(Ending Story)
“Terima kasih untuk tawarannya, Mbak Gista, tapi aku ingin belajar memulai usaha sendiri, walau kebanyakan gagal.” Jawabku pada Mbak Gista.
Mbak Gista sepertinya mengerti akan keadaanku dan keinginanku saat itu. Mantan bos yang satu ini memang luar biasa perhatiannya padaku.
Aku belum bekerja atapun mendapatkan penghasilan setiap bulannya. Nafkah bulanan untuk Alifa dari Mas Rian memang selalu tepat waktu sesuai dengan perjanjian dan keputusan pengadilan.
Tapi nominalnya belakangan ini mulai berkurang dari biasanya, aku tak pernah mempersoalkan hal itu. Mungkin keperluannya makin besar karena Erina sudah melahirkan anaknya kalau hitungan bulan sejak pengakuannya dulu.
Nama Rian sudah mulai memudar di kepalaku, walaupun aku masih teringat dengannya ketika Alifa sedang sakit.
Tali batin antara Alifa dan Ayahnya begitu kuat, pernah sekali waktu Alifa mengigau dan menyebut Ayahnya. Di saat itulah kenangan tentang mantan suamiku kembali berputar di pikiranku.
Setelah keputusan pengadilan keluar, aku benar-benar hilang kontak dengan Mas Rian. Tak pernah aku mendapatkan kabar darinya dan Erina.
No handphoneku sudah baru dan hanya memberikan nomerku pada sahabat dan saudaraku saja.
Mia pun aku tidak berikan nomerku yang baru, hal itu aku lakukan karena aku tidak mau mendengar celotehan Mia tentang rumah tangga Mas Rian dan Erina.
Aku tahu, Mia ingin aku dan Mas Rian rujuk kembali seperti dulu. Hatiku sudah tertutup rapat untuk lelaki itu, biarlah dia bahagia dengan keluarga barunya, yaitu Erina dan anaknya.
Di dalam kebimbanganku untuk melanjutkan hidup sebagai single parent, sering aku berpikir untuk kembali bekerja di Mbak Gista atau menerima tawaran dari Tim Motivator Bandung.
Lagi-lagi pikiran itu kalah ketika melihat Alifa, aku tidak mau Alifa kekurangan kasih sayangku. Setelah kasih sayang Ayahnya sudah sirna direbut paksa oleh anaknya Erina sekarang.
Sekarang tahun-tahun kritis bagiku, tahun kedua setelah perceraianku dengan Mas Rian. Hartaku habis, mobil sudah menjadi uang dan sudah menguap untuk keperluan sana sini.
Tersisa tabungan 20 juta saja di rekening tabungan, untung Alifa belum memasuki usia sekolah jadi belum banyak pengeluaran. Sore itu aku duduk di teras rumah kontrakanku sambil melihat orang lalu lalang di jalanan. Lamunanku berhenti ketika didatangi tentangga rumah yang kebetulan akan mengadakan hajatan pernihakahan anaknya di rumahnya.
“Mbak Arum, jangan melamun terus nanti kesurupan.” Cetus Bu Marni padaku.
“Eh, Bu Marni, tumben main ke kontrakanku, ada apa ya?” tanyaku penasaran.
“Besok ada acara lamaran anakku, si Mayang, aku lagi butuh bantuannya Mbak Arum, membuat kue untuk sajian tamu besan nanti!” Bu Marni memaparkan niatnya padaku.
“Jangan aku, Bu Marni, aku tidak bisa membuat kue-kue untuk acara seperti itu.” aku sedikit merendah.
“Ah, Mbak Arum, bisa saja, kemarin kata Bu Sari, kue bikinan Mbak Arum enak sekali.” Bu Marni terus memaksaku.
“Terlalu berlebihan itu, Bu Marni.” Aku tersenyum kecil.
“Besok, datang, ya, Mbak Arum!, aku tunggu loh beneran!” tutup Bu Marni di obrolan sore itu.
Aku menerima permintaan Bu Marni untuk membantunya membuat kue besok pagi. Alifa kuajak ke rumah Bu Marni karena tidak ada yang menjaganya di kontrakan.
Beberapa jenis kue selesai kubuat siang itu, beberapa ibu-ibu mencicipi kue bikinanku.
Tak kusangka mereka memuji-muji kue bikinanku.
“Enak banget, jos gandoss kue ini, Bu Arum, tampilannya pun cantik sekali.” Ucap Bu Lia menyanjungku.
“Ini mah enaknya sudah selevel DAPUR COKLAT atau Kue THE HARVEST.” Sanjungan itu tak henti-hentinya meninggikan hatiku.
Aku membalasnya dengan senyuman pada beberapa ibu-ibu yang mencicipi resep kue buatanku. Keterampilan ini memang bukan dari Ibuku, dulu sewaktu aku kuliah sempat belajar membuat aneka kue dari CHEF terkenal di tempat kursus.
Ternyata ilmu itu ada manfaatnya juga ternyata, syukurlah rasanya masih sama dengan buatanku dulu. Sudah lama juga aku tidak melanjutkan keahlianku itu karena dulu sibuk bekerja dan tergulung kesibukan menjadi ibu rumah tangga.
“Eh Mbak Arum, coba kue buatanmu dijual lewat online atau nitip di toko-toko kue, lumayan loh, aku pikir kue ini bisa bersaing dengan merek ternama di sini.” Ucap Bu Retno, Ibu PERSIT dari seorang Mayor di sekitar kontrakanku.
Ada benarnya juga kata Bu Retno, kenapa aku tidak menggeluti hobiku ini. Pikiranku mulai jernih sekarang, timbul ide itu di pikiranku. Semua resep-resep aku tulis kembali dan kubuat ulang kue-kue itu untuk memastikan rasanya masih sama sesuai dengan resep yang pernah kudapatkan.
Hanya sedikit improvisasi dari resep itu dan kemudian menjadikannya special dari kue-kue yang sudah biasa orang konsumsi.
Lewat sosial media INSTAGRAM dan FACEBOOK, aku mengiklankan kue-kue kreasiku. Dan tidak pernah terbayangkan, ada orderan pertamaku untuk acara pernikahan.
Seperti mendapatkan durian runtuh, marketing dari mulut ke mulutpun aku dapatkan. Beberapa orderan sekarang menghampiriku, aku mulai kewalahan karena waktunya minta cepat.
Aku mencari orang untuk membantu membuat kue dengan bayaran harian. Roda seakan berputar kembali dan menempatkanku pada titik tertinggi sekarang.
Dulu aku kebanyakan waktu kosong hanya diisi oleh lamunan, sekarang hampir tidak ada waktu untuk aktifitas itu.
Penghasilan dari jualan kue sangat besar, bisa dibilang 60% dari harga jual. Pantas saja merk-merk roti terkenal melesat perkembangannya.
Kini sudah ada income perbulan dari usaha baruku ini, dan aku memberi merk kue buatanku dengan nama ALIFA Bakery.
Dua tahun aku memulai usaha kue ini dari level bawah hingga tahun 2017 sudah mempunyai beberapa gerai kue tersebar di Jakarta.
Ya Alloh, inikah makna dibalik cobaan yang dulu kau timpakan padaku. Aku dituntut untuk bersabar, karena dibalik kesabaran ada harapan baru untukku sekarang.
ALIFA bakery tumbuh pesat dan berkembang perlahan menyaingi merk-merk yang sudah duluan bertengger di Jakarta.
Karyawanku sekarang hampir menyamai satu divisi tempatku bekerja di ZARA Dept.Store. Bu Bos cantik, panggilanku oleh beberapa karyawan perempuanku. Mereka sangat dekat denganku, tidak ada jarak ataupun canggung antara kami.
Ini yang membuat usahaku berkembang karena karyawanku sangat loyal terhadap pekerjaannya. Kini sebuah rumah dibilangan Kelapa Gading menjadi tempat tinggalku bersama Alifa. Hanya kami berdua, dan aku buktikan bahwa wanita sepertiku mampu bangkit dan menjadi single parent tanpa harus ada laki-laki di sampingku.
Sering kali aku disindir tentang statusku oleh beberapa temanku, apakah tidak ada kepikiran untuk mencari ayah sambung untuk Alifa?. Jawabanku hanya tersenyum, karena aku masih trauma dengan janji laki-laki.
Aku susah percaya dengan mahkluk Adam manapun, kenangan pahit Mas Rian masih menempel kuat di hatiku.
Semua laki-laki yang berusaha mengambil hatiku selalu baik hati dan selalu memberikan perhatian lebih padaku.
Persis dengan Mas Rian ketika mengambil hatiku untuknnya, dan ternyata hanya bungkusannya yang baik, dalamnya berisi bangkai busuk.
Mengingat nama Rian, kini dia tak pernah memberikan sepeserpun nafkah untuk Alifa. Hanya tiga tahun dia melakukan kewajibannya pada Alifa.
Aku tidak mempermasalahkannya sekarang, karena usaha ini cukup menghidupiku dan anakku bahkan lebih.
Siang itu Ibu dan Mbak Maryam berkunjung ke salah satu geraiku di daerah Pejaten. Mereka sengaja datang ke tempat ini hanya untuk memberikan nasehat padaku.
“Rum, sekarang kamu kan sudah punya usaha kue ini dan mapan, apa kamu tidak berpikir untuk menikah lagi.” Ucap Ibu sembari menatapku.
“Iya, Rum, sudah saatnya kamu membuka lembaran baru, Alifa butuh sosok Ayah nantinya.” Mbak Maryam menyambung ucapan Ibu.
“Belum ada ke arah situ, Bu, Mbak.” Jawabku padanya.
Sepertinya mereka mengharapkanku untuk kembali berumah tangga kembali, mereka sangat khawatir denganku jika aku sudah menutup hati untuk laki-laki lain selain Mas Rian.
Ibu dan Mbak Maryam menyerahkan sepenuhnya urusan itu padaku, mereka tak bisa berbuat apa-apa untuk itu. Aku pun sudah terbiasa dengan status single parent ini selama tiga tahun ku jalani.
Bagiku laki-laki sama saja, bermuka dua dan selalu menyakiti perasaan perempuan di belakangnya.
Suatu hari aku mendapatkan orderan menyajikan kue untuk acara rapat Biro Haji dan Umroh ARMINAREKA PERDANA di Salemba, Jakarta Pusat. Kali ini aku handle langsung orderan itu dan ingin memastikan pelayanan dan pelanggan kami puas.
Aku berdiri di belakang karyawanku yang menyajikan kue-kue dari ALIFA bakery. Tampak raut senang mewarnai wajah-wajah calon Haji dan Umroh pada acara tersebut.
Aku mencuri waktu untuk menanyakan tentang rasa kue buatanku.
“Assalamualaikum, Ibu, bagaimana rasa kue-kuenya?” aku menanyakan pada salah satu jamaah umroh.
“Enak sekali, rasanya mengigit dan lumer sekali di lidahku.” Jawab salah satu Ibu yang terus ketagihan mengambil kue-kue dari ALIFA Bakery.
Dari ratusan orang berbaju kuning dengan bawahan hitam ada sosok laki-laki mendekatiku. Aku menerka-nerka lelaki yang datang mendekatiku, tapi ingatanku masih samar untuk mengingatnya.
“Bu Arum ... apa kamu masih mengenalku?” tanya lelaki dengan baju khas biro Haji dan umroh itu padaku.
Pikiranku sudah buntu untuk menyebut namanya, tapi sekilas aku pernah bertemu dengannya.
“Lupa ya, Bu Arum, aku Aldi, kita pernah bertemu pada saat seminar di Hotel Borobudur dua tahun yang lalu.
“Ya Alloh, maaf, Pak Aldi, aku sungguh tidak ingat denganmu, ternyata kita bertemu lagi, Pak Motivator.” Ucapku padanya dengan nada sumringah.
“Jangan panggil Pak, aku masih seumuran denganmu, Bu Arum, hanya aku satu tahun di atasmu.” Ujar Mas Aldi.
“loh, Memangnya Pak Aldi, eh... maaf, Mas Aldi tahu darimana umurku?” Aku penasaran kenapa dia tahu profilku.
“Aku sangat mengenalmu, wanita tangguh dengan Alifa di sampingnya, aku lihat dari profil pendaftaran seminar itu, maaf aku lancang membacanya.” Ucap Mas Aldi dengan wibawanya.
Di sela-sela acara itu kami berdua berbincang-bincang, ternyata Mas Aldi menjadi salah satu agen Biro jasa itu.
Yang membuatku tercengang, seorang motivator dan agensi sepertinya hobi dengan kuliner. Hobinya itu dia kembangkan menjadi rumah makan di daerah Lembang, Bandung.
Ternyata hobi kita sama tak jauh dari cita rasa makanan dan kue. Banyak kesamaan lainnya setelah kita sering berbicara.
Mas Aldi menawarkan kerjasamanya untuk membangun bisnis bersama di daerah Setia Budi, Bandung. Dia menawarkan konsep antara Kuliner dan adventure, kita akan menjual kue-kue dan makanan dalam satu tempat.
Dia begitu pintar dalam hal berbisnis dan satu hal yang membuatku salut adalah dia laki-laki yang taat agama.
Dia tak pernah menjabat tanganku, walapun hanya sekedar mengucapkan terima kasih.
Dia selalu mengingatkanku untuk menutup aurat dan selalu memberitahuku tentang ilmu agama.
Dia sudah seperti ustadz pribadiku sekarang, karena kita sering ketemu di Bandung untuk urusan bisnis bersama kami.
Mas Aldi sering mengajaku bersama Alifa untuk mengikuti pengajian umum, biasanya di Darut Tauhid setiap hari ahad.
Banyak pengetahuan agama yang aku dapatkan bersamanya. Dan dia sangat dekat dengan Alifa, mereka sangat akrab dan Alifa tak canggung berbicara pada Mas Aldi.
Satu tahun bekerjasama dengannya, membuatku semakin dekat dengannya. Mas Aldi mengetahui kalau aku seorang janda, tapi dia tidak mempersoalkannya.
Akhirnya aku memantapkan diri untuk menutup auratku, aku menutupi masa laluku yang masih berlumuran dosa dengan istighfar dan bismillah aku hijrah menuju jalan yang di ridoi-NYA.
Hatiku sudah mulai terketuk oleh Mas Aldi, aku menceritakan sosok Mas Aldi pada keluargaku. Mereka setuju ketika aku menyampaikan berita bahwa Mas Aldi berniat untuk menghapus status Janda padaku.
Mas Aldi akan menikahiku dengan segala sejarah pahit rumah tanggaku dulu. Yang terpenting bagiku, Alifa sudah akrab dan cocok bersama dengan Mas Aldi, calon Ayah sambungnya.
Hatiku berdebar kencang tak menentu, mengingat aku seorang janda sedangkan Mas Aldi seorang bujangan yang mapan, taat agama, tampan, dan penuh kharisma.
Alangkah bahagianya ketika Ijab Qobul kedua yang pernah aku dengarkan, kali ini Mas Aldi bersumpah atas nama Alloh dan Rosulnya dan atas nama Ibunya, akan selalu menjagaku dan akan terus berusaha untuk menjadi Imam yang baik, menjadi nahkoda untuk berlayar ke telaga surga.
Janji seiman dan semati terucap, tangis haru kebahagiaan dari keluarga yang menyaksikan pernikahan keduaku.
Air mata Ibu tak hentinya menetes menatapku yang berbaju putih dengan hijab senada, sudah sah menjadi istri dari Mas Aldi.
Bulir beningku tak sanggup lagi kubendung mendengar janji suci dari Mas Aldi. Kini aku sudah mempunyai suami lagi dan Alifa sudah bisa memiliki Ayah kembali.
Ya Alloh, ternyata takdir yang Engkau rencanakan untukku begitu indah.
Aku tak hentinya berucap syukur padaNYA, aku peluk Alifa di sampingku. Kemudian kami bertiga berpelukan bersama, dan tangis kebahagiaan para saksi pernikahan kami kembali pecah.
Mereka mengetahui sejarah kelamku yang dulu, dan merasa ikut berbahagia ketika aku bangkit kembali seperti sekarang ini.
“Alifa, sekarang kamu bisa panggil Ayah pada Om Aldi!” ucapku sembari mengusap wajah cantik Alifa.
Sebuah kenangan pahit atas kehidupanku yang terpuruk, dulu bersama Mas Rian. Kini kembali memaksaku untuk mengingatnya.
***
“Mbak Arum …” aku kenal betul suara itu. Ya, itu suara Erina memanggilku dari belakang.
Aku menoleh ke sumber suara itu.
“Erina …”
Aku sangat kaget melihat perempuan dengan hijab panjang menggantung di kepalanya.
Penampilannya sangat jauh berbeda lima tahun yang lalu dengan sekarang.
Aku dibuatnya kaget akan Erina, dengan perubahan yang drastis padanya. Dia tampak lebih anggun dan cantik di balik baju Syar'i yang dia kenakan.
“Boleh aku duduk di samping Mbak Arum?” Erina memohon padaku.
Dia begitu tenang, aku tak tahu kenapa Tuhan menakdirkan kita bertemu kembali. Aku mempersilahkan Erina dan anak perempuan kecilnya duduk di sampingku. Aku yakin gadis kecil ini anak Erina dari Mas Rian.
“Apakah itu Alifa yang sedang bermain dengan wanita itu?” tanya Erina sambil menunjuk Alifa.
"Ya, itu Alifaku, lalu... apakah ini anakmu, Erina?” tanyaku balik padanya.
“Ya, Mbak Arum, namanya Wulan Resti Prasetyo, nama yang Mas Rian berikan padanya, dia mengambil nama belakang Alifa dan nama belakang Mbak Arum untuk anakku.” Erina menjelaskan padaku.
“Ayo, sayang! cium tangan Tante Arum.” Perintah Erina pada Wulan.
Rasa kagetku bertambah oleh sosok Erina kali ini, dia sangat berwibawa dan sangat jauh berbeda ketika aku melabraknya dulu. Kini dia terlihat lebih sabar.
“Mungkin ini takdir dari Alloh, mempertemukan aku dengan Mbak Arum di tempat ini, kami sering ke Bandung tapi tidak tahu kenapa Wulan minta beli oleh-oleh di tempat ini.” Erina kembali bercerita.
Aku berusaha menjadi pendengar yang baik, sepertinya banyak kisah yang akan diceritakan oleh Erina padaku.
“Apa kabar, suamimu Erina?” aku menanyakan kabar Mas Rian padanya.
“Mas Rian baik-baik saja, Mbak, aku menjaganya dengan baik sampai sekarang dan menitipkan salamnya untukmu dan Alifa, jika suatu saat aku bertemu denganmu Mbak Arum” ujar Erina.
Tiba-tiba Erina meneteskan buliran beningnya sembari mengucapkan kata-kata padaku.
“Maafkan kesalahanku yang dulu, Mbak Arum, aku sudah salah dan menyesal telah merebut Mas Rian dari pelukanmu dan Alifa.” Tangisan Erina pecah.
Erina tertunduk di kakiku sembari mengucapkan kata maafnya padaku.
“Aku mohon padamu, Mbak, untuk memaafkanku dan memaafkan Mas Rian yang telah menyakitimu dulu.” Tangisan Erina membuat para pengunjung toko memperhatikan kami.
“Sungguh aku begitu bodohnya dulu memelihara cintaku pada tempat yang salah.” Isakan Erina tak kunjung berhenti.
Aku ikut hanyut dalam tangisan Erina, aku tahu kamu sungguh-sungguh mengatakan itu padaku.
Memang hatiku begitu hancur ketika kau datang di tengah-tengah kehidupan keluargaku.
“Sudah, Erina, sudah... jangan larut dalam kesedihan dan rasa bersalahmu, bangunlah Erina!” aku membantu Erina untuk bangkit kembali.
Isak tangisnya begitu pilu, dia begitu menyesali kesalahannya yang dulu. Tangisan tanpa kebohongan terlihat jelas di wajah Erina.
Aku menyeka air mata Erina saat itu, dan pakaiannya sudah basah oleh air mata penyesalannya. Wulan kecil ikut merasakan suasana hati Bundanya yang sedang sedih.
“Bunda, kenapa Bunda menangis?”
Wulan kecil yang polos bertanya pada Erina.
Erina hanya memeluk erat anakknya dan mereka berdua hanyut bersama dalam kesedihan.
“Erina, aku sudah memaafkanmu dan memaafkan Mas Rian, aku meminta padamu untuk menjaga Ayahnya Alifa dan mantan Suamiku baik-baik, karena sekarang kamulah bidadari surganya.” Ucapku dengan memegang wajah Erina yang masih kalut.
Tiba-tiba Erina bangkit dari duduknya dan beranjak menuju mobil Serena hitam di parkiran. Dia membuka pintu mobilnya dan membawa sosok pria yang sudah tak berdaya di kursi roda.
Erina mendorong pria lemah itu kepadaku. Aku tidak begitu mengenali wajahnya, karena wajahnya sudah agak menghitam kulitnya, rambutnya sudah mulai rontok dan kakinya sudah begitu kurus.
“Harapanmu selama ini, kini sudah kupenuhi, Mas... ini Mbak Arum, Mas... wanita yang dulu kita dzolimi.” Erina memperkenalkan lelaki yang dibawanya padaku.
“Ya Alloh, Ya Rabb… Mas Rian...”
Aku sungguh kaget melihat kondisi mantan suamiku Mas Rian yang sekarang.
Hampir aku tidak mempercayai sosok lelaki ini adalah Mas Rian. Sangat berbeda dengan kondisi fisiknya dulu yang tampan rupawan tetapi kini menjadi pria yang lemah dan tak berdaya di kursi roda.
“Apa yang terjadi padamu, Mas?” aku menangis melihat laki-laki yang pernah memberikanku cinta, tapi kini dia menjadi seperti ini.
Aku tak bisa menyentuhmu, Mas, karena aku bukan lagi muhrim-mu. Ingin rasanya aku menyentuh luka-luka yang kau rasakan sekarang.
Hatiku ikut teriris melihat Mas Rian seperti itu, masih ada ikatan batinku untuk mantan suamiku dan Ayah kandung dari Alifa. Tak terasa bulir bening mengalir di pipiku.
“Mas Rian sudah satu tahun seperti ini, Mbak. Hanya bisa duduk di kursi roda dan sudah tak bisa berkata-kata lagi.” Erina menjelaskan dengan seksama.
“Dia lumpuh dan sekarang ginjalnya sudah tak bekerja dengan baik, sejak kejadian di Belitung bersama Karim.” Ujar Erina.
“Mas Rian terseret kasus penggelapan uang asuransi yang sebenarnya itu semua ulah jahat Karim padanya. Kecelakaan kerja di pertambangan Belitung, membuat Mas Rian diaudit oleh BPK dan kena pidana selama 12 bulan di POLDA Bangka Belitung, sejak keluar dari penjara dia kebanyakan melamun dan kesehatannya mulai menurun.
Selama itu juga aku menjadi tulang punggung untuk Mas Rian dan Wulan, anakku. Hanya dengan tulisan tangan caraku berkomunikasi dengannya.” Erina kembali menangis.
Aku tersayat-sayat mendengar ucapan Erina tentang Mas Rian. Ya Alloh, bukan seperti ini yang aku inginkan dari sakit hatiku pada mantan suamiku.
Dia pasti sangat kesakitan menanggung dendamku dulu padanya. Ya Tuhan tolong sembuhkan dia dari kesakitan ini, hamba tak kuat melihatnya seperti ini. Doaku dalam hati kepada pemilik takdir.
Aku sudah memaafkannya Ya Alloh, sungguh aku sudah rela dengannya. Tak bisa dibendung lagi aku menjerit dalam tangisku.
Alifa yang mendengar tangisanku langsung berlari ke arahku.
“Mamah, ada apa mah? Kenapa Mamah menangis?” tanya Alifa dengan polosnya.
“Alifa sayang, Ayahmu datang untuk bertemu denganmu, ini Ayah kandungmu, sayang.” Ucapku pada anakku.
Alifa memperhatikan dengan seksama Ayahnya yang sudah tak berdaya di kursi roda.
Mas Rian berusaha mengangkat kedua tangannya untuk meraih Alifa. Mas Rian sangat sayang dengan Alifa, mungkin pertemuan ini sangat diharapkannya.
“Ayah… ini Ayah kandungnya Alifa?” Alifa memanggil Mas Rian dengan panggilan Ayah.
Dua orang dengan ikatan kuat antara anak dan Ayah kembali bersama setelah 5 tahun berpisah. Terlihat air mata Mas Rian bercucuran ketika dia bisa memeluk kembali Alifa, anak kandungnya.
Aku dan Erina tak kuasa menahan rasa haru ini, kami berdua berpelukan bersama Wulan.
"Umi... ini, ada apa? Kenapa kalian semua menangis?" Ucap Mas Aldi yang tanpa ku sadari sudah berada di sampingku.
Aku melepaskan pelukan Erina, lalu aku peluk suamiku Mas Aldi. Aku meceritakan tentang pertemuan yang tak disengaja ini pada Mas Aldi.
Mas Aldi sudah tahu siapa Erina, dan siapa Mas Rian, karena dulu aku sudah menceritakan semua tentang pahitnya masa laluku bersama mereka.
"Erina, Mas Rian... kenalkan, ini suamiku, namanya Mas Aldi." Ucapku pada mereka.
Dua keluarga telah bertemu kembali, dengan membawa cerita pilu kehidupan Mas Rian pasca bercerai denganku.
Tidak ada lagi dendam atau amarah di antara kami.
Inilah kehidupan, dimana memaafkan lebih baik dari mendendam.
--- SELESAI ---
Terima kasih sudah membaca kisah Arum dan Rian.
Semoga ada hikmah yang dapat diambil dari cerita ini.
Salam sayang...
Lieya Bening (Penulis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel