Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 17 Maret 2020

Mantan Suamiku #8

Cerita bersambung


Terima kasih untuk admin yang telah approve tulisan saya ini. Saya masih berharap kritik dan sarannya baik dari segi bahasa maupun penulisan. Semoga cerita fiksi ini bisa menghibur teman-teman semuanya.
***

Aku kembali ke ruang kerja, tanpa membawa apapun. Aku tidak menemukan bahan yang dia minta, yang sepertinya tidak terlalu dibutuhkan. Perasaanku campur aduk, ada rasa bahagia yang tidak bisa ku mengerti datangnya dari mana. Apakah karena sikap Arif yang kembali menaruh perasaan padaku? Arif yang cemburu saat aku didekati Yuga? Mengapa aku bahagia? Bukankan diujung pernikahan kami, dia menyakitiku. Dan sampai sekarang tidak ada penjelasan dan kata maaf darinya.

Aku duduk di meja kerjaku. Saat ku lirik ke arah ruang kerjanya, tidak ku temukan dia di sana. Niana ternyata sudah sampai, gadis itu menghampiriku.

“Aku tidak menemukan arsip yang diminta Manajer,” ucapku.
“Oo, tidak apa. Semua soft copy arsip lengkap ada di komputernya,” jelas Niana.
“Mengapa tidak bilang dari tadi, dia memang suka mempersulit bawahannya,” jawabku kesal. Niana tersenyum melihatku.
“Selamat ya, dua minggu kedepan kamu akan sering kesal sepertinya. Aku akan cuti, dan pengganti sementaraku adalah kamu,” tambah Niana dengan senyuman yang terus menggodaku. Aku membelalakkan mata.
“Mengapa harus aku? Siapa yang suruh?” protesku.
“Dia, maunya kamu,” Niana kembali mengerling nakal.
“Sepertinya duda itu menyukai kamu,” bisik Niana sambil tertawa dan meninggalkanku dengan mata terus mengerling nakal. Aku tambah kesal.
***

Saat jam kantor selesai, aku bergegas meninggalkan ruangan. Sekali lagi ku arahkan pandangan ke ruangan Manajer, tetapi tidak ku temukan dia di sana? Kemana perginya?

“Kamu mencari siapa?” sergah Niana yang juga mulai melangkah menuju pintu keluar.
“Tidak ada,” jawabku. ‘Mengapa kamu peduli Ditaaaa, ada apa denganmu?’ batinku.
“Kalau tida ada yang kamu cari. Ini ada yang mencari kamu,” teriak Niana dari arah pintu, dan kulihat Yuga melambaikan tangan ke arahku lengkap dengan senyumannya.

Aku tidak banyak bicara pada Yuga, tetapi dia tetap setia mengikuti langkahku. “Jangan dekat-dekat lagi dengan bocah ingusan itu. Aku tidak suka,” kembali ucapan Arif tadi terngiang di pikiranku. Aku berhenti melangkah, dan mengarahkan pandangan ke arah Yuga yang ada di belakangku. Bocah itu kembali memasang senyum termanisnya. ‘Argh, mengapa aku harus mendengarkannya, apa haknya melarangku dekat dengan siapa? Memangnya dia suamiku?
***

Setelah hari itu, Arif seperti menghindar untuk bertatapan langsung dengaku. Kalau sedang bicara, dia tidak berani menatap wajahku. Dia selalu menunduk dengan wajah memerah. Apakah sekarang dia malu?
Berulang kali aku menimbang dan memikirkan. Apakah benar dia kembali menyukaiku? Lalu bagiamana perasaanku padanya? Berulang kali pikiranku menolak, bahwa tidak mungkin aku kembali padanya. Tetapi hatiku sepertinya berontak.

Hari ini Niana sudah terhitung cuti. Lima hari lagi gadis itu akan menikah. Segala tugas yang menjadi tanggung jawabnya selama ini beralih ke tanganku. Ini akan membuatku semakin sering berinteraksi langsung dengan manajer.
Pagi itu dia menyerahkan sebuah amplop padaku. Dia masih tidak bisa menatapku. Sebegitu malunya kah dia?
Aku membuka amplop yang diberikannya. Sebuah undangan workshop ke luar kota. Mataku melotot, apa maksudnya menghadapkan undangan itu padaku.

“Kamu harus ikut, karena Niana sedang cuti. Itu undangan untuk dua orang,” ucapnya dan lebih terdengar seperti perintah. Aku melongo tidak bisa berkata apa-apa. Aku akan ke luar kota dengannya, berdua? Kubaca lagi undangan itu, Workshop How To Be World Class Marketing Manager. Bukan kan ini untuk para manajer?

“Manajer dan divisi,” ucapnya menjawab tanya di wajahku.

Aku lanjutkan membaca undangan itu. ‘ Tiga hari? Dan tempatnya di kota kelahiranku?’ Aku kembali terbelalak tidak percaya. Benarkah ini? Kali ini aku tersenyum. Aku bisa mengunjungi makam Abah.

“Baik, Pak. Saya ikut,” ujarku mantap. Dia terheran melihat perubahan sikapku.

Sudah dua tahun aku tidak pernah pulang kampung. Bisanya setiap lebaran kami tetap pulang, mengunjungi makam Abah. Tetapi lebaran tahun kemarin, Ummi kurang sehat, sehingga kami batal mudik. Ini kesempatan. Senyumku kembali terukir saat memikirkan akan mengunjungi makam Abah.
***

#Pasca Perpisahan 10 tahun yang lalu

Berhari hari setelah meninggalnya abah. Aku dan Ummi serta Kakak-Kakaku masih diliputi kesedihan. Rasanya tidak percaya, Abah telah tiada. Rumah rasanya begitu sepi tanpa Abah. Ummi beberapa kali masih terlihat menangis, apalagi setelah tahu aku dan Arif berpisah. Beban Ummi semakin bertambah. Sebenarnya tidak ingin memberitahu Ummi, tetapi lambat laun Ummi akan tahu. Akhirnya kakakku menceritakan semuanya.
Semangat hidupku hilang, dua duka hadir bersamaan. Terlalu menyakitkan.

“Ta, bagaimana kalau kamu dan Ummi ikut kakak ke kota saja,” usul kakakku. Aku sedang duduk di pinggir tempat tidur, dengan mata bengkak.

Kakakku menatapku dengan iba. Sekarang aku begitu kurus, wajah pucat dan lingkaran di sekitar mata semakin gelap. Akhir-akhir ini aku jarang makan dan malamnya juga tidak bisa tertidur.
Aku hanya diam sambil memikirkan usulan kakakku.

“Kamu bisa belajar melupakannya, kita akan mulai hari baru lagi,” tambah kakakku sambil memelukku. Air mataku kembali mengalir.
“Bagaimana dengan Ummi?” Aku khawatir Ummi tidak setuju.
“Ummi setuju,” ujar Kakakku.
“Ini baik untuk kamu dan juga Ummi. Kalau kamu terus tinggal di sini, semua kenangan pahit itu akan terus menghantui kamu," tambah Kakakku.
“Bagaimana dengan Abah?” Tangisku pecah saat ingat harus meninggalkan Abah jika nanti akhirnya kami pindah ke kota.
“Setiap lebaran kita akan pulang, kita bisa mengunjungi Abah. Abah pasti juga tidak mau melihat kamu terus-terusan bersedih,” ucap Kakak sambil menenangku.
Aku mengangguk. Sepertinya ini pilihan terbaik. Tidak mungkin selamanya aku terpuruk.
“Maafkan aku Kak,” kataku disela tangis. Maaf karena tidak mendengarkan nasehatnya waktu itu, sebelum akhirnya aku menikah dengan Arif. Sekarang aku menyesali semuanya. Aku salah pilih, dibutakan cinta. Laki-laki itu bahkan tidak berusaha menghubungi kami. Aku yakin dia telah mendengar kabar meninggalnya Abah, tetapi tidak peduli. Dia jahat.
***

Sebulan setelah meninggalnya Abah, aku dan Ummi berangkat ke kota. Menginggalkan semuanya. Ada rasa berat meninggalkan rumah yang telah bertahun-tahun kami tempati. Rumah sederhana tempat semua kenangan manis dan pahit. Air mata Ummi kembali meleleh.
Sekarang rumah itu kami titipkan kepada salah seorang kerabat Abah. Begitu juga kandang ayam. Kalau tetap dihuni, rumah akan tetap kokoh.
Aku dan Ummi mengunjungi makam Abah untuk terakhir kalinya sebelum berangkat. Air mata kami mengalir deras. Rasanya tidak percaya jalan hidup kami akan seperti ini.

“Abah pasti sedih karena kita tinggalkan, Ummi,” ucapku lirih. Ummi menyentuh pundakku.
“Sekarang Abah hanya butuh do’a-do’a kita Nak,” jawab Ummi.
***

Di kota kami tinggal di rumah kakak tertuaku, rumahnya lumayan besar. Lagipula aku dan Ummi bisa membantu usaha kakakku. Meskipun tidak lagi dibayangi kenangan-kenangan yang menggoreskan kesedihan, tetapi tetap saja aku tidak punya semangat melakukan apapun.
Aku tidak punya tujuan hidupu. Cita-citaku menikah muda dan hidup bahagia telah kandas. Sekarang aku tidak punya keinginan apapun. Sehari-hari aku hanya hidup seperti robot.

“Ta, kamu mau tidak kalau kakak kuliahkan?” ucap kakakku tiba-tiba saat aku membantunya mencetak adonan donat.

Aku menatap kakakku. Kuliah? Suatu hal yang dari dulu tidak perah ku pikirkan. Dari dulu, aku tidak punya niat untuk melanjutkan pendidikan. Sebab aku sadar, Abah dan Ummi tidak sanggup membiayainya. Jadi aku tidak perbah bermimpi untuk kuliah. Pendidikan tertinggi yang ingin ku raih hanya SMA.

“Kakak akan biayai semunya,” kata Kakakku. Sekarang ekonomi kakakku memang mulai membaik. Suaminya telah menjadi pemimpin regu, dan usaha kakakku juga telah mulai berkembang.

Aku memikirkan usulan kakakku. Terkadang hidup memang mengantarkan kita pada hal yang tidak terduga. Tidak semuanya berjalan sesuai rencana. Ketika satu hal gagal, maka kita harus beralih merencanakan hal lain.
Seperti usulan kakakku, akhirnya aku kuliah. Kuliah disebuah Sekolah Tinggi Ilmu Komputer.

“Terlahirlah sebagai Dita yang baru. Jangan sampai orang-orang mengetahui statusmu,” pesan kakakku. Aku hanya mengangguk.

Keluarga besarku juga menjaga rahasia itu. ‘Rahasia bahwa aku adalah seorang wanita yang pernah menikah’. Yah, sepertinya itu baik untukku, meskipun ini suatu bentuk kebohongan.
***

Aku telah meminta izin Ummi untuk mengikuti workshop besok. Ummi mengizinkan.

“Jangan lupa ziarah ke makan Abah,” pesan Ummi dengan pandangan mata menerawang. Ummi sebenarnya juga ingin mengunjungi Abah.
“Pasti Ummi.” Memang ini lah alasan yang membuatku semangat.
“Tahun besok, Ummi mau lebaran di kampung,” ucap Ummi. Ada rindu mendalam untuk Abah dalam nada suara Ummi. Aku menganguk mengiyakan.

Aku mengabaikan persaaan tidak enak yang tiba-tiba muncul, saat membayangkan perjalanan jauh hanya berdua dengan Arif. Apalagi kami akan mengunjungi tempat dimana kenangan manis dan pahit pernah kami rasakan. Tempat dimana kami dipertemukan dan juga dipisahkan. Aku mengabaikannya. Semangatku untuk mengunjungi Abah mengalahkan segalanya.
Aku sedang mengemasi barang-barang yang akan ku bawa. Tiba-tiba ada pesan masuk.

[Dita, jangan lupa ya, jawabannya besok]

Pesan dari Yuga. Aku bahkan tidak ingat bahwa besok tepat satu minggu setelah dia mengungkapkan perasaannya. Dan dia menagih jawabannya. Apa yang harus ku lakukan. Aku juga belum memberitahukan keberangkatanku besok padanya.

[Kamu bisa ke rumahku sekarang?]
Ku balas pesan dari Yuga. Harus ku jelaskan hari ini. Semuanya.
[Sekarang? Siap ♥♥]

Balasnya lagi dengan simbol hati.
Dia bahkan begitu semangat. Aku menarik napas dalam, ini akan sulit. Tetapi cepat atau lambat aku harus memberitahu Yuga. Sebenarnya juga tidak tega, tetapi harus bagaimana lagi? Dia pasti akan terluka. ‘Ku rasa inilah yang terbaik, agar dia tidak selalu berharap.’ Konsekuensinya adalah kehilangan sahabat seperti dia. Aku pasti akan merasa kehilangan karena selama 3 tahun terakhir telah terbiasa dengannya.

“Ta, ada Yuga,” teriak Ummi.

Dia datang begitu cepat. Aku kembali mengatur napas dan berjalan menuju teras. Senyuman khasnya menyambutku. Rasanya tidak tega menyakitinya. Dia begitu baik. Aku menyayanginya. Sebagai teman.
Kami saling diam beberapa saat.

“Kamu mau memberiku jawaban sekarang?” tanyanya penuh harap.
“Ga, ada yang ingin ku akui padamu. Sebuah rahasia yang selama ini aku tutupi,” ungkapku.

Senyumnya perlahan menghilang. Dia pasti sudah merasakan bahwa jawaban yang ku beri adalah sesuatu yang mengecewakan.

“Rahasia apa?” tanyanya penasaran.
“Maafkan jika selama ini aku membohongi kamu,” ujarku. Keningnya semakin berkerut tidak mengerti dengan ucapanku.

Ku tatap dia, dan kembali ku tarik napas dalam. Malam ini akan ku katakan padanya, rahasia yang selama ini selalu aku dan keluargaku jaga.

“Aku pernah menikah,” ucapku. Hanya ini satu-satunya cara, membuatnya mundur, tidak lagi mengharapkanku.
“Kamu bicara apa?” ucapnya tidak percaya. Siapapun memang mungkin akan sulit percaya.
“Dulu setamat SMA aku langsung menikah. Impianku memang menikah muda. Tetapi dua tahun kemudian kami berpisah,” jelasku dengan mata menerawang.
“Kamu bohong,” bantahnya. Dia tidak percaya dengan apa yang ku katakan.
“Kamu bisa tanyakan semuanya pada Ummi,” ujarku.
Ekspresi wajahnya seketika berubah, melihatku sungguh-sungguh.
“Jadi hilangkanlah perasaanmu padaku, aku tidak pantas untukmu.” Ku lihat matanya mulai berkaca-kaca. Dia terlihat sangat kecewa.
“Mengapa kamu tega melakukan semua ini padaku,” tuturnya dengan suara bergetar.
“Maafkan aku,” mohonku.
“Kamu memperlakukanku seperti orang bodoh,” tambahnya.
“Maaf,” ulangku. Kulihat sekarang wajah yang selalu dihiasi senyuman ketika menatapku itu berubah menjadi wajah penuh kebencian. Dia berhak membenciku.
“Kamu wanita terjahat yang pernah ku kenal,” ucapnya dan beranjak meninggalkanku.

Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. ‘Maafkan aku.’ Sekarang aku telah kehilangan dia, sahabat baik yang sudah kuanggap keluarga. Hatiku terasa perih. Tetapi inilah jalan terbaik. Untuk kami berdua.
Sudah terlalu larut, aku masih duduk di teras sendirian, memikirkan betapa terluka dan kecewanya Yuga sekarang.

“Yuga sudah pulang?” tanya Ummi. Aku segera menghapus air mataku yang sedari tadi perlahan membasahi pipi.
“Tumben, tidak pamit sama Ummi.” Dari hari ini kedepan Ummi pasti akan terus bertanya tentang Yuga. Karena Ummi juga akan merasa kehilangan.
***

Aku sampai di bandara lebih cepat. Kami akan naik pesawat jam 09.15 WIB. Mataku masih sembab, karena semalam menangis dan kurang tidur. Ada baiknya juga aku ikut kegiatan ini. Sehingga aku tidak akan bertemu Yuga beberapa hari. Aku bisa bayangkan betapa menyiksanya berpapasan dengannya. Dia akan menatapku penuh kebencian seperti tempo hari. Semoga dalam waktu 3 hari ini amarahnya mereda. Meskipun tidak bisa berteman dengannya lagi, setidaknya dia tidak menatapku penuh kebencian.

[Kamu dimana?]

Sebuah pesan dari Arif. Belum sempat ku balas pesannya. Pria itu sudah terlihat, aku melambai padanya. Dengan stelan kantor rapi dan sebuah kaca mata hitam, dia mendorong kopernya dan berjalan ke arahku. Dia gagah sekali. Dadaku seketika bergemuruh. Semalam aku mengabaikan perasaan-perasaan tidak enak yang ku rasakan saat membayangkan melakukan perjalanan jauh berdua dengannya. Tetapi kali ini, rasa itu menyergapku.

Beberapa orang wanita yang juga berada di dekat kami melirik ke arahnya. Dari dulu dia memang tetap memesona. Para wanita itu tersenyum ke arahnya. Dia balas tersenyum. ‘Mengapa terasa ada yang teriris dihatiku melihatnya? Padahal apalah hakku terhadapnya sekarang? Ditaaa sadar, ada apa denganmu?’ aku memaki diriku sendiri yang mulai tidak normal.

“Kamu sudah lama menuggu?” sapanya. Dia membuka kacamatanya dan duduk di sampingku. Aroma parfum dan aroma pomadenya kembali memenuhi rongga hidungku. Aku semakin berdebar. ‘Apa yang kamu bayangkan Dita?’ batinku, sambil memainkan jemariku. Kaku.

Dia pun terlihat sama. Kami duduk bersebelahan, tetapi tidak saling bicara. Entah apa yang dipikirkannya.

“Kita langsung check in saja,” ucapnya kemudian, saat terdengar pemberitahun dari petugas bandara. Aku mengikutinya.
Dia langsung mengambil barang bawaanku setelah melewati metal detector. Dia juga yang antri mendapatkan boarding pass. Aku hanya di suruh duduk menunggu. Rasanya juga tidak nyaman, mengingat dia adalah atasanku. Mengapa dia memperlakukan ku seolah kami ini pasangan yang akan menikmati liburan.

Setelah menunggu beberapa lama di waiting room, kami akhirnya naik pesawat. Nomor kursi kami bersebelahan dia dekat jendela sedangkan aku di sampingnya. Aku cukup lega karena, aku punya pobia tersendiri jika duduk di dekat jendela, karena takut ketinggian saat menatap ke luar. Kulihat di kursi ke tiga telah ada penumpangnya, seorang pria muda.

“Kamu dekat jendela saja,” kata Arif. Aku menoleh ke arahnya. Dia kembali memerintah dengan tatapan matanya.

Aku hanya menurut, meskipun ketakutan. Aku hanya berpikiran positif, mungkin dia mempertimbangkan, betapa canggungnya duduk di tengah diantara dua orang pria.
Kupejamkan mata. Ngeri, meskipun ini bukan yang pertama kalinya aku naik pesawat. Pesawat mulai take off, aku meletakkan tanganku di sandaran tangan. Seketika aku terkaget, karena tangan kiriku memegang erat tangannya. Aku tidak tahu, jika dia juga meletakkan tanganya di sana. Segera ku angkat tanganku.
Seperti dialiri listrik tegangan tinggi, tanganku terasa tersengat saat menyentuh tangannya. Tangan yang dulu selalu menggenggam jemariku hangat. Aku baper lagi. ‘Sadar wahai Ditaaa.’

“Maaf,” ucapku dengan wajah memerah. Sekilas ku lihat wajahnya pun merah.
Aku memperbaiki posisi dudukku agar sedikit menjauh darinya sehingga bahu kami tidak bersentuhan.
“Pegangan saja,” ucapnya kemudian.

Mempersilakanku memakai sandaran tangan yang seharusnya adalah haknya. Penumpang window seat dan aisle seat hanya berhak untuk satu sandaran tangan, dan penumpang di kursi tengah berhak atas dua sandaran tangan di sisi kiri dan kanan, setidaknya itulah yang ku tahu.

Pesawat sudah lepas landas, dan sekarang sudah berada pada ketinggian 35. 000 kaki. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangku, saat ku arahkan pandangan ke bawah dari jendela. Aku kembali memejamkan mata.
Dia sepertinya menyadari ketidaknyamanan ku. Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku. Sekarang dia tepat di depanku, meskipun dengan mata terpejam, aku bisa merasakan dia begitu dekat. Wangi pomadenya tercium tajam dihidungku. Apa yang akan dilakukannya? Aku diam kaku menahan napas.

“Sreet.”
Aku membuka mataku, ternyata dia hanya menarik penutup jendela. ‘Mengapa tidak terpikir olehku? Dita-Dita apa yang kamu pikirkan?’

Perjalanan selama 1 jam 45 menit ku lalui dengan tertidur. Aku terbangun saat pramugari mengumumkan bahwa pesawat akan landing.
Aku membuka mataku dan aku kaget luar biasa saat mendapati kepalaku tersandar di bahunya. Aku meluruskan kepalaku dan menatapnya penuh rasa bersalah. Untungnya dia juga tertidur, terlihat dari matanya yang belum terbuka.
Dia pasti tersiksa selama perjalanan, menopang kepalaku. Apakah tadi aku juga mendengkur? Atau ada ilerku yang menetes di lengannya. Aku meraba sudut bibirku. Sambil terus mengutuki diri. ‘Bodohnya kamu Dita.’

Kami berjalan turun dari pesawat. Saat mengambil koper di conveyort belt lagi-lagi dia yang melakukannya, dan menyuruhku duduk menunggu. Aku kembali merasa tidak enak.
Sampai keluar bandara pun dia tetap memperlakukanku seperti bukan bawahannya. Dia memasukan koperku ke dalam bagasi mobil yang akan membawa kami ke hotel tempat workshop dilakukan. Baru saja keluar dari bandara, suasanya khas menyapa, uniknya tanah kelahiran. Mengobati kerinduan yang selama ini terpendam. Dia sepertinya juga menikmati pemandangan di sepanjang jalan.

Sesampai di hotel, kami masih tidak saling bicara. Kami menginap di lantai 3 dengan kamar hotel saling berseberangan.

“Ini jadwal kegiatannya.” Dia menyodorkan selembar kertas padaku. Berisi jadwal yang akan kami ikuti selama workshop. Aku menerimanya tanpa berkata apapun. Perasaan canggung kembali menyelimuti karena hanya kami berdua di lorong ini.
Aku membuka pintu kamar dan meninggalkannya yang masih terpaku. Saat aku akan menutup pintu dia memanggilku.

“Dita.” Aku urung menutup pintu. Aku menunggu apa yang akan dikatakannya dengan berdebar. Bagaimana kalau dia mulai gila dan tidak terkendali, dan menginginkan tidur di kamar yang sama denganku? Aku merinding membayangkannya.

“Ada apa, Pak?” tanyaku ketika dia tak kunjung bicara dan hanya menatapku. Sepertinya ada hal yang sangat penting yang ingin disampaikannya padaku. Aku berdebar menunggu.

“Kalau ada apa-apa, telepon saja,” ucapnya kemudian.
Hufft, kirain apa? Tetapi dari gelagatnya tadi, bukan itu yang ingin dikatakannya.
Aku hanya mengangguk, dan segera menutup pintu, sebelum dia menahanku  lagi.
***

Ku lihat jadwal kegiatan yang diberikannya, pembukaan jam 16.00 WIB. Aku punya banyak waktu untuk istirahat sejenak. Rasanya lelah dan mengantuk. Meskipun telah tidur hampir dua jam di pesawat, kantukku belum juga hilang.

Rasanya nyaman sekali menikmati tidur siang di hotel dengan pemandangan lepas ke laut luas. Jendelanya sengaja ku buka lebar, sehingga angin sepoi-sepoi leluasa masuk. Masih dalam keadaan tertidur, kudengar pintu kamar diketuk. Dengan malas aku bangkit dan berjalan menuju pintu. Saat pintu terbuka, aku kaget ternyata, dia. Refleks, pintunya kembali ku tutup, saat menyadari betapa kusutnya penampilanku.

Setelah merasa sedikit rapi, aku kembali membuka pintu. Dia terlihat sangat rapi dengan pakaian yang sudah berganti. Aku merasa minder sendiri. Aku bahkan belum mandi.

“Maaf, Pak. Ada apa ya?” tanyaku.
“Kamu mau makan apa, biar saya pesankan. Kamu belum makan siang kan?” tanyanya.

Ya ampun, dia keterlaluan sekali. Tidak seharusnya dia menanyakan hal sepele ini secara langsung. Bahkan dia tega mengganggu tidur siangku. Apa dia tidak bisa pakai telepon genggam saja?

“Terserah Bapak saja, saya akan terima,” ucapku asal, dengan mata separuh tertutup.
Aku kembali bersiap menutup pintu. Tetapi seketika dia menahan pintunya.
“Dita,” ucapnya.

Sama dengan kejadian tadi, dia kembali diam tidak bicara, hanya menatapku dalam. Apa sebenarnya yang ingin dia katakan? Mengapa terlihat sulit dia ucapkan? Aku teringat dengan sikapnya tempo hari di ruang arsip. Apakah kali ini dia membuat pengakuan cinta padaku. Kembali? Mataku yang tadi 5 watt, tiba-tiba membesar dengan sendirinya, saat membayangkan apa yang akan di katakannya.

“Ada hal lain yang ingin Bapak sampaikan?” ucapku, memecah kesunyian karena dia tidak kunjung bicara.
“Tidak ada,” ujarnya.
“Tutuplah pintunya, saya akan pergi memesan makanan,” katanya lagi.

Aku hanya terheran-heran dengan sikapnya. Apa yang ingin dia katakan sebenarnya? Otakku berfikir keras mencari jawabannya.

Sumpur Kudus, 18-8-2019/22:28

=====

Selama mengikuti kegiatan sepertinya dia memberiku perhatian lebih. Bukan hanya perasaanku saja, tetapi memang benar adanya. Sama halnya saat di bandara dan di pesawat. Disini dia memperlakukanku sangat baik. Dia sama sekali tidak menganggapku sebagai bawahan.

[Apakah duda itu mempersulitmu?] Sebuah pesan datang dari Niana.
[Alhamdulillah tidak]  Balasku.
[Sepertinya dia suka kamu] Balas Niana lagi dengan emotikon mata mengedip sebelah.
[Tidak mungkin] Balasku membantah.
[Udaaah sikat aja, ingat usia] Goda Niana.

Untuk ukuran seorang gadis yang belum pernah menikah, saat seusiaku sekarang memang sudah rentan ditanya kapan nikah. Dan orang-orang pasti akan menyarankan ‘sikaaat’ saat mulai dekat dengan siapa saja. Tetapi akukan wanita yang pernah menikah.
***

Dua hari telah terlewati, mendampinginya mengikuti kegiatan, dari pagi sampai malam, rasanya sangat melelahkan. Sekarang selesai sudah semuanya, besok aku bisa bebas. Inilah yang kutunggu sebenarnya. Besok aku bisa ziarah ke makam abah, singgah ke rumah kerabat dan aku juga ingin menemui Rara. Setelah pindah ke kota dan memulai hidup baru, aku kehilangan kontak dengan Rara. Aku rindu sekali dengan sahabat lamaku itu. Bagaimana kabarnya sekarang?

[Pak, besok saya izin mau berkunjung ke rumah kerabat saya]

Aku mengirim pesan kepada Manajer. Sebenarnya hanya formalitas. Dia atasanku. Tanpa izinnya pun aku akan tetap pergi.

[Silakan]

Balasnya singkat. Aku cukup lega. Aku bisa santai berkelana seharian besok, mengingat penerbangan kami hanya besok paginya lagi. Tidak sabar rasanya ingin ziarah ke makam Abah. Aku beranjak dan tempat tidur dan meletakkan telepon genggamku di atas bantal. Aku ingin mengemas semua barang-barangku kembali.

[Bukalah pintu kamarmu sebentar] Sebuah pesan kembali masuk.

Dari manajer. Aku melihat jam yang tertera di layar telepon genggamku, 23.00 WIB. Sudah hampir tengah malam, mengapa dia menyuruh buka pintu? Berbagai prasangka mulai menghantui pikiranku. Meskipun kuyakin dia bukan pria seperti itu.

Dengan langkah hati-hati aku mengendap-endap menuju depan pintu. Lewat kaca lubang intip aku melihat ke arah luar. Tidak ada siapa-siapa. Apa dia sengaja mengerjai aku?
Aku kembali menuju tempat tidur dan memeriksa telepon genggamku siapa tahu ada pesan masuk yang lain darinya. Tidak ada. Dia bahkan sudah tidak online lagi.
Aku kembali ke depan pintu, dan memberanikan membukanya. Benar. Tidak ada siapa-siapa. Saat akan menutup pintu kembali, aku melihat sekantong belanjaan di bagian bawah. Aku mengintip isinya. Lengkap. Ada susu kotak, roti, dan vitamin c serta buah-buahan. “Terima kasih sudah bekerja keras membantuku dua hari ini, jaga kesehatanmu.” Sebuah memo kutemukan di dalam kantong itu. Meskipun tanpa nama, sudah jelas ini dari siapa.

Dia baik sekali. Bahkan bisa sedetil itu memberikan perhatian pada bawahannya. Aku tersenyum, rasa bahagia kembali menjalar dari hati meskipun tanpa kusadari.
***

Pagi sekali aku sudah berangkat, karena perjalanan dari hotel tempatku menginap dan rumah lama kami memakan waktu 2 jam. Menggunakan angkutan antar kota.
Sebelum berangkat aku tidak menghubunginya lagi. Dia sepertinya juga punya rencana sendiri, mengingat ini juga kampung halamannya.

Aku sampai di makam Abah, tempat pertama yang menjadi prioritas perjalananku hari ini. Makam Abah terlihat terawat. Meskipun kami anak-anaknya tidak ada di kampung, tetapi kerabat Abah selalu membersihkan nya.
Aku duduk di samping makam itu, sambil membacakan untaian do’a untuk Abah. Tidak terasa sudah 10 tahun sejak hari itu, tetapi rasa kehilangan tetap masih tersisa. Aku belum sempat membuat Abah bahagia. Tidak terasa air mataku kembali menetes.
Do’a adalah satu-satunya yang dibutuhkan Abah sekarang, semoga Abah di tempatkan di syurga-Nya.

Setelah kembali dari makam, aku mengunjungi rumah yang kami tempati dulu. Rumah itu masih sama, tidak ada yang berubah. Kerabat abah menjaganya dengan baik, begitu juga dengan kandang ayam. Usaha peternakan ayam potong itu tetap dilanjutkan kerabat Abah.
Semuanya sangat berarti karena menyimpan sejarah perjalanan hidup kami.
***

Masih ada tempat yang ingin aku kunjungi. Rumah Rara. Meskipun dulu aku sering pulang kala lebaran, tetapi tetap tidak punya banyak waktu untuk mengunjungi Rara. Sekarang aku harus bisa bertemu dengannya.

Aku melangkah perlahan memasuki halaman sebuah rumah yang sepertinya baru selesai dibangun. Terlihat dari peralatan pertukangan yang masih tergeletak di beberapa sudut bagian luar. Aku mengetuk pintu rumah bercat putih itu. Tidak sabar rasanya ingin memeluk pemilik tubuh mungil itu. Rara dan aku sama berperawakan kecil dan pendek. Karena kesamaan fisik itulah kami akhirnya dekat waktu masih sekolah dulu.

Daun pintu terbuka. Seorang wanita berdaster berdiri di hadapanku.

“Rara,” pekikku histeris.
“Dita.” Rara berteriak tidak kalah histeris.

Aku memeluk erat wanita yang tidak lagi bisa disebut kecil itu. Tubuh Rara melebar dua kali lipat. Aku mengamatinya berkali-kali. Dia benar-benar Rara. Rara menikah tidak lama setelah aku pindah ke kota. Dia dijodohkan dengan seorang kenalan Bapaknya. Seorang pria yang 15 tahun lebih tua dari Rara, yang bekerja sebagai penjual daging di pasar.
Beberapa kali kami saling memeluk. Rasanya sangat rindu.

“Silakah duduk, kamu cari saja tempat yang menurut kamu bisa diduduki,” kata Rara saat aku masuk ke ruang tamunya. Semua tempat dipenuhi oleh mainan. Anak Rara pasti sangat aktif sekali, bisa memporak-porandakan ruang tamu seperti ini. Sesuai saran Rara, aku mencari tempat yang bisa diduduki.

Rara kembali dengan tangan membawa nampan berisi minuman. Dua orang bocah mengiringinya sambil memegang ujung daster Rara.

“Ini anak kamu,” ucapku tidak percaya.

Aku berpikir Rara baru memiliki satu orang anak ternyata sudah dua. Dua bocah balita itu terlihat malu-malu dan terus menempel pada Rara. Lucu sekali.

“Aku tidak menyangka, kamu sudah punya dua orang anak.” Aku masih saja merasa ‘waw’ melihatnya.
“Bukan dua, tapi tiga.” Rara meluruskan, sambil tersenyum padaku.
“Tiga? Kamu bercanda,” ucapku.
“Yang paling tua sedang sekolah. TK B,” jelas Rara. Aku kembali melongo tidak percaya. Rara tertawa melihat ekspresiku.
“Banyak anak banyak rezeki,” tambah Rara lagi.

Sebelumnya aku memang meyakini kalau Rara sudah menikah dan punya anak. Punya satu anak. Tetapi diluar perkiraanku, ternyata dia sudah memiliki 3 orang anak.

“Beberapa bulan lagi, aku akan melahirkan anak ke 4,” ujar Rara santai sambil mengelus perutnya yang mulai terlihat membuncit di balik dasternya. Aku kembali terbelalak. Rara hanya tersenyum.
Terlihat sekali Rara sangat bahagia. Semua yang kuimpikan dulu, ada pada Rara. Menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga.

Senyumku memudar saat ingat semua yang pernah terjadi menimpaku. Kalau saja waktu itu aku dan Arif tidak berpisah, bisa jadi sekarang aku sudah seperti Rara. Hidup bahagia dengan banyak anak. Aku memang selalu memimpikan memiliki banyak anak. Sebanyak yang Ummi dan Abah miliki.
Tetapi semuanya hanya akan menjadi mimpi. Sampai sekarang aku masih sendiri.

“Kalau kamu sudah punya berapa orang anak?” tanya Rara.
Aku tertegun mendengar pertanyaan Rara. Apakah selama ini Rara tidak tahu, apa yang menimpaku?
“Kamu tidak tahu, kalau aku dan Arif sudah berpisah?” aku balik bertanya.
“Jadi dia tidak menemui kamu?” Rara kembali bertanya, dan kali ini dia terlihat sangat heran. Aku menggeleng.

“Aku pernah bertemu tanpa sengaja dengannya, sebulan setelah kematian Abah, aku memberitahu semuanya. Ternyata dia memang tidak tahu apa-apa soal meninggalnya Abah,” jelas Rara.
“Aku kira dia menemuimu setelahnya dan kalian kembali rujuk, karena saat itu dia terlihat sangat menyesal,” tambah Rara lagi.

Aku cukup terkejut mendengar cerita Rara. Jadi sudah cukup lama Arif mendengar kabar meninggalnya Abah. Tetapi mengapa dia tidak segera menemuiku seperti perkiraan Rara. Atau setidaknya datang ke rumah mengucapkan belasungkawa sebagai bukti bahwa dia masih menghargai Abah.

Aku menelan ludah, kecewa. Rasa sakit dan sesak yang sudah lama ku coba kubur, sekarang kembali mengambang ke permukaan. Ternyata dia memang tidak peduli.
Lalu mengapa sekarang setelah 10 tahun, dia muncul di hadapanku. Bersikap baik dan peduli seolah ingin kembali lagi padaku? Apa arti semua perhatiannya belakangan ini? Mengapa juga dia terlihat cemburu saat aku didekati pria lain? Otakku berpikir keras, menerka jawabannya.
Dan bodohnya , aku mulai terjebak dengan semua sikap baiknya itu.
Kalau dia memang masih mencintai dan menginginkaku kembali padanya, mengapa tidak dilakukannya sejak dahulu. Dia ternyata sangat jahat.

“Maafkan aku Ta, aku tidak bermaksud membuat kamu sedih. Aku benar-benar tidak tahu,” Rara merasa bersalah, ketika melihat wajahku berubah sedih, dan tanpa sadar air mataku meleleh.
“Tidak apa-apa Ra, aku baik-baik saja,” ucapku sambil tersenyum dan menyeka air mata di pipiku. Dua buah hati Rara terlihat ikutan sedih. Aku tersenyum ke arah mereka.
“Kamu pasti akan menemukan jodoh yang baik Ta,” hibur Rara. Aku mengaminkan ucapan Rara.

Setelah puas bercerita, makan siang dan main bersama anak-anak Rara, aku pamit. Aku sama sekali tidak menceritakan pada Rara, bahwa sekarang Arif menjadi atasanku.
Tidak ada gunanya juga, karena aku sudah memutuskan. Setelah kembali ke kota, aku akan benar-benar resign. Tekadku sudah bulat. Aku tidak peduli lagi dengan apapun. Aku merasa telah dipermainkan.
Tidak baik kalau aku terus berada disekitarnya. Karena pada akhirnya aku akan tetap tersakiti.
***

Aku menjadi malas untuk kembali ke hotel. Rasanya tidak ingin lagi melihat wajahnya. Luka lama itu basah lagi. Rasa sakit itu kembali terasa perih.
Aku mencoba menghabiskan waktu dengan berkeliling tidak tentu arah. Aku ingin sampai kembali di hotel saat malam hari, sehingga waktu kami untuk saling berinteraksi tidak banyak.

Saat melewati gang menuju SMA-ku dulu aku berhenti sejenak. Ingin rasanya  pergi ke sana. Tetapi ada keraguan melanda, karena semua sudutnya akan mengingatkanku tentang kenangan lama.
Lama berpikir akhirnya rindu dan penasaran tetap membawa langkah kakiku ke sana.

Hari sudah menjelang sore, jadi sekolah sudah usai. Tidak ada satupun siswa yang kutemui. Gerbang sekolah belum dikunci. Saat sampai di pos satpam, aku teringat Pak Dirman. Apakah sekarang dia masih bekerja di sini? Dia pasti sudah sangat tua sekarang.

Ingat Pak Dirman, aku jadi tersenyum sendiri. Aku baru tahu kalau Pak Dirman buta aksara, sehingga tidak mampu membaca pesan yang kuletakkan di mejanya waktu itu. Aku bahkan sudah berpikiran buruk padanya, sengaja membiarkan kami terkunci dihari itu. Hari dimana segala sesuatu yang kualami sekarang bermula.

Aku melangkah masuk ke dalam. Gedungnya masih sama, meski sudah 12 tahun lebih, tidak banyak yang berubah hanya warna catnya  saja yang berganti.

“Mencari siapa?” sebuah suara mengagetkanku.

Seorang pria muda berseragam satpam. Mungkin satpam baru pengganti Pak Dirman.
Aku menjelaskan padanya kalau aku alumni, dan hanya ingin melihat-lihat saja. Dia terlihat ramah, mempersilakanku berkeliling.

“Oh, ya dimana Pak Dirman? Satpam sekolah yang lama,” tanyaku penasaran.
“Ayah saya sudah meninggal,” jawabnya.

Seketika aku terdiam. Dia anak pak Dirman, dan sekarang menggantikan pekerjaan ayahnya. Aku merasa bersalah telah menanyakan hal itu padanya. Aku benar-benar tidak tahu. Ternyata laki-laki tua yang telah berjasa menolong kami waktu malam itu telah tiada.

“Silakan kalau kakak masih mau berkeliling, gerbangnya belum akan saya kunci,” ucapnya sopan. Dia sama baiknya dengan Pak Dirman.

Aku menjelajahi setiap sudut, dan semua mengingatkanku pada kenangan indah masa SMA, mulai dari awal masuk hingga aku bertemu dengannya. Langkahku terhenti saat aku sampai di depan perpustakaan. Tempat dimana pertama kali aku bertemu denganya. Memori lama kembali terputar, dengan sangat jelas aku masih mengingat dia minta tolong padaku. Dari balik jendela  kaca dengan mata berbinar penuh harap dia memohon padaku. Kalau saja aku tidak menolongnya waktu itu. Mungkin hidup yang kujalani hari ini akan berbeda.
Aku berdiri diam, larut dalam lamunan, mengenang satu persatu kejadian hari itu. Mataku memerah menahan tangis, kala penyesalan kembali menyergap. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, menguatkan hati, bahwa tidak ada gunanya semua kusesali. Aku menarik napas dalam dan siap melangkah pergi.

Tetapi, langkahku terhenti saat mataku menangkap pantulan wajah seseorang di kaca jendela tepat di depanku. Arif?
Aku tidak sedang berhalusinasi membayangkan kejadian lampau. Bayangan wajah itu terlihat nyata. Bukah halusinasi, karena Arif yang kulihat tidak berseragam putih, melainkan memakai kemeja dengan dasi terpasang rapi. Aku membalikkan badanku. Menatap sosok yang kini berdiri tegak tepat di depanku. Dari mana dia datang? Aku bahkan tidak menyadari kedatanganya.

Kami saling menatap dalam diam. Larut dalam pikiran masing-masing. Rasa sakit dan perih membuatku berajak meninggalkannya kemudian. Tanpa berkata apapun. Aku tidak peduli lagi, sekarang dia atasanku atau bukan.

“Dita, tunggu.” Dia menahanku. Langkahku terhenti. Dia kembali terdiam, aku menunggu dia bicara.
“Cukup lama aku mengumpulkan keberanian untuk membicarakan ini. Hari ini aku ingin menjelaskan semuanya,” ucapnya.

Aku masih membatu, menunggunya bicara kembali.
“Maafkan aku,” tambahnya dengan suara bergetar.
Maaf? Dia meminta maafku sekarang? Setelah 10 tahun, dia baru menyadari kesalahanya sekarang?Aku membalikkan badan, dan menatapnya.

“Maaf untuk apa?” tanyaku lantang.
“Maaf untuk semuanya,” ucapnya bergetar seolah menahan tangis.
“Mengapa baru sekarang?” kembali kubertanya dengan garang.

Karena rasa sakit hati yang tidak mampu kutahan lagi. mengapa baru sekarang dia meminta maafku. Setelah 10 tahun dan setelah beberapa bulan dia hadir di depanku, dan bersikap seolah tidak mengenalku sebelumnya.

“Aku tidak punya keberanian melakukannya,” ucapnya.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kisah kita sudah lama berakhir,” ucapku dan bersiap meninggalkannya. Dadaku semakin sesak melihatnya.

“Aku masih mencintai kamu,” ucapnya lagi dan membuat langkahku kembali terhenti.
“Selama 10 tahun kita berpisah tidak pernah sekalipun aku berhenti memikirkanmu. Kamu adalah satu-satunya wanita yang aku cintai sampai kapanpun,” tambahnya.

Aku tersenyum sinis. Dari dulu dia memang jagonya membuatku merasa berbunga-bunga. Tetapi kali ini aku tidak akan tertipu dengan mudahnya.

“Kalau kamu benar-benar mencintai seseorang, kamu tidak akan menyakitinya,” ujarku datar.

Aku berubah menjadi wanita antagonis sekarang, semua karena rasa sesak dan sakit yang pernah kurasakan. Dia mengaku mencintaiku tetapi tetap menyakitiku. Dia laki-laki tidak konsisten. Tidak dapat dipercaya sama sekali.

“Aku minta maaf. Itulah yang ingin kujelaskan sekarang,” ucapnya lagi.

Aku diam tidak berbicara apapun. Menunggunya menjelaskan semua. Semua perubahan sikapnya, mengabaikanku disaat aku membutuhkannya kala itu.

“Tepat disaat kamu membutuhkanku. Mama sakit, perhatianku tersita hanya untuk mama.” Dia mulai menjelaskan.

Mamanya sakit? Hanya untuk mama? Bagaimana dengan Abah. Abah sekarat bahkan meninggal. Jauh lebih berat dan menyakitkan.
Tidak ada yang salah, jika dia tidak peduli dengan Abah, dan hanya mempedulikan mamanya. Karena Abah bukan orang tuanya. Aku bertambah jengkel denganya sekarang.

“Aku minta maaf, karena tidak mau peduli dengan apa yang kamu rasakan waktu itu.” Dia berjalan mendekatiku.
“Oke. Maafmu aku terima,” ucapku datar.
“Aku ingin kamu kembali padaku,” pintanya.

Begitu mudahnya dia memintaku kembali padanya. Tanpa bertanya bagaimana perasaanku padanya sekarang.

“Maaf aku tidak bisa,” ucapku.
Dia terlihat syok mendengar jawabanku. Tatapannya begitu sendu penuh harap.

“Kalau kamu memang berniat kembali kepadaku. Seharusnya kamu melakukannya dari dulu. Kamu bahkan tidak berusaha mencariku segera setelah kamu tahu Abah tiada. Aku terlalu kecewa,” kataku dan berlalu.

Kali ini aku benar-benar pergi. Aku tidak akan berhenti lagi.
Semuanya hanya akan sia-sia. Kalaupun setelah kami saling mengerti kesalahpahaman diantara kami. Tetap saja semua tidak berguna. Karena pada akhinya kami tidak akan pernah kembali bersama, karena mamanya tidak akan pernah merestui.

“Kamu salah, aku mencari kamu. Bahkan aku nekat menyusulmu ke kota,” katanya setengah berteriak. Aku berhenti sejenak. Benarkah?
Tetapi kemudian aku tetap melanjutkan langkah kakiku. Meninggalkannya sendiri. Masih kudengar dia berteriak.

“Ditaaa, sampai kapanpun aku tetap cinta kamu.”

Air mataku meleleh tanpa sanggup kutahan. Aku tidak bisa membohongi perasanku, bahwa aku juga masih mencintainya.
Sore semakin menjelang. Aku terus melangkah menginggalkannya yang masih terdiam. Maafkan aku.
***

Makam Abah adalah tempat yang kembali kutuju. Ingin kucurahkan semua rasa yang menyesakkan dada ini. Aku ingin Abah mendengarkannya. Meskipun sudah sangat sore, aku tidak peduli. Aku hanya ingin didekat Abah untuk saat ini.

“Dita, mengapa masih disini?” tanya kerabat Abahku yang memang kebetulan lewat, sepulang dari kandang ayam.
“Tidak apa-apa Pak,” kataku sambil menyeka air mataku.
“Tadi setelah kamu pergi, Arif juga berkunjung ke sini” ucapnya lagi.
Arif? Dia ke makam abah?
“Sesekali bila dia kebetulan pulang kampung dia pasti menyempatkan diri untuk singgah. Bahkan terkadang dia bisa sangat lama disini,” jelasnya lagi.

Benarkah?
***

Sudah hampir jam 8 malam ketika aku kembali sampai di hotel. Saat akan masuk ke kamarku, aku memandang ke arah pintu kamarnya. Apakah dia sudah kembali?
Selesai mandi dan sholat Isya, kurebahkan tubuhku yang mulai terasa lelah. Hari ini sangat panjang. Aku lelah dengan pikiranku sendiri. Apa yang harus aku lakukan?
Aku teringat dengan semua ucapan Arif tadi siang. Dia tidak bohong. Seperti cerita Rara, sebulan setelah Abah meninggal, ketika Arif tahu kejadian sebenarnya, dia memang mencariku bahkan sempat menyusulku ke kota. Tetapi mengapa kami tidak bertemu kala itu?
Aku langsung teringat. Kakak. Jangan-jangan dia hanya bertemu kakakku? Ini menjawab kecurigaanku terhadap sikap aneh kakakku beberapa waktu lalu. Apa yang dikatakan kakakku padanya?

‘Ditaaa, sampai kapanpun aku tetap cinta kamu.’ Teriakannya tadi siang masih terngiang-ngiang di telingaku.

Di masih mencintaiku. Inilah jawaban segala sikap baiknya selama ini, dia sama sekali tidak mempermainkanku. Dia tulus melakukan semuanya. Selama ini ternyata dia mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan semuanya, dan menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi diantara kami dulu.
Aku memejamkan mata. Tidak dapat kusangkal, sebenarnya aku juga masih memiliki rasa yang sama dengannya. Aku masih mencintainya. Tetapi bagaimana dengan mamanya? Hatiku kembali terasa perih. Akan percuma jika kami kembali tetapi tetap tanpa restu mamanya. Aku dilanda kebimbangan. Apa yang harus aku lakukan?

Sudah hampir tengah malam, aku tidak bisa tertidur. ‘Apakah dia sudah pulang?’ Aku tiba-tiba mencemaskannya.
[Apakah Bapak sudah tidur?] Kukirim pesan untuknya. Sebelum pesan itu tercentang biru, aku kembali menghapusnya.
***

Pagi sekali selesai sarapan, aku menunggunya di lobi hotel. Kami akan kembali hari ini. Aku menunggunya cukup lama, tetapi dia tidak kunjung muncul. Biasanya dia selalu tepat waktu. Kemana dia? Apakah dia meninggalkan aku? Tidak mungkin.
Atau sesuatu telah terjadi padanya? Dengan tergesa aku kembali ke lantai 3. Saat sampai di lorong diantara kamar kami, aku melihatnya. Dia barus aja menutup pintu. Aku menghentikan langkahku. Napasku sesak karena berjalan buru-buru. Dia menatap ke arahku. Kami terpisah hanya sejauh 3 meter. Aku lega, ternyata dia baik-baik saja.

“Ada apa?” tanyanya saat aku tidak berhenti menatapnya.
“Tidak ada apa-apa,” ucapku. Tidak mungkin kukatakan kalau aku mencemaskannya.
***

Sepanjang perjalanan pulang, dia tidak banyak bicara. Tetapi dia tetap memperlakukanku baik. Sama seperti awal keberangkatan, dia mengurus semuanya saat di bandara.
Ketika di atas pesawat dia juga tidak berkata sepatahpun. Justru sekarang aku yang sesekali mencuri pandang ke arahnya, ingin memulai pembicaraan, tetapi tidak tahu apa yang akan kukatakan.

Kami kembali sampai di ibukota. Saat sampai di pintu keluar bandara, dia menyerahkan koperku yang sedari tadi di dorongnya.

“Sampai jumpa besok. Kamu pulang naik apa?” tanyanya. Meski dia bertanya padaku, tetapi dia tidak menatap wajaku. Apa dia membenciku sekarang?
Belum sempat aku menjawab. Seseorang memanggil namanya.

“Rif.” Kami berdua memandang ke sumber suara. Kakaknya.
“Kakak,” Arif sepertinya tidak tahu kalau kakaknya menjemput ke bandara.
“Oh, hai Dita. Apa kabar?” kakaknya menyapaku ramah sambil mengulurkan tangan ke arahku.
”Ba-baik Kak,” jawabku gugup sambil menjabat tanganya.
“Kami semua menjemput kamu. Mama juga ikut,” ucap kakaknya lagi.

Mamanya? Mama Arif juga di sini? Seketika aku mulai gugup dan merasa tidak enak. Untuk pertama kalinya aku akan bertemu wanita cantik itu lagi. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak siap bertemu denganya. Aku ingin segera pamit dan pulang saja duluan. Tetapi terlambat, dia sudah berada di dekat kami.

Seorang wanita muda mendorong kursi roda ke arah kami dan aku sungguh tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Mama arif? Apa yang telah terjadi denganya? Dia tidak lagi seperti wanita yang dulu kukenal. Wanita cantik yang modis. Arif memang mengatakan kalau mamanya sakit. Tetapi aku tidak menyangka bahwa sakitnya separah ini. Rasa bersalah seketika menyergap hatiku.
Aku menatap wanita paruh baya itu. Dia mencoba tersenyum ke arahku. Meski  sepertinya sangat sulit. Wajah yang dulu cantik itu sekarang terlihat menua dan tidak simetris lagi. Aku menjadi iba.
Dia tidak berhenti menatapku, matanya terlihat berkaca-kaca. Aku mendekat ke arahnya.

“Dita,” ucapnya lirih dengan air mata yang mulai menetes.

Bersambung #9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER