Penulis: Yenika Koesrini
“Dit, ini Bapak manajer kita yang baru.” Kata Niana saat aku baru saja akan duduk di meja kerjaku pagi ini.
Aku berdiri dan mendongak menatap pria yang ada disamping Niana. Jantungku seolah berhenti sejenak. Dengan mulut terbuka dan bola mata membesar, aku benar-benar tidak percaya dengan penglihatanku.
“Ini pasti halusinasi,” bisikku lirih dan mengucek bola mataku berkali-kali.
Tetapi tetap saja retinaku menangkap bayangan wajah itu, wajah yang sangat ku kenal. Dulu.
“Dit.” Niana menyentuh pundakku, wanita itu melihat ada yang aneh dengan reaksiku.
“Ini Pak Arif,” tambah Niana.
Tanganku sampai bergetar saat menjabat tangannya.
“Salam kenal, saya Arif, semoga kita bisa bekerjasama,” sapa suara yang dulu pernah sangat akrab di kupingku.
“Dit.. Dit..ta,” jawabku terbata-bata. Aku benar benar tidak bisa mengontrol lidahku untuk berbicara dengan lancar. Pria itu tersenyum padaku. Mengapa reaksinya biasa saja. Seolah kami tidak pernah kenal sebelumnya.
Arif atau lengkapnya Muhammad Arif, aku sangat mengenalnya. Sangat-sangat mengenalnya. Kami pernah begitu sangat dekat. Sangat-sangat dekat. Karena dia adalah mantan suamiku.
***
#Bulan November 12 tahun yang lalu
Aku menelusuri lorong sekolah yang sepi, hari sudah sangat sore. Jam tanganku menunjukkan angka 17.30 WIB. Bukan tanpa alasan aku pulang begitu larut. Aku baru saja menyelesaikan tugas catatan sosiologi, karena aku begitu banyak ketinggalan, sedangkan ujian semester sudah di depan mata.
Aku meletakkan catatan yang telah ku selesaikan itu di atas meja pak Syaiful, guru sosiologi kami. Guru paling pengertian yang paling ku kenal. Meskipun hampir satu semester aku tidak pernah mencatat, beliau masih memberi kesempatan agar aku melengkapi ketertinggalan.
Langit mulai kelam, sepertinya akan turun hujan. Memang seperti ini setiap hari, dibulan berakhiran ber-ber. Aku mempercepat langkahku, sebelum gerbang sekolah ditutup.
“Halloo...,” sayup ku dengar suara seseorang.
Aku mempertajam pendengaranku. Tetapi tidak terdengar suara apa-apa lagi, mungkin hanya perasaanku saja. Lagi pula ini sudah hampir magrib. Bisa saja jin-jin penunggu sekolah ini mau menggodaku. Sekolah ini juga terkenal angker. Aku mulai merinding. Dengan langkah hampir berlari aku meninggalkan ruang guru dan melewati depan perpustakaan.
“HALLO, ADA ORANG DILUAR.” Jantungku hampir copot, karena kaget.
Tepat di depan pintu perpustakaan seseorang berteriak dari dalam sambil menggedor-gedor pintu yang terkunci.
Ada seseorang di dalam. Aku mengintip dari balik jendela di samping pintu masuk. Memastikan apakah benar itu suara seorang manusia. Tepat disaat wajahku menempel mencari seseorang dari balik jendela kaca itu, dari dalam juga muncul wajah, melakukan hal yang sama.
“AAAA...” Aku terjungkal ke belakang saking kagetnya.
“ Oh, hai, siapapun di sana, tolong aku!,” pintanya.
Seorang cowok. Aku mengenal wajahnya, dia adalah salah satu cowok terkenal di lingkungan sekolah. Karena dia tampan.
“Aku terkunci, tolong keluarkan aku dari sini.” Dari nadanya dia benar-benar memohon.
Aku berdiri dan mengamatinya dari balik jendela kaca, memastikan sekali lagi, apakah dia benar-benar manusia.
“Tadi aku ke perpustakaan dan tertidur, baru terbangun saat pintu sudah dikunci petugas perpustakaan,” jelasnya menjawab tanda tanya dikeningku.
Aku melihat sekeliling, tidak ada siapa pun. Gedung sekolah dengan luas hampir satu hektar ini benar-benar sepi. Aku menuju gerbang sekolah, mancari bantuan. Siapa tau ada Pak Dirman, penjaga sekolah kami. Aku bisa memintannya membukakan pintu perpustakaan.
“HAI....” Kudengar cowok itu kembali berteriak. Mungkin dia menyangka aku kabur dan meninggalkannya.
Sesampai di pos jaga pak Dirman, aku tidak menemukannya. Mungkin orang tua itu pergi ke suatu tempat. Gerbang sekolah masih terbuka. Sebentar lagi pasti akan ditutupnya.
Aku melihat ke luar gerbang, tidak ada siapapun untuk dimintai tolong, sekolah kami memang berjarak 200 meter dari jalan utama, dan jauh dari pemukiman penduduk. Aku menulis pesan di sehelai kertas dengan tulisan besar di jendela pos jaga Pak Dirman. Dan segera berlari kembali menuju perpustakaan.
Sunyi. Tidak ada lagi suara.
“Haloo....” Kali ini aku yang bersuara. Sambil menggedor-gedor pintu.
“Oh, hai, kau kembali? Tolong aku,” pintanya lagi.
Dia kembali menyibak tirai. Perpustakaan adalah ruangan paling aman diantara ruangan lainnya. Semua jendelanya dilengkapi dengan teralis. Mungkin karena banyak barang-barang multimedia dan elektronik berharga yang disimpan di dalamnya.
“Pak Dirman tidak ada di depan, mungkin sebentar lagi dia datang, sebab jam 18.00 dia akan mengunci pagar sekolah, aku akan memintanya membukakan pintu untukmu.”
“Terima kasih,” ucapnya haru.
Aku tetap berdiri di teras perpustakaan, berharap Pak Dirman segera datang memberi pertolongan. Hujan sudah mulai turun meskipun tidak begitu deras, angin pun bertiup kencang dan menggoyangkan pohon pelindung yang bertebaran di sepanjang lapangan upacara di tengah gedung sekolah. Suasananya bertambah horor.
Sudah lewat jam 6 sore, Pak Dirman tetap tidak datang. Apakah pria tua itu tidak membaca pesanku. Aku mulai cemas. Bagaimana kalau Pak Dirman langsung mengunci gerbang sekolah dan pergi. Bisa-bisa aku pun akan terjebak di sini.
Aku menatap ke arah jendela. Cowok itu masih berdiri di sana, dia menatapku penuh harap. Seperti tatapan seekor anak kucing minta sepotong ikan asin. Aku jadi kasihan juga. Padahal aku tidak begitu mengenalnya, walaupun kami satu sekolah dan satu tingkatan kelas.
Aku kembali berlari menuju gerbang sekolah, dengan harapan yang utama, semoga Pak Dirman belum menutup gerbang sekolah dan harapan kedua tentu saja bertemu dengan pria tua itu.
Aku benar-benar terjungkal kembali untuk kedua kalinya. Saat mendapati harapan pertama dan keduaku tak terijabah. Gerbang sekolah telah terkunci dan tentu saja disana tidak ada Pak Dirman. Gontai ku langkahkan kakiku menuju pos jaga Pak Dirman, berharap menemukan sesuatu di sana, seperti kunci cadangan, misalnya. Tapi sungguh nihil, mana mungkin Pak Dirman meninggalkan kunci cadangan di posnya yang tak terkunci. Aku mencari kertas yang berisi pesan untuk Pak Dirman tadi. Tetapi tidak ku temukan. Prasangka burukku langsung muncul, jangan-jangan orang tua itu memang sengaja ingin mengunci kami di sini.
Tidak ada lagi yang bisa ku lakukan. Hari-berar-benar sudah gelap, hujan pun turun bertambah deras. Dengan perasaan campur aduk, aku kembali ke perpustakaan dan menemuai cowok itu dengan rasa bersalah, karena gagal membantunya.
“Bagaimana?, Pak Dirmannya ada?” tanya cowok itu penuh harap.
Aku menggeleng lesu.
“Maaf, Pak Dirman tidak ada, dan tambahannya lagi gerbang sudah dikunci,” tuturku lesu.
Rasanya mau menangis menerima keadaan. Sudah hampir dua setengah tahun sekolah di sini, baru kali ini nasibku benar-benar sial. Semua berawal dari kebaikan hatiku. Coba tadi ku abaikan cowok ini, pasti sekarang aku sudah menikmati makan malam bersama Abah dan Umi.
Teringat dengan keduanya, pasti sekarang mereka sangat cemas, karena sudah larut begini putri bungsu mereka belum juga pulang.
“Hei....” Cowok itu mengetukkan tanganya ke jendela kaca mencoba menyadarkkan ku dari lamunan. Aku memandangnya. Kami masih bisa saling menatap karena sekarang dia menyalakan lampu listrik di dalam dan di teras perpustakaan. Lumayan terang di sekitar kami. Meskipun disekeliling terlihat gelap.
“Sekarang begini saja, kamu keluarkan aku terlebih dahulu dari sini, nanti bagaimana caranya keluar dari gerbang, kita fikirkan lagi sama-sama," usulnya kemudian.
“Caranya?” tanyaku. Aku semakin tidak mengerti. Bukankah dari tadi yang aku usahakan adalah mengeluarkannya dari sana. Terkadang seseorang yang diberi kelebihan pada elok rupa diberi kekurangan pada isi kepala. Entah bagaimana jalan pikirannya.
“Kamu cari batu, lalu bongkar paksa saja gembok itu,” suruhnya sambil menunjuk gembok yang terpasang di pintu masuk.
Aku masih tidak bergeming. Ragu. Bukankah itu kejahatan. Aku bisa dikenai sanksi berat, dengan tuduhan melakukan percobaan permalingan.
“Ayo lah, aku yang tanggung jawab!” katanya lagi.
Kalau dia yang tanggung jawab, apa salahnya. Aku berlari mencari batu besar di dekat taman depan kantor majelis guru. Aku mulai memukulkan batu besar itu pada gembok. Suaranya kembali terdengar horor beriringan dengan suara derasnya hujan. Petir pun sesekali menyambar. Aku paling takut dengat guntur dan petir. Aku menghantamkan batu itu lebih keras, berharap gembok itu terpisah dari kaitannya.
“Ayo, sedikit lagi, lebih keras!” suara cowok itu menyemangatiku.
Setelah hampir 15 menit aku akhirnya berhasil. Aku tidak peduli dengan jemari tangan kiriku yang tidak sengaja terluka saat memukulkan batu ke gembok. Aku langsung membuka pintu, dan berlari ke arah dalam. Baru saja ada sinar terang dari langit, sebentar lagi petir akan menyambar.
“DUAAR.”
Benar saja dugaanku, sesaat setelah kilat pasti ada petir. Cahaya merambat lebih cepat dari suara.
Setelah suara itu hilang, aku baru menyadari keberadaanku. Duduk berjongkok di bawah meja petugas perpustakaan sambil menutup telinga. Benar-benar ketakutan.
Cowok itu mendekatiku. Aku segera berdiri, dan merapikan pakaianku dan bertingkah seolah-olah baru saja tidak terjadi apa-apa. Dia tersenyum melihat tingkahku.
“Terima kasih, ” ucapnya. Aku hanya mengangguk.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku. Aku berharap dia punya rencana untuk keluar dari sekolah ini. Dia terlihat memutar otaknya.
“Kita tunggu hujan sedikit reda dulu. Lalu nanti kita cari celah pagar sekolah yang bisa dilewati,” tuturnya.
Dari ekspresi wajahnya sepertinya dia sangat yakin ada celah pagar yang bisa di lewati. Biasanya yang tahu hal semacam ini hanyalah siswa bandit yang langganan cabut di jam perlajaran.
“Bagaimana kau bisa terkunci di sini, tanpa disadari petugas perpustakaan?” Aku menanyakan pertanyaan yang sedari tadi hilir mudik di pikiranku.
Rasanya sangat mustahil, petugas perpustakaan tidak menyadari ada seseorang tertinggal di dalam. Pada saat masuk saja, para siswa harus membuka alas kaki mereka dan meninggalkannya di rak sepatu di depan teras. Dia terlihat tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Sebenarnya tadi dua jam terakhir aku sengaja cabut ke sini untuk tidur, aku sengaja mencari posisi yang tidak mudah terlihat, di sudut paling belakang,” jelasnya, menerangkan kronologis kejadian.
“Lalu bagaimana dengan sepatumu?” Sangat tidak mungkin dia membawa sepatunya ke dalam perpustakaan.
“Aku tidak pakai sepatu,” jawabnya dengan senyum bangga penuh kemenangan. Bangga karena bisa mengelabui petugas perpustakaan. Bangga berujung petaka, batinku.
Di luar hujan masih saja deras, kilat mulai lagi membelah langit. Aku segera berlari ke sudut ruangan, sebentar lagi petir akan menyambar.
“DUAAR.” Untuk kedua kalinya, sambarannya terasa sangat dekat. Di saat bersamaan, jaringan listrik terputus.
“AAAA.” Aku berteriak kencang.
Lengkap sudah penderitaanku hari ini, terjebak dalam kegelapan. Ditambah lagi bersama seorang cowok yang tidak begitu ku kenal. Pikiran buruk lain datang menghantui.
“Hei,” dia mencariku.
Aku bergerak dari posisiku, merangkak mencari kolong meja petugas perpustakaan, sepertinya aku akan aman di sana. Disaat aku sedang merangkak,
“Tak.”
“Aduh.” Aku meringis kesakitan. Aku meraba keningku, yang sepertinya baru saja bertambarakan dengan kening cowok itu.
Tiba-tiba ada seberkas cahaya diantara kami. Dia menyalakan korek api, tepat diantara wajahku dan wajahnya. Aku terdiam kaku. Jarak kami begitu dekat.
Untuk sesaat sepertinya semua terhenti. Meskipun hanya dari cahaya sebatang korek, aku bisa melihat wajahnya sedetil mungkin, ternyata dia memang tampan.
Aku tersadar dan segera menjauh.
“Uuh, aduh.” Kali ini dia yang bersuara, tanganya kepanasan karena tangkai korek api itu telah habis terbakar dan api mengenai jari-jarinya.
Sesaat kami terdiam. Aku kembali ke sudut ruangan. Kali ini dengan perasaan lain yang tidak bisa dijelaskan.
“Oh ya sedari tadi kita saling bicara hanya dengan sapaan hai dan kamu, namamu siapa?” tanyanya.
Meskipun dalam keadaan gelap gulita, dari suaranya aku bisa mendeteksi kalau keberadaannya sedikit jauh dariku. Jadi aku merasa aman.
“ Aku, Dita, Pramudita kelas XII E,” jawabku.
“ Aku Arif kelas XII A,” balasnya.
Seseorang memang tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi dengannya hari ini, bahkan sedetik kedepan dalam hidupnya. Seperti yang aku alami hari ini. Aku tidak pernah membayangkan akan berkenalan dengan seorang laki-laki dalam keadaan gelap gulita seperti ini.
Dan aku juga tidak pernah membanyangkan bahwa laki-laki ini akan tetap ada dalam lingkaran takdir hidupku, meski kami telah berhasil keluar dari gerbang sekolah malam itu berkat bantuan Pak Dirman. Bahkan sampai 13 tahun setelahnya.
=====
Aku terduduk lesu di meja kerjaku, dengan perasaan sulit dijelaskan. Kemarin aku memang tidak masuk kantor, karena ada tugas luar, melakukan survei produk. Jadi aku tidak tahu kalau manajer baru pengganti Bu Utami telah datang. Bu Utami manajer kami yang lama, sengaja resign karena ingin lebih fokus mengurus anak dan suaminya. Aku sama sekali tidak menyangka kalau penggantinya adalah seorang pria muda, dan yang lebih tidak masuk akal lagi bagiku adalah pria itu, Muhammad Arif.
Aku Pramudita sekarang berusia 30 tahun, seorang staf kantor bagian pemasaran sebuah perusahaan manufaktur sektor makanan dan minuman besar di Indonesia. Aku mulai berkarir di perusahaan ini sejak 5 tahun yang lalu.
Selama 5 tahun berkakrir, semuanya berjalan begitu mulus, tidak ada halangan yang berarti. Aku begitu menikmati pekerjaanku, ditambah lagi dengan teman-teman satu tim yang sudah seperti keluarga, dan tentu saja dengan atasan yang baik dan super pengertian seperti Bu Utami. Tetapi sepertinya semua akan berakhir ditahun ke 6 ini.
Aku masih berusaha mencerna secara perlahan, dari sekian banyak daerah dan dari sekian banyak perusahaan besar di Indonesia, mengapa pria itu memilih perusahaan ini. Dan dari semua bagian di perusahaan ini, mengapa dia memilih bagian pemasaran. Mengapa tidak memilih bagian lain seperti bagian personalia, operasional atau administrasi dan gudang. Mengapa harus dia yang menjadi atasanku. Kepalaku terkulai lemah dengan dagu tertopang di meja, di depanku layar monitor memang sudah menyala, tetapi aku tidak bisa konsentrasi melakukan apa-apa.
“Hai...,” sapa sebuah suara mengagetkanku. Aku refleks memperbaiki posisi dudukku. Ternyata Niana. Niana adalaha seorang divisi bagian pemasaran, yang menjadi bawahan langsung seorang manajer. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas anak metropolitan, high class. Dia ramah dan baik. Dia adalah teman dekatku.
“Ada apa?” tanyaku sambil sibuk dengan komputerku, berusaha terlihat biasa. Tetapi Niana justru mempertajam penglihatannya menatapku.
“Mengapa kau terlihat aneh hari ini? Terutama saat aku memperkenalkan Pak Arif padamu tadi,” selidiknya.
“Aneh bagaimana?" ujarku dengan nada datar dan cuek.
“Ekspresi wajahmu tadi menunjukkan kalau kau mengenal Pak Arif sebelumnya, dan kau tidak menyangka kalau dia manajer kita yang baru,” imbuhnya lagi.
“Ooo, itu, itu karena...karena aku tidak menyangka saja kalau pengganti Bu Utami itu seorang pria, aku selalu beranggapan kalau manajer baru kita seorang ibu-ibu seperti Bu Utami,” kilahku sambil tersenyum menyeringai.
“Apalagi dia ternyata pria muda, dan tampan,” tambahku lagi sambil mengerling nakal ke arah Niana. Semoga ekspresiku ini bisa menghilangkan kecurigaannya.
“Ooo, lagi pula aku tidak yakin kalau kalian saling mengenal sebelumnya, dia kan baru saja kembali dari luar negeri.” Spekulasi Niana menyelamatkanku.
Aku memandang Niana dengan ekspresi terkejut, namun kemudian kembali menguasai diri, agar Niana tidak curiga kembali. Luar negeri? Ternyata dia maju dan melesat jauh setelah tidak lagi hidup bersamaku.
***
#Bulan Desember 12 Tahun yang Lalu
Setelah kejadian di perpustakaan waktu itu. Arif selalu muncul di hadapanku. Padahal sebelumnya, kami sama sekali tidak pernah bertegur sapa. Aku memang mengenalnya, kenal wajahnya. Sekolah ini sangat besar satu tingkatan saja bahkan sampai 10 kelas, dengan rata-rata jumlah siswa perkelas mencapai 30 orang. Jadi sangat mustahil jika bisa mengenal seluruh siswa di sini, meskipun berada pada tingakatan kelas yang sama. Kecuali pernah berada pada kelas yang sama.
Ada tiga tipe siswa terkenal di lingkungan sekolah ini, pertama kaya, kedua cantik atau tampan dan yang ketiga pintar. Aku rasa Arif berada pada kriteria kedua. Sedangkan aku, tentu saja tidak masuk salah satunya. Aku tidak berasal dari keluarga kaya. Abah dan umiku hanya peternak ayam. Hidup kami sangat sederhana. Aku juga tidak terlalu cantik, tubuhku mungil, hanya orang-orang terdekat yang sering memujiku, kalau aku imut. Jauh dari tipe cewek cantik, yang mungkin harus punya tubuh tinggi, dan langsing bak model. Dan terakhir, aku tidak pintar. Buktinya di detik terakhir menjelang ujian semester 1 ini aku harus berjuang keras mengejar ketertinggalanku, setiap hari ada saja tugas remedial yang harus aku lakukan. Sehingga aku harus rela pulang sore hari.
Aku merasa diriku tidak bodoh hanya saja aku terlalu malas. Aku tidak punya motivasi apapun untuk masa depanku. Yang jelas, setelah tamat SMA aku tidak akan melanjutkan pendidikan ke jentang perkuliahan. Abah dan Umi sudah lama mengatakan hal itu. Semua tentu karena masalah biaya. Akupun tidak banyak menuntut mereka. Sebab mereka sudah terlalu tua. Aku anak bungsu dari 5 bersaudara, kami semua perempuan. Kakak-kakaku semuanya telah berkeluarga dan dibawa suami masing-masing. Jadi hanya satu cita-citaku setelah lulus SMA, menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga.
“Setelah tamat nanti, kamu bisa susul kakak ke kota, kakak akan mencarikan jodoh untukmu, di sini banyak pria muda yang berstatus karyawan pabrik, penghasilannya lumayan,” kata kakakku paling tua.
Tiga dari empat kakak iparku memang bekerja sebagai karyawan di pabrik yang sama. Sebuah pabrik kertas, yang juga terbesar di Indonesia. Dan seperti usul kakak tertuaku, aku pun akan dicarikan suami yang bekerja di pabrik yang sama. Saat liburan aku pernah berkunjung ke tempat mereka, rasanya juga tidak buruk menjalani kehidupan seperti mereka. Menjadi istri dan ibu, yang hanya mengurus keluarga, sedangkan suami bekerja. Aku sudah bisa membayangkan masa depanku.
“Dit, kamu merasa aneh tidak belakangan ini, kelas kita sering di datangi geng bintang,” celetuk Rara teman sebangku ku.
Aku menatap aneh ke arah Rara, tentang geng bintang yang dibicarakannya.
“Maksudku mereka?” Rara memonyongkan bibirnya ke arah pintu masuk.
Aku memandang ke arah yang ditunjuk Rara. Aku melihat Arif dan teman-teman satu gengnya. Ternyata yang dimaksud Rara geng bintang adalah, cowok-cowok terkenal di SMA ini, baik itu karena kaya, tampan atau pintar. Aku hanya pura-pura tidak exiting dengan kehadiran mereka. Tidak seperti cewek lain di kelasku yang langsung histeris, seperti kelas ini sedang dikunjungi salah satu boy band korea.
Benar apa kata rara, aku juga merasa demikian, hampir setiap hari saat istirahat, mereka seolah mau menyapa fans mereka di kelas kami.
“Bisa saja ada cewek dari kelas kita ini yang sedang jadi incaran mereka,” gumam Rara. Aku mengangguk, bisa saja.
“Ahhh, andai saja itu aku,” harap Rara.
Aku tersenyum ke arah sahabatku itu. Semua cewek di kelas ini pasti mempunyai harapan yang sama seperti Rara. Kecuali aku tentunya, aku tidak akan menghabiskan waktu percuma dengan cerita cinta tak jelas seperti itu. Karena pada akhirnya jodohku telah ditentukan, seorang karyawan pabrik.
Hari ini aku pulang agak sedikit sore lagi, karena minggu depan sudah ujian akhir semester 1, aku harus mengejar ketertinggalanku. Meskipun tidak punya cita-cita, setidaknya aku harus memiliki ijazah SMA. Setidaknya sebagai bekal mendidik anak-anakku kelak. Ah, mengapa bayangan menjadi seorang ibu muda membuatku geli sendiri.
Aku sedang mengerjakan soal remedial sejarah, yang jumlahnya sangat banyak, dan harus diselesaikan hari ini. Rara telah pulang duluan. Aku tidak bisa menahan gadis itu menemaniku karena dia harua membantu ibunya bekerja menjaga warung sepulang sekolah.
Aku tidak terlalu takut, karena aku masih mendengar beberapa suara siswa dari kelas lain, yang mungkin saja sedang mengejar ketertinggalan mereka, sama sepertiku.
“Dita...” sebuah suara mengagetkanku.
Aku menoleh ke arah pintu masuk, di sana aku mendapati Arif dengan senyumannya. Ada perlu apa cowok itu menemuiku lagi, batinku. Aku memang berusaha bersikap biasa kepadanya setelah kejadian di perpustakaan itu. Aku tidak mengumbar cerita itu kepada siapa pun. Bahwa aku telah menjadi penyelamat salah seorang cowok terkenal di sekolah ini, dan terjebak berdua dalam kegelapan. Cerita yang akan membuat iri semua cewek di sekolah ini tentunya.
“Oh hai,” balasku.
“Mengapa belum pulang?” tanyanya sambil mendekat ke arah mejaku.
Aku kembali merinding sendiri. Sepanjang usiaku aku belum pernah dekat dengan cowok manapun, aku sama sekali tidak pernah pacaran.
“Ada tugas yang harus diselesaikan hari ini juga,” ucapku.
Dia duduk tepat di depan meja tempatku menyelesaikan tugas. Dia terus menatapku. Aku menjadi salah tingkah sendiri. Aku belum pernah ditatap dengan tatapan seperti itu sebelumnya, apalagi oleh seorang cowok setampan dia. Pikiranku kembali menerka-nerka, untuk apa dia menemuiku.
“Terima kasih ya, telah menolongku waktu itu, karena menolongku, kamu jadi ikut terjebak juga,” katanya.
Ternyata dugaanku benar, ucapan terima kasih. Memangnya apa lagi alasannya yang menemuimu Dita?, batinku.
“Oh, itu, tidak usah merasa terbebani, aku rasa siapa pun akan melakukan hal yang sama saat melihat salah satu temannya terjebak,” jawabku sambil tersenyum ke arahnya.
“Kamu cantik,” pujinya refleks.
“Uhuk....” Aku tersedak, padahal tidak sedang makan apa-apa.
Aku kembali tersenyum ke arahnya. Dia pasti sedang menggodaku. Selama ini belum ada yang memujiku demikian, kecuali imut, itu pun karena tubuhku yang kecil.
“Kamu punya wajah imut, warna pupil mata coklat muda dan lesung pipi kecil di sudut bibir ketika tersenyum,” paparnya, begitu detail menggambarkan wajahku. Aku jadi tersipu malu sendiri.
Dia tertawa melihat tingkahku yang tidak konsentrasi lagi menulis jawaban soal remedialku. Dugaaku benar, dia hanya menggodaku.
“Aku suka kamu,” ujarnya. Kata-katanya mengalir datar.
Apa aku baru saja bermimpi. Seseorang menembakku. Aku memang sempat terhipnotis beberapa saat. Bagaimana tidak. Seseorang baru saja memujiku dan membuat pengakuan cintanya.
“Aaah, jangan bercanda.” Kali ini aku yang tertawa. Berusaha bersikap sewajarnya, padahal jantungku sudah mau meledak.
“Aku serius,” katanya lagi. Kali ini dengan tatapan seolah menerobos kedalam mataku, tajam.
“Aku selalu kepikiran kamu setelah kejadian di perpustakaan itu, jantungku langsung berdebar saat menatap matamu di bawah sinar korek api malam itu,” jawabnya jujur. Aku hanya terdiam.
“Aku yakin perasaanku tidak salah, sehingga setiap hari aku selalu mencari alasan datang ke kelas ini, hanya untuk melihat wajahmu,” tambahnya lagi.
Aku semakin tidak bisa berkata apa-apa. Ternyata dugaan Rara benar, tentang adanya cewek yang sedang diincar salah satu anggota geng bintang di kelas kami. Dan aku benar-benar tidak percaya kalau cewek itu adalah aku.
Aku berusaha tidak terbawa suasana, meskipun sejujurnya, perasaanku berbunga. Bisa saja ini sebuah lelucon Dita, jangan percaya, bisik batiku lagi.
“Oke, mungkin ini terlalu mengagetkan, tetapi aku tidak sedang bercanda atau mempermainkanmu,” terangnya, seolah bisa membaca pikiranku.
“ Aku tidak memaksamu membalas perasaan ini secepatnya, aku hanya ingin diizinkan setiap hari ada di dekatmu,” harapnya.
Aku tidak berkata apa-apa, semua terlalu tiba-tiba. Dia kembali tersenyum. Bohong besar kalau aku tidak menaruh hati sedikitpun terhadapnya.
***
“Dita, laporan hasil survei produk yang kemarin sudah siap?” tanya Niana. Aku hanya diam sambil terus menatap Niana. Otakku tidak bisa mencerna pertanyaan Niana.
“Ditaaaa, HEI.” Suara tinggi Niana mengembalikan rohku, dan membuat ku tersadar.
“Kamu kenapa sih?, tuh kan ada yang aneh.” Niana kembali curiga.
“Aku hanya sedikit kurang sehat,” jawabku berbohong, dan memasang wajah paling menyedihkan dihadapan Niana.
“Benarkah?” Niana terluhat simpatik, dan meraba keningku.
“Seharusnya kalau kamu kurang sehat, tidak usah masuk kerja saja dulu, jangan dipaksakan,” ujarnya lagi. Gadis baik itu mempercayaiku.
Di saat aku dan Niana bicara. Manajer baru kami itu lewat.
“Niana, saya ada urusan keluar, setelah istirahat siang, kita briefing dulu sebentar, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan,” katanya.
Nada bicaranya benar-berar berwibawa, menunjukkan kalau dia seorang atasan. Dia pun berlalu, tanpa sedikitpun menoleh padaku. Apakah benar dia Arif yang ku kenal?, mengapa dia bisa bersikap biasa. Apakah setelah kami berpisah dia telah mencuci ingatannya. Melupakan semua yang telah kami lewati dalam 2 tahun pernikahan, menjadi kenangan sampah yang tidak perlu diingat lagi. Sikapnya itu membuatku semakin membencinya, apalagi kalau teringat dengan almarhum abah.
Bagaimana aku menjalani situasi ini selanjutnya. Aku tidak mungkin bekerja dalam keadaan tidak nyaman seperti ini. Aku sama sekali tidak bisa berkonstrasi dan mengabaikannya. Bersikap seolah tidak mengenalnya, seperti yang dilakukannya padaku.
Apakah aku harus resign juga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel