Cerita bersambung
Aku mematut penampilanku di cermin sangat lama. Memperbaiki riasan wajahku beberapa kali. Biasanya aku ke kantor berdandan ala kadarnya. Kali ini entah mengapa aku begitu ingin terlihat sempurna. Bahkan sejak semalam aku sibuk membuka tutorial make up di YouTube, juga tutorial pemakaian hijab pasmina yang kekinian. Aku juga memilih sepatu dengan heels 5 cm, yang biasanya tidak pernah ku pakai.
Aku membolak-balikkan badan berberapa kali. Sampai benar-benar yakin dengan penampilanku. Tetapi setelah sadar dengan apa yang ku lakukan aku tertegun sendiri.
Apa yang aku lakukan? Untuk siapa aku terlihat sempurna? Mengapa aku harus melakukannya?
“Ta..., Yuga sudah menunggu,” teriak Umi.
“Iya, Umi,” jawabku sambil memandang sekali lagi ke arah cermin.
Tunjukkan kualitas mu Dita, bisikku. Tidak hanya kualitas kerja, tetapi juga penampilan, agar aku tidak terlihat begitu menyedihkan di hadapan manajer baru itu.
“Kakak dandan ya?” selidik Yuga saat aku menemuinya di pintu depan. Aku hanya menjawab dengan senyuman. Setelah salaman dan pamitan dengan Umi, aku terus berjalan, Yuga terlihat berlari kecil mengikuti langkahku. Dia terus saja beruasaha mendahuluiku, dan menatap wajahku, guna memastikan ada yang berbeda dengan wajahku pagi ini.
“Kakak pakai pemerah pipi?” tuturnya lagi, aku tetap tidak menjawab. Aku bergegas menuju halte, menunggu bus yang akan membawa kami ke kantor.
Sepanjang perjalanan di dalam bus, Yuga masih saja bertanya sambil terus memperhatikanku. Tidak ada satu pun pertanyaannya ku jawab, kecuali dengan senyuman.
Setelah bus berhenti di depan kantor, aku segera turun, diikuti Yuga. Aku memang kesulitan dengan sepatu yang kupakai, karena tidak terbiasa, meskipun hanya 5 cm. Aku hampir saja tersungkur di trotoar kalau saja Yuga tidak meraih tanganku, karena sepatu heels yang ku pakai.
“Kakak dandan untuk siapa?" Pertanyaan yang ku takutkan sedari tadi, muncul juga.
“Bukan untuk siapa-siapa,” elakku sambil terus berjalan.
Kami memasuki lobi kantor bersamaan dengan pegawai dan staf kantor lainnya. Saat akan menuju lift, aku menangkap sosoknya. Dia sudah berada di dalam lift, dengan dua orang pegawai lainnya. Sekilas ku lihat dia juga menatapku, dengan tatapan datar biasa saja. Aku mulai kehilangan kepercayaan diriku. Pintu lift masih terbuka, Yuga telah masuk duluan. Aku masih diam mematung, Yuga menahan pintu agar tidak segera menutup. Aku masih saja diam, dari belakangku beberapa orang mulai berdesakan masuk lift, hingga lift penuh. Sebelum pintu menutup, masih bisa kudengar Yuga mamanggilku.
“Kakaaak.”
***
Aku duduk di meja kerjaku, ada beberapa laporan yang harus aku kerjakan, yang kemarin sudah ditagih Niana. Aku harus fokus.
Baru saja akan memulai, manajer baru itu lewat di depan mejaku, meskipun memiliki pembatas, tetap saja dia terlihat. Dia menuju meja Boby rekan kerjaku yang lain, yang memang duduk beberapa meja dari mejaku. Seketika fokusku hilang.
Aku membutuhkan energi ekstra untuk tetap fokus.
“Bagimana keadaanmu?” Niana tiba-tiba muncul.
“Baik,” jawabku sambil tersenyum pada Niana.
“Mengapa kau terlihat berbeda hari ini." Niana menyadari perubahan penampilanku.
“Apa aku terlihat lebih cantik?” ucapkuku menggodanya. Dia mengacungkan dua jempol ke arahku.
“Nanti malam aku akan menjemputmu, kita pergi sama-sama,” ajaknya. Aku hanya terdiam, acara temu ramah.
“Jangan bilang kamu lupa,” hardiknya, saat melihat aku tidak merespon perkataannya. Aku menggeleng.
“Nanti malam, aku akan dandan yang cetar,” gumam Niana.
Entah apa yang ada di pikirannya, padahal dia sudah memiliki Lingga, pria yang menjadi tunangannya.
Temu ramah? Saling mengenal? Apa saja yang harus di katakan saat memperkenalkan diri nanti? Masalah baru kembali datang menggangu konsentrasiku bekerja.
***
#Bulan Mei 12 Tahun yang Lalu
Ujian Nasional baru saja selesai, tinggal menunggu hasilnya. Menunggu hasil kelulusan rasanya sangat mendebarkan, karena adanya batas kriteria kelulusan yang harus dicapai. Meskipun tidak akan melanjutkan pendidikan, ijazah sangat aku perlukan. Rasanya juga malu kalau termasuk siswa yang tidak lulus dan harus mengikuti ujian ulang.
Setelah tidak lagi sekolah, aku hanya di rumah. Membantu Abah memberi makan ayam. Abah beternak ayam potong sudah sejak lama. Tetapi Abah hanya membangun usaha mandiri. Tidak terikat dengan PT mana pun. Jadi skalanya juga kecil. Tidak seperti peternak lain di kampungku, yang bekerja sama dengan PT tertentu dengan sistem bagi hasil. PT menyediakan anakan ayam dan makanan serta obat-obatannya lengkap, sedangkan kita hanya menyediakan kandang dan merawatnya.
Aku baru saja kembali dari kandang ayam, yang memang berada tidak terlalu jauh dari rumah. Saat kudengar suara motor berhenti tepat di halaman.
“Arif,” ucapku tidak percaya. Bagaimana caranya dia menemukan alamat rumahku.
Sudah hampir seminggu kami tidak bertemu. Berkomunikasi lewat telepon genggam pun juga tidak pernah, karena aku tidak memilikinya.
Dia turun dari motornya dan tersenyum padaku.
“Aku rindu,” ujarnya. Hanya dua kata yang diucapkannya tetapi mampu membuat jantungku terasa dilanda gempa 9 Skala Reachter.
Umi muncul dari dalam rumah, melihat siapa yang datang. Abah juga datang di belakangku, Arif segera menyalami keduanya dan memperkenalkan diri. Ada tanda tanya menggantung pada tatapan mata Abah dan Umi tentang siapa tamu yang baru saja di salaminya.
Umi mempersilakan Arif masuk dan duduk di rumah kami yang sederhana. Aku sama sekali tidak malu, memang inilah kenyataannya. Dia juga tidak terlihat risih. Jika dibandingkan dengan kediamannya, bahkan rumah ini tidak bisa dibandingkan dengan dapurnya.
Arif mudah akrab dengan Abah, mungkin karena sudah lama tidak bertemu dengan sosok seorang Ayah. Abah pun juga terlihat tidak membatasi diri, mereka bicara seolah sudah kenal lama. Arif sangat sopan, dan jauh dari kesan sombong. Setiap kali melihatnya bicara dengan Abah dan Umi, kembali jantungku dilanda gempa.
Hari sudah hampir sore ketika Arif pamit pulang. Dia bahkan sampai pergi ke kandang ayam bersama Abah, entah apa saja yang dibicarakan dua pria itu seharian. Umi juga sudah menjamunya dengan makan siang. Seperti biasa dia makan dengan lahap, seperti tidak pernah bertemu nasi sebelumnya.
“Sebenarnya dia siapa, Ta?” Umi langsung menanyaiku, setelah motor Arif menghilang dari pandanganku.
“Teman, Umi,” jawabku. Sebagai orang tua yang memiliki lima orang anak gadis, tentu saja Umi tidak mempercayaiku.
“Hanya teman?” selidik Umi. Abah juga ikut menguping di belakang kami. Sepertinya Abah juga sangat penasaran.
“Teman dekat,” kataku akhirnya. Umi mengangguk.
“Umi tidak melarang kamu dekat dengan siapa pun, berteman boleh, tetapi ingat, harus jaga diri. Lagipula setelah kelulusan nanti kamu akan ke kota, mungkin kalian tidak akan bertemu lagi. Jangan membuat perasaan kalian akhirnya merasa tersakiti,” pesan Umi.
Aku hanya mengangguk. Umi benar. Secepatnya aku harus memberi tahu Arif tentang rencanaku setelah kelulusan. Aku juga tidak pernah bertanya tentang rencananya setelah ini. Tetapi aku yakin dia pasti akan melanjutkan pendidikannya.
***
Hampir setiap hari Arif datang ke rumah, bahkan terkadang tidak untuk menemuiku. Hanya menemui Abah dan Umi. Dia bisa menghabiskan waktu seharian dengan Abah di kandang ayam. Dia bahkan ikut membantu Abah memberi makan ayam. Abah sepertinya juga menyukai kehadiran Arif, mungkin karena tidak memiliki seorang anak laki-laki. Kehadiran Arif sedikit mengobati rindunya akan anak laki-laki.
Saking sayangnya terkadang Umi juga membungkuskan makan malam untuk dibawa pulang, tentu saja dengan masakan khas Umi, ayam goreng suir aneka sambal. Apalagi setelah kuceritakan tentang Arif, yang hidup sendiri tanpa orang tua, Umi bertambah iba.
***
Kelulusan baru saja diumumkan. Namaku dan Arif berada pada daftar siswa yang lulus. Begitu juga dengan Rara. Namun banyak juga yang tidak lulus, jika digabungkan keseluruhan kelas mungkin ada 35 orang atau satu kelas yang tidak lulus.
“Kamu akan kuliah dimana Rif,” celetuk Rara saat kami bertiga duduk di bangku taman di depan kelas.
Kami menyaksikan euforia, siswa-siswa yang lulus. Meskipun sudah diperingatkan untuk tidak mencoret-coret seragam, sepertinya mereka tetap merencanakan hal itu.
Arif tidak menjawab pertanyaan Rara, tetapi justru menatapku, dengan tatapan seolah bertanya aku akan ke mana.
“Aku akan ikut kemana Dita pergi,” jawabnya, dengan tatapan mata romantis yang tak beralih dari wajahku.
“Uuuu, sweet, bisakah kalian tidak mengoyak-ngoyak jiwa jombloku sehari saja,” protes Rara.
“Aku tidak akan kuliah,” kataku.
Hari ini aku memang akan menjelaskan semuanya kepada Arif. Sebab setelah ijazah diterima, aku akan langsung pergi ke kota, ke tempat kakakku.
“Lalu..?” selanya.
“Aku akan ke kota, mencari kerja di tempat kakakku,” jelasku.
“Bagaimana dengan aku?” tanyanya lagi, wajahnya terlihat murung, membayangkan perpisahan di depan mata.
“Tetaplah lanjutkan pendidikanmu, kejar apa yang ingin kau tuju,” kataku sok bijak.
“Mengapa baru memberi tahuku sekarang? potongnya dengan nada kecewa.
Rara yang juga ada diantara kami, mulai merasa tidak nyaman dengan bahan pembicaraan yang kami perdebatkan.
“Aku pergi dulu, sepertinya ada yang perlu ku hibur di sudut sana,” kata Rara, sambil menuju sekelompok siswa di depan ruang majelis guru. Kelompok siswa yang dinyatakan tidak lulus.
“Aku tidak punya tujuan lain yang ingin ku tuju, selain kamu.” Terkadang kata-kata yang diucapkannya mampu membuatku melayang bahkan sampai terantuk langit.
“Aku serius,” kataku.
“Aku juga serius,” tegasnya.
***
Aku kembali menatap diriku di depan cermin, sambil menunggu Niana datang menjemputku. Semoga dandananku tidak terlalu berlebihan untuk sebuah acara makan malam bersama, sambil temu ramah, yang kata Niana disebuah restoran mewah bintang lima.
Aku melewati hari ini dengan cukup baik, meskipun terkadang tetap berdebar dan gemetaran saat menatapnya. Tetapi setidaknya aku sudah mulai fokus bekerja, meskipun aku selalu menghindari berpapasan langsung dengannya.
Niana datang menjemputku dengan mobilnya, melihat dandanan Niana, aku merasa tidak ada apa-apanya. Dia seperti seorang selebritis yang akan menghadiri acara penghargaan, dan namanya ada dalam daftar nominasi.
Dalam perjalanan, notifikasi WhatAppku terus berbunyi. Dari siapa lagi kalau tidak dari Yuga.
[kakak, jangan dandan terlalu cantik]
[kakak, jangan pulang terlalu larut]
[kakak, jangan sampai tergoda manajer baru itu]
Semua pesannya selalu diakhiri dengan emoticon hati berwarna ungu. Pesan terakhirnya membuatku tertawa sendiri.
Sesampainya di restoran, rupanya sudah banyak yang datang, semua staf di bagian pemasaran ada 25 orang, sepertinya tidak ada yang tidak hadir. Dari penampilan mereka, sepertinya memang telah mempersiapkan acara temu ramah ini dari jauh-jauh hari. Terutama yang wanita.
Aku memandang sekeliling, mencari sosok yang punya acara. Setidaknya untuk memastikan tempat dudukku tidak berdekatan dengannya. Aku tidak melihatnya. Niana juga sedang melakukan hal yang sama denganku.
“Tampan nyaaa,” Niana tiba-tiba bergumam.
Aku mengikuti arah pandangan mata Niana. Sudah bisa ditebak dia terpesona oleh siapa. Manajer kami itu sedang bicara dengan cheff pemilik restoran ini. Penampilannya memang berbeda, karena tidak sedang memakai stelan jas seperti biasanya. Aku akui dia memang jauh lebih tampan dan dewasa dibanding dulu. Aku duduk di tengah-tengah deretan para staf wanita, sedangkan Niana mencari tempat duduk terdekat dengan sang manajer.
Restoran ini memang sudah khusus dipesannya malam ini, buktinya susunan mejanya juga lain dari biasa, dibuat menyatu dalam bundaran. Dan tidak ada pelanggan lain yang datang kecuali kami.
Aku dan rekan kerja wanita yang duduk disampingku, memperhatikan buku daftar menu. Semuanya menggunakan bahasa asing. Aku hanya memesan makanan yang cukup familiar ku dengar. Setelah semuanya memesan makanan, dihadapan kami semua kepala cheff dan beberapa rekannya itu langsung beraksi. Aku menyaksikan pemandangan yang bisanya hanya ku lihat di ajang acara lomba masak di TV. Mereka benar-benar profesional, inilah yang membuat makan di restoran ini mahal. Kalau dinilai dari porsinya, jauh menang porsi makanan yang dijual di tenda-tenda pinggir jalan.
Makan dengan table manner, aku bahkan harus mencari segara aturannya di Google, agar tidak terkesan terlalu memalukan dan udik. Tetapi sepertinya makan malam kali ini tidak memakai aturan itu, kulihat rekan kerjaku yang pria, makan tanpa aturan seolah sedang berada di rumah masing-masing.
Tetapi yang wanita, kulihat semua makan memakai aturan terutama yang berstatus single. Kentara sekali kalau mereka sedang mencari perhatian. Mereka makan dengan malu-malu dan seperti tidak sedang selara makan, sangat takut sekali kedapatan sedang membuka mulut dengan lebar. Aku jadi tersenyum sendiri melihat tingkah mereka. Sepulang dari sini, aku yakin mereka akan singgah dulu di rumah makan padang, memesan nasi dengan dua lauk sekaligus, karena kelaparan.
Aku cukup menikmati makan malamnya. Karena sangat ramai, jadi aku bisa menyembunyikan diriku dari tatapan mata manajer kami itu. Tetapi yang membuatku tidak nyaman adalah bagian perkenalan nanti setelah acara makan. Memperkenalkan diri sedetail mungkin, agar antar tim semakin solid, itulah inti dari acara ini.
Sambil menikmati hidangan penutup, acara inti dibuka oleh sang manajer, aku mulai merasa tidak nyaman.
“Terima kasih atas kehadiran teman-teman semuanya, saya minta maaf telah mengganggu rencana malam minggu teman-teman semua dengan hadir di sini. Acara ini dalam rangka mempererat silaturrahmi antar kita. Karena saya masih baru, jadi saya ingin mengenal teman-teman semuanya lebih dekat lagi. Kalau dilakukan di kantor, saya takut suasananya akan kaku, saya ingin diperlakukan seperti seorang teman,” katanya membuka acara.
“Saya ingin tahu segala informasi tentang teman-teman, walaupun nanti saya tidak ingat semuanya, setidaknya saya pasti akan mengingat alamat tempat tinggal dan status,” tambahnya lagi.
Status? Aku harus menyebutkan statusku apa nantinya? Single atau janda? Kalau aku sebutkan pilihan yang ke dua pasti semuanya akan melotot tidak percaya, sebab selama ini yang mereka tahu aku masih gadis dan single. Kalau aku katakan aku masih gadis dan single bagaimana kalau tiba-tiba dia menyanggah, “jangan lakukan kebohongan publik”. Tetapi kurasa dia tidak akan melakukannya.
Perkenalan dimulai dari kelompok pria. Mereka menyebutkan semua identitas yang melekat pada diri mereka, tidak ada yang disembunyikan. Justru ada sebagian yang mendramatisir kondisi rumah tangganya, seperti Boby yang mengatakan bahwa karena memiliki 5 orang anak yang lahir susun paku, jadi dia ikut membantu sang istri di pagi hari mempersiapkan segala keperluan anak yang akan berangkat sekolah, ini adalah alasan yang membuatnya sering terlambat.
“Jadi kalau saya terlambat, mohon Bapak mentoleransi saya,” pinta Boby. Semua tertawa, mendengar kejujurannya. Ternyata ajang ini dimanfaatkan oleh Boby untuk kepentingan pribadinya. Sang manajer tersenyun.
“Saya akan mentoleransi, asalkan jangan tiap hari. Karena siapa tahu saya juga akan berada pada posisi Pak Boby suatu saat. Saya juga berharap kelak memiliki banyak anak, sebanyak yang bapak punya,” katanya.
“Mmmm, so sweet,” ucap beberapa wanita hampir bersamaan. Dia masih sama seperti dulu, paling akhli membuat perasaan wanita campur aduk dan baper.
Perkenanalan berlanjut, sekarang sudah pada deretan wanita. Sebagian besar mereka memperkenalkan diri dengan status single. Kecuali bagi yang benar-benar telah menikah dan memiliki anak.
Bagi yang nyata-nyata telah memiliki tunangan atau pacar, ketika menyebutkan statusnya single, langsung di sanggah oleh kelompok pria.
“Tidak usah malu, akui saja, lagian kalian bukan tipenya Pak Arif,” cecar Boby yang memang suka bicara asal ceplos.
Hampir sampai pada giliranku, ingin rasanya memiliki kekuatan menghilang, menghilang sesaat, sampai giliranku terlewati.
“Next, Pramudita,” ucap Niana yang sedari tadi memang bertingkah seolah sebagai pembawa acara. Dia duduk tepat di samping sang manajer. Gadis itu tidak berhenti tersenyum manis sedari tadi.
Aku mengatur napas, dadaku mulau bergemuruh, rasa gugup mulai menghampiri. Dengan tatapan lurus ke depan, ke arah kelompok para pria, aku seolah memperkenalkan diriku pada mereka, tanpa menoleh ke arah manajer.
“Aku Dita, lengkapnya Pramudita, usiaku 30 tahun. Aku anak bungsu dari 5 bersaudara, sudah bekerja di perusahaan selama kurang lebih 5 tahun. Hobiku nonton drama, aku tinggal di komplek perumahan Talao Land. Status single.”
Semoga tidak ada yang nyinyir bertanya. Aku berharap Niana segera mengatakan “next”.
“Yuga, mau dikemanakan, Dit?” sela seorang temanku dari kelompok pria. Semua orang di kantor memang tahunya aku dan Yuga ada sesuatu, karena kami selalu terlihat bersama. Aku hanya diam. Ayolah, jangan diperpanjang lagi.
“Akui saja jika memang itu kenyataannya.” Tanpa ku sangka kali ini sang manajer yang berkomentar. Aku memandang ke arahnya, dia tersenyum, entah apa arti senyumannya.
Niana membaca suasana hatiku, yang tidak ingin berlama-lama dan fokus padaku.
“Kita berdo’a saja semoga segera ada kabar baik dari Dita dan Yuga. Next,” ucap Niana.
Aku bernafas lega. Akhirnya terlewati juga.
Setelah semuanya selesai memperkenakn diri, termasuk Niana. Tinggallah yang ditunggu-tunggu semua gadis di ruangan ini. Saatnya sang manajer yang akan memperkenal dirinya. Dan tentu saja bagian yang paling ditunggu adalah tentang statusnya. Aku juga penasaran, dia akan memperkenalkan statusnya sebagai apa.
“Aku, Arif Muhammad usia 30 tahun. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Hoby sampai sekarang masih main game,” katanya singkat.
Semua menunggu sambungan selanjutnya, tetapi dia berhenti sampai di sana. Menimbulkan rasa penasaran luar biasa di kalangan para wanita.
“Status?” Akhirnya Niana memberanikan diri untuk bertanya.
“Status..., Duda,” jelasnya datar.
=====
“Status...Duda,” jawabnya datar.
Aku yang sedang memimum air, hampir saja menyemburkan kembali air dari mulutku ke wajah Boby, yang memang tepat duduk di depanku. Semua orang dalam lingkaran meja itu diam sejenak, dengan pandangan mata fokus ke sang manajer. Semua wanita yang sedari tadi sangat menunggu sang manajer mengungkapkan statusnya, diam tanpa suara, entah apa yang ada di pikiran mereka sekarang, bisa jadi kecewa atau bahagia karena ternyata dia belum punya istri, tunangan atau pacar, meskipun berstatus duda. Niana yang berada tepat disamping sang mananjer langsung merubah ekspresi dan menggeser tempat duduknya menjauh, dia pasti merasa telah berdosa mengkhianati Lingga. Para pria pun tidak kalah kagetnya, dari raut wajah mereka, sepertinya mereka sama sekali tidak percaya.
Dia memang tetap sama seperti dulu, susah di tebak dan penuh kejutan.
“Aaa, ternyata Bapak bisa bercanda juga.” Boby memecah keheningan, sambil tertawa, diikuti pria lain.
“Tetapi Bapak gagal bercandaan kita, lagipula siapa yang percaya kalau semuda Bapak sudah duda,” tambah Boby lagi, yang langsung disambut anggukan dari kelompok wanita. Mereka juga berharap ini hanya candaan.
“Saya serius,” katanya.
Mendengar jawabanya, justru sekarang aku yang panas dingin, bagaimana kalau dia akan membuka semuanya. ‘Saya duda sejak 10 tahun yang lalu, saya langsung menikah setelah tamat SMA, mantan istri saya juga ada di ruangan ini’. Aku tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi. Mungkin kejadian di ujung masa SMA akan terulang lagi, aku akan menjadi pusat perhatian dan bersiap jadi musuh teman-teman wanita di ruangan ini termasuk Niana. Dan juga siap untuk dibenci semua rekan pria juga karena selama ini melakukan kebohongan publik. Aku kembali meneguk air dari gelas yang sedari tadi masih dalam genggamanku, tanganku mulai bergetar.
“Mungkin sulit dipercaya, tetapi saya memang duda, duda sejak 10 tahun yang lalu, saya langsung menikah sejak lulus SMA, mantan istri saya...” Persis perkiraanku. Aku langsung meneguh habis air dalam gelas. Pasrah.
“...dan saya sekarang sudah punya kehidupan masing-masing,” jelasnya sambil tersenyum.
Tetapi tidak ada satu pun yang membalas senyumannya. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya aku yang terlihat lega mendengar ucapan terakhirnya. Terima kasih untuk tidak membuatku mendadak populer.
“Ada apa? Mengapa semua diam?” ujanya. Karena susana hangat yang tadi tercipta saat perkenalan berubah hening seperti saat pemakaman.
Ratusan pertanyaan mungkin sedang menari dipikiran mereka, terutama wanita. ‘Mengapa dia begitu cepat menikah? Apa karena terlibat pergaulan bebas, sehingga harus menikahi pacarnya yang telah hamil? Mengapa mereka akhirnya memutuskan bercerai? Seperti apa sosok wanita yang pernah jadi istrinya itu? Dimana mantan istrinya itu sekarang?’. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, pasti mendominasi.
“Mungkin para wanita ini cuma shock Pak, tidak menyangka kalau Bapak seorang duda. Tidak ada salahnya kan dengan status duda? Apalagi dudanya duda keren,” seru seorang rekan priaku yang lain, kembali berusaha mengembalikan mood para wanita.
Sebagian memang meng-iyakan, mungkin mereka berpikir, apalah arti status, lagi pula semuanya sudah masa lalu. Tetapi sebagian lagi hanya diam, mungkin karena terlalu kecewa, termasuk Niana, yang kecewanya sudah masuk level jijik, sebab ku lihat dari tadi dia berusaha untuk terus menjauh, tidak seperti diawal tadi yang selalu berusaha memperkecil jarak tempat duduk anatara dirinya dan sang manajer.
Makan malam yang awalnya bertujuan untuk mempererat hubungan dan kekompakan sesama tim, sepertinya tidak berjalan sesuai harapan.
“Kamu tunggu di depan, aku ambil mobil dulu,” ucap Niana saat kami berajalan menuju keluar restoran.
Dari nadanya dia terlihat sangat-sangat kecewa. Dia pasti akan menyesali semuanya sekarang, dandanan super mewah, baju, sepatu dan tas baru yang dia beli hanya untuk makan malam ini, dan tentu saja menyesal telah berencana mengkhianati tunangannya.
Rekan kerja wanitaku yang lain terdengar heboh saat menuju pintu depan, dan tentu saja topiknya adalah manajer kami. Saat di dalam ruangan mereka hanya diam melongo, setelah jauh dari sang manejer, segala pertanyaan dan pernyataan yang tadi menggantung dan menari di pikiran mereka seolah ingin mereka lepaskan.
Aku menunggu Niana di depan restoran yang memang langsung berbatasan dengan jalan raya. Teman-teman yang lain sudah pulang. Manajer kami masih ada di dalam restoran, mungkin menyelesaikan semua pembayaran.
Aku terus menunggu Niana yang kunjung datang. ‘Bukankah parkirannya hanya di lantai dasar? Mengapa dia begitu lama?’. Aku mulai gusar, karena dari dalam restoran ku lihat manajer kami itu sedang melangkah ke luar. Aku berjalan ke sisi kiri, menjauh dari pintu masuk, sambil mengamati jam tanganku. ‘Kemana gadis itu? Apa dia melupakanku karena terlalu kecewa? Nianaaa...’ aku mengumpat gadis itu habis-habisan.
Aku mengambil telepon genggamku dan menghubungi nomor gadis itu. Panggilanku tidak di jawab. Aku coba hubungi berkali-kali tetap tidak di jawab. ‘Niana benar-benar sudah gila’. Malam sudah sangat larut, gadis itu benar-benar telah amnesia meninggal kan ku sendiri di sini.
Aku semakin canggung, karena hanya ada aku dan sang manajer di depan restoran itu. Dan jarak kami hanya 3 meter. Kulihat dia juga sibuk dengan telepon genggamnya, mungkin sedang menunggu sopirnya.
Aku kembali menghubungi Niana, tetap gadis itu tidak menjawab panggilanku. Aku mencari nomor lain yang bisa ku hubungi, kandidatnya hanya Yuga, tetapi akan butuh waktu lebih lama lagi menunggu dia datang, dan sekarang bisa saja bocah itu telah tidur. Aku membuka aplikasi taksi online di telepon genggamku. Ya, aku bisa pulang dengan taksi.
Aku menatap ke arah manajerku yang juga masih berdiri di tempatnya. DEG. Disaat bersamaan dia juga sedang menatapku. Persaaanku benar-benar kacau, tidak bisa dijelaskan, canggung, gemetaran, dan ingin segera menghilang. Aku segera mengalihkan pandangaku ke ujung jalan, pura-pura mencari taksi online yang padahal belum sempat ku pesan, karena jemariku juga sulit dikendalikan, karena grogi.
Aku makin panas dingin ketika sudut mataku menangkap sang manajer berjalan ke arahku. ‘Apa yang akan ku lakukan?’. Jempolku yang tengah mengutak atik telepon genggam semakin gemetaran tak karuan. Dia semakin mendekat. Oh Tuhan, aku belum siap jika harus berbicara dengannya. Aku memejamkan mata, berharap ini hanya ilusi atau mimpi. Sekarang jarak kami semakin dekat, tinggal beberapa langkah lagi. Aku terus berdo’a di dalam hati, semoga seseorang segera datang. Siapa saja, tukang ojek online, taksi online atau abang-abang penjual makanan keliling.
Dari jauh ku dengar suara motor, dan suara itu semakin mendekat.
“Kakaak, maaf ya aku lama,” sebuah suara menyapa. Suara yang memang sangat akrab dikupingku.
Aku membuka mataku, mendapati Yuga tersenyum ke arahku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung duduk di boncengan motor maticnya.
“Ayo cepat, ini sudah sangat larut,” bisikku dengan gigi di katupkan.
Aku tidak mampu menatap sang manajer, yang sepertinya tiba-tiba saja sibuk bicara dengan seseorang lewat telepon genggamnya.
“Oh, iya.” Yuga langsung memacu motornya. Aku bahkan belum sempat memakai helm yang disodorkannya padaku.
Ketika tepat di depan sang manajer, Yuga membunyikan klakson motornya, tanda menghormati. Manajer itu terlihat mengangguk. Aku dan Yuga semakin menjauhi manajer itu, dari kaca spion ku lihat dia sama sekali tidak berbalik, menoleh ke arahku. Terus sibuk dengan lawan bicara di telepon genggamnya.
Sepanjang jalan tidak hentinya aku menghela napas lega, seolah baru saja lepas dari marabahaya. Aku bahkan sampai lupa menanyakan, dari mana Yuga tahu kalau aku masih di depan restoran, karena ditinggalkan Niana. ‘Uuuh, Niana’. Kekesalanku pada gadis itu semakin memuncak sampai ke ubun-ubun. Dia telah membuatku berada pada posisi sulit baru saja.
“Sepertinya kakak mulai akrab dengan manajer baru itu,” selidik Yuga sambil tetap mengendarai motornya dengan kecepatan sedang.
Aku hanya diam. Tidak mengomentari perkataan Yuga, seolah tidak mendengar.
“Mengapa kakak bisa tinggal berdua saja dengan manajer itu tadi? Teman kakak yang lain mana?” Yuga kembali bertanya. Aku masih saja diam.
“Kakak.” Yuga terlihat kesan, karena aku tetap diam.
Yuga menghentikan motornya. Jalanan memang sudah mulai sepi, sekarang sudah lewat tengah malam. Aku turun dari motor, dan mengosokkan kedua telapak tanganku, aku kedinginan, karena udara malam semakin dingin dan aku sama sekali tidak memakai baju tebal. Perhatian Yuga sedikit teralihkan, dia segera membuka jok motornya, dan mengeluarkan sebuah switer miliknya dan menyodorkan ke arahku.
“Ayo, kita jalan lagi,” ajakku.
“Kita tidak akan pulang sampai kakak jawab pertanyaanku,” nada suaranya seperti seseorang yang sedang cemburu. Aku tersenyum.
“Pertanyaan yang mana?” kataku lagi, pura-pura lupa.
“Mengapa kakak bisa tinggal berdua saja sama manajer itu? Teman kakak yang lain mana?” ulangnya.
“Teman yang lain sudah pulang duluan, kakak sedang menunggu Niana, tetapi gadis jahat itu tidak kunjung datang. Dan manajer tadi juga sedang menunggu sopirnya yang akan datang menjemput,” jelasku.
“Kalian berdua akrab?” selanya. Mengapa dia bertingkah seperti suamiku sekarang.
“Ya, tentu saja tidak. Dekat dari mana? Kami saja tidak saling bicara,” bantahku sambil tertawa. Yuga terlihat lega.
“Kamu tahu dari mana kalau kakak belum pulang?” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Ooh itu, Niana yang menelepon, dia bilang harus segera menemui Lingga, jadi dia tidak sempat mengantar kakak pulang,” terang Yuga.
Aku yakin sekali, gadis itu berusaha menebus kesalahannya. Sudah jelas dia memiliki tunangan yang sempurna baiknya seperti Lingga, masih saja disia-siakan.
“Ayo kita segera pulang, mungkin Umi sudah mencemaskan kakak sekarang,” kata Yuga lagi, sambil meraih helm yang masih ku pegang. Dia memasangkannya di kepalaku. Aku harus menengadah agar bisa menatap wajahnya. Dia masih tetap saja manis.
“Kakak tidak boleh dekat dengan pria manapun. Cukup tunggu aku saja. Sampai aku mapan, aku akan segera melamar kakak.”
Di bawah remang-remang lampu jalanan, dia menatap mataku lekat. Aku jadi salah tingkah. Bocah itu mulai gombal lagi.
***
#Bulan Juli 12 tahun yang lalu
Semenjak ku utarakan niatku untuk segera pergi ke kota setelah ijazah diterima. Arif seperti tidak ingin melepaskanku. Setiap hari dia selalu datang ke rumahku. Ada saja yang dilakukannya bersama Abah. Dia bahkan tidak canggung minta dimasakkan sesuatu kepada Umi. Tetangga kiri kanan mulai rusuh membicarakan kami. Karena terkadang Arif bisa sampai larut malam berada di rumahku. Meskipun tidak pernah berduaan, selalu bersama Abah dan Umi, namun hal itu tetap saja janggal.
Aku sama sekali tidak bisa menolak kehadirannya. Begitu juga dengan Abah dan Umi. Meskipun ku tahu, dalam waktu dekat semuanya akan ku akhiri.
Melalui pesan berantai yang ku dapat dari teman-teman, hari ini kami dapat mengambil ijazah di sekolah. Inilah harinya.
Aku baru saja keluar dari ruang kantor majelis guru, mengambil bukti pendidikan tertinggiku itu. Ku langkahkan kakiku menelusuri setiap sudut sekolah, bisa jadi ini untuk yang terakhir kalinya. Kakak tertuaku telah menelepon berkali-kali lewat telepon genggam tetangga, menyuruhku untuk segera menyusulnya ke kota. Kebimbangan mulai menyapa. Bagaimana dengan Arif. Aku memang selalu meneguhkan hati dan perasaanku untuk tidak larut dengan perasaan ini, tetapi keberadaannya yang setiap saat ada di sekitarku membuat ku mulai goyah.
Aku sampai di depan perpustakaan. Aku kembali ingat saat pertama kali kami bertemu. Andai saja aku tidak terlalu baik, mau menolongnya kala itu. Mungkin sekarang aku tidak berada dalam kebimbangan. Setelah tamat SMA, ijazah di terima, aku akan langsung melangkah mantap menuju kota, menemui jodohku seorang karyawan pabrik yang akan dicarikan kakakku. Menjadi ibu rumah tangga dan hidup bahagia.
Tetapi keadaannya lain sekarang. Aku merasa berat meninggalkannya. Apalagi setelah dia mengatakan dia tidak punya tujuan lain yang akan ditujunya, selain aku.
Aku berdiri di depan jendela kaca, dimana pertama kali aku melihat wajahnya waktu itu. aku tidak melihat siapapun disana kecuali pantulan wajahku sendiri. Aku mencoba mengingat kembali runut cerita, awal kisah kami.
Aku baru saja akan melangkah pergi, namun langkahku terhenti, ketika kutangkap bayangan wajahnya di kaca jendela yang sedari tadi ku pandangi. Arif.
Aku membalikkan badan dan menatapnya, dari mana dia tahu aku di sini.
“Jangan pergi ke kota, tetaplah di sini,” pintanya.
“Tapi aku harus mencari pekerjaan di kota,” ujarku.
“Jangan bohong. Rara sudah menceritakan semuanya, tentang keinginanmu menikah muda dan akan dicarikan jodoh oleh kakakmu di kota,” selanya lagi.
Sebenanya hari ini aku memang akan menjelaskan hal itu kepadanya.
“Itulah yang ingin ku katakan hari ini. Kita akhiri saja semuanya di sini, di tempat pertama kali kita dipertemukan. Hubungan kita layaknya hanyalah sepenggal kisah pemanis cerita masa SMA. Tidak akan bisa diteruskan,” kataku.
Kata-kata menyakitkan yang memang telah ku susun sedekian rupa sejak semalam, akhirnya terucap. Meskipun menyakitkan tetapi harus aku ucapkan. Aku tidak melihat masa depanku bersamanya. Aku tidak punya cita-cita lain selain menikah muda, sedangkan dia, dia masih punya masa depan yang panjang. Meskipun dia mengatakan tujuannya hanyalah aku, orang tuanya tentu tidak menginginkan itu. Jadi jalan terbaiknya memang harus diakhiri. Aku bisa melihat, garis takdir kami ibarat dua garis sejajar yang tidak akan pernah bertemu.
Dia terdiam mendengar semua perkataanku. Ku lihat kedua matanya mulai berkaca-kaca. Inilah yang selama ini di takutkan Umi, pada akhirnya akan ada yang tersakiti.
“Kejarlah mimpimu sejauh mungkin, masa depanmu masih panjang. Lupakan saja aku, anggap saja kita tidak pernah bertemu sebelumnya,” tambahku lagi sok bijak. Padahal hatiku sendiri teriris. Kali ini justru mataku yang mulai berkaca.
“Tidak,” tukasnya. Dia menatap mataku dalam dan meraih kedua tangaku.
“Kita menikah saja,” tambahnya.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel