Cerita bersambung
Aku tidak menemukan Melati di rumah sepulang dari kerja. Dia pasti menjenguk Ridho. Aku mandi. Selesai mandi, nyalakan TV. Semua channel sudah kuputar tapi tidak ada yang menarik. Jadi kesal karena Melati tak pulang-pulang. Sepi rasanya tidak ada dia.
Sampai malam hari Melati tidak pulang. Aku sudah tidak tahan lagi. Kuambil hape dan belum sempat aku menelpon, dia sudah menelpon lebih dulu.
"Kau dimana Melati?" tanyaku kesal.
"Salam dulu. Kebiasaan deh," sahutnya.
"Kau pasti bersama Ridho kan?"
"Bang..., aku...."
"Kau istri macam apa? enak-enakan berduaan dengan mantan pacar sedangkan suamimu kelaparan di rumah."
"Sejak kapan abang nganggap aku istri?"
"Tetap saja kan kita itu suami istri," aku kesal.
"Abang cemburu ya?" dia tertawa.
"Cihhh..., gak usah kegeeran. Aku lapar."
"Ya datang ke sini!"serunya.
"Untuk apa aku datang ke sana? Mau pamer kemesraan ya?" aku emosi.
"Makanya dengarkan dulu penjelasanku. Aku tadi pergi ke sekolah Lija. Ada acara PENSI. Orangtua diundang. Mama dan Papa gak bisa datang makanya Lija ngajak aku ke sekolah."
"Jadi sekarang kau dimana?"
"Di rumah Mama. Udah cepat datang! Biar kita makan malam bersama."
"Ya sudah. Aku datang."
Aku segera meluncur ke rumah Orangtuaku. Sampai di sana, mereka sudah menunggu di meja makan. Aku duduk di dekat Melati. Kami pun makan malam bersama diiringi canda tawa Melati, Lija dan Papa juga Mama. Aku terharu, sebelumnya tidak pernah ada kehangatan seperti ini di rumah kami. Melati mampu buat suasana rumah jadi ramai.
"Pa... Ma..., kami pulang dulu," pamitku.
"Besok pagi saja pulang, Dir. Kalian nginap di sini malam ini," kata Mama.
"Lain kali saja Ma."
"Cieee..., Kak Dira pengen berduaan terus sama Kak Melati makanya ngajak pulang," sambung Lija.
"Huhhh...," cibirku, "anak kecil gak usah sok tau."
Melati tersipu.
"Ya udah kami pulang dulu," pamitku.
Aku dan Melati menyalam Papa dan Mama. Lalu kami pergi.
"Bang..., nanti singgah dulu ya di Apotik," kata Melati ketika sudah di Mobil.
"Ngapain?" tanyaku tanpa melihat ke arah Melati.
Aku menyetir dengan pandangan lurus ke depan melihat jalanan.
"Mau beli sesuatu," jawabnya.
"Beli apa?"
"Adalah."
"Apaan?" tanyaku balik.
"Huhhh..., kepo banget sih."
"Kalo gak mau bilang, aku gak mau berhenti."
Melati cemberut. Aku tersenyum sudah berhasil buatnya kesal.
"Beli pembalut," kata Melati pelan.
"Owhh.... Bilang pembalut aja susah."
"Malu tauu...."
"Hmmm...."
Aku menghentikan mobil tepat di depan sebuah Apotik. Melati turun dan masuk ke dalam apotik. Telponku berbunyi. Aku mengangkatnya.
Tidak berapa lama Melati datang. Dan mobil yang kukemudi kembali meluncur di jalanan.
Aku menghentikan mobil di sebuah Kafe.
"Kok berhenti bang?" tanya Melati.
"Mau temui teman sambil minum"
"Apa?" Melati kaget, "Abang pengen mabuk ya?"
"Negatif aja pikiranmu. Kopi kok atau apalah yang penting bukan alkohol. Kau mau ikut atau tetap di mobil?"
"Aku takut sendiri di sini."
"Ya sudah. Ayo turun!" seruku.
Aku dan Melati masuk ke dalam Kafe. Aku mencari Adam bersama tiga orang teman kami. Kami menemui mereka.
"Cieee..., Dira datang bersama istrinya. Benar-benar suami yang baik," seru Bisma.
"Suami yang setia," sambung Dhika.
Mereka tertawa.
"Apaan sih. Kami tadi lagi di jalan pas kalian telpon. Jadi sekalian aja mampir."
Kami ngobrol membicarakan pekerjaan diiringi canda tawa. Melati diam saja. Kulihat Adam memperhatikan Melati. Aku tidak suka. Aku merapatkan dudukku pada Melati.
"Bang..., aku ngantuk," kata Melati.
"Sebentar lagi. Masih ada yang mau dibicarakan," balasku.
Melati melipat tangannya di meja dan menyandarkan kepala di atas tangannya.
"Istrimu sudah ngantuk tuh, Dir," kata Bisma.
"Kalian pulang saja. Kasihan Melati," sambung Adam.
"Jadi nama istrimu Melati ya, Dir?" tanya Dhika, "nama yang cocok untuk wanita secantik dia."
Aku senang mendengar perkataan Dhika.
"Kenapa tidak aku ya yang menggantikan calon Melati pas pernikahan. Malah kau Dir," sambung Bisma sambil tertawa.
Kulirik Adam. Dia masih memperhatikan Melati. Aku kesal. Lalu kupeluk Melati dari belakang. Tiba-tiba...
"Auuuu..." jeritku tertahan.
Melati menginjak kakiku. Aku melepas pelukanku. Adam tersenyum melihat tingkahku. Aku tahu dia sengaja memperhatikan Melati ingin melihat reaksiku. Dia teman yang paling tahu apa yang kurasakan.
Kami terus mengobrol. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 23.15.
"Bro..., aku duluan ya. Kasihan Melati," kataku.
"Hadehhh... gitu tu kalo udah punya istri. Pengen di rumah terus. Gak betah di luar," goda Bisma.
Aku tertawa.
"Iya deh..., kasihan istrimu. Sepertinya sudah tertidur," sambung Adam.
Aku membangunkan Melati tapi dia tidak terbangun.
"Kasihan Dir. Udah tidur dibangunin gitu. Gendong aja," usul Dhika.
Benar kata Dhika. Aku juga tak sampai hati membangunkan Melati. Aku mengangkat tubuh Melati dan permisi pulang duluan pada mereka. Mereka meledekku.
Kami sudah sampai di rumah. Kulihat Melati tertidur pulas. Aku menatapnya lekat-lekat. Cantik sekali. Pelan-pelan kugerakkan wajahku mendekat. Tidak ada jarak lagi. Dan tiba-tiba mata Melati terbuka.
"Aaaaakkkkk...." dia menjerit.
Aku terkejut. Dan langsung menjauh.
"Abang mau ngapain?" tanyanya.
"Bangunin.... Dari tadi gak terbangun," jawabku.
Aku keluar dari mobil. Melati juga.
***
Melati duduk termenung. Dia tidak menyadari kedatanganku. Aku lelah sekali. Hari ini pekerjaan banyak sekali. Aku duduk di dekatnya.
"Mikirin apa?" tanyaku.
"Eh..., abang....," dia terkejut.
"Kau gak ke rumah sakit?"
"Udah, tadi."
"Sendiri?" tanyaku.
"Sama Mama."
"Gimana keadaan Ridho?"
"Alhamdulillah..., udah membaik. Dia sudah tahu bahwasanya aku sudah menikah."
"Kok bisa?"
"Dia mendengar percakapan aku dan kakaknya."
"Ya baguslah. Kau tak perlu menjelaskannya lagi. Apa kau akan kembali padanya?" tanyaku.
"Hmmmm...." Melati berdehem, "ntahlah bang."
"Kenapa? Apa kau sudah tak mencintainya lagi?"
"Cinta sesama manusia itu ada batasnya bang. Kalo aku bisa milih, aku ingin mempertahankan rumah tanggaku."
"Apaa??"
Aku terkesima mendengar ucapan Melati.
"Alloh membenci yang namanya perceraian bang. Tapi sepertinya hubungan kita emang sulit dipertahankan," kata Melati.
"Maafkan aku Melati," sahutku.
Hanya itu yang bisa kuucapkan. Sebenarnya banyak yang ingin kukatakan tapi lidahku terasa berat. Setiap kali membicarakan masalah pernikahan, bayangan wajah Mira selalu muncul. Aku bingung apa itu cinta atau rasa kasihan.
Aku masuk ke kamar. Kutatap isi kamarku. Semua tersusun rapi. Semua ini Melati yang menatanya. Aku tersenyum.
Aku tak bisa tidur. Ku ambil hape dan mencari kontak nama Adam. Kusentuh tanda memanggil.... Adam mengangkatnya.
"Ada apa?" tanyanya.
Aku tersenyum. Adam paham setiap aku menelpon tengah malam, pasti ada hal yang mengganjal pikiranku.
"Ridho masih hidup," sahutku.
"Siapa Ridho?" tanyanya lagi.
"Calon suami Melati."
"Apa?" Adam kaget, "yang benar?"
"Apa kau pikir aku sedang bercanda?"
"Jadi itu yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya lagi.
"Nggak ah...."
"Kau jangan bohong. Aku tau kau mulai menyukai Melati."
"Sok tau...."
"Siapa lagi yang ngerti dirimu selain aku."
"Ntahlah, Dam. Aku senang aja gangguin dan bikin dia kesal. Kalo dia gak ada rasanya sepi."
"Itu artinya kau mulai menyukainya."
"Tapi..., tiap kali aku teringat pada Mira, aku mulai menjaga jarak dengan Melati. Aku gak bisa melepas Mira."
"Kau tiap hari ketemu dengan Melati. Wajar saja kau mulai merasakan arti hadirnya. Apalagi dia itu menyenangkan dan baik. Cantik pula."
"Ya dia baik dan mudah memaafkan kesalahan orang lain. Dan..., cantik."
"Nah..., kau akhirnya ngakui kalo Melati itu cantik," ledek Adam.
Aku tertawa.
"Apa kau menyukai Melati?" tanyaku.
"Ya aku menyukainya."
"Jujur banget."
"Ahahahaa..., tapi aku gak egois, Dir. Kalo kalian saling suka, aku gak akan mendekatinya. Tapi jika kau melepas Melati, aku akan mengejarnya."
"Aku gak akan bisa merebut hati Melati dari Ridho."
"Dasar pengecut. Dia kan istrimu. Milikmu. Kalo kau mencintainya ya perlakukan dia sebagai istri."
"Bagaimana dengan Mira?"
"Lepaskan."
"Aku gak bisa."
"Kenapa?"
"Gak tega."
"Ahh..., dasar payah. Tegas dong jadi pria."
=====
Pulang dari lari pagi di hari Minggu, aku ambil air minum. Kulihat Melati seperti ingin pergi. Dia membawa tas kecil.
"Mau kemana?" tanyaku.
"Ke rumah Mama."
"Ngapain?" tanyaku lagi.
"Ya main-main aja. Sekalian nanti belajar masak. Selama seminggu ini, aku rutin belajar masak."
"Paling juga nanti rasa masakanmu aneh. Gak cocok untuk dimakan manusia."
"Terserah mau bilang apa."
Dia cemberut. Aku jadi khawatir Melati bukannya ke rumah Mama Wina malah menjenguk Ridho.
"Kau gak boleh pergi," seruku.
"Kenapa?"
"Pokoknya gak boleh."
"Apa salahnya aku ke rumah Mama."
"Kalo aku bilang gak boleh ya gak boleh. Kau itu istriku jadi seorang istri dilarang keluar rumah tanpa ijin suami."
"Tapi bang...."
"Mau berdosa?"
Pertanyaanku membuat Melati terdiam. Dengan wajah masam dia masuk ke kamar. Hentakan kakinya ketika berjalan terdengar keras. Saking kesalnya. Aku tersenyum penuh kemenangan.
Aku duduk di sofa dan nyalahkan TV. Melati tak keluar-keluar dari kamarnya. Aku mendatanginya.
"Mel..., aku lapar."
"Ya abang sarapan aja. Kan sudah tersedia di meja," kata Melati dengan wajah yang masih cemberut.
Aku beranjak ke dapur. Kubuka tudung saji yang di atas meja. Di dalam ada nasi goreng. Kucicipi. Rasanya lumayan enak. Berarti Melati sudah mulai pandai masak.
Selesai sarapan, aku kembali menonton. Melati tak juga keluar dari kamarnya. Aku cari akal buat alasan agar Melati keluar. Ada yang kurang kalau tak menggodanya.
Baru saja aku berdiri hendak ke kamarnya, dia sudah datang membawa seember air dan kain pengepel. Aku kembali duduk dan menonton sambil makan kacang.
Melati diam saja. Dia masih cemberut. Aku mencari akal akal agar dia bicara. Kubuang kulit kacang dan bungkusnya ke lantai. Melati datang memungutnya. Aku pura-pura menonton. Dia tetap tidak bicara. Kubuang lagi kulit kacang ke lantai dan kembali Melati memungutnya. Kubuang lagi dan dia pungut lagi. Dan sekali lagi kubuang.
"Apa sih maksut Abang?" tanyanya kesal.
"Kenapa?" tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Dari tadi Abang terus buang sampah di lantai."
"Kau kan ada. Ya buang saja."
"Abang kan bisa ngumpulinnya. Jangan dibuang sembarangan di lantai."
"Ya kau pungut dong!"
"Sejak kapan aku tukang pungut sampah?"
Aku melihat ke arah Melati.
"Sejak kau tinggal di sini," jawabku santai.
"Dasar menyebalkan".
Melati mengambil keranjang tempat ia membuang sampah kulit kacangku. Dia menumpahkannya ke badanku. Aku berdiri agar sampah-sampah itu jatuh dari tubuhku.
"Kau apa-apaan sih?" tanyaku kesal.
"Kenapa? Marah?" tanya Melati.
Karena jarak kami cukup dekat, dia mendongak ke atas agar bisa menatapku. Kami saling tatap dengan mata menyala.
"Ayo bersihkan!" seruku.
"Nggak.... Bersihin aja sendiri."
Melati berjalan menjauhiku. Dia masuk ke kamarnya. Dan keluar membawa tas.
"Kau mau kemana?" tanyaku.
"Terserah aku mau kemana. Aku muak berada di sini."
Ingin rasanya kukatakan jangan pergi tapi egoku mengalahkan keinginanku.
"Jadi kau merasa muak? Ya sudah, pergi dari sini!" seruku.
"Baik. Aku pergi."
Melati berjalan keluar.
"Melati...," panggilku.
Melati menoleh. Aku jadi bingung mau bilang apa. Dan....
"Jangan lupa bawa pakaianmu!"
Akhh..., kenapa itu pula yang keluar dari mulutku, gerutuku dalam hati.
"Nanti sopir Papaku yang jemput," katanya.
Melati keluar dari rumah sambil membanting pintu. Aku kesal lalu kubanting semua bantal yang ada di sofa ke lantai. Kenapa jadi seperti ini. Padahal tadi niatku bikin Melati bicara.
Sampai sore Melati tak balik ke rumah. Berkali-kali kulihat daftar kontak di hapeku nama Melati. Tapi aku tak jadi menelponnya. Aku khawatir juga bagaimana kalau Melati pergi ke Rumah sakit. Ku ambil hape dan kutelpon Mama Wina.
"Asslamu alaikum," sapa Mama dari sana.
"Wa'alaikum salam. Ma..., ada Melati di sana?" tanyaku.
"Ada tapi udah pulang dari tadi."
"Oh gitu Ma. Mungkin lagi di jalan Ma. Ya udah dulu ya Ma. Assalamu alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Panggilan terputus. Aku jadi bingung. Kata Mama Melati udah pulang dari tadi tapi tidak ada sampai di rumah. Enggan rasanya untuk menanyakan ke dia langsung. Ku kirim pesan pada Adam.
[Dam... coba tanyakan Melati ada di mana?]
Masuk balasan dari Adam
[Kenapa kau gak tanya langsung ma dia?]
[Dia gak mau balas pesan dariku]
Aku berbohong pada Adam.
[Kalian berantem lagi ya?]
[Gak usah banyak tanya. Cepat tanyakan sekarang]
Tidak ada lagi balasan dari Adam. Aku yakin dia sedang menelpon Melati. Jadi gregetan nunggu balasan dari Adam. Akhirnya masuk juga pesan darinya.
[Melati menjenguk Ridho. Tadi pergi bersama kakak Ridho]
Aku tidak balas pesan dari Adam. Segera saja menuju garasi dan menjalankan mobil dengan laju menuju Rumah sakit. Sampai di sana, langsung saja aku masuk ke ruangan tempat Ridho dirawat.
"Kau di sini rupanya," kataku pada Melati, "hai Ridho, bagaimana kabarmu?"
"Alhamdulillah, sore ini aku sudah diperbolehkan pulang," jawab Ridho.
"Syukurlah," aku tersenyum walau dengan terpaksa.
"Bang Ridho..., kenalkan ini bang Dira, suamiku," Melati memperkenalkanku pada Ridho.
Aku mengulurkan tangan Ridho dan dia menyambutnya. Kami bersalaman.
"Terima kasih atas kunjungannya," sambung Ridho.
"Aku ke sini untuk menjemput Melati. Ayo Mel..., udah sore nih."
"Nggak...," jawab Melati setengah berbisik kepadaku.
Aku menarik tangannya keluar.
"Apa-apaan sih? Aku gak mau pulang," kata Melati.
"Apa kau ingin mengantar Ridho pulang ke rumahnya?" tanyaku.
"Ya..., emang kenapa?"
"Kau itu istriku. Seorang istri gak boleh menjenguk pria lain tanpa ijin suami."
"Ya sudah...., kita bercerai sekarang."
Kutatap Melati. Dia tidak pernah seperti ini. Apa dia benar-benar marah. Aku jadi merasa bersalah.
"Bukankah kau yang bilang gak boleh bilang kata cerai," balasku, "ayo pulang!"
"Aku gak mau pulang sama Abang. Aku mau pulang ke rumah Mama. Abang kan udah mengusirku."
Aku tidak tahu mau bilang apa. Kuangkat Melati dan membawanya keluar Rumah sakit.
"Turunkan aku..." Melati setengah berteriak.
Aku tidak mempedulikan teriakannya. Orang-orang melihat ke arah kami dengan heran. Aku tidak peduli. Ku turunkan Melati di depan mobil.
"Masuk!" seruku.
Melati menurut walau wajahnya seperti jeruk purut. Sampai di rumah, dia langsung masuk ke kamarnya. Sampai malam, Melati tidak keluar dari kamarnya. Aku mendatanginya ke kamar.
"Melati..., aku lapar. Masak dong!" seruku.
"Malas...."
"Hei..., aku suamimu jadi kau harus layani aku."
"Sebentar lagi kita akan bercerai."
"Sebelum bercerai, aku tetap suamimu. Jadi kau wajib memasak untukku. Cepat.... Atau kau akan berdosa."
Melati beranjak dari tempat tidur. Dia meninggalku. Aku tersenyum. Setiap aku katakan nanti berdosa, Melati pasti menuruti perintahku. Kata-kata itu jadi senjata andalanku.
Aku menyusulnya ke dapur. Kuperhatikan Melati yang sedang memasak. Dia kelihatan seksi ketika memasak. Selesai sudah masakan Melati. Dia menghidangkannya di meja dan mengambilkan piring dan gelas untukku. Dia duduk di depanku. Kami pun makan. Melati diam saja. Aku jadi merasa tidak enak.
"Mel..., masakanmu lumayan enak," kataku.
Melati tetap diam.
"Aku pikir orang sepertimu gak bisa belajar," sambungku.
"Emang Abang pikir Abang tu hebat sehingga Abang selalu menganggap aku bodoh."
Aku tersenyum.
"Kau masih marah ya?" tanyaku.
"Aku benci Abang," sahutnya.
"Tapi aku enggak kok. Iya deh..., aku minta maaf."
Melati diam. Dia cemberut. Aku mencari akal bagaimana agar Melati bicara.
"Mel..., ada kecoak," seruku sambil menunjuk ke arah tangannya.
Melati menjerit sambil mengibas-kibaskan tangannya. Dia berdiri.
"Itu dia...," aku menunjuk ke arah kakinya.
Melati melompat-lompat. Aku tertawa. Tanpa sadar, dia sudah duduk di pangkuanku. Kami saling tatap.
"Aku cuma becanda, Mel. Gak ada kecoak kok," kataku.
"Huhh..., dasar menyebalkan."
Melati memukul-mukul dadaku.
"Kau berat juga ya," balasku.
Melati tersadar kalau dia sedang duduk di pangkuanku. Dia langsung berdiri dan duduk di kursi yang dia duduki semula.
"Kau sih...,percaya aja. Mana mungkin ada kecoak di rumah ini. Kenapa kau belajar masak? Apa karna aku?" tanyaku.
"Ya.... Aku ingin masak sesuatu yang enak untuk Abang."
"Oh ya...?"
"Iya supaya Abang gak bilang aku bodoh lagi."
Aku tertawa
Bersambung #7
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel