Cerita bersambung
Aku dan Niana sedang makan siang saat jam istirahat kantor. Sama seperti staf dan pegawai lainnya. Kami makan siang di kantin yang memang khusus untuk orang-orang yang bekerja di kantor ini, letaknya di lantai satu. Jam makan siang memang sedang ramai-ramainya, kalau tidak datang cepat, maka harus rela antri untuk mendapatkan kursi.
Aku mengaduk bekal makananku dengan pandangan kosong. Seperti biasanya aku memang selalu membawa bekal makan siang dari rumah. Bekal buatan umi. Nasi dengan sambal ayam suir goreng yang dibalur dengan sambal. Sudah menjadi kebiasaan umi dari dulu, bahkan dari jaman sekolah selalu membuatkan aku bekal makan siang. Dan lauknya selalu ayam. Karena dulu abah adalah peternak ayam potong. Ayamnya selalu ayam suir goreng, dan yang membuat beda setiap hari itu adalah sambalnya. Sambal buatan umi sangat enak, hampir semua yang pernah mencoba, pasti akan memujinya. Hari ini sambalnya sambal bawang.
Karena pikiran sedang tidak pada tempatnya, ternyata sedari tadi ada sendok lain yang masuk ke kotak makan siangku, dan makan dengan lahap. Aku menatapnya.
“Niana?” protesku.
“Dari tadi kau hanya mengaduknya tanpa memakan sesuap pun, sangat disayangkan, bekal seenak ini tidak dimakan,” ujarnya.
Padahal di hadapannya sudah ada makanan yang baru saja dia pesan.
Aku menyodorkan kotak bekalku padanya. Aku tidak berselera untuk makan.
“Sepertinya kau benar-benar sedang sakit,” tambahnya lagi sambil makan dengan lahap.
“Kakaaaak,” sapa sebuah suara memanggilku. Aku dan Niana menoleh ke arah suara.
“Ah bocah ini lagi, ngapain sih, nih bocah mengekorimu terus?” gerutu Niana saat melihat pemilik sumber suara. Aku hanya mengangkat bahu.
“Hai kak.” Pemilik suara yang dipanggil Niana dengan sebutan bocah itu telah duduk dan bergabung di meja kami dengan makanan pesananya.
“Kakak tidak makan?” tanyanya, saat melihat tidak ada satupun makanan di hadapanku, semua sudah pindah ke hadapan Niana.
“Dia lagi sakit,” sela Niana.
“Benar kak? Kok tidak memberi tahu aku?” ujarnya dengan tatapan iba penuh perhatian, dan mencoba menyentuh keningku, aku menarik badanku ke belakang.
Namanya Yuga. Pria muda yang dipanggil Niana dengan sebutan bocah. Seorang karyawan baru bagian operasional. Usianya terpaut 3 tahun di bawah kami. Tubuhnya tinggi, dan dia memiliki wajah manis seperti artis remaja jepang, Kento Yamazaki. Seperti kata Niana, dia selalu mengekoriku. Seperti sebuah satelit yang mengitari planet. Pagi saat berangkat kerja, siang saat makan siang, dan sore saat pulang kerja, dia selalu selalu mengikutiku. Bahkan malam hari juga, karena dia tinggal satu kompleks perumahan denganku. Tidak jarang ada yang beranggapan kalau kami pacaran bahkan akan segera menikah. Semua berawal dari perkenalan tidak sengaja, 3 tahun yang lalu.
“Hei, berhentilah bersikap romantis di hadapanku, aku sedang makan, sikap kalian membuatku tidak berselera,” sergah Niana, membuyarkan lamunanku.
Yuga juga menjadi salah tingkah dan mengalihkan perhatiannya ke arah isi kotak bekalku yang sudah hampir habis oleh Niana.
“Hei, sisakan untukku,” katanya sambil merebut kotak bekal itu dari Niana.
Niana cemberut. Tingkah mereka membuatku tertawa, selalu seperti ini setiap hari. Kalau aku benar-benar resign, momen ini tidak akan ada lagi. Aku kembali tertunduk sedih.
Disaat bersamaan, dari pintu masuk muncul beberapa orang manejer, yang sepertinya akan makan siang. Tentu saja salah satu diantaranya adalah manajer kami yang baru.
“Ternyata dugaanku benar, manajer kita yang paling tampan,” puji Niana dengan tatapan penuh pesona.
“Apa? Jadi manajer kalian yang baru bukan ibu-ibu paruh baya.” Yuga terlihat kaget dan menghentikan suapannya.
“Tentu saja bukan, kau bisa lihat, pria tinggi dan paling tampan dengan tatapan cool itu adalah manajer kami yang baru,” jelas Niana dengan semangat.
“Kenapa Kakak tidak memberi tahu aku kalau manajer baru kakak seorang pria,” tanyanya langsung padaku. Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaannya.
“Kenapa? Kau takut kakak imutmu ini akan tergoda,” kali ini Niana yang menjawab. Yuga hanya cemberut.
“Sebaiknya segera kau lamar saja kakakmu itu, agar kau bisa tenang,” Niana terus menggoda Yuga sambil tersenyum nakal.
“Aku duluan ya.” Tak ada faedahnya mendengar omongan mereka. Lagipula aku benar-benar tidak selera makan saat melihat wajah manajer baru kami itu.
“Kakak, tunggu,” panggil Yuga.
***
Bulan Januari 12 Tahun yang Lalu----
Aku memposisikan diriku diposisi paling sulit, diujung masa SMA ku. Terkenal dan memiliki banyak musuh. Semuanya karena Arif. Setelah pengakuan cintanya sore itu, tanpa jawaban dariku pun, dia selalu ada di dekatku. Dekat dengan pria tampan dan terkenal di seantero sekolah, maka bersiaplah menerima tatapan tidak bersahabat dari semua cewek di sekolah ini. Apalagi mereka menganggap aku bukan pasangan yang sesuai untuk Arif.
Aku mencoba bersikap bisa saja, meskipun terkadang mulut mereka berkomentar tajam.
Aku sedang serius menjawab soal-soal uji coba UN Bahasa Indonesia. Mempersiapkan diri untuk menghadapi perjuangan terakhir guna memperoleh ijazah SMA. Di sampingku Rara sedang menatapku serius.
“Ada apa?” tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. Dari sudut mataku aku bisa melihat, dia sedang memperhatikanku dengan seksama.
“Kamu pakai pelet apa?” ujarnya dengan nada datar.
“HA..HAA..HA.” Aku tertawa terbahak mendengar pertanyaan Rara. Bahkan sahabatku sendiri tidak percaya, kalau ada salah satu anggota geng bintang mengejar-ngejarku.
“Aku tidak menyangka, ternyata kamu adalah cewek yang diincar salah satu anggota geng bintang belakangan ini.”
“Aku iri Ditaaaaa.” Gadis itu malah memelukku karena gemas. Aku hanya tersenyum.
“Bilang sama Arif, jodohkan aku juga dengan salah satu temannya,” bisik gadis itu sambil tersenyum nakal.
“Dita.” Suara arif mengangetkan kami berdua. Seperti biasa dijam istirahat dia pasti akan selalu bertandang ke kelasku. Cewek-cewek di kelasku yang biasanya histeris dengan kedatangan Arif, sekarang mulai terbiasa. Tidak jarang aku melihat mereka mencuri pandang ke arah Arif dengan tatapan mata penuh pesona, dan seketika membuang muka ketika menatapku. Aku hanya tersenyum. Mereka berhak melakukannya.
“Aku lapar,” ucapnya.
Aku segera mengeluarkan kotak bekal makan siangku. Kubiarkan dia memakannya sendirian. Dia seperti tidak pernah melihat nasi berbulan-bulan. Makan dengan lahapnya tanpa basa-basi. Rara yang duduk di sampingku menatap dengan tatapan tidak percaya. Aku yakin dia kecewa, bahwa tingkah idolanya itu tidak sesuai ekspektasinya.
“Nanti siang kita pulang bersama ya,” ajaknya setelah kotak bekal itu kosong. Aku hanya mengangguk.
“Terima kasih untuk makan siangnya, aku sayang kamu,” katanya sambil berlalu. Rara yang ada di sampingku hampir pingsan mendengar ujung ucapannya.
Lama-lama aku mulai menyukai semua perlakuan manisnya. Aku ingin menikmati romansa cinta remaja ini. Meskipun masuk dalam kategori terlambat, karena sebentar lagi masa remajaku akan menguap. Tidak ada satupun kenangan indah yang bisa diingat, kata orang masa SMA merupakan satu fase terindah dalam hidup. Tetapi batin kecilku terkadang menolak, karena pada akhirnya jodohku adalah seorang karyawan pabrik yang akan dicarikan kakakku.
***
Saat sekolah usai, Arif telah menungguku diparkiran. Dari atas motornya dia tersenyum ke arahku. Aku segera menghampirinya. Beberapa pasang mata mengiringi langkahku dengan tatapan sinis.
Oke, mari nikmati romansa ini.
Aku duduk di jok belakang motor Arif, seperti rubah licik, yang membuat pasangan mata yang tadi menatapku bertambah jijik. Aku dan arif berlalu, membuat pemilik pasangan mata itu bertambah kesal, aku tersenyum senang. Dita dilawan. Lagi pula salahku dimana?, aku tidak pernah mengejar-ngejar idola mereka ini, justru sebaliknya.
Arif mengajakku makan di sebuah cafe, yang sepertinya memang tempat nongkrong siswa-siswa berseragam SMA. Cerita-cerita indah remaja SMA, pulang sekolah bersama, makan di cafe atau nonton di bioskop, yang bisanya hanya aku saksikan di FTV, aku akan merasakannya juga.
Setiap kali batinku berbisik, kisah ini tidak akan berhasil. Hatiku selalu menepisnya. Jalani saja, sampai dimana ujungnya. Yang jelas untuk sekarang aku bahagia.
***
Aku, Niana dan rekan kerja lainnya sedang mengikuti briefing yang dipimpin langsung manajer kami yang baru. Aku mencari posisi duduk paling nyaman, yang akan membuatku tidak bisa menatap wajah manajer kami itu secara langsung. Dia memulai briefing dengan perkenalan dan ramah tamah, setelahnya dia memberikan gambaran singkat tentang rencana kerjanya ke depan. Suaranya terdengar berwibawa dan bijaksana, khas seorang atasan. Sangat berbeda dengan sosok yang ku kenal dulu.
“Aku harus membeli baju baru untuk acara Sabtu malam besok,” kata Niana riang sambil membereskan barang di atas meja kerjanya dan bersiap pulang.
“Memangnya kamu akan kemana?” tanyaku, sambil mengikuti langkah Niana.
Langkah Niana terhenti dan beralih memandangku.
“Sakitmu sepertinya sangat parah, kamu benar-benar tidak tahu?” Niana memandangiku seriue. Aku menggeleng.
“Kemana saja kupingmu saat brifing tadi?” cercanya. Aku hanya tersenyum. Jujur, aku benar-benar tidak konsentrasi.
“Sabtu malam besok, manajer kita yang tampan itu akan mengajak kita semua makan malam, di res-to-ran bin-tang li- ma,” jelas Niana, dan memberi penegasan pada kata terakhir.
“APA?”, kataku dengan nada tinggi, yang membuat Niana kaget.
“Mengapa reaksimu berlebihan sekali, dia mengajak kita semua, se-mu-a, bukan kamu seorang,” sanggah Niana. Aku hanya tersenyum, melihat Niana yang cemberut.
“Makan malam dalam rangka apa?" tanyaku penasaran.
“Dia ingin lebih mengenal kita satu-persatu, sekarang kita kan satu tim,” jelas Niana lagi.
DEG, mengenal satu persatu?
Fix, aku akan resign.
Aku mengikuti langkah Niana menuju lift. Langkahku terasa lunglai, rasanya seolah tidak akan sampai ke rumah. Lift sudah hampir penuh, tetapi masih bisa menampung aku dan Niana. Dilantai 3 lift kembali terbuka. Saat pintu lift terbuka, sebuah senyuman menyambutku.
“Kakaak.” Yuga melambai padaku dengan kotak bekal di tangannya. Aku mencoba menyembunyikan wajahku, saking malunya. Walaupun lift sudah penuh, dia masih memaksa masuk dan berdiri di sampingku.
“Heh, bocah, lift nya sudah penuh,” oceh Niana.
Yuga tidak peduli, dia membuka tas punggungku, dan memasukkan kotak bekal yang tadi di bawanya ke dalam tasku. Dia tetap meletakkan tangannya di tasku, seolah lengannya sedang merangkulku.
“Kapan kalian akan menikah, aku sudah tidak tahan lagi melihatnya,” gerutu Niana.
“Segera,” jawab Yuga dengan nada mantap.
Aku mendongak memandangnya, karena tubuhnya yang begitu tinggi, dia mengeluarkan senyum termanisnya. Bocah ini memang selalu bicara sesukanya.
=====
Hari ini aku tidak berangkat ke kantor. Aku telah mengabari Niana lewat pesan WhatsApp. Niana langsung percaya saat ku katakan bahwa aku sedang sakit. Mungkin karena Niana melihat kondisiku kemarin. Sebenarnya fisikku tidak terlalu sakit, yang tidak stabil itu adalah pikiranku.
Semalaman aku berfikir panjang tentang kelanjutan karirku. Apakah aku harus resign?
Jika dipaksakan bertahan rasanya aku tidak sanggup. Setiap hari berurusan dengan seseorang dari masa lalu yang pernah sangat ku kenal dan sayangi, namun sekarang menjadi sangat ku benci karena masalah diujung perpisahan. Meskipun sudah hampir 10 tahun berlalu, rasanya sangat sulit untuk membuang semua kenangan itu dan menganggap dia sebagai orang baru. Seperti yang dilakukannya padaku. Bersikap seolah baru mengenalku.
Namun jika aku putuskan untuk resign, aku akan kehilangan pekerjaan yang selama ini sangat aku sukai. Selain itu, kalau aku tidak bekerja bagaimana dengan Umi, yang merupakan tanggunganku untuk saat ini. Bagiamana juga caraku melunasi cicilan rumah. Kalau untuk mendapatkan pekerjaan baru, tentu butuh waktu, dan sangat sulit. Kepalaku semakin berat ketika menimbang keduanya.
Aku butuh seseorang, yang akan memberiku jalan keluar dari semua kebuntuan ini. Aku menghubungi kakak tertuaku. Dia adalah sumber motivasi dalam hidupku disaat aku terpuruk setelah perpisahan dengan Arif dan setelah Abah meninggal. Dialah yang membuatku bisa seperti ini sekarang.
“Kak, aku butuh pekerjaan,” ujarku setelah menanyai kabarnya, dan kabar para keponakanku.
“Pekerjaan untuk apa?, APA KAU BARU SAJA DI PECAT?” Nada suaranya langsung naik beberapa decible. Diantara keempat kakakku dialah yang paling cerewet dan kasar. Tetapi sebenarnya dialah yang paling baik dan peduli.
“Sudah pernah aku katakan jangan sampai membuat kesalahan, mencari pekerjaan itu sulit, bla bla bla...,” ceramah kakakku melaju seperti kereta exspres. Aku menjauhkan telepon genggam itu dari telingaku. Aku hanya tersenyum sendiri mendengar ocehannya yang tanpa jeda.
“Aku tidak melakukan kesalahan apa pun,” ucapku akhirnya, setelah dia lelah bicara sendiri.
“Lalu?”
“Pengganti Bu Utami, mantan manajerku yang lama itu adalah Arif Muhammad,” terangku dengan sedikit merendahkan suaraku diakhir kalimat, takut, kalau Umi mendengar.
“APA? Maksudmu Arif Muhammad, mantan suamimu yang sialan itu?” umpat kakakku.
Dari nada suaranya sepertinya kebencian kakakku pada Arif melebihi kebencianku. Aku bisa memaklumi itu, karena dialah yang tahu kondisiku saat itu. Masa di awal perpisahan. Hidup tetapi seperti mati.
“Kenapa bisa dia?” tanya kakakku antusias.
“Aku tidak tahu Kak, dan yang lebih menyakitkan lagi, dia bersikap seolah tidak mengenaliku.” Curhatku mencurahkan segalanya yang ku rasa.
“APA?”
“Dengarkan kakakmu ini, JANGAN BERHENTI!” tegasnya.
“Tapi Kak ...,” potongku.
“Kalau dia bisa bersikap seolah tidak pernah mengenalmu, mengapa kau tidak bisa melakukan hal yang sama. Tunjukkan padanya, kalau kau bukan Dita yang dulu lagi, Dita yang bodoh dan mudah termakan rayuan cintanya. Sekarang kau adalah Dita yang berbeda. Angkat dagumu lebih tinggi, bersikaplah sedikit lebih angkuh, buat dia menyesal telah meninggalkanmu dulu,” jelas kakakku panjang lebar.
Bagaimana caranya aku bersikap lebih angkuh, sedangkan dia adalah atasanku. Terkadang ide kakakku ada rada-radanya juga.
“Tidak akan sulit bagimu bersikap seolah dia bukan siapa-siapa, kalian berpisah sudah hampir 10 tahun, lagi pula tidak ada ikatan yang akan membuat kalian saling mengingat kenangan itu, kalian juga tidak punya anak,” tambah kakakku.
“Sembunyikan ini dari Umi, jangan sampai Umi tahu,” pintanya.
“Kau paham kan?, Kakak tidak mau mendengar kalau kau benar-benar berhenti bekerja, pokoknya awas kalau hal itu benar terjadi, mencari pekerjaan susah,” ancam kakakku menutup pembicaraan.
Aku bertambah pusing, tetapi apa yang dikatakan kakakku ada benarnya juga. Mengapa harus aku yang terlihat kalah, yang lebih dahulu bekerja di sana kan aku.
Ayo Dita, kamu bisa. Bersikaplah seolah tidak pernah mengenalnya. Angkat dagumu dan angkuhlah. Mungkin angkuh yang dimaksud kakakku adalah tidak terlihat lemah.
Kali ini pikiranku sibuk memikirkan caraku bersikap menghadapi sang manajer itu. Bisakah aku menatap matanya dan berbicara biasa dengannya, hilangkan status yang pernah ada diantara kami berdua.
Kalau dia bisa mengapa aku tidak.
Tapi apakah aku bisa. Kemarin, hanya dengan melihatnya dari jauh saja aku sudah gemetaran. Aku menutup wajahku dengan bantal, seiring rasa pusing yang kembali menyerang.
***
#Bulan Maret 12 tahun yang lalu
Menjalani sesuatu yang tidak pernah ku lakukan sebelumnya ternyata membuatku terlena. Indahnya cinta pertama. Membuatku hanyut. Meskipun tanpa jawaban, Arif pun tahu kalau aku juga menyukainya.
Tidak ada hari yang tidak kami lalui bersama. Dimana ada Dita di sana ada Arif.
Seperti saat ini, aku sedang menyelesaikan tugasku di perpustakaan, dia juga ikut serta, meskipun tidak ada yang dikerjakannya. Kami duduk berseberangan. Dia terus menatapku, aku tetap fokus dengan tugasku. Beberapa siswa yang ada di perpustakaan yang melihat kami, mulai berbisik. Pasti mereka sedang menghujatku. Aku sudah mulai terbiasa.
Setelah lama, Arif tertidur dengan kepala tertopang di atas meja. Aku memperhatikannya. Mengapa dia sangat mudah tertidur, apa semalam dia tidak tidur, sebenarnya dia di rumah seperti apa, bagaimana dengan orang tuanya. Ada banyak hal yang membuatku penasaran tentangnya.
Saat aku sedang memperhatikan detail wajahnya yang tertidur, dia membuka mata. Aku kedapatan tengah memperhatikannya. Dia tersenyum melihatku yang salah tingkah dan pura-pura kembali fokus mengerjakan tugas.
“Ada apa?” tanyanya saat kami telah keluar dari perpustakaan. Dia sepertinya membaca pertanyaan yang menggantung di pikiranku.
“Mengapa kau selalu terlihat mengantuk?” ujarku.
“Karena saat malam hari, tidak ada tempat nyaman yang akan membuatku tertidur,” paparnya sambil terus tersenyum ke arahku.
Apa maksudnya dengan tidak ada tempat nyaman. Dia kan punya rumah. Aku semakin penasaran ingin mengenalnya lebih jauh. Bagaimana kehidupannya sehari-hari dan keluarganya. Mengapa sepertinya dia sama sepertiku, hidup tanpa cita-cita dan masa depan.
***
Aku tak berhenti dibuat melongo dan penuh takjub saat dia mengajakku ke rumahnya. Selama ini ku kira dia terkenal di sekolah karena berada pada kriteria tampan, tetapi ternyata tidak hanya itu, dia juga berada pada kriteria lain yakni kaya. Pantas saja cewek-cewek yang selama ini menaruh hari padanya memusuhiku habis-habisan.
Kalau di sekolah dia terlihat biasa, tidak seperti siswa terkenal lainnya, yang terlalu pamer kekayaan orang tua. Sehingga satu sekolah tahu kalau mereka anak orang kaya.
Ukuran rumahnya kira-kira 3 x lebih besar dari ukuran rumahku. Belum lagi segala isi dan perabotanya, yang tidak ku temui di rumahku. Aku semakin minder. Dan semakin yakin bahwa kisah ini hanya selingan sebelum kelulusan, pemanis masa remajaku yang selama ini hambar tidak ada kenangan apa-apa. Tidak mungkin untuk dilanjutkan setelahnya.
Tetapi rumah ini cukup sepi, hanya ada seorang wanita paruh baya, yang diperkenalkan Arif kepadaku sebagai asisten rumah tangga.
“Mamaku sedang bekerja di luar kota, pulang ke rumah hanya sebulan sekali, kakak laki-lakiku satu-satunya sedang kuliah, di luar kota juga,” jelasnya ketika aku sedang melihat sebuah foto keluarga berukuran besar, terpampang di ruang tamunya. Bukan foto keluarga sepertinya, karena tidak ada sosok pria yang dipanggil ayah atau papa di dalamnya.
Aku juga tidak mau bertanya, siapa tahu hal itu mungkin sangat bersifat pribadi.
“Kamu tidak bertanya dimana papaku?” tanyanya, ketika aku melihat foto keluarga yang janggal itu. Aku hanya diam sambil menatapnya.
“Papa sudah lama meninggalkan kami, dia menikah lagi.” Dia menjelaskan keberadaan papanya tanpa ku minta, ada kesedihan bercampur kebencian dalam nada bicaranya.
Tanpa banyak bertanya pun aku mulai tahu banyak tentangnya. Meskipun tidak kekurangan secara materi, sepertinya dia sangat kekurangan kasih sayang dan perhatian. Wajar saja hidupnya seperti tidak punya masa depan. Mamanya, sebagai orang tua tunggal, hanya bisa ditemuinya sebulan sekali. Itu pun juga hanya 2 hari. Karena mamanya seorang pegawai sebuah perusahaan BUMN yang memiliki keterikatan kerja.
Sehari-hari dia hanya diurusi oleh asisten rumah tangganya. Sepulang sekolah kalau tidak ada kegiatan dengan teman-teman, dia akan menghabiskan waktu bermain Play Station hingga larut malam di rumahnya. Inilah yang membuatnya selau terlihat mengantuk di sekolah.
Tidak ada tempat nyaman yang akan membuatnya tertidur? Sebenarnya bukan tempatnya, tetapi susananya. Rumah ini seperti istana, tapi terkesan horor karena sepi.
Tuhan memang Maha Adil menjadikan segala sesuatu. Dia diberi kelebihan harta yang melimpah, tetapi kekurangan kasih sayang. Sedangkan aku, kekurangan dalam hal harta, tetapi mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari Abah dan Umi serta keempat kakakku.
Melihat dia menjalani hidupnya, aku merasa kasihan. Sebenarnya sudah cukup baik dia bisa menjalani hidupnya sampai saat ini, setidaknya dia masih tetap datang ke sekolah dan tidak terlibat kenakalan remaja.
***
“Jadi selama ini kau bener-bener tidak tahu kalau hidupnya seperti itu.” Rara merasa heran saat ku ceritakan semuanya perihal Arif. Aku hanya menggeleng.
“Seharusnya aku wanita yang dipilih Arif, karena aku tahu segala tentangnya, mengapa wanita beruntung itu justru kamu” gumam Rara tertunduk lesu.
Aku tersenyum sendiri melihat ekspresi Rara. Rara memang fans fanatik Geng Bintang, dia selalu mencari tahu segala sesuatu tentang idolanya itu. Hanya aku yang selama ini tidak peduli.
“Bagaimana kelanjutan hubungan kalian setelah tamat nanti, apakah kalian akan kuliah di tempat yang sama? Karena sepertinya kalian tidak terpisahkan,” tanya Rara.
Aku menghela nafas mendengar pertanyaan Rara.
“Aku tidak akan kuliah, setelah tamat nanti aku akan menyusul kakakku ke kota,” ujarku.
“Kamu serius?” tanya Rara dengan nada berbisik dan antusias. Aku mengangguk.
“Aku akan mencari pekerjaan sementara, sebelum kakakku mencarikan jodoh untukku,” ucapku pasrah.
“JODOH?, KAU MAU DIJODOHKAN?” Suara Rara tiba-tiba meninggi saking kagetnya. Untung tidak banyak siswa lain di dalam kelas, karena sedang jam istirahat.
“Jodoh? Siapa yang akan menjodohkan Dita?” Arif tiba-tiba muncul dan menghampiri kami berdua.
“Jodoh Dita itu hanya aku,” katanya sambil memasang senyum termanis ke arahku.
Gubrak!, Rara pingsan di sampingku.
***
Telepon genggamku berbunyi nyaring beberapa kali. Aku meraihnya dari atas meja di samping tempat tidurku. Jam 4 sore, ternyata tadi aku ketiduran karena semalaman tidak tidur. Aku melihat panggilan masuk, ada 5 kali dan semuanya dari Yuga. Belum lagi pesan WhatsApp. Semuanya berisikan pertanyaan, “kakak dimana?”.
Bocah itu pasti sangat kehilangan, karena tidak melihatku seharian ini.
“Ta..., kamu sudah bangun.” Wajah Umi tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarku.
Umi menghampiriku dan meraba keningku dengan sayang. Aku menatap wajah wanita berusia 60 tahun itu. Aku begitu menyayanginya. Setelah Abah tiada, dialah satu-satunya yang kebahagiannya akan ku perjuangkan. Aku akan membuat Umi bahagia di penghujung usianya. Setelah cicilan rumah lunas akhir tahun ini, aku akan menabung untuk memberangkatkan Umi umroh ke tanah suci. Aku memeluk wanita itu.
Aku harus tetap bekerja, demi Umi.
“Di luar ada Yuga, dia mencarimu,” kata Umi.
Yuga? Dia pasti khawatir karena aku juga tidak menjawab panggilan telepon darinya.
Aku segera menemui Yuga setelah mencuci muka dan memakai hijabku. Aku mendapati Yuga sedang duduk di teras depan. Dia mungkin baru saja pulang dari kantor, dan langsung singgah ke rumahku, terlihat dari pakaiannya yang belum diganti. Melihat kemunculanku, dia bernafas lega, bahwa ternyata aku baik-baik saja.
“Kakak sakit apa?, mengapa tidak menjawab telepon dariku?” omelnya.
“Aku hanya sedikit pusing?” kataku, sambil memalingkan wajah, karena dia menatap wajahku lekat.
“Biasanya sesakit apapun, kakak akan berusaha untuk tetap bekerja,” ucapnya curiga.
Yuga benar, aku adalah tipe orang yang berdedikasi tinggi terhadap pekerjaan. Karena aku tahu sulitnya mendapatkan pekerjaan. Bisanya aku jarang sekali mangkir kerja, apalagi karena alasan sakit remeh seperti ini.
“Kakak ada masalah lain?” tanyanya penuh selidik. Aku menggeleng, dan terus menghindari tatapan mata tajamnya.
“Besok pagi kita berangkat bekerja sama-sama, kakak tunggu aku di sini,” ujarnya, sambil meletakkan sekantong cemilan untukku di atas meja. Dia beranjak pulang.
Disaat bersamaan dari pagar depan, datang kakakku dengan ketiga anakknya mengendarai motor. Yuga berpapasan dengan kakakku di pagar depan. Kulihat dia menyalami kakakku dan menyapa keponakan-keponakanku. Mereka memang sudah pernah beberapa kali bertemu, makanya terlihat akrab.
Rumah jadi langsung riuh dengan kedatangan ketiga keponakanku yang masih kecil-kecil, mereka langsung asyik bermain dengan Umi. Kakakku langsung mengajak bicara berdua saja.
“Bagiamana? Kau mendengarkan apa kata kakak kan?” tanyanya memastikan. Takutnya aku tetap dengan keinginanku untuk resign.
“Iya. Aku tidak akan berhenti,” ucapku mantap meskipun sisi lain hatiku masih menunjukkan keraguan, tentang bagaimana cara bersikap pada menajer baruku itu.
“Tunjukkan kualitasmu, jangan terlihat lemah dihadapannya. Kalau perlu buatlah dia menyesal telah meninggalkanmu 10 tahun yang lalu,” kata kakakku lagi.
Aku hanya tersenyum mendengar saran dari kakakku. Dia memang akhlinya dalam hal pembalasan. Aku masih ingat ketika beberapa tahun lalu, dia direndahkan keluarga suaminya, karena hanya bergantung hidup pada suami. Sekarang dia sudah menjadi ibu rumah tangga yang sukses, dia mengembangkan usahanya membuat aneka gorengan yang dijual di gerobak-gerobak di setiap persimpangan gang. Kakakku telah memiliki beberapa orang karyawan. Penampilannya juga langsung berubah, tidak lagi ibu rumah tangga berdaster, tetapi sudah mendekati gaya-gaya sosialita, meskipun sebagian besar barang yang dipakainya KW 2.
“Bagiamana hubunganmu dengan Yuga?” Kakakku tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
“Hubungan apanya?” tanyaku, tidak tahu arah pembicaraan kakakku.
“Jelas-jelas dia menyukaimu, segeralah menikah, lupakan masa lalumu,” saran kakakku sambil tersenyum nakal ke arahku.
“Kami hanya berteman, lagi pula dia lebih muda dariku,” ujarku.
“Tidak ada laki-laki dan perempuan yang benar-benar berteman. Apa salahnya dia lebih muda, yang penting dia menyukaimu,” imbuh kakakku lagi.
Meskipun sudah lama berlalu, tetapi untuk menikah lagi dalam waktu dekat, aku masih terlalu trauma. Dulu Arif juga sangat menyukaiku. Itu semua bisa dilihat dari tatapan matanya yang tidak pernah lepas dariku. Tetapi cinta dan suka saja ternyata tidak cukup untuk membuat kami bertahan. Aku tidak ingin pahitnya perpisahan terulang kembali.
Aku dan Yuga memang dekat, tetapi kami tida ada hubungan apa-apa. Hanya orang-orang di sekitar kami saja yang menyimpulkan berbeda. Karena Yuga selalu berada di sekitarku. Apalagi Yuga memang sering bercanda tentang akan menihahiku.
Bersambung #3
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel