"Sepertinya hari ini ada yang bahagia," katanya.
"Biasa aja."
"Tumben bersiul-siul."
"Hmmm...."
Aku dan Adam sampai di ruanganku.
"Kau datangkan nanti malam?" tanya Adam.
"Kemana?" tanyaku balik.
"Lupa ya?"
"Apa sih?"
"Undangan pernikahan Susi."
"Untung kau ingatin. Aku benar-benar lupa. Nanti malam ya?"
Adam menunjukkan sebuah undangan padaku.
"Lihat nih!" serunya.
Aku melihatnya. Ternyata benar undangannya nanti malam.
"Kau ke sana dengan siapa?" tanya Adam.
"Tentu saja dengan Mira. Emangnya kenapa?" tanyaku balik.
"Istri kamu tu Melati bukan Mira."
"Tapi aku cintanya sama Mira."
"Kalo gitu boleh dong aku ajak Melati."
"Apa?? Tidak boleh."
"Loh..., kau kan pergi bersama Mira jadi apa salahnya aku ajak Melati."
"Gak boleh."
"Aku tunggu kau pergi dari rumah baru aku datang."
"Awas ya kalo sampai kau ngajak Melati."
"Waw..., ada yang marah nih.... Jujur Dir, aku suka lihat Melati. Dia cantik dan baik."
"Apa??" Aku kaget.
"Kenapa? Kok kaget gitu?" tanya Adam.
"Gak kenapa. Itu karna kau belum kenal Melati lebih dalam makanya kau bilang dia baik. Dia itu menyebalkan dan cengeng sekali. Manja. Bikin repot."
"Cieee..., ternyata kau sudah tau banyak soal Melati."
"Apa sih...?"
"Aku suka Dir tipe cewek Manja. Dengan kemanjaannya aku merasa dibutuhkan."
Perkataan Adam ada benarnya juga. Tiba-tiba aku merasa khawatir tapi gak tau kenapa.
Aku pulang ke rumah. Kupanggil-panggil Melati tapi tidak menyahut. Aku masuk ke kamarnya tapi dia juga tidak ada di sana. Akhirnya kupilih duduk di sofa depan TV. Melati datang.
"Kau dari mana?" tanyaku.
"Dari kamar mandi."
"Mama mana?"
"Mama sudah pulang. Abang sudah makan?"
"Kalo aku bilang belum emangnya kau bisa buatkan?"
"Tadi sebelum Mama pulang, dia masak dulu untuk Abang."
"Nanti ajalah. Masih kenyang."
"Bang..., tadi bang Adam nelpon ngajak pergi ke pesta nanti malam."
"Apa??? Jadi kau sama dia sudah tukaran nomor Hp ya?" tanyaku.
"Loh..., katanya dia dapat nomorku dari Abang."
"Hmmmm...."
Aku ingat, seminggu yang lalu Adam meminta nomor Hp Melati dan aku memberinya.
"Lalu kau jawab apa ajakannya?" tanyaku.
"Aku bilang, aku gak bisa pergi tanpa ijin dari Abang."
"Baguslah.... Kau tidak boleh ke sana."
"Iya bang."
Aku tersenyum Melati menurutiku. Tapi aku tidak yakin dengan Adam. Bagaimana kalau dia benaran datang ketika aku sudah pergi dari rumah.
"Mel...."
"Ya...."
"Kau ikut aku nanti malam."
"Kenapa?"
"E...e... begini...."
Aku gugup tidak tau mau buat alasan apa.
"Aku malas ikut," Melati menimpali.
"Mama pasti datang. Apa alasanku nanti kalo dia tanyakan kenapa kau gak ikut?" tanyaku.
" Emangnya Mama datang ya ke pasta itu?"
"Tentu saja."
"Hmmmm... ya sudah. Aku ikut."
Aku tersenyum penuh kemenangan. Lalu aku masuk ke kamar dan menelpon Mira untuk membatalkan pergi bersamanya dengan alasan takut dilihat Mamaku.
Aku sudah siap untuk pergi ke pesta dan menunggu Melati di samping mobil. Dia datang. Dan... cantik sekali. Aku memandangnya tanpa berkedip.
"Bang..., kok lihatin aku kayak gitu? Lucu ya penampilanku?" tanya Melati.
"Iya... jelek tau...."
"Kalo gitu aku ganti baju dulu."
"Gak usah. Udah gak sempat. Lagian kau mau pakai baju apa pun tetap jelek."
"Huhhhh...."
Melati cemberut. Kami masuk ke dalam mobil dan segera meluncur.
Sampai di sana, aku membukakan pintu mobil. Melati keluar dan aku menggandengnya masuk ke Hotel tempat resepsi pernikahan.
Kami bertemu dengan Mira dan Dafa. Aku melepas tangan Melati.
"Hai...Mir," sapaku, "udah lama?"
"Barusan. Hai Melati..., bagaimana kabarnya?" tanya Mira.
"Baik.... Bang, aku mau ke toilet dulu," pamit Melati.
Lalu dia pergi. Aku khawatir dia pergi sendiri. Aku pun mengikutinya. Melati lama sekali keluar dari toilet. Aku mulai kesal. Akhirnya dia keluar juga.
"Lama banget di dalam!" seruku.
"Aku kan gak nyuruh abang nungguin aku."
"Kalo kau hilang gimana? Ntar Mama marah padaku."
"Aku bukan anak kecil."
"Udah ayo!"
Aku menarik tangan Melati. Kami bertemu dengan Adam. Dia sedang ngobrol dengan pak Agung, klien yang beberapa hari lalu kutemui di Restaurant Mira Food bersama Melati.
"Hai pak Dira," sapanya.
Kami bersalaman
"Bagaimana? Kontrak kerjanya sudah sampai ke tangan bapak kan?" tanyanya lagi.
"Sudah pak."
"Bu Melati..., gimana kabarnya?" tanya pak Agung.
"Baik pak. Jadi referensi kami diterima ya pak?" tanya Melati.
"Tentu saja."
"Kok kemaren kata abang semua berantakan gara-gara aku?" tanya Melati padaku.
Aku tersenyum. Melati mendengus kesal.
"Bagaimana kalau Ibu kerja di perusahaan kami?" tanya Pak Agung, "kebetulan lagi membutuhkan sekretaris."
"Maaf pak, saya tidak mengijinkan istri saya bekerja," aku menimpali.
"Istri Bapak berbakat."
"Tapi saya tidak mengijinkannya."
"Kalo jadi sekretarisku boleh gak Dir?" tanya Adam.
Aku menatap Adam kesal.
"Maaf... kami permisi dulu pulang duluan. Ayo Mel!" seruku.
Aku menarik tangan Melati meninggalkan Adam dan Pak Agung.
"Beneran mau pulang bang?" tanya Melati, "cepat banget."
"Kenapa? Kau masih pengen ngobrol dengan mereka ya?"
"Ya nggak juga. Heran aja."
"Bilang aja kau suka dengan Adam."
"Apaan sih?"
"Melati, kau gak kenal siapa Adam. Dia itu playboy."
"Emangnya kenapa kalau playboy? Aku kan nggak ada hubungan apa-apa dengannya."
"Nanti kau disakitinya."
"Kok bisa nyakitin?"
"Ya iyalah. Makanya jauhi Adam. Aku kasihan padamu."
"Sejak kapan abang punya rasa kasihan. Abang itu selalu menyebalkan."
"Ya kan... aku gak mau dengar kau menangis ketika Adam mempermainkanmu. Bising... dengar tangisanmu nanti."
"Dasar aneh.... kenapa juga aku harus menangis karna bang Adam."
"Bukankah kau menyukai Adam?"
"Nggak lah. Pulang aja yuk!" ajak Melati.
"Ayolah..."
Kami berjalan menuju parkiran mobil. Melati masuk ke dalam. Tiba-tiba Mira muncul.
"Dir..., antarin aku pulang. Aku tadi gak bawa mobil," kata Mira.
"Tadi kau ke sini naik apa?" tanyaku.
"Aku ke sini bersama Dafa. Tapi aku pengen diantar kamu."
"Ya sudah. Ayo...."
"Bang..., jadi gak pulangnya?" tanya Melati.
"Mir..., kamu tunggu aku di sini ya! Aku antar Melati dulu."
"Ya sudah kalo kamu gak bisa ngantarin aku. Biar aku naik taxi aja," kata Mira.
Mira pergi meninggalkan ku. Lalu aku mengejarnya.
"Jangan gitu dong Mir."
"Dir..., kau lebih milih dia. Ya sudah aku naik taxi aja," kata Mira.
"Bukan begitu. Aku gak mungkin biarkan Melati naik taxi malam-malam begini."
"Ya sudah biarkan dia pulang sendiri bawa mobilmu."
"Dia gak bisa bawa mobil. Begini saja, aku antar dia dulu. Setelah itu jemput kamu lagi ke sini baru kita pergi kemana pun kamu mau."
"Ya sudah. Tapi jangan lama."
"Iya. Jangan kemana-mana. Tetap di sini."
Aku meninggalkan Mira dan masuk ke mobil. Lalu aku mengantar Melati pulang. Selama di jalan, aku dan Melati diam saja. Sampai di rumah, Melati turun dari mobil. Aku meninggalkannya di rumah dan menuju dimana Mira berada.
***
Pagi hari, aku pulang ke rumah. Kubuka pintu kamar, betapa terkejutnya aku melihat Melati di dalam kamarku.
"Ngapain kau di sini?" tanyaku.
"Aku membersihkan kamar Abang. Kenapa Abang tadi malam gak pulang? Abang bersama Mira ya?"
Aku diam saja. Malas tuk menjawab pertanyaan Melati.
"Kenapa Abang diam saja? Benarkan, Abang bersama Mira?" tanyanya lagi.
"Apa urusanmu?"
"Tentu saja urusanku. Aku ini istri Abang."
"Sejak kapan kau merasa jadi istriku?"
Melati terdiam.
"Lagian sebentar lagi kita akan bercerai. Kau jangan lupa itu," sambungku.
"Tentu saja aku tidak lupa. Aku... aku... aku cuma ingin mengingatkan kalo Abang dan Mira itu belum menikah jadi gak boleh tinggal bersama."
"Aku tau."
"Jadi kalo tau kenapa nginap di rumah Mira?"
"Siapa juga yang nginap di sana. Tadi malam aku tidur di Apartement. Udah... keluar sekarang dari kamarku karna aku mau mandi. Atau kau mau mandi bareng. Boleh..., dengan senang hati."
"Dasar genit."
"Loh... kita kan suami istri jadi gak masalah. Ayo dong istriku. Temani abang mandi."
"Mesum."
Melati setengah berlari keluar dari kamar. Aku tersenyum karena sudah berhasil bikin dia kesal.
***
Aku memanggil-manggil Melati dengan suara yang keras agar dia mendengarnya. Dia pun datang. Tanpa mengetuk pintu, nyelonong saja.
"Tidaaaakkkk...."
Melati berteriak dan keluar dari kamar. Ternyata aku hanya memakai celana dalam.
Kuraih handuk yang tergantung lalu memakainya. Aku menemui Melati di depan kamarku. Kubawa beberap baju kemejaku
"Melati..., kenapa bajuku seperti ini?" tanyaku sambil memperlihatkan baju kemeja putih yang terkena luntur.
"Hehee..., aku menyucinya. Gak tau kenapa jadi seperti itu."
"Kalo gak bisa kerja gak usah dikerjakan. Lagian siapa yang nyuruh kau menyuci pakaianku?"
"Ya maaf."
"Enak aja bilang maaf. Kau selalu bikin kesal."
"Aku kan gak sengaja."
"Makanya jangan sok tau. Kau tu gak tau apa pun. Dasar payah...."
"Aku kan udah minta maaf. Kenapa marah-marah terus?"
"Supaya kau tau lain kali gak usah sentuh barang-barangku termasuk pakaianku."
"Apa salah aku mencoba tuk jadi istri yang baik?"
"Salah...."
"Baiklah. Aku memang gak pantas berada di rumah ini."
Matanya berkaca-kaca. Lalu dia keluar dari kamarku. Aku pun bersiap-siap berangkat kerja.
Seleseai berpakaian rapi, aku keluar. Kulihat Melati keluar dari kamarnya sambil membawa koper.
"Kau mau kemana?"
"Pulang.... Untuk apa aku berada di sini?"
"Ya sudah kalo mau pulang. Jangan balik lagi."
" Gak akan."
Dia keluar dari rumah. Aku terdiam menatap kepergiannya.
=====
Dengan wajah cemberut, Melati memasuki rumah Orangtuanya. Dia mengucapkan salam dan mencium tangan Wina, Mamanya. Tanpa permisi dan tetap dengan wajah kusut, dia meninggalkan Wina.
Wina sudah paham, pasti ada masalah yang Melati hadapi. Dia menarik napas dalam-dalam. "Pasti bertengkar lagi," dia bicara sendiri.
Wina membiarkan Melati. Dia tahu betul watak putri semata wayangnya, jika sudah cemberut mending dibiarkan. Sebentar saja, suasana hatinya akan baik lagi. Melati mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Benar saja, 15 menit kemudian, Melati datang dan berbaring di pangkuannya. Wina membelai rambut Melati.
"Ada apa?" tanyanya.
"Bang Dira, Ma," jawab Melati.
"Kalian bertengkar lagi?"
"Dia selalu bikin kesal."
Melati duduk dan menghadap Mamanya.
"Ma..., Melati ingin bercerai saja."
"Mel..., Alloh membenci yang namanya perceraian," sambung Wina.
"Kenapa sih jodoh Melati itu bang Dira. Bukankah wanita baik-baik akan berjodoh dengan pria baik-baik juga."
"Ya itu benar."
"Trus kenapa Melati berjodoh dengan bang Dira. Dia itu shalat aja gak pernah. Sedangkan Melati shalat rajin dan gak pernah pacaran."
"Tu kesalahanmu. Melati bisa melihat kesalahan orang lain tanpa membaca diri sendiri. Tanyakan hatimu, apa yang salah padamu."
"Maksud Mama?" tanya Melati.
"Sayang..., apa kau sudah jadi istri yang baik untuk Dira?" Wina balik bertanya.
Melati terdiam.
"Mel..., Alloh Maha Memberi apa yang terbaik untuk hambaNya. Dira itu jodoh yang Alloh pilihkan untukmu. Dialah yang terbaik. Masalah dia tidak pernah shalat, ya... kamu kan sebagai istri harus mengingatkannya dan ajak dia menuju jalan Alloh. Kalau Melati bisa mengarahkan dia ke jalan Alloh dan ikhlas menerimanya dan berusaha untuk jadi istri yang sholeha maka pernikahanmu akan jadi ladang amal buatmu," sambung Wina.
Melati kembali berbaring di pangkuan Wina. Dia diam saja.
"Sayang..., apa pernah kamu memperlakukan Dira sebagai suamimu? Tugasmu untuk melayani semua kebutuhannya. Mama tau, Melati gak pernah memasak untuknya. Iyakan?"
"Melati kan gak bisa masak Ma."
"Ya belajar dong, sayang. Cobalah untuk menerima semua takdir Alloh dengan ikhlas. Jadilah istri yang baik. Bisa saja hidayah datang untuk Dira melalui kamu. Jangan cari-cari kesalahannya tapi coba tanyakan apa yang salah padamu."
Mata Melati berkaca-kaca. Dan cairan bening mengalir dari sudut matanya. Wina membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang.
"Tak baik seorang istri meninggalkan rumah," sambung Wina.
***
Aku jadi gelisah memikirkan kepergian Melati. Bagaimana kalau dia benar-benar tidak balik lagi ke rumah. Kucoba untuk melupakannya. Tapi percuma. Aku tidak konsentrasi dengan pekerjaanku.
Aku berniat untuk menjemputnya siang nanti ketika jam istirahat. Tapi aku ragu. Dia pasti besar kepala kalau aku menjemputnya. Akhh..., biarkan sajalah.
Jam istirahat, aku memilih untuk pulang ke rumah dan menjemput Melati. Sampai di rumah, aku melihat ada Melati sedang menonton. Aku tidak tahu kenapa, senang aja melihat dia sudah pulang.
Tanpa bicara, aku duduk di dekatnya dan mencomot es krim magnum yang dipegangnya. Melati kaget.
"Ngagetin aja," katanya.
"Enak juga. Baru kali ini makan es krim," balasku.
Aku ingin menanyakan kapan dia balik tapi tidak jadi. Biar sajalah. Lebih baik aku tidak mengungkit kejadian tadi pagi.
"Kau sudah makan?" tanyaku.
"Belum."
"Kita makan di luar yuk!" ajakku.
Bukannya menjawab, Melati malah menatapku dengan tatapan heran.
"Kau harus sering-sering diajak keluar supaya gak lemot lagi," sambungku.
Melati kembali menatapku. Kali ini tatapannya menyeramkan. Bulu kudukku jadi berdiri. Aku jadi ingat berita yang barusan kulihat di medsos, seorang suami tewas di tangan istri karena sering membuat istrinya marah.
"Bang...," panggil Melati.
"Ya...."
"Apa Abang membenciku?" tanyanya.
Kali ini, gantian aku yang menatap ke arahnya. Kenapa dia bertanya seperti itu.
"Kok nanya gitu?" tanyaku.
"Ya aku pengen tau aja. Apa aku jadi beban dalam hidup Abang?"
"Tidak," aku menjawab dengan enteng.
"Lalu kenapa Abang suka marah-marah padaku?"
"Siapa yang marah?"
"Abang."
"Nggak lahh...."
Aku tidak pernah marah pada Melati. Hanya sedikit kesal. Aku senang menggodanya. Mungkin karena selama ini aku tidak pernah bercanda dengan siapa pun. Aku selalu tertutup pada orang lain bahkan dengan keluargaku. Sebenarnya aku pun tidak mengerti kenapa aku suka bikin Melati kesal. Bagiku itu lucu. Makanya kalau tidak melihatnya seperti ada yang kurang.
Aku malas balik lagi ke kantor. Perut berbunyi. Aku baru ingat ternyata belum makan. Dan kami tidak jadi makan di luar. Kulihat Melati tertidur. Kebiasaan..., kalau nonton suka tertidur.
Aku masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Aku berniat masak. Tapi di kulkas tidak ada bahan makanan. Hanya ada wortel, brokoli dan buncis. "Dasar wanita pemalas," bathinku.
Aku ingin membuat sayur capcai dari bahan yang ada. Aku terbiasa memasak sendiri sebab pernah tinggal sendiri di Apartement yang kubeli.
Ternyata Melati sudah bangun. Dia mendekatiku.
"Masak apa bang?" tanyanya.
"Masak sayur capcai. Kenapa bahan makanan tidak ada di kulkas?"
"Sering busuk tidak dimasak makanya jadi malas belinya."
"Itu karena kau tidak pandai masak. Makanya belajar."
"Iya deh. Aku mau belajar masak sama Mama. Boleh dibantu?"
"Gak usah. Bukannya bantu ntar kau malah bikin kacau."
"Huhhh...."
Melati cemberut. Aku tersenyum. Melati terus memperhatikanku masak. Dia menatapku.
"Mel..., tolong cucikan ya semua sayurnya!" seruku.
"Iya...."
Melati mengambil sayuran yang telah kusediakan. Lalu dia mencucinya. Setelah selesai dicuci, aku menyuruh Melati memotong-motongnya. Dia menuruti perintahku.
Aauuu....
Melati menjerit. Tangannya terkena pisau dan berdarah. Dia menangis. Aku kesal melihatnya. Kuperhatikan dia. Aku kasihan juga.
"Dasar cengeng....," kataku.
Aku mengambil kotak P3K. Lalu mengobati luka Melati.
"Motong sayur aja gak becus," sambungku, "apa sih bisamu? Dasar bodoh."
Tangis Melati tambah keras. Aku jadi gemas melihatnya menangis. Seperti anak kecil.
"Luka gini aja udah nangis," selaku.
"Aku gak suka abang bilang aku bodoh. Lebih sakit tau... dibanding luka tanganku."
Hahahaa.... Aku tertawa mendengarnya.
Bersambung #5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel