Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 16 Maret 2020

Mantan Suamiku #7

Cerita bersambung

Terima kasih untuk admin yang telah meng-approve tulisan saya ini. Saya masih berharap kritik dan sarannya baik dari segi bahasa maupun penulisan. Semoga cerita fiksi ini bisa menghibur teman-teman semuanya.
***

Aku bersiap untuk berangkat bekerja pagi ini. Badanku terasa tidak enak. Semalaman mataku tidak bisa terpejam, semua disebabkan oleh pernyataan cinta Yuga yang tiba-tiba. Masih terbayang semua ekspresinya semalam. Dia tidak seperti Yuga yang ku kenal selama ini.

Bagaimana cara menghadapinya hari ini? Dia juga menuntut jawaban dalam waktu satu minggu. ‘Aah semoga pagi ini dia mengklarifikasi, bahwa semalam itu dia cuma main-main’. Aku sangat nyaman juka hubungan kami hanya tetap teman.

Beberapa kali ku perbaiki riasan di sekitar mataku, agar mataku tidak terlihat lelah dan mengantuk. Sayup-sayup ku dengar Ummi sedang berbicara dengan seseorang. Aku mengendap-endap keluar dari kamar, dan mengintip dari balik jendela kaca. Yuga?

Sepagi ini dia telah ada di rumahku. Kudengar dia beramah tamah dengan Ummi. Ummi yang juga sudah terbiasa dengannya, sangat senang ketika melihat Yuga kembali setelah beberapa hari tidak bertemu. Bagaimana ini? Aku tidak bisa bersikap biasa saja dengannya sekarang.
Beberapa kali aku bolak-balik kamar dan ruang tamu. Memikirkan bagaimana cara menyapanya kali ini. Ummi yang menyadari aku begitu lama keluar dari rumah, merasa tidak enak dengan Yuga.

“Ta....Kamu sudah siap, Yuga nungguin kamu,” teriak Ummi.
“Ya, Ummi.” Aku segera keluar dari kamar dan menuju teras. Aku disambut senyuman manis Yuga. Aku menjadi sangat canggung menatapnya.

Setelah berpamitan dengan Ummi, kami berjalan menuju halte. Aku sengaja mempercepat langkahku, dan sedapat mungkin tidak bicara dengannya. Dia mengikuti langkahku, juga dengan diam. Saat aku melirik ke arahnya, dia kembali memasang senyum termanisnya. Aku bergidik sendiri melihat senyumannya. Aku lebih merindukan sikap manjanya, yang berlari kecil mengejarku sambil memanggilku ‘kakaaaak.’

Ku rasakan sekarang perhatiannya jauh lebih besar. Saat aku tidak kebagian tempat duduk di bus, dia bahkan berusaha mencarikan, dan mempersilakan aku duduk sedangkan dia sendiri gelantungan. Rasanya sangat tidak nyaman di perlakukan seperti itu.

“Nanti kita bertemu saat istirahat makan siang ya,” ucapnya saat kami sudah sampai di lobi. Aku hanya diam, dia kembali tersenyum.
***

Niana terlihat sibuk memilih model kartu undangan untuk pesta pernikahannya. Belakangan ini Niana memang sangat tidak fokus. Dia tetap datang ke kantor, tetapi pekerjaannya tidak satupun yang beres. Seperti kemarin, aku terpaksa memperbaiki slide presentasi manajer, yang seharusnya menjadi tugas Niana. Tetapi aku memaklumi, wajar saja. Siapapun akan seperti Niana. Sebab pernikahan adalah acara sakral sekali seumur hidup yang harus dipersiapkan dengan sangat matang. Sekali seumur hidup? Bagaimana dengan aku?

“Tolong bantu aku memilih. Menurut kamu mana yang paling bagus?” pinta Niana sambil menunjukkan dua buah gambar desain kartu undangan. Keduanya bagus, terlihat elegan dan berkelas.
“Ini.” Tunjukku pada sebuah undangan dengan desain seperti kartu ATM. Pasti sangat menarik, tetapi harganya pasti juga mahal.
Niana terlihat mengangguk mempertimbangkan pilihanku.
“Kamu sudah sangat yakin dengan Lingga sekarang?” tanyaku memastikan karena perasaan wanita itu sangat labil. Contohnya saja waktu manajer baru datang.
“Ya, yakin lah, 100%,” ucapnya.
“Selama ini kedua keluarga sudah mendesak kami agar tidak terlalu lama bertunangan. Dasar akunya saja yang masih suka ragu,” tambah Niana.
“Baguslah. Itu artinya restu sudah ditangan, semoga kelak tidak ada batu penghalang dalam rumah tangga kalian. Tanpa restu dari satu belah pihak, maka pernikahan juga tidak akan bertahan lama,” tuturku bijak.
“Kamu sok tahu. Padahal menikah aja belum,” kelakar Niana sambil mentertawaiku. Aku hanya tersenyum malu-malu. ‘Aku bahkan telah merasakan apa yang kamu rasakan sekarang 10 tahun yang lalu,’ gumamku perih.

Pekerjaan kami memang sedang tidak terlalu banyak, jadi aku dan Niana bebas bicara. Lagipula sepertinya manajer kami sedang sibuk di ruangannya. Niana sengaja mencari kursi agar bisa duduk dekat denganku.

“Setelah ini giliran kamu. Ingat umur, kamu sudah kepala tiga,” bisik Niana dengan jempol masih asyik dengan telepon genggamnya.
“Mau menikah dengan siapa? Aku bahkan tidak punya bayangan calonnya siapa,” ucapku tak bersemangat.
“Si bocah.” Niana hanya akan selalu ingat Yuga. Satu-satunya kandidat.
Mendengar kata bocah, aku teringat kembali pernyataan cintanya tadi malam.
“Semalam dia nembak aku,” curhatku pada Niana. Sebenarnya malu mengakuinya, tetapi aku butuh seseorang untuk berbagi. Siapa tahu Niana punya solusi untukku.
“Kamu serius?” suara Niana terdengar nyaring, karena terlalu semangat. Aku menutup mulutnya, karen kali ini beberapa rekan kami mulai mengarahkan pandangan mereka ke arah kami.
“Tuh kan, aku bilang juga apa, dia benar-benar suka sama kamu,” ucap Niana, kali ini dengan berbisik. Dari nadanya dia terlihat sangat senang, karena sesuai dengan prediksinya.
“Terus kamu jawab apa? Tidak usah pikir panjang lagi. Sikaat,” ujarnya sambil terkekeh.
“Sikat, sikat. Kamu pikir WC, disikat,” balasku kesal. Niana kembali terkekeh, sepertinya wanita ini sangat menikmati kekesalanku.
“Kamu tunggu apa lagi. Soal usia dia lebih muda, itu mah biasa, lagian kan dia cuma lebih muda 3 tahun dari kamu. Tidak terlihat begitu jelas. Dia juga tampan, baik lagi, dan yang penting dia cinta banget sama kamu,” Niana seolah sedang mempromosikan Yuga, agar aku memantapkan hatiku.
Semuanya tidak semudah yang Niana katakan. Kalaupun akhirnya nanti persaanku berubah, bisa menerima Yuga. Persoalan baru akan muncul. Dia sama sekali belum tahu masa laluku. Tidak akan mudah bagi seorang lajang sepertinya menerima statusku, apalagi selama ini aku selalu menutupi statusku sebenarnya. Dia pasti akan sangat kecewa, karena selama ini telah dibohongi dan dibodohi.

Huff, kutarik napas dalam. Sepertinya mimpi untuk segera menyusul Niana menikah, sangat sulit bahkan mustahil bisa terwujud.
***

Mendekati jam istirahat makan siang. Aku bersiap untuk ke luar ruangan menuju kantin. Niana telah kabur duluan, katanya ada janji dengan Lingga.

“Ditaaaa, ada yang cariin nih,” teriak Boby dari pintu masuk.
Aku memandang ke arah Boby. Ku lihat Yuga sudah melambaikan tanganya padaku.
“Cieeee,” satu ruangan sontak menggodaku. ‘Sudah gila tu bocah, dia bahkan nekat menyusulku.’

Disaat bersamaan sang manajer keluar dari ruangannya. Mungkin dia merasa terganggu dengan suara ribut. Aku bergegas menuju pintu luar sambil menarik tangan Yuga. Wajahku memerah, dia membuatku malu hari ini.

“Bakalan segera menyusul Niana nih kayaknya.” Ku dengar Boby berceloteh, yang disambut tawa yang lain.
“Dita, nggak mau kalah.” Timpal yang lain.
“Kamu ngapain nyusul aku?” todongku langsung saat sampai di lorong.
“Memangnya kenapa?” ujarnya merasa tidak bersalah, lagi-lagi dengan senyuman.
“Kamu membuat aku malu, tidak kamu lihat semua orang mentertawakan kita?” ucapku kesal.
“Biar saja, agar semua orang tahu, kalau aku suka sama kamu,” jawabnya.

Sepertinya tidak perlu menunggu waktu satu minggu untuk menjawab pengakuan cintanya. Aku harus segera memberi jawaban kepastian padanya, Agar dia tidak semakin membuatku gila.
Aku berjalan meninggalkanya menuju lift saat ku lihat sang manajer juga akan melewati lorong yang sama. Meskipun hanya mantan, rasanya tidak enak mengumbar asmara baru di depannya.

“Ditaa, tunggu.” Yuga berlari mengejarku. Ku pasang wajah jutek ke arahnya. Kami masuk lift. Dan tanpa ku duga manajer itu juga masuk. Sekarang kami bertiga ada di dalam ruangan kecil itu. Posisku ada diantara dua lelaki itu sekarang. Ku rasakan tubuhku mulai kaku, canggung dan debaran di dada semakin kencang. Sekilas ku lihat ekspresi sang manajer yang dingin dan datar. Yuga berusaha menyapa dengan mengangguk ke arahnya. Meskipun tidak di bidang yang sama, dia tetap atasan. Meskipun mencoba ramah, Yuga sepertinya tidak menyukai Arif. Semalan dia juga mengakui cemburu pada manajer itu.

Semoga saja Yuga tidak berkata sepatah kata pun, do’aku di dalam hati.
“Nanti malam aku jemput kamu ya, temani aku. Seperti biasa, belanja bulanan.” Do’aku sepertinya tidak terkabul, bocah itu mulai berceloteh. Apa yang dikatakannya? Seperti biasa? Yuga benar-benar ngarang, aku tidak pernah keluar malam dengannya, apalagi menemaninya. Belanja bulanan? Sepertinya dia memang sengaja. Ingin rasanya kuinjak kakinya sekuat mungkin.

Saat pintu lift terbuka, Arif langsung melangkah keluar tanpa sedikit pun menoleh. Ku alihkan pandanganku ke arah Yuga, dan menatapnya tajam. Tanpa bicara langsung ku tinggalkan dia.

“Ditaaa,” teriaknya sambil berlari kecil menyusulku.
***

#Perpisahan 10 Tahun yang Lalu

Setelah pertengkaran sore itu, aku dan Arif tidak pernah bertemu lagi. Dia benar-benar sudah tidak peduli padaku. Bahkan dia tidak berusahan menghubungiku lewat telepon genggam. Rasanya tidak percaya, dia yang selama ini mengaku sangat sayang dan cinta padaku, tiba-tiba berubah dalam sekejap.
Kondisi kesehatan Abah belum menunjukkan banyak perubahan. Abah harus tetap di rawat di rumah sakit. Ini sudah memasuki minggu ke 3. Sekarang aku kembali sibuk bolak-balik rumah dan Rumah Sakit, karena satu persatu kakakku kembali ke kota karena suami mereka harus kembali bekerja dan anak-anak mereka juga harus sekolah.

Beban rasanya menumpuk di pundakku. Belum lagi beban perasaan. Apakah kami memang harus berakhir seperti ini saja? Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, air mataku kembali menetes. Aku sengaja keluar dari ruangan perawatan Abah. Agar Ummi tidak melihat air mataku. Aku tidak memberi tahu Ummi kejadian sore itu. Aku takut menambah beban pikiran Ummi. Ku katakan saja, kalau Arif akan datang seminggu lagi menjenguk Abah karena sekarang ada tugas kuliah yang tidak dapat ditinggalkan.

“Temui suamimu sekali lagi, minta kejelasan hubungan kalian,” desak kakak tertuaku saat menelepon waktu itu.

Aku menghela napas berat. Aku masih berharap Arif tiba-tiba datang menemuiku. Atau setidaknya menelponku. Tidak mungkin hubungan kami berakhir seperti ini saja. Selama ini kami hampir tidak pernah bertengkar hebat, kalaupun ada perselisihan, karena sama-sama belum dewasa kami akan tetap berbaikan, saling memaafkan.

Apakah tidak ada cintanya sedikitpun tersisa untukku? Apakah benar sekarang yang terpenting baginya hanyalah mamanya? Kalau aku tahu akan seperti ini akhirnya, lebih baik dulu ku tinggalkan saja dia. Berangkat ke kota dan mengabaikan cintanya. Penyesalan mulai merasukiku.
***

“Kapan Arif pulang, Ta?” tanya Ummi pagi itu. Aku sedang membersihkan tangan Abah dengan kain basah. Nafas Abah masih sesak.
“Apa dia ada menghubungi kamu?” tambah Ummi saat aku tidak menjawab pertanyaannya.
“Kalian baik-baik sajakan?” Ada kecemasan dalam nada bicara Ummi. Sepertinya Ummi tahu ada yang tidak beres dengan hubungan kami. Ya, tentu saja. Naluri seorang ibu. Lagipula terlalu janggal karena sampai sekarang Arif tidak datang menjenguk Abah, mertuanya sendiri.

“Kami baik-baik saja Ummi,” ucapku berbohong, dan tidak mampu menatap ke arah Ummi karena mataku mulai memerah menahan tangis.
Aku minta izin untuk pulang ke rumah dulu. Ku tinggalkan Ummi sendirian menjaga Abah.
“Dita pulang dulu sebentar, mengambil baju ganti utuk Ummi. Sebentar lagi Dita kembali,” pamitku pada Ummi. Ummi hanya mengangguk. Kulihat mata tua itu semakin lelah. Hampir setiap malam Ummi tidak bisa tidur. Kami memang selalu bergantian menjaga Abah di malam hari. Akupun sebenarnya sama, tidur di lantai Rumah Sakit beralaskan sehelai tikar, sangat tidak nyaman. Tetapi terkadang karena terlalu lelah, aku bisa tertidur satu atau dua jam.

Kupandangi wajah Abah yang tertidur, yang ku tahu pasti tidak pulas. Karena sesekali napasnya tersenggal. Ummi masih setia menggenggam jemari Abah. Sesuatu yang dulu kuimpikan bersama Arif. Menikah muda dan setia sampai tua. Tetapi sekarang aku sedang di uji.
Aku harus menemui Arif lagi. Meskipun sikapnya tempo hari masih menyisakan sakit di hatiku. Seperti kata kakakku, aku harus meminta kejelasan hubungan kami.
Aku membatalkan niatku untuk pulang ke rumah. Kakiku melangkah kembali menuju rumah Arif, setelah turun dari angkot yang ku tumpangi. Aku sudah memantapkan hati. Apapun yang terjadi hari ini, aku harus bisa menerima. Akan lebih baik demikian, dari pada terus merasa di gantung.

Pagar rumah mewah itu tampak terbuka, ada mobil terparkir di halamannya. Mengapa sekarang aku merasa begitu kecil dan tidak berarti, sangat tidak pantas menjadi istri Arif. Kasta kami berbeda. Meskipun dari dulu aku telah tahu, tetapi dulu besarnya cinta membuat kami merasa setara. Bagaimana sekarang? Apakah masih ada cintanya untukku?
Aku ragu melangkah masuk. Saat mata ku arahkan ke teras samping. Kulihat Arif sedang menyuapi mamanya. Di situ juga berdiri kakaknya dan seorang wanita muda. Mereka terlihat sangat bahagia. Hatiku terisis saat melihat Arif tidak berhenti tersenyum. Dia bahagia di sini bersama keluarganya, dan sama sekali tidak peduli dengan beban dan kepedihanku.

Kuurungkan langahku memasuki halaman rumah dengan taman luas yang tertata indah itu. Tidak perlu penjelasan lagi, Arif jauh lebih bahagia di sini bersama keluarganya, tanpa aku. Sebaiknya aku mengalah. Karena sampai kapan pun tidak ada celah bagiku untuk masuk ke dalam lingkaran kebahagiaan itu. Buktinya hampir dua tahun kami menikah, mamanya tetap tidak merestui. Ku seka air mataku yang tanpa sadar telah membelah pipiku.

Ku balikkan badan, melangkah pulang. Tetapi ternyata Arif melihatku.  Samar ku dengar dia berteriak memanggil namaku. Ku langkahkan kaki secepat mungkin, agar dia tidak dapat menyusulku. Tetapi kakiku terlalu pendek, dan langkahnya terlalu panjang. Dia berhasil mencengkram lenganku, dan menarikku ku kuat sehingga sekarang kami saling berhadapan.

“Kita bicara dulu. Di dalam,” ujarnya sambil menarik tanganku melangkah ke rumahnya kembali. Aku menyentakkan tanganya, sehingga cengkramannya terlepas.
“Tidak perlu, kita bicara di sini saja,” ujarku. Karena hati ini sudah terasa di sayat-sayat, tidak ku pedulikan lagi pandangan beberapa pengguna jalan yang menyaksikan drama kami.
Kembali Arif terlihat frustasi dengan tingkahku. Wajah itu masih sama kusutnya dengan tempo hari.
“Sekarang mau kamu apa?” tanyanya emosi.
“Kita berpisah saja, ceraikan aku.” Kata-kata itu mengalir. Sebelumnya aku bahkan tidak kepikiran sedikitpun dengan kata-kata ‘keramat’ itu. Bagaimana mulutku begitu lancar mengucapkannya.
Dia tersentak kaget mendengar ucapanku.
“Kamu gila?” ujarnya tidak percaya.
“Ya, aku gila. Aku gila sejak kenal dengan kamu. Dan sekarang aku tidak mau semakin gila, makanya kita berpisah saja,” ucapanku semakin tidak terkontrol.
“Aku tidak percaya kamu wanita seperti ini, yang mudah saja berucap kata-kata cerai, hanya karena hal sepele. Kamu bahkan tidak peduli betapa pusing dan terpuruknya aku belakangan ini,” tudingnya.

Hal sepele? Dan sekarang dia balik menyalahkan aku yang tidak peduli padanya. Sebenarnya siapa yang tidak peduli. Dia bahkan tidak bertanya sedikitpun tentang kondisi Abah. Meskipun dia belum tahu Abah masuk Rumah Sakit, tetapi sebelumnya dia telah tahu kalau Abah dalam kondisi tidak sehat. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri.

“Kamu benar. Aku bukan wanita yang sempurna untuk kamu. Makanya kita bercerai saja.” Aku mencoba bicara tenang, dan terlihat tegar. Kata-kata keramat itu kembali ku ucapkan.
“Bisa tidak kamu berhenti mengucapkan kata-kata, cerai, cerai dan cerai.” Dia kembali emosi, nadanya luar bisa meninggi.
“Tidak perlu lagi kita berdebat panjang, sebaiknya kamu kembali karena sepertinya mama dan keluargamu mu sangat membutuhkan kamu sekarang,” ucapku. Saat kulihat kakaknya berdiri tertegun menyaksikan pertengkaran kami di pintu gerbang. Arif terlihat panas, mendengar nama mamanya ku bawa-bawa.
“Oke, kalau itu mau kamu. Kita cerai. Dasar wanita egois.” Dia menatapku garang penuh kebencian. Dia meninju pagar rumahnya dengan kasar, tangan itu terlihat berdarah. Aku tidak peduli. Semua telah berakhir. Air mataku bahkan tidak menetes lagi.

Aku melangkah menjauh, dan dia pun melangkah ke arah berlawanan menuju rumahnya. Seperti sebuah kaca besar, satu-persatu kenangan manis, impian-impian indah, retak dan hancur berkeping-keping. Hanya meninggalkan beling-beling tajam yang menusuk dan melukai setiap kaki dilangkahkan.
Seperti tak bertujuan, kakiku terus melangkah. Nyawa seakan tidak lagi di ragaku.

Tiba-tiba telepon genggamku berdering. Ummi? Suara tangis Ummi di ujung sana membuatku langkahku terhenti.

“Cepat kembali Ta, Abah kritis.” Seperti mendapat hantaman keras di seluruh tubuhku. Aku lunglai. Dadaku berdebar kencang, meskipun Ummi hanya bilang ‘kritis’ tetapi hatiku berkata lain.
Tangisku kembali pecah. Aku sama sekali tidak peduli dengan orang-orang di sekitar. Abaaah...

Segera ku pulihkan kesadaranku. Ku stop angkutan umum yang lewat di depanku. Sebelum kakiku melangkah naik, ku keluarkan kembali benda kecil yang baru saja ku pegang dari sakuku. Telepon genggam pemberian Arif. Ku jatuhkan benda kecil itu perlahan di jalanan. Setelah angkutan yang ku naiki berjalan, ku lihat benda kecil itu kini hancur berkeping-keping.
***

Aku tidak dapat menghindar dari Yuga. Dikantin, di mushola saat sholat Zhuhur. Dia selalu mengekoriku. Meskipun tatapan mataku tidak bersahabat, dia tetap tersenyum. Membuatku gregetan sendiri, ingin mengacak-acak wajah tidak bersalahnya itu.
Kalau lah dia tahu statusku yang sebenarnya. Ku pastikan dia akan langsung menjauh sejauh-jauhnya.
Aku baru terlepas darinya saat jam istirahat siang berakhir. Segera ku langkahkan kakiku menuju ruanganku. Diapun harus kembali ke ruanganya.
Beberapa kali aku menoleh ke arah pintu masuk, memastikan kalau bocah itu tidak mengikutiku lagi. Di saat itu sang manajer masuk, pandangan mata kami bertemu. Tatapannya begitu dingin dan datar. Sama seperti saat bertemu pertama kali. Kenapa lagi dia?
Belakangan ini dia mulai ramah, bahkan terkesan mencoba bersikap baik padaku. Sehingga hampir membuatku baper. Tetapi sekarang, dia berobah lagi. Aku mengerutkan dahi, tidak mengerti.

Telepon genggamku tiba-tiba bergetar. Niana?
“Ditaa, tolong aku ya. Manajer menghubungiku, aku disuruh mencari berkas laporan penjualan tahun lalu di gudang arsip. Sekarang aku tidak bisa kembali ke kantor, aku terjebak macet setelah tadi mencari tempat percetakan undangan,” pinta Niana.
“Oke,” ucapku. Tidak mungkin ku tolak, selama ini Niana juga sudah terlalu baik bagiku.
“Terima kasih Dita sayang. Aku akan bilang Pak Manajer kalau kamu bersedia membantu aku,” tutup Niana riang.

Aku menuju ruang arsip di lantai atas. Ruangan kecil tempat seluruh berkas menumpuk. Meskipun telah disiapkan rak penyimpanan, tetapi tetap saja ruangan itu berantakan. Terkadang jika seseorang sedang mencari arsip tertentu, mereka mengacak-acak susunan map-map besar itu.
Aku telusuri rak itu satu persatu. Seharusnya aku mudah menemukannya, karena baru akhir tahun lalu disimpan di sini. Setelah cukup lama berputar-putar aku tidak menemukannya. Telepon genggamku kembali bergetar. Manajer?

“Kamu sudah menemukannya?” suaranya terdengar ketus. Aku menjauhkan telepon genggam itu dari telingaku. Dan bertingkah seolah ingin memukulnya. Keterlaluan sekali dia, aku juga sedang berusaha.
“Belum Pak, aku akan periksa lebih teliti lagi,” ucapku.
“Tidak usah, biar aku saja.” Suara itu kini terdengar nyata. Aku melihat ke arah pintu. Dia sudah berdiri di sana. Aku menelan ludah. Haruskan dia seperti ini?

Aku masih diam di tempatku. Dia sedang membolak-balik semua map melihat tulisan yang tertera di depan map tersebut. Ketika tulisan yang tertera bukan ‘laporan penjualan’ dia meletakkan kembali map itu dengan kasar. Aku bahkan sampai terkaget melihat tingkahnya.

“Kamu hanya akan berdiri di situ?” sergahnya. Jantungku terasa mau berpindah posisi, saking terkejutnya. Segera ku bantu dia. Sepertinya hari ini moodnya sedang tidak baik.
“Dimana benda itu,” ujarnya kembali, masih dengan nada kesal. Kami sudah mengitari ruangan itu, tetap saja benda yang kami cari tidak bertemu. Sekarang aku tepat berada satu langkah darinya, aku terpojok, diruangan yang sesempit itu, sangat sulit untuk bergerak.

Dia tiba-tiba menatapku. Dan kemudian menyapukan telapak tangan ke mukanya. Seperti sedang frustasi. Apa arsip itu begitu penting baginya sekarang?
Aku mencoba memiringkan posisi tubuhku, agar aku bisa melewatinya. Jarak antara rak satu denga rak lainnya terlalu kecil, sehingga menyulitkan untuk berpapasan. Untungnya tubuhku sangat mungil. Sehingga masih ada celah diantara kami. Saat aku melewatinya, tiba-tiba dia berbalik mengarahkan tubunya ke arahku. Aku tecekat. Ingin mundur ke belakang, tetapi tubuhku sudah terhalang rak. Dua tangan kokohnya sekarang memegang bahuku. ‘A-apa-apaan ini? Apa dia sudah gila?’
Dia tertunduk tanpa bicara.

“Aku tidak bisa menahan lagi,” ujarnya. Tidak bisa menahan? Menahan apa? Pikiran kotor mulai membayangiku. Ruangan ini begitu jauh di pojok. Sehingga tidak akan ada yang mendengar suaraku, kalau aku berteriak. Kalau seandainya dia melakukan hal-hal tak terduga padaku.
“Dita...Jangan dekat-dekat lagi dengan bocah ingusan itu. Aku tidak suka,” ucapnya lirih, masih dengan kepala menunduk. Wajahnya memerah.
Setelah itu dia segera beranjak meninggalkanku yang kebingungan. Ada apa dengannya?

‘Bocah ingusan? Dia cemburu dengan Yuga. Pupil mataku membesar. Dia tidak sedang mempermainkan aku kan?
Entah mengapa tanpa kusadari ada sinyal-sinyal rasa bahagia dari hatiku, yang menjalar ke bibir, sehingga sekarang aku tersenyum.
‘Bagiamana dengan arsipnya?’

Aku menatap punggung itu dari kejauhan. Punggung yang dulu pernah membuatku begitu nyaman bersandar. Munginkah sekarang dia mulai menyukaiku lagi?

Payakumbuh, 7 Agustus 2019

=====

[Pov.Arif]

Terima kasih untuk admin yang telah approve tulisan saya ini. Saya masih berharap kritik dan sarannya baik dari segi bahasa maupun penulisan. Semoga cerita fiksi ini bisa menghibur teman-teman semuanya. Sesuai dengan usulan teman-teman pembaca, part ini spesial POV nya Arif.
***                                          

Beberapa kali aku bolak-balik ke depan kaca, memastikan penampilanku sempurna. Hari ini untuk pertama kalinya setelah 10 tahun, aku akan berjumpa lagi dengannya. Dia, wanita yang dulu pernah ku cintai dan sampai sekarang masih tetap ku cintai. Wanita terbaik yang dulu pernah ku lukai, ku sakiti dan ku abaikkan. Pramudita. Satu-satunya wanita yang menjadi tujuan hidupku, sampai kapan pun.

Aku ingin menebus semua salah dan khilafku 10 tahun lalu, telah menyakiti dan melukainya begitu dalam.
“Rif.” Suara mama menyapa, menyadarkanku dari lamunan.

Aku menghampiri wanita dengan kursi roda itu. Wajahnya terlihat semakin menua. Wajah yang dulu cantik itu sekarang terlihat tidak simetris lagi. Sebuah senyuman terukir di bibirnya. Mama sepertinya sangat senang melihat penampilanku. Aku bersimpuh di depannya.
“Do’akan Arif ya Ma,” pintaku. Mama mengangguk, bulir bening mulai menetes dari matanya.
Mama memang tidak seperti dulu lagi. Tepat disaat Dita, membutuhkanku, disaat itu pula Mama tidak bisa ku tinggalkan.

Semuanya berawal dari kemunculan papa yang kembali di kehidupan kami. Papa yang telah lama meninggalkan kami, tiba-tiba muncul dengan permasalahan pembagian harta gono gini. Mama tetap ingin memertahankan haknya dan hak kami anak-anaknya. Sehingga memicu perdebatan dan pertengkaran diantara mereka. Apalagi kemudian istri muda papa juga ikut campur. Hingga mama jatuh pingsan, dan terserang strok mendadak. Berhari-hari aku merasa frustrasi merawat mama di rumah sakit bersama kakakku.

Ternyata disaat bersamaan, Dita yang ku abaikan ternyata jauh lebih membutuhkan. Aku begitu menyesal. Hanya selalu menyalahkan Dita, yang tidak bisa mengerti aku. Ternyata akulah yang terlalu egois, tidak mau peduli dengan bebannya waktu itu.

“Bawa Dita kembali,” ucap Mama lirih, dengan deraian air mata yang semakin deras.

Terlihat sekali penyesalan di wajah Mama. Restu yang tak kunjung diberikannya selama 2 tahun pernikahan kami, akhirnya ku dapatkan. Berbekal kesungguhanku. Selama 10 tahun berpisah aku menunjukkan kepada mama, bahwa cintaku hanya untuk Dita. Aku juga sudah mewujudkan semua keinginan mama. Kuliah S1 dan S2 serta mendapatkan pekerjaan yang layak.

Aku mengangguk pasti. Kali ini aku akan mulai kembali dari nol. Aku akan merebut hatinya, seperti di awal pertemuan kami dulu. Seiring berjalan waktu secara perlahan aku akan menjelaskan semua kesalahpahaman yang pernah terjadi diantara kami.

Selama 10 tahan kami berpisah, tidak pernah sekalipun aku melirik wanita lain. Karena aku menganggap diriku masih seorang pria beristri. Meskipun nyatanya dia tidak disisiku. Setelah S1 aku melanjutkan S2 ke luar negeri. Setelah tamat, dengan segala usaha aku masuk ke perusahaan di mana Dita bekerja. Aku memang merencanakannya. Dan sebuah keberuntungan besar bagiku, saat posisi yang kuincar memang sedang kosong karena ada yang resign.

Aku ingin kembali mengenalnya seperti orang baru. Agar masalah di masa lalu kami tidak membayangi. Setelah hatinya perlahan kembali ku rebut, baru aku akan luruskan segalannya.

Sepuluh tahun berpisah, selama itu pula aku selalu mengikuti Dita, lewat media sosialnya. Aku selalu memantau kehidupannya seperti seorang pengagum rahasia.

Aku cukup bahagia, bahwa sampai saat ini Dita juga masih sendiri. Tidak kulihat laki-laki manapun ada di sekelilingnya.
***

Ku langkahkan kaki dengan percaya diri, tetapi debaran di dadaku tidak dapat ku kendalikan, sehingga tetap saja aku kelihatan gugup. Sepanjang perjalanan aku membayangkan ekspresi wajah Dita, nanti saat berkenalan kembali dengannya. Sebenarnya hari ini adalah hari kedua bagiku masuk bekerja, kemarin aku telah datang dan berkenalan dengan semua staf di bagian pemasaran. Kecuali Dita. Karena dia sedang ada dinas luar. Menurut informasi dari Niana, divisi bagian pemasaran, hari ini Dita ada.

Di lobi perkantoran besar itu aku melihatnya. Dia berjalan di depanku. DEG. Aku langsung bisa mengenali wanita yang dulu selalu ada dalam pelukanku itu. Tanpa bertatapan langsung pun, aku sudah deg-degan luar biasa. Ingin rasanya ku kejar dia, dan raih dalam pelukanku. Aku sangat merindukannya.

“Kakaaaak,” sebuah suara dari belakangku memanggil seseorang.

Dita menoleh ke arah sumber suara. Aku menundukkan wajahku. Rasanya tidak sanggup bertatapan denganya sekarang. Pandangaku beralih ke pemilik suara yang baru saja memanggil Dita dengan sebutan ‘kakak’. Seorang laki-laki muda, tinggi, dan juga tampan. Ku lihat dia langsung memasang senyuman termanisnya untuk Dita. Mereka terlihat begitu akrab satu sama lain. Dan pria muda itu tidak berhenti menatap dan tersenyum ke arah Dita. Aku tidak menyukainya.
***

Matanya membulat, saat tangannya ku jabat. Dia seperti sangat tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Salam kenal, saya Arif, semoga kita bisa bekerjasama,” ucapku.
“Dit.. Dit..ta,” jawabnya terbata-bata.

Tangan itu kini bergetar, aku bisa merasakannya. Akupun sebenarnya jauh lebih gugup darinya. Tetapi aku tetap berusaha mengendalikan diri. Aku melepaskan jabatan tangan itu, yang sebenarnya tidak ingin ku lepaskan.

Setelah perkenalan singkat itu, aku kembali ke ruanganku. Ku lihat dia tertunduk lesu di meja kerjanya. Aku yakin sekarang ada ratusan bahkan ribuan pertanyaan menggantung di pikirannya. Aku tahu, Dita pasti masih benci dan kecewa padaku. ‘Maafkan aku, aku sama sekali tidak ingin membuatmu bingung dengan suasana ini, tetapi inilah jalan yang ku pilih untuk merebut hatimu kembali’.
***

#Perpisahan 10 tahun yang lalu

Setelah kata cerai terucap, kami melangkah ke arah berlawanan. Aku benar-benar kecewa dengannya. Dia begitu mudah mengucapkan kata-kata, yang bagiku terbersit di pikiran saja tidak pernah. Mengapa dia begitu egois. Aku baru tahu, ternyata dia seorang wanita yang egois. Mengapa sedikitpun dia tidak mau mengerti permasalahanku.
Aku tidak percaya, kami akhirnya berpisah. Padahal dulu aku sangat yakin, bahwa dia adalah satu-satunya wanita yang akan menjadi tujuanku. Wanita yang akan mendampingiku sampai akhir.
Air mataku menetes, rasanya sangat menyakitkan. Segala mimpiku untuk membahagiakannya, seketika hancur.
Di depan pintu masuk ku lihat kakakku, yang sepertinya mengetahui segalanya.

Berhari-hari aku mengurung diri. Aku masih belum bisa menerima kenyataan. Aku sudah terlalu terbiasa dengannya selama ini. Sesekali muncul keinginan untuk menemuinya lagi dan segera memperbaiki segalanya. Tetapi seketika itu pula ego menahanku.
Beberapa kali tanpa ku sadari jemariku menekan tombol telepon genggam menghubungi nomor Dita, tetapi nomor itu sudah tidak aktif.
Aku seperti kehilangan arah dan tujuan. Tidak terniat lagi untuk melanjutkan kuliah yang beberapa minggu ini memang ku tinggalkan. ‘Untuk apa lagi semuanya, karena tidak ada lagi orang yang ingin ku bahagiakan’.

Semua cobaan menghampiriku di saat bersamaan. Aku menatap mama yang kini duduk di kursi roda. Setelah di rawat di rumah sakit, akhirnya mama bisa diizinkan pulang. Tetapi mama tidak bisa kembali seperti dulu lagi. Separuh bagian tubuhnya tidak bisa digerakkan lagi.
Aku menatap wajah sendu itu. Air mataku menetes. Aku sangat kasihan dengan mama sekarang. Selain karena tidak bisa bergerak leluasa lagi, mama juga harus rela kehilangan pekerjaannya.
***

Sebulan setelah perpisahan dengan Dita. Tanpa sengaja aku bertemu Rara. Teman baik Dita.

“Jadi kamu benar-benar tidak tahu apa yang menimpa Dita?” sergah Rara emosi.
Aku hanya kebingungan. Seperti seorang yang baru terbangun dari tidur panjang.
Dadaku bergermuruh, saat Rara menceritakan semuanya. Aku merasa telah menjadi laki-laki paling jahat. Menyia-nyiakan orang yang ku cintai. Terus-menerus ingin di mengerti tanpa sedikitpun mau mengerti.

“Aku sangka, kamu begitu mencintai Dita. Ternyata aku salah,” ucap Rara kecewa, dan meninggalkan ku.

Aku berdiri dengan linglung. Seolah tidak percaya dengan semua ucapan Rara. Tanpa berpikir panjang, aku melangkah menuju rumah Dita.
Aku membayangkan Dita menghadapi masa sulitnya sendirian. Masa dimana dia sangat membutuhkan ku. Tetapi malah ku baikan.
Tidak hentinya aku mengutuki diriku. Lelaki jahat tidak berguna. Rasanya sangat tidak sabar menemuinya. Aku akan memohon maafnya.
***

Aku sampai di depan rumah yang dulu pernah menjadi tempat paling bahagia bagiku dan Dita. Rumah sederhana tetapi penuh kehangatan dan keramahan. Dari Abah dan juga Ummi. Aku bahkan tidak menemui lelaki bijaksana itu untuk terakhir kalinya. Abah pasti sangat kecewa denganku.
Rumah itu terlihat sepi. Aku sangat tidak sabar ingin menemui Dita dan Ummi. Tetapi saat daun pintu di buka, aku justru tidak mendapati keduanya.

“Dita dan Ummi telah pindah ke kota,” jelas seorang laki-laki paruh baya yang ku kenal sebelumnya adalah kerabat Abah.

Aku tertunduk penuh penyesalan. Aku terlambat. Mungkin sangat menyakitkan bagi Dita dan Ummi, sehingga mereka memlilih meninggalkan semuanya. Pergi ke kota dan meninggalkan semua kepahitan. Aku merasa semakin bersalah.
Ku coba hubungi nomor telepon genggam semua kakak Dita. Dan mereka kompak tidak menjawab panggilanku. Kakak-kakak Dita dari awal memang tidak menyetujui pernikahan kami. Ditambah lagi sekarang. Mereka pasti akan jauh lebih membenciku.
Aku masuk ke kamar yang dulu pernah ku tempati dengan Dita. Kamar yang penuh dengan kenangan. Aku merindukan saat dimana ku rebahkan kepalaku di pangkuannya. Aku merindukan semuanya. Kembali ku rasakan dadaku semakin sesak. Sesak penuh penyesalan.
Kamar itu kini kosong. Hanya tinggal tempat tidur dan sebuah lemari. Foto pernikahan kami yang biasanya terpajang di dinding, sudah tidak di tempatnya lagi. Dita mungkin telah membuang jauh semuanya. Aku tahu pasti bagaimana perasaan Dita kala itu. Dia pantas melakukannya.
Aku meninggalkan kamar itu. Sebelum pintu kututup mataku menangkap sebuah kotak yang ada di bawah tempat tidur.
Ku ambil dan ku buka kotak itu. Ternyata berisi semua pakaianku dan juga foto pernikahan kami. Ternyata Dita tidak setega itu. Wanita itu memang selalu dan akan tetap selalu baik hati.

Sebelum pulang, aku menuju kuburan Abah. Tangisku pecah. Rasa penyesalan kini semakin memenuhi hatiku. Abah adalah sosok seorang ayah yang paling baik bagi anak-anaknya. Juga bagiku menantunya. Selama aku mengenal Abah, belum sekalipun aku merasa tersakiti karena ucapan Abah. Abah benar-benar sosok Ayah yang selama ini ku cari. Aku yang selama ini tidak mendapatkan cinta dari seorang ayah, merasa sangat beruntung ketika mengenal Abah.

Sebelumnya aku sudah tahu kalau kesehatan Abah menurun. Tetapi aku sama sekali tidak menyangka Abah akan pergi secepat itu.
‘Abah, aku janji akan membawa Dita kembali. Memperbaiki hubungan kami. Membahagiakan Dita. Sesuai janjiku saat ijab kabul dulu,’ ucapku lirih.
***

Berbekal alamat yang diberikan kerabat Abah aku nekat menyusul Dita ke kota. Aku harus bertemu Dita.

“Dita sedang tidak ada,” wajah tidak bersahabat kakak tertuanya menyambutku. Aku wajar mendapatkannya.
“Kita bicara di tempat lain saja. Ummi masih sangat syok dengan kematian Abah dan juga perpisahan kalian,” tambah Kakak Dita lagi. Aku mengangguk.
Aku mengikuti kakak Dita. Kami bicara.
“Aku sungguh-sungguh minta maaf Kak,” mohonku.
Aku menjelaskan semua kronologis cerita, dari awal mula aku mengabaikan Dita.
“Kamu tahu, Dita sangat terpuruk. Dia hidup tetapi terlihat seperti mati. Tidak punya semangat lagi. Dia sangat kecewa. Begitu juga dengan Ummi. Maka dengan susah payah ku yakinkan mereka berdua agar ikut denganku ke kota. Kami akan membuka lembaran baru,” jelas Kakak Dita.
“Izinkan aku bertemu Dita dan Ummi. Aku akan memperbaiki segalanya kembali,” pintaku sungguh-sungguh.
“Aku tahu kamu sunguh-sungguh. Tetapi untuk sekarang lebih baik pikirkan segalanya kembali matang-matang. Kalau hanya melanjutkan hubungan kalian seperti dulu lagi, tetap tanpa restu orang tuamu, rasanya sia-sia. Kami sekeluarga akan mengizinkanmu kembali kepada Dita kalau orang tuamu telah merestui kalian,” kata Kakak Dita lagi.
“Tetapi Kak,” selaku. Sampai kapan aku harus menunggu, hingga mama merestui.
“Kamu sudah lihatkan, Dita tidak hanya butuh cinta kamu seorang. Sebesar apapun cintamu untuk Dita, kalau orang tuamu sendiri tidak merestui, tetap saja menjadi beban bagi Dita. Kamu harus mengerti itu,” tambah Kakak Dita lagi.

Aku tertunduk. Selama 2 tahun menikah, memang itulah satu-satunya permasalahan yang muncul diantara kami. Tetapi kami selalu bisa meredamnya. Tetapi mama tetap tidak bergeming. Restu tak kunjung kami dapatkan.

“Soal Abah, kami menerima maafmu. Semuanya hanya karena kurang komunikasi. Kalian hanya salah paham. Suatu saat Dita pasti mengerti,” ujar Kakak Dita lagi.
“Sekarang kembalilah pulang. Kami akan merelakan Dita kembali padamu, setelah restu orang tuamu kau dapatkan,” ulang Kakak Dita lagi sambil berdiri dan menepuk punggungku.

Kakak Dita telah pergi aku masih menunduk. Entah apa yang harus aku lakukan sekarang? Tidak mudah mendapatkan restu mama.
***

Aku selalu mencuri kesempatan bisa menatap wajahnya dari kejauhan. Di kantor, di lorong, di lift atau di kantin. Aku memang terlihat tidak peduli, ini adalah caraku menyembunyikan rasa ini. Padahal dadaku rasanya ingin meledak, hanya dengan menatapnya.
Aku begitu bahagia. Tetapi ada satu hal yang selalu mengganguku. Lelaki bocah yang memanggil Dita dengan sebutan ‘kakak’ itu, selalu ada di sekitar Dita. Dimanapun. Apa hubungan mereka?

Sore ini kupingku rasanya terbakar, saat di dalam lift bocah bermulut besar itu berkata akan menikahi Dita ‘segera’. Untung saja lift sedang penuh, sehingga Dita tidak menyadari keberdaanku dan tidak melihat betapa memerahnya wajahku memendam marah. Mengapa dia begitu percaya diri, ingin menikahi Dita?
Aku harus cepat, menarik hati Dita kembali. Sebelum bocah itu menyalipku.
***

Hari ini Dita tidak masuk. Kata Niana, Dita sedang sakit. Aku mencemaskannya. Jangan-jangan Dita akan resign, karena ku lihat dia begitu tertekan saat menyadari aku adalah atasannya yang baru. Bagaimana kalau Dita benar-benar resign? Padahal alasanku bekerja di sini adalah karena ingin kembali dekat denganya.
Untungnya kecemasanku tidak terbukti. Pagi ini sekilas ku kulihat dia sudah duduk di belakang meja kerjanya. Dia terlihat lebih cantik sekarang. Ada yang baru dari penampilannya. Dengan wajah apa adanya saja, selama ini dia mampu membuatku tak berpaling menatapnya. Apa lagi sekarang. Rasanya pandangan mataku tidak bisa dialihkan. Aku bahkan sampai berusaha merubah posisi meja dan kursi kerjaku, agar sudut pandangnya pas, sehingga aku bisa sembunyi-sembunyi menatap wajahnya dari balik ruanganku.

Aku merencanakan acara temu ramah dengan semua staf pemasaran. Tujuannya agar kami lebih akrab satu sama lain. Dan tujuan utamanya tentu saja kembali lebih dekat denganya. Aku tidak akan menutupi statusku. Akan ku akui semuanya di hadapan semua staf. Bahwa aku seorang duda. Tidak masalah bagiku kehilangan beberapa penggemar wanita, yang beberapa hari ini semenjak aku masuk kantor terlihat mengambil perhatianku. Termasuk Niana. Mereka semua pasti akan syok menyadari kenyataan kalau aku pernah menikah muda dan sekarang berstatus duda.

Saat Dita memperkenalkan dirinya, dan tidak mengakui status sebenarnya. Aku cukup paham, akan sangat berat baginya mengakui. Apalagi selama ini semua orang tahunya Dita masih single.
Saat ku ucapkan, bahwa statusku duda, kulihat dia tersedak. Mungkin tidak percaya, kalau aku akan mengakuinya. Tetapi aku tetap menutupi bahwa mantan istriku adalah dia. Aku tidak ingin membuatnya berada dalam posisi sulit.
Sesuai prediksiku, reaksi beberapa rekan wanitaku terlihat sangat syok. Bahkan ada yang menatapku jijik sekarang. Aku tidak peduli, karena memang itulah kenyataannya. Setelah ini mereka pasti akan kasak kusuk membicarakanku di belakang. Mungkin juga mereka akan mencari tahu semua tentang masa laluku.

Saat acara usai, aku melangkah menuju pintu keluar restoran. Ku lihat dia juga sedang berdiri di depan restoran itu, sepertinya sedang menunggu seseorang. Dadaku mulai bergemuruh. Sekarang kami di sini hanya berdua, dan terpisah hanya sejauh 3 m. Aku begitu canggung. Aku ingin berlama-lama disini, walaupun sebenarnya aku tidak sedang menunggu siapa pun. Karena aku membawa kendaraan sendiri.
Aku menatap ke arahnya, dia terlihat sibuk dengan telepon genggamnya, mencoba menghubungi seseorang. DEG. Dia juga menatapku. Dia sepertinya juga sama canggungnya denganku.
Semoga tidak ada seorang pun yang akan menjemputnya. Sehingga aku punya alasan untuk mengantarnya pulang. Aku sedang mengumpulkan keberanian untuk menyapanya. Aku berjalan ke arahnya, dia terlihat membatu. Tetapi di saat bersamaan bocah ingusan itu muncul. Entah dari mana datangnya, dia sudah ada di depan Dita dan menawarkan tumpangan untuk Dita. Aku terpaksa menempelkan telepon genggamku ke telinga dan pura-pura sedang bicara dengan seseorang di seberang sana.

Dita sudah berlalu dengan motor bocah ingusan itu. Aku begitu kesal. Ternyata bocah itu tidak bisa di anggap remeh, dia selalu lebih maju dari aku. Bagaimana jika Dita juga menyukainya?
Aku harus lebih cekatan sekarang. Kalau tidak,  aku akan kehilangan Dita.
***

Hari ini hatiku terasa berbunga. Pasalnya pagi ini tanpa sengaja ku dengar Dita bicara pada Niana, bahwa dia hanya menganggap bocah ingusan bernama Yuga itu sebagai adik. Rasanya ingin tertawa mendengarnya. Aku sudah yakin, bocah itu bukan tipe Dita. ‘Mengapa aku begitu jahat sekarang?.’
Aku semakin leluasa melangkah. Melangkah melancarkan rencana pendekatan untuk merebut hati Dita kembali.

Langkah pertama, aku memanggilnya keruanganku. Langkah kedua aku akan mencari alasan untuk mengerjakan sesuatu berdua dengannya. Dan aku mendapatkan ide, survei produk ke pasar. Padahal sebelumnya dia telah melakukannya. Langkah ketiga beri perhatian lebih. Aku akan menjemputnya. Walaupun tersasa jangal seorang manajer menjemput stafnya dan menemani melakukan survei lapangan. Langkah keempat, buat dia terkesan meskipun dengan sesuatu yang sederhana. Aku masih selalu ingat segala kesukaannya. Aku memesankannya nasi goreng tanpa kerupuk. Aku juga membelikan sendal bulu-bulu berwarna ungu nomor 36, saat kulihat tumitnya lecet karena memakai high heels. Aku juga memperbaiki bagian dalam tumit sepatunya, dengan menempelkan moleskin, sehingga saat dipakai lagi nanti tumitnya tidak lecet.
Aku hanya berharap dia terkesan dengan semua yang ku lakukan. Dan mulai menyadari bahwa aku masih mencintainya sama seperti dulu.

Aku terus melancarkan serangan selanjutnya, mulai dari mengganti foto profil whatsappku dengan pas foto yang ada di buku nikah. Bahkan kemudian aku nekat menggantinya dengan foto pernikahan kami. Satu-satunya foto pernikahan yang kami punya. Aku sengaja menutup wajahnya dengan simbol hati. Semoga dia menyadari bahwa aku sama sekali belum move on. Aku juga tidak peduli jika foto ini akan memicu perdebatan baru bagi yang melihatnya. Terutama staf kantorku.

Pagi ini aku cukup beruntung karena bisa satu lift dengannya dan kami hanya berdua. Meskipun canggung kembali melanda, tetapi aku bahagia.
Aku terus melangkah, aku sengaja menahannya untuk tidak pulang. Kuminta dia memperindah tampilan slide presentasiku. Sebenarnya ini hanya alasanku untuk bisa lebih lama berdua dengannya. Dan sebuah keberuntungan juga ketika sore itu kami menyaksikan sunset indah dari tempat duduk kami. Setidaknya itu akan membangkitkan kenangan lama tentang mimpi-mimpi kami selama ini. Mengunjungi berbagai tempat, salah satunya pantai dengan sunset terindah. Aku berjanji kelak mimpi itu akan ku wujudkan. Bersamanya.

Hari sudah sore, azan Magrib sudah berkumandang kulihat dia masih duduk di halte menunggu bus. Sebenarnya aku ingin sekali mengantarnya pulang, tetapi mama tiba-tiba menelepon, menyuruhku segera pulang karena mama hanya sendirian di rumah, kakakku juga belum pulang bekerja.
***

Hari itu sesaat sebelum istirahat siang, aku terusik oleh suara ribut dari ruangan staf. Setelah ku lihat ternyata sumbernya adalah Yuga, si bocah ingusan. Dia benar-benar nekat sekarang, tidak malu lagi menyusul Dita. Bahkan menjadi bahan ledekan staf lain. Dia bergerak cepat di depanku. Ku akui nyalinya besar sekali.

Saat kami bertiga berada di lift yang sama, rasanya aura persaingan itu mulai terlihat dan membara. Aku tidak pernah berkenalan secara khusus dengannya. Tetapi tatapan matanya penuh kompetisi. Dia bahkan dengan lantang melancarkan aksi di depanku. Bertingkah seolah sangat dekat Dita. Mencoba memanas-manasiku. Aku merasa sangat kesal. Ku tinggalkan mereka berdua, seolah tidak peduli dengan ucapan bocah itu. Padahal sebenarnya aku ingin sekali mengacak-acak muka bocah sok imut itu.

Setelah makan siang, aku mendapat kesempatan besar bisa berdua dengan Dita. Di ruang asrip. Beruntung sekali Niana sedang terlibat macet di jalanan. Sehingga Dita menggantikan tugasnya. Aku membuatnya kaget dengan kemunculanku yang tiba-tiba di ruangan arsip. Aku berpura-pura marah tidak menemukan apa yang kucari. Padahal aku bisa saja mencari soft copy arsip penjualan tahun lalu itu di komputer. Aku hanya ingin lebih lama berdua dengannya.

Pikiranku kembali terusik oleh sikap Yuga.

“Aku tidak bisa menahan lagi,” ujarku sambil memegang kedua bahunya. Dia terlihat sangat kaget dan ketakutan dengan sikapku yang tiba-tiba. Tetapi jujur ini harus ku ungkapkan, karena aku sudah tidak tahan lagi.
“Dita...Jangan dekat-dekat lagi dengan bocah ingusan itu. Aku tidak suka,” ucapku lirih, dengan kepala menunduk. Ku rasakan wajahku memerah menahan malu.Dia terlihat kebingungan dengan ucapanku.

Aku beranjak meninggalkannya, yang masih diselimuti ribuan tanya. Apa yang baru saja ku lakukan?
Aku terus melangkah meninggalkannya, tidak sanggup lagi menoleh ke arahnya. Aku begitu malu sekarang.

Sumpur Kudus, 14082019/22:58

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER