Cerita bersambung
Minggu pagi saat sarapan bersama Ummi notifikasi WhatsAppku berbunyi bertubi-tubi. Saat kulihat ternyata ada grup baru, adminnya Niana, dan namanya ‘Hanya Kita-Kita’. Anggotanya semua staf pemasaran kecuali sang manajer. Baru saja dibuat grup ini sudah dipenuhi ratusan pesan, dan tentu saja pembahasan mereka adalah sang manajer. Status sang manajer yang membuat mereka shock semalam. Tidak hanya wanita yang ikut menulis pesan, para pria pun ikut meramaikan grup ghibah itu. Aku tidak menulis apa-apa, hanya membaca saja, aku masih kesal dengan Niana.
Seperti dugaanku, sebagian besar dari mereka berpikir negatif tentang pernikahan sang manajer yang berlangsung di usia muda.
[Aku yakin sekali dia terlibat pergaulan bebas, seperti kebanyakan anak muda zaman sekarang, jadi dia terpaksa menikahi pacarnya yang telah hamil duluan. Ihh jijik]
Kata Niana memprovokasi, emotikon muntah diakhir pesannya menggambarkan kalau gadis itu benar-benar sangat membenci sang manajer sekarang.
Pesan Niana ditanggapi dengan jempol oleh sebagian teman wanitaku.
[Tetapi dia tidak ada membahas tentang anak] timpal yang lain.
[Mana mungkin dia mau membahas hal itu. Setelah menikah dia mungkin langsung menceraikan wanita itu. Karena dia kaya, dia bisa melanjutkan pendidikannya, hingga bisa sesukses sekarang. Kasihan ya mantan istrinya.]
Tambah Niana lagi.
[Anak Sultan mah bebas] timpal yang lain.
Semakin lama komentar mereka semakin tak ketulungan. Ingin rasanya meluruskan persepsi mereka tentang hal yang sebenarnya. Tetapi itu sama saja aku menggali kuburanku sendiri.
Ku abaikan percakapan dalam grup yang semakin seru itu. Tetapi pesan terbaru Niana membuatku tercekat.
[Aku akan mencoba mencari tahu masa lalunya. Menelusuri keberadaan mantan istrinya]
Benar-benar tidak punya kerjaan ni anak. Apakah ini penting? Aku tidak bisa bayangkan, ketika hasil penelusuran Niana akan mengarah padaku.
Fix, kacau sudah, semuanya.
***
#Bulan Agustus 12 Tahun yang Lalu
Setelah Arif mengajakku untuk menikah di depan perpustakaan kala itu, semua perencanaan hidupku kacau. Aku batal berangkat ke kota. Awalnya ku kira dia hanya bercanda. Tetapi ternyata dia serius. Bahkan dia berani menyatakan niatnya dihadapan Abah dan Ummi.
“Apakah kamu sudah berfikir matang ? Menikah itu tidak mudah, jangan hanya menurutkan perasaan cinta yang menggebu saja. Kamu masih muda, lanjutkan dulu pendidikanmu, cari pekerjaan. Orang tuamu juga tidak akan setuju dengan pilihanmu ini,” ucap Abah.
“Saya sudah berfikir matang Bah, saya yakin ini pilihan terbaik bagi saya. Soal mama, saya akan menjelaskan padanya nanti. Saya tidak ingin kehilangan Dita,” jawab Arif sungguh-sungguh.
“Dita bisa menunggu kamu, jika itu yang kamu takutkan,” ujar Abah.
“Selagi kamu kuliah, Dita bisa mencari pekerjaan di kota. Setelah itu kalian bisa menikah,” tambah Abah.
“Saya tidak bisa Bah. Saya tidak bisa jauh dari Dita,” tukasnya.
Abah hanya geleng-geleng. Aku yang duduk di samping Ummi sempat terharu, sedemikian besarnyakah cintanya padaku. Sehingga tidak ada hal lain yang dipikirkannya selain aku.
“Bagaimana caramu menafkahi Dita, laki-laki bertanggung jawab terhadap kehidupan istri dan anak-anaknya kelak,” kata Abah lagi.
“Saya akan bekerja apa saja, saya akan bantu Abah di kandang ayam.” Pemikiran yang sederhana. Dia begitu yakin. Tetapi Abah tidak yakin. Selama ini Arif terbiasa hidup senang, apakah mungkin dia bisa melakukan pekerjaan apa saja?
Pembicaraan malam itu berakhir tanpa keputusan. Abah memberi waktu berfikir bagi Arif kembali. Dan juga Abah ingin Arif membicarakan semua dengan orang tuanya terlebih dahulu.
***
Aku sendiripun juga galau. Setelah batal berangkat ke kota. Fokus tujuan hidupku menjadi tidak jelas. Menikah muda dengan Arif, aku juga menginginkannya. Karena aku juga mencintai Arif. Tetapi sepertinya ini tidak akan mudah, seperti kata Abah. Apalagi orang tua Arif pasti tidak akan menyetujuinya.
Bagi Ummi sebenarnya tidak masalah jika aku menikah dengan Arif sekarang, dari pada terus bersama-sama tetapi status tidak jelas, hanya menambah dosa saja.
“Ummi sebenarnya setuju saja kamu menikah dengan nak Arif sekarang, soal nafkah mah bisa dicari bersama. Kamu sama Arif bisa tinggal disini, selagi Ummi sama Abah makan, kalian juga bisa makan,” ucap Ummi.
Tetapi Abah berfikir tidak sesederhana itu.
Semua kakakku juga berpikiran sama dengan Abah. Bahkan kakak tertuaku, lantang menyuarakan penolakan. Dia tetap membujukku untuk mengikutinya ke kota.
“Jangan hanya menurutkan cinta sesaat. Kamu tidak akan hidup dengan cinta. Memang dia anak orang kaya, tapi kamu tidak akan bahagia dengan harta mertua, apalagi sekarang aku yakin sekali orang tuanya tidak akan merestui hubungan kalian. Realistis saja, kamu akan kakak carikan jodoh disini, yang walaupun cuma karyawan pabrik, setidaknya dari segi usia dia dewasa, bisa membimbing kamu dan menafkahi kamu,” jelas kakakku yang menelpon waktu itu lewat telepon genggam tetangga.
Bahkan dia mengancam tidak akan pulang menyaksikan pernikahanku, jika hal itu benar terjadi.
***
Setelah pembicaraan dengan Abah malam itu. Arif memang tidak datang lagi ke rumah seperti biasanya. Aku sangat yakin mamanya sangat tidak setuju dengan keputusannya. Orang tua mana yang akan mengizinkan anak laki-lakinya menikah terlalu muda, apalagi mereka berasal dari keluarga kaya yang berpendidikan. Mereka pasti menginginkan masa depan yang baik untuk anak-anak mereka.
Aku menghela napas. Arif mungkin menyerah sekarang. Seperti dugaanku ini tidak akan berhasil.
Aku baru saja kembali dari dari kedai grosir barang harian yang berada di gang depan. Membeli beberapa keperluan sehari-hari yang diminta Ummi. Sebuah mobil berjalan lambat mengiringiku dari belakang. Aku semakin menepi. Mobil itu berhenti di depanku. Dari dalam mobil keluar seorang wanita paruh baya, kira-kira berusia 50 tahun, namun masih terlihat cantik dan muda. Gayanya berkelas. Dari raut wajahnya aku langsung mengenali kalau dia Mamanya Arif.
“Kamu Dita? Saya tidak salah orang kan?” tebaknya.
Aku hanya mengangguk. Dari mana dia tahu kalau aku Dita.
“Kita perlu bicara,” ucapnya.
Aku tidak bisa menolak. Bahkan ketika dia menyuruhku masuk ke dalam mobilnya. Entah kemana dia akan membawaku. Setelah mobil berjalan 10 menit, dia menyuruh sopir menghentikan mobil di dekat sebuah cafe. Aku mengikutinya seperti sedang terhipnotis. Setelah mendapatkan posisi duduk yang benar-benar pas, dia menyuruhku duduk di depannya. Dia memesan minuman, juga untukku.
“Arif sudah mengatakan semuanya.” Dia memulai pembicaraan.
Aku hanya diam membeku. Seperti di adegan drama korea yang pernah ku tonton. Saat Gil Ra Im berhadapan dengan ibu Kim Jo Woon di Secret Garden. Seperti itulah perasaanku sekarang.
“Ini tidak masuk akal, jadi tolong jauhi Arif mulai sekarang,” pintanya.
Persis perkiraaanku.
“Arif hanya terlibat dengan perasaannya sesaat. Dia kurang kasih sayang dan perhatian selama ini. Arif sudah kehilangan sosok ayahnya sejah usia 5 tahun, karena kami bercerai. Saya sebagai ibu tunggal, tidak bisa memberi perhatian padanya karena saya juga harus bekerja. Setelah bertemu denganmu dan keluargamu, dia seolah mendapatkan apa yang dicarinya selama ini. Tetapi memutuskan menikah denganmu, saya rasa tidak masuk akal,” katanya lagi.
Dia tidak menyukaiku.
Kalau dia menyukaiku seharusnya dia katakan ‘Memutuskan menikah secepat itu, ini tidak masuk akal’. ‘Kalian bisa menunggu sampai kalian benar-benar matang’.
“Jadi tolong jauhi Arif. Saya akan berikan uang berapa saja yang kamu minta,” pintanya lagi, sambil menyodorkan sebuah amplop kuning tebal berisi rupiah.
Aku terbelalak tidak percaya, ketika dia membeli cintaku dengan uang. Persis seperti cerita drama. Ternyata hal itu memang ada di dunia nyata.
“Masa depan Arif masih panjang, tolong jangan hancurkan.” Kali ini dia benar-benar memohon.
Aku tidak habis pikir, dia bisa bicara seperti itu. Aku menghancurkan masa depan Arif ? Rasanya aku ingin membalikkan semua perkataannya yang menyalahkanku. Tetapi aku tidak mau, karena aku menghormatinya.
Apa salahku, hingga harus menghadapi hal seperti ini. Hidupku yang awalnya berjalan normal. Semuanya berubah menjadi abnormal. Turun naik seperti roller coaster, dan semuanya karena Arif.
Aku menyodorkan kembali amplop yang diberikannya padaku.
“Tante tidak usah cemas, aku akan segera menjauhi Arif,” ujarku.
Hatiku sebenarnya hancur. Sebelum semuanya semakin kacau. Aku harus putuskan, merelakan Arif. Meskipun aku mencintainya. Ini adalah jalan terbaik.
Aku harus segera pergi sebelum air mataku tumpah. Rasanya sangat menyakitkan.
“Aku tidak butuh uang Tante, Tante bisa ambil kembali." Aku menyodorkan kembali amplop itu.
Aku berdiri dan berjalan meninggalkan cafe itu. Di parkiran aku berpapasan dengan sopir yang membawa mobil Mama Arif tadi. Rasanya aku pernah melihatnya, dia yang kemarin membeli ayam di kandang ayam Abah. Bahkan sampai segitunya mereka mencari informasi tentang aku.
Aku berjalan cepat, ingin rasanya segera sampai di rumah dan masuk ke dalam kamarku. Menumpahkan segala sesak ini. Tetapi air mataku tidak bisa ditahan lagi, aku menangis sepanjang jalan pulang. Keputusanku menikmati indahnya romansa cinta diujung masa SMA ternyata salah besar. Aku sudah terlibat semakin dalam. Dan sekarang masalahnya sudah semakin pelik, karena telah melibatkan orang tua.
“Dita?” panggil sebuah suara.
“Arif?’’
Aku tidak menyadari, Arif telah berdiri di depanku, bahkan suara motornya pun tidak ku dengar. Aku segera menyeka air mataku. Berharap dia tidak melihatnya. Namun terlambat.
“Apa yang dikatakan Mama?” tanyanya langsung.
“Mama kamu benar Rif, ini semua tidak benar, dan tidak masuk akal. Kita sudahi saja semuanya, ini tidak akan berhasil,” tegasku, dengan air mata yang semakin manganak sungai. Karena perasaanku sendiri tidak dapat menerima apa yang ku ucapkan.
“Tidak Dit. Tidak,” sanggah Arif cepat.
“Kita akan tetap menikah. Segera,” katanya yakin. Dia meraih tanganku, dan menggenggamnya erat meyakinkanku.
Aku melepaskan genggamannya.
“Aku tidak bisa,” elakku dan berlalu meninggalkannya.
Air mataku terus bercucuran, rasanya begitu pedih. Arif terlihat diam membisu mendengar ucapanku.
Setelah jauh. Samar kudengar Arif berteriak memanggil namaku.
==========
Aku melangkah masuk ke lobi kantor pagi itu, tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang.
“Maaf ya,” bisiknya di telingaku.
Siapa lagi kalau bukan Niana. Aku melepaskan tangannya yang melingkar di leherku. Aku masih kesal.
“Yuga datang kan jemput kamu malam itu?” tanyanya mencoba mengambil perhatianku.
Aku tetap melangkah tanpa mempedulikannya. Rasanya bahagia juga mengerjai gadis nakal itu.
“Malam itu aku buru-buru, harus bertemu Lingga, kami akan segera menikah,” jelasnya tanpa ku tanya.
Langkahku terhenti.
“Kamu serius?” ucapku tidak percaya. Melupakan sejenak konflik dengannya.
Dia mengangguk pasti.
Mengapa hatinya begitu mudah bolak-balik. Baru kemarin dia ingin mencoba berpaling. Apa karena pengakuan status sang manajer. Niana langsung memantapkan hati, lebih baik memilih yang sudah pasti.
“Kapan?” tanyaku.
“Bulan depan.” Mantap Niana menjawab.
Aku memberikan pelukan padanya. Melupakan semua kekesalan, karena telah membuatku dalam posisi sulit malam itu. Aku turut bahagia. Diusia sekarang, memang sudah selayaknya kami menikah. Apalagi kami wanita. Kalau tidak ingin digelari perawan tua. Ah, bagaimana denganku?
“Bagaimana denganmu?” Niana bertanya balik padaku.
“Kapan kalian akan menikah?” tambahnya lagi.
“Menikah dengan siapa?” tanyaku balik.
“Tentu saja dengan Yuga. Siapa lagi?” cetus Niana cepat.
Aku tertawa. Bahkan Niana pun percaya dengan segala ocehan bocah itu.
“Kami hanya teman. Dia sudah seperti adik bagiku,” sangkalku.
“Permisi,” sebuah suara mengagetkan kami.
Seorang pria tinggi mencoba menerobos lewat di tengah-tengah kami dari belakang. Karena terlalu asyik bicara, kami bahkan sampai menghalangi jalan pegawai lain di lorong itu.
Saat sang pria lewat, aku dan Niana terbelalak. Manajer? Sejak kapan dia ada di belakang kami. Untung saja topik bahasan kami tadi bukan tentang dia.
“Aku benar-benar ilfeel dengannya sekarang,” gerutu Niana, sambil tetap memandangi punggung sang manajer yang terus berlalu.
“Bagaimana kalau kita tukar posisi saja, kau jadi kepala divisi? Bagaimana?” usul Niana tiba-tiba dengan ide gilanya.
“Aku tidak sanggup harus terus bicara banyak dengannya, level jijikku sudah melebihi ubun-ubun. Aku tertipu dengan tampang polosnya, ternyata dia seorang penjahat wanita,” keluh Niana.
Aku hanya tersenyum membalas semua ocehan Niana.
***
Aku sedang menganalisis laporan penjualan produk makanan bayi yang baru saja diluncurkan perusahan.
“Dit, kamu dipanggil." Niana menghampiri mejaku dengan suara sedikit berbisik.
“Dipanggil siapa?” tanyaku tak kalah pelan.
“Manajer, siapa lagi?, kamu di suruh ke ruangannya, sekarang,” tambah Niana.
“APA.” Responku membuat Niana kaget.
Aku tidak percaya. Apa yang mau dibicarakan majaner itu denganku. Bisasanya dia selalu menghindari pembicaraan empat mata denganku.
Jantungku mulai tidak karuan, keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. Aku gugup.
“Kamu yakin dia panggil aku?” Aku kembali bertanya meyakinkan, sambil terus berbisik dan menunjuk ke arah hidungku.
“Ya iyala. Lama banget sih nih anak, buruan, dia udah nunggu dari tadi.” Niana menarik tanganku.
Aku melangkah menuju ruangan manajer kami itu. Sambil terus menenangkan diri, agar tidak kentara sekali kalau aku gugup. Ini harus dihadapi, tidak mungkin untuk selamanya aku tidak pernah bicara empat mata dengannya, bagaimana juga dia adalah atasanku.
Aku mengetuk pintu kaca, ruangannya.
“Masuk.” Suaranya membuatku tambah gemetar.
“Ba, Bap, Bapak panggil saya?” gagap aku bertanya tanpa sedikit pun menatap wajahnya. Aku gugup sekali. Situasi macam apa ini? Di suasana seperti ini, aku tiba-tiba menyesali keputusanku untuk tidak resign.
“Silakan duduk dulu,” perintahnya.
Oh Tuhan, putarlah waktu dengan cepat, khusus untuk hari ini saja. Sehingga saat ku buka mata, aku sudah berada di rumahku. Aku menuruti perintahnya. Kami sekarang duduk berhadapan. Aku tetap menunduk, sama sekali tidak bisa menatap wajahnya.
“Ada hal yang ingin saya sampaikan,” bukanya memulai pembicaraan.
Ku rasakan detak jantungku terus bergemuruh. Apa yang ingin disampaikannya? Apakah ini masalah pribadi?
“Kata Niana, soal laporan penjualan produk makanan bayi yang baru itu, kamu yang mengerjakan,” ucapnya lagi.
“Hufft.” Aku bernapas lega. Ternyata ini masalah pekerjaan.
“Iya, Pak,” jawabku, kali ini ku beranikan diri mengangkat wajahku dan menatapnya. Sekilas. Dan gemuruh di dadaku semakin menjadi.
“Bisa tidak kita ulang lagi surveinya, agar lebih akurat. Sebab produk itu masih tergolong baru,” pintanya.
“Baik, Pak. Saya akan ulang." Aku menjawab dengan antusias.
“Oke, serahkan laporan perbaikannya, secepat mungkin,” tambahnya.
“Baik, Pak,” kataku.
Suasana hening. Dia menatapku. Aku jadi salah tingkah.
“Kalau tidak ada lagi yang perlu Bapak biacarakan, saya permisi,” kataku akhirnya. Dan langsung berdiri, sambil membungkuk ke arahnya dan berjalan ke arah pintu. Sekali lagi, ini situasi apa? Aku menggingit bibirku, sambil terus menggeleng.
“Dita,” dia memanggil namaku kembali saat tanganku sudah memegang gagang pintu.
“I...Iya, Pak.” Aku kembali gagap.
Aku memandang ke arahnya. Dia tersenyum melihat tingkahku. Ada apa dengannya, mengapa dia terlihat mencoba ramah dengan ku, tidak seperti biasanya, dingin dan pura-pura tidak kenal.
“Besok kita pergi survei sama-sama,” ujarnya, dengan senyum semakin lebar.
“Aa, apa?” tanyaku lagi, tetapi kemudian aku mengangguk mengiyakan. Meskipun tidak menginginkan tetapi karena dia atasan, aku tidak dapat menolaknya.
Aku menutup pintu ruangan itu dan membungkuk kembali ke arahnya. Aku menghirup napas lega, ketika keluar dari ruangan itu, lepas dari situasi sulit.
“Kamu kenapa?” Niana tiba-tiba sudah ada di belakangku. Untuk kesekian kalinya jantungku hampir bergeser dari posisinya hari ini.
“Dia bilang apa?” cecar Niana kepo.
“Aku harus melakukan survei ulang,” kataku.
“Oo, dia memang selalu mempersulit orang,” gerutu Niana.
Sepertinya sekarang Niana bener-benar kontra dengan sang manajer. Aku hanya tersenyum, sambil berjalan menuju mejaku. Aku bahkan tidak memberi tahu Niana kalau besok aku akan pergi survei dengan manajer itu. Ada apa denganku?
Sepertinya malam ini aku tidak akan tidur sampai pagi. Memikirkan seharian besok akan berdua saja dengan manajer itu, berkeliling ke semua toko dan pasar. Tidak bisa dibayangkan, seharian berada pada posisi sulit. Aku memukul-mukul kepalaku ku sendiri. ‘Seharusnya kemaren itu aku resign’.
Dia benar-benar terlihat aneh sekarang. Mengapa dia terus tersenyum ke arahku. Tiba-tiba senyuman lebarnya kembali terlintas di pikiranku.
Dan juga, mengapa dia sendiri yang harus turun tangan untuk hal receh seperti ini? Masih banyak staf lain yang bisa membantuku. Apa dia punya rencana lain? Pikiranku mulai dihiasi berbagai asumsi.
***
#Tangal 07 September 12 Tahun yang Lalu
Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Arif. Ya, kami tetap menikah. Setelah pertemuan dengan mama Arif waktu itu, dan setelah aku memutuskan untuk menjauhi Arif, Arif semakin tidak terkendali. Dia bahkan tidak ingin pulang ke rumahnya. Dia terus berada di rumahku. Dia tidak menghiraukan ucapan siapa pun. Ucapan Abah dan Ummi, ucapan Mama dan Kakaknya, apalagi ucapan miring para tetangga.
“Menikahlah, jika itu yang kamu mau, soal restu Mama, kita akan dapatkan secara perlahan,” kata Kakaknya bijak, kala itu saat mau menjemput Arif yang sudah seminggu tidak mau pulang ke rumahnya.
Kakaknya terlihat dewasa meskipun rentang usia mereka hanya 3 tahun.
Abah juga tidak punya pilihan lain. Mulut tetangga semakin lama juga semakin pedas. Abah sudah tidak tahan lagi ketika keluarga kami selalu menjadi topik pembicaraan.
Akhirnya tepat hari ini, 7 September, kami menikah. Menikah secara sederhana. Hanya ijab kabul, tidak ada pesta. Hanya ada Abah, Ummi, Kakaknya Arif, Kepala KUA, temanku Rara, dua orang saksi dan para tetangga. Semua kakakku tidak ada yang pulang. Mereka sangat kecewa dengan keputusanku.
Untuk hari ini aku bahagia, meskipun ada beban yang mengganjal di pikiranku, soal restu Mama Arif.
Aku duduk di pinggir tempat tidur di dalam kamarku. Kamar pengantin, yang dihias seadanya. Untuk perabotan di dalamnya memang baru, semua dibelikan oleh kakaknya Arif. Entah dari mana dia mendapatkan uang, sedang dia sendiri masih kuliah.
Arif berlutut di hadapanku, dia meraih kedua telapak tanganku.
“Aku sayang kamu,” bisiknya lirih.
Wajahku bersemu merah, dia memang sering mengucapkan hal itu sebelumnya. Tetapi kali ini sensasinya jauh berbeda. Dia kemudian berdiri dan mengecup keningku. Kami belum pernah sedekat ini sebelumnya. Dia kemudian meraih tubuhku dalam pelukannya, aku hanya berdiri kaku, ketika wajahku tepat menempel di depan dadanya. Aku bisa mencium aroma tubuhnya. Dan merasakan detak jantungnya.
Dia kemudian mendekatkan wajahnya ke telingaku dan kembali berbisik.
“I love you....istriku.”♥
***
Niana sedang antusias melihat model baju pengantin di telepon genggamnya, saat kami makan siang. Dia terlihat senang. Apakah aku juga bisa merasakan kebahagiaan seperti yang Niana rasakan. Menikah lagi, dan tentu saja pernikahan dengan konsep impian. Prosesi adat, dan pesta yang dihadiri banyak orang. Tidak seperti pernikahanku sebelumnya. Aku menyesali pernikahan dengan konsep sederhanaku dengan Arif? Tidak. Aku tidak menyesal. Aku justru sangat bahagia saat itu, yang ku sesali hanyalah perpisahannya.
Tetapi, dengan siapa? Aku menghela napas sendiri saat membayangkan dengan siapa aku akan menikah. Sama sekali tidak ada bayangan.
“Hai,” sapa sebuah suara.
Seperti jam makan siang biasanya, Yuga sudah berada diantara kami.
“Lagi apa?” tanyanya, saat melihat Niana sibuk dengan telepon genggamnya. Tidak seperti biasa, Niana akan selalu meledek atau menyinyirinya.
Niana memperlihatkan gambar sebuah gaun pengantin putih panjang ke arah kami.
“Cantik kan?” pamernya. Dia tersenyum-senyum sendiri.
“Buat siapa?” sela Yuga.
“Ya, buat aku lah, bulan depan aku akan menikah,” jawabnya riang, aku paham betul perasaan Niana sekarang. Aku pernah merasakannya. Meskipun diselingi beberapa drama.
“Serius?” Yuga tidak percaya.
Dia memang tahu Niana telah lama bertunangan dengan Lingga, tetapi sebelumnya belum ada angin kalau mereka akan menikah dalam waktu dekat.
“Ya seriuslah, memangnya kamu, niat mau nikahin Dita, tapi Ditanya cuma menganggap kamu adik,” celetuk Niana. Dia tidak sadar dengan ucapannya.
Yuga yang baru saja memulai suapan pertamanya, langsung berhenti. Matanya menatapku tajam. Aku menendang kaki Niana. Gadis itu meringis, dan cuma mesam-mesem, tanda bersalah. Gerak bibirnya berucap ‘Sorry’.
“Maksud ku, memang kalian kayak kakak adik kan? Dita lebih tua dari....kamu,” Niana mencoba meluruskan.
Tetapi Yuga tidak mendengarkannya. Tatapan Yuga seperti akan menelanku hidup-hidup.
“A...Aku duluan, mau ke tolilet,” Niana ngacir meninggalkanku dengan sebuah masalah.
Yuga meletakkan sendok dengan kasar di atas meja, aku sampai kaget.
“Jadi aku cuma adik?” tanyanya ketus. Aku ketakutan juga, biasanya dia selalu bicara manis. Sekarang nada bicaranya sudah seperti pria dewasa sesungguhnya.
Aku hanya diam, mau ku jawab apa?
“Ya.. adik kan? Kamu panggil aku kakak,” jelasku.
“Oooo begitu. Oke. Mulai sekarang aku akan panggil kamu Dita doang,” gertaknya.
Aku terdiam kembali, mengapa jadi serius begini? Kami saling terdiam untuk beberapa saat, dan pandangan matanya masih tertuju padaku, dia kelihatan kesal sekali.
“Dita, kamu duduk di samping aku sekarang, dan jangan pergi sebelum aku selesai makan,” perintahnya mulai mempraktekkan gertakannya.
“Huff.” Aku bernafas lega, ku kira dia benar-benar marah.
Masih aja ada unsur bocahnya ni anak.
Bersambung #5
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel