Ummi terlihat heran saat melihatku baru pulang ketika hari sudah sangat sore. Tidak biasanya aku kelayapan seharian dihari Minggu seperti ini. Biasanya kalau aku keluar, hanya berkunjung ke salah satu rumah kakakku.
“Kamu dari mana saja seharian Ta?” tanya Ummi dan terus mengikutiku sampai ke kamar.
“Dari rumah teman Mi.” Sebenarnya ingin memberitahu Ummi semuanya sekarang, tetapi katanya Arif punya rencana sendiri.
“Teman yang mana? Mengapa Ummi tidak kenal? Laki-laki atau perempuan?” Ummi mulai menginterogasiku. Aku hanya tersenyum.
“Mi, bagaimana kalau aku menikah lagi? apa Ummi setuju?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Tentu saja Ummi setuju. Justru itulah yang Ummi harapkan,” ucap Ummi semangat.
“Ummi akan merestui?” kembali kupancing Ummi.
“Kalau kalian saling suka, Ummi tidak punya hak untuk menghalangi,” jawab Ummi bijak.
Ummi memang selalu baik, sangat mengerti akan anak-anaknya. Ummi tidak pernah memilih-milih calon menantu, intinya bagi Ummi adalah kalau mereka saling mencintai, Ummi tidak akan menghalangi, karena yang akan berumah tangga adalah mereka.
Aku memeluk Ummi sambil terus tersenyum. Sepertinya tidak akan sulit bagi Arif untuk mendapatkan hati Ummi kembali.
“Sekarang katakan siapa calonnya?” tanya Ummi semakin penasaran.
“Besok, Ummi juga akan bertemu dengan orangnya,” ucapku sambil terus tersenyum menggoda Ummi. Ummi mencubit pinggangku. Aku terperanjat dan merasa geli.
“Kamu selalu bisa membuat Ummi penasaran,” katanya lagi sambil menutup pintu kamarku dan berjalan ke arah luar.
Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur, tidak hentinya bibirku mengukir senyum. Betapa bahagianya hari ini. Aku kembali mengingat semua yang baru saja kulalui. Aku melamarnya? Aku jadi malu sendiri mengingat hal itu.
Bagaimana caranya kami bersikap besok saat di kantor? Aku pasti akan mendadak populer jika semua orang tahu kalau aku ada sesuatu dengan Arif. Tidak hanya populer, mungkin juga akan segera memiliki banyak haters, terutama dari kelompok wanita yang ada di ruanganku, yang selama ini masih menaruh hati pada Arif. Aku pasti akan dibully habis-habisan, karena telah menjelma menjadi rubah licik. Diam-diam mencuri, apa yang selama ini mereka sukai. Hufft, aku menghembuskan napas berat. Selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan. Dan aku telah memimilih jalan yang akan kulalui, jadi semuanya harus dihadapi.
Tidak bisa kubayangkan bagaimana kehebohan yang akan terjadi saat mereka semua tahu. Mungkin akan ada lagi grup WhatsApp baru yang bernama Hanya Kita-Kita Dua. Anggotanya tentu selain aku dan Arif. Dan pokok pembahasan di dalamnya adalah aku dan Arif.
‘Semangat Dita,’ gumamku menyemangati diri, sambil berdiri dan bersiap untuk mandi. Baru saja akan melangkah, telepon genggamku berdering. Arif? Ada apa, bukankan dia baru saja pulang? Bahkan kurasa sekarang belum sampai di rumahnya.
Aku menggeser tombol hijau di layar telepon genggamku.
“Aku sudah merindukanmu,” ucap suara di seberang sana, saat baru saja kutempelkan benda multi fungsi itu di telingaku.
Aku tidak bisa menahan tawaku. Sepertinya kami memang harus segera menikah.
***
Aku berangkat ke kantor. Mengenai cara bersikap di tempat kerja, kami telah menyepakati, tetap bersikap seperti biasa, seolah tidak ada sesuatu yang terjadi diantara kami. Biarlah undangan pernikahan saja nantinya yang akan bicara.
Aku tidak bisa bayangkan, ketika hal itu jadi kenyataan. Mendengar manajer mereka menikah saja mungkin sudah merupakan berita yang membuat mereka syok, apalagi saat tahu nama pengantin wanitanya, pasti mereka pingsan.
Aku sedang duduk di balik meja kerjaku seperti biasa, mengerjakan semua pekerjaan. Dia lewat di depanku, sekilas dia menatapku sambil mengedipkan matanya sebelah. Dia norak sekali, aku tersenyum geli melihat tingkahnya.
“Dia terlihat beda ya,” komentar Boby yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping mejaku. Aku kaget, jangan-jangan Boby menyadari kode yang dilemparkan manajer baru saja.
“Apanya yang beda?” Aku pura-pura bertanya sambil tetap melanjutkan pekerjaan.
“Wajahnya terlihat jauh lebih fress, ada aura-aura bahagia, selalu tersenyum. Aku bisa tebak dia sedang kasmaran.” Boby mulai berspekulasi.
“Bisa jadi,” jawabku tak acuh.
“Apa mungkin gosip yang beredar itu benar?” Boby masih belum berhenti menerka-nerka.
“Gosip apa?” kembali aku pura-pura tertarik.
“Soal kabar, kalau dia akan menikah dengan manajer cantik bagian personalia? Manajer tercantik dengan body yang aduhai.” Boby bahkan memainkan tanganya menggambarkan bentuk body sang manajer bagian personalia itu.
“Mungkin. Bisa jadi,” komentarku enteng. Sekarang aku bisa lega menerima pemberitaan-pemberitaan seperti yang baru saja Boby sampaikan padaku. Aku sama sekali tidak cemas lagi, karena aku sudah mengantongi hati sang manajer.
“Kalau itu benar terjadi, aku pastikan akan banyak wanita yang akan terluka. Termasuk kamu.” Boby masih terus melanjutkan ocehannya.
“Hah? Aku? Mana mungkin. Kalau wanita lain di ruangan ini bisa jadi,” ucapku songong, Boby merasa kesal mendengar ucapanku.
Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya. Aku puas telah membuatnya kesal. Ini satu-satunya cara membuatnya berhenti membicarakan orang lain, dan kembali ke pekerjaannya.
Kalau nanti, kami benar menikah, maka orang pertama yang akan menghujatku adalah Boby. Aku yakin.
“Dita.” Manajer memanggilku dari pintu ruanganya.
Aku kaget, apa yang diinginkannya? Aku melihat sekeliling, semua temanku sibuk dengan komputernya masing-masing. Bagaimana kalau mereka curiga.
“I-Iya Pak,” jawabku dengan suara lantang, agar terdengar oleh yang lain.
“Bisa ke ruangan saya sebentar, sekalian bawakan laporan yang saya minta beberapa hari yang lalu,” pintanya.
“Baik Pak,” ucapku lagi dan membawa beberapa berkas yang ada di atas mejaku, dan mengikutinya.
Aku duduk di depan meja kerjanya, dia terus menatapku sambil tersenyum.
“Ini laporannya,” kataku sambil menyerahkan berkas yang tadi kubawa.
“Aku tidak butuh laporan, aku butuh kamu,” ucapnya dengan senyuman menggoda.
Wajahku memerah lagi, dia memang selalu bisa membuatku berbunga. Kalau dia seperti ini, aku yakin kami akan ketahuan sebelum undangan disebarkan.
Untuk beberapa saat dia masih menatapku.
“Nanti sepulang kantor aku akan langsung menemui Ummi. Hari ini aku harus mendapatkan restu Ummi, besok mendapatkan restu semua kakak-kakak kamu. Setelah restu di dapat, kita langsung menikah. Kamu setujukan?” Dia terlihat semangat sekali mengatakan semua rencananya. Aku hanya bisa mengangguk. Tentu saja aku setuju.
Dia kembali menatapku dalam sambil tersenyum.
“Katakan, pelet yang kamu pakai, sehingga aku bisa tergila-gila seperti ini? Seumur hidup hanya terpaut pada satu wanita,” tambahnya lagi, kembali menggombal.
Kembali bunga-bunga indah beterbangan dari hatiku. Pelet? Belum pakai pelet saja, hasilnya sudah begini? Bagaimana kalau aku benaran pakai pelet.
“Jadi Bapak benar-benar tidak butuh laporan ini?” ucapaku menyadarkannya dan langsung bersiap meninggalkannya. Teralu lama di ruanganya tanpa mengerjakan apa-apa, bisa membuat yang lain curiga.
“Tunggu dulu, nanti siang kita jadi kan makan siang bersama?” ucapnya lagi. Aku tidak menjawab, hanya mataku yang bicara sambil mengedip sebelah. Giliran wajahnya yang memerah melihatku bertingkah nakal seperti itu.
***
Saat jam makan siang, aku menunggunya di rooftop kantor, tempat yang kami janjikan. Biasanya bagian paling tinggi dari gedung itu tidak pernah digunakan. Aku telah menyiapkan makan siang untuknya yang kubawa dari rumah.
Aku duduk menunggunya di kursi yang memang sengaja di letakkan di sana, yang kadang digunakan untuk beberapa acara. Kami sengaja datang tidak bersamaan, agar tidak ada yang mencurigai kami.
Langit tidak terlihat begitu cerah, jadi tidak terlalu panas. Angin bertiup sepoi-sepoi. Dari atas sini mata terasa bebas memandang. Tidak berapa lama, dia datang, dan segera menutup pintu masuk menuju rooftop.
“Mengapa harus memilih tempat ini sih,” protesku. Aku jadi deg-degan karena takut ketahuan.
“Sebelumnya aku pernah ke sini. Sejak saat itu aku sudah niatkan, akan mengajak kamu untuk makan berdua di sini,” ucapnya.
“Aku ingin menikmati makan siang yang tenang, tanpa ada keriuhan, dan yang tidak kalah penting, bersama kamu.” Dia mulai lagi.
“Ya sudah, ayo segera makan, kalau terlalu lama, yang lain bisa curiga, karena kita serentak hilang berdua,” ujarku, dan membukakan bekal yang kubawa untuknya.
Matanya langsung membulat saat melihat makanan kesukaannya itu. Tidak butuh bicara lama lagi, dia langsung melahapnya. Seperti tidak makan berhari-hari. Aku hanya bisa tersenyum, bahagia sekali bisa menyaksikannya kembali bisa menikmati makanan yang kubuat.
“Kamu tidak makan?” Dia terheran ketika aku tidak menyentuh makananku tetapi justru terus memandanginya.
“Aku sudah kenyang, hanya dengan melihat kamu makan.” Aku ketularan dia sekarang, mulai menggombal. Dia hampir tersedak. Aku mengulurkan botol minuman ke arahnya.
Notifikasi WhatsAppku berbunyi. Sebuah pesan masuk. Yuga? Aku memandang sekilas ke arah Arif. Aku tidak berani membuka dan membaca pesan yang baru saja kuterima. Mengapa tiba-tiba Yuga mengirim pesan padaku, apakah dia sudah tidak marah lagi. Aku memandang layar telepon genggam yang ada di tanganku sekali lagi. Arif menyadari gelagat anehku.
“Pesan dari siapa?” tanyanya.
Aku belum sempat menjelaskan tentang Yuga pada Arif. Apa sebaiknya sekarang kukatakan semuanya. Apa ini tidak akan membuatnya cemburu lagi.
“Yuga,” jawabku. Aku tidak boleh merahasiakan apapun lagi darinya. Dia menghentikan suapannya. Dan menatapku meminta penjelasan. Arif pernah sangat cemburu pada Yuga. Aku tidak ingin membuat kesalahpahaman lagi dalam hubungan kami.
“Kita belum sempat membahas ini, sebenanya siapa dia?” Dia terlihat tenang meminta penjelasanku.
“Kami berteman, sudah cukup lama, lebih dari 3 tahun. Tetapi belakangan ini hubungan kami kurang baik, karena dia pernah menyatakan suka padaku dan aku menolaknya.” Kukatakan semuanya sejujur mungkin. Kami pernah berpisah cukup lama karena sebuah kesalahpahaman, aku tidak ingin terulang kedua kalinya lagi kedepan. Dia cukup tenang mendengar penjelasanku, tanpa memotong sedikitpun pembicaraanku.
“Aku sudah tahu, kalau dia menyukai kamu. Dan sikap yang ditujukkannya ke kamu selalu sukses membuatku kesal berhari-hari,” ucapnya seolah ingat kembali semua sikap Yuga selama ini padaku saat di kantor.
“Kamu percaya padaku kan?” Aku memastikan kalau sekarang dia tidak perlu cemburu lagi, karena cintaku hanya untuknya. Dia mengangguk.
“Aku percaya kamu.” Senyum yang terukir di bibirnya membuatku lega.
“Setelah memberikan jawaban penolakan padanya beberapa hari yang lalu, semenjak saat itu kami tidak pernah berkomunikasi lagi, dia menghindariku,” kujelaskan lagi, bagaimana hubunganku sekarang dengan Yuga.
“Aku juga telah jujur mengakui semuanya pada Yuga, kalau aku adalah wanita yang pernah menikah. Dia mengatakan kalau aku adalah wanita jahat, yang telah membohonginya selama ini,” tambahku. Arif tersenyum seolah menyetujui kejujuranku.
“Lalu mengapa sekarang, dia mengirimu pesan lagi,” Arif mengingatkanku pada pesan Yuga yang belum kubaca. Aku meletakkan telepon genggamku di atas meja, diantara kami. Aku tidak ingin menutupi apapun.
“Buka saja, kita baca sama-sama,” ucapnya.
Kubuka pesan itu, dadaku berdebar tidak karuan semoga saja isinya bukan apa-apa. Aku berharap isinya adalah kedewasaan Yuga yang rela menerima jawabanku, dan bisa kembali menganggapku teman, meskipun tidak sedekat dulu, setidaknya dia tidak memperlakukanku seperti orang asing.
[Dita, sudah aku pikirkan. Meski aku telah dibohongi selama ini, tetap saja aku tidak bisa melupakan kamu. Aku sudah putuskan untuk menerima kamu. Meskipun kamu seorang janda]
Bola mataku melotot seakan keluar dari rongganya. Aku menutup mulutku. Pandangan mataku langsung tertuju pada Arif. Wajah tampan itu sekarang berubah jadi ganas, telinganya terlihat memerah. Aku segera menutup pesan Yuga itu. Takut akan dibaca Arif kedua kalinya. Dia bisa berubah menjadi Hulk setelahnya.
Mengapa Yuga bisa mengirimiku pesan seperti itu? Bocah itu memang nekat. Lalu sekarang bagaimana? Jangan sampai hal ini menjadi masalah besar yang akan membuat pernikahan kami ditunda.
Arif terlihat menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. Berulang kali.
“Sebelum bertemu Ummi, aku harus bertemu bocah ini terlebih dahulu. Sudah lama aku geram dengan sikapnya.” Emosi yang sedari tadi ditahanya, akhirnya meluap juga.
“Tapi...,” sergahku merasa ketakuatan dengan apa yang akan terjadi.
“Kamu tenang saja, akan kuselesaIkan dengan bijaksana,” ucapnya dengan gigi dikatupkan. Terlihat sekali kalau dia sangat geram.
“Kamu tidak salah paham sama aku kan?” tanyaku memastikan. Dia menggeleng.
“Salah kamu itu cuma satu, mengapa mau berteman dengan pria. Tidak ada dua orang pria dan wanita yang benar-benar bersahabat. Apalagi kalian begitu dekat, selama ini dia terlihat seperti jarum jam dan kamu porosnya, dia selalu berputar mengitari kamu,” dia terlihat berapi-api. Aku suka sekali melihat ekspresi cemburunya itu.
“Aku akan menemuinya sepulang kantor.” Dia terlihat sangat tidak sabar ingin segera bertemu Yuga.
“Selesaikan baik-baik ya,” pintaku. Aku tidak ingin mereka baku hantam hanya gara-gara aku.
“Kamu mencemaskan dia?” sontak dia semakin panas mendengar ucapanku.
“Bukan, bukan begitu,” elakku dan tersenyum karena dia terlihat sangat lucu.
“Jangan tersenyum lagi, aku serius sekarang.” Dia mengibas-ngibaskan kemejanya, seolah merasa sangat kepanasan, padahal cuacanya tidak panas.
“Ada satu lagi kesalahanmu?” ucapnya sambil terus mengibaskan kemejanya.
“Apa?” Aku panasaran, apalagi salahku kali ini.
“Kamu terlalu imut. Sehingga bocah seperti Yuga saja bisa tertarik padamu, dia bahkan rela menerima kamu meskipun kamu janda.” Dia terlihat sesak napas menyelesaikan ucapanya.
“Setelah kita menikah, kamu tidak boleh berteman dengan pria manapun lagi,” dia mulai mengeluarkan fatwanya. Aku hanya mengangguk mengiayakan.
“Haaah mengapa siang ini panas sekali,” dia mulai mengutuki cuaca. Eksepresi marahnya kembali membuatku tersenyum.
“Berhentilah tersenyum, aku sedang marah,” protesnya. Melihatnya bertingkah seperti itu, aku semakin gemas.
***
Setelah sholat Zuhur, aku kembali ke ruangan. Aku sudah terlambat beberapa menit. Kulihat Arif tidak ada di ruangannya, padahal dia selesai sholat lebih awal dariku. Kemana dia?
Jangan-jangan dia langsung menemui Yuga? Aku mencemaskan apa yang akan terjadi. ‘Semoga semuanya baik-baik saja,’ gumamku menenangkan diri.
***
Aku sampai di rumah sore harinya, dan aku tidak menemui Ummi. Aku membuka pintu dengan kunci cadangan yang kupunya. Kemana Ummi? Apa Arif sedang melakukan rencananya.
Arif memang tidak kembali lagi ke ruanganya tadi setelah istirahat siang. Sebuah pesan masuk melalui telepon genggamku.
[Kamu sudah sampai di rumah. Jangan cemas, Ummi sedang bersamaku]
Sebuah pesan dari Arif. Ternyata benar, dia sedang melancarkan usahanya merebut restu Ummi kembali. Lalu bagaimana masalah dengan Yuga? Bukankan tadi dia mengatakan akan menemui Yuga dahulu sebelum menemui Ummi? Apa dia telah menemu Yuga? Dan apakah permasalahannya selesai secara baik-baik? Ada banyak pertanyaan berseliweran di pikiranku.
Sepertinya permasalahan dengan Yuga selesai secara baik-baik, karena sampai menjelang keluar kantorpun aku tidak mendengar berita ada kegaduhan. Semoga saja.
***
Aku menunggu Ummi pulang dengan perasaan berdebar, semoga Arif bisa merebut hati Ummi kembali. Mengapa sekarang kejadiannya malah terbalik, kalau dulu kami berjuang mendapatkan restu Mamanya Arif, sekarang berjuang mendapatkan restunya Ummi.
Jam 9 malam, Ummi baru pulang diantar Arif. Aku membukakan pintu, sambil terus berharap saat menatap wajah Ummi nanti, yang kutemukan di sana adalah senyuman.
Baru saja daun pintu kubuka, Ummi sedah menghambur ke pelukanku. Arif yang ada di belakang Ummi terlihat tersenyum. Sepertinya rencana Arif berjalan lancar.
Kami duduk bersama di ruang tamu.
“Ummi lega, saat semuanya jelas kembali sekarang. Untuk kamu Rif, Ummi tidak pernah membenci kamu, apalagi menyalahkan kamu atas kematian Abah. Kamu jangan merasa bersalah lagi.” Sudah kuduga, Ummi akan memberikan jawaban seperti ini. Ummi memang ibu berhati dewi.
“Kamu telah menjatuhkan talak Raj’i pada Dita sepuluh tahun lalu. Masa iddah telah terlewati, jadi kalian tidak bisa rujuk lagi,...” Ummi menggantung ucapanya, sehingga membuat kami berdua bagai tersambar petir.
“Masa iya begitu Ummi?” ucap Arif merasa tidak terima dengan penjelasan Ummi.
“Kamu tidak bisa kembali pada Dita hanya dengan ikrar rujuk, kamu harus mengulangi ikrar ijab qabul,” jelas Ummi. Arif tersenyum malu mendengar jawaban Ummi.
Kami berdua bernafas lega. Talak Raj’i yaitu talak 1 atau talak 2 yang dijatuhkan Arif terhadapku dulu dan telah melewati masa iddah, membuat kami harus mengulang pernikahan kembali. Seperti pernikahan biasa. Tidak bisa hanya dengan mengucapkan ikrar rujuk. Itulah yang dijelaskan Ummi.
“Makanya, setelah ini berpikirlah lebih matang sebelum mengucapkan kata-kata ‘sakti’ itu,” tambah Ummi lagi menasehati kami. Aku hanya menunduk. Akulah yang mendesak Arif melakukannya dulu.
“Untung talak yang jatuh hanya talak 1, bagaimana kalau talak 3. Kan bisa ribet urusannya saat kalian ingin kembali?” goda Ummi. Wajah Arif memerah.
Aku tidak bisa membayangkan jika itu benar terjadi. Arif harus merelakanku menikah dengan pria lain terlebih dahulu, sebelum kami bisa menikah kembali. ‘Ah untung saja,’ aku tersenyum geli membayangkannya.
“Apakah kami boleh menikah dalam minggu ini, Ummi,” tanya Arif tidak sabar.
“Tentu saja. Lebih cepat lebih baik,” jawab Ummi antusias.
Kami saling berpandangan dan tersenyum. Selangkah lagi.
=====
Setelah restu Ummi kami dapatkan tinggal lagi memberitahu kakak-kakaku. Aku rasa ini bukan hal sulit, apalagi dengan kakak tertuaku yang pernah mensyaratkan, jika Mama Arif telah merestui kami maka dia juga setuju kami menikah kembali.
Aku bersiap untuk tidur saat Ummi muncul dari balik pintu kamarku, setelah Arif pamit pulang.
“Ummi belum tidur?” sapaku, padahal sudah cukup larut karena sebelumnya kami membicarakan perihal persiapan pernikahan dengan Arif, yang akan dilangsungkan segera. Ummi duduk di tepi tempat tidurku.
“Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari Ummi sebelumnya? Pasti sangat berat ketika kamu menanggung semuanya sendiri tanpa berbagi beban dengan Ummi,” ucap Ummi.
“Tidak apa-apa Mi, aku tidak ingin membuat Ummi khawatir.” Kupeluk wanita itu.
“Sekarang semuanya sudah terlewati, tinggal lagi menata masa depan agar jadi lebih baik, dan kesalahan lama tidak terulang lagi,” tambahku. Ummi membelai rambutku lembut.
“Ummi selalu berdo’a untuk kebahagiaan kamu.” Ummi mengecup keningku.
“Oh ya Mi, tadi sore Ummi diajak Arif kemana?” Aku penasaran juga, kemana Arif membawa Ummi, dan apa yang dikatakan Arif sehingga begitu mudah mendapatkan restu Ummi.
“Rahasia,” ucap Ummi sambil mengedip nakal.
“Aaaa Ummi.” Aku kembali memeluk manja wanita terbaik dalam hidupku itu.
“Yang jelas dia laki-laki baik, dari dulu hingga sekarang dan yang lebih penting lagi, dia sangat menyayangi kamu,” jelas Ummi.
Sudah kuduga Ummi akan memberikan penilaian baik pada Arif, dari dulupun Arif memang menantu kesayangan Ummi dan Abah. Mungkin karena satu-satunya menantu yang tinggal serumah dengan mereka, dan mereka tidak pernah merasakan memiliki anak laki-laki. Jadi, Arif mendapat perlakuan yang istimewa.
“Kalau kalian sudah menikah nanti, jangan menunda lagi untuk memiliki anak, ingat usia kamu sekarang berapa,” Ummi mengalihkan pembicaraan. Aku hanya tesenyum malu. Tentu saja.
Dulu usiaku masih sangat muda, jadi ada ketakutan tersendiri saat memikirkan hamil dan memiliki anak. Meskipun aku ingin, aku merasa belum siap. Mungkin itu jugalah yang menyebabkan aku tidak pernah hamil, meskipun kami pernah menikah selama 2 tahun.
Sekarang tidak ada lagi alasan untuk takut dan menunda. Aku tidak boleh kalah dari Rara. Setidaknya serilah dengan Rara. Memiliki 4 orang anak. Aku tersenyum sendiri membayangkannya.
Telepon genggamku bergetar. Kulihat nama yang tertera, Arif. Apa kali ini dia akan mengatakan merindukanku lagi, padahal baru sekitar 1 jam kami berpisah. Ummi memberikan kode agar aku menjawab panggilan itu sambil berjalan keluar dari kamarku.
“Aku sudah mencari referensi konsep pernikahan kita nanti, kamu bisa pilih,” ucap suara di seberang sana.
“Oh ya? Tidak usah yang terlalu mewah, sederhana saja.” Ini bukan pernikahan pertama kami, jadi kurasa tidak perlu terlalu “waw’. Meskipun aku pernah menginginkan pernikahan dengan konsep luar biasa. Sekarang yang penting adalah kesakralannya.
“Kita pernah menikah sangat sederhana, tanpa resepsi dan foto pernikahan kita pun hanya satu. Kali ini akan kubuat kamu merasa menjadi ratu sehari di acara pernikahan kita nanti. Jangan menolak,” titahnya.
Dia memang benar, meskipun dulu pernikahan kami apa adanya, tetapi saat itu aku sangat bahagia.
“Jangan menolak karena aku sudah bertekad akan memberikan semua yang terbaik yang bisa kulakukan untuk membahagiakan kamu.” Aku tersenyum sendiri mendengar ucapannya.
“Nanti kukirimkan contoh konsep pernikahan itu, lalu kamu pilih. Kamu tidak perlu memikirkan apa-apa, karena aku akan mengurus semuanya untukmu, ratuku,” tambahnya lagi. Aku tertawa geli mendengar ucapannya.
“Baiklah,” ucapku akhirnya.
“Pernikahan kita memang yang kedua, tetapi sebagian besar orang tidak tahu mengenai itu. Jadi anggap saja ini adalah pernikahan pertama kita.” Benar, yang tahu kami pernah menikah sebelumnya hanya keluarga kami saja dan Yuga.
Yuga? Aku belum sempat menanyakan perihal Yuga pada Arif.
“Oh ya, apakah kamu tadi sudah menemui Yuga?” Aku sengaja bertanya dengan hati-hati. Karena dia agak sensitif dengan topik ini.
“Sudah,” jawabnya singkat. Itu saja, dia tidak menjelaskan kronologis pertemuan mereka. Apa saja yang mereka bicarakan, apakan permasalahannya selesai dengan baik-baik. Sebenarnya aku masih ingin bertanya, tetapi urung kulakukan. Takutnya dia salah paham.
“Mungkin sangat menyakitkan untuknya, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Kuceritakan semua padanya, mulai dari pertama aku mengenalmu sampai kita menikah, dan akhirnya berpisah. Kukatakan juga, bahwa setelah berpisah 10 tahunpun aku masih tetap mencintai kamu. Aku harap dia mengerti. Setelah ini dia mungkin akan tetap menjauhi kamu, bahkan mungkin tidak akan menghadiri pernikahan kita. Kamu harus mengerti itu, meskipun dia sahabat dekat kamu. Kita do’akan saja dia segera bertemu jodohnya, agar bisa segera move on dari kamu. Dia bocah baik,” ucapnya menjelaskan. Kurasakan Arif jauh lebih dewasa sekarang. Aku kembali tersenyum. Semoga saja.
“Jangan merasa bersalah lagi terhadapnya. Kalau kamu terus merasa bersalah, maka kamu akan terus kepikiran dia. Nanti hati kamu bisa goyah dan berpaling. Aku bisa gila.” Ternyata dia belum dewasa secara sempurna.
“Sekarang dan selamanya cukup hanya ada aku dalam pikiranmu. Tidak boleh ada laki-laki lain lagi, meskipun itu hanya teman.” Sepertinya dia akan over protectif setelah ini. Tidak apa, aku menyukainya karena itu adalah bukti dia sangat takut kehilanganku.
“Kamu belum tidur?” tuturnya lagi dengan nada mengantuk.
“Iya ini mau tidur,” ucapku.
“Aku sudah tidak sabar menunggu hari pernikahan kita. Agar aku bisa memelukmu erat disetiap malamnya. Aku merindukan kamu. Apakah kamu juga merasakan hal yang sama denganku?” Dia mulai bicara tidak jelas. Sudah lewat jam 12 malam. Aku sedikit merinding, takutnya dia akan tambah tidak karuan. Terlalu lama menduda, kadang membuat otaknya sedikit eror kurasa.
“Ya sudah, sekarang tidurlah. Selamat malam,” ucapku sambil menutup panggilan.
***
Aku sudah memilih konsep pernikahan kami. Selebihnya Arif yang mengurus. Dia juga telah datang secara resmi meminangku, bersama mama dan kakaknya. Disambut Ummi dan semua kakak-kakakku. Semuanya berjalan lancar tanpa rintangan. Tanggal pernikahan kami telah ditetapkan. Seminggu dari sekarang.
Hari ini kami akan memilih dan mencetak undangan. Aku sudah membuat daftar tamu yang akan kuundang. Tidak terlalu banyak. Hanya teman-teman kantor, tetangga dan teman pengajian Ummi serta teman dari kakak-kakakku.
“Ditaa,” aku baru sampai di kantor ketika Niana berlari ke arahku dan langsung memelukku. Karena terlalu sibuk aku bahkan tidak menyadari bahwa pengantin baru itu telah kembali dari bulan madunya, dan masuk kerja hari ini.
“Niana.” Aku balas memeluknya. Dia jauh lebih cantik sekarang. Kami bercerita banyak hal, seakan tidak bisa dilerai. Kami baru berhenti ketika teman lain memberi isyarat, kalau sekarang saatnya bekerja.
“Dimana manajer kita? Aku belum melihatnya,” ucap Niana. Aku tahu hari ini Arif datang terlambat karena harus reservasi gedung. Tidak mungkin kukatakan hal itu pada Niana, karena aku belum bercerita apapun padanya.
“Apa dia bersikap baik padamu selama aku tidak ada?” tanya Niana lagi, karena dulu Arif sering mempersulitku.
“Dia baik, sangat baik,” ucapku tersipu.
“Tunggu dulu, mengapa pipi kamu memerah?” Niana terlalu cerdas untuk dikelabui.
“Apa terjadi sesuatu diantara kalian selama aku tidak ada?” Dia bicara dengan nada berbisik. Sebelumnya dia memang sudah curiga ada sesuatu diantara kami.
“Tidak ada,” ucapku bohong, sambil memalingkan wajahku, menghindari tatapan penuh selidik Niana.
“Kamu tidak bisa membohongi aku,” dia semakin menjadi. Sepertinya aku harus menceritakan semuanya pada Niana. Lagipula, dia pasti akan sangat marah saat mengetahui kami akan menikah dari undangan saja. Niana bisa menghajarku habis-habisan.
***
Niana tidak berhenti menutup mulutnya dengan mata melotot saat kuceritakan semua padanya. Kami sedang istirahat siang. Suasana kantin belum terlalu ramai.
“Kamu serius akan menikah?” bisik Niana hampir tidak terdengar. Niana masih belum percaya dengan apa yang kukatakan. Aku mengangguk.
“Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa semua begitu mendadak? Apa terjadi sesuatu saat kalian pergi ke luar kota berdua waktu itu? Kamu tidak sedang....,” Niana menggantung ucapannya.
Aku tahu apa yang akan dikatakannya. Mengapa sebahagian orang selalu berfikir negatif saat mendengar pernikahan yang mendadak. Padahal tidak semua demikian.
“Kamu gila, aku tidak sekotor itu,” bantahku.
“Maaf. Aku benar-benar tidak menyangka, ini terlalu mendadak. Aku memang memprediksi ada sesuatu diantara kalian, karena belakangan ini aku melihat sikap Arif sangat berbeda padamu. Tetapi mendengar kalian akan menikah, ini terlalu ‘waw’ buat aku.” Mata Niana masih membesar.
“Ada satu rahasia lagi yang harus kamu dengar. Tetapi kamu harus janji, tidak akan mengatakan pada siapapun.” Harus kubuka semuanya pada Niana. Dia dapat kupercaya. Niana menungguku bersuara.
“Sebenarnya, akulah mantan istri Arif.” Kali ini mata Niana tidak hanya membesar, tetapi seakan melompat ke luar. Dia menutup mulutnya yang menganga. Beberapa detik dia terdiam.
“Kamu nge-prank aku?” ucapnya dengan pandangan mata meminta penjelasan. Aku menggeleng.
“Kamu serius?” ulangnya lagi memastikan. Aku mengangguk.
“Bagaimana bisa?” Sekarang memori Niana pasti sedang berselancar ke masa lampau, saat pertama kali dia memperkenalkanku dengan Arif.
“Jadi selama ini....,” Niana menggantung ucapannya. Dia mungkin menyadari bahwa dia juga pernah tergoda dengan pesona Arif.
“Mengapa kamu tidak katakan dari dulu? Aku bahkan sempat menyukai Arif dan terang-terangan mengakuinya ke kamu.” Niana merasa bersalah. Aku hanya tersenyum.
“Tidak apa, kamu kan tidak tahu.” Bukan salah Niana, lagipula saat itu hatiku masih diselimuti rasa benci pada Arif, aku tidak merasa cemburu sama sekali.
“Maafkan aku. Aku merasa gagal menjadi seorang sahabat,” Niana meraih tanganku.
“Mengapa kamu bisa bersikap seolah tidak mengenal Arif sebelumnya? Kamu pasti sangat menderita belakangan ini. Sekali lagi maafkan aku.” Terlihat sekali Niana merasa bersalah. Menggoda mantan suami teman sendiri, di depan teman itu, sangat tidak etis.
“Kamu tidak salah apa-apa. Jangan merasa bersalah lagi, salahku juga yang tidak menceritakan semuanya dari awal,” ucapku menenangkannya.
“Kamu percayakan, kalau aku tidak sungguh-sungguh menyukainya. Aku hanya, seperti biasa, terlalu labil ketika bertemu dengan pria keren,” Niana membela diri.
Aku percaya, karena tidak hanya pada Arif, hampir pada semua pria keren manapun yang ditemuinya, Niana akan bersikap sama. Hatinya sangat mudah goyah, meskipun dia sudah memiliki Lingga.
“Sekarang, jangan seperti itu lagi.” Akan sangat menyakitkan buat suaminya, kalau dia masih suka tergoda pria lain. Dia menggeleng.
“Aku telah menjadi milik Lingga, tidak akan pernah kukhianati dia.” Niana menerawang dan mantap menjawab. Syukurlah, pernikahan telah menyadarkannya, bahwa satu-satunya yang akan membuat dia terpesona sekarang adalah suaminya, Lingga.
Setelah sholat Zhurur kami kembali melangkah menuju ruangan, di lorong kami berpapasan dengan Arif, dia sepertinya baru datang. Sesaat kami saling menatap. Arif bersikap dingin seperti aku ini bukan siapa-siapanya. Agar Niana tida curiga. Kami memang masih menyembunyikan semuanya dari teman-teman kantor. Menyiksa memang ketika ingin bertemu, kami harus sembunyi-sembunyi.
“Tidak usah pura-pura lagi Pak Manajer, Bapak ingin bicara dengan temanku ini, kalau begitu aku pergi dulu.” Niana memberi kode padaku sambil berjalan meninggalkan kami.
Arif terlihat mengangkat alisnya, meminta penjelasan.
“Aku sudah ceritakan semuanya pada Niana. Tidak mungkin aku beri tahu dia hanya dengan undangan, dia teman baikku,” ucapku. Aku menjaga jarak darinya, seseorang bisa saja memergoki kami. Dia hanya mengagguk.
“Aku merindukanmu.” Dia mulai lagi, aku hanya mampu menunduk.
“Kita pergi sekarang,” ajaknya sambil meraih tanganku. Aku menarik tanganku, dan menoleh ke sekitar.
“Kita kemana?” aku masih berusaha melepaskan genggamannya.
“Kita mencari percetakan undangan,” ucapnya sambil terus berjalan, aku terpaksa mengikutinya, karena tanganku tidak terlepas dari genggamannya.
“Bukannya nanti sehabis kerja,” aku masih membantah. Sekarang kami telah memasuki lift, aku cukup lega karena tidak ada seorangpun di dalamnya.
“Sekarang saja, sekalian temani aku makan siang di luar.” Kali ini aku hanya bisa menurut. Semua teman di kantor pasti akan curiga, kami menghilang bersamaan. ‘Huft bagaimana lagi.’
“Bagaimana dengan kantor?” Aku kembali bertanya.
“Aku sudah dapat izin,” dia menjawab dengan cuek.
“Lalu aku?” Sangat tidak enak bertindak sesuka hati.
“Aku telah mengizinkan kamu,” ucapnya lagi sambil tertawa.
“Ingat, aku masih atasan kamu, jadi sekarang kamu diperintahkan untuk menemani atasan kamu ini untuk makan siang.” Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
Dia masing menggenggam jemariku, dan menyembunyikan dibelakang tubuhnya. Saat pintu lift terbuka di lantai 2 dan beberapa orang masuk, mereka tidak menyadari tingkah kami.
***
Aku telah selesai menemaninya makan siang, kami juga telah memilih desain undangan. Kami memilih undangan berbentuk credit card. Meskipun kecil tapi terlihat unik. Dua hari lagi siap. Kami akan bagikan undangan setelah itu.
“Apa yang akan terjadi setelah undangan kita bagikan?” perasaan cemas mulai menghantuiku.
Dia menatapku lekat. Seolah memberi kekuatan akan ketakutanku. Takut menjadi populer, dan takut dibenci atau bahkan dibully.
“Waktu SMA dulu kamu bisa bersikap masa bodoh tidak peduli apapun kata orang, masa sekarang tidak bisa.” Dia mengingatkanku pada sikapku dulu. Aku hanya tersenyum mengingat semuanya.
“Itu resiko memiliki calon suami populer,” dia tersenyum angkuh.
“Tidak usah takut, selama yang kita lakukan tidak salah,” dia kembali menguatkanku. Benar, tidak perlu takut. Paling cuma beberapa hari, setelahnya mereka akan bersikap biasa lagi.
“Kita balik ke kantor sekarang ya!” pintaku.
“Tidak usah, aku telah menghubungi Niana untuk mengamankan kantor, jadi sekarang kita bebas kemana saja.” Dia memang selalu penuh kejutan.
“Kemana lagi kita?” Aku mengikuti langkahnya.
“Kamu maunya kemana?” dia balik bertanya dan membalikkan badannya menghadap ke arahku. Aku diam di tempat.
“Apa kamu mau mengunjungi suatu tempat denganku? Hanya kita berdua?” ucapnya menggodaku sambil tersenyum. Aku mengangkat bahuku dan memasang wajah merinding. Efek samping lama mendudanya kambuh lagi.
“Kita belum fitting baju, selagi ada waktu kita lakukan sekarang,” katanya. Kembali aku hanya mengikuti langkahnya.
“Memangnya apa yang kamu pikirkan?” tanyanya saat kami sudah di dalam mobil.
“Tidak ada,” elakku dengan wajah memanas, dan tidak berani menatap wajahnya. Dia terus menatapku tak berkedip, aku merasa gerah diperlakukan seperti itu.
***
[Sudah siap menghadapi hari ini?]
Sebuah pesan masuk dari Arif. Hari ini kami akan membagikan undangan untuk semua teman-teman di kantor, sekalian mengajukan permohonan izin cuti menikah.
Sejak semalam dadaku sudah berdebar. Seperti seorang artis yang akan melakukan konferensi pers mengklarifikasi sesuatu. Aku harus bersiap mendadak populer lagi.
[Aku akan selalu di samping kamu]
Kembali sebuah pesan dari Arif memberiku semangat. Cepat atau lambat moment ini akan datang juga. Aku harus menghadapinya.
Arif sampai di kantor lebih pagi dariku. Dia sudah meletakkan undangan di setiap meja teman-teman kami. Aku melangkah masuk dan duduk di mejaku seperti biasa.
Aku bisa menebak jalan cerita yang akan terjadi. Mereka melihat undangan, membaca nama yang tertera, mata melotot, kasak-kusuk mencari tahu apakah Dita yang tertera di kartu itu adalah Dita yang sama dengan teman sekantor mereka. Saling berbisik memberi kode, atau mungkin menghujatku langsung. Huft, aku harus terima.
Satu persatu temanku memasuki ruangan.
“Ditaaa, selamat ya,” dua orang teman wanitaku langsung menghampiri dan memelukku. Ada apa dengan mereka? Mereka belum sampai di meja masing-masing, belum sempat membaca undangan yang tergeletak di sana.
“Maafkan kami ya, kalau selama ini menyakiti hati kamu. Kami sama sekali tidak tahu, kalau kamu adalah mantan istri Manajer.” Apa yang mereka katakan? Siapa yang memberitahu mereka?
“Kisah cinta kalian luar biasa, kalian berdua layak bahagia,” kembali mereka memelukku. Aku hanya tersenyum. Hampir semua teman wanitaku mengatakan hal yang sama.
“Kamu wanita luar biasa, bisa menyimpan semuanya selama ini, dan menyembunyikan perasaan kamu sebenarnya,” Yurika yang baru datang juga langsung memelukku.
Tidak hanya teman wanita, teman laki-lakiku pun melakukan hal yang sama.
“Maaf ya Dit, kalau aku pernah menyinggung perasaan kamu. Itu semua murni karena katidaktahuanku,” Boby menyalamiku, sepertinya dia merasa bersalah saat mengatakan prediksinya terkait hubungan Arif dan manajer personalia.
“Tidak apa-apa, maafkan aku juga yang tidak punya keberanian mengungkapkan semuanya pada kalian,” ucapku. Mataku bahkan sampai berkaca-kaca menahan haru, apa yang kutakutkan berbalik 180 derajat.
Di pintu masuk kulihat Niana tersenyum. Aku tidak kuasa menahan air mataku. Aku yakin semua ini karena Niana. Aku menghampiri dan memeluknya erat. Sahabat terbaikku.
“Terima kasih,” ucapku lirih.
“Bagaimana kamu melakukannya?” Aku penasaran sekali, bagaimana cara Niana menjelaskan semua kisahku pada teman-teman kami.
“Aku terpaksa membuat grup chat baru dengan anggota selain kamu dan manajer kita, disana aku memberitahu perihal pernikahan kalian. Awalnya tidak ada yang percaya, setelah kuceritakan semua kisah kalian yang panjang mereka menjadi berempati. Semua teman kita ini baik, kita sudah bekerja bersama lebih dari 5 tahun. Kita sudah seperti saudara,” jelas Niana panjang lebar. Aku merasa berdosa telah berprasangka buruk terhadap mereka.
Arif keluar dari ruangannya. Sontak saja semua teman-teman kami menyalaminya memberi selamat. Dia hanya melongo, masih mencerna apa yang terjadi.
“Ini adalah pesta besar bagian pemasaran, semunya harus hadir memeriahkan,” teriak Boby sambil mengangkat kartu undangan. Kami semua tersenyum.
Terkadang kita terlalu menakutkan sesuatu, bahkan sampai berasumsi buruk, tetapi kenyataan bisa berkata lain. Penolong kita itu bisa siapa saja.
***
Hari ini adalah hari pernikahan kami. Sesuai rencana, selesai ijab qabul, kami langsung melakukan resepsi di gedung yang sama. Aku merasa deg-degan. Meskipun ini adalah pernikahan keduaku dengan orang yang sama, rasa gugupnya tetap saja ada. Bahkan jauh lebih gugup dari sebelumnya.
Suasananya juga terasa berbeda karena tidak ada lagi Abah yang akan menjadi waliku. Waliku terpaksa harus digantikan oleh wali hakim. Arif juga terlihat gugup, berkali-kali dia menyeka keringat di dahinya. Dia sudah menghafalkan lafaz ijab qabul itu jauh-jauh hari, dia berharap dapat melakukannya satu kali saja.
“Kalau nanti kamu kumat ingin minta talak lagi, aku tidak akan melakukannya apapun yang terjadi. Aku tidak ingin mengulang hal ini lagi. Mengucapkan kalimat ijab qabul itu butuh mental kuat. Kamu tidak akan tahu betapa gugupnya aku,” protesnya tadi malam saat meneleponku. Aku hanya tersenyum, aku janji akan membuang kata ‘sakti’ itu dari kamus hidupku.
Dengan disaksikan keluarga besar kami, dan beberapa orang teman. Arif berhasil mengucapkan kalimat yang kembali membuat kami terikat dalam hubungan yang halal itu. Mama Arif dan Ummi tidak kuasa menahan tangis. Begitu juga denganku dan kakak-kakakku.
Selanjutnya kami saling memasangkan cincin di jari manis masing-masing. Sesuatu yang tidak pernah kami lakukan dipernikahan sebelumnya. Aku mencium tangan laki-laki yang sekarang sah menjadi imamku itu. Lagi. Dia mencium keningku lembut. Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa bahagianya aku hari ini.
Dia terus menggengam jemariku saat kami duduk di pelaminan. Menunggu tamu yang datang untuk bersalaman dan berfoto bersama. Aku memandang ke sekitar ruangan. Dia mewujudkan semua konsep pernikahan yang selama ini kuimpikan. Bunga-bunga putih bertebaran di setiap sudut. Sangat indah.
Gaun pengantin yang kupakai, terlihat begitu cantik. Sebuah mahkota bertengger di kepalaku.
“Kamu seperti ratu hari ini,” pujinya saat kembali menatapku. Aku mempererat genggaman tanganku seolah tidak ingin melepaskannya lagi.
Kami menyalami semua tamu yang datang. Ternyata beginilah rasanya resepsi pernikahan.
“Kali ini kita harus menadapatkan banyak foto sebagai kenangan, jangan seperti kemaren.” Kami berdua tersenyum mengingat foto pernikahan jadul kami yang hanya satu-satunya itu.
Hampir semua tamu yang kami undang datang. Terutama teman kantor, tidak ada yang tidak datang. Sebuah kebahagian saat mereka datang dengan kompak. Sangat terasa kekeluargaanya, aku salah telah meragukan mereka.
“Selamat ya Pak, semoga segera tercapai targetnya,” ucap Boby sambil menyalami Arif, dan mengembangkan jari-jari tangan kirinya sambil memberi isyarat dengan bibirnya “lima”.
Ternyata Boby masih ingat tentang keinginan Arif memiliki anak banyak sebanyak yang Boby punya. ‘Lima,’ aku hanya tersenyum. Setelah hari ini sepertinya aku harus menjadi wanita kuat dan tangguh, demi mewujudkan target sang Manajer.
Aku menyadari ternyata ada satu orang yang dulu sangat kukenal tidak datang. Yuga. Seperti yang Arif katakan, aku tidak boleh berharap dia akan datang. Biarkan dia perlahan menyembuhkan lukanya sampai dia menemukan seseorang yang akan mencintainya.
“Kamu menunggu orang ini?” Arif memperlihatkan layar telepon genggamku. Ada sebuah pesan masuk dari Yuga. Aku meminta persetujuan Arif untuk membaca pesan itu. Dia mengangguk mengizinkanku.
[Maafkan aku yang tidak bisa hadir dihari bahagiamu. Aku masih butuh waktu untuk menerima kenyataan. Kenyataan bahwa ada laki-laki lain yang mencintaimu lebih. Cinta yang kupunya untukmu tidak sebanding dengan besarnya cinta yang dia punya. Aku lega melepasmu untuknya. Semoga kalian selalu bahagia. Selamat menempuh hidup baru. Dari sahabatmu: Yuga]
Mataku mulai berkaca-kaca lagi. Hanya doa yang bisa kuberikan untuknya, semoga dia segera menemukan jalan bahagianya.
***
Resepsi berlangsung seharian, rasanya lelah sekali. Jam 21.30 kami telah sampai di rumah kembali. Untuk sementara aku memang tinggal di rumahnya, dengan mengajak serta Ummi. Itulah yang kami sepakati sebelum menikah.
Aku memasuki kamar pengantin bernuansa ungu muda itu, yang ternyata telah didekorasi. Arif memang telah menyiapkan segalanya. Aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidur dengan alas yang juga berwarna ungu. Rasanya sangat nyaman. Aku meregangkan otot-ototku yang kaku karena duduk seharian.
Arif masuk dan menutup pintu kamar. Aku segera bangkit dari posisiku, dan duduk di pinggir tempat tidur. Dadaku mulai berdebar tidak karuan. Malam pertama?
Bukan, bukan malam pertama, tetapi malam yang kesekian kalinya. Tubuhku kaku seakan membatu. Mengapa rasanya jauh mendebarkan dari sebelumnya. Diapun terlihat sama. Dia terlihat mematung di sisi lain tempat tidur. Melihat beberapa sikap dan kata-katanya tempo hari, kukira dia akan menerkamku seperti singa kelaparan. Ternyata tidak. Dia sama gugupnya denganku.
“A-aku mandi dulu,” kami bicara bersamaan. Dan saling terdiam kembali setelahnya.
“Ya sudah, kamu duluan,” katanya dengan mata tidak berani manatapku. Masih kuingat dulu, malam pertama kami tidak sekaku ini. Seharusnya sekarang kami jauh lebih leluasa karena sudah pernah melalui semua sebelumnya.
Aku selesai mandi, dengan memakai baju handuk berwarna ungu yang dia sediakan. Aku keluar dari kamar mandi. Dia terlihat terpana, melihatku tampil tanpa hijab, rambut hitam sebahuku tergerai. Sebelumnya dia belum pernah melihatku memiliki rambut panjang. Dulu aku terbiasa dengan model rambut short messy.
“Sekarang giliranku,” ujarnya tergagap dan segera masuk ke kamar mandi, masih kutangkap wajah memerahnya.
Saat dia keluar dari kamar mandi, aku telah menunggunya untuk melakukan sholat Isya berjamaah. Dia tersenyum saat melihatku memakai mukena. Aku selalu merindukan saat seperti ini. Dulu Abah selalu membimbingnya agar bisa menjadi imam sholat untukku. Kami terbiasa sholat magrib dan Isya berjamaah bersama, dulu saat Abah masih ada.
Selesai salam, dia menghadap ke arahku. Aku menyalami dan mencium punggung tangannya. Dia membalas dengan kembali mengecup keningku. Dia menarik kedua tanganku, sehingga sekarang jarak kami begitu dekat, aku bisa merasakan napasnya.
Aku melepaskan pegangan tangannya, dan segera menghambur kedalam pelukannya. Dia terlihat kaget. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang semakin kencang, begitu juga denganku. Kurasakan ada perasaan aneh yang menjalar di sekujur tubuhku.
“Terima kasih sudah bertahan menungguku begitu lama,” bisikku.
Aku melepaskan dekapanku dan kembali duduk di depannya. Dia melepas mukena yang kupakai, dan membelai rambutku.
“Sudah terlalu lama aku menunggu saat-saat seperti ini,” ucapnya sambil mengelus pipiku lembut.
Kami berdua hanyut dalam hangatnya malam yang selama ini kami rindukan. Butuh waktu sangat lama untuk bisa merasakan hangatnya cinta itu kembali. Sepuluh tahun.
Kami tertidur dengan tetap saling memeluk erat. Berkali-kali kutatap wajahnya, memastikan bahwa pria yang ada di sampingku sekarang adalah pria yang sama, yang dulu selalu memelukku erat disetiap malamnya.
Pria yang membuatku jatuh cinta dengan segala keberaniannya melamarku di usia muda. Satu-satunya pria yang berani mangatakan bahwa aku adalah tujuan hidupnya. Pria yang tidak pernah berhenti mencintaiku.
Aku menyentuh kelopak matanya yang tertutup. Dia membuka matanya perlahan, dan mengecup bibirku. Dia mempererat dekapannya. Semoga kami bisa tetap saling memeluk selamanya.
*** TAMAT ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel