Saat makan malam bersama Ummi, aku masih kepikiran dengan sikap kakakku tadi sore. Apa yang dirahasiakannya dariku terkait dengan Arif. Kalau bertanya pada Ummi rasanya tidak tega juga, jika nanti jadi bahan pikiran buat Ummi.
Sehabis makan malam, aku duduk di ruang keluarga, menemani Ummi menonton televisi. Sekarang Ummi sedang kecanduan menonton sebuah sinetron, aku tidak tahu judulnya apa, yang jelas Ummi menyukainya. Tidak ada lagi hiburan lain selain kotak bergambar dan bersuara itu buat Ummi di rumah ini.
Aku membuka telepon genggamku, yang sedari tadi kumatikan nadanya. Ternyata ada banyak pesan masuk di grup ‘Hanya Kita-Kita’. Apalagi yang mereka bahas sekarang? Aku mencari tahu dari pesan teratas.
[Sudah lihat foto profil Whatsapp manajer kita belum?]
Sebuah pesan dari Niana yang memancing reaksi puluhan pesan selanjutnya dari anggota grup. Terutama para wanita. ‘Memangnya foto apa sih?’ Aku mulai kepo melihat foto yang dimaksud Niana.
‘GLEK.’ Aku tercekat, mataku melotot tidak percaya dengan apa yang kulihat. Kalau kemarin manajer itu sudah terlihat aneh dengan mamasang foto profil berupa pas foto. Sekarang aku luar biasa kaget. Dia memasang foto pernikahan kami 10 tahun yang lalu. Aku masih ingat mungkin itu satu-satunya foto pernikahan yang kami punya. Yang diambil kakaknya Arif waktu itu melalui kamera telepon genggamnya. Foto yang sama yang akhirnya kami cetak dan pajang di kamar dalam ukuran 8R.
Foto dengan pakaian saat ijab kabul, aku memakai baju kebaya putih dengan bawahan batik dan hijab putih sedangkan dia memakai stelan jas hitam dengan peci di kepala. Posenya, kami berdua berdiri berdekatan dengan tangan kananku ada di depan dadanya. Pengarah gayanya waktu itu adalah Rara.
Aku cukup bernafas lega saat melihat foto tersebut telah mengalami proses editan. Dia menutupi bagian wajahku dengan simbol hati. Jadi tidak akan ada yang mengenali kalau wanita di foto itu adalah aku. Kecuali mereka sangat hebat bisa mengenali seseorang dari ukuran tubuh atau dari bentuk jari-jari tangan.
Tunggu dulu, aku baru ingat sekarang. Pas foto yang kemarin jadi foto profilnya itu adalah pas foto yang tertempel di buku nikah. Pas foto ukuran 2 x 3 dengan latar biru. Dia memang kurang kerjaan.
Sekarang yang menjadi pertanyaan terbesar bagiku. Ada apa dengannya? Apa maksud dan tujuannya? Dia seolah ingin mengungkit semua kenangan lama. Apa dia belum move on? Apa dia berharap aku kembali?
Kalau benar demikian, mengapa sebelumnya dia tidak pernah mengajakku bicara. Bicara masalah pribadi kami. Padahal ada begitu banyak pertanyaan yang membutuhkan penjelasan. Bahkan dia bersikap seperti baru mengenalku.
Atau jangan-jangan dia sengaja, membuatku merasa baper?
Aku merebahkan tubuhku di samping Ummi sambil menghela nafas panjang.
“Ada apa?” Ummi ternyata menyadari sikapku yang sedang gundah dan galau.
“Tidak ada apa-apa, Mi. Cuma masalah pekerjaan di kantor,” jawabku. Tidak mungkin ku ceritakan pada Ummi.
Aku kembali membaca pesan di grup ‘Hanya Kita-Kita’ buatan Niana itu. Semakin banyak saja pesan yang masuk. Dan komentar mereka beragam. Seperti,
[Manajer belum bisa move on]
[Sepertinya dia merasa bersalah telah meninggalkan istrinya]
[Penyesalan memang selalu datang kemudian]
[CLBK?]
[Seperti tidak ada wanita lain saja]
[Btw, mantan istrinya pendek banget ya]
Aku yang membaca pesan itu merasa jengkel juga. Beraninya mereka mengomentari postur tubuhku.
Mudah-mudahan saja mereka tidak terlalu pintar, menghubungkan tinggi badanku dengan tinggi badan wanita di foto itu. Agar mereka tidak mencurigai aku.
[Sayang ya wajahnya ditutup]
Kali ini aku yang mengirim pesan, aku tidak ingin mereka mencurigai aku karena tidak pernah berkomentar apapun di grup ini saat mereka sedang heboh-hebohnya.
Apa yang harus ku lakukan besok. Apakah pura-pura tidak melihat foto itu? Atau langsung meminta penjelasan padanya? Tidak mungkin, aku tidak mungkin mengungkitnya duluan.
Yups, pura-pura tidak tahu saja.
***
#Menjelang Dua Tahun Pernikahan 10 Tahun yang Lalu
Semenjak Arif memutuskan untuk kembali mulai memperbaiki hubungan dengan Mamanya. Arif menjadi lebih sering mengunjungi mamanya, setidaknya seminggu sekali. Tetapi tetap saja belum ada angin untuk menerima keberadaanku.
“Kita dekati mama pelan-pelan saja ya,” ujarnya suatu hari, saat aku kembali menanyakan kapan aku bisa menemui mamanya.
Aku hanya mengangguk. Tidak ingin memaksakan kehendak, karena pada akhirnya akan berujung pada perasaan tidak enak antara kami berdua.
Hari ini Abah baru saja membongkar ayamnya untuk dijual. Kami semua membantu Abah. Belakangan ini hasilnya tidak terlalu menggembirakan, karena harga jual yang tidak seimbang dengan biaya pakan dan obat-obatan ayam selama pemeliharaan.
“Dita,” panggil Arif sore itu saat aku sedang menyapu halaman. Dia mengisyaratkan agar aku mengikutinya. Aku segera menghentikan pekerjaanku, dan mengikuti langkahnya menuju kamar.
“Ada apa?” tanyaku. Sepertinya ada yang ingin dibicarakannya hanya berdua denganku. Dia langsung memelukku dari belakang, dan mencium pipiku.
“Aku ingin kuliah,” bisiknya.
Aku membalikkan badanku dan menatapnya. Aku kaget. Mengapa dia tiba-tiba kepikiran untuk kuliah. Mungkinkah ini permintaan mamanya?
“Aku ingin mendapatkan pekerjaan yang layak,” ujarnya menjawab semua tanya di mataku. Mungkin dia mulai merasa ragu dengan usahanya bersama Abah yang tidak memberikan banyak hasil. Kalau mencari pekerjaan lain akan sulit karena ijazah yang dimilikinya. Aku bukannya tidak setuju, tetapi entah mengapa perasaan ini mulai tidak enak.
“Aku ingin suatu saat kita bisa mewujudkan mimpi kita satu persatu. Kamu masih ingatkan?” tambahnya lagi mengingatkanku bahwa kami pernah menghayalkan masa depan. Memiliki rumah sendiri, membuka usaha dan menikmati hidup dengan mengunjungi setiap tempat yang kami inginkan.
“Aku ingin membahagiakan kamu,” bisiknya lirih dan membawaku dalam pelukannya.
“Tapi, kuliah itu bukan masalah mudah. Butuh waktu lama, lagipula kalau kamu kuliah, kita akan terpisah.” Aku mulai membayangkan, jika hal itu benar terjadi maka kami harus siap untuk LDR karena universitas terdekat hanya ada di ibukota provinsi, yang berjarak 5 jam perjalanan dengan menggunakan mobil. Sangat tidak mungkin dia akan pulang pergi setiap hari. Aku menunduk. Kesedihan mulai menghampiriku. Semenjak menikah kami belum pernah terpisah bahkan satu malam pun.
Dia melepaskan dekapannya, dan mengalihkan kedua tangannya menyentuh pipiku.
“Kamu tidak sanggup jauh dari aku?” godanya. Wajahku memerah. Jujur, ini pasti akan sangat berat.
“Tenang. Aku akan pulang sekali seminggu. Aku jauh lebih tidak sanggup berjauhan dari kamu. Tapi ini tidak akan lama,” ucapnya yakin. Dia kembali meraihku dalam pelukannya. Aku mempererat dekapanku, saat membayangkan kedepannya tidak akan bisa lagi memelukknya setiap saat, jika memang dia akan melanjutkan pendidikannya.
“Kalau memang itu pilihanmu, aku setuju. Tetapi sebelumnya kita bicarakan dulu dengan Abah dan Ummi,” usulku. Aku merasa idenya untuk melanjutkan pendidikan kembali dengan alasan ingin mendapatkan pekerjaan yang layak kelak, bukan seratus persen darinya. Pasti ini adalah permintaan mamanya. Jika ini memang salah satu jalan agar mamanya merestui kami suatu saat. Aku harus mengizinkannya, meskipun ini sulit.
“Bagaimana kalau di kampus nanti kamu bertemu mahasiswi cantik?” Aku mulai parno.
“Ya...aku dekati,” candanya. Aku melepaskan pelukanku dan menjauhinya dengan wajah cemberut. Dia tertawa melihat tingkahku. Dan menarik tanganku untuk kembali dalam dekapannya.
“Bagiku, tetap kamu yang paling cantik. Selamanya.”
***
“Yuga,” panggilku saat melihat pria itu lewat di depan rumahku. Pagi ini aku sengaja menunggunya di dekat pagar depan. Sama seperti kemarin, sepertinya dia tidak mau lagi berangkat ke kantor bersama denganku.
Aku penasaran sekali dengan perubahan sikapnya. Jelas-jelas dia menghindariku. Sudah seharian aku memikirkan dimana letak kesalahanku yang membuatnya marah. Tetapi tetap saja aku tidak menemukannya. Aku bahkan secara detail merunut kembali komunikasi kami terakhir. Aku mengabarinya akan ada survei hari itu, dan dia membalas pesanku dengan ‘ oke Dita’. Setelah itu kami tidak bertemu dan berkomunikasi lagi.
Dia menghentikan langkahnya.
“Oh hai, Dita.” Hanya itu yang diucapkannya. Nada bicaranya seperti orang asing. Kemana perginya sikap riang penuh canda yang dimilikinya selama ini.
“Aku duluan ya,” ucapnya dan melangkah meninggalkanku.
“Tunggu,” sergahku. Aku sudah tidak tahan lagi. Hari ini aku harus mendapat penjelasan darinya, terkait perubahan sikapnya yang membingungkan itu.
Dia kembali menghentikan langkahnya. Aku menarik lengannya memutar agar dia menghadapkan wajahnya ke arahku. Dia membuang muka. Bahkan sebegitu bencinya dia melihatku. Apa salahku?
“Kamu kenapa?” tanyaku langsung. Dia tidak menjawab.
“Mengapa sekarang kamu seperti ini? Salah aku apa?” Kembali ku serang dia dengan pertanyaan. Tiga tahun kami saling mengenal, baru kali ini dia bertingkah aneh. Kalau dengan orang lain yang bukan siapa-siapa mungkin aku bisa bersikap biasa saja. Tetapi kami sudah dekat bagaikan keluarga.
Dia masih saja diam. Bahkan dia tidak menatapku sekilas pun. Aku mulai gregetan melihat tingkahnya. Waktu tetap berjalan. Bisa-bisa kami terlambat masuk kantor.
“Aku ada salah sama kamu?” ulangku, kali ini dengan nada sedikit lebih rendah.
“Tidak ada,” jawabnya singkat. Lagi-lagi dengan nada ketus sok dewasa. Aku yakin sekali dia menyimpan kebencian padaku. Tetapi karena apa? Kami saling diam. Aku kehabisan akal menanyainya.
“Aku pergi dulu. Aku bisa terlambat,” ucapnya kemudian. Dia melangkah cepat meninggalkanku. Aku terdiam dengan mulut terbuka, tidak percaya dengan sikapnya yang kekanak-kanakan.
‘Oke. Aku sudah berusaha meluruskan. Kalau kamu tidak mau menjelaskan dan mengatakan kesalahanku yang membuat mu marah dan benci padaku. Aku angkat tangan,’ gumamku kesal.
“Dasar bocah,” umpatku.
***
Aku terlambat sampai di kantor. Aku segera bergegas menuju lift dari lobi. Aku tidak pernah terlambat sebelumnya. Semua karena bocah sok dewasa itu. Aku kembali merasa kesal. Aku menekan tombol lift agar segera menutup, hanya aku seorang, jam-jam segini semua orang mungkin sudah sudah sampai di meja kerja masing-masing, jadi tidak perlu lagi berdesakan. Sebelum pintu lift menutup sempurna, seseorang pria masuk dengan tergesa. Aku bahkan sampai kaget, dari mana datangnya.
Manajer? Aku tidak percaya ketika ku lihat dengan jelas bahwa pria itu adalah Arif. Dia merapikan pakaian dan rambutnya. Dia terlambat juga?
Aku membungkukkan kepalaku sedikit ke arahnya ketika dia menatapku juga. Canggung. Melihat dia aku langsung teringat foto profilnya yang menjadi pembahasan panas banyak orang semalam. Refleks kembali ku arahkan pandanganku padanya. DEG. Ternyata dia pun sedang menatapku. Di ruangan sekecil ini, jarak kami rasanya begitu dekat. Aku bahkan bisa mencium wangi pomadenya. Pomade yang sama. Wangi itu membawaku bernostalgia pada kenangan manis saat ku usap rambutnya ketika dia merebahkan kepalanya di pangkuanku. ZZZZ. Apa yang sedang aku pikirkan? Aku mengukuti diriku sendiri, yang sempat-sempatnya kepikiran kenangan itu.
Aku kembali menata pikiranku, yang sempat eror hanya dengan wangi pomade. Fokus.
‘Ayo konfirmasi Ditaaa, tanyakan. Apa maksud dan tujuannya kembali seolah mengungkit kenangan lama?’ jerit batinku kembali. Sebenarnya ini adalah waktu yang tepat, kami hanya berdua. Tetapi rasanya bibir ini kelu untuk mengungkapkan.
“Kamu terlambat juga?,” sapanya kemudian memecah kebisuan dan kekakuan.
“I-Iya, Pak,” gugup ku jawab. Sapaannya membuyarkan niatku mengkonfirmasi segala tanya yang ada di benakku. Pintu lift terbuka. Kami sudah sampai. Aku membiarkannya melangkah duluan. ‘Oke. Sepertinya lebih baik pura-pura tidak tahu saja,’ batinku.
Aku memperlambat langkahku menuju pintu masuk ruangan, biar tidak kentara sekali kalau kami datang bersamaan. Saat sang manajer masuk beberapa orang rekanku kocar-kacir menuju meja mereka masing-masing. Sepertinya baru saja mereka habis melanjutkan pembahasan mereka soal foto profil yang belum tuntas di bahas di grup Whatsapp.
“Kamu terlambat juga?” Niana menghampiriku yang bahkan belum sampai ke meja kerjaku. Aku hanya mengangguk.
“Kami hampir saja ketahuan sedang membicarakan dia,” sambung Niana sambil memberi isyarat dengan bibirnya ke arah ruangan sang manajer guna menjelaskan sosok yang sebutnya ‘dia’. Beberapa rekan wanitaku mulai mendekati aku dan Niana. Sepertinya mereka masih ingin membahas lebih lanjut.
“Kamu sudah lihat fotonya kan, Dit?” tanya Yurika rekan wanitaku yang keponya sebelas dua belas dengan Niana.
“Sudah,” jawabku singkat.
“Oh ya, kalau dilihat-lihat, tinggi badan dan bentuk tubuh wanita yang di foto Pak Manajer semalam, pas banget ya seukuran Dita?” tambah wanita itu kemudian. Sambil terus memperhatikanku dari atas sampai ke bawah. Yang diikuti pandangan mata rekan wanitaku yang lain. JLEB. Apa yang aku khawatirkan terjadi juga.
“Pendeknya sih, memang sama, tetapi tidak mungkin kan wanita itu Dita.” Dia membantah pernyataannya sendiri. Yang di-iyakan oleh yang lain. Huff. Lega.
***
Aku sedang makan siang dengan Niana. Seperti biasa dia merampas isi kotak bekalku dan menyodorkan menu makan siang yang dipilihnya ke arahku.
“Oh, ya. Mengapa akhir-akhir ini Yuga tidak gabung dengan kita lagi?” Niana juga menyadari ada yang aneh.
“Itu dia. Dia menghindari aku belakangan ini. Tadi pagi aku terlambat karena hal itu. Ku coba tanya masalahnya apa, eh dianya cuma diam,” curhatku. Niana menghentikan suapannya.
“Aku yakin sekali tidak salah apa-apa,” belaku. Niana menjentiknya jemarinya di depan mataku.
“Tidak ada alasan lain. Dia cem-bu-ru,” ucap Niana dengan mata berbinar. Beberapa kali matanya mengerling menggodaku.
“Tidak mungkin,” bantahku.
“Kamu sadar nggak sih? Dia itu benar-benar menyukai kamu,” tambah Niana lagi. Aku menepis perkataan Niana. Yuga memang sering menggodaku, tetapi memang seperti itu lah dia. Suka bercanda. Aku tidak pernah menganggapnya serius.
“Lagian kalau dia cemburu. Cemburu pada siapa?” Aku bertanya balik. Bahkan sudah sejak lama, aku tidak pernah dekat dengan pria manapun. Niana pun mengangguk meng-iyakan. Kami berdua kembali berpikir keras, mencari jawaban ada apa dengan Yuga.
***
Aku menyusun kembali barang-barangku ke dalam tas, dan merapikan mejaku. Hari sudah sore. Kami akan berangkat pulang.
“Dit, aku duluan ya,” ucap Niana. Dia terlihat terburu-buru katanya hari ini dia dan Lingga akan fitting baju pengantin.
“Ya. Hati-hati,” balasku. Akupun beranjak dari mejaku dan melangkah pintu.
“Dita,” sebuah suara menghentikan langkahku. Aku menoleh ke belakang. Manajer.
“Bisa ke ruangan saya sebentar,” sambungnya. Aku memandang sekeliling ruangan. Hanya kami berdua.
“Sa-ya?” tanyaku meyakinkan. Dia mengangguk.
Aku mengikuti perintahnya dengan ragu. Mengapa harus sekarang? Disaat semuanya telah pulang. Apa yang akan di lakukannya? Oh tidak, lebih tepatnya, apa yang akan di katakannya?
=====
Ku langkahkan kakiku menuju ruangannya, dengan ragu-ragu dan penuh tanda tanya. Ini terkait pekerjaan atau pribadi. Apakah mungkin hari ini dia akan meluruskan segalanya tentang masa lalu kami? Atau jangan-jangan dia ingin memperbaiki hubungan kami kembali? Mengingat perubahan sikapnya akhir-akhir ini?
Pikiranku terus diputari dengan kemungkinan-kemungkinan. Kalau hal itu benar terjadi. Oke, akan sangat baik. Semuanya memang harus diluruskan.
Aku masuk ke dalam ruangan 4x4 meter itu, dengan gemuruh detak jantung yang mulai tidak stabil. Aku mendapatinya tengah duduk di belakang mejanya. Dia menatapku, kami diam sejenak. Hari semakin sore, suasana semakin hening, karena hanya tinggal kami berdua di ruangan ini. Sangat pas jika hari ini dia membahas urusan pribadi diantara kami. Karena tidak akan ada yang mengetahui. Aku menarik napas dalam, siap memberikan pertanyaan terkait perubahan sikapnya yang mengantarkan kami pada perpisahan, dan aku pun siap memberikan jawaban kalau seandainya dia melemparkan pertanyaan kepadaku terkait peristiwa pahit 10 tahun yang lalu.
“Silakan duduk.” Dia memintaku duduk di sofa yang ada di depan meja kerjanya. Sofa yang bisanya memang digunakan untuk para tamu. Aku menurutinya, mencoba duduk dengan tenang. Kembali kutarik napas dalam-dalam. Suasana semakin serius, aku sedikit tegang. Aku bahkan tidak bisa menatapnya.
Dengan sudut mataku kulihat dia berjalan ke arahku dan berdiri di sampingku. Debar jantungku makin tidak karuan. Dia semakin mendekat, dan membungkukkan badannya ke arahku. Aku memejamkan mata, tubuhku terasa kaku. Apa yang akan dilakukannya? Jangan-jangan?
“Boleh ya, aku minta tolong kamu mempercantik tampilan slide presentasi ini,” ucapnya sambil meletakkan sebuah laptop di atas meja tepat di hadapanku.
Aku membuka mata, tepat dihadapanku terbuka sebuah slide power point. ‘Ooh ya ampuun, apa yang aku pikirkan.’ Aku mengutuki diriku sendiri yang berpikiran terlalu jauh. Jadi ini hanya masalah pekerjaan? Ingin rasanya kupukul-pukul kepala ini.
“Ada apa?” Dia menyadari responku yang terlihat aneh.
“Ti-tidak ada apa-apa,” jawabku gugup dan mencoba tersenyum ke arahnya.
Ternyata dia masih saja membungkukkan badannya di sampingku. Sehingga sekarang wajah kami sejajar. DEG. Aku bahkan bisa menatap seluruh sisi wajahnya dengan detail. Sekarang bahkan dia jauh lebih tampan.
“Oh, ba-baik saya akan kerjakan,” alihku dan memalingkan wajah ke arah laptop dan menggeser duduk menjauh.
Aku yakin sekarang wajahku semerah tomat. Dia memang tidak pernah berubah, selalu bisa membuat seseorang salah tingkah.
Aku segera melakukan apa yang dimintanya. Ya Tuhan, aku tidak bisa berkonsentrasi? Tangaku terlihat gemetar saat menekan tombol-tombol keyboard laptop itu.
Dia kembali ke belakang mejanya, setelah itu dia terlihat sedang menerima panggilan telepon dari seseorang. Aku cukup lega. Setidaknya itu akan mengalihkan perhatiannya, sehingga tidak terus memperhatikanku. Cepat ku selesaikan tugas yang diberikannya, agar aku segera bebas dari situasi sulit ini. Selalu saja, ketika bersamanya aku pasti akan berada pada posisi sulit yang tidak membuat nyaman. ‘Huff, sampai kapan aku harus seperti ini?’
Sinar matahari sore menerobos masuk tepat mengenai wajahku. Posisi ruangannya yang memang menghadap ke arah barat dan dengan 80% dinding yang dikelilingi kaca, membuat sinar matahari begitu lantang menerobos masuk. Aku memandang ke arahnya yang berada tepat sejajar dengan matahari. Mataku terasa silau, meskipun sinar itu tak lagi garang.
Dari tempat dudukku aku bisa menyaksikan, langit yang awalnya berwarna biru cerah, berganti dengan warna jingga. Sungguh suatu pemandangan yang indah luar biasa. Sejenak suasana kembali membawaku ke masa lalu, kami pernah memiliki impian mengunjungi berbagai tempat. Salah satunya ingin mengunjungi pantai dengan sunset terindah, impian yang tak pernah terwujud.
Untuk beberapa saat aku terhanyut suasana, tanpa ku sadari sedari tadi dia terus menatapku. Syahdu.
“Sudah selesai?” tanyanya, membuyarkan lamunanku dan kembali menghempaskanku ke kehidupan nyata.
“Oh, ya sebentar lagi Pak,” ujarku. Sebenarnya slide presentasi seperti apa sih yang diinginkannya? Dan mengapa harus aku yang mengerjakan ini semua.
“Sebenarnya ini tugas Niana, tetapi akhir-akhir ini Niana terlihat tidak fokus, mungkin karena mempersiapkan pernikahannya. Maaf jika saya akhirnya merepotkan kamu,” tuturnya merasa tidak enak.
Kalau ini benar tugas Niana, mengapa dari sekian banyak staf lainnya, harus aku yang dimintai tolong olehnya. ‘Ah sudahlah, yang penting selesaikan dan pulang.’ Aku melirik jam tanganku dengan semakin gusar, sudah hampir Magrib. Sinar jingga di ufuk barat tadi perlahan mulai menghilang. Sebentar lagi akan gelap.
“Sudah saya selesaikan Pak,” ucapku dan beranjak meletakkan laptop itu di atas mejanya. Dia terlihat memeriksa sekilas hasil pekerjaanku, yang kurasa tidak terlalu sempurna. Dia hanya mengangguk.
“Terima kasih,” tuturnya.
“Kalau begitu, saya pamit pulang duluan.” Tak sabar rasanya ingin sampai di luar gedung. Tanpa persetujuannya aku melangkah ke arah pintu.
Aku menelusuri koridor yang mulai gelap, rasa takut mulai menyergap. Aku masuk lift, sama seperti tadi pagi, hanya aku seorang. Saat pintu akan menutup, persis sama kejadian tadi pagi, dia masuk. Aku bahkan sangat kaget sekarang. Terkadang dia seperti hantu, datang tiba-tiba. Apakah dia tidak mengemasi barang-barangnya, hingga bisa menyusulku secepat itu.
Kami hanya saling diam. Tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi nyaring.
“Iya, Ma. Ini sudah mau pulang,” katanya menjawab panggilan dari seseorang di ujung sana. Oh, mamanya. Bagaimana kabar wanita paruh baya yang cantik itu sekarang? Semenjak berpisah, eh bukan, bahkan sejak menikah aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Sekilas aku memandang ke arahnya, dia terus memberikan jawaban menjawab kecemasan sang mama. Dia pasti sangat mencintai putranya sekarang, yang telah menjelma menjadi seorang laki-laki dewasa yang sukses. Sesuai harapannya.
Aku hanya tertunduk, bayangan pernikahan tanpa restu dari mamanya yang pernah kami jalani kembali terputar satu persatu. Ternyata pernikahan tidak akan berhasil hanya dengan bermodalkan cinta, restu kedua keluarga juga memiliki andil dalam keberlangsungan pernikahan itu. Setidaknya itulah yang pernah aku alami.
Pintu lift terbuka. Aku membungkukkan kepala ke arahnya, yang masih sibuk bicara dengan mamanya.
“Sampai jumpa besok Pak,” pamitku.
Mengapa moodku tiba-tiba berubah menjadi buruk? Hufft, aku menghela napas.
Mungkin memang sebaiknya hubungan kami tetap seperti ini saja. Berkenalan kembali sebagai seorang yang baru. Tidak perlu ada penjelasan atau sesuatu yang harus diluruskan tentang masa lalu. Sebab tidak akan ada gunanya. Kami telah berpisah dan tidak mungkin bisa bersama kembali. Dadaku terasa sesak. ‘Aaa mengapa aku menjadi melankolis begini?’
Azan Magrib berkumandang, aku masih duduk di halte menunggu bus menuju pulang. Jalanan tampak sepi, hanya aku seorang. Dia lewat di depanku dengan mobilnya. Hanya lewat. Dia bahkan tidak berniat memberiku tumpangan. ‘Aaaa, apa yang kamu harapkan Dita?’ aku kembali mengutuki persaaanku yang mulai kacau.
***
Sehabis mandi dan sholat Magrib, aku mengeringkan rambutku yang masih basah. Aku sengaja mengguyur kepalaku. Keramas. Walaupun Ummi selalu memperingatkan untuk tidak mandi apalagi keramas diwaktu Magrib. Kali ini aku melanggarnya, kuharap guyuran air di kepalaku itu mampu membuat otakku kembali normal.
Aku mengutak atik telepon genggamku, entah mengapa jemariku justru mencari foto profil Whatsapp sang manajer. Masih foto yang sama. Mataku beralih pada kotak sepatu dan sendal ungu pemberiannya. Sempurna. Dia hanya ingin membuatku baper.
Dan bodohnya aku sempat goyah dan percaya.
“Ta.” Wajah Ummi muncul dari balik pintu. Ummi terheran dengan ekspresi terkejutku.
“Iya, Ummi,” jawabku.
“Ummi habis masak rendang. Banyak. Tadi sudah Ummi kirim untuk kakak-kakakmu. Ini masih ada satu box lagi. Kamu antar ke rumah Yuga ya!” pinta Ummi, sambil menunjukkan sebuah kotak makanan berisi rendang.
“Tadinya mau Ummi kasih langsung, tetapi akhir-akhir ini Yuga jarang datang ke sini. Apa kalian tidak berteman lagi?” Rupanya Ummi juga menyadari. Ah bocah aneh itu. Mengingat kejadian tadi pagi, aku kembali kesal padanya.
“Tidak kok Ummi. Mungkin dia lagi sibuk. Oke, biar Dita antar.” Aku segera beranjak mengganti pakaianku. Lagi pula aku memang ingin bicara dengan bocah itu.
Tidak sampai 5 menit, aku sampai di depan rumah Yuga. Tampak sepi dan gelap. Dia memang terbiasa lupa menghidupkan lampu luar. Aku mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Tetapi tidak ada jawaban. Aku tahu pasti bocah itu ada di dalam. Sebab motornya masih terparkir di luar. Ku ketuk lagi pintunya lebih keras, semoga saja dia kesal.
Sesuai dugaanku, dia membukakan pintu dan menghidupkan lampu luar. Ekspresi wajahnya datar. Sangat tidak senang melihat kedatanganku. Aku yang dari awal sudah cukup kesal jadi bertambah kesal.
“Ini. Dari Ummi,” ucapku sambil menyodorkan box berisi rendang dengan kasar ke tangannya. Dia hanya melongo.
“Aku pulang,” pamitku masih dengan nada kasar. Aku tidak habis pikir, dia bisa menjadi sosok yang begitu menyebalkan.
“Oh ya, satu lagi. Kamu tidak mau lagi bicara denganku, dan aku tidak tahu masalahnya apa? Aku sudah tanyakan ke kamu, dan kamu tidak mau menjawab. Kedepannya, anggap saja kita tidak pernah saling kenal,” ancamku berapi-api.
Aku langsung membalikkan badan, beranjak pulang. Sebenarnya aku tidak ingin berkata demikian, tetapi tingkat kesebalanku sudah lewat ubun-ubun.
“Tunggu,” sergahnya menghentikan langkahku. Bagus. Dia mulai bicara. Aku kembali membalikkan badanku ke arahnya.
“Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu,” tambahnya lagi.
“Duduk dulu,” kali ini dia memerintahku. Aku mengikuti langkahnya dan kami duduk bersebelahan di kursi panjang yang ada di teras rumahnya.
Untuk beberapa saat dia kembali diam.
“Kamu ingin bertanya apa?” Rasanya tidak sabar menunggunya mulai bicara.
“Kamu ada hubungan apa dengan manajer baru itu?” tanyanya kemudian. Dengan nada lirih hampir tidak terdengar. Dia hanya menunduk, tidak sanggup menatapku. Manajer?
Oo jadi ini persoalannya. Benar dugaan Niana, dia cemburu. Kalau tidak mempertimbangkan perasaannya, sekarang pasti aku sudah tertawa terbahak-bahak.
“Hubungan apanya? Kami tidak punya hubungan apa-apa,” jawabku.
“Dia atasan dan aku bawahan. Hanya itu,” tambahku lagi.
“Lalu, mengapa sore itu kamu bisa turun dari mobilnya?” kali ini nada suaranya meninggi.
Ooh ya ampun. Tidak tahan rasanya untuk tidak tertawa. Jadi sore itu sehabis survei, aku memang diantar Arif kembali, tidak sampai rumah hanya sampai halte depan. Ternyata dia melihatku.
“Dengar ya, aku dan manajer tu baru pulang sehabis survei di lapangan. Urusan pe-ker-ja-an,” jelasku selambat mungkin, agar dia bisa mencerna perkataanku.
“Jadi, kalian tidak ada hubungan apa-apa?” kembali dia bertanya meyakinkan dengan tatapan mata berbinar.
“Kalau ada apa-apa, memangnya kenapa? Kamu cemburu?” aku tertawa geli sambil mengacak-acak rambutnya. Sangat lucu. Dia marah berhari-hari hanya karena salah paham. Dia kekanakan sekali.
Tawaku terhenti, saat dia meraih tanganku, dan mencengkramnya. Aku mencoba menarik tanganku, tetapi dia begitu kuat. Dia menatapku tajam.
“Dengar, Dita. Aku suka kamu,” ucapnya.
Mataku melotot, tidak percaya dengan ucapannya. Baru saja dia menyatakan cintanya padaku. ‘Aaah bisa aja nih bocah, pasti ini prank.’ Aku tidak bisa menahan tawaku.
“Kamu becandain aku kan?” ucapku sambil menarik tanganku dari cengkramannya.
“Sudahlah. Aku pulang saja.” Aku berdiri dan siap melangkah. Dan detik itu juga dia kembali meraih tanganku. Aku kembali terduduk di sampingnya, dan kali ini dia semakin mendekat. Jantungku berdebar tidak karuan. Ada apa dengannya?
“Aku serius.” Nada suara itu sekarang terdengar begitu dewasa, jauh bebeda dari biasaya. Apakah dia benar-benar serius sekarang? Aku segera berdiri dan beranjak pergi, sebelum dia semakin tidak terkendali. Aku ketakutan.
“Aku tunggu jawaban kamu, seminggu dari sekarang,” ucapnya setengah berteriak. Aku tidak mempedulikan ucapannya. Mengapa sekarang dia sangat berubah, sama sekali tidak imut dan lucu lagi.
***
#Awal Mula Perpisahan 10 Tahun yang Lalu
Kami telah membicarakan niat Arif untuk kuliah pada Abah dan Ummi. Abah dan Ummi mendukungnya.
“Tapi kamu harus selalu ingat, bahwa kamu sekarang sudah memiliki istri. Ada perasaan yang harus kamu jaga, juga tanggung jawab,” pesan Abah.
Sekarang akhirnya dia resmi melanjutkan pendidikannya. Menjadi mahasiswa. Fakultas Ekonomi, Jurusan Manajemen. Segala biaya pendidikan ditanggung mamanya.
Kalau masalah kesetiaan, aku tidak pernah meragukan. Meskipun bayangan bahwa dirinya sekarang berteman dengan wanita-wanita lain di kampusnya, datang mengganggu pikiranku. Tetapi aku tetap percaya, bahwa dia tidak akan pernah berpaling.
Setiap hari kami berkomunikasi, dia memang telah membelikanku sebuah telepon genggam saat ulang tahun pernikahan kami yang pertama. Dua buah telepon genggam dengan merk yang sama. Satu untuknya dan satunya lagi untukku.
Setiap sekali seminggu dia pulang menemuiku. Dia masih memberiku nafkah, yang kurasa dia sisihkan dari uang bulanan yang diberikan mamanya. Menjalani hubungan jarak jauh, awalnya memang terasa sulit untukku, karena selama ini aku telah terbiasa dengannya. Dia pun sepertinya begitu. Tetapi kami harus bersabar dan tetap bertahan. Sejauh ini tidak ada permasalahan berarti yang kami alami.
Sampai di awal bulan Agustus waktu itu.
Akhir-akhir ini kondisi kesehatan Abah sedikit terganggu. Abah sering batuk, dan itu tidak pernah berhenti. Aku pernah memeriksakan ke puskesmas terdekat bersama Ummi. Kata dokternya ada yang salah dengan paru-paru Abah. Abah memang bukan seorang perokok, tetapi pekerjaannya bertahun-tahun di kandang ayam tanpa menggunakan masker, ku rasa itulah penyebab penyakit Abah. Debu dan serbuk dari pakan dan sisa kotoran ayam yang dihirup Abah setiap hari, bisa saja telah terakumulasi di paru-paru Abah. Aku menyesali mengapa tidak begitu cerewet mengingatkan Abah soal memakai masker, setiap kali masuk kandang ayam.
Napas Abah terasa sesak. Abah tidak bisa lagi beraktivitas seperti bisanya. Kandang ayam menjadi tanggung jawabku dan Ummi. Sekarang kami harus rutin membawa Abah berobat. Untungnya aku tidak terlalu pusing soal biaya, karena keempat kakakku selalu patungan mengirimkan biaya pengobatan Abah.
Keadaan ini sangat sulit bagiku. Arif juga memahaminya, tetapi dia tidak bisa meninggalkan kuliahnya begitu saja.
Sampai lah di hari itu. Sebuah pesan ku terima darinya
[Ta, hari ini aku pulang ke rumah mama, mama sedang butuh bantuanku]
Beberapa minggu belakangan dia memang sering pulang ke rumah mamanya terlebih dahulu, setelah itu baru pulang ke rumah. Aku tidak masalah. Mungkin mamanya memang sedang membutuhkan bantuannya.
Setelah pesannya ku baca, aku langsung menghubunginya, tetapi telepon genggamnya sudah tidak aktif. Ada apa dengan mamanya?
Dan disaat bersamaan aku dikejutkan oleh suara pekikan Ummi. Abah terjatuh dan pingsan di kamarnya. Aku benar-benar panik. Berkat bantuan beberapa kerabat Abah, akhirnya kami bisa membawa Abah ke Rumah Sakit. Abah akhirnya di rawat. Abah tidak sadarkan diri. Ternyata sekarang kami harus menghadapi kenyataan bahwa kerusakan pada paru-paru bukan satu-satunya penyakit yang diderita Abah. Tekanan darahnya juga sangat tinggi. Inilah yang membuatnya terjatuh dan pingsan.
Aku kewalahan mengurus segalanya sendiri. Ku coba menghubungi Arif kembali tetapi nomornya tetap tidak aktif. Aku telah menghubungi kakak-kakaku, karena mereka sangat jauh, jadi tidak mungkin langsung bisa sampai hari ini.
Beberapa alat dipasang di dada, di hidung dan di tangan Abah. Ummi terlihat begitu terpukul dan tidak berhenti menangis dengan tangan tetap menggenggam jemari Abah. Semuanya terjadi begitu mendadak. Hari sudah menjelang malam, Abah masih belum sadar.
Aku harus bolak balik rumah dan Rumah Sakit menjemput segala keperluan yang dibutuhkan. Sekarang aku benar-benar membutuhkan Arif. Ku coba menghubungi nomornya sekali lagi, tetap tidak aktif.
Di pagi berikutnya, setelah semalaman di Rumah Sakit, Abah baru sadar. Walaupun dia bisa membuka matanya tetapi tatapan mata itu sekarang terlihat kosong, dia tidak mengenali kami. Air mataku tidak dapat dibendung lagi. Aku rindu mendengar suara Abah yang lembut dan bijak. Abah adalah sosok ayah paling baik, untuk kami anak-anaknya, dia tidak akan menuntut banyak. Bahkan diusianya yang senja dia masih tetap bekerja, tidak ingin membebani anak-anaknya.
Semua kakak dan kakak iparku telah datang. Tangis mereka pecah, mereka memang telah lama tidak pulang, karena kesibukan dan kesulitan yang mereka hadapi masing-masing. Dan sekarang ketika mereka semua pulang, mereka tidak bisa bicara dengan Abah, dan yang lebih menyakitkan Abah tidak lagi mengenali mereka.
Ini adalah hari ketiga kami dari rumah sakit. Aku sedang duduk di luar, sebab cleaning service sedang menyapu dan mengepel lantai.
“Dimana suami mu?” Kakak tertuaku ternyata sudah ada di sampingku. Ku jelaskan bahwa aku tidak bisa menghubunginya, bahkan sampai saat ini.
“Inilah mengapa aku tidak pernah setuju kamu menikah dengannya,” ujar kakakku.
“Bahkan di saat kamu kesulitan seperti sekarang, dia tidak ada untuk kamu. Dia lebih mementingkan mamanya dan kuliahnya,” tambah kakakku lagi. Aku hanya terdiam tidak bisa membantah. Aku yakin Arif tidak seperti itu.
“Mamanya tidak pernah merestui kalian, dia pasti akan terus berusaha membuat anaknya kembali padanya dan meninggalkan kamu,” ucap kakakku lirih, dan itu sangat menyakitkan bagiku.
“Lebih baik kamu susul sekarang ke rumahnya, minta penjelasan padanya. Abah dan Ummi biar kami semua yang menemani,” perintah kakakku. Aku hanya mengangguk.
Sebelum menyusul Arif ke rumahnya, aku pulang dulu. Beberapa hari ini aku bahkan tidak mandi.
Keadaan rumah kami yang sangat sederhana sangat kacau, walaupun baru beberapa hari ditingggal. Pemeliharaan ayam kami serahkan kepada kerabat Abah. Rasanya sayang juga menelantarkan ayam begitu banyak, yang 15 hari lagi akan bongkar.
Aku baru saja menutup pintu rumah, saat dua orang tetangga menghampiriku.
“Bagaimana keadaan Abahmu Dit?” tanya mereka. Tetangga adalah orang terdekat yang akan peduli dengan masalahmu.
“Alhamdulillah. Sudah sadar Kak,” jawabku sambil tersenyum pada mereka.
“Semoga Abahmu cepat sembuh ya, dan bisa pulang ke rumah lagi,” tambah mereka. Meskipun mereka tidak menjenguk langsung ke Rumah Sakit setidaknya merena menunjukkan empati.
“Oh ya, si Arif kemana Dit, kok belakangan ini tidak kelihatan?” Kali ini mereka mengalihkan pertanyaan. Selain terkadang peduli, tetangga adalah makhluk yang paling kepo dengan urusanmu.
“Ada kok Kak,” ujarku bohong dan segera pamit meninggalkan mereka.
“Kasihan Dita ya. Udah susah-susah menikah muda dengan cowok kaya. Tetapi malah tidak dapat apa-apa. Justru sekarang ditinggal begitu saja,” bisik mereka ketika aku baru saja meninggalkan mereka beberapa langkah.
Kupingku terasa panas. Tetapi aku hanya bisa sabar. Aku tidak mau membuat masalah baru, dengan perang mulut menghadapi mereka. Dan harus selalu diingat tetangga adalah orang yang omongannya terkadang jauh lebih pedas dari B*nCabe level 30.
***
Aku memberanikan diri memasuki pekarangan rumah besar itu. Ini pertama kalinya ku jejakkan kaki disini, setelah statusku berubah menjadi istri Arif. Ku tarik napas, dan bersiap mengahadapi apapun yang terjadi. Bersiap menghadapi mamanya. Aku harus bertemu Arif hari ini.
Dengan tangan bergetar ku pencet bel yang ada di samping kanan pintu masuk. Setelah beberapa saat. Tidak ada tanda-tanda seseorang akan membukakan pintu. Terus ku pencet bel itu. Tetap saja hasilnya nihil. Rumah besar bak istana di mataku itu benar-benar sepi. Kemana semua penghuninya? Kemana Arif?
Aku menunggu dengan gundah, hari semakin sore, langit tampak gelap, sepertinya akan turun hujan. Persaanku mulai tidak enak. Ucapan kakakku ditambah lagi gunjingan para tetangga tentang Arif membuat kepercayaanku terhadapnya mulai goyah. Apa benar sekarang dia lebih mementingkan mamanya?
Kutinggalkan rumah itu dengan perasaan kecewa. Sesampai di gerbang pintu masuk aku berpapasan dengan sebuah mobil. Mobil itu berhenti, ternyata Arif. Dia turun dari mobil. Penampilannya kusut sekali. Sekitar matanya terlihat menghitam, seperti kurang tidur.
“Dita? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya heran.
Rasa rindu ingin menghambur dalam pelukannya dan berbagi beban dengannya seketika sirna mendengar apa yang diucapkannya.
“Memangnya aku tidak boleh datang ke sini,” nadaku meninggi, merasa tersinggung dengan ucapannya. Untuk pertama kalinya, aku merasa begitu marah dan tidak dianggap. Dia mendekatiku.
“Bukan begitu,” bantahnya.
“Kamu tidak bisa dihubungi, jadi wajar kan kalau aku mencari kamu. Aku ini istri kamu.” Aku meledak lagi.
“Kita bicara di dalam,” bujuknya, sambil menarik tanganku. Aku menyentakkan tangannya dengan kasar.
Dia mengusap wajah dan kepalanya, merasa frustasi dengan sikapku.
“Aku sekarang sedang pusing, tolong kamu jangan menambah bebanku,” suaranya meninggi. Aku kaget. Dia tidak pernah bicara seperti itu denganku sebelumnya.
“Jadi aku ini beban buat kamu?” bentakku tak kalah nyaring. Hatiku merasa tersayat ketika seseorang yang ku harapkan bisa ku jadikan tempat bersandar, ternyata hanya menganggapku sebagai beban. Aku bahkan belum mengatakan kondisi Abah padanya. Mataku memerah menahan tangis, semuanya di luar dugaanku.
“Bukan begitu,” kembali dia membantah.
“Sekarang aku sedang mengurus mama, mama sedang membutuhkan aku.” Ternyata benar apa kata kakaku, dia hanya memikirkan mamanya. Dia sama sekali tidak peduli denganku, dengan Abah yang sekarang sekarat di Rumah Sakit.
“Oke. Silakan urus mamamu saja. Tidak usah pedulikan aku.” Tanpa kusadari ucapan kasar itu keluar dari mulutku. Aku beranjak meninggalkannya. Terdengar suara gaduh, sepertinya dia menendang pintu mobilnya dengan kesal.
Aku menelusuri jalan pulang, air mataku meleleh. Rasanya begitu sakit bagaikan di sayat-sayat. Selama ini kami bertahan walaupun tanpa restu mamanya. Kami tetap bisa saling menyayangi dengan modal besarnya cinta diantara kami berdua. Tetapi sekarang, dia tidak lagi peduli padaku.
Hujan mulai jatuh satu persatu. Petir dan guntur terdengar silih berganti. Sesuatu yang biasanya ku takuti. Sekarang tidak ku pedulikan. Aku terus berjalan dengan air mata bercucuran, seiring derasnya hujan.
Sumpur Kudus, 4 Agustus 2019/ 19:45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel