanmu kelak, kalau kau rindu dengan anakku, silahkan datang hari sabtu dan minggu ke sini!" ucapku padanya.
Aku tahu dia begitu sayang dengan Alifa, ikatan batin antara Ayah dan anak sangat kuat.
Perpisahan itu meninggalkan kepedihan padaku, Taxi itu pergi membawa suamiku dari pelukanku.
Aku menangis, tak kuasa badan ini ikut melemah mendapati kepergiannya.
Tidak, apa yang sudah kulakukan padanya, aku mengusirnya dari rumah ini, Aku menjauhkan Alifa dengan Ayahnya.
"Ya Tuhan, ...” tangisku pecah sore itu.
Sejak kejadian hari itu, hari-hariku makin suram tanpa suamiku di sini.
Dan aku tidak bisa melihatnya setiap hari, kadang aku merindukan sosok lelaki itu di rumah ini.
Sudah banyak kenangan manis dengannya, kini aku benar-benar merana.
Sesuai pintaku, pada hari sabtu pagi Mas Rian datang menengok Alifa.
Dia datang menggunakan Taxi dan membawa mainan untuk Alifa.
Wajahnya begitu sumringah ketika melihat Alifa, sudah lima hari keduanya berpisah.
Mas Rian mengajak Alifa belajar berjalan di jalanan komplek.
Tawa dan senyumnya lepas ketika mereka berdua bermain.
Aku hanya melihatnya dari kejauhan antara Ayah dan anak ini bermain bersama.
Aku menyiapkan makan siang untuknya nanti, biar bagaimana pun dia masih suamiku.
Walau kini sedang bertengkar dan tak bersama lagi.
Ketika mereka selesai bermain, mereka pulang dengan perasaan riang gembira.
Alifa digendong Ayahnya memasuki rumah.
"Ya, sudah sampai rumah kita, Alifa." ucap Mas Rian.
"Kalau kamu lapar, aku sudah siapkan makanan di ruang makan." ujarku padanya.
"Terima kasih, sayang." balas Rian.
Aku mengambil kembali Alifa karena ini merupakan jam tidur siang untuknya.
Aku berbaring di kamar bersama Alifa untuk menyusuinya sembari menemaninya tidur.
Di ruang makan sudah ada Mas Rian sedang makan siang.
Ketika Alifa sudah terlelap, aku menemui Mas Rian yang sudah selesai makan.
"Alifa sudah tidur, sekarang kamu boleh pergi, terima kasih sudah mengajaknya bermain hari ini." Ucapku padanya dengan ramah.
"Tapi aku masih kangen dengannya, Arum." cetus Mas Rian.
"Aku mohon padamu, ijinkan aku beberapa saat lagi dengan Alifa!" Mas Rian merengek padaku.
"Silahkan pergi, besok bisa ke sini lagi!" terangku dengan tegas padanya.
Akhirnya dengan sangat berat hati dan perasaan mengalahnya.
Mas Rian pergi dari rumahku dengan Alifa yang masih tertidur di kamar.
Mungkin aku terlalu kejam terhadapnya, tapi inilah hukuman baginya yang sudah menelantarkan kami berdua.
Aku duduk di ruang tamu menatapi semua kenangan rumah ini bersamanya, jujur aku rindu masa-masa manis bersama Mas Rian.
Hari-hariku penuh dengan lamunan tentangnya.
Datang sebuah mobil Alphard hitam di depan rumahku, aku bertanya-tanya siapa yang datang itu.
Apakah itu tamuku atau sekedar parkir di depan rumahku.
Pintu mobil mewah itu terbuka, dan keluarlah sosok perempuan cantik dan elegan dari dalam kendaraan hitam itu.
Ya Alloh, mimpi apa aku semalam. itu Mbak Gista rupanya, mantan bosku ketika aku bekerja dengannya 4 tahun yang lalu.
Aku pernah bekerja satu tahun bersamanya di perusahaan asuransi JIWASRAYA di daerah Kapuk sebelum di ZARA.
Aku langsung bergegas menyambut tamu istimewa itu di depan teras. Aku menyambutnya dengan senyum istimewaku.
"Ya Alloh, ini mimpi atau kenyataan, rumahku kedatangan Boss terbaikku." Ucapku pada Mbak Gista.
"Ah kamu ini berlebihan, Arum!" ujar wanita sukses ini padaku.
Penampilannya begitu rapi dan tampak anggun, dia wanita pintar dan sangat sukses.
"Ini pasti, Fia, kan?" tanyaku pada gadis kecil umur 5 tahunan ini.
"Ayo, cium tangan Tante Arum, Fia!" perintah Mbak Gista pada Fia.
Aku mengawalnya masuk ke dalam rumahku, sementara Pak Imin supir pribadinya menunggu di dalam mobil.
Aku sangat senang sekali kedatangan mantan bosku siang itu.
"Apa kabar, Mbak Gista, sudah setahun lebih kita tidak bertemu." tanyaku mengawali obrolan.
"Iya, kamu yang sibuk tidak pernah hadir di acara bulanan kita, Arum." ujar Mbak Gista padaku.
"Kenapa? Kamu sedang ada masalah? aku dapat kabar dari Yuni, kalau kamu sedang ada masalah, apa itu betul, Arum?" Ucap Mbak Gista yang mungkin sudah tahu masalahku dari Yuni sahabatku.
Memang aku sempat curhat dengan Yuni soal Mas Rian. Ah ember nih Yuni, sampai Mbak Gista tahu, gumamku dalam hati.
"Tidak, Mbak Gista, aku baik-baik saja, kok." Aku berusaha menutupi aib keluarga.
"Sudah jujur saja, aku ini kan sahabatmu, bukan lagi atasanmu yang harus canggung." ucap wanita sukses itu.
"Gimana, ya, Mbak, aku bingung harus mengawalinya dari mana?"
Mbak Gista memegang tanganku erat, seolah-olah dia memberikanku semangat.
"Aku pernah merasakan seperti yang kau rasakan sekarang, mungkin hampir mirip." Mbak Gista mulai bercerita.
"Dulu suamiku pergi meninggalkanku tanpa kabar dan ternyata dia menikahi perempuan lain. memang sakit sekali, Arum."
"Laki-laki yang kita percayai menghianati janji sucinya, tapi aku tidak begitu saja lemah dan rapuh, aku ingat masih ada anak-anak."
"Masa depan mereka ada padaku, jangan terlalu lama bersedih!" Mbak Gista menceritakan kembali pengalaman hidupnya.
"Kamu masih ada Alifa, masih butuh kasih sayang kedua orangtuanya, coba kamu mengalah dan mencoba memaafkan suamimu!" nasehat Mbak Gista padaku.
Aku hanya bisa mendengarkan kata-kata dari Mbak Gista dan ada benarnya juga nasehatnya.
"Baik, Mbak, aku coba untuk mengalah demi masa depan Alifa!" ujarku padanya.
"Terima kasih, Mbak Gista sudah mengingatkanku." Aku memeluk sahabat dan mantan bosku penuh haru.
Kedatanganya bagaikan penyejuk bagi masalahku ini.
Satu jam kita ngobrol bareng, tiba saatnya Mbak Gista untuk pulang ke rumahnya di Pulo Kenanga.
Sungguh kau wanita terhebat, dan menjadi idolaku selama ini, bisa menjadi teman di saat aku terpuruk.
Mobil Alphard hitam meninggalkanku, dengan sedikit energi baru darinya untuk membuka lembaran baru dengan Mas Rian.
==========
Kehadiran Mbak Gista membuatku tersadar, selama ini aku terlalu egois menghadapi Mas Rian. Walaupun memang Mas Rian sudah sepatutnya diberi pelajaran seperti itu.
Esok paginya, seperti perjanjian sebelumnya, Mas Rian datang kembali untuk menemui Alifa.
Alifa kecil langsung merangkak mendekati Ayahnya.
Aku sedikit tersenyum melihat keharmonisan keduannya.
Aku menghela nafas panjang, mengarungi badai rumah tangga ini sekarang.
Alifa dan Mas Rian kali ini hanya bermain di dalam rumah.
Pas jam tidur siang Alifa, Mas Rian tahu diri dan bersiap-siap untuk pergi dari rumah ini.
Aku menghampirinya di depan pintu.
"Kamu di sini dulu, Alifa pasti mencarimu ketika bangun nanti!" ujarku padanya yang sudah bersiap-siap akan pergi.
"Baiklah, Arum!" Mas Rian kembali masuk ke dalam rumah. Dia duduk di ruang tamu sembari melihat foto-foto kenangannya.
"Aku ambilkan green tea untukmu." Aku berlalu ke dapur membuatkan minuman untuknya.
Aku menaruhnya di meja dan aku duduk di depannya.
Kita saling diam diri walaupun kita saling berhadapan, aku masih menjaga gengsiku padanya.
"Kayaknya sore nanti akan turun hujan, kamu jangan pergi, ya, temani Alifa malam ini!" ucapku padanya yang sedang menyeruput greent tea buatanku.
"Benarkah itu, sayang?" Mas Rian menaruh teh itu dan mendekatiku. Dia memeluku erat.
"Sudah, jangan lebai kamu, kamu tidur di kamar belakang, sudah aku siapkan!" aku beranjak berdiri dan menilik Alifa di kamar.
Malam harinya, kita bertiga makan malam bersama, Mas Rian terus saja menggoda Alifaku.
Alifa sampai tertawa lepas dibuatnya, memang suamiku jago sekali membuat Alifa tersenyum.
Setelah Alifa tertidur aku duduk di ruang TV dan Mas Rian di sampingku.
"Besok pagi kamu bawa baju-bajumu kembali ke sini, sekarang sudah satu minggu berlalu, kamu boleh tinggal di sini lagi." Ucapku padanya tanpa melihat wajahnya.
"Alhamdulillah, akhirnya aku bisa kembali ke sini dan bertemu Alifa setiap hari." Ucap Mas Rian senang.
"Aturannya, kamu harus pulang tepat waktu dan boleh memakai mobilku untuk bekerja lagi!"
Mas Rian memelukku erat dan mencium pipiku. Kali ini aku tidak menolaknya karena Alifa, aku mengalah untuk semua ini.
Begitulah keadaannya sekarang, Mas Rian kembali ke rumah ini dengan syarat-syarat yang aku berikan padanya.
Terutama meninggalkan perempuan itu dari kehidupannya. Aku berusaha membuang luka-luka itu dari hatiku.
Berat rasanya jika mengingat kejadian itu, tapi masa depan Alifa lebih penting dari pada egoku.
Kami berdua berusaha memupuk kembali cinta yang sudah kadung terkikis habis.
Walaupun aku memaafkannya, tapi kami tidur terpisah di rumah. Dan selama itu juga kami tidak pernah behubungan badan.
Hati ini masih sakit kalau mengingat tidak hanya aku yang di gauli.
Mas Rian kembali menjadi lelaki penuh perhatian padaku dan Alifa. Sesaat semuanya kembali seperti sedia kala waktu itu.
Alifa sudah bisa berjalan di umurnya yang ke 13 bulan, kami sangat senang dia sudah bisa menapakan kakinya sendiri.
Dua bulan berselang, Erina sudah berlalu dari pikiranku dan kini aku menatap masa depan Alifa bersama Mas Rian.
Hingga saat itu datang kembali mengoyak hatiku dan sudah di titik nadir kepercayaanku padanya.
Siang itu aku main ke rumah Mia, sudah beberapa hari aku tidak berjumpa dengannya.
Biasanya setiap hari dia berkunjung menilik Alifa di rumahku.
Aku masuk ke dalam rumahnya, kebetulan pintu depan tidak di kunci.
Ih, teledor sekali kamu, Mia, gumamku.
"Mia, Mia..." aku memanggil namanya dan mencarinya ke seluruh ruangan.
"Iya, Mbak Arum, aku di ruang tengah." Teriak Mia dengan lesu.
Alifa bersamaku berjalan menuju Mia di ruang tengah.
"Mia, kamu lagi ngapain? Alifa kangen nih." Tanyaku padanya yang sedang pewe di sofa ruang TV.
"Aku lagi tidak enak badan, Mbak." Rengek Mia.
"Adam mana? kenapa tidak berobat sih, Mia." Aku menatap perempuan muda itu yang sedang lemah itu.
"Mas Adam, lagi dinas ke Palembang sudah dua hari ini, aku ditinggal sendiri, Mbak." Tangis Mia manja.
"Cup .. cup, anak manja jangan nangis, ya, ayo mbak anterin ke Dokter!" rayuku padanya.
"Tidak usah, Mbak. aku sudah minum obat kok."
"Mumpung ada mobilmu, nanti Alifa pakai baby car seat di belakang, Mbak yang bawa mobil!" perintahku padanya.
Akhirnya Mia mau menurutiku untuk berobat di Rumah Sakit Permata Hijau.
Di dalam mobil aku terus menasehati Mia untuk menjaga kesehatannya, karena dia tinggal sendiri sekarang.
Kasihan dia, tanpa Adam di sampingnya dia begitu kesepian.
Aku menemani Mia mengantri di Klinik umum, Rumah Sakit Permata Hijau.
Antriannya lumayan banyak, Aku pangku Alifa, Sedangkan Mia di sampingku memakai baju tebal karena demam.
Aku memandangi seisi rumah sakit ini, sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah sakit ini.
Terakhir ketika aku dan Yuni menjenguk Mas Rangga, suami Mbak Gista.
Dalam pandanganku, aku kaget melihat sosok pria yang mirip dengan suamiku menunggu di depan lift.
Aku yang sedari tadi santai menemani Mia, mendadak penasaran dengan kedatangan Mas Rian ke rumah sakit ini.
"Mia, antriannya berapa lagi?" tanyaku padanya.
"Masih lama, Mbak, mungkin 6 lagi." jawab Mia dengan lemah.
"Mbak, Kebelakang dulu, ya, nanti secepatnya balik ke sini lagi." Terangku yang sudah siap membuntuti suamiku.
Aku meninggalkan Mia sendirian di ruang antrian. Dari kejauhan aku memperhatikan Mas Rian, ke lantai berapa dia pergi.
Ketika dia masuk ke dalam Lift, aku melihat angka pada lift yang ditumpangi.
Oh, ternyata lantai 3, Ruang VIP rawat inap, gumamku. Aku tidak langsung mengekornya, aku harus main cantik sekarang.
Semoga dugaanku salah tentangnya, dia sudah berjanji atas nama Alifa untuk tidak mendekati Erina.
Aku kembali ke Mia, khawatir dia sendirian di sana. Ternyata Mia masih duduk di antrian.
"Giliranku sekarang, Mbak." Ucap Mia kepadaku yang baru datang.
Hasil pemeriksaan dokter, Mia hanya masuk angin biasa. Dokter menyuruh Mia banyak istirahat untuk pemulihannya.
Akhirnya kami pergi ke Apotek untuk menebus obat-obatan Mia.
Kembali lagi kami harus mengantri sembari para apoteker meracik obat. Mungkin Mas Rian sudah pergi, karena sudah setengah jam lebih dia memasuki ruang rawat inap itu.
Aku izin ke Mia kembali dengan alasan pergi ke kantin untuk membeli makanan.
Aku naik lift menuju lantai tiga rumah sakit. Aku menanyakan sesuatu pada perawat jaga di ruang perawat.
"Siang, Sus, aku menjenguk saudara saya, apakah ada di lantai 3 ini, namanya Erina Kumalasari." Terangku pada salah satu perawat.
"Sebentar, ya, Bu, saya cari dulu datanya." Ucap perawat itu mengecek di layar komputer.
"Ada, Bu, Pasien Erina ada di kamar 306, sebelah situ ya!" terang perawat itu sambil menunjuk ruang yang dimaksud.
Aku melangkah dengan hati cemas, apakah tadi Mas Rian benar-benar kesini.
Sampailah di depan pintu bertuliskan 306, ruangan ini sama dengan ruangan Mas Rangga suami Mbak Gista dirawat, dulu.
Mataku tergelitik ingin mengetahui keadaan Erina sekarang.
Perlahan aku buka pintu itu pelan-pelan, sedikit demi sedikit sudah nampak ruangan di dalam.
Ya Tuhan, tidak mungkin hal itu kau lakukan, Mas. Hatiku kembali lemah dan hancur kembali oleh Mas Rian.
Tega-teganya kau membuang kesempatan yang aku berikan padamu.
Aku sudah membuang egoku demi keutuhan keluarga kita bersama Alifa.
Aku sudah menyerah denganmu, Mas. Kau benar-benar tidak bisa dipercaya lagi. Aku tutup kembali pintu itu rapat-rapat.
Dan tangisanku menemaniku berlari dari tempat terkutuk itu.
Aku kembali ke Mia dengan perasaan hancur lebur, Mia kebingungan melihatku menangis hebat ketika menemuinya.
Alifa langsung kugendog dan mengajak Mia segera pulang dari tempat ini.
Dalam perjalanan pulang, mata ini selalu basah oleh kejadian tadi.
Mia sangat cemas denganku, dia sesekali mengingatkanku untuk hati-hati dalam mengemudi.
"Mbak, hati-hati, Mbak, jangan ngebut begini, aku takut, Mbak!" teriak Mia karena aku menyetir dengan perasaan penuh amarah ini.
Mia tak banyak bertanya padaku, mungkin karena dia juga sedang sakit dan tahu kalau aku sedang marah.
30 menit kemudian, kami sampai di rumah, Mia langsung beristirahat di rumahnya, Aku menggandeng Alifa memasuki rumah itu.
Hatiku dibuat terluka kembali oleh suami brengsek itu, apa sih yang diharapkan dari Erina.
Sudah kesekian kalinya kau melanggar perjanjian kita, Mas. Ini sudah kelewatan.
Aku menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Alifa bermain sendiri di ruang tengah dengan mainannya.
Alasan apa lagi nanti kamu, Mas. Aku ingin penjelasan yang sebenarnya tentang perasaanmu terhadap Erina.
Jam 17:00 laki-laki itu pulang ke rumah tepat waktu seperti yang sudah-sudah.
Dia melangkah memasuki rumah berlaga tidak tahu kalau aku memergokinya di Rumah sakit bersama Erina.
Aku menyambut lelaki itu di ruang tamu dengan wajah tak bersahabat.
Belum sempat aku berbicara dengannya dengan ribuan pertanyaan yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya.
Dia memotong perkataanku.
Dia memeluku dan meminta maaf padaku. Aku jadi bingung sejenak, kenapa dia bersikap aneh kali ini.
Apakah dia sudah mengetahui kalau aku datang menemuinya di rumah sakit siang tadi.
Dia mengenggam kedua tanganku erat-erat, wajahnya begitu memelas kali itu.
"Arum, maafkan aku, ini bukan pilihanku yang sebenarnya, demi Tuhan aku sangat menyanyangimu dan Alifa." Ucap Mas Rian.
"Bukan maksud aku ingin mengecewakanmu untuk kesekian kali, tapi takdir ini berkata lain."
Munculah perempuan ulat bulu gatal dari balik pintu di depanku.
Mataku langsung terperosok jatuh, melihat Erina ada di depanku kali ini.
Aku kaget, sungguh berani Mas Rian membawa perempuan jalang itu memasuki rumahku ini.
Nafasku mulai sesak dengan kenyataan ini, jantungku memompa dengan kencang ke seluruh nadiku.
"Tolong, terima dia di sini, dia sebatang kara dan sekarang dia ..." Ucapan Mas Rian terhenti untuk melanjutkannya.
Aku hanya bisa memandangi wajah suamiku yang berbicara menyakitkan itu.
Aku mulai melototi kedua pasangan brengsek ini di depanku.
Tiba-tiba Erina yang sedari tadi terdiam, mulai menggerakan lidahnya.
"Mbak Arum, maafkan aku, maafkan Mas Rian ..."
Aku dibuatnya penasaran oleh kata maaf dari keduanya, sebenarnya ada apa ini.
"Aku hamil, Mbak Arum, ..ada janin dalam perutku dan itu buah cinta Mas Rian."
Tangisan Erina pecah di sore itu, dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya menyeka air matanya.
Bagai disambar geledek bertubi-tubi, hatiku hancur berserakan seperti buih-buih di lautan.
"Apaaaaa!!!" aku sungguh kaget mendengarnya.
Aku menggelengkan kepala seraya tak percaya dengan kenyataan ini.
Baru saja aku memaafkan suamiku karena khilafnya, tetapi kali ini tidak bisa kumaafkan.
"Sudah dua bulan umur kehamilanku, demi Tuhan, kami hanya melakukannya sekali ..." Ucap Erina memelas.
Mas Rian hanya tertunduk melihat drama ini.
"Tidak, aku tidak terima dengan ini semua!!!" aku mulai melangkah mundur menjauhi dua manusia ter brengsek di dunia ini.
Erina terduduk di sofa ruang tamu, sedangkan suami bajingan itu masih berdiri di sampingnya.
Aku pergi ke kamar dengan hati yang lemah ini, aku memasukan baju-bajuku dan alifa di koper dan tas besar.
Semua barang-barangku aku kemas rapi dan akan kumasukan dalam mobil.
Mas Rian di ruang tengah menggendong Alifa, yang dari tadi bermain sendiri di ruang tengah.
"Mau kemana, Arum?" tanya Mas Rian padaku yang membawa koper dan tas besar ke depan.
Aku menaruh tas dan koper pada bagasi mobilku.
Dan masuk kembali ke dalam rumah untuk mengambil Alifa dari Mas Rian.
"Kamu memang laki-laki tak tahu diuntung, berani-beraninya membawa dia kemari dan aku suruh menerimanya di rumah ini!!" bentaku.
“Kau sudah berjanji diatas kepala Alifa, anakmu, teganya kau mengingkarinya, Mas!!!”
"Aku juga bingung, Arum, dia sudah hamil dari kekhilafanku, anak dalam kandungannya butuh sosok seorang ayah ketika lahir nanti!" ujar Mas Rian.
"Sekarang dia baru pulang dari rumah sakit, dia tidak memiliki siapapun di Jakarta, aku mohon padamu untuk menerimanya di sini!"
Mas Rian menciptakan seribu alasan.
"Hah!!!, apa!!! menerimanya di sini?" aku menyindirnya.
"Tak sudi serumah dengan perempuan kotor seperti dia, mungkin saja dia bermain dengan orang lain di luar sana selain kamu!!" jawabku.
"Kau sudah buta, Mas, buta akan mulutnya yang manis itu dan sudah buta dengan selangkangannya!! aku menghujatnya.
"Lebih baik aku yang pergi dari rumah ini, aku bawa Alifa pergi dari rumah terkutuk ini!!! Kamu urus perempuan jalang itu!" terangku padanya.
"Aku minta cerai!!! jatuhkan talakmu padaku sekarang, Mas!!" pintaku pada suamiku.
"Tidak, aku tidak akan menceraikanmu, aku mencintaimu, Arum" Mas Rian mencoba mengelak.
"Bulls sittt ... !!!"
Bentaku keras pada lelaki lemah iman dan bodoh itu.
Segera aku menarik Alifa dari pelukan suamiku dan membawanya pergi dari sini.
"Sini, berikan Alifa padaku!!" pintaku keras.
Mas Rian bersikukuh memeluk erat Alifa dan menghalangiku untuk mengambilnya.
"Tidakk!! Alifa tetap di sini bersamaku!" bentak Mas Rian.
"Berikan padaku!!! " aku bentak lagi.
Kami saling tarik menarik memperebutkan Alifa, sampai Alifa menangis kencang.
"Aku mamahnya!! aku berhak atas Alifa bukan kau laki-laki bajingannn!!!" aku menghardiknya keras.
"Aku Ayahnya, dia akan tetap di sini!!" Mas Rian tetap bersikeras memeluk Alifa yang terus menangis.
Karena tenagaku tak sekuat lelaki itu, timbul pikiran gila di kepalaku saat itu.
Aku mengambil botol di meja makan dan memukul selangkangan lelaki bajingan itu.
"Bukkkk"
Seketika itu juga Alifa langsung kurebut darinya. Dia mengeram kesakitan dan tertunduk di lantai.
Dengan langkah cepat aku keluar dari ruang tengah untuk pergi dari rumah ini bersama Alifa.
Ketika berpapasan dengan si perempuan murahan di ruang tamu, aku berhenti sejenak dan memandangnya.
Alifa terus saja menangis di pelukanku.
"Heh!!! bangun kamu Erina!!"
Aku menyuruhnya bangkit dari duduknya.
Seketika itu tamparanku melesat kuat dan mendarat di pipinya. Dua kali tamparanku menghujam pipi Erina.
"Ambil saja laki-laki sampah itu!!! Aku tidak Sudi memperebutkannya!!!" Ucapku penuh amarah.
Dia kembali menangis dan tak kuasa untuk membalasnya. Karena dia begitu lemah baru pulang dari rumah sakit sore itu.
"Ingat!! sekarang kau mendapatkan suamiku seutuhnya, puas kamu, tujuanmu tercapai!!" hardiku padanya.
Erina terus saja menutupi wajahnya karena tamparanku tadi.
Dari dalam ruang tengah, Mas Rian berteriak.
"Arummmmm... jangan bawa Alifa pergiii!!
Teriakan lelaki penuh munafik.
"Aku tak sudi mempunyai suami model bajingan tengik seperti Rian lagi!!" Emosiku memuncak.
Aku melangkah keluar rumah, bersiap meninggalkan rumah ini yang penuh dengan kenangan.
Tidak kusangka kejadiannya akan seperti ini, umur penikahanku hanya sebatas umur jagung.
Apakah ini karma dari perbuatanku yang dulu suka menyakiti hati lelaki.
Ah, sudahlah!! inilah takdirku, menikah dengan laki-laki penuh tipu muslihat dan pembohong itu.
Kakiku melangkah untuk yang terakhir kali meninggalkan rumah ini.
Hempasan angin sore itu begitu sejuk tapi tidak bisa mendinginkan emosiku terhadap dua orang di dalam sana.
Tiba-tiba Mas Rian dari belakang mencoba merebut Alifa dari pelukanku kembali.
Sontak tarik menarik terjadi kembali di teras rumah. Teriakanku membuat Mia dan Adam keluar dari rumahnya dan segera datang ke rumahku.
Adam nampaknya sudah pulang dari tadi, dia mencoba melerai kami berdua saat itu.
"Mas Rian, hentikan, mas, kasihan Alifa seperti itu!!" tangan Adam memegang Mas Rian, sedangkan Mia mencoba menarik Alifa.
Semua tetangga depan dan samping rumah pada keluar. Mereka asyik menonton pertengkaran hebat kami. Tapi aku tak perduli.
"Kembalikan Alifaku, sini, Mia!"
Sementara Mas Rian ditahan oleh Adam.
Akhirnya Mia memberikan Alifa padaku, aku langsung memeluk anakku yang masih menangis.
"Sayang, cup cup jangan menangis, ya, Mamah akan bawa kamu pergi dari sini!" ucapku menenangkan Alifa.
Mia yang mendengar ucapanku langsung menangis.
"Mbak, mau dibawa kemana Alifa, tolong jangan pergi dari sini Mbak!" mohon Mia dengan tangisannya.
"Tidak, Mia, Mbak harus pergi dari sini, tempatku sudah bukan di sini lagi, terima kasih sudah baik terhadapku selama ini."
Aku memeluk Mia untuk terakhir kalinya.
Aku mulai masuk dalam mobilku dan menaruh Alifa di Baby car seat.
Perlahan aku mengela nafas panjang dan melihat sekali lagi rumah ini. Sudah banyak kenangan manis dan indah di tempat ini.
Mas Rian berteriak memanggil Alifa.
"Alifaaa!!!" Teriak Mas Rian melihat mobilku mulai bergerak maju.
Tampak raut kesedihan di wajah Mia. Dia menghampiri Adam yang masih menahan Mas Rian.
"Mas Adam, tolong jangan biarkan Mbak Arum dan Alifa pergi!" rengek Mia pada suaminya.
Mia berusaha membujuku untuk mengurungkan kembali niatnya untuk pergi.
Adam hanya diam, nampaknya dia juga bingung harus berbuat ap.
Adam hanya menggelengkan kepala pada Mia.
Mia tak putus arang, dia mencoba mendekatiku, menghampiri mobilku yang sudah hampir jalan.
"Mbak, pleasee, jangan pergi..." ucap Mia dengan isak tangis harunya.
"Mia, sayang, biarkan Mbak pergi!" jawabku padanya.
Dia terus memegangi kaca mobil yang terbuka separo.
"Tolong, Mia, mundur!" pintaku pada Mia.
Tapi dia tak menggubris perintahku dan terus saja mengikuti mobilku bergerak maju.
"Mbakkk... Mbak Arum!!!" teriak Mia untuk terakhir kalinya padaku.
Aku memegang pipi Mia dan berkata padanya.
"Sayang, biarkan Mbak memilih jalan ini sendiri!"
Aku melepaskan pegangan tangan Mia dari mobilku.
Aku menutup pintu mobilku dan menutup rapat-rapat kenangan bersama semua yang ada di sini.
Bersambung #5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel