"Sarapan dulu bang!" ajaknya.
"Gak sempat. Ada meeting pagi ini."
Ku ambil segelas air putih lalu meminumnya. Belum sempat kuminum, Melati menyela.
"Bang..., minum itu gak boleh berdiri. Gak baik buat kesehatan."
Aku sedikit kesal tapi menuruti ucapan Melati.
"Hati-hati di jalan ya bang," sambung Melati.
"Apa?" aku menatapnya heran.
Melati tidak pernah mengatakan hati-hati padaku selama ini setiap aku hendak pergi. Tiba-tiba saja aku merasa pagi ini dia cantik sekali. Aku suka dia bersikap manis seperti itu.
"Kok diam?" tanya Melati, "katanya ada meeting."
Aku tersadar dari lamunanku. "Eh... i... iya... hmmm.... Aku berangkat dulu."
Ya ampun... aku kok malah gugup. Kutatap dia kembali. Jantungku berdetak kencang. Ada apa ini? Aku tak mengerti.
"Bang..., kok malah bengong?" tanyanya lagi.
Astaga..., untuk kedua kalinya aku melamun. Padahal aku sudah ketinggalan. Aku segera pergi meninggalkan Melati sebelum aku terhipnotis lagi dengan tatapannya.
Selesai rapat, aku ingin balik ke kantor tapi menemui Mira dulu untuk permisi.
"Udah selesai sayang..., rapatnya?" tanyanya.
"Iya..., aku permisi ya, balik lagi ke kantor."
"Hati-hati di jalan! Jangan lupa nanti malam jemput aku.
"Iya."
"Cium dulu dong."
Aku mencium kening Mira. Biasanya aku sempatkan melumat bibirnya tapi kali ini aku enggan melakukan itu. Ntahlah..., aku pun tak paham.
Sampai di kantor, kulihat ada bungkusan di meja kerjaku. Penasaran apa isinya, kubuka. Ternyata Soto Medan. Masih panas. Aku segera keluar mencari Melati. Dugaanku pasti dia yang antar. Dan benar, kulihat Melati sedang ngobrol dengan Adam dan... loh..., itu kan pak Agung. Ngapain dia ke sini? Aku menghampiri mereka.
"Hmmmm...," aku berdehem agar mereka menyadari kedatanganku.
Tapi Adam terus nyerocos seolah-seolah sengaja agar Melati tidak menyadariku ada di situ. Ketika Melati melihat ke arahku, Adam nyerocos lagi dan kembali Melati melihat ke arahnya. Dan pak Agung juga ikut bicara. Sial..., bikin kesal aja. Aku tarik tangan Melati masuk ke ruanganku.
"Bang..., itu pak Agung dari tadi nungguin Abang," kata Melati.
"Alasan..., paling juga kalian janjian ketemu di sini. Iyakan?"
"Apaan sih?"
"Sepertinya dia baik banget padamu. Jangan-jangan kau ada hubungan dengannya. Dia itu kan duda."
"Jangan ngaco deh."
"Ngapain tadi kau ngobrol dengan Adam?" tanyaku ketus.
"Ya bang Adam menyapaku. Aku kemari tuk ngantarkan Soto untuk Abang. Tapi kata sekretaris Abang, lagi rapat di Restaurat Mira."
"Terus kau kesempatan pacaran dengan Adam."
"Apa sih...? Aku bukan kayak abang. Suka pacaran. Alasan rapat ternyata asik pacaran dengan Mira. Udah ahh... aku mau balik."
Melati meninggalkanku. Aku keluar dari ruangan untuk menemui pak Agung. Semoga saja dia belum pergi.
***
Aku ingat janji pada Mira untuk menjemputnya ke rumahnya malam ini. Dia ingin jalan-jalan. Cuaca kurang bersahabat, seperti mau hujan. Jadi malas hendak keluar. Tapi aku tidak mau Mira marah. Aku segera bersiap. Melihatku sudah rapi Melati bertanya.
"Mau kemana bang?"
"Mau jemput Mira."
Aku hendak pergi tapi Melati memanggil
"Bang...."
Aku menoleh
"Jangan pergi," katanya.
"Kenapa?" tanyaku.
Dia menatapku dan aku pun membalas tatapannya. Akhh... matanya selalu berhasil buat aku terpesona. Tanpa sadar, aku sudah dekat padanya dan menyentuh pipinya.
"Jangan pergi bang." Suara Melati menyadarkanku. Segera kutarik tanganku.
"Sepertinya mau hujan. Aku takut sendiri," sambungnya.
Benar saja. Sepertinya hujan akan turun. Melati takut petir. Padahal walau hujan belum tentu ada petir. Aku jadi tidak tega membiarkan Melati sendiri di rumah.
Aku masuk ke kamar untuk mengganti pakaianku. Bingung..., bagaimana dengan Mira. Dia pasti marah kalau aku tidak jadi datang. Biarkan sajalah.
Aku menemui Melati di kamarnya. Dia sedang berbaring dengan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Mel..., aku lapar. Kau masak sana. Ntar aku bantuin."
Melati diam saja.
"Mel...."
Melati tetap tidak menyahut. Dengan sedikit kesal kutarik selimut yang dipakai Melati. Dia menggigil. Kusentuh dahinya, panas. Aku panik.
"Badanmu panas Mel," seruku.
Melati menangis.
"Demam aja pakai nangis segala. Kayak anak kecil."
Melati tidak peduli ucapanku. Dia tetap menangis.
"Aku ingin pulang. Aku mau ketemu Mama," sahutnya.
"Ini sudah malam. Besok saja."
"Kalo gitu telponkan Mama."
"Akhhh..., kau tu sudah besar pun masih saja kayak anak kecil. Demam aja harus panggil Mama."
"Kepalaku sakit. Aku mau Mama."
Tangisnya tambah kencang. Dasar menyebalkan. Demam saja bikin repot, bathinku. Aku duduk di sampingnya dan mengusuk-kusuk kepalanya pelan.
"Aku beliin obat ya?" tanyaku.
"Nggak...."
"Biar sembuh."
"Kalo abang pergi, siapa temanku di sini?"
"Kan cuma sebentar."
"Gak mau. Abang harus di sini."
"Huhh.... Dasar cengeng."
Melati berbalik. Dia telungkup dan mengangkat rambutnya ke atas.
"Kusukin bang, kepalaku bagian belakang. Sakit!" serunya.
Aku menuruti permintaannya. Leher Melati putih dan jenjang. Serr..., timbul hasrat lelakiku. Aku coba berpaling dari pemandangan indah itu. Tapi tetap saja mengganggu pikiranku.
Pelan-pelan kugerakkan tanganku ingin menyentuh leher itu tapi..., Melati berbalik. Aisss..., ternyata dia sudah tertidur. Kusentuh dahinya. Masih panas. Aku pergi ke dapur mengambil air hangat dan handuk kecil lalu mengompresnya. Napasnya kencang pengaruh suhu badannya yang panas.
Aku pergi ke dapur dan memasak bubur. Setelah masak, aku melihat keadaannya. Dia masih tidur. Kuganti kopresannya lalu aku keluar rumah untuk membeli obat.
Sampai di rumah, aku terkejut melihat Melati berbaring di ruang tamu.
"Kenapa tidur di sini?" tanyaku.
"Abang ninggalin aku."
"Aku beli obat untukmu."
Kusentuh dahinya. Masih panas.
"Bang..., kepalaku masih sakit," rengek Melati.
"Panggil dokter aja ya?" tanyaku, "jangan-jangan tensimu turun."
"Iya...."
"Tidur di kamar saja!"
Melati mengulurkan kedua tangannya. Dia minta gendong. Astaga... nih anak manja banget. Aku kesal tapi kasihan juga melihatnya. Kuangkat Melati menuju kamarnya.
Tiba-tiba kakiku terlilit sesuatu. Aku terjatuh. Untung sudah di sisi tempat tidur. Kami berdua terhempas di atas tempat tidur dengan posisiku menindih tubuh Melati
"Akhhh...." Melati menjerit kesakitan.
Aku duduk sambil berkata, "Maaf... maaf Mel..., kakiku kesandung. Kau sih meletakkan handuk untuk ngompresmu tadi di lantai."
Aku menelpon dokter langganan Mama. Dokter datang dan memeriksa keadaan Melati. Ternyata tensinya turun makanya kapalanya sakit dan pandangan berkunang-kunang. Dia juga demam.
Setelah dokter pergi, aku ambilkan bubur yang kumasak tadi untuk Melati.
"Kau makan dulu buat minum obat," kataku.
"Aku gak suka bubur."
"Makan dikit aja biar minum obat!"
"Gak mau."
"Heii..., Melati, kau harus makan lalu minum obat. Kalo kau sakit aku juga yang repot. Cengeng...." aku setengah berteriak. Kesal melihatnya.
Kusodorkan bubur ke mulutnya. Dengan terpaksa dia membuka mulutnya. Aku menyuapinnya. Selesai makan dia minum obat. Lalu berbaring lagi. Kuselimuti dia.
"Tidurlah....!" seruku.
"Abang jangan pergi. Aku gak mau sendiri."
"Iya bawel... Cepat sembuh biar aku gak repot."
Melati memejamkan matanya. Efek obat yang dia minum membuatnya cepat tertidur. Aku ingin keluar tapi tak sampai hati meninggalkannya. Aku mulai ngantuk. Kubaringkan tubuhku di samping Melati.
Kusentuh sekali lagi dahinya memastikan apakah panasnya sudah turun.
"Masih panas walau gak sepanas tadi," aku bicara sendiri.
Aku pun memejamkan mata sebelum hasratku datang lagi.
=====
Melati mendorong tubuhku. Aku jadi terbangun.
"Apaan sih main dorong-dorong aja?" tanyaku kesal.
"Abang ngapain peluk aku?" tanyanya balik.
"Hmmmm.... Namanya juga orang lagi tidur ya gak nyadar apa yang terjadi."
Melati menuju kamar mandi. Aku sedikit heran. Biasanya dia pasti gusar dan bilang aku genit. Tapi kali ini dia tidak banyak bicara.
Aku tersenyum ingat tadi malam. Kami tidur berpelukan. Dia kedinginan dan aku memeluknya agar hangat dan Melati tidak menolak. Tapi itu sangat menyiksaku. Setengah mati aku harus menahan nafsuku. Kalau saja Melati tidak sakit mungkin tadi malam aku sudah paksa dia melakukan itu tapi aku tak sampai hati. Mira.... maafkan aku.
Melati datang.
"Kok masih bengong di situ?" tanyanya.
"Aku pengen tau keadaanmu."
"Aku sudah baikan kok bang. Aku mau shalat dulu. Abang tak shalat?"
Aku gugup mendengar pertanyaan Melati. Lupa kapan terakhir aku shalat. Jadi malu.
"I... iya.... Di kamarku saja," jawabku.
Aku berbohong pada Melati dan berlalu dari hadapannya. Aku mandi dan setelah itu memasak untuk Melati.
Aku hidangkan bubur ayam di meja makan. Melati datang.
"Abang yang masak?" tanyanya.
"Iya... supaya kau makan. Ini enak kok."
Dia duduk dan aku memberi semangkuk bubur untuknya. Melati menyicipinya.
"Enak bang....," komentarnya.
"Ya sudah abisin semua. Biar minum obat."
Kusentuh dahi Melati. Masih hangat. Aku pun duduk dekat Melati dan mulai sarapan. Kami tidak banyak bicara. Selesai makan aku berkemas. Dan bersiap berangkat ke kantor. Kucek lagi keadaan Melati. Dia berbaring di sofa depan TV.
"Kau gak apa-apakan sendiri di sini?" tanyaku khawatir.
"Gak apa-apa bang."
"Telpon nanti kalo badanmu panas lagi."
"Iya bang."
"Ya sudah. Aku pergi dulu."
"Bang....," Melati memanggil.
"Iya...."
"Makasih sudah menjagaku tadi malam."
"Hmmmm.... Terpaksa. Aku gak mungkin biarkan kamu dalam keadaan sakit."
"Huhh...," dia mendengus kesal.
"Ntar kalo terjadi apa-apa padamu pasti aku yang disalahkan. Jadi jangan mikir macem-mecem."
Aku pergi meninggalkan Melati. Sempat kulihat wajahnya cemberut. Aku tersenyum.
***
Aku mengkhawatirkan keadaan Melati. Ku ambil hape lalu menelponnya. Dia mengangkat.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku.
"Salam dulu. Main nyerocos aja," serunya.
"Hmmmm.... Apa badanmu masih panas?" tanyaku balik.
"Nggak lagi."
"Kau lagi di mana?"
"Di Rumah sakit."
"Apa...? Rumah sakit?" tanyaku memastikan apakah aku tidak salah dengar.
"Iya... ini lagi...."
"Rumah sakit mana?" aku memotong ucapan Melati.
"Rumah sakit Adam Malik. Bukan aku...."
Tut...tu...tut.... Panggilan kami terputus. Kutelpon balik tapi tidak aktip. Aku kalap. Apa sebenarnya yang terjadi. Kenapa hape Melati tidak aktip. Aku langsung mikir yang tidak-tidak. Apa sakitnya tambah parah? Pasti terjadi sesuatu padanya. Aku jadi tidak tenang. Aku menemui sekretarisku.
"Batalin aja rapatnya," kataku.
"Kenapa pak?" tanyanya.
"Aku harus ke Rumah sakit. Melati sakit."
"Baik pak."
Aku segera menuju parkiran dan mobilku meluncur dengan laju. Sampai di Rumah sakit, aku langsung menuju Receptionis.
"Sus..., pasien yang bernama Aisyah Melati di rawat dimana?" tanyaku pada salah satu receptionis Rumah sakit.
"Sebentar ya pak, saya lihat dulu," jawabnya.
Dia mengambil buku daftar pasien dan memeriksanya.
"Maaf pak, tidak ada pasien yang bernama Aisyah Melati," katanya.
"Yang benar mbak. Coba cek lagi deh!"
Dia memeriksanya kembali.
"Tidak ada pak," katanya lagi.
Aku jadi bingung. Aku yakin tadi tidak salah dengar bahwa Melati bilang Rumah sakit ini.
Aku menelpon Mama Wina.
"Assalamu alaikum," sahut Mama dari sana.
"Wa'alaikum salam. Ma..., Melati bilang dia di Rumah sakit Adam Malik. Tapi tidak ada pasien bernama Melati di sini. Hapenya gak aktip. Apa Mama tau soal Melati."
"Melati baik-baik saja. Dia di sana menjenguk Ridho."
"Ridho...? Ya sudah makasih ya Ma. Assalamu alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Aku memutus panggilan kami. "Ridho..., siapa dia. Sepertinya aku pernah dengar nama itu. Tapi siapa?" aku bicara sendiri. Bingung.... Aku kembali menemui Receptionis dan menanyakan pasien bernama Ridho. Dan segera menuju ruangan yang disebut Receptionis.
Aku hendak masuk tapi langkahku terhenti mendengar percakapan dari dalam. Itu suara Melati.
"Kenapa kamu nangis, Mel?" tanya seorang pria yang aku yakin itu pasti yang bernama Ridho, "Abang senang bisa lihat kamu lagi."
"Gak apa-apa bang."
"Maaf kalo Abang gak datang ke pernikahan kita."
"Abang jangan bahas itu dulu. Kondisi Abang belum stabil."
Aku terkejut mendengar percakapan dari dalam. Ternyata Ridho adalah calon suami Melati. Kenapa dia masih hidup. Bukankah dia sudah meninggal? Aku bingung.
Kubuka pintu. Melati terkejut melihat kedatanganku. Dia langsung mendatangiku dan menyeretku keluar.
"Abang kok tau aku di sini?" tanyanya.
"Aku tanya Mama. Aku pikir kau yang sakit."
"Aku belum sempat bilang. Hapeku lobet."
"Jadi itu yang bernama Ridho? Kok dia masih hidup?"
"Panjang ceritanya. Nanti aku cerita di rumah. Untuk sementara bang Ridho jangan tau dulu kalo aku sudah menikah. Aku khawatir mengganggu pikirannya dan malah tak baik untuk kesehatannya."
"Baiklah."
"Abang balik aja ke kantor. Aku mau menemui Bang Ridho dulu. Gak apa-apa kan bang?"
"Apa...? Oh iya... tentu saja." suaraku gemetar, "aku balik pergi dulu."
Aku meninggalkan Melati. Aku mengurungkan niat untuk balik ke kantor. Aku pulang ke rumah. Perasaanku jadi tidak enak. Seharusnya aku senang calon suami Melati masih hidup.Dengan begitu aku bisa secepatnya bercerai dengan Melati dan kembali pada Mira. Atau jangan-jangan aku mulai menyukai Melati. Tidak...tidak..., itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin menyukai wanita seperti Melati.
Melati membangunkan aku. Ternyata aku tertidur di sofa. Kulirik jam, sudah sore. Melati duduk di dekatku.
"Aku gak nyangka bang Ridho masih hidup," katanya.
"Kok bisa sih?" tanyaku penasaran.
"Dia koma selama ini. Waktu terjadi kecelakaan, keadaannya kritis. Kakaknya yang kemarin bilang kalo dia sudah meninggal. Karna dia yakin kalo bang Ridho tidak akan selamat."
"Aneh.... Kok bisa dia berpikir seperti itu," aku menyeringai.
"Itu dia. Aku gak nyangka dia tega berbohong."
"Emang dia bisa prediksi umur manusia. Alasannya gak masuk akal,"
Aku jadi emosi mendengar penjelasan Melati. Merasa dipermainkan. Tega sekali kakaknya Ridho itu bilang adiknya sudah meninggal hanya karena berpikir Ridho takkan selamat. Dan selama 4 bulan dia menyembunyikan keberadaan Ridho.
"Jadi selama ini Ridho dirawat di Adam Malik?"
"Nggak bang. Dia di rawat di Singapura. Karna kondisinya sudah membaik dan keadaan keuangan mereka sudah menipis makanya dia di bawa pulang."
"Hmmmm...."
"Sebenarnya salah Papa dan Mama juga kenapa gak langsung melayat pas kejadian. Udah dikubur baru mereka datang."
"Kan masih sibuk dengan pernikahan kita. Lalu kenapa kau bisa tau Ridho dirawat di situ?" tanyaku penasaran.
"Dia siuman dan mendesak kakaknya agar menghubungi aku. Dia telpon Mama dan Mama yang bilang ke aku."
"Hmmmm...."
"Abang mandi sana! Aku tadi udah beli untuk makan malam kita," seru Melati.
"Iya...."
Aku meninggalkan Melati. Dan pergi mandi. Setelah Melati selesai shalat magrib, dia menyiapkan makan malam dan kami makan sambil ngobrol.
"Apa kau mau ke Rumah sakit lagi?" tanyaku.
"Belum tau bang."
"Keluarganya kan ada. Kau tak perlu ke sana."
"Cuma kakaknya Satu-satunya keluarga yang masih hidup. Itu pun karna gak ikut pas mau ke pernikahan."
"Berarti masih ada."
"Emangnya Abang gak ijinkan aku ya menjenguk bang Ridho?" tanya Melati.
"Nggak... nggak seperti itu. Itu terserah kau. Inikan sudah malam. Gak baik seorang wanita keluar pada malam hari."
"Kan ada Abang. Abang bisa temani aku."
"Enak aja... Aku gak mau."
"Kenapa? Ayo dong Bang, temani aku. Aku pengen tau keadaan bang Ridho."
Hatiku panas mendengar perkataan Melati.
"Nggak..., aku gak mau. Pergi aja sendiri. Aku capek." Suaraku meninggi.
"Kalo gak mau ya sudah. Gak usah pakai teriak."
"Siapa yang teriak?"
"Ya Abang. Kayak orang sedang cemburu aja."
"Apa? Cemburu? Cihh...," aku menyeringai, "kau jangan ngaco. Aku gak akan cemburu."
Aku berdiri hendak meninggalkan Melati. Aku emosi mendengar perkataannya. Aku balik lagi dan....
"Hei... Melati, aku bersyukur Ridho masih hidup. Dengan begitu aku bisa ceraikan kau secepatnya dan kembali pada Mira. Huhh..., cemburu..., cemburu apaan?" bentakku.
Melati menatapku. Aku tidak mau melihat tatapannya.
"Oh ya..., kalo kau mau ke rumah sakit malam ini silahkan! Aku gak peduli," aku menimpali.
"Dasar aneh.... Pemarah... Hadeehhh...."
Aku meninggalkannya. Aku tidak mengerti kenapa aku begitu emosi tadi. Telponku berbunyi. Mama yang nelpon.
"Ada apa, Ma?" tanyaku.
"Kata sekretarismu, Melati sakit ya?" tanyanya balik.
"Yang sakit itu temannya. Dia hanya menjenguk."
"Padahal Mama udah ngarap."
"Apaan?"
"Melati sakit karna hamil."
"Hamil...? Mama jangan ngaco deh!"
"Loh..., kok ngaco sih? Kalian kan suami istri jadi wajar kalo pun Melati hamil. Mama sudah pengen menimang cucu."
"Mama gak akan sempat menimang cucu. Lija dan aku saja kurang perhatian. Mama sibuk tiap hari. Lebih baik sekarang kasih tu perhatian ma Lija baru berharap menimang cucu."
Mama terdiam. Dia tidak dengar aku memanggil-manggilnya. Kuputus panggilan kami.
Bersambung #6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel