Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 22 Maret 2020

Pernikahan Melati Dan Dira #3

Cerita bersambung


Aku masuk ke dalam mobil dan bersiap menjalankannya tapi tidak jadi karena Melati menangis. Aku memperhatikan dia menangis.
"Kenapa nangis?" tanyaku.
"Lihat nih tanganku merah," jawab Melati.
"Gitu aja udah nangis. Ntar juga hilang."
"Sakit tau...."
"Dasar cengeng."
"Dasar menyebalkan. Sakit sekali," jawabnya.
Tangis Melati semakin kuat. Aku jadi merasa bersalah. Emosiku langsung hilang.
"Coba lihat!" pintaku.

Aku ingin meraih tangan Melati tapi dia menepisnya. Segera saja kujalankan mobil dan meluncur di jalanan. Mobil kami berhenti di depan sebuah klinik milik Dafa temannya Mira.
"Ayo turun!" perintahku.
"Untuk apa?" tanyanya.
"Ya ngobatin tangan kamulah. Katanya sakit."
Aku keluar dan membukakan pintu untuk Melati. Lalu dia mengikuti langkahku masuk.
"Dafa ada?" tanyaku pada salah satu perawat.
"Di ruangan pak. Lagi ada pasien di dalam. Bapak menunggu saja." sahut perawat tersebut.
Aku tidak memperdulikan ucapan perawat itu. Kami langsung menuju ruangan Dafa.
Kulihat Dafa lagi memeriksa seorang pasien. Melihat kedatanganku dan Melati, dia menghentikan kegiatannya.
"Ada apa Dir?" tanyanya.
"Tu..., tangan Melati sakit. Tolong obati!" jawabku ketus. Aku tidak pernah suka dengan Dafa karena aku tau dia mencintai Mira.
"Sebentar ya, aku selesaikan dulu pemeriksaanku," jawabnya, "duduk dulu Dir, mbak Melati."
Dafa kembali memeriksa pasiennya. Lalu memberikan penjelasan dan arahan. Setelah itu dia memberikan resep obat. Lalu pasiennya pun keluar.
"Coba saya lihat dulu tangannya mbak Melati," kata Dafa.

Melati mengulurkan tangannya yang sakit.
"Maaf ya mbak. Saya lihat dulu," sambung Dafa lalu memegang tangan Melati, "ini kenapa mbak?"
"Gara-gara dia," jawab Melati sambil menunjuk aku, "dia tarik dan cengram kuat sekali."
Dafa melihat ke arahku. Aku memalingkan wajah ke arah lain. Pura-pura tidak dengar.
"Bagaimana pak dokter?" tanya Melati.
"Ini tidak apa-apa kok mbak. Hanya lecet sedikit. Dikasih anti septik ntar juga baik."
"Kan sudah aku bilang nggak apa-apa. Kau aja yang cengeng," sahutku.
Dafa memberi beberapa obat pada Melati.
"Mel..., kau keluar duluan. Ada yang mau aku bicarakan dengan Dafa,"
"Jangan lama!" sahut Melati sambil keluar.
"Istrimu cantik Dir. Kamu beruntung dapat istri secantik dia," kata Dafa.
"Beruntung apanya? Oh ya apa Mira sudah cerita padamu soal pernikahanku?"
"Sudah. Dia bilang kau menikahi Melati karena calon suaminya meninggal ketika ijab kabul akan dilaksanakan."
"Baguslah kalo kau sudah tau. Jadi kau jangan coba-coba rayu Mira karena aku akan segera bercerai."
"Dir..., kamu kan tau aku dan Mira cuma sahabat. Sahabat dari kecil."
"Aku juga tahu kalo kau mencintai Mira."
"Bagiku kebahagiaan Mira adalah segalanya."
"Ya bagus kalo gitu. Udah ya..., aku permisi."
Aku dan Melati meninggalkan klinik Dafa. Sampai di rumah, Melati langsung membersihkan rumah. Dia paling gak tahan melihat rumah berantakan.
"Hei Melati, kau setiap hari membersihkan rumah tapi kamarku gak pernah kau sapu."
"Loh..., itukan kamar abang jadi abanglah yang bersihkan," jawabnya enteng.
"Itukan pekerjaanmu."
"Waktu itu abang yang bilang kita tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing."
"Apa hubungannya dengan membersihkan kamar?" tanyaku heran.
"Kamar itukan tempat pribadi abang berarti aku dilarang masuk."
"Jangan banyak alasan. Mulai sekarang kau harus membersihkannya."
"Kalo sempat."
"Ya jelas sempatlah. Kau kan gak punya kerja."
"Iya...iya."
Hari sudah malam. Sepertinya akan turun hujan. Aku hendak mematikan televisi karena khawatir akan ada petir.
Duaarrr....
Benar dugaanku. Petir berbunyi. Kulihat Melati berlari ke arahku dan langsung memelukku yang sedang berdiri.
"Ada apa?" tanyaku heran.
"Aku takut sekali bang. Petirnya kuat. Cepat matikan TV nya!"
"Iya tapi lepaskan dulu pelukanmu supaya aku bisa matikan TV."
Melati melepas pelukannya. Kulihat wajahnya memerah. Dia duduk di sofa. Aku mematikan TV dan duduk di dekat Melati.
"Jadi kau takut suara petir?" tanyaku.
Dia mengangguk. Aku tersenyum. Galak tapi kok takut sama suara petir. Tiba-tiba muncul dipikiranku untuk mengerjai Melati.
"Aku ngantuk. Mau tidur dulu," kataku.
"Jangan tidur dulu. Abang sini aja."
"Kalo mau ikut ke kamarku, boleh... Kita tidur bersama." Aku tersenyum. Aku yakin Melati pasti kesal.
Aku berjalan menuju kamar. Dengan ragu Melati mengikutiku dari belakang.
Duaarrr....
Suara petir terdengar kembali. Kuat sekali. Melati berlari ke arahku. Melihat dia berlari mendekat aku pun berlari menjauh darinya. Dia tampak ketakutan dan pucat. Dan...,
Braakkk.
Melati terjatuh. Dia menagis. Aku berlari mendekat dan mengangkatnya ke sofa.
"Udah jangan nangis. Aku hanya becanda," bujukku.
"Kenapa abang jahat kali padaku. Senang ya buat orang menangis?" tanyanya sambil terus menangis.
"Ya maaf deh. Udah jangan nangis lagi."
"Aku benci abang... benci... benci."
Dia memukuli dadaku pelan. Suara petir terdengar sahut-sahutan. Gerimis mulai turun. Melati memelukku. Hujan turun dengan derasnya. Cuaca bertambah dingin. Aku balas pelukan Melati. Aku merasa nyaman dengan pelukan hangatnya.
"Aku takut bang," katanya.
"Kan ada aku. Tenang saja."
Aku mengelus-elus kepalanya agar dia tenang. Lama seperti ini. Kulihat Melati sudah tertidur dalam pelukanku.
Dua jam sudah duduk sambil berpelukan seperti ini. Hujan sudah reda dan petir tidak terdengar lagi. Aku menepuk-nepuk bahu Melati agar dia terjaga. Tapi dia tidak terbangun. Tidurnya pulas sekali. Aku jadi tidak tega membangunkannya. Rasa kantuk mulai menyerangku. Aku pun tertidur.
Adzan subuh berkumandang. Aku terbangun karena Melati mendorong tubuhku agar terlepas. Aku heran kenapa kami bisa tidur berbaring di sofa sambil berpelukan.
"Kok aku tidur di sini? Abang kesempatan ya?" tanya Melati.
"Enak aja. Yang duluan peluk itu kau."
"Iya tapi kenapa abang gak lepasin pas aku sudah tertidur?"
"Aku sudah bangunin tapi kau tidur pulas sekali. Aku gak bisa melepas pelukanmu."
"Alasan...."
"Gak tau berterima kasih. Masih baik aku mau nemenin. Kalo gak kau bisa pingsan karena ketakutan." Aku mulai kesal.
"Jangan-jangan tadi malam abang ngambil kesempatan waktu aku tidur. Ayo ngaku..., apa yang abang lakukan waktu aku tidur?"
"Heiii Melati.... Kau itu bukan tipe cewek yang kusuka. Kalo aku mau, kau udah dari dulu aku perkosa. Kau itu selalu lupa ngunci pintu kamar kalo mau tidur. Kau gak akan mampu melawan kalo aku paksa. Kita itu sah pasangan suami istri jadi gak masalah kalo aku memperkosamu. Dasar wanita gak tahu terima kasih. Selalu bikin kesal." sahutku dengan nada tinggi. Aku begitu emosi.
Aku mandi dan bergegas berangkat kerja tanpa sarapan dulu. Aku malas bertemu dengan Melati.
***

Aku heran melihat Melati dan Adam berdiri berjauhan tepat di depan pintu ruanganku. Aku mendekat.
"Ngapain kalian di sini? tanyaku.
"Eh..., abang. Tadi aku gak lihat abang di dalam, aku keluar dan bang Adam datang. Nih..., aku bawain Soto Medan."
"Apa..., soto Medan? Dari mana kau tahu aku suka soto Medan?" tanyaku.
"Dari mama Rani. Tadi aku ke sana dan temenin Mama pergi ke pameran lukisan."
"Aku sudah makan siang."
"Oh ya? Trus gimana dong sotonya?"
"Buat aku aja," seru Adam.
Adam ingin meraihnya dari tangan Melati. Dengan cepat aku menghalanginya dan langsung mengambil soto itu dari tangan Melati. Aku menarik tangannya masuk ke ruanganku.
"Abang suka kali narik-narik tanganku. Sakit...." seru Melati.
"Kenapa kau datang ke mari?" tanyaku.
"Ya buat ngantarin soto lah."
"Tumben."
"Kan gak apa-apa. Sesekali."
"Pasti ada sesuatu."
"Sesuatu apa sih? Dasar aneh. Kalo gak mau ya sudah.... Aku kasih bang Adam aja."
"Enak aja."
Aku membuka bungkusan yang dibawa Melati dan memakannya dengan lahap.
"Katanya udah makan tapi kok lahap?" tanya Melati.
"Sebenarnya aku belum makan."
"Jadi kenapa tadi bilang udah makan?"
"Supaya kau marah."
"Apa???"
Aku tertawa melihat wajah kesal Melati. Aku suka bikin dia marah. Lucu.... Sekretarisku datang. Wajahnya kelihatan pucat.
"15 menit lagi bapak ada meeting dengan klien di Restaurant Mira Food," katanya.
"Ya sudah persiapkan semuanya."
"Maaf pak..., perut saya sakit sekali."
"Udah minum obat?" tanyaku khawatir.
"Udah tapi sakitnya belum hilang."
"Ya sudah, kau istirahat saja biar saya sendiri ke sana."
"Pak..., bagaimana kalo bapak ditemani bu Melati saja?" tanyanya.
"Apa...? Dia...?" aku menunjuk Melati, "tu gak mungkin."
"Kenapa gak mungkin, pak? Semua udah siap kok. Saya terangkan sedikit pasti bu Melati bisa," jawab Merry sekretarisku.
"Dia gak akan bisa."
"Aduhhh.... Maaf pak saya permisi dulu ke kamar mandi."
Mery setengah berlari pergi meninggalkan kami menuju kamar mandi.
"Aku kuliah jurusan sekretaris dulu," kata Melati.
"Tapi aku gak yakin kau bisa. Masak aja gak bisa."
"Gak ada hubungannya jadi sekretaris sama masak?"
"Jelas ada dong. Untuk hal gampang seperti masak aja kau gak bisa apalagi jadi sekretaris."
Tidak berapa lama, Mery datang.
"Mer..., mana file yang harus kuperlihatkan nanti?" tanya Melati pada Mery.
Mery menjelaskan beberapa hal yang diperlukan untuk bahan meeting. Setelah Melati paham, dia pun pamit pulang.
"Kau yakin Mel mau menggantikan Mery?" tanyaku ragu.
"Kenapa nggak? Aku mau buktikan kalo aku bukan gadis bodoh seperti yang abang bilang."
"Oh ya?" Aku tersenyum.
"Jangan senyum-senyum gitu. Jelek...."
Aku dan Melati berangkat menuju tempat pertemuan. Sampai di sana, kami langsung duduk di tempat yang sudah dipesan Mery sebelumnya. Klien datang dan kami langsung berdiskusi. Satu jam selesai. Hasilnya memuaskan. Terlihat raut wajah klien puas. Mereka manggut-manggut.
"Oke pak Dira, kami permisi dulu. Mengenai kontrak kerja, nanti kita bicarakan," sahut klienku, "ini sekretaris baru Bapak ya?"
"Bukan. Ini... ini... hmmm... dia istri saya pak," jawabku ragu.
"Loh..., kok saya gak tau bapak menikah? Kita kan sudah lama saling kenal."
"Mendadak pak."
"Aku tetap ucapkan selamat untuk pernikahannya walau pun sudah terlambat."
"Terima kasih pak."
"Istri Bapak cantik sekali. Kami permisi pak?"
Mereka pun pergi.

"Cantik.... Cantik apanya." gumamku. Aku bicara sendiri.
"Jadi dia bilang aku cantik ya?" tanya Melati, "sudah kuduga."
Ternyata Melati mendengar gumamanku. Aku menatap ke arahnya. Dia membenahi jilbabnya yang tidak salah. Aku jadi gemas melihat tingkahnya.
"Huhh..., pasti kepalamu jadi besar dibilang cantik. Dia tu buta makanya gak bisa bedakan mana wanita cantik dan mana wanita jelek sepertimu."
"Abang tu yang buta," balasnya.

=====

Ada saja hal-hal yang membuat aku dan Melati bertengkar. Rasanya tiada hari tanpa bertengkar dengannya.
Selesai meeting dengan klien, Mira menghampiri kami.
"Hai..., Dir. Udah siap meetingnya?" tanyanya.
"Sudah Mir."
"Ke ruangan aku yuk! Aku kangen. Akhir-akhir ini kau jarang mampir ke sini."
"Melati...." aku memanggil Melati, "kau pulang aja duluan. Aku ada perlu dengan Mira."
"Mel..., maaf ya? Dira ikut aku. Gak apa-apa kan?" tanya Mira.
"Gak apa-apa kok. Baiklah kalo gitu. Aku permisi." balas Melati.
Dia meninggalkan aku dan Mira. Lalu kami masuk ke ruang kerja Mira.
"Tahu gak Dir? Aku tu cemburu kalo aku ingat kamu satu rumah dengan Melati. Kalian pasti tiap saat ketemu. Bangun tidur ketemu, sarapan bersama," kata Mira.
"Udah dong sayang..., jangan diingat terus soal itu."
"Gak bisa Dir. Aku kepikiran terus."
"Jadi aku harus gimana?" tanyaku, "sayang..., aku hanya mencintamu."
Aku meraih tangan Mira lalu mengecupnya.
"Aku takut Dir."
"Takut kenapa?"
"Suatu saat kamu tu jatuh cinta sama Melati. Bukankah cinta itu bisa tumbuh karena sering bersama?"
"Hmmm..., jangan mikir macem-macem. Oke...? Aku akan berusaha supaya jarang ketemu dengan Melati."
"Emang bisa?"
"Bisa dong. Aku pulang disaat Melati sudah tidur dan pergi pagi sekali supaya kami gak ketemu."
"Baiklah."
"Senyum dong! Biar kelihatan cantiknya."
Mira tersenyum.
"Makan yuk! Lapar nih," ajakku.
"Ayo."
***

Aku pulang ke rumah larut malam. Kulihat lampu kamar Melati sudah mati. Dia pasti sudah tidur.
Dan pagi sekali aku sudah berangkat ke kantor tanpa permisi padanya. Mobil meluncur menuju Restaurant Mira Food. Restaurat itu belum buka. Ku lihat ada beberapa office boy sedang melakukan pekerjaannya. Aku ambil duduk di pojokan. Doni, salah satu office boy menyapa.
"Kok pagi sekali pak? Belum buka loh," tanyanya. Dia mengenalku karena sering datang ke mari.
"Gak apa-apa. Mau nunggu Mira."
"Mau saya buatkan teh atau kopi pak?" tanyanya lagi.
"Boleh. Teh aja ya Don!"
Dia mengangguk lalu pergi ke dapur. Tidak berapa lama dia datang membawakan secangkir teh. Bersamaan dengan itu Mira datang.
"Dira..., kok pagi sekali sudah datang?" tanyanya heran.
"Kan aku sudah janji tuk menghindari bertemu dengan Melati.
"Kamu serius?" tanyanya lagi.
"Emang aku pernah main-main dengan ucapanku?" tanyaku balik.
"Udah sarapan?"
"Belum."
"Ya udah. Aku bikinin ya?"
"Boleh. Makasih ya sayang...."

Setelah sarapan, aku berangkat ke kantor. Malamnya aku pulang larut malam setelah yakin Melati sudah tidur. Aku terus menghindari Melati. Walau aku tidak yakin dengan ucapan Mira bahwa cinta bisa tumbuh karena sering bertemu.
Terkadang muncul keinginan untuk menyapa Melati tapi aku tahan. Biarlah kami tidak pernah bertemu. Bahkan hari Minggu pun aku berangkat ke kantor. Aku melihat Melati menatapku. Mungkin dia heran lihat aku pakai pakaian kerja di hari minggu. Langkahku terhenti karena Melati memanggil.
"Kan minggu bang kok ke kantor?" tanyanya.
"Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan."
"Abang pulang jam berapa?"
"Belum tahu."
"Bang..., cepat pulang ya!"
Aku menatapnya. Heran kenapa dia menyuruh cepat pulang. Sudah seminggu aku menghindar terus darinya tapi sepertinya dia gak peduli.
"Mama dan Papa mau datang ke sini bang. Aku gak mau mereka bertanya kenapa hari minggu pun abang gak di rumah. Takut mereka curiga." sambung Melati.
Aku terdiam dan menatap manik matanya. Aku tak bisa mengartikan tatapan itu. Ingin rasanya ku bilang tidak tapi...
"Jam berapa mereka datang?" tanyaku.
"Mama gak bilang jam berapa. Nanti aku telpon kalo mereka sudah sampai."
"Baiklah."
Aku berjalan keluar. Setelah sampai di depan mobil, aku berubah pikiran. Ntah kenapa rasanya aku ingin di rumah saja. Tapi aku ingat janjiku pada Mira agar menghindar dari Melati.
Aku buka pintu mobil dan... kembali menutupnya. Aku masuk ke rumah menuju kamar.
Aku berganti pakaian. Tiba-tiba pintu terbuka disaat aku belum sempat memakai celana. Melati hinteris melihat aku hanya memakai celana dalam.
"Ngapain masuk ke kamarku?" tanyaku pada Melati sambil memakai celana. Aku yakin dia masih di depan pintu.
"Aku mau membersihkan kamar Abang. Kok Abang gak jadi pergi?"
"Tiba-tiba aja malas."
Aku keluar dari kamar diam-diam. Dan...
"Duarrr..., aku menjerit tepat di dekat telinga Melati.
Dia kaget dan menjerit. Aku tertawa.
"Kangen..., pengen buat kau marah," kataku
"Huhhh..., dasar."
Senang rasanya melihat Melati cemberut. Padahal aku sudah berusaha untuk tidak membuat Melati marah tapi ntah kenapa begitu melihatnya, langsung muncul ide jahilku. Terdengar bel berbunyi. Melati membuka pintu. Yang datang Mama Wina. Mereka berpelukan. Aku pun mendekat dan menyalam Mama Wina. Lalu kami masuk dan duduk di kursi.
"Kok sendiri Ma? Papa mana?" tanya Melati pada Mamanya.
"Mendadak ada urusan ke luar kota," jawab Mama.
"Mama sudah makan?" tanyaku, "bagaimana kalo kita makan di luar aja Ma?"
"Gak usah Dira. Mama pandai masak kok. Mama masakin makanan kesukaanmu. Kau suka apa?"
"Dira suka makan soto Medan Ma?" seruku.
"Nanti Mama masakin."
"Tapi kok Melati gak pandai masak Ma? Pasti dia malas iya kan, Ma?"
Mama tersenyum lalu berkata, "Melati emang tidak pernah belajar masak. Kami yang memanjakannya."
Kulihat rona wajah Melati berubah. Mungkin dia malu. Tapi ntahlah.
"Dir..., kamu pasti kecewa karna Melati gak pandai masak," sambung Mama.
"Mama kok ngomong gitu sih? Dira sudah menikahi Melati berarti harus nerima semua kekurangannya," jawabku.
Aku berbohong soal perasaanku pada Mama. Terkadang kita terpaksa berbohong untuk menyenangkan orang lain. Padahal jika sampai mereka tau apa yang sebenarnya terjadi, pasti rasanya dua kali lebih sakit daripada tahu di awal.
Malamnya terpaksa Melati tidur di kamarku dan kamarnya ditempati Mama. Aku tidur di ranjang dan Melati tidur di sofa. Kuperhatikan Melati, sepertinya dia tidak bisa tidur. Aku mendekat ke arahnya.
"Kenapa belum tidur?" tanyaku.
"Eh..., abang juga belum tidur."
"Udah tidur tadi tapi terbangun. Apa karna tidur di sofa makanya kau gak bisa tidur?" tanyaku.
"Nggak kok bang. Bukan karna itu."
"Lalu...?"
"Tiba-tiba aja aku ingat Ridho."
"Hmmmm..."
Aku ikut sedih melihat Melati tapi gak tau mau berbuat apa. Ternyata dia belum bisa melupakan calon suaminya yang sudah meninggal.
"Kau tidur di tempat tidurku aja biar aku di sofa!" tawarku.
"Gak apa-apa kok aku tidur di sini."
Aku menarik tangan Melati dan membawanya ke tempat tidur. Dia berbaring sambil terus menatapku. Aku menyelimutinya.
"Bang... terima kasih...."
"Terima kasih untuk apa?" tanyaku
"Karna abang sudah baik pada Mamaku. Dia terlihat bahagia sekali."
Aku duduk di sisi tempat tidur. Melati menggeser tubuhnya agar aku punya tempat duduk.
"Aku suka Mama. Dia manis gak kayak kamu," balasku.
"Hmmm...."
Melati cemberut.
"Aku gak bisa bayangkan gimana kecewanya Mama kalo kita bercerai nanti," sambungnya.
"Mamaku juga pasti kecewa." Aku menarik napas. "Dia juga menyukaimu."
Entah kekuatan apa yang menggerakkan tanganku menyentuh rambut Melati. Dia juga tidak berontak. Aku membelai rambutnya. Melihat Melati dengan jarak yang begitu dekat, membuatku tidak bisa berpaling untuk tetap menatapnya. Dia cantik sekali. Serrr..., aku merasakan debaran jantungku kian cepat. Ingin rasanya aku cium bibirnya yang merah itu. Aku yakin bibir itu belum pernah ada yang menjamahnya. Akh... andai saja pernikahan kami berjalan normal aku pasti sudah melampiaskan hasratku padanya.
Melati sudah tidur. Aku ingin berdiri tapi tidak jadi karena dia memeluk pinggangku. Dia kelihatan nyenyak. Tanganku gemetar menyentuh pipinya. Halus sekali. Perlahan ku dekatkan wajahku ke wajahnya. Tiba-tiba saja bayangan wajah Mira muncul dibenakku. Aku mengurungkan niatku untuk mengecup bibir Melati. Lalu beranjak dari sisinya dan merebahkan tubuh di sofa.
***

Aku sudah selesai berpakaian kerja dan segera menuju dapur. Kulihat Mama dan Melati sudah menunggu di meja makan.
"Sarapan dulu Dir...," ajak Mama.
"Iya Ma."
"Kenapa barang-barang Melati ada di kamar yang Mama tempati?"
Aku kaget. Melati melihat ke arahku. Bingung mau bilang apa.
"Gini Ma...," Melati gugup.
"Jadi kamu belum pindahin lagi barang-barangmu ke kamar Mel?" tanyaku pura-pura.
"Apa...? Oh iya.... Aku lupa," jawabnya.
"Ada apa ini?" tanya Mama heran.
"Ma..., kemaren itu Melati marah padaku lalu dia angkat semua barangnya ke kamar itu dan dia tidur di sana." Aku berbohong.
"Iya Ma. Melati lupa mindahinnya lagi."
"Pertengkaran itu biasa terjadi dalam rumah tangga. Apalagi pernikahan kalian tidak direncanakan. Mama ngerti kalian butuh waktu untuk saling memahami dan mengerti. Lain kali kalo selisih paham jangan pakai pisah kamar!" seru Mama.
"Iya Ma," aku dan Melati menjawab serentak.
"Oh ya Ma, Dira berangkat kerja dulu," pamitku.
"Hati-hati di jalan."
Aku menyalam Mama lalu hendak pergi tapi dihalangi Mama.
"Kok kamu gak salam tangan suamimu Mel?" tanya Mama.
Aku dan Melati saling tatap.
"Iya Ma... biasanya di pintu nyalamnya."Melati berbohong.
Mama dan Melati mengantarku ke depan pintu. Dia menyalam dan mencium tanganku. Spontan aku mencium keningnya. Dia kaget lalu menginjak kakiku.
"Auuu...." Aku menjerit kesakitan.
"Ada apa?" tanya Mama.
"Maaf bang..., gak sengaja."
"Kamu ada-ada saja Mel. Ya sudah Mama mau ke dapur," pamit Mama.
Mama pergi meninggalkan kami.
"Kau pasti sengaja kan?" tanyaku kesal.
"Ngapain tadi pake cium-cium kening segala?"
"Supaya Mama gak curiga."
"Salam saja udah cukup."
Melati menghapus-hapus keningnya. Aku semakin kesal melihat tingkahnya.
"Kau pikir aku suka? Amit... amit."
Melati mendengus. Tiba-tiba aku dapat ide tuk buat Melati marah.
"Kamu tau apa yang kulakukan tadi malam pas kau tidur?" tanyaku.
"Apa?"
"Aku cium seluruh tubuhmu. Dan.... Akhh..., ternyata tubuhmu mulus sekali. Lembut dan...."
Belum sempat aku selesai bicara Melati menjerit, "Tidaaaakkkk...."
Aku terkejut. Mama datang.
"Ada apa?" tanya Mama.
"Gak apa-apa Ma. Cuma ada kecoak. Melati takut," jawabku.
Mama pergi lagi. Aku tertawa melihat Melati cemberut.
"Bye... bye... istriku yang cantik. Nanti malam kita tidur sama lagi ya? Hangat...," kataku sambil mengerlingkan mata.
Melati ingin menjerit lagi tapi belum sempat aku sudah lebih dulu menutup mulutnya. Melati terjatuh tapi aku langsung menangkapnya.
"Suaramu kayak kuntilanak," sahutku.
"Dasar genit."
"Apa?"
"Otak mesum."
"Heiiii..., kau pikir ucapanku sungguhan? Berapa kali aku katakan aku gak tertarik padamu."
"Jadi yang abang bilang tadi?"
"Supaya kau kesal aja."
Aku tertawa lalu pergi. Masih sempat kulihat Melati menggerutu.

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER