Oleh: Rohana Rambe
"Kenapa harus Dira sih Ma yang gantikan pengantin prianya," bisikku pada Mama, "kan masih banyak yang lain."
"Sudahlah Dir. Kamu gak akan rugi menikah dengan Melati. Dia gadis yang baik. Kasihan Om Sholeh. Undangan sudah pada datang. Bayangin gimana malunya mereka kalau sempat pestanya gak jadi. Penghulunya sudah nunggu dari tadi. Ayo pakai jasmu!" Ibu meyakinkan ku untuk menggantikan pengantin pria yang tidak jadi datang karena kecelakaan dalam perjalanan ke mari.
Aku merasa seperti tidak menapak bumi. Sebagian undangan tercengang kok pengantinnya ganti. Mendadak kakiku seperti sulit digerakkan. Lemas. Jantungku terlalu cepat berpacu. Keringat mulai membanjiri tubuhku.
"Ayo maju Dir!" desak Mama.
Aku maju juga memasuki ruangan. Duduk di tempat yang telah disiapkan.
"Gimana? Kamu sudah siap?" tanya penghulu.
Aku tidak bisa menjawab. Lidah keluh. Mama menyenggol lenganku mengisyaratkan agar aku menjawab pertanyaan yang diajukan penghulu. Ingin rasanya aku kabur. Berlari sekencang mungkin. Kulirik mempelai wanita. Matanya berkaca-kaca dan berusaha menahan tangisnya. Aku jadi kasihan.
"Bagaimana? Sudah siap?" Penghulu bertanya sekali lagi.
Dengan ragu aku menjawab, "saya siap pak."
"Anda sudah siap?" tanya penghulu pada pengantin wanita yang agak jauh dariku.
"Siap pak," sahutnya. Suaranya begitu berat.
"Saya terima nikahnya Aisyah Melati binti Sholeh dengan mahar lima gram emas dan seperangkat alat shalat dibayar tunai."
"Gimana saksi?"
"Sahhh...."
Aku sepertinya mau pingsan tapi gak bisa. ALLAHU AKBAR! pekik sebagian undangan kaget mengetahui apa yang terjadi.
Setelah akad nikah dilanjutkan dengan resepsi. Banyak tamu bertanya heran kenapa pengantin prianya berganti. Aku sendiri tidak percaya dengan apa yang kualami sekarang. Andai waktu bisa diulang, aku tidak akan menghadiri pernikahan putri teman Papa itu. Bagaimana aku menjelaskan semua ini pada Mira, wanita yang sudah kupacari lebih dari setahun. Aku mencintainya.
Acara yang melelahkan itu pun selesai. Kami membawa Melati dengan berurai air mata. Om Sholeh dan istrinya tidak dapat menahan tangis melepas kepergian Melati.
"Terima kasih Feri atas bantuannya. Bagaimana aku membalas jasamu?" kata Om Sholeh sambil memeluk Papa.
"Sudahlah. Tidak usah berterima kasih seperti itu. Aku senang bisa membantumu," jawab Papa.
"Aku tidak bisa bayangkan bagaimana malunya kami jika putramu tidak menggantikan pengantin prianya."
***
Kamarku berantakan sekali. Aku memberesinya. Lalu mempersilahkan istriku masuk. Dia duduk di tepi ranjang. Aku duduk di sofa. Dia menangis. Aku terdiam tidak tau mau berbuat apa. Lama-lama aku kesal lihat dia menangis terus. Dia pikir aku juga senang dengan pernikahan dadakan ini. Aku juga korban. Aku tak tahan lagi.
"Hei..., siapa namamu? Hentikan tangisanmu! Bising tau...."
Bukannya diam malah tangisannya tambah kencang. Aku paling tidak bisa melihat wanita menangis. Kasihan bercampur kesal. Dia melihat ke arahku. Tatapannya itu. Akhh..., membuat emosiku melemah. Lalu aku duduk di dekatnya.
"Udah dong. Jangan nangis terus."
"Maafin aku bang."
"Udahlah. Gak perlu minta maaf gitu."
"Abang boleh ceraikan aku besok. Terima kasih sudah mau menyelamatkan nama baik Papaku."
Aku menarik napas dalam-dalam.
"Kita tidak mungkin bercerai besok. Apa kata orang-orang nanti. Lagian udah jelas orangtua kita tidak setuju."
"Jadi bagaimana bang?"
"Kita jalani aja selama beberapa bulan. Lepas tu baru kita bercerai."
"Tapi...."
"Tenang aja. Aku tidak akan menyentuhmu. Aku juga punya pacar. Sebenarnya kami akan segera menikah."
"Maafin aku bang."
"Ya sudahlah. Gak usah dibahas. Oh ya siapa nama kamu?"
"A'isyah Melati bang."
=====
Sepanjang perjalanan aku dan Melati diam saja. Kami langsung menemui pak Toha begitu sampai. Dia pun menyerahkan buku nikah itu.
"Pak bolehkah pasangan yang baru menikah bercerai?" tanya Melati.
Pertanyaan Melati membuat aku dan pak Toha terkejut.
"Kenapa kalian ingin bercerai?" pak Toha balik bertanya.
"Pernikahan ini bukan keinginan kami pak. Seperti yang bapak ketahui dari awal bukan bang Dira calon suami saya."
"Hmmm..., begini Melati, tidak semua keinginan kita itu baik untuk kita. Saya sangat terkejut ketika Orang tuamu membisikkan ke telinga saya calon mempelai pria kecelakaan. Saya katakan baik kita tunggu dulu kabar apakah pria tersebut masih hidup. Lalu Kakak kandungnya menelpon yang mengatakan calon suamimu sudah meninggal."
Pak Toha berhenti sejenak. Lalu melanjutkan kata-katanya.
"Orangtuamu panik. Yang hadir pada saat itu belum ada yang tau kecuali Ayahnya nak Dira. Lalu dia berbisik pada saya. Dia tanyakan bagaimana kalau Dira saja yang menggantikan mempelai pria agar tidak kacau. Saya katakan apakah anak bapak setuju. Dia bilang setuju. Saya masih ragu. Lalu Ayah nak Dira dan nak Melati berkata dari awal sebenarnya mereka berniat menjodohkan kalian. Tapi sebelum niat itu terlaksana, seorang pria baik datang melamar nak Melati. Jadi Ayahmu menyetujui lamaran itu dan batallah perjodohan kalian. Dan tidak disangka-sangka calon nak Melati meninggal pada saat ijab kabul akan dilaksanakan. Jadi ini semua skenario Alloh. Dia sudah atur semua. Kalian emang berjodoh dengan jalan seperti ini."
"Tapi pak, kami tidak bisa menjalaninya," sambung Melati. Aku diam saja. Malas berkomentar.
"Kenapa tidak bisa?"
"Sebelumnya kami tidak saling kenal."
"Kan bisa kenalan setelah menikah. Ayah kalian berteman baik. Perceraian itu halal tapi dibenci Alloh. Apalagi kalian ingin bercerai tanpa alasan yang bisa diterima. Kenapa tidak kalian jalani saja sebagai pasangan suami istri? Cobalah menerima takdir yang Alloh berikan. Yakinlah Alloh selalu memberi apa yang terbaik untuk kalian."
Melati terdiam. Aku mulai bosan.
"Ya sudah kami permisi dulu pak," aku menyela.
"Baiklah. Perbanyak shalat malam. Minta petunjuk dari Alloh," sambung pak Toha.
"Iya pak. Terima kasih sebelumnya," sahut Melati.
Kami keluar. Langsung menuju parkiran. Dan mobil yang kubawa meluncur.
"Hei Melati..., aku kan sudah bilang, kita tidak bisa bercerai sekarang. Bukan karna aku suka padamu. Tapi coba pikirkan kembali orangtua kita. Mereka pasti kecewa jika kita bercerai sekarang," kataku sambil mengemudi.
"Aku tidak siap jadi istri abang."
"Aku juga tidak siap tuk jadi suamimu. Kenapa kamu egois sekali. Kamu pikir aku senang dengan semua ini? Aku juga punya pacar yang kucintai. Aku sampai gak berani angkat telpon dia. Aku gak bisa bayangkan bagaimana sedihnya dia jika tau aku sudah menikah."
"Jadi bagaimana?"
"Ya kita jalani aja dulu. Aku tidak mau buat Orangtuaku bersedih dengan perceraian kita. Dan kita juga tidak punya alasan kan untuk bercerai? Asal kau tau aku sudah janji besok akan melamar Mira, pacarku."
"Aku sudah jadi penghalang kebahagiaan abang."
"Makanya setidaknya kau jangan buat Orangtuaku bersedih. Kenapa kau tidak menghargai pengorbananku?"
Melati terdiam. Matanya berkaca-kaca. Aku benci ini. Aku paling tidak bisa melihat wanita menangis.
"Kita jalani aja dulu sampai 6 bulan. Bagaimana?"
"Baiklah bang. Tapi...."
"Aku tidak akan menyentuhmu." Aku memotong ucapan Melati. Aku tau arah pembicaraannya. "Satu lagi, aku tidak bisa meninggalkan Mira. Jadi aku tetap akan menemuinya."
"Itu tidak masalah bang."
"Bagaimana kalo kita pindah rumah saja?"
"Kenapa harus pindah rumah?"
"Emangnya kau mau tidur satu ranjang denganku? Kalo kita lain rumah dengan Papa dan Mama, kan bisa lain kamar."
"Iya juga. Aku tak jamin pria bisa menahan napsunya jika tidur berduaan dengan wanita."
"Kau....."
Aku kesal dengan ucapan Melati. Emang kuakui dia cantik. Tapi aku bukan type lelaki yang mau tidur dengan wanita yang tidak kucintai. Emang dia pikir aku lelaki murahan?
***
"Apa...? Bulan madu?" aku dan Melati serentak bertanya ketika Mama menyuruh kami berbulan madu ke Bali.
"Loh..., kenapa? Kalian kan sudah menikah jadi supaya hubungan kalian semakin dekat, kalian harus berbulan madu. Mama sudah siapkan semua," jawab Mama.
"Tapi Ma...?" aku protes.
"Gak ada tapi-tapian."
"Kapan Ma?" tanyaku kembali.
"Besok."
"Ya udah. Terserah Mama saja. Oh ya Ma, Dira dan Melati ingin pindah rumah."
"Kenapa?"
"Ya... supaya... supaya kami bisa berduaan terus. Iya kan Mel?" aku melirik ke arah Melati. Berharap dia juga meyakinkan Mama dengan keputusan kami.
"I... i... iya Ma," jawabnya gugup. "Kami kan butuh pendekatan Ma supaya kami saling mengenal lebih dalam."
"Biarkan saja Ma supaya mereka lebih leluasa saling mengenal," Papa menyela. Dia setuju dengan keputusan kami.
***
Aku dan Melati berangkat ke Bali untuk berbulan madu. Walaupun aku tidak menginginkannya. Kami menginap di Hotel Candi Beach Resort and Spa di kamar Ocean View Suite. Dari balkon bisa melihat pemandangan laut Bali yang jernih. Romantis sekali untuk pasangan yang sedang berbulan madu. Tapi tidak menurutku. Semua ini Mama yang atur. Kalau saja aku bulan madunya denga Mira pasti sangat menyenangkan.
"Apa sebelumnya kau sudah pernah ke Bali?" tanyaku pada Melati ketika sudah sampai di kamar.
"Belum bang. Aku tidak pernah pergi kemana-mana."
"Oh ya?"
"Iya. Tempat tidurnya cuma satu. Gimana dong?"
"Ya udah. Kita tidur di situ."
"Berdua?"
"Ya iyalah. Kita kan suami istri."
"Tapi...."
Wajah Melati berubah. Terlihat tidak senang. Aku tersenyum melihatnya.
"Aku hanya becanda. Kau tidur saja di tempat tidur itu biar aku tidur di sofa," jawabku.
"Aku aja yang tidur di sofa. Abang tidur di tempat tidur."
"Lelaki jadi harus ngalah sama perempuan."
Aku keluar meninggalkan Melati. Aku berniat ingin menemui temanku di sini. Aku kembali masuk ke dalam kamar ingin ganti baju lalu pergi.
Aku melihat Melati menangis. Aku kasihan padanya. Jadi tidak tega meninggalkannya sendiri di dalam kamar.
"Jalan-jalan yuk!" ajakku.
"Kemana?" tanya Melati sambil menyeka air matanya.
"Kemana aja yang penting menyenangkan. Masak kau udah jauh-jauh datang ke Bali cuma bengong aja di kamar. Yang ada kau nanti malah tambah sedih. Ntar bunuh diri pula. Aku yang repot."
Melati kesal mendengar ucapanku. Tapi dia tetap mengikut kemana aku pergi. Kami jalan-jalan ke pantai. Lalu duduk di sebuah bangku.
"Kenapa kau menangis tadi?" tanyaku.
"Aku teringat Ridho, calon suamiku. Dia berjanji kalo kami sudah menikah bulan madunya ke Bali. Tapi...."
Melati terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Dan mewek lagi dah. Kenapa sih dia gampang kali nangis? Aku menghapus-hapus pundak Melati. Dan menyandarkan kepalanya di pundakku.
Selama di Bali, Mira terus menelpon tapi tidak ku angkat. Aku bingung mau jawab apa jika dia menanyakan aku ada dimana.
Pulang dari Bali, aku dan Melati langsung menempati rumah baru. Kami tidur di kamar yang berbeda.
Aku bangun tidur pukul 06.00 dan langsung mandi. Selesai mandi dan berpakaian, aku menuju dapur. Kulihat Melati duduk termenung di meja makan. Kulihat makanan sudah terhidang.
"Cepat sekali kau bangun," kataku padanya.
"Aku udah terbiasa bangun cepat. Tadi aku ingin bangunkan abang tapi gak jadi."
"Kenapa?"
"Hmmmm.... Abang mau makan?"
"Aku udah terlambat nih, gak sempat."
"Oh...."
"Aku pergi."
Sepeninggalku, Melati sarapan sendiri. Setelah itu dia membersihkan rumah.
Sampai di kantor, aku menelpon Mira tapi tidak di angkat. Lalu kucoba lagi dan lagi tapi tidak pernah diangkat. Perasaan jadi tidak enak. Jadi tidak konsentrasi bekerja. Aku menemui sekretarisku.
"Rani..., saya mau keluar," kataku.
"Tapi bapak ada meeting hari ini," sahut Rani.
"Batalin aja. Aku lagi ada urusan"
Aku langsung menuju Restaurant Mira. Sampai di sana, aku langsung menuju ruangannya.
"Hai sayang..., sapaku pada Mira. Aku ingin memeluknya tapi dia menghindar.
"Jangan sentuh aku," balas Mira dengan tatapan penuh amarah.
"Kamu kenapa sayang?" tanyaku heran.
"Kok malah nanya kenapa."
Jangan-jangan Mira sudah tau aku menikah. Tapi darimana dia tau. Tidak ada yang tau kalau aku sudah menikah.
"Sayang, tenang dulu ya. Kita perlu bicara."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan. Keluar sebelum aku menyuruh scurity menyeretmu dari sini."
"Oke aku keluar. Besok aku datang lagi buat jelasin semua."
Aku meninggalkan Mira dan segera pulang ke rumah.
Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan berbaring di atas ranjang. "Pasti Mira sudah tau kalau aku menikah," aku bicara sendiri. Aku mandi. Selesai mandi, perutku terasa lapar. Aku segera menuju meja makan. Tidak ada makanan di sana. Aku menemui Melati yang sedang menonton.
"Kau gak masak?" tanyaku.
"Nggak. Emangnya abang belum makan ya?"
"Belum."
"Tapi makanan tadi pagi masih ada. Gimana kalo abang makan itu saja?"
"Apa? Yang benar aja dong."
"Aku kira abang pulang sore makanya aku gak masak. Kan gak apa-apa abang makan makanan tadi pagi. Masih bagus kok. Sebentar ya aku ambilkan."
Melati menuju dapur. Aku mengikutinya. Lalu aku duduk. Melati menghidangkan makanan di meja. Nasi goreng.
"Nah..., silahkan makan bang," Melati mempersilahkan.
Aku tidak selera tapi karena perutku sudah lapar, terpaksa kumakan juga. Aku menyuap satu sendok dan..., aku membuangnya dari mulutku.
"Makanan apa sich ini?" tanyaku.
"Masak abang gak tau ini nasi goreng," jawab Melati.
"Aku tau ini nasi goreng tapi rasanya aneh. Lagian mana ada orang makan siang pakai nasi goreng."
"Ya apa salahnya."
"Sebenarnya kau pandai masak atau nggak?" aku kesal melihatnya.
"Ya pandai. Baru belajar kemarin."
"Apa? Kemarin? Pantas rasanya aneh."
"Jujur sebenarnya aku gak pernah masak."
"Jadi kenapa kau bilang pandai masak waktu Mama tanya?"
"Kalau aku bilang gak pandai, Mama gak akan ngijinin kita pindah rumah."
"Dasar.... Aku kira wanita berpenampilan seperti kau tau segalanya."
"Emangnya harus, orang pandai berhijab? Aku berhijab karena ini perintah dari Alloh. Pandai atau tidak memasak tetap wajib pakai hijab. Tidak ada hubungannya antara hijab dengan masak. Hanya karna aku tak pandai masak, abang jadi mempersoalkan penampilanku," Melati marah.
Dia berlari sambil masuk ke kamarnya. Nangis lagi dia. Aku salah bicara lagi. Padahal tadi bukan itu maksutku. Aku jadi merasa bersalah walaupun sebenarnya kesal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel