Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 14 Maret 2020

Mantan Suamiku #5

Cerita bersambung

Aku bangun lebih awal dari biasanya. Hari ini akan terasa amat panjang. Bisa juga sangat mendebarkan dan melelahkan. Aku akan survei produk ke beberapa pasar dan toko. Survei ulang, sesuai dengan permintaan sang manajer. Yang membuatku berfikir lelah untuk hari ini bukan surveinya, tetapi rekan yang mendampingiku. Aku akan didampingi sang manajer langsung. Aku tidak bisa bayangkan betapa akan canggungnya aku seharian ini.

[Ga, hari ini kamu berangkat ke kantor sendiri dulu ya, sebab kakak ada dinas luar]

Aku mengirim pesan pada Yuga, agar dia tidak menungguku pagi-pagi untuk berangkat ke kantor sama-sama.

[Oke, Dita]

Balasnya satu menit kemudian. Bocah itu benar-benar membuktikan ucapannya. Dia tidak lagi memanggilku dengan sebutan kakak. Rasanya aneh juga ketika Yuga memanggilku demikian.

Aku melangkah keluar kamar menuju dapur, kulihat Ummi sedang sibuk membuat sarapan. Nasi goreng putih, hanya nasi, bawang dan garam. Kesukaan almarhum Abah.

“Sarapan dulu,” ucap Ummi membuyarkan pikiranku yang terkenang akan Abah.
“Dita sarapan di luar saja nanti Ummi, takutnya terlambat.” Aku memeluk wanita itu dari belakang. Ummi pasti sangat kesepian di rumah sendirian, selama ku tinggal bekerja. Kakak-kakaku hanya sesekali berkunjung, mereka juga sibuk dengan urusan masing-masing.

“Ya sudah,” ucapnya lirih. Aku mencium punggung tangan itu. Sampai kapan kami akan seperti ini. Aku ingin seperti wanita lainnya. Meskipun untuk yang kedua kalinya, aku ingin menikah lagi dan memberikan cucu untuk Ummi. Tetapi menikah dengan siapa?
Aku berjalan menuju halte bus. Aku tidak tahu rute perjalananku kali ini. Kemarin manajer itu tidak memberikan instruksi tambahan. Kalau tidak ada pesan apapun darinya pagi ini, berarti aku bisa melakukan survei sendiri.

Notifikasi WhatAppku berbunyi. Pasti Yuga lagi, pikirku. Saat ku buka, ternyata pesan dari nomor baru yang belum memiliki nama di daftar kontakku. Aku melihat profilnya.

DEG. Wajah sang manajer. Tetapi sepertinya ini foto lama. Aku merasa pernah melihat pas foto itu. ‘Mengapa dia begitu kampungan, memasang pas foto sebagai foto profilnya, apakah dia tidak punya stok foto yang lain’ batinku.

[Dita, kita berangkat sama-sama saja, saya akan jemput kamu]

DEG. Untuk kedua kalinya pagi ini, jantungku berdebar tak karuan. Ada apa dengannya? Mengapa sepertinya dia mencoba memperlakukanku terlalu istimewa.

[Tidak usah, Pak. Saya sudah sampai duluan di tempat tujuan kita hari ini]

Aku berbohong. Busnya bahkan belum datang. Dari pada tersiksa sepanjang perjalanan. Siksa batin karena perasaan canggung.

Aku menuggu bus yang tak kunjung datang. Aku ingin segera naik bus dan sampai ke tujuan. Mengapa kali ini keberadaannya begitu langka, padahal biasanya ada saja bus yang lalu lalang. Aku semakin gelisah. Telepon genggamku bergetar, kali ini panggilan telepon. Aku melihat nama yang tertera di layar. Manajer. Aku menelan ludahku, dan menjawab panggilan telepon itu.

“I..I..Iya, Pak,” gagap ku jawab panggilannya.
“Kamu benar-benar telah sampai?” selidiknya.
“I..I..Iya, Bapak dimana?” Aku balik bertanya.
“Sekarang kamu menoleh ke kiri,” suruhnya.
Aku menoleh ke arah yang diperintahkannya.

DEG. Untuk ketiga kalinya pagi ini. Sport jantung. Dia tersenyum ke arahku sambil melambaikan tanganya yang masih memegang telepon genggam. Aku cengengesan. Ketahuan. Entah bagaimana ekspresi wajahku kali ini. Aku benar-benar malu.

Dia tidak memintaku mengklarifikasi kebohonganku.

“Ayo.” Dia mengajakku menuju mobilnya. Aku mengikuti langkahnya, sambil menggigit bibir. Betapa malunya aku sepagi ini.
***

#Bulan Pertama Pernikahan 12 Tahun yang Lalu

Setelah resmi menyandang status sebagai suami isteri. Apa yang ku rasakan sekarang, jauh diatas pikiranku tentang pernikahan yang kubayangkan sebelumnya. Manis seperti madu. Setiap detik kami lalui bersama.

Sekarang aku merasa menjadi wanita seutuhnya. Bahagia menikah dengan seorang pria yang ku cintai, dan begitu mencintaiku. Dia pun benar-benar menjaga komitmen dan janjinya. Tidak ada sedikitpun terlihat penyesalannya telah menikah denganku, meskipun itu akan merubah hidupnya, dari yang punya segalanya, sekarang harus rela hidup sederhana dan apa adanya.

Menikah muda, sesuai impianku. Rasanya lucu juga, karena setiap kali terlihat jalan bersama, orang-orang akan berangggapan kalau kami adalah pasangan pacaran, yang belum halal. Terkadang kami iseng juga, bertingkah mesra, memancing amarah dan ocehan mereka.

Aku menyuguhkan teh manis untuk suamiku pagi itu. Dia sedang duduk di ruang tamu rumah kami yang sederhana. Abah dan Ummi telah berangkat ke kandang ayam duluan. Dia tersenyum manis menyambut segelas teh yang ku suguhkan. Rasanya sangat bahagia, memiliki suami yang rasa citanya tak bisa disembunyikan. Sama seperti dulu, tatapannya tetap fokus hanya untukku. Aku duduk disampingnya. Dia menggenggam kedua telapak tanganku.

“Aku berjanji akan membahagiakan kamu,” ucapnya lirih, dengan tatapan yang tidak pernah beralih. Hanya tertuju padaku.
“Aku akan berusaha, mewujudkan satu persatu mimpi kita.” Aku tersenyum mendengar ucapannya dan menjatuhkan diri dalam pelukannya.

Meskipun masih ada satu hal yang selalu mengganjal. Restu mamanya. Walaupun mamanya Arif tidak mau lagi bicara dengannya, Arif tetap selalu menanyakan keadaan wanita cantik itu lewat kakaknya.

“Kamu ingin punya anak berapa?” ucapnya tiba-tiba, saat aku masih dalam pelukannya.
Aku mencoba melepaskan diri dari pelukannya, tetapi dia semakin memelukku erat.
“Dua,” bisikku malu-malu.
“Sedikit sekali, kalau aku empat,” tuturnya mantap. Aku tertawa geli sendiri mendengarnya. Tidak bisa ku bayangkan aku akan hamil dan melahirkan empat orang anak.

Indahnya menghayalkan masa depan bersamanya.
***

Sepanjang perjalanan menuju lokasi pasar yang pertama, kami tidak saling bicara. Ini membuatku lega. Akan sangat sulit bagiku berkomunikasi dengannya. Aku mengusap kedua telapak tanganku yang mulai berkeringat dingin. Aku mulai gugup. Sekuat apapun aku mencoba bersikap biasa, tetap saja aku tidak bisa.
Duduk bersebelahan dengan jarak tidak lebih dari satu meter, dan kami hanya berdua di dalam mobil itu. Luar bisa canggung. Sesekali ku lihat dia melirik ke arahku. Dia seperti ingin bicara, tetapi urung dilakukannya. Bisa jadi dia akan menkonfirmasi masalah pribadi, tentang masa lalu.
Sebenarnya begitu banyak hal yang ingin ku tanyakan, perihal kami. Tetapi karena dia tidak menganggapku sebagai seseorang yang pernah menjadi istrinya, tidak mungkin aku mengungkit hal itu.

“Dita, kamu sudah sarapan?” katanya tiba-tiba memecah kebisuan.
“APA?” Aku yang sedang tidak konsentrasi dengan pikiranku, merespon pertanyaannya terlalu berlebihan. Dia bahkan sampai kaget mendengar jawabanku.
“Maaf, membuat Bapak kaget,” ucapku kemudian.
“Kita sarapan dulu,” tukasnya, sambil mengemudikan mobil ke sebuah kedai sarapan pagi. Aku tidak dapat menolak.

Aku hanya bisa mengikuti langkahnya. Cepatlah berlalu hari ini, batinku.
Aku duduk di depan sebuah meja, sedangkan dia terlihat memesan sarapan. Aku pura-pura sibuk mengutak-atik telepon genggamku. Dia datang menghampiri dan duduk di depanku.

Beberapa saat kemudian, sarapan kami datang, nasi goreng dengan minuman teh manis. Aku memperhatikan hidangan yang ada di depanku. Nasi goreng dengan telur mata sapi tanpa kerupuk. Sedangkan punya dia, nasi goreng dengan telur dadar dan full kerupuk. Semuanya mengingatkanku pada kenangan lalu. Dia masih ingat kesukaanku. Aku suka telur mata sapi, dan aku tidak suka makan nasi dengan kerupuk. Dia masih ingat semuanya.

“ Silakan makan,” ucapnya.

Aku terus memperhatikannya. Ada apa denganya? Dia memperlakukanku terlalu spesial sebagai seorang staf. Apa mungkin dia...’tidak, tidak mungkin’ batinku. Aku membantah sendiri pemikiranku, kalau sekarang dia tengah berusaha mendekatiku kembali.
Aku kembali menatap ke arahnya. Cara makannya tetap saja sama seperti dulu. Lahap, seolah tidak pernah bertemu nasi.

“Ada apa?” tanyanya ketika aku tertangkap tengah memperhatikannya.
“Ti..Ti..Tidak ada,” jawabku dan mengalihkan pandangan ke arah piring di hadapanku.
***

Kami menelusuri pasar yang pertama, untung saja kali ini dia memutuskan untuk berjalan masing-masing, tidak bersama-sama. Aku mulai memasuki toko-toko yang menjual produk kami, dan menanyakan beberapa pertanyaan tentang produk camilan untuk bayi yang baru diluncurkan perusahaan. Kalau dari perkiraan awal, produk ini akan booming, karena masih belum banyak perusahan lain yang mengeluarkan produk sejenis. Camilan mudah dicerna sebagai MPASI bagi bayi usia diatas 6 bulan. Kalau anak-anak, remaja dan orang dewasa punya camilan dalam kemasan, bayi pun sekarang juga punya.

Aku berjalan tertatih, sepertinya aku salah pakai sepatu. Demi terlihat anggun dan berkelas di hadapan sang manajer, aku memakai high heels lagi. meskipun hanya 5 cm, ini sangat menyiksa tumitku. Tumitku mulai lecet. Aku tetap memaksakan kakiku berjalan meski terasa perih.

Setelah selesai dengan toko-toko yang menjadi bagianku, aku kembali berjalan ke parkiran. Tempat yang kami sepakati, untuk saling bertemu kembali kalau telah selesai mensurvei.
Sepertinya dia belum selesai. Aku duduk di tembok batas taman yang ada di area parkiran, sambil melepas sepatuku. Tumitku benar-benar hancur. Tidak akan ku lakukan lagi hal bodoh ini hanya demi sebuah penampilan. Aku meringis, manahan perih.

“Kamu sudah selesai?” sapa sebuah suara dari arah belakangku. Ternyata dia. Aku langsung mamakai sepatuku kembali, dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Aku mengangguk.
“Kita lanjut ke pasar lain,” tuturnya. Aku hanya mengikuti langkahnya, dengan sesekali tetap meringis, karena tumitku terasa perih.

Kami kembali berbagi tugas, ini sangat menguntungkanku, karena aku bisa leluasa bergerak sendiri. Tanpa harus merasa canggung.
Sama dengan pasar sebelumnya, hasil surveinya tetap sama. Daya beli yang rendah. Entah karena produknya baru, atau entah karena apa. Tetapi sepertinya menurutku salah tempat pemasaran. Mungkin seharusnya daerah pemasarnnya adalah kedai-kedai kecil di area tempat posyandu atau sejenisnya, yang banyak dikunjungi ibu-ibu dan bayinya.

Sudah lewat tengah hari, aku menyelesaikan tugasku. Aku kembali menuju parkiran, ternyata dia telah terlebih dahulu sampai. Dia melihatku tertatih dan meringis menahan perih di kaki akibat ulah sepatuku. Saat aku menyadari tatapannya, aku berjalan seolah tidak ada apa-apa.
Sekarang tinggal lagi survei beberapa minimarket yang menjadi sampel. Setelah itu selesai sudah pekerjaan hari ini. Aku ingin segera pulang, dan mengompres kakiku dengan air hangat.
Kali ini kami sepakat melakukannya bersama, sebab jarak antara satu minimarket dengan minimarket yang lainnya cukup jauh. Aku turun dari mobil, ketika kami sampai di minimarket pertama. Rasanya benar-benar perih ketika kembali menyentuhkan kaki ke jalan.

“Aku dikasih ini oleh seseorang tadi di pasar,” ujarnya sambil menyodorkan bungkusan plastik hitam ke arahku.
“Untukmu saja,” tambahnya lagi.

Aku menerima bungkusan plastik itu, dan melihat isinya. Sebuah sendal jepit, dengan alas berbulu-bulu, berwarna ungu. Sepertinya sandal untuk di rumah. Aku membayangkan betapa nyamannya memakai sendal itu saat ini. Aku ragu memakainya.

“Pakai saja,” tuturnya, ketika melihatku ragu.

Aku langsung memakainya, dan melepas sepatuku. Inginku lempar benda itu sekarang juga. Benar-benar menyiksaku hari ini.
Langkahku langsung terasa ringan ketika menginjakkan kaki diatas sandal jepit berbulu itu. ‘Apa benar seseorang memberikannya untuknya? Mengapa bisa pas sekali, aku sedang membutuhkannya’ batinku.
Dia terlihat tersenyum melihatku riang memakai sendal pemberiannya.
Tunggu dulu, sendal ini bahkan sangat pas di kakiku, dan warnanya, adalah warna kesukaanku.

DEG. Untuk kesekian kalinya hari ini. Jantungku berdebar. Dia sengaja membelikannya untukku. Aku memandang ke arahnya, dia menatapku dengan senyum semakin manis.

Sumpur Kudus, 28 Juli 2019, 00:51

=====

Selepas sholat Isya, ku rebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Hari yang melelahkan. Kedua kakiku terasa sangat pegal, tumitku masih terasa perih meskipun telah ku obati. Oh tidak. Aku baru ingat, sepatu yang tadi ku pakai tidak ku bawa pulang, tertinggal di mobil manajer. Setelah mendapatkan sendal jepit darinya, sepatu itu ku masukkan dalam kantong plastik hitam bekas tempat sendal tadi. ‘Bagaimana ini?’

Aku meraih telepon genggamku yang terletak di atas meja, siapa tahu ada pesan dari sang manajer soal sepatuku. Ternyata tidak ada. Mungkin dia belum menyadarinya. Ku letakkan kembali telepon genggamku, kuurungkan niatku untuk mengirim pesan kepadanya soal sepatu itu. ‘Biar sajalah, lagipula aku tidak akan memakainya lagi.’

Aku masih bertanya-tanya soal sikapnya hari ini. Mengapa dia jauh berubah. Dulu di awal pertemuan, dia menganggapku tidak ada. Seolah tidak pernah mengenalku sama sekali. Sekarang sikapnya jauh berbeda. Beberapa perhatiannya seharian ini, tidak bisa kuartikan. Aku menatap sendal jepit ungu yang baru saja ku bersihkan. Nomor 36. Sangat sesuai dengan nomor telapak kakiku. Sangat tidak mungkin, dia kebetulan diberi seseorang. ‘Apa..dia sengaja membelinya untukku? Ada apa dengannya? Mengapa dia begitu perhatian?Apa... jangan-jangan dia mau balikan lagi?’

Aku menutup wajahku dengan bantal. Berbagai perasaan muncul. ‘Bagaimana kalau iya?’ Ah tidak mungkin. Sangat tidak mungkin. Aku menepis pikiran itu jauh-jauh. Teralu banyak hal yang harus diluruskan dan dijelaskan terkait masa lalu kami.
Aku mencoba memejamkan mata. Tetapi aku kembali tergoda untuk mengecek telepon genggamku. Terasa ada yang kurang. Yuga. Tidak ada satupun pesan darinya hari ini, kecuali balasan pesan tadi pagi. Biasanya dia paling nyinyir bertanya kabarku. Apalagi kalau seharian tidak bertemu, bisa bertubi-tubi pesan masuk darinya.
***

#Setahun Pertama Pernikahan 11 Tahun yang Lalu

Setahun sudah ku lalui hari-hari indah sebagai seorang istri. Banyak hal yang kami lalui bersama. Meski terkadang ada hal-hal kecil yang memicu perdebatan diantara kami. Menikah muda dan seusia, merupakan tantangan tersendiri, ketika menghadapi permasalahan. Tetapi untungnya selama ini apapun permasalahannya tetap berujung dengan saling memeluk satu sama lain.
Satu permasalahan yang tidak pernah ada penyelesaiannya, bahkan setelah setahun pernikahan kami yaitu, restu mama Arif.

“Bagaimana kalau hari Minggu besok kita kunjungi mama kamu?” usulku. Malam itu dia sedang membaringkan kepalanya di pangkuanku. Aku mengusap rambutnya, wangi pomade yang dipakainya, membuatku ingin mencium rambutnya.

“Apakah harus?” Dia bertanya balik kepadaku. Jawabannya membuatku urung mencium rambutnya.
“Tentu saja. Ini sudah satu tahun, kalau kita tidak melakukan apa-apa, bagaimana mama kamu bisa menyukai aku,” nada suaraku sedikit meninggi.
“Dia itu mama kamu. Kalau itu orang lain, mungkin aku bisa masa bodoh. Tetapi dia ma-ma kamu. Tidak mungkin untuk selamanya kita tidak bicara atau tidak menemuinya,” jelasku, masih dengan nada sedikit tinggi.

Dia duduk, dan sekarang berhadapan denganku.
“Dengar, aku bukannya tidak mau. Tetapi aku tidak mau kamu merasa tersakiti lagi,” ucapnya pelan, sambil membelai pipiku lembut.
“Biar aku saja yang mencoba dulu, besok aku akan temui mama. Setelah mama kembali bisa menerimaku, secara perlahan aku akan mempertemukan kamu dengan mama,” usulnya.

Aku hanya mengangguk. Meskipun dia selalu ada untukku. Tetapi perasaan ini tetap tidak nyaman, ketika ada wanita lain di sana yang sekarang seolah telah kehilangan anaknya. Mamanya Arif pasti sangat merindukan Arif sekarang. Aku tidak ingin menjadi wanita jahat. Aku ingin semuanya membaik.
***

Aku berangkat ke kantor seperti biasa. Ada yang aneh hari ini. Yuga tidak menungguku. Bisanya dia selalu datang ke rumahku, yang memang berjarak beberapa buah rumah dari rumahnya, untuk berangkat ke kantor bersama. Aku melihat telepon genggamku, tidak ada pesan apapun darinya. ‘Apa dia tidak ke kantor hari ini?’

[Kamu dimana?]

Singkat ku tulis pesan Whatsapp untuknya. Ini pertama kalinya setelah tiga tahun kami saling mengenal. Bisanya kami selalu tahu keberadaan satu sama lain. Pesanku hanya centang satu. Aku coba menghubunginya, tetapi tidak diangkat.
Aku melangkah memasuki lobi kantor. Aku memepercepat langkahku saat menangkap sosok yang ku yakin itu Yuga. Dia berjalan di depanku.

“Yuga,” sapaku, sambil berlari kecil, agar bisa mengikuti langkahnya. Penampilannya berbeda hari ini.
“Oh.. hai...Dita,” balasnya. Dingin.

Aku terus mengikuti langkahnya. Mengapa dia berbeda hari ini? Biasanya dia selalu heboh mengikutiku. Ada apa juga dengan model rambut barunya itu. Bisanya dia terlihat santai dan imut dengan gaya rambut Fringe-nya. Sekarang rambutnya terlihat sangat klimis.

“Aku duluan ya,” ujarnya kemudian, dan bergegas mendahuluiku menuju lift.

Aku hanya mengangguk heran. Aku menghentikan langkahku saat ku lihat lift di depanku sudah penuh. Bisanya dia akan menarikku untuk tetap masuk bersamanya, meskipun berdesakan. Sekarang dia bahkan tidak menatapku sama sekali. Pintu lift tertutup dan aku masih terpaku. Ada apa dengan bocah itu?

“Kamu kenapa?” bisik Niana tepat di telingaku. Gadis itu selalu saja membuatku kaget. Aku bahkan tidak menyadari kehadirannya.
“Kamu menunggu seseorang?” Tanya Niana sambil melihat ke sekeliling. Aku menggeleng. Perubahan sikap Yuga masih mendominasi pikiranku.
***

Aku mengejar pembuatan laporan hasil survei kemarin. Meskipun dalam kondisi konsentrasi yang sedikit terganggu. Saat sudah menemukan posisi ternyaman untuk memulai pekerjaan, tiba-tiba kakiku menyentuh sebuah kotak yang ada di bawah meja.

Sebuah kotak sepatu. Aku membukanya. Sepatuku yang kemarin tertinggal di mobil manajer. Aku mengarahkan pandanganku ke ruangannya. Tetapi aku tidak menemukannya. Biasanya dia terlihat dari balik ruangannya yang 80% di kelilingi kaca itu.

Aku mengeluarkan sepatu itu, sepertinya telah dibersihkan. Aku bisa mencium bau wanginya. Ketika ku perhatikan bagian dalam di dekat tumitnya. Bagian yang membuatku tersiksa seharian kemarin. Ada yang baru, kulihat tumit bagian dalam itu sekarang telah ditempeli moleskin.

“Sepatu baru ya?” Niana yang lewat di depanku merasa tertarik juga dengan barang yang ada di atas mejaku itu.
“Bukan, sepatu lama, habis di perbaiki,” ucapku berbohong, sambil terus nyengir ke arah Niana dan manyimpan kembali benda itu di bawah meja kerjaku.
“Kamu lihat manajer kita tidak?” gusar Niana bertanya. Aku menggeleng.
“Kemana sih, tu orang. Kemarin tidak masuk tanpa ada kabar, sekarang juga,” gerutu Niana seolah bicara pada dirinya sendiri.
“Kemarin dia juga tidak masuk?” tanyaku pura-pura. Niana mengangguk. Jadi dia menutupi kalau kemarin dia pergi survei bersamaku. Tetapi mengapa? Sepertinya laporanku tidak akan siap hari ini. Ada dua hal yang mengganggu konsentrasiku.

“Hari ini dia mangkir lagi, apa memang seperti ini kinerjanya?” Niana masih menggerutu sendiri sambil terus menatap pintu masuk.
“Hari ini dia datang,” refleks ku jawab gerutuan Niana. Niana mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku menutup mulutku.
“Dari mana kamu tahu?” selidik Niana. Aku kembali cengengesan. ‘Tentu saja dia telah datang, kalau tidak bagaimana sepatuku bisa sampai di sini’ batinku.

Disaat bersamaan, sosok yang sedang kami bicarakan muncul dari pintu masuk.
“Itu,” bisikku sambil memberi isyarat dengan bibirku kepada Niana. Huff, selamat. Urusannya bisa panjang kalau diinterogasi Niana.

Niana segera menyusul sang manajer. Sepertinya banyak sekali informasi   yang harus disampaian gadis itu, dia tidak berhenti bicara bahkan setelah sampai di ruangan sang manajer.
***

Aku berjalan di halaman depan kantor, saat jam kantor telah usai. Aku sengaja memperlambat langkahku, sambil sesekali melihat kebelakang.

“Kemana dia?” gumamku lirih.

Seharian ini aku tidak bertemu Yuga, kecuali tadi pagi. Saat makan siangpun dia tidak menghampiri mejaku. Niana yang juga terbiasa mengomelinya saat makan, juga bertanya-tanya.

[Mampirlah ke rumah]

Sebuah pesan masuk, dari kakakku. Ada apa? Tidak biasanya kakakku mengirim pesan seperti itu. kalaupun ada yang dibicarakan dia akan langsung blak-blakan melalui sambungan telepon.
***

Aku sampai di kediaman kakakku. Rumah sekaligus bengkel kerja. Keadaannya sedang kacau balau. Karyawannya sedang sibuk mempersiapkan dagangan untuk malam ini. Ada yang sedang mengaduk adonan bakwan, mencetak donat, membuat isian risoles, ada juga yang sedang membuat kulit pastel. Sepertinya semua sedang dikejar waktu. Diawal kedatanganku ke kota waktu itu, setelah perpisahan dengan Arif, aku juga sempat membantu kakaku melakukannya.
Aku menghampiri kakakku yang sepertinya sedang sibuk menghitung sesuatu. Dia sudah seperti seorang pimpinan saat ini. Dia bahkan sudah memiliki meja kerja.

“Tanteee...” pekik tiga bocah yang tiba-tiba muncul dari kamar mereka. Satu persatu mereka langsung berhamburan dalam pelukanku. Para keponakanku. Lima tahun tinggal bersama, membuat kami begitu dekat, bahkan dulu aku dan Ummi yang selalu mengurus mereka. Aku juga mengantar jemput mereka ke sekolah. Sat kakakku sibuk merintis karirnya.

“Sudah-sudah, kalian main dulu ya, mama mau bicara?” usir kakakku, yang disambut bibir cemberut ketiganya. Kakakku masih saja kejam.
“Ada yang mau kakak bicarakan denganku?” Aku langsung menanyainya dengan nada serius.
“Bagaimana pekerjaanmu?” Dia balik bertanya.
“Baik-baik saja.” Kakakku mungkin khawatir kalau ternyata aku resign diam-diam.
“Bagaimana hubunganmu dengan Arif?” selidiknya.
“Hubungan apanya? Biasa saja, dia atasan aku bawahan,” jawabku sekenanya,
“Apa dia tidak pernah membicarakan sesuatu?” kembali kakakku bertanya,  kali ini dengan nada lambat penuh kehati-hatian.
“Bicara soal apa?” Aku mengerutkan dahi, tidak mengerti dengan arah pembicaraan kakakku.
“Ya...soal masa lalu kalian,” gugup kakakku menjawab. Dia membolak balik buku catatan yang sedari tadi di corat-coretnya dengan tidak jelas. Kentara sekali kalau dia menyembunyikan sesuatu.
“Kakak menyembunyikan sesuatu dari aku?” tebakku.
“Ti...Ti...Tidak,” kilahnya.

Jelas sekali dia berbohong. Tetapi apa yang dirahasiakannya dariku?

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER