Rumah itu, kini berisi perempuan najis itu dengannya. Sunggu hancur hatiku berkali-kali dibuat olehnya.
Kurang baik apa aku Mas selama ini? Kurang setia apa aku, Mas?
Hingga kau begitu tega mengoyak-ngoyakku kembali dengan mendatangkan Erina di rumah itu.
Kini hartaku satu-satunya hanya Alifa. Aku tak tahu lagi harus bagaimana melanjutkan hidupku nanti.
Terlalu dalam luka ini, dia lebih khawatir dengan pasangan zinanya daripada istri syahnya sendiri. Lelaki bajingan, brengsek kamu, Mas!, gerutuku sepanjang perjalanan menuju rumah Ibu di Sawangan, Depok.
Hanya Ibu, tempat untuk mencurahkan segala masalah kegagalan rumah tanggaku bersama laki-laki itu.
Alifa tertidur setelah tangisan hebatnya tadi. Aku mengelus dadaku, sabar Arum, semuanya sudah digariskan dan mempunyai takdirnya masing-masing.
Aku berusaha menenangkan pikiranku yang kalut ini.
Handphoneku terus saja berdering dari tadi, puluhan pesan WA dan panggilan telepon aku acuhkan. Air mata ini terus saja menangisi penghianatan suamiku padaku hari ini.
Satu setengah jam perjalanan, aku sampai di rumah Ibu. Kaki ini begitu cemas melangkah menuju rumah kenanganku waktu kecil dulu.
Aku menggendong Alifa yang sudah tertidur dan perlahan melangkah menuju pintu rumah Ibu.
Ketika tangan ini ingin mengetuk pintu, Ibu terlebih dahulu membuka pintunya untukku.
“Arum… ada apa, sayang?” tanya Ibu kaget melihat kedatanganku malam itu dengan Alifa di pelukanku.
Tak ada kata-kata terucap dariku, Air mataku yang mewakili kegelisahan dan sakit hatiku atas masalah yang menimpaku.
Ibu seolah mengerti akan keadaanku malam itu, dia langsung memelukku dan mengucapkan kata-kata penyejuk untukku.
“Arum, tetap sabar dan tenangkan dirimu!” ucap Ibu padaku yang sudah diliputi asam kecut rumah tanggaku yang gagal.
“Maafkan Arum, Ibu, Arum gagal mempertahankan rumah tangga bersama Mas Rian.” Mulutku mengucap dengan lemah.
“Anakmu ini, telah membuat malu Ibu karena sebantar lagi aku menjadi janda.” Tangisku pecah di pelukan Ibu.
“Sudah sayang, ini suratan takdir, kau tetap anak Ibu terhebat karena mampu melewati ini dengan tegar dan sabar.” terang Ibu.
Ibu membawaku masuk ke dalam rumah, sudah 22 tahun aku membuat ceritaku di sini. Bapak sudah tertidur malam itu, kondisinya lagi sakit-sakitan belakangan ini.
Aku sebenarnya tidak ingin memberatkan Ibu dengan masalahku ini.
“Ayo, duduk, Arum. Ceritakan pada Ibu, kenapa bisa seperti ini?” Tanya Ibu padaku.
Aku menceritakan segalanya pada Ibu, tentang perselingkuhan Mas Rian dan tentang Erina yang sudah mengandung anak dari Mas Rian.
Ibu begitu kaget dan marah pada Mas Rian karena telah mengecewakan kepercayaannya untuk menjagaku.
“Arum, langkahmu sudah benar untuk pergi meninggalkannya, lalu apa saja yang kau bawa sekarang?” tanya Ibu.
“Aku hanya membawa mobilku, Bu.” Ucapku.
“Ibu setuju, kamu gugat cerai Rian, Jangan kasih maaf laki-laki seperti dia, kalau dipertahankan, kamu akan sakit hati terus, kamu tidak mau kan, Arum?” terang Ibu menyakinkanku.
“Iya, Bu, tapi Alifa?” tanyaku yang masih mempertimbangkan masa depan Alifa.
“Rum, Lelaki seperti Rian sudah tidak pantas di panggil Ayah lagi bagi Alifa, biarkan saja! kamu cari lagi lelaki baik-baik untuk Ayah sambung Alifa, nurut sama Ibu!!” tegas Ibu yang masih emosi.
“Kamu tinggal di sini dulu, hingga gugatan cerai kamu sampai di pengadilan Agama, Pokoknya kamu harus bercerai dari Rian!” ucap Ibu dengan keras padaku.
“Ibu sakit hati sekali, Arum. Anak Ibu diperlakukan seperti ini oleh Rian. ah... tak pantas lagi Ibu sebut namanya, harusnya Ibu sebut dia bajingan.” Ujar Ibu berapi-api.
“Sabar, Ibu, jangan terlalu emosi, ingat darah tinggimu, Bu!” aku mengelus pundak Ibuku.
“Arum juga sangat sakit, Bu. Tapi Arum berusaha menjalani takdir dengan kepala dingin sekarang.” Aku mencoba menutupi kerapuhanku di depan Ibuku, agar Ibu tidak terpancing emosi lagi.
Malam itu aku menempati kamarku kembali, terasa mengulang kembali masa lajangku di sini bersama keluargaku.
Kini aku hanya ditemani Alifaku yang sudah tertidur sedari datang ke rumah ini.
Aku memandangi Alifa, darah daging dari laki-laki itu yang jika kulihat sekilas wajahnya mirip dengannya.
Wajah mungil tak berdosa ini harus mendapatkan keluarga yang hancur dan tak utuh nantinya.
Maafkan Mamah, Nak. Mamah tak bisa membangun keluarga utuh kita, jalan ini Mamah pilih agar kelak Alifa memiliki masa depan yang cerah.
Dan terbebas dari Ayah yang tidak patut dicontoh olehmu. Bukan Mamah egois, tapi Mamah tak sanggup jika terus bersama Ayahmu. Gumamku dalam hati yang tersayat perih ini pada Alifa.
“Maafkan Mamah, Alifa.”
Air mataku bercucuran membasahi pipiku dan menangisi masa depan Alifa tanpa Ayah kandungnya lagi.
“Nak, kalau sudah besar nanti jangan bertanya pada Mamah, kenapa Mamah meninggalkan Ayahmu. Mamah tak sanggup kamu mengetahui kalau Ayahmu lelaki bajingan dan brengsek. Cukup Mamah saja, Mamah bisa dan sanggup menjadi single parent untukmu." Hatiku berbicara pada Alifa yang terdiam tertidur tanpa mengetahui permasalahan ini.
Air Mataku yang sedari siang sudah terkuras habis oleh ulah Mas Rian, kini tak bisa dipejamkan. Terlalu berat dan perih hati ini untuk sekedar rehat sejenak tidur malam itu.
Pagi hari menjelang, Bapak sudah duduk di ruang tengah bersama Ibu. Ibu sepertinya sudah menceritakan pada Bapak tentang masalah rumah tanggaku.
Sikap Bapak hampir sama dengan Ibu, Bapak sangat marah pada suamiku yang telah mengecewakannya.
Dia berpikir bahwa Rian laki-laki yang bisa menjagaku dan bertanggung jawab sesuai dengan janjinya pada saat Ijab qobul dulu.
“Kalau si Rian datang kemari, biar Bapak dan Ibu yang menghadapinya, laki-laki macam apa dia, memangnya anakku boneka yang bisa dibuang ketika bosan, dasar menantu kurang ajar!!” ucap Bapak emosi.
Siang itu, aku membantu Ibu memasak di dapur untuk makan siang. Tiba-tiba ada mobil Avanza silver datang ke rumah ini. Sekarang ada dua mobil terparkir di halaman rumah Ibuku.
“Bu, ada tamu di depan.” Ujarku pada Ibu yang kemudian melongok ke arah datangnya mobil itu.
"Oh, itu Mbak Maryam dan Rendi, Ibu telepon dia untuk datang kemari!” ucap Ibu.
“jangan bilang kalau Ibu sudah cerita masalah Arum pada Mbak Maryam??”
“Sudah, diam kamu Arum, masalahmu juga masalah keluarga kita.” Ucap Ibu tegas dan melotot ke arahku.
Mbak Maryam datang menghampiriku dan memelukku erat, tangis sedihnya mendarat padaku.
“Adikku sayang, yang sabar, ya! biar Mbak Maryam dan Mas Rendi bantu kamu!” ujar Mbak Maryam.
Siang itu keluarga kami berkumpul bersama, mereka berbincang panjang lebar tentangku. Aku tidak diizinkanya untuk ikut bergabung dengan mereka.
Sepertinya mereka menyusun siasat untuk memberi pelajaran pada Rian dan mengurus perceraianku.
Mereka begitu sayang dan perduli padaku, aku bahagia mendapatkan keluarga seperti mereka.
Ditengah obrolan mereka, mobil Ertiga putih datang dan parkir berjejer dengan mobilku dan Mbak Maryam. Semua mata tertuju pada mobil Ertiga itu. Sosok Laki-laki yang menjadi perbincangan mereka turun dari mobil putih itu.
Kemunculan Rian di rumah Ibu membuat suasana menjadi tidak tenang sekarang. Firasatku, akan terjadi hal buruk, karena keluargaku sangat marah padanya saat itu. Aku mencoba menilik dari balik tirai pintu tengah.
Tak kusangka Mas Rian berani sekali datang ke rumah ini dan apa yang akan dilakukannya di rumah ini.
“Assalamualaikum”
Ucap salam Rian pada Bapak, Ibu, Mbak Maryam dan Mas Rendi yang sudah duduk di ruang tamu.
Wajah Mas Rian terlihat tenang tapi aku tidak tahu apakah betul-betul tenang, mengingat dia pandai sekali bersandiwara.
Mas Rian mencium tangan semua yang duduk di ruang tamu satu persatu. Semua keluargaku diam tanpa ada respon apapun terhadap Mas Rian.
"Duduk kamu di situ!!” ucap Ibu datar pada Mas Rian.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Ibu, sementara yang lain terus menatap tajam ke arah Mas Rian.
“Maaf, Bu, Pak, Mbak Maryam dan Mas Rendi, aku ke sini untuk menjemput Arum dan Alifa untuk pulang.” Ujar Mas Rian tenang tapi sedikit gugup.
“Tidak, Arum dan Alifa akan tetap di sini, sebaiknya kamu pulang sekarang!” perintah Ibu.
“Tidak, Bu! Aku tidak akan pulang sebelum membawa mereka.” Balas Mas Rian pada Ibu.
Sontak jawaban Rian mulai membakar kayu kering pada keluarga yang sedang emosi ini.
Mas Rendi bangkit dari duduknya dan mendekati Mas Rian yang masih terduduk di depan mereka.
“Heh, Bajingan, kurang apa Arum selama ini!! Hingga kau menyakitinya dengan mengawini perempuan lain!!“ Mas Rendi menghujam Mas Rian.
"Plakkkkk" Sebuah tamparan keras dari Mas Rendi mendarat di pipi Mas Rian.
“Kau sudah sakiti adikku, artinya kau sudah menyulut kemarahan kami disini!” Ucap Mas Rendi penuh amarah.
Tamparan itu begitu kuat hingga Mas Rian kesakitan. Mas Rendi memang sangat kuat tenaganya, karena dia seorang tentara dan begitu emosi ketika tahu aku disakiti olehnya.
“Dasar, Laki-laki banci!!” Ucap Mas Rendi dengan nada tinggi seraya hampir menonjok Mas Rian.
“Sabar, Mas, sabar!” bujuk Mbak Maryam mencoba menenangkan emosi suaminya.
Mas Rendi duduk kembali, dan sekarang giliran Ibu kembali menghardik Mas Rian.
“Jujur, Ibu dan Bapak sangat kecewa denganmu Rian, harusnya kau menjaga anaku dan memberikanya perlindungan, tetapi kenyataannya kamu malah menyakitinya dengan penghianatan yang menjijikan!!!” ucap Ibu berlinang air mata.
"Kelakuanmu seperti binatang, Kamu menyakiti anak perempuan Ibu. itu sama halnya kamu menyakiti Ibu, Rian!! Tega sekali kamu menyakiti hati kami semua!! Laki-laki macam apa, kamu!!" Ucap ibu penuh Isak tangis.
“Kami minta, kamu ceraikan Arum, agar Arum tidak lagi disakiti dan biarkan dia mencari penggantimu untuk Alifa!” tutur Ibu tanpa memberikan Mas Rian pilihan.
“Aku tidak akan menceraikannya, aku masih mencintai Arum dan Alifa!” ucap Mas Rian dengan sungguh-sungguh.
Aku tidak tahu kenapa hati ini begitu iba melihatmu, Mas. Setelah selama ini kamu menyakitiku berulang kali, tapi melihatmu disakiti seperti itu hatiku ikut menjerit.
Aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan dengan linangan air mata, apakah karena kau pernah menghuni hatiku dengan cintamu dulu.
“Mau tidak mau, kami minta kau ceraikan Arum, biarkan dia bebas dari jeratanmu!” ucap Mbak Maryam menyambung ucapan Ibu.
“Besok, kami akan mendaftarkan gugatan cerai atas nama Arum di pengadilan Agama, Jakarta Barat” ucap Mbak Maryam kembali.
“Semua harta gono gini dan hak atas Arum dan Alifa akan kami ajukan” Mbak Maryam begitu tenang menembak kaku Mas Rian saat itu.
“Kami harap, kamu bersiap-siap nanti, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan sekarang!” ujar Mbak Maryam.
“Sekarang silahkan angkat kaki kamu dari sini!!” Ibu mengusir Mas Rian.
Mas Rian masih bersikukuh untuk tetap di sini dan berusaha melangkah ke dalam untuk mencariku dan Alifa.
“Arummm, Alifa, Ayo kita pulang sayang!” ucap Mas Rian yang melangkah ke dalam.
Manuver Mas Rian ternyata membuat Mas Rendi, Mbak Maryam dan Bapak bangkit dari tempat duduknya.
“Rendi, halangi dia masuk menemui Arum dan Aifa, seret dia keluar!!" perintah Ibu pada menantunya.
Dengan sigap Mas Rendi mengejar Mas Rian yang terus mencari ke dalam kamar.
“Hey Banci!!! Keluar dari rumah ini!! Lancanggggg sekali kau bajingan!!!” ucap Mas Rendi sambil memegangi badan Mas Rian.
“Lepaskan, Mas, biarkan aku menemui Arum dan Alifa, aku ingin bicara padanya! Ku mohon!” rengek Mas Rian yang mulai diseret keluar rumah.
“Arummmm, aku tahu kau di dalam, ayo, pulangg, Arum!!” teriak Mas Rian dengan tangisan pilunya.
Aku yang melihat suamiku diperlakukan seperti penjahat oleh Mas Rendi dari balik tirai tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya menangis kelu, maafkan aku Mas, aku tidak bisa menurutimu untuk pulang. Kamu lebih memilih wanita jalang itu, kamu lebih mencintainya.
Kenapa rasa iba ini masih ada dalam hatiku, harusnya aku senang lelaki bejat itu diperlakukan seperti itu.
Apakah karena dia Ayah dari anakku atau memang aku masih mencintainya, aku begitu bingung saat itu.
Mas Rendi melempar keluar Mas Rian, dan tubuhnya sudah seperti sampah yang dibuang begitu saja.
Bapak, Ibu dan Mbak Maryam berdiri di teras rumah dan melihat Mas Rian tak berdaya di tanah.
Mereka begitu menikmati ketika Mas Rendi menyeretnya keluar rumah. Mas Rian merintih kesakitan dan meringkuk di tanah ketika beberapa bogem mentah Mas Rendi menghujamnya.
“Ini pantas untukmu, Rian, dasar laki-laki banci!! Enyah kamu dari sini!!” Ucap Mas Rendi setelah puas menghajarnya.
“Sekali lagi kamu berani datang kesini, aku cincang kau Rian!!” ancam Mas Rendi pada Rian.
Di saat kesakitannya, Mas Rian terus memanggil namaku dan Alifa.
“Arumm … Alifa...”
Bibirnya jontor karena bogeman Mas Rendi padanya, Mas Rian terlihat memegangi perutnya, wajahnya seperti menahan sakit.
Aku tak tahan lagi melihatnya ditindak seperti itu, aku berlari menghampiri suamiku yang masih tersungkur di tanah.
“Cukupp, Mas Rendi... aku minta cukupp!!” aku memegang tubuh yang kesakitan itu.
“Jangan kau sakiti dia seperti ini, memang dia telah menyakiti hatiku tapi biar bagaimana pun juga dia Ayah dari anakku!” Ucapku dengan penuh tangisan mengiba.
Aku memapahnya untuk berdiri, tubuhnya begitu lemah dan banyak darah dari bibirnya.
“Arum, kamu jangan buta, jangan kasihani dia, dia pantas dihajar!” ucap Mas Rendi.
Mbak Maryam mendatangiku dan menariku untuk menjauhi Mas Rian.
“Bodohh kamu Arum, sini ikut Mbak, Masukk sekarang!” teriak Mbak Maryam sembari menariku ke dalam rumah.
“Rendi, suruh dia pulang sekarang, Ibu sudah muak dengannya!” ujar Ibu sembari melangkah masuk ke dalam.
“Arummm… maafkan aku, pulanglah denganku!” pinta Mas Rian padaku yang sedang melangkah masuk ke dalam rumah.
“Dasar sampah!! Masih bersikeras juga rupannya!” Mas Rendi kembali menarik tubuh Mas Rian dan memasukannya ke mobil.
“Pergii!!!” seru Mas Rendi.
Akhirnya mobil Ertiga putih melaju meninggalkan rumah Ibu. Setelah Mas Rian pergi, Mbak Maryam dan Ibu mendudukanku di ruang tamu.
Sepertinya mereka akan menghakimiku karena sikapku tadi terhadap suamiku.
“Kamu apa-apan tadi, Arum!! Mbak sudah bela kamu, kenapa malah kamu membelanya, bingung Mbak ini, Rum.” Mbak Maryam menggelengkan kepala.
“Jangan-jangan kamu masih cinta dengannya!! Jawab Arum!” bentak Ibu padaku.
“Aku tidak tahu, Bu.” Jawabku dengan penuh kebingungan dan air mata.
“Pokoknya semua perceraianmu, akan Mbak urus sampai selesai, Mbak tidak mau kamu konyol kalau ingin bersamanya kembali.” Ucap Mbak Maryam padaku.
“Buang jauh-jauh Rian dari pikiranmu, awas kalau kau masih memikirkannya!!” Ibu mengancamku kali ini.
Selama dua minggu aku menjadi anak pingit oleh Ibuku di rumah. Ibu khawatir kalau aku berubah pikiran terhadap Mas Rian dan kembali bersamanya.
Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu dengan suamiku lagi. Semua perceraianku di Pengadilan Agama diurus oleh Mbak Maryam.
Alifa mendapatkan hak untuk dinafkahi oleh Mas Rian setiap bulannya. Sebuah akta bertuliskan AKTA CERAI sudah resmi aku dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Resmi sudah aku mendapatkan status Janda beranak satu, dan Rian Prasetyo menjadi mantan suamiku.
Kini hari-hariku hanya memiliki Alifa seorang, tanpa adanya suami di sampingku.
Sebuah status yang tidak aku inginkan dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sangat kontras ketika awal pernikahan kami begitu bahagia dan harmonis. Siapa sangka suami yang begitu penyayang dan perhatian padaku sudah membuatku bergelar janda.
Tidak ada lagi yang bisa dipanggil Ayah untuk Alifa, Ya Alloh… aku sudah membuat anakku terpisah jauh dengan Ayah kandungnya.
Maafkan Mamah, sayang, Mamah tidak bisa menjaga Ayahmu dari genggaman perempuan lain. Kini Ayahmu sudah memiliki keluarga baru, sedangkan Alifa hanya memiliki keluarga yang sudah pincang ini.
Rasa bersalahku pada anakku begitu menghanyutkanku, ada perasaan trauma membuka hati untuk laki-laki lain.
Aku bertekad untuk menjaga Alifa sendiri dan membangun masa depan Alifa dengan tanganku sendiri.
Aku memutuskan untuk pergi dari rumah Ibu dan berusaha hidup mandiri dengan Alifa.
Mobil CRV kujual untuk mengontrak rumah di Jakarta, sisanya untuk modal usaha.
Aku tidak bisa meninggalkan Alifa sendiri di dalam rumah kontrakan. Oleh karena itu aku menolak tawaran dari Mbak Gista untuk bekerja padanya lagi.
Jatuh bangun aku memulai usaha, karena dunia usaha masih begitu baru untukku. Modalku hampir habis untuk mencoba berbagai usaha di Jakarta.
Hingga saat itu tiba, aku mencoba mengikuti seminar tentang wirausaha yang diadakan oleh Komunitas Pengusaha Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat.
Mengharapkan ada sesuatu yang didapat pada acara tersebut dan membuka jalanku untuk membuat usaha yang sukses.
Aku memangku Alifa ketika mendengarkan beberapa motivator menjelaskan dan memberikan ilmunya untuk memulai usaha baru.
Banyak ilmu yang kudapatkan dan seolah memberikanku kunci kesuksesan, terutama arahan dan nasehat Motivator muda bernama Aldi Firmansyah, SE dari Bandung.
Dia sangat pandai mengutarakan materinya, di sesi akhir pembicaraanya. Mas Aldi mencoba menarik salah satu peserta untuk naik panggung. Dia ingin mendengarkan pengalaman peserta yang masih gagal berusaha.
Dia berjalan mengelilingi peserta dan berusaha memilih peserta. Aku masih sibuk menyuapi Alifa saat itu karena dia sudah lapar.
Tiba-tiba Mas Aldi berhenti disampingku.
“Ibu Arum Restiana, SE….” Ucap Mas Aldi memanggil namaku.
==========
Seseorang memanggil namaku, ketika aku menoleh ke samping ternyata sang motivator tersebut yang memanggilku. Aku begitu kaget, karena Mas Aldi memilihku dari puluhan peserta yang hadir.
“Silahkan Bu Arum, naik ke atas panggung, si kecil yang lucu bisa ikut bersamamu juga.”
Mas Aldi mengiringiku naik panggung. Mas Aldi duduk di sampingku dan aku memangku Alifa, microphone sudah di tanganku sekarang.
“Ceritakan kepada peserta lainnya, pengalaman Bu Arum dalam memulai usaha!” uucap Mas Aldi dengan ramah.
Sebetulnya untuk berbicara di atas panggung akulah jagonya, empat tahun bekerja di ZARA dept. store cukup membuatku percaya diri. Aku memaparkan jalan terjalku dalam memulai bisnis dan menceritakan pengalaman bekerjaku selama ini.
Tak disangka respon seluruh peserta sangat baik padaku, mereka begitu kagum akan diriku ini. Terutama Mas Aldi sang motivator saat itu, standing applausnya padaku begitu membuatku merendah hati.
“Luar biasa, Bu Arum ini, ternyata dia sosok wanita tangguh yang baru saya temui di beberapa seminarku.” Mas Aldi menyanjungku tinggi.
“Harusnya Bu Arum inilah yang layak sebagai motivator buat kita semua, mari kita beri tepuk tangan untuknya!”
Di hari itu aku menjadi bintang dalam acara tersebut, setelah acara selesai Mas Aldi mendatangiku yang siap-siap untuk pulang menunggu Taxi di Lobby Hotel.
“Selamat siang, Bu Arum, suatu kebanggaan bagiku dan beruntungnya aku bisa bertemu dengan Bu Arum, Ini kartu namaku, jika bersedia, tim kami membutuhkan wanita seperti Bu Arum untuk bergabung bersama kami dan menjadi motivator bagi ribuan wirausaha pemula di seluruh Indonesia!”
“Baik, Pak Aldi, nanti saya pertimbangkan tawaran anda.” Jawabku padanya.
Obrolan aku dan Mas Aldi di lobby Hotel Borobudur siang itu menjadi titik balik untuk masa depanku dan Alifa.
Dengan banyak pertimbangan terutama faktor Alifa dan status single parentku. Aku menolak secara halus tawaran dari Mas Aldi, aku tak tega harus membawa Alifa kemana-mana.
Alifa harus selalu di sampingku, hanya dia hartaku yang paling berharga.
Satu tahun berlalu, kondisi keuanganku belum stabil dan aku mulai lelah dengan menggeluti bisnis ini itu yang tak kunjung berhasil.
Kenyataan tidak semudah teori ternyata, kadang timbul pikiran untuk bekerja kembali. Mungkin cerita Mbak Gista yang bangkit dari keterpurukan dan mampu menjadi single parent bagi tiga anaknya harus aku tiru.
Tapi Alifa dengan siapa nanti ketika aku bekerja, kalau aku tinggalkan bersama Ibu di Depok malah akan merepotkan Ibu di sana.
Duh, dilema bagiku saat ini, tabunganku hanya cukup untuk satu tahun ke depan sedangkan aku belum menemukan usaha yang cocok.
Malam itu aku menghadiri acara rutin teman-teman kerjaku dulu, karena mereka terus saja memaksaku untuk hadir. Acara itu hanya kumpul-kumpul bareng di rumah secara bergantian setiap bulannya.
Kali ini giliran di rumah Mbak Gista, di Pulo Kenanga, ya rumah mewah dengan desain minimalis menyapaku. Aku dan Alifa memasuki rumah itu, baru kali ini aku berkunjung ke rumah mantan bosku dulu.
Kisah Mbak Gista memang lebih berat dibandingkan dengan kisah hidupku. Bagaimana dia harus berjuang sendiri merawat ketiga anaknya pasca ditinggal pergi suaminya.
Di ruang tengah sudah berkumpul teman-temanku, mereka sudah mengerti kalau statusku sudah Janda beranak satu.
Mereka memberiku semangat dan perhatian padaku, kita saling dukung antar sesama. Inilah teman-teman terbaikku yang aku punya saat ini.
Kebanyakan dari mereka sudah sukses dengan karirnya, dan sedikit dari mereka yang sudah sukses dengan mendirikan usaha mandiri.
"Rum, sebaiknya kamu terima tawaranku, agar kamu tidak jatuh bangun seperti sekarang ini, mungkin bakat kamu di dunia marketing, bukan enterpreneur.” Terang Mbak Gista.
"Kamu bisa tinggal bersama kami di sini, jadi tidak usah ngontrak rumah lagi, banyak kamar kosong di rumah ini.” Lanjut Mbak Gista.
“Alifa bisa dijagain sama Rasmini dan menjadi teman bagi Fia di rumah ini.”
Bersambung #6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel