"Melati..., kamu ngapain? Masih marah ya?" tanyaku dari luar.
"Udah tau nanya," jawabnya.
"Iya deh. Aku minta maaf. Lagian kau sich gak mau jujur. Kalo emang gak pandai masak bilang aja. Aku kan bisa ngajari kamu."
Kepala Melati nongol dari balik pintu.
"Emang abang pandai masak?" tanyanya.
"Ya pandai. Aku kan dah biasa hidup mandiri. Bagaimana kalau kita makan malam di luar?"
"Hmmmm..., gimana ya?"
"Sebagai permintaan maafku."
"Boleh. Kalo gitu aku ganti pakaian dulu."
"Jangan lama! Aku tunggu di bawah."
Restaurant yang kami kunjungi lumayan ramai.
"Apa pacar abang sudah tau soal pernikahan kita?" tanya Melati.
"Sepertinya sudah. Bukan aku yang ngasih tau. Mungkin Mama."
"Dia marah?"
"Iya. Dia gak mau bertemu denganku."
"Gimana kalo aku yang jelaskan semuanya?"
"Gak usah. Ini urusanku. Biar aku yang nyelesaikan sendiri."
"Tapi kan semua gara-gara aku."
"Ntar juga baikan lagi kalo dia sudah tau semua."
"Gimana kalo dia gak percaya sama abang terus nyari pacar baru?"
Aku jadi kesal lihat Melati nyerocos aja dari tadi.
"Kalo kau merasa bersalah lebih baik kau diam aja. Gak usah ikut campur. Itu udah cukup."
"Ya sudah kalo gak mau dibantu. Gitu aja marah."
Akh..., dia benar-benar menyebalkan. Mimpi apa aku bisa menikah dengan wanita seperti dia.
Aku terkejut melihat kedatangan Mira dan Dafa. Mira hendak pergi melihat aku dan Melati ada di sini. Aku segera menghampirinya.
"Kita pindah aja Daf!" ajak Mira pada Dafa.
"Tunggu Mir. Kamu jangan pergi." Aku menarik tangan Mira.
"Mau apa lagi kamu?" tanyanya sinis.
"Kita harus bicara biar jangan ada kesalah pahaman."
"Kamu mau jelaskan kalo kamu sudah menikah secara diam-diam. Gitu...? Jadi itu istri kamu? Cantik.... Ayo Daf kita pergi dari sini!"
Mira menarik tangan Dafa keluar.
"Maksud kamu apa Mir? Emangnya Dira sudah menikah ya?" tanya Dafa heran.
"Iya. Dia menikah diam-diam," jawab Mira. Air matanya sudah menetes.
"Kamu tau darimana?" tanya Dafa balik.
"Hape Dira gak pernah diangkat saat kutelpon. Lalu aku datang ke rumahnya. Dan Mamanya bilang, dia lagi berbulan madu ke Bali."
***
Seperti biasa, jam 05.00 subuh, Melati sudah bangun dari tidurnya. Dia mandi dan shalat Subuh. Setengah jam kemudian baru aku bangun. Olahraga sebentar lalu segera mandi. Aku bergegas ke kantor.
"Bang..., sarapan dulu!" ajak Melati.
"Nasi goreng lagi?" tanyaku.
"Nggak. Abang mau selai apa? Coklat, kacang, atau strawbery? Aku beli roti tadi."
"Itu lebih baik daripada nasi goreng buatanmu. Tak layak dimakan manusia."
Melati cemberut. Aku duduk lalu memakan roti yang ia berikan.
"Aku berangkat dulu," pamitku setelah selesai sarapan.
"Bang..., dasinya kurang rapi. Aku rapikan ya?"
"Kamu apa-apaan sich? Gak usah."
"Emang kenapa? Aku kan pengen jadi istri yang baik."
"Pernikahan kita bukan sungguhan. Kau lupa ya? Jadi kau tak perlu jadi istri yang baik."
"Ya baguslah kalo gitu. Jadi aku tak perlu masak, nyuci pakaian dan membersihkan rumah."
"Terserah...."
"Aku gak suka lihat rumah berantakan jadi gak apa-apalah kalo rumah tetap kubersihkan."
Aku mendekatkan wajahku ke wajah Melati.
"Terserah.... Oke...?"
Aku meninggalkan Melati. Masih sempat ku dengar ocehannya. "Dasar lelaki menyebalkan. Aku pikir dia itu pria yang baik dan lembut. Ternyata salah," katanya. Aku hanya tersenyum melihat dia marah.
Melati masuk ke kamarku. "Ihh..., jorok banget," dia berkomentar, "berantakan lagi." Lalu dia membersihakan dan merapikannya semua isi kamarku.
Setelah selesai, Melati berbaring di sofa depan TV. Karena kecapaian, dia tertidur.
Aku pulang dari kantor. Kulihat di lemari dapur tidak ada makanan. Aku membangunkan Melati.
"Heiii..., bangun."
Melati terbangun.
"Aku tertidur ya?" tanyanya.
"Nggak. Kau tadi lagi jalan-jalan."
Dia cemberut.
"Masak ditanya lagi tidur apa nggak. Kalo mau tidur TV dimatikan dulu. Bukannya nonton malah TV yang nonton kau."
"Cerewet."
"Aku lapar tapi tidak ada makanan."
"Aku kan bukan istri sungguhan jadi ngapain aku masak."
Aku mulai kesal lihat Melati.
"Jadi kau makan apa kalo lapar?"
"Aku beli di Restaurant dekat pos depan sana."
"Ya udah cepat beli sana! Aku lapar."
"Kita makan di sana aja!"
"Malas. Udah..., beli aja. Bawa ke mari!"
"Aku juga malas jalan kaki ke sana. Capek."
"Bawa mobil."
"Emm... aku... aku gak pandai bawa mobil."
"Apa??"
Aku tertawa. Melati cemberut lagi.
"Kenapa ketawa?" tanyanya kesal.
"Masak kau gak bisa bawa mobil? Kan lucu."
"Papa gak ijinkan aku belajar nyetir. Dia takut aku jatuh."
"Itu karna kau bodoh makanya gak diijinin."
"Abang yang bodoh."
"Kau...."
"Abang...."
"Kau..., dasar Melati bodoh."
Melati memukul kepalaku pakai remot.
"Kau...." suaraku meninggi karena kesal.
"Apa..." dia malah nantang.
"Dasar Melati bodoh."
Dengan wajah cemberut, Melati meninggalkanku. Lucu kalau dia cemberut gitu. Dia duduk di teras depan. Aku mendatanginya.
"Ya udah. Ayo kita makan di sana!" ajakku.
"Nggak.... Abang aja yang pergi." Dia buang muka dengan wajah cemberutnya.
"Gitu aja marah. Buruan...! Aku lapar."
"Kan sudah kubilang nggak."
"Benar nih? Ya udah. Aku pergi. Selamat berlapar-lapar."
Aku berjalan menuju mobil lalu naik. Melati berlari mengejar.
"Tunggu..., aku ikut," katanya lalu dia naik ke mobil.
Aku tersenyum. Sampai di sana, kami langsung pesan makanan. Setelah pesanan datang, kami langsung menyantapnya.
"Gimana masakannya? Enak kan bang?" tanya Melati.
"Nggak."
"Nggak enak tapi kok habis."
"Lapar."
"Hmmm..., bilang aja enak. Dasar...."
***
Aku hampir tertidur kalau tidak karena suara Melati memanggil-manggil. Dengan malas aku membuka pintu.
"Apa sih? tanyaku, "Aku hampir tertidur tapi gara-gara suara jelekmu itu, jadi terbangun."
"Mamaku tadi nelpon. Dia khawatir karena kita gak pernah datang setelah menikah. Ngasih kabar pun gak pernah."
"Itu sih salahmu kenapa kau gak pernah nelpon."
"Besok kita ke sana ya bang!"
"Iya tapi tunggu aku pulang kerja dulu."
"Jangan lama pulangnya!"
"Iya. Udah cepat keluar. Aku ngantuk."
Melati keluar. Aku mengunci pintu kamarku lalu menghempaskan tubuh di ranjang.
***
Teguran Adam mengejutkanku ketika aku sampai di kantor.
"Kau jahat banget ya Dir, nikah gak ngundang-ngundang," kata Adam.
"Apa?" Aku heran karena Adam mengetahui pernikahanku, "dari mana kau tahu?"
"Dari Mamamu lah. Mau sampai kapan kau sembunyikan? Dasar kau gak setia kawan. Gak mau berbagi kebahagiaan."
"Pernikahanku bukan seperti yang kau bayangkan. Aku tidak menginginkannya."
"Kenapa? Bukankah menikah dengan Mira adalah impianmu?
"Tapi...."
Belum sempat aku menjelaskan, Adam sudah berteriak.
"Teman-teman..., dengarkan aku. Dira sudah menikah."
"Apa...? Menikah?" tanya teman-teman yang lain. Mereka terkejut. Adam mengangguk. Semua staf dan pegawai menyalami aku dan memberi ucapan selamat. Pak Dira nikah kok gak bilang-bilang? Kok pernikahannya dirahasiakan? Begitulah pertanyaan mereka.
"Apa...? Pengganti pengantin pria?" Begitulah tanggapan Adam ketika aku menariknya masuk ke ruanganku dan menjelaskan semua padanya.
"Aku gak ada pilihan. Mama dan Papa terus mendesak agar aku mau menggantikan calon suaminya."
"Kau benar-benar seorang kesatria."
"Apaan sih...."
"Kasihan juga ya istrimu."
"Yang harus kau kasihani itu aku Adam begok."
"Lebih kasihan istrimu. Dia kehilangan orang yang dicintai dan terpaksa menikah dengan orang yang tidak dikenalnya."
"Kan sama juga dengan nasibku."
"Terus Mira gimana?"
"Dia marah padaku. Aku belum bisa menjelaskan semuanya."
=====
Hari ini aku bertemu dengan relasi di Restaurat Mira. Membicarakan kontrak kerja.
Setelah semua selesai, aku menyuruh sekretarisku balik ke kantor. Aku tidak langsung balik karena ingin menemui Mira dulu.Tanpa permisi, aku langsung nyelonong masuk ke ruangan Mira dan mengunci pintu. Mira terkejut melihat kedatanganku.
"Kamu apa-apaan sih Dir? tanya Mira gusar.
"Dengan begini baru aku bisa bicara denganmu," jawabku.
"Aku gak mau dengar apa pun."
"Mir..., aku menikah kerena terpaksa."
"Mamamu yang maksa kan? Emangnya kau gak bisa menolak?"
"Sayang..., dengar dulu. Saat itu aku menghadiri pernikahan putri teman Papa. Ketika akad nikah akan dimulai, datang kabar bahwasanya calon suaminya tabrakan dan meninggal. Bayangkan gimana kacaunya kalau sempat acara pernikahan itu batal. Undangan sudah ribuan yang datang. Lalu Papa dan Mama mendesak aku supaya menggantikan calon suaminya."
"Lalu?" tanyanya penasaran.
"Dengan sangat terpaksa aku mengikuti saran Mama."
Mira terdiam mendengar penjelasanku. Dia mulai melemah. Perlahan air matanya mengalir. Aku mendekat lalu memeluknya.
"Sayang..., kamu tenang aja. Kami sudah buat kesepakatan dalam waktu 6 bulan, kami akan bercerai," sambungku.
"Tapi hubungan kalian.?"
"Kami juga sepakat untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing dan tidak ada hubungan fisik."
Aku mencium kening Mira sambil berucap, "aku hanya mencintaimu, sayang."
"Kenapa harus 6 bulan?" tanyanya.
"Aku gak mau hubungan keluarga kami retak kalo kami langsung cerai. Kan yang penting aku masih bisa menemuimu."
"Hmmmm...."
"Udah jangan sedih lagi. Aku merindukanmu sayang."
Sementara Melati mulai gelisah menunggu aku pulang. Dia sudah siap-siap untuk mengunjungi rumah orangtuanya. Sudah beberapa kali dia mencoba menelpon, tapi tidak kuangkat. Aku asik bermesraan dengan Mira.
Telponku terus berdering. Dengan kesal aku mengangkat telpon dari Melati.
"Apa sih? Dari tadi nelpon-nelpon?" tanyaku kesal.
"Abang di mana?" tanya Melati.
"Bersama Mira."
"Abang lupa ya?"
"Apaan? Sudahlah..., jangan menggangguku. Aku baru baikan dengan Mira."
Aku memutus telpon dari Melati.
Melati pergi ke rumah orangtuanya tanpa aku. Sampai di sana, dia pasang wajah cemberut. Ketika ditanya tante Wina, Mamanya Melati, apa yang membuat dia cemberut, dia bilang tidak ada apa-apa. Dan ditanya kenapa aku tidak ikut, dia katakan aku lagi sibuk.
Sampai malam, Melati tidak pulang. Tante Wina mulai curiga. Dia masuk ke kamar Melati.
"Sebenarnya ada apa Mel? Kenapa kau gak pulang?" tanya tante Wina.
"Melati gak mau lagi balik ke rumah itu Ma. Melati balik aja kemari," jawabnya
"Kalian bertengkar ya?" selidik tante Wina.
"Iya.... Aku benci Dira."
Tante Wina mengelus rambut Melati.
"Sayang..., Mama ngerti pernikahan ini mendadak. Kalian belum saling mengenal dan memahami. Butuh waktu untuk kalian. Tapi cobalah untuk menerimanya sebagai suami."
"Bagaimana kalo kami bercerai aja Ma?"
"Melati..., Alloh sangat membenci perceraian walaupun itu diperbolehkan."
"Ma..., kami selalu bertengkar."
"Ya kamu harus ngalah dong. Sayang, Papa dan Mama saja menikah atas keinginan kami terkadang ada juga pertengkaran. Apalagi kalian. Mama paham. Tapi cobalah untuk lebih bersabar. Sebenarnya Dira itu lelaki baik."
Melati tidak berkomentar lagi. Dia hanya menarik napas. Dia dari kecil tidak pernah membantah semua ucapan Mamanya. Tante Wina merasa lega. Dia tau, Melati akan menuruti semua yang dia ucapkan.
"Ma..., malam ini Melati tidur sini ya? Besok baru pulang," pinta Melati.
"Ya sudah. Gak apa-apa. Asal jangan minta cerai."
Aku jadi gelisah karena Melati tidak pulang sampai malam. Bukan karena aku merindukannya tapi aku gak mau aja dimarah Mama kalau sampai Melati hilang. Kucoba tuk menelponnya tapi tidak diangkat. Lalu kucoba lagi tapi tetap tak diangkat. Aku tidak putus asa. Terus kutelpon. Akhirnya diangkat juga.
"Kau di mana?" tanyaku.
"Apa peduli abang aku di mana?" jawabnya ketus.
"Gak masalah kau mau tidur di mana yang penting kasih tau aku."
"Nggak...." Suara Melati meninggi.
"Heiii..., Melati...." Aku mulai kesal.
"Kita kan udah sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing."
"Dengar ya Melati, aku tidak mencampuri urusanmu. Aku gak peduli kau di mana pun. Aku hanya gak mau orangtuamu khawatir kalo kau hilang. Aku pasti dimarah mamaku," suaraku juga meninggi.
"Kalo abang gak mau mamaku khawatir seharusnya abang ingat janji kita tuk datang ke tempat mama."
"Apa....?"
Astaga.... Aku lupa janji untuk ke rumah orangtua Melati. Pantesan Melati marah-marah dari tadi.
"Mel..., aku benar-benar lupa. Maaf ya?" mohonku, " aku datang sekarang ya?"
"Gak perlu. Aku mau tidur."
Melati memutus panggilan kami.
Aku menuju garasi. Mobilku langsung meluncur menuju kediaman orantua Melati. Sampai di sana pintu pagar sudah dikunci. Sepi....
Aku melompat dari atas pagar. Lalu memencet tombol bel masuk. Berulang-ulang. Lalu pintu terbuka. Ternyata yang buka tante Wina, mamanya Melati.
"Loh..., Dira. Kan sudah larut malam. Gak perlu datang ke mari. Besok juga Melati balik," kata tante Wina.
"Gak apa-apa kok tante. Tadi aku sibuk banget sampai lupa janji tuk datang ke mari."
"Pantas Melati gak mau pulang. Mari masuk!"
"Sebentar Tan..., mobil saya masih di luar."
"Security ketiduran tu. Ya sudah."
Aku memasukkan Mobilku. Lalu segera masuk ke dalam rumah.
"Jangan panggil tante. Panggil mama aja!" kata mama mertuaku.
"Baik Ma."
"Melati tu paling gampang memaafkan kesalahan orang lain. Ntar juga dia lupa tu kalo kamu lupa ma janji. Mari mama antar ke kamar Melati!"
Aku mengikuti Mama dari belakang. Sampai di depan kamar Melati, dia mengetuknya. Tapi ternyata kamar Melati tidak dikunci.
"Kebiasaan tu anak dari dulu gak pernah ngunci pintu kamarnya. Selalu lupa." sambung Mama, "masuk aja Dir!"
"Iya Ma."
Mama pergi. Melati tertidur pulas. Baru kali ini aku melihat dia tidak memakai jilbab. Cantik. Rambutnya hitam dan panjang.
Entah mengapa aku sudah berada di samping Melati. Seolah terhipnotis melihat Melati tidur seperti anak-anak.
Melati terbangun. Dia kaget melihat aku berdiri di sampingnya.
"Abang ngapain dekat-dekat?" tanyanya, "jangan macam-macam ya!"
Aku menunduk. Melati semakin ketakutan. Semakin dekat dan.... Aku menarik bantal yang ada di sampingnya lalu menghempaskan tubuh di Sofa.
"Gak usah gr deh. Kau itu bukan tipe cewek yang kusuka," sahutku
"Lelaki itu ibarat kucing. Gak akan menolak jika dikasih ikan jenis apa pun. Keluar dari kamarku" Melati mengusirku.
"Apa kata Mama nanti kalo aku tidur di luar? Kau mau kesepakatan kita terbongkar?"
Melati diam.
"Jangan brisik. Aku mau tidur," sambungku.
Adzan subuh berkumandang. Melati membangunkanku.
"Apa sih?" tanyaku
Bangun!" jawab Melati
"Masih ngantuk."
"Papa menyuruh aku bangunin abang. Ayo shalat subuh."
"Tapi...."
"Gak ada tapi-tapian. Buruan mandi bang. Papa dan Mama sudah menunggu tu. Di sini emang gitu. Shalat berjamaah."
Dengan malas aku beranjak. Ke kamar mandi. Untuk pertama kalinya aku shalat subuh. Shalat berjamaah bersama Mertua dan istriku. Sebenarnya aku shalat karena segan dengan mertua.
Setelah selesai, kulihat Mama mencium tangan Papa. Aku pun menyodorkan tanganku pada Melati. Dengan canggung Melati menciumnya mengikuti apa yang dilakukan Mamanya.
Kami pulang setelah selesai sarapan bersama. Aku mengantar Melati ke rumah sedangkan aku langsung berangkat ke kantor. Sampai di kantor baru aku ingat labtop ketinggalan di rumah. Mau balik gak sempat. Masih ada pekerjaan lain yang harus kukerjakan. Aku memutuskan untuk menelpon Melati. Cari kontak atas nama Melati dan tersambung. Dia mengangkatnya.
"Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Mel..., aku boleh minta tolong?" tanyaku balik.
"Minta tolong ke kantor polisi sana!"
"Aku serius nih Mel. Tolong ambilkan labtop di kamarku dan antar ke mari!"
"Aku lagi sibuk," jawab Melati.
Aku tersenyum geli dengar alasan Melati karena tau paling kerjanya cuma nonton.
"Sibuk apaan?" tanyaku, "buruan ya! Ntar aku beliin es krim."
"Emangnya aku anak-anak dijanjiin es krim?"
"Kali aja."
"Tapi aku malu."
"Malu kenapa?" tanyaku.
"Malu sama teman-teman abang."
"Seharusnya yang malu itu aku. Malu kalo teman-teman lihat istriku sejelek kau."
"Dasar menyebalkan. Ya sudah..., kalo malu punya istri kayak aku, ngapain aku datang?" Melati mulai kesal. Aku paling senang melihat dia kesal.
"Jangan gitu dong Mel. Aku cuma becanda. Kau itu istri yang sangat cantik kayak bidadari yang turun dari pohon jengkol. Aku tunggu ya istriku yang cantik."
Aku tertawa dan memutus panggilan. Aku tau pasti Melati lagi kesal. Tapi aku yakin dia akan datang.
Dan benar saja. Setengah jam kemudian, Melati sudah sampai. Sialnya dia datang pas Adam berada di ruanganku.
"Kok lama?" tanyaku.
"Mau masuk ke sini aja pakai ditanya-tanya sudah buat janji atau gak sama abang. Makanya lama. Terpaksa deh aku ngaku istri abang," jawabnya.
"Jadi ini istri kamu Dir?" tanya Adam berbisik, "cantik sekali."
"Biasa aja."
"Oh ya mbak, kenalin aku Adam, temannya Dira," kata Adam sambil mengulurkan tangan.
"Maaf bang, aku gak bisa bersalaman dengan abang," balas Melati.
Aku tertegun mendengar jawaban Melati. Bersalaman dengan pria saja dia tidak mau, sementara aku, sudah sering bercumbu dengan Mira walau tidak sampai melakukan hubungan suami istri.
"Ya udah aku pulang bang," pamitnya.
"Tunggu dulu!" Adam menyela, "jangan cepat-cepat pulang mbak. Karena sudah di sini, bagaimana kalau kita makan dulu di kantin?"
"Boleh."
"Ayo Dir!" ajak Adam.
"Malas. Kalian saja," sahutku
"Ya sudah. Mari mbak!"
Melati dan Adam keluar dari ruanganku. Aku lirik jam sudah waktunya istirahat. Aku menyusul. Mereka sudah duduk dan aku pun duduk dekat Melati.
"Katamu malas tapi kok nyusul? Cemburu ya?" tanya Adam.
"Apaan sih? Aku gak peduli Melati mau jalan ma siapa saja. Terserah...."
"Kalo gitu ngapain abang ikut ke sini?" tanya Melati.
"Aku lapar. Emang salah aku makan di kantin ini?" tanyaku balik.
"Gak salah sih tapi abang kan bisa nyari bangku lain. Jangan di sini!"
"Terserah aku dong mau duduk di mana."
"Oke abang duduk di sini. Ayo bang Adam kita cari bangku lain!" ajak Melati pada Adam.
Mereka pindah ke bangku lain.
Pesanan mereka datang. Mereka makan sambil becanda. Sesekali terdengar tertawaan mereka. Pesananku pun datang. Aku jadi tidak selera makan. Ntah kenapa aku gak suka lihat Melati tertawa bersama Adam. Aku mendatangi mereka.
"Kalo udah siap makannya ayo aku antar pulang," ajakku.
Aku tidak yakin Melati si keras kepala itu mau kuajak pulang. Dan benar saja.
"Aku masih mau di sini. Abang pulang aja sendiri. Nanti aku naik taxi. Atau diantar bang Adam."
"Benar tu Dir," sambung Adam.
Aku menarik tangan Melati dan meyeretnya. Dia berusaha melepas tangannya tapi aku semakin mempererat cengkramanku.
Aku terus menariknya menuju parkiran mobil. Kubuka pintu dan mendorongnya masuk.
Bersambung #3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel