Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 26 Maret 2020

Pernikahan Melati Dan Dira #7

Cerita bersambung


Aku keluar dari kamar dengan pakaian sudah rapi menuju meja makan dan duduk. Melati menghidangkan nasi goreng ke hadapanku.
"Sarapan bang!" serunya.
"Nasi goreng ya? Ntar kayak yang kemaren-kemaren tu?"
"Cicipin dulu baru komen."
Kucicipi sedikit nasi goreng itu.
"Lumayanlah...,"sambungku, "lebih baik dibanding yang kemaren tu. Ini baru namanya nasi goreng."
"Jadi yang kemaren tu apa?"
"Nasi kucing," jawabku sambil tersenyum.
"Huhh... abang kan kucingnya."
Selesai sarapan, aku langsung berangkat kerja. Pagi ini ada meeting dengan klien. Ada banyak yang harus dipersiapkan untuk keperluan meeting.

Selesai meeting aku ke Restaurant Mira. Dia menelpon nyuruh aku datang. Kami ngobrol di salah satu meja. Biasanya kami di ruangan Mira.
"Dir..., aku ingin secepatnya kalian bercerai," kata Mira, "aku dengar calon suami Melati masih hidup. Itu bisa jadi alasan kalian bercerai."
"Sabar ya, Mir," balasku.
"Sampai kapan aku harus bersabar?" tanyanya.
"Pernikahan kami kan belum sampai 6 bulan."
"Apa harus 6 bulan baru bisa cerai? Kan nggak sih. Besok juga bisa kok."
"Tapi itu gak mungkin."
"Kenapa gak mungkin? Apa kau mulai menyukai Melati?"
"Kau jangan ngaco deh."
"Ya sudah kalo gitu segera ceraikan dia."
Mira berdiri.
"Jangan pernah temui aku lagi kalo kau gak mau ceraikan Melati," sambungnya.
"Jangan gitu dong, Mir."
"Sebelum kalian bercerai, aku gak mau bertemu denganmu."
Mira berjalan meninggalkan aku. Aku mengejarnya.
"Mir..., tolong mengerti posisiku."
"Kau juga harus ngerti aku, Dir. Selama ini aku sudah bertahan. Dan sekarang aku gak tahan lagi. Aku cemburu, Dir. Kalian setiap hari berduaan."
Mira meninggalkanku. Aku segera pulang. Pikiranku kacau jadi malas balik lagi ke kantor.

Sampai di kamar kulihat Melati duduk di kursi ruang makan. Makanan terhidang di meja depannya dan itu belum tersentuh.
"Kau belum makan?" tanyaku.
"Aku menunggu Abang."
"Kenapa kau menungguku?" tanyaku lagi.
"Apa salah aku menunggu? Telponku gak Abang angkat. Ternyata Abang berduaan dengan Mira."
Aku bingung kenapa Melati bisa tahu.
"Dari mana kau tahu?" tanyaku.
"Aku melihatnya."
"Ngapain kau ke sana?"
"Mama mengajakku ke sana. Sebenarnya aku menolak karna aku khawatir Abang berada di sana. Tapi aku tak punya alasan menolak ajakan Mamaku. Dan kami melihat Abang lagi berduaan dengan Mira."
"Seharusnya kau cari alasan agar Mama tidak ke sana."
"Apa alasanku? Lagian mana aku tahu Abang di sana," suara Melati meninggi.
"Akh...." aku menarik rambutku ke belakang.
Aku bingung dan mengkhawatirkan Mama Melati. Sungguh aku tak ingin menyakitinya.
"Kenapa Abang harus menemuinya? Apa dia begitu berharganya untuk Abang?" tanya Melati. Matanya menatapku tajam.
"Ya..., dia sangat berharga untukku." Aku diam sejenak. "Dibanding kau," sambungku.
Mata Melati berkaca-kaca. Dia setengah berlari meninggalkanku.
Aku masuk ke kamar. Pikiranku kacau. Bingung. Kubanting bantal untuk meluapkan emosiku.
Aku mengkhawatirkan Melati. Bagaimana kalau dia benaran belum makan dari tadi siang. Ini sudah malam.
Aku berjalan menuju kamarnya. Dia tidak ada di sana. Kulihat ke dapur, juga tidak ada. Aku membuka pintu. Melati ada di sana, di teras rumah. Duduk sambil melamun.
Kutarik napas dalam-dalam lalu bertanya, "apa kau sudah makan?"
Melati tidak menjawab.
"Kalo kau tak makan, kau bisa sakit, Mel," timpalku.
"Emang kenapa kalo aku sakit? Gak usah pedulikan aku."
Aku kesal mendengar jawaban Melati.
"Siapa yang peduli? Aku juga yang susah kalo kau sakit. Aku gak mau disalahkan. Makanya kusuruh kau makan. Udah cepat makan sana. Jangan menyusahkanku."
Melati berdiri lalu berkata, "Abang pikir aku bodoh, gak mau makan gara-gara Abang. Huhh..., aku gak peduli Abang tu mau kemana, menemui siapa." Dia meninggalkanku.
Melati berusaha menghidar. Dia tidak keluar kamar jika aku di rumah. Selesai memasak langsung masuk kamar. Seperti pagi ini, dia memasak untuk sarapan dan setelah menghidangkannya di meja, dia tak kelihatan. Aku sarapan sendiri.

Siang ini, aku berniat makan di rumah supaya bisa bertemu dengan Melati. Jam makan siang, aku pulang. Kulihat sudah tersedia makanan di atas meja. Masih panas. Tapi aku tak melihat Melati. Mungkin dia ada di kamarnya, batinku.
Aku mendatangi kamarnya. Pintu tidak dikunci. Melati ada di dalam. Aku ingin masuk tapi langkahku terhenti mendengar percakapan Melati. Dia sedang menelpon. Melati menghidupkan speker sehingga aku bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.
"Kalo kalian emang mau bercerai, aku siap menikahimu. Apa kau mau menikah denganku?" tanya si penelpon.
Suara pria dan aku yakin itu adalah suara Ridho.
"Apa?" tanya Melati.
"Aku masih mencintaimu, Mel. Kalo pernikahanmu tidak bahagia dan Dira berniat menceraikanmu, kembalilah padaku. Aku emang tidak bisa menjanjikan kebahagiaan tapi aku akan berusaha membuatmu bahagia karena aku mencintaimu."
"Tapi bang...."
"Apa kau mulai mencintai Dira?"
"Ntahlah Bang. Aku pun bingung tentang perasaanku. Setiap kami ketemu, pasti bertengkar. Dia selalu menyebalkan. Tapi sebenarnya bang Dira orangnya baik. Kadang dia bersikap manis. Aku bingung. Aku tak bisa memberi keputusan pada Abang."
"Aku akan menunggumu."
Aku tak suka mendengar percakapan itu. Ingin rasanya kurebut hape Melati dan membantingnya tapi aku tak melakukannya. Aku sadar, aku juga tidak bisa melepas Mira. Jadi aku berpikir, Melati juga berhak memilih jalan hidupnya. Aku merasa tak punya hak menghalangi Ridho menunggu.
Aku berjalan meninggalkan kamar Melati dengan langkah gontai. Selera makanku jadi hilang. Aku meninggalkan rumah.
Aku ke Restauran Mira karena perutku lapar. Setelah pesan makanan aku menelpon Mira.
"Kau dimana?" tanyaku.
"Di ruanganku."
"Cepat datang. Aku udah di sini. Aku tunggu."
Aku matikan telpon. Tidak berapa lama Mira datang. Dia duduk di hadapanku.
"Ada apa kau kemari?" tanya Mira, "kan sudah kukatakan, kau jangan temui aku sebelum kalian bercerai."
"Baiklah...."
Mira menautkan alisnya
"Maksudnya?" tanyanya bingung.
"Aku akan menceraikan Melati."
"Yang benar?"
"Iya..., dan kita menikah."
Mira mendekatiku lalu memelukku dari belakang.
"Makasih sayang...," serunya.
Aku hanya tersenyum. Tidak ada debaran itu lagi jika bertemu Mira. Aku tak berniat menciumnya seperti dulu.
***

Seperti biasa, sarapan sudah terhidang tapi Melati tidak kelihatan. Dia masih saja menghindar dariku. Aku jadi merasa bersalah. Apakah aku sudah menyakiti hatinya sampai dia tidak mau bertemu denganku. Aku sarapan sendiri. Lalu berangkat kerja. Kulihat Melati di teras depan sambil menyiram bunga-bunga yang ia beli.
"Kau sudah sarapan?" tanyaku.
"Ya...." jawabnya tanpa menoleh.
"Yang benar?"
"Ya....," jawabannya sama dan tetap tidak melihat ke arahku.
"Kenapa denganmu, Mel?" tanyaku.
"Maksud Abang?"
"Kau selalu menghindar dariku dan tak pernah menyapaku."
Melati berhenti menyiram bunga.
"Kita kan akan segera bercerai jadi mulai sekarang aku harus membiasakan diri untuk hidup tanpa melihat Abang. Dan abang juga harus belajar."
Emosiku naik mendengar perkataan Melati.
"Aku tak perlu belajar. A... aku pasti dengan gampang melupakanmu. Emang kau siapa?"
"Ya sudah..., jangan protes dengan apa yang kulakukan. Yang penting aku tetap menyiapkan makan Abang."
"Aku merasa gak enak aja serumah tanpa komunikasi."
"Emang kenapa? Aku kan bukan siapa-siapa bagi Abang. Yang penting dalam hidup Abang cuma Mira. Jadi untuk apa kita harus saling sapa."
Aku terdiam. Melati kembali melanjutkan pekerjaannya. Dia menyirami bunga itu. Aku tersenyum melihatnya. Dari tadi dia terus menyiram bunga yang satu itu sampai airnya tumpah. Dia kaget melihatnya. Aku geleng kepala sambil tersenyum.
"Apa? Kenapa tersenyum?" tanyanya sambil berkecak pinggang seperti orang yang menantang berkelahi.
Aku hanya tersenyum. Lalu melangkah pergi. Tapi... aku balik lagi.
"Mel..., aku minta maaf jika sudah membuatmu tersinggung. Waktu itu aku lagi kesal jadi keluar kata-kata itu. Maaf ya...," kataku sambil mengacak-acak jilbabnya.
Mulutnya maju ke depan karena kesal. Aku tersenyum dan meninggalkannya.
***

Ada pekerjaan yang harus kukerjakan di luar kota. Aku menelpon Melati memberitahu padanya kalau aku tidak pulang. Mungkin dua hari baru pulang. Aku mengkhawatirkannya tinggal sendiri di rumah. Bagaimana kalau turun hujan. Melati pasti ketakutan.

Malam hari kutelpon dia.
"Kau dimana, Mel?" tanyaku.
"Aku di kamar Lija."
"Berarti kau di rumah Mamaku?"
"Iya..., tadi siang Lija menelpon nyuruh aku datang. Dia kesepian."
"Baguslah kalau kau di sana. Kau tidur di situ aja. Jangan di rumah."
"Iya...."
"Ya sudah ya..., baik-baik di sana. Jangan nakal."
"Apaan sih?"
Aku tersenyum.
"Jangan kelayapan ke rumah Ridho," sambungku lalu memutus panggilan sebelum Melati ngomel. Aku tersenyum membayangkan wajah cemberutnya.
Dua hari aku di luar kota. Aku merindukan Melati. Bayangan wajahnya selalu menghantui dalam ingatan. Aku senyum sendiri jika mengingat dia lagi cemberut karena kesal padaku. Akhh... kenapa aku harus merindukannya. Seharusnya aku merindukan Mira.
***

Aku sampai di rumah. Kulirik jam tanganku, sudah jam 20.00. Melati tidak ada di rumah. Kutelpon dia.
"Aku sudah nyampek rumah. Kau dimana?" tanyaku.
"Di rumah Mama. Nih lagi di kamar Lija."
"Aku jemput ya?"
"Iya...."
Mobilku meluncur di jalanan menuju rumah orangtuaku. Sampai di sana, kami pamit pulang. Tapi kami tidak langsung pulang. Aku menghentikan mobil tepat di depan sebuah kafe.
"Kita ngapain ke sini Bang? apa Abang belum makan malam?" tanya Melati.
"Sudah. Duduk-duduk aja. Kita kan gak pernah keluar malam."
Melati mengikuti langkahku. Kami duduk di meja paling pojok. Sepi tidak ada pengunjung di sini.
"Kita pulang aja Bang!" ajak Melati.
"Loh..., kenapa? apa kau tak suka tempatnya?" tanyaku.
"Suka.... Aku gak mau meninggalkan banyak kenangan selama kita menjadi suami istri. Itu akan membuat aku sulit melupakan Abang nantinya. "
"Kita kan gak perlu saling melupakan. Justru aku ingin mengingat saat-saat bersama kita setelah bercerai."
"Emang ada ya Bang kenangan indah saat kita bersama?"
Aku menatap Melati.
"Apa kau begitu tersiksa selama ini, Melati?" tanyaku serius.
"Maksud Abang?"
"Apa aku begitu buruk di matamu?"
Melati menggelang pelan.
"Bagiku Abang orang baik yang rela menunda kebahagiaannya demi menikahi perempuan yang tidak dikenalnya. Kalau Abang tidak menikahiku mungkin Abang sudah hidup bahagia bersama Mira," jawab Melati.
"Apa ada jaminan aku bisa bahagia bersama Mira? Nggak kan? Bahkan aku mulai meragukan bisa hidup bahagia bersama Mira."
"Kenapa?"
"Mira perempuan egois yang sudah biasa hidup mandiri. Aku menginginkan wanita yang hanya di rumah mengurus keluarga. Wanita manja dan sholeha. Semua itu ada padamu bukan Mira."
"Apa???"
Aku terbawa suasana sehingga ucapan itu keluar begitu saja tanpa kusadari. Aku jadi malu. Kami terdiam.
"E... tapi... tapi aku akan mencoba menerima dia apa adanya," jawabku gugup.
Ahh...sial. Kenapa aku harus mengucapkan kata-kata tadi. Aku menyesal.
"Ya..., harus seperti itu. Abang harus menerima dia apa adanya," sambung Melati.
"Apa kau akan kembali pada Ridho setelah kita bercerai?" tanyaku.
"Aku gak tau Bang. Aku gak mungkin langsung menikah setelah bercerai. Aku butuh waktu untuk sendiri."
"Kau harus mencari kebahagiaanmu, Mel. Menikahlah dengan Ridho kalo itu bisa membuatmu bahagia. Dia itu lelaki impianmu. Aku yakin dia pasti bisa membahagiakanmu."
"Aku..., aku sudah tidak mencintainya."
"Kenapa?"
"Ntahlah...."
Kami terdiam dan saling menatap. Tatapan Melati selalu membuatku terhipnotis. Aku suka. Tanpa sadar, pelan-pelan aku mendekat. Dekat sekali hingga wajah kami tidak ada jarak. Aku mencium keningnya lalu turun kebibir. Ku kecup bibir berwarna pink yang hanya dioles pelembab. Melati diam saja dan membiarkannya. Aku langsung melumat bibirnya. Jantungku berpacu dengan cepat. Aku yakin belum pernah ada yang menyentuh bibir itu. Melati begitu kaku. Dia tidak membalas lumatanku. Dia hanya diam..
Akhh... aku menginginkan lebih dari ciuman. Tapi aku sadar kami berada di kafe bukan rumah. Tiba-tiba Melati mendorongku. Lalu dia berlari meninggalkanku.

=====

Bingung bagaimana menghadapi Melati. Gengsi masih saja menang dalam pertarungan bathin.
Sepanjang perjalanan pulang, kami diam membisu. Pandangan Melati lurus ke depan dengan ekspresi wajah yang tak dapat kupahami. Aku juga enggan tuk menyapanya.
Pikiranku tetap tidak enak. Apakah Melati marah? Aku harus menjelaskan semuanya tapi tidak tahu harus memulai kata-kata dari mana. Aku jadi kesulitan tidur. Pikiran selalu ingat adegan ciuman itu.
Akhirnya kuputuskan untuk menemui Melati. Lampu kamarnya sudah mati. Aku dorong pintu kamarnya, ternyata dikunci. Tumben, biasanya dia selalu lupa kunci pintu kamar. Aku mengurungkan niatku. Tapi... akhirnya kuketuk juga pintu kamar itu.

"Mel..., Melati..., apa kau sudah tidur?" tanyaku.
Kudengar suara langkah mendekat dan pintu terbuka.
"Ada apa?" tanyanya, "ganggu orang tidur aja."
"Mel..., aku... aku... apa ya?" aku gugup, "begini Mel..., sebenarnya... itu."
"Apaan sih? Ngomong yang jelas."
Aku jadi kesal. Aku sudah gugup tapi Melati santai saja. Apa dia sudah lupa?
"Aku mau jelasin soal ciuman tadi. Itu... itu bukan sengaja. Kau jangan salah paham."
"Owhh..., itu. Aku sudah lupa."
"Apa?" aku heran.
"Bahkan aku menganggap itu bukan ciuman. Anggap aja tabrakan. Misalnya aku lagi nabrak kucing trus terjadi deh...."
"Jadi kau anggap aku kucing?" tanyaku kesal.
Melati mengangguk. Aku tambah kesal.
"Lalu kenapa kau menikmatinya?"
"Aku tidak menikmatinya."
"Aku lihat kau sampai mejamkan matamu. Itu artinya kau menikmatinya."
Wajah Melati memerah. Aku jadi punya ide tuk buat dia tambah kesal.
"Nggak...." suara Melati meninggi.
"Aku tau, Mel. Kau menikmatinya. Gimana? Asik kan? Gimana kalo kita ciuman lagi?"
"Apa?"
"Ayolah, Mel. Beri kucingmu ini satu ciuman lagi!"
"Huhhh... dasar menyebalkan."
Melati menutup pintu kamarnya. Aku tertawa sudah berhasil buat dia kesal.
***

Melati memasak untuk sarapan pagi. Dia diam saja sampai selesai menyajikan semua hidangannya.
"Kenapa diam saja?" tanyaku.
"Emang salah?" tanyanya balik.
"Nggak sih. Setidaknya beri salam sama kucingmu yang manis ini. Dia kan udah kasih kau ciuman yang hangat."
"Diaaaaammmm...."
Aku kaget mendengar suara Melati dan memilih diam sampai selesai sarapan. Dalam hati aku senang sudah berhasil menggodanya.
"Aku berangkat kerja," pamitku, "jangan lupa masak yang enak untuk kucingmu yang manis."
Aku tersenyum. Melati cemberut karena kesal padaku. Aku meninggalkannya.

Sebelum jam makan siang, aku menelpon Melati untuk mengatakan kalau aku tidak makan siang di rumah. Aku sedang berada di sebuah kafe bersama Mira.
"Jadi sekarang kau harus lapor sama Melati kalau mau makan di luar?" tanya Mira.
"Supaya dia tidak menunggu."
"Dulu tidak seperti itu."
"Dulu Melati tidak pernah masak karena dia tidak pandai. Dia belajar dan sekarang masakannya enak."
"Kau begitu senang bicara soal Melati, Dir. Kau sudah berubah. Waktu itu kau berjanji padaku untuk menghindari Melati. Tapi kau menepatinya hanya sebentar."
"Maafin aku, Mir. Itu sangat sulit. Bagaimana mungkin aku bisa menghindar setiap hari selama kami masih satu atap."
"Kalau begitu kau harus menghindarinya untuk selamanya. Kau sudah janji padaku akan segera bercerai. Trus kapan?"
Aku menarik napas dalam-dalam lalu berkata, "Gak bisa secepat itu, Mir. Kami harus meyakinkan orang tua kami dulu."
"Alasan.... Atau jangan-jangan kau tidak mencintaiku lagi. Dan..., kau menyukai Melati."
"Bukan begitu, Mir."
"Kalau kau emang gak suka padanya, keluar dari rumah itu! Kau bisa tinggal di Apartement mu selama menunggu proses perceraian dengan Melati."
"Tapi...."
"Gak ada tapi-tapian...."
"Kenapa sih kau keras kepala?" tanyaku dengan nada tinggi.
Mata Mira berkaca-kaca. Lalu dia meninggalkanku. Dia menyetop taxi dan pergi. Sudahlah. Aku tidak berniat mengejarnya. Tapi aku jadi merasa tidak enak.

Mobilku meluncur dengan cepat menuju Restauran Mira. Sampai di sana, aku langsung menuju ruangannya. Terdengar suara percakapan dari dalam.
"Dira sudah berubah. Dia berani membentakku," kata Mira.
"Mungkin dia lagi ada masalah," sahut seorang pria. Itu suara Dafa.
"Dulu..., seberat apa pun masalah yang dia hadapi, dia tetap lembut dan hangat padaku. Aku rindu Dira yang dulu, Daf. Mungkin dia sudah mulai mencintai Melati."
"Mir..., Dira sudah menikah. Kau berharap pada suami orang lain sampai melupakan seseorang yang dari dulu mencintaimu."
"Maksudmu?" tanya Mira.
"Aku mencintaimu, Mir."
"Apa?" suara Mira seperti orang lagi kaget, "jangan menaruh kasihan padaku, Daf."
"Nggak, Mir. Aku emang dari dulu mencintaimu bahkan sebelum kau bertemu Dira. Makanya aku selalu ada untukmu tiap kali kau membutuhkanku."
"Dafa...."
"Bahkan Dira juga tau kalo aku mencintaimu. Aku juga pernah bilang padanya akan merebutmu kalau dia menyia-nyiakanmu."
"Tapi, Daf.... Aku hanya menganggapmu sebagai sahabat."
"Gak apa-apa. Walaupun kau tidak bisa menerimaku, kita tetap bersahabat. Jadi jangan menghindar dariku. Aku selalu mendukung kebahagiaanmu."
Mereka diam. Tanpa sengaja, aku mendorong pintu dan terbuka. Mereka sedang berpelukan dan terkejut melihatku. Dafa langsung melepas pelukannya.
"Maaf kalo aku mengganggu," sahutku.
Aku hendak pergi tapi Dafa menghentikan langkahku.
"Tunggu, Dir! Kau jangan salah paham." kata Dafa.
"Gak apa-apa kok."
"Dir..., dulu jika kau lihat kami berduaan, kau langsung marah. Tapi sekarang...," sambung Mira.
"Apa aku masih berhak marah?" tanyaku, "bukankah aku juga tidak bisa memenuhi keinginanmu."
Aku meninggalkan mereka dan memilih balik ke rumah. Jadi malas balik ke kantor. Pikiranku sedang kacau.

Sampai di rumah, aku tidak menemukan Melati. Aku menghempaskan tubuhku di sofa. Setengah jam sudah tapi Melati tidak muncul-muncul. Kuambil hape dan menelponnya.
"Kau dimana?" tanyaku.
"Kebiasaan deh. Gak pernah ngucap salam."
"Maaf..., aku lupa."
"Aku di rumah Mama."
"Ngapain?"
"Gak ngapain. Rindu aja. Pas mau balik, Ridho datang, aku gak jadi balik."
"Cepat pulang!"
Aku langsung matikan hape dengan kesal. Emosiku langsung naik. Segera saja aku meluncur ke rumah mertuaku. Kelamaan kalau menungu Melati balik. Sampai di sana, aku cium tangan kedua mertuaku lalu permisi pulang. Masih bisa kutahan emosiku di depan mereka. Sampai di rumah, baru emosiku tumpah.

"Aku kan sudah bilang cepat balik tapi kau masih asik ngobrol dengan pria lain," kataku dengan nada tinggi.
"Dia kan ngobrol sama Papa dan Mama bukan padaku."
"Jadi kenapa kau gak balik? Kau suka keluar menemui pria lain tanpa pamit."
"Aku kan gak tau bang Ridho mau datang ke rumah."
"Bilang aja kalian janjian ketemu di sana."
"Apaan sih? Lagian apa salahnya? Kita kan udah sepakat boleh menemui siapa saja."
"Kecuali Ridho," sahutku.
"Kenapa?"
"Karena dia mantanmu."
"Apa bedanya dengan Mira?" tanyanya
"Ya bedalah. Dari awal kau sudah ijinkan aku menemui Mira. Tapi tidak dengan Ridho. Dia baru muncul sekarang."
"Alasan gak masuk akal."
"Hei..., Melati. Aku suamimu jadi kalo aku bilang kau gak boleh menemui Ridho, kau harus nurut. Lagian kau kan tau perempun yang sudah menikah tidak boleh menemui pria lain dan berduaan," nada suaraku meninggi.
"Aku tidak menemuinya. Kami hanya kebetulan bertemu. Dan kami tidak berduaan. Ada Papa dan Mama di situ."
"Sama aja," balasku.
"Ya nggak lah. Tapi kalo Abang baru namanya berduaan dengan Mira. Abang seperti orang yang cemburu saja."
"Apa...? Cemburu...? Untuk apa aku cemburu?"
"Jadi kenapa Abang marah?"
"Siapa yang marah? Aku... aku kan cuma e... hanya mengingatkan," jawabku gugup.
"Sudahlah bang..., aku bosan tiap hari berkelahi dengan Abang."
"Oh... jadi kau bosan denganku?" tanyaku emosi, "ya sudah pergi dari sini!"
"Jadi Abang mengusirku?"
"Nggak.... Kan kau yang bilang bosan."
Melati menatapku tajam lalu berkata, "baik..., aku pergi."

Dia masuk ke kamarnya.
"Akhhhh...," aku berteriak keras sambil membanting bantal-bantal yang ada di sofa. Aku masuk ke kamar. Belum puas lalu kutarik sprei tempat tidur dan membantingnya.
Melati tidak jadi pergi dari rumah tapi dia tidak keluar dari kamarnya sampai malam. Pikiranku benar-benar kacau karena berkelahi dengan Mira dan Melati. Ketika melihat Mira berpelukan dengan Dafa, hatiku tidak panas tapi melihat Melati bersama Ridho walau tidak berduaan, aku begitu emosi sampai lepas kendali. Aku marah-marah tak jelas.

Aku keluar rumah mencari ketenangan di luar. Duduk sendiri di sebuah kafe dan menyendiri di sana. Kupesan kopi. Kembali teringat pertengkaran dengan Melati. Tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian saat aku dan Melati berciuman di kafe tempatku sekarang duduk. Aku jadi tersenyum. Kulirik ke samping kanan. Astaga..., ada sepasang manusia tengah asik berciuman tanpa menghiraukanku. Sial...., gerutuku.

Aku balik ke rumah. Ketika melewati kamar Melati, jadi penasaran apakah dia di dalam atau pergi. Kudorong pintu kamarnya dan tidak dikunci. Ini kebiasaan Melati selalu lupa mengunci pintu kamar bahkan sejak ia remaja menurut cerita Mamanya.
Melati sudah tidur. Kupandangi dia lekat-lekat. Tanpa sadar, aku sudah berdiri di sampingnya. Dia cantik sekali. Mataku tak lepas dari wajahnya. Deg...deg...deg..., jantungku berdebar. Akh..., perasaan apa ini.
Kusentuh pipinya. Dia menggeliat membuat aku semakin gemas melihatnya. Entah dorongan dari mana, bibirku sudah tidak berjarak lagi dengan bibirnya lalu kukecup. Hasrat lelakiku datang menghampiri. Kulumat bibirnya. Melati terbangun. Matanya terbelalak kaget dengan tindakanku.
Aku tidak bisa lagi membendung hasratku.

Melati meronta-ronta ketika aku berusaha memeluk dan membuka pakaiannya. Tapi aku tak peduli dengan penolakannya itu. Terus saja aku melepaskan kain yang menutupi tubuhnya sambil menciuminya. Lama kelamaan ia kewalahan melawanku dan gerakannya melemah. Mungkin karena ia mulai merasakan kehangatan dari mulutku yang tidak berhenti menelusuri setiap lekuk tubuhnya.
Aku sudah tak betah dengan degupan jantung yang semakin kencang berdetak. Perlahan aku naik diatas Melati yang sudah tak berdaya dan tampak pasrah menerima apa yang akan kulakukan.

Malam itu aku berhasil meniduri Melati walau dia berontak pada awalnya tapi akhirnya dia melemah dan mulai menikmati tiap sentuhan-sentuhanku.

"Bismillah.." aku berbisik di telinga Melati.
"Aaa..dduu...hh... aa.." terdengar dia merintih kesakitan ketika aku memulainya. Aku merasa iba juga melihatnya. Tapi sudah tidak ada jalan keluar lagi selain melanjutkan sampai tuntas. Aku memperlahankan gerakanku agar dia tidak terlalu kesakitan.
Sesaat kemudian... 
"Ooo..hh.. aahh.." tangannya meremas punggungku. Aku tahu dia hanyut dengan perasaan yang tak bisa digambarkan.
Aku mempercepat gerakan. Semakin kencang... dan.. "ouwgh..." aku tak tahan lagi membendung cairan tubuhku. Berbarengan dengan itu Melati menjerit tertahan "Auw..!".

Setelah semua selesai, aku jadi merasa bersalah sudah memaksa Melati. Aku menyesal.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER