Cerita bersambung
Aku sampai di rumah dan disambut Ummi. Aku langsung memeluk wanita terbaik dalam hidupku itu. Meskipun tidak bertemu baru 3 hari rasanya sangat rindu. Aku berulang kali mencium pipinya, sambil terus tersenyum.
“Sepertinya kamu bahagia sekali. Apa terjadi sesuatu?” Ummi merasakan sikapku yang tidak biasa.
“Aku hanya senang bisa memeluk Ummi lagi,” kilahku.
“Hmmm bohong, pasti ada sesuatu,” ucap Ummi penuh selidik dengan pandangan mata tidak lepas dari wajahku.
Ummi benar. Aku bahagia sekali sekarang. Hal itu karena kejadian di bandara tadi. Saat aku bertemu mamanya Arif. Aku masih ingat bagaimana wajah sendu itu memelukku dan berucap ‘maafkan mama’. Tanpa penjelasan panjang pun, sekarang aku tahu kalau dia mulai menyukaiku. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah. Selama dua tahun pernikahan dulu aku selalu berusaha mengambil hatinya, agar merestui kami. Tetapi tetap tidak pernah berhasil.
Tetapi, sebenci apapun dia denganku dahulu, aku tidak pernah mendendam padanya. Dia hanya seorang ibu yang kecewa dengan jalan hidup yang dipilih anaknya.
“Tuh kan senyum lagi,” Ummi menggodaku. Aku kembali memeluk erat Ummi.
Belum pernah aku sebahagia ini. Aku pernah bahagia saat Arif mengajakku menikah beberapa tahun lalu. Aku juga bahagia ketika kemarin dia katakan ingin kembali padaku dan akan selalu mencintaiku. Tetapi bahagia itu tidak sebanding dengan rasa bahagia yang kurasakan ketika mamanya memberi angin segar untuk hubungan kami. Restu yang selama ini aku impikan.
***
Malamnya mataku sulit terpejam. Setiap kali mencoba memejamkan mata yang terbayang hanya wajah Arif. Aku bahkan sampai menutup mukaku dengan bantal.
‘Ditaaa, sampai kapanpun aku tetap cinta kamu.’ Teriakannya waktu itu kembali menggema di telingaku. Aku bangkit dari tidurku saat ingat sesuatu. Aku sudah menolaknya. ‘Oh tidak, apakah sekarang dia marah padaku?’
Aku mengacak-acak rambutku sendiri. ‘Seharusnya tidak secepat itu aku memberinya jawaban penolakan’. Aku merasa menyesali perbuatanku.
Bagaimana kalau Arif menyerah, tidak lagi mengharapkanku dan mencoba berpaling pada wanita lain? Pikiran buruk langsung menghantuiku.
***
Hari ini aku kembali masuk kantor seperti biasa. Saat baru saja melangkah keluar rumah sekilas aku melihat Yuga. Aku hampir saja mengejar dan memanggil namanya. Namun urung kulakukan. Aku ingat, dia pasti sangat membenciku sekarang setelah apa yang kukatakan padanya malam itu.
Mungkin aku sudah kehilangan sahabat seperti Yuga untuk selamanya. Dia pasti tidak akan mau lagi bicara bahkan menoleh padaku. Awalnya mungkin akan terasa janggal. Semoga suatu saat dia bisa memahami semuanya, dan kami bisa berteman seperti dulu lagi. Dia anak baik.
Aku sampai di depan kantor, bersamaan dengan karyawan dan staff lainnya. Saat memasuki lobi, aku melihatnya. Arif. Dia baru saja turun dari mobilnya. Mengapa jantungku bergemuruh jauh lebih dahsyat dari sebelumnya? Dan mengapa juga dia terlihat jauh, jauh, dan jauh lebih tampan dari biasanya.
Aku sudah memasang senyum termanisku untuknya. Dia menyadari keberadaanku, dan menatapku sejenak. Aku yakin dia akan tersenyum balik padaku.
Setelah beberapa detik menunggu. Dia sama sekali tidak membalas senyumku, justru sekarang dia membuang muka, dan berjalan masuk tanpa mempedulikanku. What?
Aku merasa terhina sekali. Berani-beraninya dia mengabaikanku. ‘Apa, dia benar-benar membenciku sekarang?’
Aku menuju meja kerja, sambil membagikan oleh-oleh untuk teman-temanku.
“Bagaimana perjalananmu? Dia tidak berusaha menggodamukan?” bisik Boby padaku. Teman wanitaku juga mulai kepo dengan berkerumun di sekelilingku.
“Lancar. Tidak, dia baik,” jawabku.
“Hati-hati, dia itu sudah lama menduda, bisa saja dia gelap mata, daan....” Yurika mencoba menakutiku. Aku tersenyum geli dengan tingkah Yurika. Dia bukan laki-laki seperti itu.
“Dita.” Saat kami sedang tertawa cekikikan, dia memanggilku dari pintu masuk ruangannya. Teman-temanku langsung kocar-kacir menuju meja mereka masing-masing.
“I-iya Pak,” jawabku terbata.
“Tolong ke ruangan saya sebentar,” pintanya.
Sampai hari ini aku masih menggantikan posisi Niana. Wanita itu baru akan menikah esok hari. Seminggu setelah pernikahannya dia masih akan cuti. Kalau sebelumnya aku merasa terbebani menggantikan semua tugas Niana. Sekarang, sepertinya berbeda.
Aku melangkah masuk menuju ruang kerja manajer. Aku membungkuk dengan sopan padanya. Dia atasanku.
“Ada yang Bapak perlukan?” tanyaku. Sekarang aku tidak lagi merasa canggung, entah mengapa.
“Duduk,” perintahnya. Dia terlihat tidak bersahabat. Semoga dia tidak mencampurkan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Sepertinya dia masih kesal padaku, karena kemarin aku menolaknya.
Aku duduk di kursi tamu yang ada di depan meja kerjanya. Dia ikut duduk di depanku. Sekarang kami saling berhadapan. Dia menyilangkan kedua kakinya, dan duduk dengan angkuh. Kedua tangannya juga menyilang di dada. Dia terus menatapku tajam. Ingin rasanya aku tertawa, tetapi tidak mungkin kulakukan. Aku hanya tersenyum.
“Apa ada yang lucu?” sergahnya. Dia begitu menakutkan sekarang, sangat dingin dan berwibawa, sangat berbeda dengan sikap yang ditunjukkannya kemarin.
“Maaf. Tidak Pak,” jawabku sambil tetap tersenyum.
“Segera buat laporan penjualan semua produk, dan laporkan ke saya dalam bentuk grafik,” perintahnya.
“Baik Pak,” jawabku.
Setelahnya dia tidak bicara apa-apa lagi, tetapi sorot matanya yang tajam terus menatapku. Aku merasa jengah sendiri.
“Kalau tidak ada lagi yang ingin Bapak bicarakan, saya permisi dulu,” ucapku dan beranjak meninggalkanya.
“Dita.” Dia kembali memanggilku. Aku sudah sampai di depan pintu. Apa lagi yang ingin disampaikannya? Aku menunggu dia bicara. Dia tetap pada posisi duduknya semula.
“Kamu tahu air?” tanyanya kemudian tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Aku mengerutkan kening. Pertanyaan macam apa ini? Tentu saja aku tahu air, setiap hari aku minum air, mandi dengan air, mencuci juga dengan air. Kemana arah dan tujuan pertanyaannya?
“Ketika aliran air terus terhalang, dia akan berbelok dan mencari celah lain yang bisa di laluinya,” tambahnya lagi.
Lipatan di keningku sekarang semakin bertambah. Apa dia baru saja mengigau? Apa yang dikatakannya?
“Mak-sud Bapak?” tanyaku hati-hati. Dia sepertinya sedang tidak normal hari ini.
“Kamu tidak paham?” Dia balik bertanya. Aku menggelang.
“Ya sudah. Tidak apa-apa. Silakan kembali bekerja. Pikiran saya sepertinya sedang kacau,” ucapnya.
Aku segera keluar dan menutup pintu kembali, sambil mengelengkan kepala. Dia kenapa?
Sambil duduk di mejaku dan mengerjakan apa yang dimintanya, otakku terus memikirkan apa yang dikatakannya tadi. ‘Aliran air yang terus dihalangi? Apa yang dia bicarakan semacam bendungan? Apa korelasinya dengan pekerjaan kami. Akan berbelok dan mencari celah lain?’ Aku kembali menggeleng, tidak bisa menangkap arti ucapannya.
Saat istirahat, aku makan siang seperti biasa, bedanya sekarang aku hanya sendirian. Tidak ada Niana dan tidak ada Yuga. Kantin terlihat sesak dan penuh.
Saat aku memandang ke arah pintu masuk, kulihat dia. Arif. Berjalan beriringan dengan seorang wanita. Aku tahu wanita itu, dia manajer bagian personalia. Cantik, putih, langsing dan tinggi. Dengan rambut panjang terurai berwarna keemasan dan dandanan mewah, dia sangat berkelas. Mereka terlihat sedang bicara sambil tertawa. Ketika kuperhatikan lagi, mereka terlihat sangat serasi. Perbedaan tinggi tubuh diantara mereka tidak terlihat mencolok. Mereka juga sangat tampan dan cantik. Hatiku rasanya terbakar.
Aku mengaduk makananku tidak karuan. Nafsu makanku tiba-tiba hilang. Sekarang mereka duduk di meja yang sama, meskipun tidak berdua, tetapi bergabung dengan para manajer lain. Lagi-lagi mereka tertawa dan terlihat sangat akrab. ‘Dasar laki-laki tidak konsisten,’ gerutuku kesal.
Setelah sholat Zuhur, aku kembali ke ruang kerja lebih awal, meskipun jam istirahat siang belum berakhir. Tadi aku memang cepat keluar dari kantin, selain tidak berselera makan aku merasa gerah dan kepanasan. Kepanasan melihat manajerku yang sok tampan itu terlihat terus tersenyum pada wanita lain. Aku cemburu. ‘Aaah bagaimana ini?’
Celah? Celah lain? Pupil mataku membesar ketika menyadari apa yang dikatakannya tadi pagi. Air mengalir yang terhalangi? Ungkapan untuk seseorang yang lelah menunggu akhirnya pasrah dan mencoba beralih ke yang lain. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Apa itu artinya dia menyerah? Dan mencari wanita lain?
Meski lebih dari 10 tahun berpisah, dia mengatakan tetap mencintaiku. Kemarin dia juga meneriakkan akan selalu mencintaiku sampai kapan pun. Tidak ada wanita lain dalam hidupnya selain aku. Aku tidak tahu apa yang dilaluinya selama kurun waktu itu. Apa juga yang telah dilakukannya hingga membuat mamanya memberikan angin seolah bisa menerimaku.
Kemarin dia mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan rasanya kembali. Dan aku menolaknya mentah-mentah. Ternyata aku sudah begitu jahat padanya.
Sekarang dia ingin menyerah. Ada rasa sakit kurasakan saat membayangkan hal itu benar terjadi. Apa yang harus kulakukan sekarang? Dia tidak boleh menyerah dan mencari celah lain. ‘Eh, wanita lain.’
***
Jam kantor sudah berakhir, teman-temanku sudah beranjak pulang. Aku masih duduk di balik meja kerjaku. Tidak terniat untuk segera pulang. Aku menunggu manajer keluar dari ruanganya, padahal tidak ada hal penting yang ingin kusampaikan. Aku hanya ingin melihatnya saja sebelum pulang.
Oke. Selama ini, dari dulu, sejak pertama kali kami bertemu, dia selalu mengejarku. Menatapku dengan tatapan seolah hanya aku wanita di dunia ini. Aku tidak pernah meragukan cintanya. Dia mungkin ingin balas dendam padaku sekarang. Berharap aku merasakan apa yang dirasakannya sejak dulu.
Dia keluar dari ruangannya dan terheran melihatku yang masih duduk di balik meja kerjaku.
“Mengapa kamu belum pulang?” tanyanya heran.
“Apa Bapak punya pekerjaan tambahan untukku. Akan aku kerjakan,” tawarku sambil terus memasang senyum termanis. Sebenarnya harga diriku jatuh saat ini. Tidak apa, biar dia tahu kalau aku juga masih mencintainya.
Dia mengerutkan dahinya. Heran. Dia pasti berpikir. ‘Ada apa dengan wanita ini?’
“Tidak ada,” jawabnya singkat.
“Kamu pulang saja. Ini sudah sangat sore, saya bisa dikenai sanksi jika mempekerjakan bawahan melewati batas jam kerjanya,” tambahnya lagi.
Dia bisa saja, lalu yang dilakukannya kemarin padaku itu apa, sampai menjelang Magrib dia menahanku untuk membantunya bekerja.
Aku mengambil tasku dan mengikuti langkahnya beranjak pulang. Aku mengekorinya dan tidak berniat untuk mendahuluinya. Kantor sudah sepi, kalau urusan pulang, semuanya pasti bergegas.
Aku juga mengikutinya masuk lift, hanya kami berdua. Sama sekali tidak ada rasa canggung, seperti yang dulu selalu kurasakan. Perasaanku sekarang begitu ringan. Bahkan kurasa sekarang aku semakin berani berhadapan dengannya. Semua karena aku sudah tahu bagaimana perasaannya padaku. Aku menatapnya dan terus tersenyum ke arahnya. Kulihat dia salah tingkah, pipinya memerah. Lucu sekali.
“Ada apa?” ucapnya ketus, merasa tidak nyaman terus kuperhatikan.
“Tidak ada,” ujarku. Ingin rasanya tertawa melihat ekspresi wajahnya itu. Sekarang dia jual mahal.
***
Aku sampai di rumah kembali. Rumah terlihat ramai, ternyata ada kakak-kakakku. Aku memang sengaja meminta mereka datang, ada oleh-oleh yang kubawakan untuk mereka.
Kulihat Ummi sangat senang, dikunjungi oleh para keponakanku yang sekarang jumlahnya sudah selusin. Saat melihat kakak tertuaku, aku langsung menyeretnya ke dalam kamarku.
“Ada apa?” tanyanya heran saat melihat ekspresi wajahku yang serius.
“Ada yang ingin kutanyakan pada kakak,” ucapku memulai. Aku penasaran sekali tentang apa yang dikatakannya pada Arif 10 tahun lalu, saat Arif menyusulku sampai ke kota.
“Soal apa? Kamu membuat kakak takut,”jawabnya.
“Soal Arif.” Wajah kakakku langsung berubah.
“Kalian ba-li-kan?” tanya kakakku hati-hati.
“Bukan soal itu. Aku ingin tahu apakah kakak bertemu Arif 10 tahun lalu,” cercaku langsung.
“Dia memberitahu kamu?” tanya kakakku balik.
“Jadi benar, kakak bertemu dengannya dulu.” Ternyata Arif tidak bohong. Dia benar-benar nekat menyusulku. Ingin menjelaskan kesalahpahaman diantara kami.
“Iya.” Jawab kakakku singkat.
“Lalu apa yang kakak katakan padanya, mengapa dia tidak menemuiku?” tanyaku terus mendesak.
Andai saja saat itu kakakku tidak menghalangiku bertemu dengan Arif, kami tentu tidak akan salah paham selama ini. Mungkin kami bisa bersama kembali, karena masalah diantara kami hanyalah kesalahpahaman.
“Aku melarangnya.” Kakakku terduduk di tepi tempat tidurku. Mungkin dia merasa berdosa sekarang.
“Kenapa?” aku tidak percaya kakaku bisa sejahat itu. Dari awal dia memang tidak suka aku menikah dengan Arif.
“Karena kakak sayang kamu Ta,” ucapnya lirih. Sayang?
“Kalau kakak sayang aku, kakak tidak akan menghalangi aku bersama dengan orang yang aku cintai,” sanggahku.
“Apa kamu bisa menjamin, kalau kamu kembali padanya waktu itu kamu akan bahagia? Mamanya itu tidak merestui kalian. Kakak sengaja mengajukan syarat padanya, dia boleh menemui kamu kembali saat mamanya merestui kamu sebagai menantunya,” jelas kakaku.
“Sebesar apapun cinta kalian berdua, kalau mamanya tidak suka, itu akan tetap menjadi sumber masalah dalam hubungan kalian. Kamu tidak akan mungkin selamanya menghindar untuk tidak bertemu dengan mamanya. Karena dia adalah orang tuanya,” tambah kakakku.
Aku tertegun mendengar penjelasan kakakku. Dia memikirkannya sejauh itu.
“Kalau sekarang dia ingin kamu kembali padanya, berarti mamanya telah merestui kalian, karena itu adalah janjinya. Kami tidak mungkin menghalangi kebahagian kamu. Karena kami menyayangi kamu. Kalau kamu sekarang masih memiliki persaaan yang sama, ya sudah, terima dia kembali. Kami semua akan mendukung.” Kakakku membelai pundakku dan membawaku dalam pelukannya. Aku bisa menerima semua penjelasan kakakku. Kakakku memang benar.
Jadi sekarang mama Arif bener-bener merestui kami? Kemarin itu bukan sekedar ucapan rasa bersalahnya telah bersikap tidak adil padaku? Bahagianya.
Aku tersenyum, jalan penghalang kebahagiaan kami sudah tidak ada lagi. Tinggal aku menerimanya kembali. ‘Terima dia kembali? Oh tidak. Aku sudah menolaknya. Huuuuaaa, bagaimana ini?’
***
Aku bangun pagi sekali. Semalaman aku telah berfikir keras. Dan aku sudah bertekat, akan kutunjukkan cinta dan perhatianku untuknya. Agar dia tahu, kalau aku juga masih mencintainya. Tidak apa, jika ini rasanya menginjak harga diriku. Tetapi aku tidak kuat lagi jika dia terus bersikap dingin padaku. Aku tidak ingin jika dia akhirnya berpaling mencari wanita lain. Aku tidak bisa bayangkan.
“Kamu sedang apa Ta?” Ummi melihatku heran, tidak bisanya aku sibuk di dapur, sepagi ini.
“Mambuat bekal Ummi,” jawabku.
“Tumben. Biasanyakan Ummi yang siapkan, kamu tinggal bawa.” Ummi menangkap ketidakwajaran.
“Oh, yang ini buat teman aku Mi,” kilahku.
“Teman kamu? Siapa? Yuga?” selidik Ummi lagi, sambil terus berputar di sekitarku. Mengapa Ummi mendadak jadi detektif sepagi ini? Aku tidak mungkin memberi tahu Ummi kalau aku sedang menyiapkan bekal untuk manajerku. Dan manajerku itu adalah mantan menantunya dulu. Ummi bisa syok. Aku akan memberitahu Ummi perlahan.
“Kayak makanan kesukaan Arif?” Ummi bisa menebak, hanya dengan memperhatikan makanan yang sedang kutata. Ingatan Ummi masih sangat baik.
“Kebetulan, temanku satu ini, juga suka,” ucapku. Aku bergegas menutup kotak bekal itu, dan segera meninggalkan Ummi yang masih diselimuti tanda tanya. Naluri seorang ibu memang luar biasa, bisa langsung mencium gelagat aneh dari putrinya.
Aku berangkat lebih awal dari biasa. Aku harus sampai di kantor, sebelum manajer itu datang, karena aku akan meletakkan kotak makanan yang ku bawa di atas mejanya. Dia pasti sangat terharu. Aku melenggang sambil tersenyum riang menaiki bus yang akan membawaku menuju kantor. Aku langsung duduk di kursi kosong bagian belakang, busnya lumayan penuh. Aku menoleh ke samping, ke arah seorang pria yang telah lebih dulu duduk di deretan kursi yang aku tumpangi. Yuga?
Pandangan mata kami bertemu. Ternyata selama ini untuk menghindari bertemu denganku, dia berangkat jauh lebih pagi. Dikantor pun kami tidak pernah bertemu. Saat menyadari keberadaanku, dia langsung berdiri dari tempat duduknya, dan lebih memilih bergelantungan menjauh ke arah depan bus. Dia tidak menyapaku. Perih. Dia masih sangat membenciku. Rasanya seperti diabaikan oleh saudara kandung. Sakit. Tetapi harus bagaimana lagi, ini jalan terbaik untuk saat ini.
***
Aku meletakkan kotak bekal yang telah kupersiapkan di atas meja Manajer. Aku sangat hati-hati sekali, memastikan tidak ada yang melihatku melakukannya. Kutempelkan secarik kertas berisi memo di atasnya. Dia pasti klepek-klepek setelah melihat ini.
Aku kembali duduk di balik meja kerjaku. Beberapa rekanku yang lain mulai berdatangan. Aku mengeluarkan cermin kecil dari dalam tasku. Memeriksa riasan wajahku. Hari ini aku dandan agak sedikit lebih dari biasanya. Ini diluar kebiasaanku. Aku ingin manajer itu kembali mengalihkan pandanganya kepadaku. Seperti dahulu. Tidak kepada wanita lain.
Kebetulan juga hari ini aku dan teman-teman lainnya juga akan menghadiri resepsi pernikahan Niana. Jadi tidak ada yang menyadari perubahan penampilanku. Sebagian besar wanita di ruangan ini juga melakukan hal yang sama. Kami memang menyepakati, sepulang kantor akan langsung menghadiri resepsi pernikahan Niana. Bersama.
Dia memasuki ruangan. Aku segera menyimpan cermin kecil yang sedari tadi kupegang. Dia lewat di depanku, kupasang senyum terlebarku untuknya. Melihat tingkahku, dia mengangkat bahunya dan terlihat merinding seolah aku ini hantu. Dia lucu sekali. Aku terus memandanginya hingga dia menghilang dibalik pintu ruanganya. ‘Aku pastikan, tidak akan lama, kamu akan kembali padaku,’ gumamku. Aah rasanya bukan seperti diriku saja.
Aku menerka-nerka apa yang sedang dikerjakannya sekarang. Dia pasti telah melihat kotak bekalnya, lalu membaca memonya dan tersenyum-senyum sambil menyeka air matanya, air mata haru. Setelah itu dia akan mencari alasan untuk memanggilku ke ruangannya. Aku tersenyum sendiri membayangkan apa yang akan terjadi.
***
Sampai jam kantor hampir berakhir apa yang kuharapkan tidak terjadi. Dia tetap menatapku dingin, dia tidak memanggilku ke ruanganya dan dia mungkin tidak memakan bekal yang telah kubuat dengan sepenuh hati itu. Aku kecewa sekali. Dia mungkin sangat ingin membalas dendam padaku sekarang.
“Ayo Ta! Kamu bareng kami saja,” ajak Boby dan teman wanitaku yang lain. Beberapa orang temanku memang membawa kendaraan pribadi, kami bisa numpang bersama mereka.
“Baik. Kalian tunggu aku di parkiran saja, ada yang harus ku bereskan terlebih dahulu. Tidak lama,” ucapku.
Aku menunggu ruangan kosong, dengan terus memperhatikan sekirar, aku mengendap masuk ke dalam ruangan manajer. Dia sudah keluar ruangan dari tadi. Aku ingin mengambil kotak bekalku kembali dan memastikan apakah dia telah memakannya.
Terlihat kotak itu masih tetap pada posisinya, dengan kertas memo di atasnya. Aku kecewa. Apa dia tidak menyentuhnya sama sekali? Aku mengambil kotak itu dengan kecewa.
Saat kuangkat dan siap kumasukkan kembali ke dalam tasku. Terasa ringan. Kubuka tutupnya, kosong. Tidak ada sebutir nasi pun tersisa. Senyumku kembali mengembang, saat membayangkan dia memakannya seperti seorang yang sangat kelaparan, sama seperti dulu. Langkah pertama, sukses.
***
Kami sampai di tempat resepsi pernikahan Niana. Resepsi pernikahan mewah yang diimpikan setiap wanita. Niana terlihat seperti ratu hari ini. Ini adalah harinya. Lingga tidak berhenti tersenyum ke arah Niana. Mereka terlihat serasi sekali. Semoga setelah menikah, Niana tidak akan pernah goyah lagi dengan hatinya. Wanita itu sangat mudah tergoda.
Semoga pernikahan mereka abadi selamanya hanya maut yang memisahkan. Tidak ada kata cerai di tengah jalan. Karena perpisahan itu sangat menyakitkan. Seperti yang pernah kurasakan.
“Selamat ya.” Aku memeluk Niana erat. Perasaan haru seketika menyelimuti. Kami tidak mungkin lagi sebebas dulu berteman, karena sekarang dia telah menemukan teman sejatinya. Teman sehidup semati.
“Semoga kamu segera menyusul,” bisiknya. Aku hanya tersenyum sambil mengaminkan do’a Niana.
Akan aku usahakan, secepatnya menyusul Niana. Aku siap mengerahkan seluruh kemampuanku, untuk membuatnya kembali padaku. Tapi, dimana dia?
Aku melihat sekeliling, cukup ramai. Meskipun ramai, tetapi didominasi oleh teman-teman sekantor kami, sama-sama bagian pemasaran. Lalu dimana sang manajer? Aku terus celingukan mencari keberadaannya. Dia tidak terlihat, kutanya teman laki-lakiku, mereka semua menggeleng. Padahal kemarin dia sendiri yang membuat kesepakatan, akan berangkat bersama.
“Mungkin dia berangkat bersama partnernya?” celoteh salah satu temanku. Kupingku langsung berdiri saat mereka bicara kata partner.
“Kulihat kemarin dia sangat akrab dengan manajer bagian personalia, apa mungkin mereka pacaran,” sela Boby ikut-ikutan. Sekarang kupingku tidak hanya berdiri, tetapi memerah.
***
Aku pulang ke rumah dengan perasaan tidak tenang. Apa benar yang dikatakan teman-temanku tadi?
‘Tidak, dia bukan tipe laki-laki yang mudah berpaling. Dia bahkan bisa menjaga cintanya hanya untukku selama lebih dari 12 tahun. Sangat tidak mungkin dia berpaling secepat itu,’ gumamku menghibur diri.
Bagaimana kalau seandainya benar? ‘Aaaaah aku tidak rela.’
“Ta, kamu kenapa?” Ummi terheran melihat tingkahku yang sedang mengacak-acak rambutku sendiri.
“Tidak ada apa-apa Ummi, cuma gatal,” kilahku sambil nyengir ke arah Ummi.
Aku mengeluarkan kotak bekal yang tadi kumasukkan ke dalam tasku. Ku buka sekali lagi. Kosong, habis tidak tersisa. Saat akan kututup kembali, kertas memo yang sedari tadi masih menempel, tiba-tiba terjatuh. Aku memungutnya. ‘Selamat makan, dari aku yang mencintaimu,’ aku membaca tulisan yang kutulis sendiri tadi pagi itu. ‘Berani sekali aku menulisnya, seolah seperti bukan diriku.’ Simbol-simbol hati yang kubuat juga bertebaran di sekeliling pesan itu.
Kuperhatikan kertas memo itu sekali lagi, seolah ada tulisan di belakangnya. Setelah kertas kecil itu kubalik, aku tidak percaya dengan apa yang kubaca.
‘Tunggu aku sore ini, kita akan berangkat ke tempat Niana bersama. Biarkan yang lain pergi lebih dulu.’ Mataku tidak berkedip. Apa? Ingin rasanya aku berlonjak saking senangnya. Dia masih mencintaiku. Simbol hati yang dibuatnya jauh lebih banyak dan bertebaran memenuhi kertas kecil itu.
Tapi, sekarang bagaimana? Apa dia masih menungguku? Sudah hampir jam 10 malam. Pantas saja dia tidak terlihat di pesta Niana.
Kasihan juga dia telah menungguku begitu lama. Aku segera mengambil telepon genggamku, mencoba menghubunginya. Kukesampingkan semua rasa gengsi yang kupunya. Saat mencari namanya di daftar kontakku, aku mendapatkan panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
“Ta, ini Mama,” sapa suara di seberang sana, yang langsung kukenali, mama Arif.
“Besok datanglah ke rumah, ada yang ingin Mama sampaikan,” tambahnya.
=====
Dengan ragu kulangkahkan kaki memasuki halaman sebuah rumah berlantai dua dengan desain modern. Rumah itu sesuai dengan alamat yang diberikan Mama Arif tadi malam. Mamanya menyuruhku datang, karena ada sesuatu yang akan disampaikannya padaku. Sejak semalam aku selalu berfikir dan berusaha menerka, apa yang akan dikatakannya padaku.
Meskipun dia telah menunjukkan sikap baik padaku di bandara beberapa waktu lalu. Aku belum terlalu percaya diri mengartikan bahwa dia akan merestui hubunganku dengan Arif. Semoga saja hari ini aku mendapatkan jawaban pastinya. Sehingga aku bisa memantapkan langkah selanjutnya yang akan kutempuh.
Aku menekan bel yang terdapat di samping kanan pintu. Detak jantungku mulai tidak karuan. Bagaimana kalau yang membuka pintu adalah Arif? Meskipun aku ingin bertemu dengannya, tetapi rasanya malu juga ketika ketahuan menyusul ke rumahnya sepagi ini.
Aku merapikan pakaianku, entah mengapa aku merasa penampilanku harus terlihat sempurna. Tidak berapa lama menunggu, akhirnya daun pintu bercat putih itu terbuka. Seorang wanita berkursi roda langsung menyambutku dengan senyuman. Aku menyalami dan mencium punggung tangannya. Tangan yang dulu sangat ingin kuraih namun begitu sulit.
“Masuklah,” katanya ramah.
Aku mengikutinya dan duduk di sebuah sofa yang ada di ruang tamu bernuansa putih itu. Dia kembali menatapku, aku tersenyum ke arahnya. Aku tidak menyangka bahwa wanita yang duduk di depanku sekarang adalah wanita yang sama dengan wanita yang dulu pernah menawarkan padaku sejumlah uang, dan memintaku menjauhi putranya. Dia terlihat sangat berbeda. Seketika aku pun menjadi iba.
Dia mendekat kearahku, dan menggenggam jemariku.
“Maafkan Mama Dita,” ucapnya dengan air mata mulai meleleh. Akupun ikut meneteskan air mata saat melihatnya bersikap demikian.
“Mama salah, mama jahat,” tambahnya lagi.
“Mama egois, mengorbankan kebahagiaan kalian hanya demi ego Mama sendiri.” Derai air matanya semakin deras. Dia sepertinya sangat menyesal.
“Tidak ada yang perlu disesali Ma, ini semua adalah yang terbaik,” hiburku berusaha menenangkannya.
Aku tidak ingin dia terus menyalahkan dirinya atas segala yang terjadi. Dia sendiripun sepertinya sangat menderita selama ini.
“Kembalilah menjadi menantu Mama,” pintanya.
Aku tertegun beberapa saat mendengar permintaannya itu.
“Mama mohon, hanya ini jalan satu-satunya buat menebus segala kesalahan Mama kepada kamu. Mama janji akan memperlakukan kamu dengan baik,” ucapnya lagi. Meskipun terlihat kesulitan berbicara, dia berusaha menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya.
Aku hanya terdiam. Sekarang semuanya menjadi terang, pintu penghalang yang selama ini berdiri kokoh, dan tidak bercelah sedikit pun itu terbuka lebar.
“Mama mohon,” pintanya sekali lagi.
“Dulu, Mama bukannya tidak menyukai kamu. Mama hanya tidak bisa menerima keputusan Arif yang menikah terlalu cepat dan mengabaikan impian yang Mama topangkan padanya.”
Aku sudah yakin ini alasannya. Ibu mana yang bisa menerima, putranya yang menjadi harapan dan tumpuan tiba-tiba mengubur harapanya dan memilih menikah muda.
Aku masih diam, tidak memberikan jawaban apapun.
“Kamu tidak usah meragukan perasaan Arif padamu. Dari dulu sampai sekarang perasaannya padamu sedikitpun tidak pernah berkurang, Mama bisa menjamin. Selama ini dia tetap memperlakukan dirinya sebagai seorang pria beristri. Sedikitpun tidak terniat dihatinya untuk berpaling pada wanita lain.” Aku merasa tersanjung dengan semua ucapan Mama Arif. Pipiku memerah. Aku percaya.
“Kamu juga masih mencintai Arif kan?” tebak Mama Arif langsung. Aku hanya menunduk, tidak mampu menjawab.
“Kita mulai semuanya dari awal lagi, Mama janji akan menyayangi kamu seperti anak Mama sendiri,” ucapnya lirih. Ada kesungguhan dalam nada bicaranya. Kami kembali saling memeluk. Haru.
Sebagian manusia memang harus menjalani ujian sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan sebagian lain membutuhkan waktu untuk menyadari sesuatu yang berharga yang selama ini diabaikannya.
Aku mencari keberadaan Arif dengan mengarahkan padangan ke arah ruang keluarga dan ke arah tangga lantai dua. Dimana pria itu sekarang? Aku sangat rindu ingin bertemu dengannya.
“Arif sedang ke rumah kakaknya. Mungkin sebentar lagi pulang,” jelas Mama Arif menjawab tanya di wajahku sambil tersenyum. Aku berusaha menyembunyikan wajah merahku karena malu. Aku ketahuan.
Kami selanjutnya bercerita banyak hal, setelah seorang wanita paruh baya membawakan minuman untukku. Asisten rumah tangga yang dulu pernah kutemui di rumah Arif di kampung.
Ternyata Arif dan Mamanya telah melalui masa tersulit dalam hidup mereka. Perceraian Mama Arif dan Papanya yang telah terjadi cukup lama, ternyata terungkit lagi saat Papanya datang menagih pembagian harta. Dan yang lebih menyakitkan adalah keikutsertaan istri muda Papanya Arif. Perdebatan dan perang mulut tidak dapat dihindari. Mama Arif hanya mempertahankan apa yang telah menjadi hak anak-anaknya.
Itulah awal mula segala petaka. Jatuh sakit dan langsung stroke sebelah. Dunia Mama Arif seakan langsung terbalik, saat menyadari dirinya tidak bisa berjalan dan tentu saja tidak bisa bekerja lagi.
Butuh waktu lama bagi mereka untuk bangkit, hingga akhirnya Arif menamatkan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana. Setelah itu mereka terpaksa menjual rumah di kampung dan pindah domisili ke kota. Selain menghindari keributan dengan mantan suaminya, juga demi masa depan Arif. Setelah tamat S1, Arif mendapatkan bantuan pendidikan untuk kuliah ke luar negeri. Aku tidak menyangka dia bisa mendapatkan beasiswa. Padahal waktu sekolah dulu, cara belajarnya sama denganku, antara ada dan tiada.
“Arif berubah semenjak Mama katakan akan merestui hubungannya dengan kamu, kalau dia telah menamatkan pendidikan S2nya dan mendapatkan pekerjaan. Sampai saat itupun Mama masih belum percaya kalau cintanya begitu besar untuk kamu, sehingga Mama menantangnya seperti itu. Mama terlalu jahat,” ujarnya kembali menyesali diri.
Semuanya telah berlalu, tidak ada lagi yang perlu disalahkan dan disesali. Tinggal lagi bagaimana menata dan memperbaiki segalanya kedepan. Saat kuperhatikan, aku menyadari Mama Arif ternyata sosok yang hangat.
“Mama sangat menginginkan kalian segera menikah kembali, kamu mau kan?” tanyanya.
Sangat mau, tetapi aku malu mengakuinya. Kembali aku hanya bisa menundukkan wajahku.
Dia mengajakku berkeliling rumahnya. Di ruang keluarga terpampang foto berukuran besar. Foto yang berbeda dengan foto keluarga yang pernah kulihat dulu di rumah lama mereka di kampung. Sekarang foto itu dihiasi dua wajah baru, seorang wanita wanita muda dan seorang anak laki-laki. Wanita yang sama dengan yang pernah kulihat di bandara, ternyata kakak ipar Arif dan anak laki-laki berusia kira-kira 5 tahunan itu adalah keponakan Arif.
“Ada sesuatu yang ingin Mama tunjukkan padamu,” katanya. Dia meminta asisten rumah tangga mengambilkan tongkat dan memampahnya ke lantai atas. Aku membantunya menaiki tangga.
Dilantai atas cukup luas, hanya ada dua buah kamar dan selebihnya ruang lepas. Sekarang warnanya lebih didominasi warna light purple. Nuansa lantai atas, adalah nuansa rumah idamanku.
Mama Arif membuka pintu sebuah kamar. Apakah ini kamarnya Arif? Aku berdebar sendiri memikirkannya. Aku masih berdiri di tempatku, bahkan setelan Mama Arif memintaku untuk masuk.
“Tidak apa-apa, Arifnya tidak ada,” bujuk Mama Arif lagi.
Apa benar tidak apa-apa, sekarang kami tidak ada hubungan apa-apa. Dengan ragu kulangkahkan kaki memasuki kamar itu.
Baru saja masuk beberapa langkah, mataku terpukau tidak percaya. Apa benar ini kamarnya Arif? Semuanya bernuansa light purple, kesukaanku. Aku pernah mengatakan impianku memiliki kamar berukuran luas dengan nuansa ungu muda, padanya dulu. Dan sekarang dia memilikinya.
Mataku semakin terbelalak tidak percaya, saat di salah satu dinding terpasang dengan manis foto pernikahan kami dulu. Ternyata benar apa yang dikatakan mamanya, bahwa dia masih menganggap dirinya seorang pria beristri. Aku semakin merasa bersalah sekarang, ketika membayangkan betapa menyakitkannya setiap hari yang dilaluinya selama 10 tahun terakhir. Mataku mulai berkaca-kaca, menahan haru. Aku merasa sangat merindukannya sekarang.
“Semuanya dia buat seperti yang kamu inginkan,” ucap Mama Arif.
“Inilah yang membuat Mama yakin dia tidak main-main memilih kamu. Dia sangat mencintai kamu,” tambahnya lagi.
Aku mendekati wanita itu, matanya juga terlihat berkaca-kaca.
“Sekali lagi Mama mohon, terimalah Arif kembali sebagai suamimu, dan jadilah menantu Mama,” pintanya.
Aku terdiam sejenak dan mengangguk dengan mantap. ‘Tentu saja, aku akan kembali menerimanya sebagai suamiku. Tidak akan kubiarkan harinya terus berhias kesepian.’
Mama Arif mengeluarkan semua album foto yang ada di laci meja di samping tempat tidur Arif. Semua foto selama Arif tidak bersamaku. Mamanya menceritakan semuanya dengan detail.
“Dia berusaha keras, agar bisa masuk ke perusahan yang sama dimana kamu bekerja,” ujar Mama Arif.
Aku memang sudah menyangka, semuanya bukan kebetulan. Dia memang merencanakan semuanya. Sebegitunya kah? Kembali aku merasa tersanjung.
“Kamu disini saja dulu, Mama sama si Bibi mau menyiapkan makan siang. Kamu belum boleh pulang, seharian ini kamu harus di sini,” pintanya lagi, sambil berdiri dan dipapah asisten rumah tangganya.
“Tapi Ma...,” aku merasa tidak enak.
“Tidak apa-apa, Arif juga belum akan pulang,” katanya sambil tersenyum.
Aku hanya bisa menurut, lagipula rasanya enggan meninggalkan kamar ini. Semuanya isinya adalah impianku. Aku kembali berjalan menelusuri semua sudutnya. Kamar mandi dengan shower dan bathtup. Kami memang pernah membicarakannya dulu, saat tinggal di rumahku yang lama di kampung. Kamarnya sangat sempit hanya berukuran 3 x 4 meter, tidak ada kamar mandi di dalamnya, sehingga kukatakan kalau nanti punya rumah sendiri aku ingin punya rumah dengan fasilitas kamar mandi di dalam kamar dilengkapi dengan shower dan bathtup. Dia masih ingat semuanya.
Kulangkahkan kaki ke samping kanan, sebuah jendela besar dari kaca menampilkan pemandangan lepas di depannya. Sungguh indah. Aku membayangkan bangun tidur dipagi hari, langsung membuka gorden, dan terpampanglah keindahan yang memanjakan mata ini.
Aku masih terpaku dengan semua khayalan indahku, ketika seseorang membuka pintu.
“Mama....” Aku membalikkan badan dan mendapati bahwa sosok yang ada di dekat pintu itu bukan Mama Arif.
Arif?
Dia menatapku dengan terheran. Dia mungkin tidak menyangka sama sekali, bagimana aku bisa sampai di rumahnya bahkan di dalam kamarnya. Beberapa saat kami saling terdiam, larut dengan pikiran masing-masing.
“Maaf, tadi aku... aku...,” ucapku gugup memecah kebisuan, menjelaskan keberadaanku di kamarnya. Aku merasa tidak enak sekarang. Meskipun sebenarnya aku cukup lega bisa melihatnya.
Dia masih tidak bergeming, masih berdiri di tempatnya dengan pandangan mata tidak beralih sedikitpun. Aku segera berajak dari tempatku berdiri berniat segera keluar.
“Tetaplah disana,” ucapnya menghentikan langkahku.
“Sampai kapan kamu akan seperti ini Dita? Kamu bisa memuatku gila,” ucapnya lagi sambil tertunduk. Kakinya seperti melemah, sehingga sekarang lulutnya bertumpu di lantai. Dia terlihat sangat frustrasi.
Aku hanya diam, tidak bisa bicara apa-apa. Semenderita itukah dia selama ini? Lalu mengapa dia tidak mengungkapkan semuanya saja sejak awal? Mengapa harus berpura-pura tidak mengenalku saat pertama kali kami bertemu kembali. Kalau sejak awal dia jelaskan semuanya, mungkin sekarang kami sudah bersama lagi kembali.
Aku semakin merasa bersalah, melihatnya. Dia terlihat menangis. Ingin rasanya kuhampiri dan kupeluk dia. Tetapi tidak bisa. Sekarang aku bukan istrinya lagi.
“Maafkan aku.” Hanya itu kata-kata yang mampu kuucapkan untuk membuatnya agar merasa tenang.
“Aku selalu bertanya-tanya, adakah seseorang di luar sana yang memiliki cinta pada seseorang sebesar cintaku padamu. Aku tidak tahu alasannya, mengapa aku begitu mencintaimu, sehingga tidak pernah terlintas sedikitpun keinginan untuk berpaling,” ucapnya dengan suara seperti menahan tangis.
Aku semakin kasihan melihatnya. Kuhampiri dia dan berdiri tepat di depannya. Dia menengadahkan wajahnya menatapku. Wajah penuh harap. Mana mungkin aku mengecewakannya lagi kali ini. Dia sudah terlalu menderita selama ini. Aku akan membalas semua penderitaan dan penantian panjangnya dengan kebahagiaan.
Kuletakkan kedua tanganku di pundaknya.
“Menikahlah denganku,” ucapku tanpa rasa malu.
Aku melamarnya. Dulu dia pernah melamarku. Sekarang giliranku. Kuloncati batas kewajaran yang selama ini kebanyakan orang yakini. Bahwa seharusnya prialah yang melamar seorang wanita.
Matanya membesar, saat mendengar apa yang kuucapkan. Seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Kamu serius?” tanyanya meyakinkan. Aku hanya mengangguk.
Wajahnya yang sedari tadi muram, mendadak cerah, senyum lebar terukir di bibirnya. Dia berdiri dan meraih kedua tanganku yang masih ada diatas bahunya dan menggenggam jemariku. Giliranku sekarang yang menengadah ke arahnya. Aku tersenyum ke arahnya dengan debaran dada yang semakin menjadi-jadi. Kutarik tangaku dari genggamannya, kurasakan sekarang wajahku memerah. Aku segera keluar dari kamar itu, akan sangat tidak baik jika kami terus di dalam, hanya berdua.
“Kamu sudah melamarku, kapan kita menikah?” tagihnya. Aku malu menatapnya sekarang. Aku melamarnya? ‘ Dita-dita, kamu luar biasa.’
Kubalikkan badanku, dan menatapnya yang masih berdiri di depan pintu kamar.
“Segera,” jawabku. Dia terlihat senang mendengar jawabanku.
“Ditaaa,” terdengar suara Mamanya dari lantai bawah memanggil namaku. Kami kompak mengarahkan pandangan ke arah tangga.
Aku segera berjalan menuju tangga. Tepat di bawahnya, Mama Arif tersenyum ke arahku.
“Ayo makan dulu,” ajaknya.
Aku mengarahkan pandangan ke arah Arif. Dia mendekat ke arahku.
“Oh, kamu sudah pulang?” tanya mamanya heran saat melihat putranya itu.
“Kalau begitu kita makan sama-sama,” ucapnya lagi, sambil memutar kursi rodanya ke arah ruang makan.
Aku dan Arif berjalan beriringan menuruni tangga. Perasaan aneh kembali terasa menjalar. Tetapi aku merasa sangat bahagia.
“Bagaimana kalau kita menikah dalam minggu ini?” bisiknya saat kami sampai di tangga paling bawah.
Aku memandang ke arahnya, sambil tersenyum. Secepat itu?
Dia sudah sampai di lantai bawah, aku masih berdiri di atas anak tangga terakhir, dia mengahalangi jalanku. Sekarang tinggi kami sejajar. Ekspresi wajahnya masih menunggu jawabanku dengan tatapan mata penuh harap. Dia terlihat lucu sekali. Kembali wajahku bersemu merah, perasaan berbunga-bunga, jauh lebih indah dari sebelumnya.
“Secepat itu?” tanyaku. Dia mengangguk berkali-kali.
“Arif, Dita. Ayo makan dulu,” kembali mamanya memanggil kami.
“Iya Ma,” jawabku sambil segera menyelinap lewat di depannya. Dia mengikuti langkahku.
Di meja makan kami duduk bersebelahan. Mamanya menatap kami satu persatu. Dan merasa aneh melihat kami yang terus memasang senyuman.
“Kapan kamu sampai di rumah Rif, mengapa Mama tidak tahu kalau kamu sudah pulang?” tanya Mamanya.
“Sudah sejak tadi Ma,” jawab Arif.
“Kalian sudah saling bicara?” selidik Mamanya lagi, dengan wajah penuh harap.
“Apa kalian sudah memutuskan?” dengan tidak sabaran Mamanya terus memberondong kami dengan pertanyaan.
Aku hanya tertunduk malu ketika ditanya seperti itu, semoga saja Arif tidak memberitahu mamanya kalau aku yang melamarnya.
“Sudah Ma. Barusan Dita melamar aku.” Aku mendelik ke arahnya sambil menendang kakinya yang ada di bawah meja. Dia meringis kesakitan. Dia berhasil membuat wajahku kembali memerah. Aku malu.
“Benarkah?” Mamanya terlihat exciting. Dengan rona wajah bahagia tidak henti Mamanya mengucap syukur.
“Tidak perlu menunggu lama, kalian harus segera menikah kembali.” Mamanya terlihat bersemangat sekali.
“Benar Ma, kalau bisa dalam minggu ini, bagaimana? Mama setujukan?” tanya Arif mencari dukungan. Mamanya langsung menganggu. Kedua ibu dan anak itu terlihat sangat kompak.
***
Sudah sore ketika aku diantar Arif kembali pulang.
“Bagaimana dengan Ummi?” tanyaku ketika kami masih di dalam mobilnya.
Aku belum pernah memberitahu Ummi tentang kehadiran Arif kembali dalam hidupku. Selama ini Ummi juga belum tahu kalau atasanku sekarang adalah Arif. Apakah Ummi bisa menerima semuanya kembali, setelah sebelumnya pernah merasa dikecewakan.
“Kamu tenang saja, biar aku yang akan meyakinkan Ummi,” ucapnya. Dia terlihat sangat yakin bisa merebut hati Ummi kembali.
Akupun percaya, Ummi pasti akan menerimanya. Sebelumnya dia adalah menantu kesayangan Ummi. Bahkan Ummi masih selalu ingat apa saja kesukaan menantunya itu. semoga saja semua berjalan sesuai keinginan kami.
“Apa kamu tidak pernah merindukanku sebelumnya?” tiba-tiba saja dia bertanya. Dia menghentikan mobilnya dan menepi. Sekarang dia menatapku tajam. Aku menjadi jengah sendiri diperhatikan seperti itu.
Tentu saja pernah. Tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Aku semakin salah tingkah ketika dia semakin mendekat, apa yang akan dilakukannya?
“Apa?” tanyaku, saat dia tidak berkedip menatapku.
“I love you,” ucapnya lirih. Dia memang ahlinya membuatku merasa surprise dengan tingkahnya.
Sama halnya saat dia tiba-tiba mengatakan bahwa aku ‘cantik’ semasa sekolah dulu. Aku mendorong bahunya agar menjauh dariku, dan menyembunyikan wajah merahku.
“Kamu tidak ingin mengucapkan apapun padaku?” kembali dia bertanya.
“Sudahlah, ini sudah terlalu larut, antarkan aku pulang,” pintaku.
“Katakan sesuatu untukku terlebih dahulu,” ulangnya.
Sebenarnya sangat mudah mengucapkan apa yang dimintanya, tetapi lidahku terasa berat. Kukumpulkan keberanian mengungkapkannya sambil memanndang ke arah lain.
“I-I-I love you too,” ucapku gugup.
Dia kembali tersenyum. Aku tidak berani menatapnya, aku hanya bisa memainkan jemariku. Dia segera memacu kendaraannya. Semua ini bukan yang pertama untuk kami, tetapi rasanya jauh lebih gugup sekarang.
Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Aku jatuh cinta kedua kalinya pada orang yang sama. Terkadang jalan takdir memang semisteri itu. Tidak dapat diterka. Semoga saja setelah ini tidak ada lagi penghalang untuk kebahagiaan kami.
***
Aku turun tepat di depan pagar rumahku.
“Sudah sangat larut, mungkin besok saja aku menemui Ummi, lagipula aku sudah merencanakan sesuatu untuk merenut hati Ummi kembali,” ucapnya. Aku hanya mengagguk.
“Ya sudah sampai jumpa besok,” aku berpamitan padanya.
“Hanya itu?” dia menagih sesuatu kembali.
“Apa lagi?” tanyaku.
Dia menunjuk pipinya. Apa? Dia sudah gila? Apa dia tidak sadar, kalau sekarang aku bukan istrinya lagi. Dulu saat masih berstatus suami istri kami memang terbiasa bolak balik saling memeluk dan mencium saat dia akan meninggalkanku, berangkat kuliah. Seolah sangat berat untuk berpisah.
Dia masih saja menunjuk pipinya. Aku diam tidak bergeming.
“Ada nyamuk di pipi kamu,” ucapnya kemudian, sambil tetawa dan berlalu.
Aku tersenyum melihat tingkahnya sambil meraba pipiku. Tidak ada apa-apa. Dia bisa saja.
Semuanya terasa jauh lebih indah. Rasanya kami kembali kemasa SMA. Serasa ABG lagi.
Saat membuka pagar dan masuk ke halaman, aku melihat Yuga. Dia berjalan dari arah rumahnya. Melihatku menatapnya, dia menghentikan langkahnya dan menatapku. Dia terlihat kurus sekarang. Tidak ada lagi wajah ceria yang selama ini selalu ditunjukkannya padaku. Di kota ini dia hanya sendirian, keluarganya jauh diluar pulau. Biasanya hanya akulah sahabatnya. Dia tidak memiliki banyak teman. Sekarang dia pasti merasa sepi. Kembali aku diselimuti rasa bersalah.
Ingin rasanya menyapa, tetapi lidahku kelu. Dia berlalu melewatiku, seperti seorang yang tidak pernah mengenalku. Sampai kapan dia akan terus membenciku?
Bersambung #10
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel